You are on page 1of 86

K2i DI PROVINSI RIAU

TPK2-GUBRI 2003-2008

BAB VI
PENDEKATAN PEMBANGUNAN
DI PROPINSI RIAU

Sejalan dengan penyelenggaraan Otonomi Daerah di Era Reformasi,


berdasarkan kondisi, potensi dan kemampuan riil daerah. Pemerintah Daerah
Provinsi, Kabupaten dan Kota di Riau sekarang dapat dikatakan sedang giatnya
melaksanakan kegiatan pembangunan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan
masyarakat.
Sebagaimana telah diuraikan pada bab sebelumnya, ada beberapa
kelemahan mendasar yang sangat mempengaruhi daerah Riau dibandingkan
dengan daerah lainnya, antara lain: struktur ekonomi yang terlalu bertumpu pada
pengusaha besar, sehingga kurang merata dan mengakar ke bawah (trickle-
down-effect); kualitas sumber daya manusia (SDM) Riau yang masih lemah dan
kurang mendapat sentuhan yang berarti; dan Pengelolaan sumber daya alam
yang keuntungannya belum dibagi secara proporsional bagi daerah Riau.
Selanjutnya untuk mengatasinya maka diperlukan strategi dasar yaitu :
mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan yang berbasis pada penguatan
usaha kecil, menengah dan koperasi; meningkatkan SDM untuk mampu
bersaing dalam merebut setiap peluang di berbagai sektor kehidupan; dan
diupayakan otonomi daerah yang lebih luas dan terus memperjuangkan
pembagian keuntungan yang proporsional dalam pengelolaan setiap sumber
daya alam yang dieksploitir di daerah Riau. Kesemuanya itu untuk menuju
keadaan daerah Riau di era baru masa depan yang lebih baik.

A. Reformasi Administrasi dan Paradigma Perencanaan Pembangunan


Administrasi pembangunan diarahkan untuk mencapai tujuan
pembangunan nasional khususnya negara-negara berkembang. Ruang lingkup
disiplin tersebut bervariasi karena terdapat perbedaan dalam masalah dan
lingkungan antara negara berkembang yang satu dengan negara yang lain. Hal

1
K2i DI PROVINSI RIAU
TPK2-GUBRI 2003-2008

ini dapat dilihat pada variasi bentuk reformasi administrasi yang ada, khususnya
pada perencanaan administrasinya.
Reformasi administrasi adalah suatu sistem yang didesain untuk
memperkenalkan perubahan-perubahan dasar dalam administrasi negara
melalui transformasi sistem yang luas atau paling tidak melalui perbaikan salah
satu atau lebih elemen-elemen kunci seperti struktur administrasi, organisasi
territorial, manajemen anggaran, proses perencanaan, praktek-praktek
kepegawaian dan proses administrasi lainnya dalam menghadapi perubahan-
perubahan dari lingkungan administrasi negara.
Orientasi reformasi administrasi tersebut tidak lain adalah perubahan-
perubahan elemen-elemen kunci administrasi dan manajemen pembangunan
sebagai usaha menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang berasal
dari lingkungan, seperti lingkungan : alam, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan
fisik.
Perlu juga disadari bahwa reformasi administrasi saja, tidak cukup untuk
mencapai tujuan pembangunan nasional, karena faktor-faktor lain yang
merupakan faktor lingkungan juga turut menentukan pencapaian tujuan
pembangunan nasional. Faktor-faktor lingkungan yang dimaksud adalah :
kemauan politik, sikap dan perilaku birokratis, norma-norma budaya, struktur
ekonomi serta sistem penataan ruang dan fisik.
Meskipun pada tingkat nasional terdapat perubahan paradigma dalam
kebijakan dasar. Manifestasi dari perubahan paradigma pembangunan ini dapat
terlihat dalam penyusunan kembali ranking prioritas Trilogi Pembangunan, dari
stabilitas nasional, pertumbuhan ekonomi dan pemerataan, menjadi pemerataan,
pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional.
Delapan jalur pemerataan merupakan tindakan operasional dari distribusi
yang lebih merata, yaitu menciptakan akses yang sama dalam bidang
pemenuhan kebutuhan dasar, pelayanan pendidikan, kesehatan, pendapatan,
kesempatan kerja, kesempatan berusaha, partisipasi dalam pembangunan oleh
wanita dan kaum muda, distribusi yang merata usaha-usaha pembangunan, dan
akses yang sama dalam bidang keadilan.

2
K2i DI PROVINSI RIAU
TPK2-GUBRI 2003-2008

Akan tetapi, adanya gejala yang menunjukkan bahwa keadaan golongan


miskin belum banyak berubah dan adanya kerapuhan kita dalam menghadapi
pergolakan ekonomi global, krisis politik dan menurunnya kepercayaan kepada
Pemerintah, menunjukkan bahwa nilai-nilai pembangunan yang kita kejar selama
ini masih perlu dipikirkan kembali. Issue tentang nilai pembangunan yang baru,
yaitu pergeseran paradigma dalam strategi perencanaan pembangunan dari
strategi terpusat (center-down planning) menjadi perencanaan yang
mengakomodasi kepentingan pusat dan aspirasi dari bawah.
Pembangunan yang berpusat pada manusia tidak lain bertujuan untuk
meningkatkan kualitas manusia itu sendiri. Manusia dimotivasi supaya tidak
menjadi penerima pasif pelayanan publik, dan menjadi makhluk yang memiliki
kemampuan yang tinggi dalam memecahkan masalahnya sendiri dan
menghadapi berbagai tantangan.

B. Restrukturisasi Organisasi dan Tata Laksana Pemerintah Daerah


Sejalan dengan munculnya berbagai masalah dalam penyelenggaraan
pemerintahan di daerah, pemerintah kemudian merevisi PP Nomor 84 tahun
2000, melalui PP Nomor 8 tahun 2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat
Daerah. Terkait dengan itu, perlu dilakukan evaluasi secara terus menerus
terhadap organisasi perangkat daerah Provinsi Riau dalam kerangka PP Nomor
8 tahun 2003 agar dapat dibentuk organisasi yang reponsif dalam
penyelangaraan pelayanan publik.
Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 menyatakan Pemerintahan Daerah
adalah Kepala Daerah beserta perangkat daerah otonomi sebagai Badan
Eksekutif Daerah. Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tersebut menyebutkan
pula bahwa Pemerintah Daerah terdiri dari Perangkat Daerah, Dinas Daerah dan
Lembaga Teknis Daerah lainnya. Sekretariat Daerah adalah unsur staf
(supporting staff), dengan tugas pokok melayani (to serve, to think). Dinas
Daerah unsur lini (techno structure), dengan tugas pokok melaksanakan (to do,
to act), dan Lembaga Teknis Daerah dapat berupa unsur lini atau unsur staff

3
K2i DI PROVINSI RIAU
TPK2-GUBRI 2003-2008

auxiliary dengan tugas membantu pemimpin dan mendukung kegiatan kegiatan


unsur lini.
Sejalan dengan itu, maka organisasi perangkat daerah dibentuik
berdasarkan pertimbangan:
1. Kewenangan pemerintah yang dimiliki daerah;
2. Karakteristik, potensi, dan kebutuhan daerah (dituangkan dalam bentuk visi
dan misi daerah);
3. Kemampuan keuangan daerah;
4. Ketersedian sumber daya aparatur;
5. Pengembangan pola kerjasama antar Daerah dan/atau dengan pihak ketiga.
Terbitnya PP Nomor 8 tahun 2003 sebagai pengganti PP nomor 84 tahun
2000 membawa implikasi pada perubahan struktur organisasi pemerintahan
daerah. Hasil evaluasi yang berupa penilaian atas faktor dan indikator kondisi
objektif daerah akan mengakibatkan perubahan organisasi perangkat daerah
menjadi beberapa kemungkinan yaitu pembentukan unit baru, penggabungan
unit-unit yang sudah ada dan perubahan fungsi unit-unit yang sudah ada dan
perubahan fungsi unit-unit yang sudah ada baik pada Sekretariat Daerah, Dinas
Daerah dan Lembaga Teknis Daerah.
Implikasi kebijakan ini memberikan isyarat perbaikan dalam hal : uraian
jabatan organisasi pemerintah daerah sebaiknya tertuang dalam setiap Buku
Pedoman Organisasi di Sektariat daerah, Dinas, Badan dan Kantor. Uraian
jabatan selain mendeskripsikan tugas pokok dan fungsi bagian, bidang, sub
bidang, seksi, subseksi, dan urusan, serta uraian tugas setiap pejabat dan
pegawai. Uraian jabatan yang baik juga harus tergambar kondisi fisik kerja,
lingkungan kerja dan peralatan yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan.
Buku pedoman organisasi dilengkapi pula dengan struktur organisasi dan bagan
organisasi.
Selanjutnya ada beberapa usaha yang sebaiknya dilakukan Pemerintah
Daerah dalam hal spesifikasi jabatan yaitu mengembangkan sistem karier
aparatur berdasarkan analisis jabatan yang dilakukan secara terus menerus.
Pengembangan pegawai melalui pendidikan formal, penjenjangan, pelatihan dan

