You are on page 1of 9
430 DEMAM TIFOID Djoko Widodo- PENDAHULUAN PATOGENESIS Demam tifoid masih merupakan penyakit endemik di Masuknya kuman Salmonella typhi (S. oiphi) dan Indonesia. Penyakit ini termasuk penyakit menular yang tercantum dalam Undang-undang nomor 6 Tahun 1962 tentang wabah. Kelompok penyakit menular ini merupakan penyakit yang mudah menular dan dapat menyerang banyak orang schingga dapat menimbulkan wabah. EPIDEMIOLOG! ‘Surveilans Departemen Kesehatan RI, frekuensi kejadian demam tifoid di Indonesia pada tahun 1990 sebesar 9,2 dan pada tahun 1994 terjadi peningkatan frekuensi menjadi 15,4 per 10.000 penduduk. Dari survei berbagai rumah sakit di Indonesia dari tahun 1981 sampai dengan 1986 memperlihatkan peningkatan jumlah penderita sekitar 35,8% yaitu dari 19.596 menjadi 26.606 asus. Insidens demam tifoid bervariasi di tiap dacrah dan biasanya terkait dengan sanitasi lingkungan; di daeral rural (Jawa Barat) 157 kasus per 100.000 penduduk, sedangkan di daerah urban ditemukan 760-810 per 100.00 penduduk. Perbedaan insidens “di perkotaan berhubungan erat dengan penyediaan air bersih yang belum memadai serta sanitasi lingkungan dengan pembuangan sampah yang kurang memenuhi syarat Kesehatan lingkungan. Case fatality rate (CFR) demam tifoid di tahun 1996 sebesar 1,08% dari seluruh kematian di Indonesia: Namun demikian berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah ‘Tangga Departemen Kesehatan RI (SKRT Depkes RI) tahun 1995 demam tifoid tidak termasuk dalam 10 peayakit dengan mortalitastertinggi. Salmonella paratyphi (S. paratyphi) ke dalam tubub ‘manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respons imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan menembus sel- sel epitel (terutama sel-M) dan selanjutaya ke lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plak Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. ‘Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat, di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang asimtomatik) dan. menyebar ke scluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kumao meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darab lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik. Di dalam bat kuman masuk ke dalam kandung emped, berkembang biak, dan bersama cairan empedu dieksiesilan, secara intermiten ke dalam lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi kedalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang ‘Kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan biperaktif ‘maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskular, gangguan mental, dan koagulasi va 7/2798 é Didalam plak Peyeri maksofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hiperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plague Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi.. Endotoksin dapat menempel di reseptor scl endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan, dan gangguan organ lainnya, Gambar 1. Patofisiologi demam tifoid GAMBARAN KLINIS bermanfaat agnosis sedini mungkin sangat Penegakan TROPIKINFEKSI komplikasi. Pengetahuan gambaran klinis penyakit ini sangat penting untuk membantu mendeteksi secara dini Walavpun pada kasus tertentu dibutuhkan pemeriksaan tambahan untuk membantu menegakkan diagnosis. Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 har. Gejala-gejala klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari asimtomatik hingga gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi hingga kemal Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yairu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, dan cpistaksis, Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat. Sifat demam adalah meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore hingga malam hari. Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardia relatif (bradikardia relatif adalah peningkatan suhu 1*C tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali per menit), lidah yang berselaput (kotor di terigah, tepi dan tujung merah serta tremor), hepatomegali, splenomega meteroismus, gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis. Roseolae jarang ditemukan, pada orang Indonesia, PEMERIKSAAN LABORATORIUM Pemeriksaan Rutin Walaupun pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering ditemukan leukopenia, dapat pula terjadi kadar leukosit normal atau leukositosis. Leukositosis dapat terjadi ‘walaupun tanpa disertai infeksi sekunder. Selain itu pula dapat ditemukan anemia ringan dan trombositopenia. Pada pemeriksaan hitung jonis leukosit dapat terjadi aneosinofilia maupun limfopenia. Laju endap darah pada demam tifoid dapat meningkat ‘SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus. Pemeriksaan lain yang rutin dilakukan adalah uji Widal dan kultur organisme. Sampai sekarang, kultur masih menjadi standar baku dalam penegakkcan diagnostik. Selsin ‘ji widal, terdapat beberapa metode pemeriksaan serologi Iain yang dapat dilakukan dengan cepat dan mudah serta memiliki sensitivitas dan spesifisitas lebib baik dari antara ain uji TUBEX*, Typhidot dan dipstik. Uji Widal dilakukan untuk deteksi antibod terhadap kuman Soph fal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S. typhi dengan antibodi yang disebut aglutinin. Antigen yang digunakan pada uji Widal adalah dna dintah ai Inboratonum, Maksud uji Widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka demam, ‘nfoid yaitu: 4). Aglutinin O (dari tubuh kuman),b) Aglutinin H (Mlagela ‘kusman), dan). Aglutinin Vi simpai kuman). Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Semakin Tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kwnan ini Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam, kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu ke-empat, dan tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut mula-rnula timbul aglutinin O, kemudian diikuti dengan aglutinin H. Pada ‘orang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9-12 bulan, Oleh karena itu uji Widal bukan untuk menentukan kesembuhan penyakit. ‘Ada beberapa faktor yang mempengaruhi uji Widal yairu:1). Pengobatan dini dengan antibiotik, 2). Gangguan pembentukan antibodi, dan pemberian kortikosteroid, 3). Waktu pengambilan darah, 4). Daerah endemik atau non- endemik, 5). Riwayat vaksinasi, 6). Reaksi anamnestik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada infeksi bukan demam_ tifoid akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi, 7), Faktor teknik pemeriksaan antar laboratorium, akibat, aglutinasi silang, dan strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen. ‘Soat ini belum ada kesamaan pendapat mengenai aglutinin yang bermakna diagnostik untuk demam tifoid. Batas titer yang scring dipakai hanya kesepakatan saja, hanya berlaku setempat dan batas ini bahkan dapat berbeda di berbagai laboratorium setempat. Uji TUBEX® Uji TUBEX* merupakan uji semi-kuantitatif kolometrik ‘yang cepat (beberapa meni) dan mudah untuk dikerjakan. Uji ini mendeteksi antibodi anti-S.typhi O9 pada serum pasien, dengan cara menghambat ikatan antara IgM anti- ‘09 yang terkonjugasi pada partikel latex yang berwarna dengan lipopolisakarida S.typhi yang terkonjugasi pada partikel magnetik latex. Hasil positif uji Tubex ini ‘menunjukkap terdapat infeksi Salmonellae serogroup D vwalau tidak secara spesifik menunjuk pada S. typhi. Infeksi oleh S. paratyphi akan memberikan hasil negatif. Secara imunologi, antigen O9 bersifat imunodominan schingga dapat merangsang respons imun secara