Professional Documents
Culture Documents
Cina sejak mula "secara akrab terhubung dengan otoritas politik". Sejarah aksara itu juga sejarah
seluruh bahasa.
Zaman Mao Zedong adalah contohnya yang ekstrem. Simon Leys bukan pengagum komunisme
Mao. Bagi pakar Sinologi yang dikenal sebagai Pierre Ryckmans ini, zaman Mao adalah "tiga
dasawarsa pemerintahan orang buta huruf". Tentu saja kesimpulan ini berlebihan. Sebab di zaman
itusebuah masa kekuasaan totaliter seperti dalam novel Orwell 1984huruf & bahasa justru
dipakai menghancurkan musuh politik dan memperkukuh sang Ketua. Kata "kontrarevolusioner",
"kanan", atau "pengambil jalan kapitalistis" dipakai sebagai cap. Orang yang terkena cap itu akan
dihabisi hidup atau kariernya. Tentu saja yang menentukan arti kata dan korbannya adalah Ketua
Mao dan aparat propaganda Partai Komunis-nya.
Mao tahu benar daya yang tersimpan dalam bahasa. Ia menulis puisi dan membuat kaligrafi yang
sampai setelah ia dikuburkan tetap dipuja, disebut khusus gaya Maoti, meskipun, dalam penilaian
Leys, karya Mao hanya menunjukkan "egoisme yang flamboyan". Kata-katanya jadi hafalan wajib
seperti fatwa suci di kalangan Pengawal Merah yang militan. Dalam arti tertentu, di bawah Mao,
RRC adalah sebuah "lingokrasi": kekuasaan yang mengandalkan peran bahasa.
Dalam bentuknya yang lebih lunak, "lingokrasi" berkuasa di mana-mana di zaman ini. Deleuze
menyebutnya "imperialisme bahasa" dan dalam telaahnya tentang karya-karya Samuel Beckett ia
berbicara tentang "bahasa nama-nama" (langue des noms) yang terbentuk dari nama atau penanda
yang terpisah-pisah atau dipasang dalam kombinasi. Saya bayangkan sebagai tiang-tiang pancang
yang tak bergerak.
Tapi bukannya tak ada celah untuk pelbagai gerak. Leys dengan tepat melihatnya dalam puisi klasik
Cina. Puisi ini bukan lukisan yang menirukan alam. Sajak-sajak itu tampil seakan-akan bukan
ekspresi subyektif penyair, melainkan manifestasi alam itu sendiri. Karya seni bukan meniru alam,
kata Picasso, melainkan bekerja seperti alam. Maka gunung, kembang, dan jalan di hutan
disajakkan berulang-ulang, tapi dalam puisi ada proses dan "pertemuan yang tak terduga-duga",
kata Leys, dan "satu kehidupan baru mungkin berpijar".
Dan bahasa pun bukan lagi dibangun dari nama-nama yang ditentukan tempatnya. Ia mengalir, tak
tegar tak kaku, selalu mengandung yang tak terduga, yang hadir dan tak hadir, yang ganjil.
Bahasa yang seperti itudengan keindahannyamau tak mau akan bertabrakan dengan
program Konghucu untuk "membereskan nama-nama".
Berabad-abad kemudian tabrakan itu terjadi. Mao, menurut Leys, menghancurkan karya seni
peninggalan lama, bukan karena mereka karya seni feodal, melainkan karena mereka indah.
Saya tak percaya itu sebabnya. Tapi keindahan memang tak cocok untuk kekuasaan dan doktrin
yang ingin semuanya beres dan patuh. Keindahan membuat gunung, kembang, dan jalan di hutan
hidup kembali, liar kembali, sebelum dijinakkan.
Goenawan Mohamad