4
K2i DI PROVINSI RIAU
TPK2-GUBRI 2003-2008

kursus-kursus dalam rangka meningkatkan profesionalitas aparatur. Selain itu


perlu perencanaan aparatur dalam penerimaan, penempatan dan pemanfaatan
aparatur. Pendataan dan pengumpulan data dan informasi diikuti dengan
analisis jabatan sebaiknya terus dikembangkan secara terencana dan
berkelanjutan. Hal ini dikeranakan analisis jabatan merupakan pekerjaan pokok
dalam pengembangan sumber daya manusia aparatur, karena melakukan
Analisis Jabatan, baik Uraian Jabatan dan Spesifikasi jabatan Secara berkala
dan terus menerus, dapat berguna dan meberikan informasi tentang :
1. Keputusan Perekrutan dan Seleksi;
2. Penilaian Kinerja;
3. Evaluasi untuk Formasi dan persyaratannya, Penempatan, Mutasi dan
Promosi Jabatan
4. Kompensasi (Upah dan Gaji) dan kesejahteraan pegawai
5. Tuntutan Pendidikan dan Pelatihan
6. Motivasi, Tindakan Disiplin dan Hak-hak PNS
Selanjutnya perlu terus dilakukan secara optimal penataan dan
peningkatan kinerja Bagian Kepegawaian dan Badan Administrasi Kepegawaian
dan DIKLAT. Lakukan upaya pemenuhan kepangkatan, eselonisasi, dan
golongan pejabat yang mengisi formasi jabatan, melalui pendidikan formal,
penjenjangan, pelatihan, dan kursus-kursus serta persiapan kaderisasi pegawai
yang mengisi jabatan. Demikian pula halnya peningkatan Pembinaan,
Pengawasan, dan Kesejahteraan Pegawai.
Uraian jabatan di Sektariat Daerah, Dinas-dinas, Badan-badan, dan
Kantor-kantor sebaiknya dilengkapi. Tugas pokok dan fungsi setiap struktur
dibukukan dengan baik. Begitu pula dengan uraian pekerjaan setiap pegawai
juga sebaiknya disusun secara sistematik dan jelas ke dalam suatu buku
pedoman organisasi. Dengan demikian setiap pejabat dan pegawai dapat
sepenuhnya memahami akan tugas dan tanggung jawabnya dalam organisasi.
Apabila jabatan dan pekerjaan ini tidak diuraikan secara lengkap dan baik maka
pegawai sulit untuk mengembangkan diri ; inovasi maupun motivasi dan bahkan
tidak ada standar kinerja.

5
K2i DI PROVINSI RIAU
TPK2-GUBRI 2003-2008

Dalam hal mengukur spesifikasi jabatan Dinas, Badan dan Kantor


Kelembagaan Pemerintah Daerah Provinsi, dapat dilihat dari tiga kelompok
indikator yaitu : pertama, keterampilan, kecakapan, pengetahuan dan
kemampuan; kedua, pendidikan, pelatihan, kursus, pengalaman; dan ketiga,
Pangkat, Eselon, dan Golongan.
Dengan ditetapkannya PP Nomor 8 tahun 2003 tentang Pedoman
Organisasi Perangkat Daerah, maka perlu dilakukan evaluasi secara terus
menerus terhadap organisasi perangkat daerah dalam kerangka PP Nomor 8
tahun 2003 agar dapat dibentuk organisasi yang reponsif dalam penyelangaraan
pelayanan publik.

C. Sistem Pelayanan Terpadu dan Deregulasi Perizinan Investasi


Pemberian pelayanan umum oleh aparatur pemerintah kepada
masyarakat adalah merupakan perwujudan dari fungsi aparatur negara sebagai
abdi masyarakat di samping sebagai abdi negara. Agar tercipta keseragaman
pola dan langkah di bidang pelayanan umum oleh aparatur pemerintah, perlu
adanya suatu sistem pelayanan yang efektif dan efisien.
Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dalam Surat
Keputusannya No. 81 Tahun 1993 Tanggal 25 November 1993 menegaskan
bahwa pelayanan umum dilaksankan dalam suatu rangkaian kegiatan terpadu
yang bersifat sederhana, terbuka, lancar, tepat, lengkap, wajar dan terjangkau.
Dalam hal penetapan tatalaksana pelayanan perizinan di bidang usaha,
selain mengacu pada pedoman S.K. MENPAN No. 81 Tahun 1993 juga tetap
berpedoman pada Intruksi Presiden Nomor 5 Tahun 1984 tentang Pedoman
Penyederhanaan dan Pengendalian Perizinan di bidang usaha.
Dalam pengembangan ekonomi daerah, selain faktor modal dan teknologi
juga adalah faktor tenaga kerja, kemampuan pasar, persaingan, situasi politik,
kepastian hukum dan faktor perizinan. Kesemuanya itu merupakan penentu
efektivitas, produktivitas dan efisiensi dalam berusaha. Setip pelaku ekonomi
akan mempertimbangkan faktor tersebut dalam berinvestasi. Sistem pelayanan
perizinan berinvestasi yang terpusat menghasilkan efisensi dalam pelayanan

6
K2i DI PROVINSI RIAU
TPK2-GUBRI 2003-2008

publik. Merupakan salah satu kunci keberhasilan pembangunan daerah, karena


dapat meningkatkan minat, gairah berinvestasi pada akhirnya meningkatkan
perekonomian, pelayanan kepada publik dan pendapatan asli daerah.
Dalam rangka menarik minat investor di era globalisasi dan perdagangan
bebas, membangun sistem perizinan berinvestasi di Daerah dalam rangka
menunjang pelaksanaan otonomi daerah merupakan salah satu dimensi
terpenting. Mengingat, investor dalam menamkan modalnya selalu
mempertimbangkan faktor-faktor ekonomi, misalnya : selain faktor modal dan
teknologi juga adalah faktor tenaga kerja, kemampuan pasar, persaingan, situasi
politik, kepastian hukum dan faktor perizinan. Kesemuanya itu merupakan
penentu efektivitas, produktivitas dan efisiensi dalam berusaha.
Untuk mengantisipasi dan merealisasikan pelayanan yang menggairahkan
bagi investor, Pemerintah Daerah Provinsi harus mampu menciptakan suasana
yang kondunsif dan memberi kemudahan dalam bidang perizinan berinvestasi.
Sistem pelayanan perizinan yang berlaku saat ini, pada kenyataannya
dirasakan masyarakat masih ada hambatan birokratis. Terkesan dalam
kebijakannya pemerintah sangat dilematis. Disatu sisi keberadaan investor
merupakan salah satu sumber penyumbang penerimaan Pendapatan Asli
Daerah, disisi yang lain investor merasa keberatan jika terlalu banyak jenis
pemungutan, baik yang resmi maupun yang tidak resmi. Sistem yang demikian
tentunya harus segera dilakukan penyempurnaan. Hal ini ditandai dengan :
1. Prosedur pengurusan izin yang berbelit-belit dan terlalu banyak instansi yang
terlibat;
2. Biaya yang terlalu tinggi;
3. Persyaratan yang tidak relevan;
4. Waktu penyelesaian izin yang terlalu lama;
5. Kinerja pelayanan yang sangat rendah.
Deregulasi dan debirokratisasi pelayanan terpadu (One Service Stop) oleh
beberapa badan, dinas, Kantor terkait dalam bidang perizinan maupun dalam
bidang yang lain merupakan hal yang sangat mendesak dalam kaitannya
mempercepat pembangunan ekonomi kerakyatan dan pengentasan kemiskinan.