independen tethadap timus dan merangsang mitosis sel B tanpa bantuan dari sel T. Karena sifat-sifattersebut, respon terhadap anti-gen 09 berlangsung cepat sehingga deteksi tethadap anti-O9 dapat dilakukan lebih dini, yaitu pada hharike 4-5 untuk infeksi primer dan hari ke 2-3 untuk infeksi sekunder. Perlu diketahui bahwa uji Tubex hanya dapat mendeteksi IgM dan tidak dapat mendetcksi IgG sehingga idak dapat dipergunakan sebagai modalitas untuk Pemeriksaan ini dilakukan dengan menggunakan 3 -macam komponea, meliputi: 1) tabung berbentuk V, yang juga berfungsi untuk meningkatkan sensitvitas, 2) Reagen ‘A, yang mengandung partikel magnetik yang diselubungi dengan antigen S. typhi 09, 3) Reagen B, yang mengandung partikel latcks berwarna biru yang diselubungi dengan antibodi monoklonal spesifik untuk antigen 09, Untuk melakukan prosedur pemeriksaan ini, satu tetes serum (25 pL) dicampurkan ke dalam tabung, dengan satu tetes (25 yi) reagen A. Setelah itu dua tetes. reagen B (50 yi.) ditambahkan kedalam tabung. Hal tersebut di lakukan pada kelima tabung lainnya. Tabung-tabung tersebut kemudian diletakkan pada rak tabung yang. mengandung magnet dan diputar selama 2 menit dengan, kecepatan 250 spm. Interpretasi hasil dilakukan berdasarkan wamna larutan campuran yang dapat berv: kemerahan hingga kebiruan. Berdasarkan ws ditentukan skor, yang interpretasinya dapat di Tabel berikut ean res <2 Negatit Tidak menunjuk infeksi tfoid aki 3 BorderfinePengukuran tidak dapat disimputkan. Ulangi_pengujian, apabila masin meragukan lakukan engulangan beberapa—hari kemudian. 45 Positif __ Menunjukan infeksitioid aktit 26. Posistit _Indikasi kuat infksi tli Konsep pemeriksaan ini dapat diterangkan sebagai berikut. Jika serum tidak mengandung antibodi terhadap 09, reagen B ini bereaksi dengan reagen A. Ketika diletakkan pada daerah mengandung medan magnet (magnet rak), Komponen magnet yang dikandung reagen A akan tertarik pada magnet rak, dengan membawa serta pewarna yang dikandung oleh reagen B. Sebagai akibatnya, terlihat warna merah pada tabung yang sesungguhnya merupakan gambaran serum yang lisis. ‘Sebaliknya, bila serum mengandung antibodi terhadap 09, antibodi pasien akan berikatan dengan reagen A menyebabkan reagen B tidak tertarik pada magnet rak dan ‘memberikan warna biru pada larutan. Berbagai penelitian (House dkk, 2001; Olsen dkk, 2004; dan Kawano dkk, 2007) menunjukkan uji ini memiliki sensitivitas dan spesivisitas yang baik (berturut-turut 75- 80% dan 75-90%). Pada tahun 2006, di Jakarta, Surya H ‘dkk melakukan penelitian pada 52 sampel darah pasien dengan diagnosis Klinis demam tifoid untuk membandingkan spesifisitas, sensitifitas, positive predictive value (PPV) dan negative predictive value uji Tubex dengan uji Widal, Pada penelitian tersebut, tas uji Tubex sebesar 100% (Widal: : 65%), PPV 94, 11% (Widal: fyi Typhidot ji typhidot dapat mendeteksi antibodi IgM dan IgG yang terdapat pada protein membran luar Salmonella phi. Hasil positif pada uji typhidot didapatkan 2-3 hari setelah jnfeksi dan dapat mengidentifikasi secara spesifik antibodi IgM dan IgG terhadap antigen S. pphi seberat 50 KD, yang terdapat pada strip nitrosclulosa. Didapatkan sensitivitas ujiini sebesar 98%, spesifisitas sebesar 76.6% dan efisiensi uji scbesar 84% pada penelitian yang dilakukan oleh Gopalakhrisnan dkk (2002) yang ilakukan pada 144 kasus demam tifoid. Pada penelitian Iain yang dilakukan oleh Olsen dkk, didapatkan sensitifitas ‘dan spesfisitas uji ini hampirsama dengan uji Tubex yaita 79% dan 89% dengan 78% dan 89% Pada kasus reinfeksi, respons imun sekunder (IgG) teraktivasi secara berlebihan sehingga IgM sulit terdetcksi IgG dapat bertahan sampai 2 tahun sehingga pendeteksian IgG saja tidak dapat digunakan untuk membedakan antara infeksi akut dengan kasus reinfeksi atau konvalesen pada asus infeksi primer. Untuk mengatasi masalah tersebut, Uj ini kemudian dimodifikasi dengan menginaktivasi total IgG pada sampel serum. Uji ini, yang dikenal dengan nama uji Typhidot-M, memungkinkan ikatan antara antigen dengan IgM spesifik yang ada pada serum pasien. Studi tevaluasi yang dilakukan oleh Khoo KE dkk pads tahun 1997 terhadap uji Typhidot-M menunjukken bahwauji ini bahkan lobih sensitif (sensitivitas mencapai 100%) dan lebih cepat {@ jam) dilakukan bila dibandingkan dengan kultur. UjilgM Dipstick Uji ini secara khusus mendeteksi antibodi IgM spesifik tethadap S. tpphi pada spesimen serum atau whole blood. Uji ini menggunakan sirip yang mengandung antigen lipopolisakarida (LPS) S. phoid dan anti IgM (sebagai kontrol), reagen deteksi yang mengandung antibodi anti IgM yang dilekati dengan lateks pewarna, cairan membasahi strip sebelum diinkubasi dengan reagen dan ‘serum pasiea, tabung uji. Komponen perlengkapan ini stabil untuk disimpan selama 2 tahun pada subu 4-25° Cdi ‘tempat kering tanpa paparan sinat matahari. Pemeriksaan dimulai dengan inkubasi strip pada larutan campuran reagen deteksi dan serum, selama 3 jam pada suhu kamar. Setelah inkubasi, strip dibilas dengan air mengalir dan dikeringkan. Secara semi kuantitatif, diberikan penilaian terhadap garis uji dengan membandingkannya dengan reference strip. Garis kontrol harus terwarna dengan baik. House dk, 2001 dan Gasem MH dkk, 2002 meneliti mengenai penggunaan uji ini dibandingkan dengan pemeriksaan kultur darah di Indonesia dan melaporkan ‘sensitivitas sebesar 65-77% dan spesifisitas sebesar 95- 100%. Pemeriksaan ini mudah dan cepat (dalam 1 bari) dilakukan tanpa peralatan khusus apapuo, namun akurasi hasil didapatkan’bila pemeriksaan dilakukan 1 minggu Kultur Darah Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tfoid, akan tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, kkarena mungkin disebabkan beberapa hal sebagai berikut = 1), Telah mendapat terapi antibiotk. Bila'pasien sebelum dilakukan kultur darah telah mepdapat antibiotik, pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil mungkin negatif; 2). Volume darah yang kurang (@iperlukan kurang lebih 5 cc darah). Bila darah yang dibiak terlalu sedikit hasil biakan bisa negatif. Darah yang diambil sebaiknya secara bedside langsung dimasukkan ke dalam media cair empedu (oxgall) untuk pertumbuhan kuman; 3). Riwayat vaksinasi. Vaksinasi di masa lampau menimbuikan antibodi dalam darah pasien. Antibodi ‘dapat menckan bakteremia hingga biakan darah dapat negatif; 4), Saat pengambilan darah setelah rminggu pertama, pada saat aglutinin semakin meningkat. PENATALAKSANAAN ‘Sampai saat ini masih dianut wilogi penatalaksanaan demam tifoid, yaitu: Istirahat dan perawatan, dengan tujuan mencegsh Komplikasi dan mempercepat penyembuhan Diet dan terapi penunjang (simtomatik dan suportif), dengan tujuan mengembalikan rasa nyaman dan kesehatan pasien secara optimal. Pemberian antimikroba, dengan tujuan menghentikan dan mencegah penyebaran kuman Istirahat dan perawatan. Tirah baring dan perawatan profesional bertujuan untuk mencegah komplikasi, Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat seperti ‘makan, minum, mandi, buang air kecil, dan buang air besar ‘akan membantu dan mempercepat masa penyembuhan. Dalam perawatan perlu sekali dijaga kebersihan tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan yang dipakai. Posist pasien perlu diawasi untuk mencegah dekubitus dan pneumonia ortostaik serta higiene perorangan tetap perl diperhatikan dan dijaga. : Diet dan terapi penuojang. Diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses peayembuhan penyakit demam fifoid, Karena makanan yang kurang akan