7
K2i DI PROVINSI RIAU
TPK2-GUBRI 2003-2008

Secara umum Provinsi Riau memiliki kekayaan sumber daya alam dan
budaya yang dapat dikembangkan menjadi usaha unggulan daerah dalam
rangka mensejahterakan rakyatnya.
Sejalan dengan misi meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan
pemanfaatan sumber daya alam secara maksimal diperlukan biaya investasi
yang sangat besar, yang tidak mungkin dilakukan Pemerintah Provinsi Riau
sendiri, dalam hal ini Pemerintah Provinsi Riau harus sher dengan pemerintah
Pusat, Kabupaten/Kota dan pihak investor.
Pembentukan sitem unit pelayanan terpadu izin berinvestasi dan kegiatan
promosi potensi daerah yang dilakukan secara terus menerus dalam jangkauan
luas ke seluruh manca negara di era ekonomi pasar dan perdagangan dunia
yang dilakukan dengan konsep E-Government mutlak mesti dilakukan daerah
dalam rangka Provinsi Riau meraih keunggulan kompetitif dalam jangka panjang.
Sistem unit pelayanan terpadu izin berinvestasi dan penerapan konsep E-
Government tentunya didukung oleh adanya sistem pengelolaan data (data
base).
Investasi akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan PDRB daerah,
pembukaan dan perluasan lapangan kerja serta meningkatkan pendapatan
masyarakat. Oleh karena itu segala faktor yang mendorong minat investor ke
suatu daerah Provinsi Riau harus dilakukan deregulasi perizinan sebagai bagian
dari kunci keberhasilan pembangunan.
Hal-hal yang harus diperhatikan untuk menarik minat investor antara lain :
apabila daerah dapat memberikan keamanan dan kenyamanan berinvestasi dan
pelayanan yang prima termasuk informasi potensi sumber daya, dan kemudahan
dalam pengurusan izin. Hal itu dapat dilakukan dengan cara : Pertama,
pengumpulan dan pengolahan data base tentang potensi daerah; kedua,
Pembentukan sistem unit pelayanan terpadu izin berinvestasi, disertai
pemangkasan persyaratan yang tidak relevan dan pembebasan pemungutan
biaya; dan ketiga, promosi potensi daerah berkaitan denagan investasi
menggunakan konsep e-Government termasuk website secara on line

8
K2i DI PROVINSI RIAU
TPK2-GUBRI 2003-2008

Selain dari kemudahan mendapatkan izin dengan memangkas beberapa


persyaratan yang kurang perlu, perlu pula pemberian insentive lain dan
membebaskan segala biaya. Mendapatkan pancing lebiah baik dari pada
mendapat beberapa ekor ikan, artinya pendapatan dari biaya izin untuk PAD
tidak seberapa apabila dibandingkan dengan nilai tambah yang diperoleh
daerah jika meningkatnya investasi.

D. E-Goverment dan Data Base


Secara sederhana, E-Government dapat didefinisikan sebagai
penyelenggaraan pemerintahan yang mampu mendorong dan memfasilitasi
hubungan yang saling mendukung, selaras dan adil antara masyarakat,
dunia usaha dan pemerintah, dengan memanfaatkan teknologi informasi,
telekomunikasi, dan webset atau internet.
Dalam mendukung penyelenggaraan pemerintahan daerah E-
Government berfungsi antara lain:
1. Mengoptimasikan pendapatan daerah yang dilaksanakan secara
transparan, misalkan: Sistem Pelayanan Pajak dan Retribusi daerah,
Sistem Pengelolaan Sumber Daya Alam, Sistem Kepemilikan Tanah, dan
sebagainya. Ketika data potensi sumberdaya wilayah telah tertangani
dengan baik melalui sistem E-Government yang dikembangkan, maka
kesempatan akses ke perekonomian global akan meningkat sangat
signifikan. Pada gilirannya hal tersebut akan meningkatkan kesejahteraan
wilayah/Daerah.
2. Meningkatkan citra dan kinerja aparatur pemerintahan daerah melalui
peningkatan efisiensi dan kualitas pelayanan publik, misalnya: Sistem
Layanan Kependudukan (KTP, Kartu Keluarga, Akta Lahir, Pernikahan, dan
lain-lain), Sistem Layanan Perijinan Usaha, Sistem Informasi
Keimigrasian, Sistem Informasi Izin Mengemudi dan sebagainya).
3. Meningkatkan efisiensi administrasi kepemerintahan dan DPRD. Ada
kelompok aplikasi yang dapat dimanfaatkan di pemerintahan maupun
DPRD, misalnya: Sistem Pengelolaan Kepegawaian, Sistem Pelaporan,

9
K2i DI PROVINSI RIAU
TPK2-GUBRI 2003-2008

Sistem Keuangan, Sistem Referensi On-line dan sebagainya. Melalui


pemanfaatan sistem yang terpadu, kerjasama pemerintah dan DPRD akan
dapat lebih efisien dan sinergis, termasuk dalam menampung dan
melaksanakan aspirasi rakyat.
4. Meningkatkan efektivitas perencanaan dan pengembangan daerah dengan
memanfaatkan dukungan Sistem Informasi Potensi dan Kemajuan wilayah
yang terpadu, akurat dan up-to-date.
Beberapa sistem pelayanan publik yang dapat dimanfaatkan dari E-
Government, antara lain :
1. Sistem Administrasi Perkantoran (SIAP)
Sistem Administrasi Perkantoran (SIAP) adalah aplikasi sistem komputer
yang dibangun untuk mekanisme kontrol, koordinasi, komunikasi dan
penjadwalan pekerjaan yang akurat di lingkungan pemerintah daerah. SIAP
merupakan Paket Layanan Administrasi Perkantoran dan dibuat berdasarkan
web (web-based application). Pemanfaatan SIAP mempunyai sifat sebagai alat
bantu untuk mempermudah dan memperbaiki cara bekerja yang telah ada
terutama menyangkut komunikasi, koordinasi dan kerjasama antar pegawai di
lingkungan Pemerintah Daerah. Pengembangan atau penggabungan paket-
paket aplikasi sistem komputer yang telah ada, baik yang telah terimplementasi
maupun yang masih berupa konsep juga dimungkinkan.
Dengan adanya aplikasi siap ini maka diharapkan akan mempercepat
proses pekerjaan dan meningkatkan mutu dari pekerjaannya di lingkungan
Pemerintah Daerah.

2. Sistem Informasi Eksekutif (SIE)


Sistem ini berfungsi untuk membantu pemerintah, khususnya para
eksekutif, mendapatkan informasi yang cepat dan tepat sesuai kebutuhan,
berdasarkan data yang ada di Bank Data SIMDA. Tujuan adanya sistem ini agar
para eksekutif yang terkait, dapat meningkatkan kualitas kebijakan dan
keputusan serta peraturan berdasarkan informasi yang akurat sehingga
memungkinkan pembuatan perencanaan strategis yang lebih baik dan

10
K2i DI PROVINSI RIAU
TPK2-GUBRI 2003-2008

memungkinkan pimpinan memahami apa yang terjadi di wilayahnya. Diharapkan


pula dengan didukung oleh informasi yang akurat dan cepat maka manfaat dari
kebijakan itu akan tepat sasaran. Hal ini pada akhirnya akan sangat membantu
pemerintah dan masyarakatnya dalam menjalankan dan melaksanakan
peraturan tersebut. Aplikasi eksekutif dapat berfungsi secara maksimal apabila
system pendukungnya, berupa sistem aplikasi operasional dan sistem
pengelolaan data telah berjalan dengan baik.

3. Sistem Informasi Kepegawaian (SIPEG)


Merupakan suatu sistim yang mengelola data kepegawaian pemerintah
daerah. Aplikasi ini merupakan salah satu modul dari Sistem Informasi
Manajemen Daerah (SIMDA) yang secara data saling berintegrasi dan dapat di
manfaatkan oleh modul-modul lainnya.
Aplikasi ini dikelola oleh Bagian Kepegawaian Daerah, dimana seluruh
urusan kepegawaian dilakukan. Melalui jaringan komputer aplikasi ini dapat
dihubungkan dengan aplikasi kepegawaian yang ada pada instansi-instansi lain
sesuai dengan keperluan. SIPEG dioperasikan melalui Jaringan komputer
(intranet) sehingga dapat diakses oleh seluruh pegawai (dengan tingkat
keamanan yang disesuaikan), dengan database terpusat yang dikelola oleh
instansi sektoral terkait atau oleh Bagian Kepegawaian.

4. Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD)


SIKD merupakan suatu sistem aplikasi yang berfungasi untuk mengelola
data dan informasi keuangan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) Pemerintahan Daerah. Aplikasi ini dalam pengoperasiannya dikelola
oleh instansi yang berwenang dalam pengelolaan keuangan daerah, dalam hal
ini Biro Keuangan. Melalui jaringan computer unit-unit lain yang terkait seperti
Kas Daerah, BPD atau Dinas terkait dapat mengakses sesuai dengan tugas dan
wewenangnya. Aplikasi ini merupakan salah satu modul dari Sistem Informasi
Manajemen Daerah (SIMDA) yang secara data saling berintegrasi dan dapat di
manfaatkan oleh modul-modul lainnya. Data-data dalam aplikasi ini dapat

11
K2i DI PROVINSI RIAU
TPK2-GUBRI 2003-2008

digunakan misalnya oleh Sistem Informasi Eksekutif, sehingga Pimpinan


Pemerintahan atau DPRD dapat memonitor target dan realisasi pendapatan dan
belanja daerah.

5. Sistem Logistik Daerah (SILOGDA)


Merupakan suatu sistem aplikasi yang mengelola Aset/logistik yang
dikuasai oleh pemerintahan daerah. Aplikasi ini merupakan salah satu modul dari
Sistem Informasi Manajemen Daerah (SIMDA) yang secara data saling
berintegrasi dan dapat di manfaatkan oleh modulmodul lainnya. Khusus aplikasi
ini, yang berwenang dalam pengoperasiannya adalah instansi yang berwenang
dalam pengelolaan aset/logistik daerah, misalnya Biro/ Bag Perlengkapan.
Namun dalam manajemen pemeliharaan aset/logistik bila telah di distribusikan
ke instansi yang terkait maka menjadi tanggungjawab instansi tersebut. Juga
dalam beberapa kasus, terutama dalam pengadaan rutin biasanya wewenang
pengadaannya di serahkan kepada instansi terkait. Untuk mendukung hal
tersebut maka sebagai satu kesatuan dari Sistem Manajemen Aset dan Logistik
Daerah, di setiap instansi dibanguna aplikasi pendukung yang khusus
menangani laporan pemeliharaan aset/logistik tersebut dan juga laporan
pengadaan barang-barang rutin di instansi.

6. Sistem Arsip Daerah ( SIARDA )


Merupakan suatu sistem aplikasi yang berfungsi untuk mengelola data
surat menyurat dan kearsipan di lingkungan Pemerintahan Daerah, termasuk
didalamnya adalah pengelolaan Sistem Informasi Manajemen Pengarsipan
Dokumen Elektronik (SIMPDE). Aplikasi ini dalam pengoperasiannya dikelola
oleh instansi yang berwenang dalam pengelolaan arsip atau administrasi, dalam
hal ini Biro Umum dan Kantor Pengelolaan Data Elektronik (KPDE) atau instansi
terkait lainnya. Pada masing-masing instansi, aplikasi ini dapat dipasang dan
terintegrasi dengan aplikasi yang ada pada Biro Umum. Melalui jaringan
komputer seluruh kearsipan dapat dikelola dengan lebih cepat cermat dan
teratur. Pihak-pihak yang berwenang akan dapat mengakses sesuai dengan

12
K2i DI PROVINSI RIAU
TPK2-GUBRI 2003-2008

tugas dan wewenangnya. Aplikasi ini merupakan salah satu modul dari Sistem
Informasi Manajemen Daerah (SIMDA) yang secara data saling berintegrasi dan
dapat di manfaatkan oleh modulmodul lainnya. Data-data dalam aplikasi ini
dapat digunakan misalnya oleh Sistem Informasi Eksekutif, sehingga Pimpinan
Pemerintahan atau yang berwenang dapat melihat kembali atau mencari arsip
atau surat yang diperlukan dengan mudah dan cepat.

7. Sistem Informasi Organisasi Daerah (SIORGDA)


SIORGDA adalah aplikasi untuk mengelola informasi tentang organisasi
dan lembaga/instansi yang ada dimana aplikasi ini digunakan, baik mengenai
dasar hukum, tupoksi atau informasi lain yang berhubungan dengan struktur
organisasi sesusai dengan SOTK pemerintah daerah setempat Aplikasi ini
merupakan salah satu modul dari Sistem Informasi Manajemen Daerah (SIMDA)
yang secara data saling berintegrasi dan dapat di manfaatkan oleh modulmodul
lainnya. Data-data dalam aplikasi ini dapat digunakan misalnya oleh Sistem
Informasi Eksekutif, sehingga Pimpinan Pemerintahan dengan mudah dapat
melihat data-data instansi, organisasi yang ada dibawah organisasi yang
dipimpinnya. User yang berwenang dapat melihat dasar hukum, tupoksi atau
data lain yang berhubungan dengan organisasi yang bersangkutan.

8. Sistem Informasi Kependudukan (SIMDUK)


Sistem ini merupakan salah satu modul dalam SIMDA yang digunakan
untuk manajemen kependudukan di suatu daerah. Data-data yang dikelola mulai
dari data dasar mengenai kependudukan, seperti nama, alamat, jenis kelamin,
pendidikan sampai dengan sebararan pendapatan. SIMDUK bertujuan untuk
dijadikan sebagai database terpusat di Pemerintah daerah mengenai
kependudukan. Sehingga sistem ini bisa juga di dihubungkan dan sebagai salah
satu data dasar bagi SIMTAP (misal untuk pelayanan KTP) SIMDUK ini.

13
K2i DI PROVINSI RIAU
TPK2-GUBRI 2003-2008

9. Sistem Pelayanan Satu Atap (SIMTAP)


Sistem Pelayanan Satu Atap merupakan sistem perijinan, untuk mengatur
semua perijinan (atau sebagian, sesuai keinginan) yang berhubungan dengan
pemerintahan, mulai dari KTP,IMB sampai izin usaha dapat dilayani pada satu
tempat / atap. Dengan sistem ini pelayanan masyarakat dapat dilayani secara
optimal dan memuaskan. Sistem ini sangat menunjang kegiatan masyarakat dan
perusahaan swasta untuk ikut berperan dalam membangun daerah. Merupakan
aplikasi pelayanan masyarakat untuk melayani berbagai jenis system pelayanan
masyarakat di lingkungan Pemerintah Kabupaten atau Kota, yang secara fisik
dilakukan di satu tempat atau satu gedung. Petugas loket melakukan pelayanan
kepada masyarakat menggunakan aplikasi SIMTAP. Melalui jaringan intranet,
aplikasi ini terhubung dengan unit atau instansi terkait yang memiliki wewenang
dalam mengeluarkan/menerbitkan suatu surat izin atau surat keterangan lain.
Aplikasi ini dihubungkan dengan Sistem Pelayanan Informasi Masyarakat
(SPIM), sehingga masyarakat yang berkepentingan dapat memonitor status dari
process pengurusan surat izin yang bersangkutan yang sedang dilakukan.

10. Sistem Pengelolaan Data Unggulan (SP Unggulan)


Aplikasi ini berfungsi untuk mengelola data unggulan yang terdapat di
daerah, yang akan kelola dan diinformasikan pada masyarakat, kepada eksekutif
atau kepada pihak pihak yang berkepentingan. Data yang diberikan disesuaikan
dengan kewenangan dari user yang melihat, serta sesuai dengan kerahasiaan
dan kegunaan dari data yang akan dikelola atau diinformasikan. Aplikasi ini
dikelola oleh dinas atau instansi terkait yang memiliki wewenang dalam
mengelola data-data tersebut, sehingga kebenaran dan keterkinian data yang
bersangkutan akan terjaga. Juga informasi yang tersebar tidak simpang siur dan
jelas karena dikelola ‘langsung’ oleh dinas/instansi yang bersangkutan.