menurunkan eedaan uimum dan gizi penderita akan semakin turun dan proses penyembuban akan menjadi lama. Di masa lampau penderita demam tifoiddiber diet bubur saring, kemudian ditingkatkan menjadi bubur kasar éan akbimya diberikan nasi, yang perubahan dict tersebut disesuaikan dengaa tingkat kesembuhan pasicn. Pemberian bubur saring tersebut ditujukan untuk menghindari Komplikasi perdaraban saluran cema atau perforasi usus. Hal ini disebabkan ada pendapat bahwa usus harus hwa bioavailabilitas tidak sebaik fluorokuinolon yang, ‘kan bal jistrahatkan. Beberapa peneliti menunjuk ek Sie rakan pada vyaira nasi dengan lauk pauk dikembangkan kemudian. jindari sementara sayuran Yan “Azitromisin. Tinjauan yang dilakukan oleh Eeva EW dan ao staan does aman pada pasien demam Bukirwa H pada tahun 2008 terhadap 7 penelitian yang sifoid membandingkan penggunaan azitromisin (dosis 2x500 is ikroba yang, mg) menunjukkan bahwa penggunaan obat ini jika Pemberox = Gibandingkan dengan fluorokuinolon, azitromisin secara sing Tieeiten Signifikan mengurangi kegagalan klinis dan durasi rawat niin Di Indonesia Kloramfenikol masih _inap, terutama jika penelitian mengiketsertakan pula strain rmerupakan obatpilihan utara untuk mengobati demam MDR (multi drug resistance) maupun NARST eras yang diberkan adalah x 50mg perhari — (Walidixie Acid Resistant S.PBi) dibandingkan dapat diberikan secara per oral atau intravena. Diberikan dengan ceftriakson, penggunaan azitromisin dapat Sampai dengan 7 hari bebas panas. Penyuntikan — mengurangi angks relaps. Azitromisin mampu intramuskular tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ¢S- menghasilkan konsentrasi dalam jaringan yang tinggi iors dapotdramalkandanempatsuntikanterasa_walaupun Konsentrasi dolam derah cenderung rendab, sper, Dati pengalaman penggunaan obat ini dapat Antibitika akan terkonsenirasi di dalam sel, sehingga menurunkan demam rata-rata 7,2 hari. Penulis lain antibiotika ini menjadi ideal untuk digunakan dalam pengobatan infeksi oleh S. ypphi yang worupakan kuman imikroba. Obat-obat anti # bati demam tifoid adalah ‘nyebutkan penurunan demam dapat terjadi rata-rata p vorupak : aie han ke-s Padapenclitian vangdilskukanselama _intraselular. Keuntungan lain adalah azitromisin tersedia % dalam bentuk sediaan oral maupun suntikan intravena. 2002 hingea 2008 oleh Moehario LH dk di masil \liki kepekaan terhadap antibiotik i i. + Tiamfenikol. Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada Kombinasi Obat Antimikroba fecedietoepireeretmpeiaicliclRCh Cet seorchdnal taaltlath wen Weeladieaa laa yale tetapi komplikasi hematologi seperti kemungkinan ——_gadaan tertentu Saja antara lain toksik tifoid, peritonitis terjadinya anemia aplas lebih rendah dibandingkan atau perforasi, serta syok septik, yang permah terbukti dengan kloramfenikol. Dosis tiamfenikol. jadalah4 x 500 ditemukan 2 macam orgenisme dalam kultur darah selain sng, demamata-ata menurun pada arike-Ssampaike- _yuman Salmonella, p Kortikosteroid. Penggunaan steroid hanya diindikasikan + Kotrimoksazol. Efektivitas obat ini dilaporkan hampir sama dengan kloramfenikol. Dosis untuk orang dewasa adalah 2x 2 tablet (1 tablet mengandung sulfametoksazol 400 mg dan 80 mg trimetoprim) diberikan selama 2 pada toksik tifoid atau demam tifoid yang mengalami syok septik dengan dosis 3 x S mg. minggu. : | Pengobatan Demam Tifoid pada Wanita Hamil + Ampisilin dan amoksisilin. Kemampuan obat ini untuk’ Kloramfenikol tidak dianjurkan pada trimester ke-3 ‘menurunkan demam lebih rendah dibandingkan dengan kehamilan karena dikhawatirkan dapat terjadi partus Kloramfenikol, dosis yang dianjurkan berkisar antara prematur, kematian fetus intrauterin, dan grey syndrome __ 0 Somes BB dan dipunskea selame2mingg pada neonatus. Tiamfenikol tidak dianjurkan digunakan Sefalosporin Generasi Ketiga. Hingga saat ini pada trimester pertama kehamilan karena kemungkinan golongan sefalosporin generasi ke-3 yang terbukti fe teratogenik terhadap fetus pada manusia belum dapat ee adalah seftiakson desis gisingkirkan. Pada Kehamilan lebih Tanjut tiamfenikol ae ae ae ae dapat digunakan. Demikian juga obat golongan eae meee sekalisebari, . flyorokuinolon maupun kotrimoksazol tidak boleh ee digunakan untuk mengobati demam tifoid. Obat yang ngan Fluorokuinolon, Golongan ini beberapa jens, dianjurkan adalah “ampisilin, amoksisilin, dan bahan sediaan dan aturan pemberiannya : ftriaks + Norfloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 14 hari i oe + Siprofloksasin dosis 2x 500 mg/hari selama 6 hari + Ofloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 7 hari + Pefloksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari Labeda naan alc > Florokzanindosis 400 ropfbari solar Va Sebagai suatu penyakit sistemik maka bampir semua . organ utama tubuh dapat diserang dan berbagai komplikasi Demam pada umumnya mengalami isis padaharike-3 _serius dapat terjadi. Beberapa komplikasi yang dapat terjadi ‘atau menjelang hari ke-4. Hasil penurunan demam sedikit _pada demam tifoid yaitu: lebih lambat pada penggunaan norfloksasin yang . > Komplikasi intestinal: Perdarahan usus, perforasi usus, merupakan fluorokuinolon pertama yang memiliki ileus paralitik, pankreatitis + Komplikasi ekstra-intestinal. ~ Komplikasi kardiovaskular: gagal sirkulasiperife, miokarditis, tromboflebitis. - Komplikasi darah: anemia tombositopenia, KID, trombosi - Komplikasi paru: pneumonia, empiema, pleuritis. - Komplikasi hepatobilier: hepatitis, kolesisti - komplikasi ginjal: glomerulonefritis, pieloneffitis, perinetrits. - komplikasi tulang: osteomielitis, periostitis, spondilitis, arts. ~ _komplikasi neuropsikiatrik/tifoid toksik. hemoli KOMPLIKASI INTESTINAL Perdarahan Intestinal Pada plak Peyeri usus yang terinfeksi (terutama ileum terminalis) dapat terbentuk tukak/luka berbentuk lonjong dan memanjang terhadap sumbu usus. Bila luka menembus Jumen usus dan mengenai pembuluh darah maka terjadi perdarahan. Selanjutnya bila tukak menembus dinding ‘usus maka perforasi dapat terjadi, Selain karena faktor luka, perdarahan juga dapat terjadi karena gangguan koagulasi darah (KID) atau gabungan kedua faktor. Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat mengalami mi- nor yang tidak membutuhkan transfusi darah. Perdarahan hhebat dapat terjadi hingga penderita mengalami syok. Secara klinis perdarahan akut darurat bedah ditegakkan bila terdapat perdarahan sebanyak 5 mU/kgBB/jam dengan faktor hemostatis dalam batas normal. Jika penanganan terlambat, mortalitas cukup tinggi sekitar 10-32%, bahkan ada yang melaporkan sampai 80%. Bila transfusi yang diberikan tidak dapat mengimbangi perdarahan yang terjadi, maka tindakan bedah perlu dipertimbangkan. Perforasi Usus Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama, Selain gejala umum demam tifoid yang biasa terjadi maka penderita demam tifoid dengan perforasi-mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di dacrah kuadran kanan bawah yang kemudian menyebar ke seluruh perut dan disertai dengan tanda-tanda ileus. Bising ‘usus melemah pada 50% penderita dan pekak hati terkadang ‘idak ditemukan karena adanya udara bebas di abdomen. ‘Tanda-tanda perforasi lainnya adalah nadi cepat, tekanan darah tunun, dan bahkan dapat syok. Leukositosis dengast pergeseran ke kiri dapat menyokong adanya perforasi. Bila pada gambaran foto polos abdomen (BNO posisi) ditemukan udara pada rongga peritoneum atau subdiafragma kanan, maka hal ini merupakan nilai yang, cukup menentukan terdapatnya perforasi usus pada demam tifoid. Beberapa faktor