11. Sistem Pengelolaan Data Penunjang (SP Penunjang)


Aplikasi ini berfungsi untuk mengelola data penunjang yang terdapat di
daerah, yang akan kelola dan diinformasikan pada masyarakat, kepada eksekutif

14
K2i DI PROVINSI RIAU
TPK2-GUBRI 2003-2008

atau kepada pihakpihak yang berkepentingan. Data penunjang ini merupakan


data yang bersifat dasar yang diperlukan untuk pengolahan pusat bank data
dalam SIMDA, seperti untuk SIE, SIMDUK, SI Promosi Daerah. Sifat dari aplikasi
ini adalah sebagai komplementer bagi sistem informasi lainnya. Aplikasi ini
dikelola oleh dinas atau instansi terkait yang memiliki wewenang dalam
mengelola data-data tersebut, sehingga kebenaran dan keterkinian data yang
bersangkutan akan terjaga. Juga informasi yang tersebar tidak simpang siur dan
jelas karena dikelola ‘langsung’ oleh dinas/instansi yang bersangkutan.

12. Sistem Perencanaan Pembangunan (SPP)


Sistem ini berfungsi untuk membantu Pemerintah daerah dalam
merencanakan pembangunan berdasarkan sektor pembangunan yang
dicanangkan, mulai konsep kerja, mitra kerja sampai perencanaan sumber
pendanaan pembangunan, berdasarkan Bank Data SIMDA. Tujuan adanya
sistem ini agar para eksekutif yang terkait, dapat meningkat kualitas
perencanaan pembangunan dan mensinergikan agenda pembangunan di
lingkungan Pemerintah Daerah Dengan adanya sistem ini diharapkan dapat
meningkatkan koordinasi pembangunan dari masing-masing instansi terkait. Hal
ini dapat direalisasi dengan adanya SIMDA yang mampu mengintegrasikan
keseluruhan sistem-sistem di lingkungan Pemerintah Daerah.

13. Sistem Informasi Promosi Daerah (PROMODA)


Sistem ini berfungsi untuk mempromosikan potensi dan produksi yang
ada didaerah, sehingga dapat menarik minat para investor untuk berinvestasi di
daerah. Juga sekaligus memperluas target pasar bagi produk yang ada di
wilayah tersebut. Peranan pokok dari Sistem Promosi pelayanan terpadu ini
adalah sebagai suatu institusi yang dapat menjembatani kesenjangan antara
kekurangsiapan organisasi dengan tuntutan pelayanan paripurna dari kalangan
dunia usaha. Lebih jauh lagi sistem ini dapat diterapkan secara bertahap dan
modular tanpa kehilangan arah menuju suatu pelayanan yang terpadu dan
paripurna.

15
K2i DI PROVINSI RIAU
TPK2-GUBRI 2003-2008

Adapun maksud dari pembangunan sistem promosi ini adalah:


a. Menelusuri, mempelajari secara seksama dan membuat referensi dasar yang
praktis dan bermutu mengenai potensi daerah bagi Pemda serta institusi lain
yang berkepentingan baik swasta, pemerintah maupun kalangan
internasional mengenai daerah tersebut.
b. Membangun strategi komunikasi dasar untuk promosi.
c. Meningkatkan kualitas pelayanan dan informasi daerah secara praktis,
terpadu, berkualitas dan mudah diakses oleh berbagai kalangan yang
berkepentingan khususnya yang berkaitan dengan pariwisata dan dunia
usaha.
d. Membangun suatu pondasi yang praktis namun berkualitas guna
pengembangan berbagai layanan maupun sistem aplikasi lain berkaitan
dengan Perdagangan maupun administrasi pemerintahan.

14. Sistem Pelayanan Informasi Masyarakat (SPIM)


Di beberapa daerah dikenal juga dengan istilah Sistem Informasi
Manajemen Hubungan Masyarakat (SIMHUMAS). Sistem ini berfungsi sebagai
sarana utama bagi pemerintahan dalam memberikan informasi kepada
masyarakat tentang pengelolaan pemerintahan serta informasi lain seputar
pemerintahan yang layak diberikan kepada masyarakat Tujuan adanya sistem ini
agar para eksekutif yang terkait, dapat meningkatkan kualitas kebijakan dan
keputusan serta peraturan berdasarkan informasi yang akurat. Dengan adanya
sistem ini maka kondisi pemerintah yang akuntabilitas serta terkontrol oleh
masyarakat dapat direalisasikan. Selain informasi yang tersebut, melalui sistem
ini dapat pula memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan
kewenangan dari daerah.

15. Sistem Program dan Proyek Daerah (SIPRODA)


Di beberapa Pemerintah Daerah dikenal juga dengan istilah Sistem
Informasi Pengendalian Kegiatan (SIPK). Merupakan suatu sistem aplikasi yang
membantu dalam fungsi pengendalian proyek-proyek yang terdapat pada

16
K2i DI PROVINSI RIAU
TPK2-GUBRI 2003-2008

pemerintahan. Aplikasi ini merupakan salah satu modul dari Sistem Informasi
Manajemen Daerah (SIMDA) yang secara data terintegrasi dengan modul-modul
lainnya . Struktur data yang terintegrasi ini, dapat dimanfaatkan pada modul-
modul yang lain untuk diolah berdasarkan kebutuhan. Tetapi "independancy"
aplikasi ini tetap terjaga sehingga berkemampuan juga untuk berdiri sendiri dan
tidak tergantung dengan modul yang lain. Aplikasi ini, dapat dioperasikan
penggunaannya pada instansi yang berwenang misalnya Biro Perencanaan dan
Pengendalian Proyek Pemerintah Daerah. Dengan sifat "indepedancy" yang
terdapat pada aplikasi ini, memungkinkan penggunaannya pada lembaga-
lembaga pemerintahan lainnya yang membutuhkan suatu sistem pengendalian
proyek.

16. Sistem Informasi Wilayah Daerah (SIWILDA)


Di beberapa Pemerintah Daerah dikenal juga dengan istilah Sistem
Informasi Geografis (SIG). SIWILDA merupakan aplikasi untuk mengelola data
yang berhubungan dengan wilayah suatu daerah dimana aplikasi ini digunakan.
Aplikasi ini merupakan salah satu modul dari Sistem Informasi Manajemen
Daerah (SIMDA) yang secara data saling berintegrasi dan dapat di manfaatkan
oleh modul modul lainnya. Data-data dalam aplikasi ini dapat digunakan
misalnya oleh Sistem Informasi Eksekutif, sehingga Pimpinan Pemerintahan atau
yang berwenang dapat melihat wilayah mana saja yang merupakan bagian dari
daerah yang bersangkutan. Aplikasi ini juga dapat di-integrasikan dengan GIS
(Geographical Information System) yang menampilkan peta dari wilayah-wilayah
yang ada.
Dalam rangka memenuhi kebutuhan data dan informasi webset atau
internet tersebut diatas perlu dilakukan pengumpulan data dan informasi ke
dalam data base. Data dan informasi tersebut berupa :
1. Data geogarfis (peta) sampai level kecamatan, meliputi batas
administratif, Pemerintahan, kota, pelabuhan, pelabuhan udara, jalan raya
dan sungai.

17
K2i DI PROVINSI RIAU
TPK2-GUBRI 2003-2008

2. Profil desa, meliputi data geografi, kependudukan, sosial, ekonomi dan


infrastruktur.
3. Pertanian sampai dengan tingkat kecamatan, meliputi:
a. Tanaman pangan dan pemakaian pupuk
b. Hortikultura
c. Perkebunan
d. Peternakan
e. Kehutanan
f. Perikanan
4. Profil ekonomi Propinsi dan Kabupaten
5. Industri
6. Pertambangan Umum

17. Sistem Terbuka Perencanaan Strategis


Kenyataannya selama ini dalam praktek, perencanaan pembangunan
daerah hanyalah semata-mata merupakan penjawantahan keinginan
pemerintahan Kabupaten/Kota, Provinsi dan Pusat, atas dasar suatu
kepentingan dan bukan berdasarkan nilai efektivitas dan efisiensi dari suatu
perencanaan pembangunan.
Pendekatan pembangunan daerah selama ini tidak menurut konteksnya.
Sesungguhnya pembangunan yang kontekstual tidak lain adalah suatu
pembangunan yang didasarkan kepada setting setempat, dengan
mengakomudasi faktor-faktor lingkungan. Fokus utamanya mengelola dan
memobilisasi sumber-sumber yang terdapat di komunitas untuk memenuhi
kebutuhan mereka dan menyesuaikan dengan kondisi lokal. Disinilah arti peting
suatu kegiatan pra kondisi perencanaan strategis sebelum perumusan rencana
strategis pembangunan daerah, karena hasil kegiatan pra kondisi perencanaan
strategis akan memberikan informasi dan data kepada perencana sehingga
rumusan rencana strategis akan lebih sesuai dengan situasi dan kondisi internal
dan eksternal didaerah. Dengan demikian implementasi program dan kegiatan

18
K2i DI PROVINSI RIAU
TPK2-GUBRI 2003-2008

pembangunan akan lebih jelas tujuan dan sasarannya, dan pada akhirnya
pembangunan daerah akan berhasil.
Dalam proses pembangunan daerah selama ini belum optimal memberikan
pembelajaran kepada masyarakat lokal. Proses pembelajaran maksudnya dalam
melaksanakan pembangunan diperlukan adanya interaksi kolaboratif antara
birokrasi dan komunitas, dimulai dari proses perencanaan sampai kepada
evaluasi program dan kegiatan dengan mendasarkan diri pada sikap saling
belajar. Dengan demikian pada suatu saat masyarakat akan lebih diberdayakan
karena lebih mengerti akan tugas dan tanggung jawabnya, sehingga tugas
pemerintah dan ketergantungan masyarakat akan menjadi berkurang.
Dalam tahap pengembangan dan penerapannya, ternyata system terbuka
perencanaan strategis telah memberikan napas baru dan darah segar pada
organisasi publik dan nirlaba (sektor ketiga). Bryson (1991:49) menyatakan
bahwa manakala perencanaan strategis diterapkan secara tepat dalam
lingkungan publik dan nirlaba, perencanaan strategis memberikan sekumpulan
konsep, prosedur, dan alat untuk merumuskan dan mengimplementasikan
strategi. Selanjutnya Bryson (1991:50) menyatakan pula bahwa proses
perencanaan strategis yang responsif terhadap situasi yang berbeda dalam
sektor publik dan nirlaba harus dikembangkan dan diuji.
Beberapa konsep manajemen dan perencanaan strategis yang telah
dikembangkan di organisasi sektor swasta, publik dan nirlaba (sektor ketiga)
sebagaimana yang dikemukakan di atas, ternyata dapat dijadikan landasan
pengembangan pada organisasi sektor publik. Dengan demikian
penggunaannya lebih efektif dibandingkan dengan pendekatan perencanaan
yang dipraktekkan sekarang yang masih dirasakan terlalu sentralistis (top-
down).
Langkah-langkah sistem terbuka perencanaan strategis dalam konteks di
Provinsi Riau adalah sebagai berikut :
I. Kegiatan Pra Kondisi Perencanaan Strategis, terdiri dari :
1). Analisis Potensi Alam Daerah
2). Analisis Potensi Masyarakat Daerah

19
K2i DI PROVINSI RIAU
TPK2-GUBRI 2003-2008

3). Analisis Keadaan Pemerintahan Daerah


4). Analisis Sumber Pendapatan (Penerimaan Keuangan) Daerah
5). Analisis Kebutuhan Masyarakat Daerah
6). Analisis Kebijakan Pemerintah Pusat
7). Analisis Kebutuhan Pasar dari Sumber Daerah
8). Analisis Perkembangan Teknologi Daerah, dan
9). Analisis Investasi Pemerintah dan Swasta Nasional di daerah

II. Perumusan Rencana Strategis, terdiri dari :


1). Organisasi Perencanaan
2). Merumuskan Tujuan
3). Merumuskan Sasaran
4). Merumuskan Program dan Kegiatan
5). Organisasi Pelaksana Program dan Kegiatan
6). Sumber-sumber Daya yang Diperlukan, dan
7). Pengambilan Keputusan Strategis

III. Implementasi Program dan Kegiatan Pembangunan Daerah, yaitu :


A. Pengorganisasian Sumber-sumber Daya Pembangunan, terdiri dari :
1). Program Kerja Operasional
2). Pembentukan/Penunjukan Organisasi Pelaksana (Unit Kerja)/Tim
3). Pembagian Kerja
4). Pemberian/Pelimpahan Wewenang
5). Pertanggungjawaban
6). Koordinasi
B. Penggerakan/Pengendalian Sumber-sumber Daya Pembangunan, terdiri
dari :
1). Kepemimpinan
2). Sikap Mental Aparat
3). Disiplin
4). Motivasi

20
K2i DI PROVINSI RIAU
TPK2-GUBRI 2003-2008

5). Komunikasi
6). Hubungan Baik (Human Relations)
C. Evaluasi dan Pengawasan Program dan Proyek Pembangunan, terdiri
dari :
1). Menetapkan Ukuran (Standarisasi)
2). Mengevaluasi dan Penilaian
3). Melakukan Koreksi dan Perbaikan
2. Pencapaian Tingkat Keberhasilan Pembangunan Daerah , yaitu :
1. Kualitas Sumber Daya Manusia Masyarakat
2. Perekonomian Masyarakat
3. Fasilitas Umum
4. Keadaan Lingkungan Hidup
5. Keadilan Sosial Masyarakat
6. Partisipasi Masyarakat, dan
7. Pendapatan Keungan

Konsep sistem terbuka perencanaan strategis dalam pembangunan


perdesaan yang kontekstual tersebut apabila diterapkan pada perencanaan
pembangunan perdesaan akan lebih efektif dan efisien. Dengan pertimbangan
bahwa konsep sistem terbuka perencanaan strategis dalam pembangunan
perdesaan yang kontekstual memberikan nilai tambah, yaitu : Pertama,
memperlihatkan adanya reformasi administrasi dalam perbaikan sistem
perencanaan pembangunan yang selama ini telah dipolakan dalam peraturan
perundangan; Kedua, perencanaan pembanguan perdesaan dirumuskan atas
dasar nilai efektivitas dan efisiensinya bukan atas dasar kepentingan; Ketiga,
pendekatan pembangunan perdesaan dirasakan lebih kontekstual dengan
anggapan bahwa faktor-faktor lingkungan adalah penting, mengingat selama ini
faktor-faktor lingkungan kurang dipertimbangkan; Keempat, dalam proses
pembangunan perdesaan menekankan kepada adanya proses pembelajaran
kepada masyarakat lokal; dan Kelima, dengan sistem terbuka perencanaan
strategis selalu berusaha menjaga keberadaan dan keberlanjutan melalui

21
K2i DI PROVINSI RIAU
TPK2-GUBRI 2003-2008

kestabilan situasi dan kondisi internal dan eksternal secara proporsional


(komparatif), holistik, intrasektoral, dan fungsional.

E. Sistem Terbuka Perencanaan Strategis Dalam Pembangunan Daerah


yang Kontekstual

Dalam tahap pengembangan dan penerapannya, ternyata konsep


perencanaan strategis telah memberikan napas baru dan darah segar pada
organisasi publik dan nirlaba (sektor ketiga). Bryson (1991:49) menyatakan
bahwa manakala perencanaan strategis diterapkan secara tepat dalam
lingkungan publik dan nirlaba, perencanaan strategis memberikan sekumpulan
konsep, prosedur, dan alat untuk merumuskan dan mengimplementasikan
strategi. Selanjutnya Bryson (1991:50) menyatakan pula bahwa proses
perencanaan strategis yang responsif terhadap situasi yang berbeda dalam
sektor publik dan nirlaba harus dikembangkan dan diuji.
Beberapa konsep manajemen dan perencanaan strategis yang telah
dikembangkan di organisasi sektor swasta, publik dan nirlaba (sektor ketiga)
sebagaimana yang dikemukakan di atas, ternyata dapat dijadikan landasan
penelitian pada organisasi sektor publik. Tampa terkecuali termasuk pula pada
organisasi yang lebih spesifik dan kecil lagi. Maksudnya, selain mengembangkan
dan menguji, dimaksudkan pula untuk menemukan kendala-kendala, modifikasi
dan penyesuaian. Sehingga diharapkan penggunaannya lebih efektif
dibandingkan dengan pendekatan perencanaan yang dipraktekkan sekarang
yang masih dirasakan terlalu sentralistis (top-down).
Sistem terbuka perencanaan strategis dalam pembangunan daerah yang
kontekstual tersebut apabila diterapkan pada perencanaan pembangunan
daerah akan lebih efektif dan efisien. Dengan pertimbangan bahwa konsep
sistem terbuka perencanaan strategis dalam pembangunan daerah yang
kontekstual memberikan nilai tambah, yaitu : Pertama, memperlihatkan adanya
reformasi administrasi dalam perbaikan sistem perencanaan pembangunan yang
selama ini telah dipolakan dalam peraturan perundangan; Kedua, perencanaan