yang, dapat meningkatkan kejadian adalah perforasi adalah umur (biasanya berum 20-30 tahun), tama demam, modaliaspengebatan,beramya penyakit, dan mobilitas penderita ccna ‘Antibiotik diberikan secara selektif bukan hanya untuk mengobati kuman S. pphi-tetapi juga untuk mengatasi kuman yang bersifat fakultatif dan anaerobik pada flora usus, Umumnya diberikan antibiotik spektrum luas dengan Kombinasi kloramfenikol dan ampisilin inravena. Untuk kontaminasi usus dapat diberikan gentamisin/ ‘metronidazol. Cairan harus diberikan dalam jumlah yang cukup serta penderita dipuasakan dan dipasang nasogastric tube. Transfusi darah dapat diberikan bila terdapat kehilangan darah akibat perdarahan intestinal. KOMPLIKASI EKSTRA-INTESTINAL Komplikasi Hematologi Komplikasi hematologik berupa trombositopenia, hipofibrino-genemia, peningkatan prothrombin time, peningkatan partial thromboplastin time, peningkatan fi- brin degradation products sampai koagulasi intravaskular diseminata (KID) dapat diternukan pada kebanyakan pasien demam tifoid. Trombositopenia saja sering dijumpai, bal ini mungkin terjadi karena menurunnya produksi trombosit di sumsum tulang selama proses infeksi atau meningkatnya destruksi trombosit di sistem retikuloendotelial. Obat-obatan juga memegang peranan. Penyebab KID pada demam tifoid belumlah jelas. Hal- hal yang sering dikemukakan adalah endotoksin mengaktifkan bebcrapa sistem biologik, koagulasi, dan fibrinolisis. Pelepasan kinin, rostaglandin dan histamin menyebabkan vasokonstriksi dan kerusakan endotel pembuluh darah dan selanjutnya mengekibatkan perangsangan mekanisme koagulas; bik KID kompensata maupun dekompensata. Bila teradi KID dekompensata dapat diberikan tranfusi darah, substirusitrombosit dan/atau faktor-faktor koagulasi babkan heparin, meskipun ada pula yang tidak sependapst tentang manfaat pemberian heparin pada demam tifoid Hepatitis Tifosa a Pembengkakan hati ringan sampai sedang dijumpai pada ‘s0%kasus dengan descam tifoid dan lebih banyak dijumpsi Karena S. yphi dasipada S. paratyphi Uncukmembedakan hepatitis ini oleh Karena ffoid, virus, malaria, atay artuba makaperlu dipethatikan kelainan fistk, paramcet laboratorium, dan bila perlu histopatologik hati. Pada Geman tifoid Kenaikan enzim transaminase tidak relevan dengan kenaikan serum bilirubin (untuk membedakan dengan hepatitis oleh Karena virus), Hepatitis tifosa dapat terjadi pada pasica dengan malnutrisi dan sistem imu YB Kurang, Meskipun sangat jarang, komplikasi hepatoensefalopati dapat terjadi. Pankreatitis Tifosa Merupakan komplikasi yang jarang terjadi pada demam tifoid. Pankreatitis sendiri dapat disebabkan oleb mediator pro inflamasi, virus, bakteri, cacing, maupun zat- zat farmakologik. Pemeriksaan enzim amilase dan lipase serta ultrasonograafi/CT-Scan dapat membantu diagnosis penyakit ini dengan akurat. Penatalaksanaan pankreatitis tifosa sama seperti penanganan pankreatitis pada umumnya; antibiotik yang diberikan adalah antibiotik intravena seperti sefiriakson atau kuinolon Miokarditis Miokarditis terjadi pada 1-5% penderita demam tifoid sedangkan kelainan elektrokardiografi dapat terjadi pada 10-15% penderita. Pasien dengan miokarditis biasanya tanpa gejala kardiovaskular atau dapat berupa keluhan sakit dada, gagal jantung kongestif, aritmia, atau syok kardiogenik. Sedangkan perikarditis sangat jarang terjadi. Perubahan elektrokardiografi yang menetap disertai aritmia mempunyai prognosis yang buruk. Kelainan ini disebabkan kerusakan miokardium oleh kuman S.pphi dan miokarditis sering sebagai penyebab kematian, Biasanya 570C,iodisasi, dan klorinisasi) - Pengunjung ke daerah ini harus minum air yang telah ‘melalui pendidihan, menjauhi makanan segar (sayur/ buah) = Vaksinasi secara menyeluruh pada masyarakat