22
K2i DI PROVINSI RIAU
TPK2-GUBRI 2003-2008

pembanguan daerah dirumuskan atas dasar nilai efektivitas dan efisiensinya


bukan atas dasar kepentingan; Ketiga, pendekatan pembangunan daerah
dirasakan lebih kontekstual dengan anggapan bahwa faktor-faktor lingkungan
adalah penting, mengingat selama ini faktor-faktor lingkungan kurang
dipertimbangkan; Keempat, dalam proses pembangunan daerah menekankan
kepada adanya proses pembelajaran kepada masyarakat lokal; dan Kelima,
dengan sistem terbuka perencanaan strategis selalu berusaha menjaga
keberadaan dan keberlanjutan melalui kestabilan situasi dan kondisi internal dan
eksternal secara proporsional (komparatif), holistik, intrasektoral, dan fungsional.
Paling tidak ada sembilan tipelogi atau karakteristik daerah di Provinsi
Riau yang masing-masingnya menggambarkan potensi alam dan potensi
masyarakatnya. Dengan demikian strategi pembangunan yang seharusnya
dikembangkan adalah dengan sistem terbuka perencanaan strategis dalam
pembangunan daerah dengan prioritas pembangunan yang disesuaikan
dengan potensi Daerahnya masing-masing, yaitu : potensi persawahan,
potensi perladangan, potensi perkebunan, potensi peternakan, potensi
perikanan, potensi industri besar dan sedang, potensi industri kecil dan
kerajinan, potensi jasa, poelabuhan dan perdagangan, dan potensi pariwisata.
Pembagian tipelogi berdasarkan karakteristik daerah tersebut tidak
dimaksudkan untuk mengarahkan pembangunan daerah di Provinsi Riau
hanya kepada spesialisasi produksi, melainkan atas dasar supaya adanya
kecocokan strategi dan proritas program pembangunan yang dikembangkan
dengan potensi alam dan potensi masyarakat yang sebenarnya, dalam rangka
pembangunan daerah yang kontekstual.
Dengan demikian perencanaan pembangunan daerah yang dianggap
lebih efektif dan efisien karena lebih kontekstual adalah suatu sistem terbuka
perencanaan strategis dalam pembangunan daerah yang kontekstual.
F. Konsep Perencanaan Strategis Pembangunan Daerah
Kenyataan dilapangan menunjukkan bahwa perencanaan pembangunan
daerah di Riau, lebih menitikberatkan pada ekstrapolasi masa lampau. Para
perencana di berbagai tingkatan, mulai dari Musyawarah Pembangunan Tingkat

23
K2i DI PROVINSI RIAU
TPK2-GUBRI 2003-2008

Desa, Temu Karya Pembangunan Tingkat Kecamatan (Rapat UDKP), Foroum


Koordinasi dan Konsultasi Pembangunan Kabupaten/Kota dan Provinsi, selalu
meninjau kembali hasil mereka dari satu atau lima tahun sebelumnya dan
memproyeksikan pola yang sama untuk satu atau lima tahun berikutnya, dengan
membuat penyesuaian-penyesuaian terhadap perubahan yang mereka ketahui
akan terjadi kelak. Praktek perencanaan semacam ini jelas mengabaikan
dinamika organisasi, karena setiap saat organisasi selalu berubah sebagai
akibat tuntutan faktor-faktor lingkungan internal dan eksternal yang tidak
mungkin dapat dielakkan dan beberapa perubahan lain sebagai hasil dari usaha
kreativitas manusia.
Melakukan penyesuaian-penyesuain dengan tuntutan lingkungan tidak
mungkin harus menunggu satu atau lima tahun yang akan datang. Proses
perencanaan yang efektif harus secara proaktif ditujukan untuk mengantisipasi
beberapa perubahan yang tidak bisa dielakkan dan beberapa perubahan lain
sebagai usaha kreativitas manusia.
Dengan demikian sudah saatnya secara bertahap sistem terbuka
perencanaan strategis yang berorientasi kepada kualitas, keilmuan, dan
kelompok secara bersungguh-sungguh diterapkan dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Berorientasi kepada kualitas maksudnya perencanaan
strategis menciptakan dan mengembangkan seperangkat nilai dan keyakinan
yang akan membuat setiap orang mengetahui bahwa kualitas fisik, mental,
moral, pendidikan, teknis, dan kualitas pengalaman, serta kualitas hasil adalah
tuntutan yang paling utama. Berorientasi kepada keilmuan maksudnya
perencanaan strategis mendasarkan diri kepada bahwa semua tugas yang
berkaitan dengan fungsi-fungsi manajerial dapat dan harus dianalisis melalui
metode ilmu pengetahuan yang mencakup observasi, pengumpulan data,
analisis, pengujian dan implementasi aktual. Berorientasi kepada kelompok (tim)
maksudnya perencanaan strategis dapat mengkondisikan setiap orang untuk
berperilaku dan berkerjasama sesuai dengan tuntutan organisasi atau
terciptanya sistem sosial yang kooperatif.

24
K2i DI PROVINSI RIAU
TPK2-GUBRI 2003-2008

Mensikapi perkembangan perencanaan pembangunan daerah di Riau


sampai saat ini, justru data dan informasi bagi para pengambil keputusan
sungguh tidak memadai, sehingga model pembangunan yang diterapkan tidak
sesuai dengan kondisi objektif (kontekstual) yang sebenarnya.
Data dan informasi yang ada di Perdesaan, Kecamatan, Kabupaten/Kota,
dan Provinsi, secara berurut sama kurang lengkapnya. Dengan demikian
informasi yang ada tidak memadai untuk dijadikan bahan pengambilan
keputusan dalam perencanaan strategis pembangunan. Akibatnya rencana-
rencana strategis jangka panjang, menengah dan pendek untuk efektivitas
manajemen dari peluang dan tantangan lingkungan organisasi, meliputi :
prumusan misi, tujuan spesifik, strategi-strategi, dan kebijakan, program, dan
proyek belum dirumuskan secara sistemik dan terpadu.
Praktek selama ini dalam pertemuan Musyawarah Pembangunan
Tingkat Desa (MUSBANGDES) dan Temu Karya Pembangunan Tingkat
Kecamatan (Rapat UDKP). Tergambar dengan jelas bahwa dalam proses
pengambilan keputusan, waktu presentasi atau penyampaian usulan dari setiap
perwakilan sangat singkat, sekitar 10 menit, sedangkan materi usulan rencana
pembangunan cukup banyak, sehingga tidak semua materi dapat tersampaikan
untuk dibahas. Selain itu, dalam pembahasan materi usulan setiap perwakilan
RT, RW, dan Dusun bertahan dengan argumentasinya untuk menggolkan
usulan rencana pembangunan yang menjadi prioritasnya.
Demikian pula dalam forum Temu Karya Pembangunan Tingkat
Kecamatan, setiap Desa berusaha pula menggolkan usulan yang
disampaikannnya. Suasana yang demikian terjadi pula pada Rapat Koordinasi
dan Konsultasi Pembangunan di Kabupaten/Kota dan Provinsi.
Tarik menarik kepentingan antara RT, RW, Dusun, Desa, Dinas dan
Badan Daerah, membuat Musyawarah Pembangunan di semua tingkatan terasa
kurang efektif. Tampak dengan jelas persipan rapat perumusan rencana
strategis pembangunan kurang matang, metode dan mekanisme rapat tidak
jelas, data dan informasi yang mendukung setiap usulan rencana strategis
pembangunan tidak pula tersedia secara lengkap dan akurat. Hal yang demikian