setempat maupun pengunjung karier VAKSINASI Vaksin pertama kali ditemukan tahun 1896 dan setelah tahun 1960 efektivitas vaksinasi telah ditegakkan, keberhasilan proteksi sebesar 51-88% (WHO) dan sebesar 67% (Universitas Maryland) bila terpapar 105 bakteri tetaj tidak mampu proteksi bila terpapar 107 bakteri. ‘Vaksinasi vid belum dianjurkan secara rutin di USA , demikian juga di daerah lain, Indikasi vaksinasi adalah bila 1). hendak mengunjungi daerah endemik, risiko terserang demam tifoid semakin tinggi untuk daerah berkembang (Amerika Latin, Asia, Afrika), 2). otang yang terpapar dengan penderita karier tifoid, dan 3). petugas laboratorium/mikrobiologi kesehatan. Jenis Vaksin + Vaksin oral: -Ty2 a (vivotif Bemna).a belum beredar di Indonesia. ‘Vaksin parenteral: - ViCPS (Typhim Pasteur Merieux), vaksin kapsul polisakarida. Pemilihan Vaksin Pada beberapa penelitian vaksin oral Ty21a diberikan 3 kali secara bermakna menurunkan 66% selama 5 tabun, laporan lain sebesar 33% selama 3 tahun. Usia sasaran vaksinasi berbeda efektivitasnya, dilaporkan insidens ‘tunun $3% pada anak > 10 tahun sedangkan anak usia 5-9 th insidens turun 17%. Vaksin parenteral non-aktif relatif lebih sering menyebabkan reaksi efek samping serta tidak seefektif’ dibandingkan dengan ViCPS maupun Ty2la oral. Jenis vaksin dan jadwal pemberiannya, yang ada saat ini di Indonesia hanya ViCPS (Typhim Vi). 23808 Indikasi vaksinasi Tindakan preventif berupa vaksinasi tifoi pada faktor risiko yang berkaitan, yaitu indi Populasi dengan situasi epidemiologisny + Populasi: anak usia sekolah di dierah endemik, personil militer, petugas rumah sakit, laboratorium keschatan, industri makanan/minuman, Individual: pengunjung/wisatawan ke daerah endemik, ‘orang yang kontak erat dengan pengidap tifoid (karier), Anak usia 2-5 tahun toleransi dan respons imunologisnya sama dengan anak usia lebih besar. tergantung ividual atau Kontraindikasi Vaksina: ‘Vaksin hidup oral Ty21a secara teoritis dikontraindikasikan pada sasaran yang alergi atau zeaksi efek samping berat, penurunan imunitas, dan kehamilan (karena sedikitaya data). Bila diberikan bersamaan dengan obat anti-malaria (Klorokuin, meflokuin) dianjurkan minimal setelah 24 jam pemberian obat baru dilakukan vaksinasi. Dianjurkan tidak memberikan vaksinasi bersamaan dengan obat sulfonamid_ atau antimikroba lainnya. Efek Samping vaksinasi Pada vaksin Ty21a demam timbul pada orang yang mendapat vaksin 0-5%, sakit kepala (0-5%), sedangkan, pada ViCPS efek samping lebih Kecil (demam 0,25%; mal- aise 0,5%, sakit kepala 1,5%, rash 5%, reaksi nyeri lokal 17%). Efek samping terbesar pada vaksin parenteral adalah heat-phenol inactivated, yaitu demam 6,7-24%, nyeri kepala 9-10% dan reaksi lokal nyeri dan edema 3-35%, bahkan reaksi berat termasuk hipotensi, nyeri dada, dan syok dilaporkan pemah terjadi meskipun sporadis dan ssangat jarang terjadi. Efektivitas Vaksinasi ‘Serokonversi (peningkatan titer antibodi 4 kali) setelah vaksinasi dengan ViCPS terjadi secara cepat yaitu sekitar 15 hari -3 minggu dan 90% bertahan selama 3 tahun. Kemampuan proteksi sebesar 77% pada daerah endemik (Nepal) dan sebesar 60% untuk daerah hiperendemik. REFERENS! Bunin KY, Tokareako LG Kravisov EG. Comparative evaluation of the dynamics of physico-chemical dffereat serum O- and K- antibodies in typhoid and chronic typhoid carriers. Abstract. Zh Miksobiol Epidemiol Immunobiol 1981;(4):67-9. Bradley D. Jones. SALMONELLOSIS: Host Immune Responses and Bacterial Virulence Determinants. Anau. Rev. Immunol. 1996. 14:533-61, Caygill CP, Braddick M, Hill MJ, Koowles RL, Sharp JC. The asso- ciation berween typhoid carriage, typhoid infection and subse- queat cancer at # pumber of site. Eur J Cancer Prev 1995;4(2):187-93,

You might also like