25
K2i DI PROVINSI RIAU
TPK2-GUBRI 2003-2008

terus saja terjadi berulang-ulang disetiap tahun penyusunan rencana


pembangunan, tanpa ada perubahan dan peningkatan yang berarti.
Sebahagian besar program dan proyek yang diusulkan dan disetujui
dalam APBN, APBD Provinsi dan ABPD Kabupaten dan Kota tidak sesuai
dengan potensi, harapan, keinginan dan kebutuhan kondisi objektif masyarakat
setempat. Sesunguhnya yang menjadi harapan masyarakat dalam rangka
pengentasan kemiskinan, adalah membutuhkan modal dan sarana produksi
dalam rangka peningkatan produktivitas usaha. Dalam kenyataannya program
dan proyek yang direncanakan tidak memakai sekala prioritas, justru hanya
didominasi pembangunan fisik, dan ternyata kurang produktif untuk peningkatan
pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Justru program dan proyek tersebut
hanya memberi keuntungan kepada para pelaksana dan para pejabat di tingkat
Kabupaten/Kota dan Provinsi yang mempunyai kewenangan dalam pengambilan
keputusan. Antara bobot dan kualitas hasil program dan proyek dilapangan tidak
sesuai dengan jumlah anggaran program/proyek yang telah disediakan.
Maksudnya, disini telah terjadi kebocoran dana pembangunan, sebagai akibat
lemahnya dalam fungsi pengawasan.

G. Konsep Implementasi Program Pembangunan Daerah


Dalam praktek pembangunan daerah di Riau selama ini tergambar
dengan jelas bahwa pengorganisasian sumber daya organisasi, sumber daya
manusia, anggaran dan prosedur dalam implementasi program pembangunan
daerah belum terorganisir dengan baik. Hal ini terjadi, karena ditenderkan
kepada tim pelaksana program dan proyek pembangunan fisik kepada kontraktor
dan program khusus kepada PLP atau tim pelaksana program yang ditunjuk
pimpinan program atau proyek (pimpro) Dinas Daerah, Kantor atau Badan yang
mengadakan program atau proyek pembangunan. Justru dalam kenyataannya
di lapangan, mereka ini kurang memahami situasi dan kondisi masyarakat
tempatan.
Dominasi kekuasaan kontraktor dan PLP atau tim pelaksana program,
terkadang yang membuat masyarakat penerima program pembangunan menjadi

26
K2i DI PROVINSI RIAU
TPK2-GUBRI 2003-2008

apatis. Selalu mengikut dan menerima saja tampa ada kritikan dan memberikan
informasi yang berharga kepada tim atau personil pelaksana program. Terkesan
masyarakat sudah muak dengan campur tangan yang berlebihan dari aparatur
(agen) pembangunan sebagai pelaksana program atau proyek.
Dalam pembangunan fisik, selain proses tender kepada kontraktor yang
tidak transparan dan berbau korupsi, kolusi, dan nepotesme. Sebahagian besar
pelaksana program atau proyek tidak membawa serta masyarakat setempat.
Dengan demikian suatu program pembangunan antara yang merencanakan,
melaksanakan dan mengawasinya berbeda-beda, dan tidak jelas prosedur dan
tanggung jawabnya.
Dari berbagai informasi ternyata dalam pelaksanaan program/proyek
pembangunan fisik, sebahagian dananya ternyata telah dipotong oleh pimpro
yang mentenderkan proyek sebesar antara 20 % – 40 %. Dengan demikian
pelaksana proyek terpaksa harus mengurangi bahan-bahan pembangunan
proyek, karena kontraktor juga ingin mendapatkan keuntungan. Pemotongan
dana proyek pembangunan ini mengakibatkan kualitas proyek menjadi rendah.
Program khusus melalui Inpres atau S.K. Bersama Menteri, misalnya
Program Inpres Desa Tertinggal dan Jaring Pengaman Sosial atau Program
Pengembangan Kecamatan (PPK), dalam praktek prosesnya dibuat tidak
transparan sehingga ada Camat, Kepala Desa, Tim Pelaksana, Tim
Pendamping, atau Ketua Kelompok Masyarakat memotong sebahagian dana
program atau proyek untuk biaya resmi (honor, uang jalan, uang sidang, dll) atau
biaya tidak resmi (uang seminar, dll). Sebenarnya dana tersebut harus
disalurkan kepada anggota kelompok secara utuh tanpa pemotongan, karena
dana administrasi telah disediakan dalam program tersebut.
Effendi, dkk., (1989:17) menyatakan sudah menjadi rahasia umum bahwa
sejumlah besar dana Inpres program khusus digunakan untuk kepentingan
insentif bagi pelaksana baik yang resmi maupun yang tidak resmi. Dana insentif
pelaksana ini menyerap1/3 dana Inpres, dan justru digunakan bukan untuk
menyerap tenaga kerja lokal.

27
K2i DI PROVINSI RIAU
TPK2-GUBRI 2003-2008

Dalam proses pembangunan masyarakat tidak memiliki akses untuk


berpartisipasi dalam bersikap dan menentukan program dan proyek
pembangunan. Para pimpinan diberbagai level dan tokoh masyarakat tidak
berfungsi menggerakkan partisipasi masyarakat dalam rangka pencapaian
tujuan program dan proyek pembangunan. Peranan masyarakat lokal hanya
diberikan dalam hal menyediakan lahan atau lokasi proyek pembangunan dan
mendata anggota masyarakat sebagai kelompok sasaran yang menerima
bantuan. Sementara bagi masyarakat tidak jelas siapa yang merencanakan,
melaksanakan dan mengawasi program atau proyek pembangunan tersebut.
Kenyataannya realisasi program atau proyek pembangunan tersebut tidak tepat
sasaran dan kurang berkualitas. Sebagai contoh program sarana air bersih yaitu
proyek penyediaan bak air MCK (mandi, cuci dan kakus) dalam jangka waktu
lima atau enam bulan sudah retak bahkan bocor. Agaknya memang demikian
diciptakan, supaya tahun anggaran berikutnya diharapkan ada proyek renopasi,
melanjutkan, atau membangun baru. Contoh yang lain adalah tidak bergulirnya
dana IDT, dengan demikian tujuan semula program IDT tidak tercapai yaitu
dalam jangka waktu tertentu penerima pertama harus menggulirkan dana IDT
kepada kelompok yang lain.
Atas dasar penilaian masyarakat ternyata program dan proyek
pembangunan daerah hanya untuk diproyekkan disetiap tahun anggaran dalam
APBN, APBD Provinsi dan APBD Kabupaten/Kota kepada sekelompok orang
yang mendapatkan akses langsung kepada pihak pengambil keputusan.
Sejak awal, perencanaan program/proyek pembangunan memang sangat
sentralistis karena program tersebut bersifat nasional dan dibiayai dengan
anggaran pemerintahan Pusat, Propinsi, Kabupaten dan Kota, serta disalurkan
melalui bank-bank nasional. Intruksi Presiden dan Menteri, Gubernur, Bupati,
Walikota dari atas mengatur prosedur pelaksanaan secara detail. Beribu-ribu
rencana program atau proyek dari Desa dibawa ke Pusat, Provinsi, Kabupaten
dan Kota untuk dimintakan persetujuannya, karena memang merekalah yang
memiliki anggaran dalam APBN, APBD Provinsi, APBD Kabupaten, dan Kota.

28
K2i DI PROVINSI RIAU
TPK2-GUBRI 2003-2008

Dari deskripsi di atas, bila kita kembalikan pada kriteria teoritis, maka
secara singkat terlihat bahwa program dan proyek tersebut dilihat dari struktur
dan proses, pelaksanaan dan pengelolaan program dan proyek sangat bersifat
sentralistis (top-down planning), birokrasi sangat tinggi dan penuh regulasi.
Dengan demikian salah satu faktor yang menyebabkan sentralisasi
penyusunan dan pelaksanaan program adalah disebabkan pemerintahan dearah
yang berotonomi belum optimal menggali dan mengelola sumber dana sendiri,
meskipun sumber-sumbernya ada, dalam rangka pembiayaan program
pembangunannnya. Dengan demikian, pemerintahan daerah tidak pernah atau
belum optimal menyusun anggaran pembangunannya dalam APBD.
Persoalan lain yang tidak kalah penting dalam pembangunan daerah
adalah, terutama dalam membangkitkan kesadaran masyarakat untuk
berpartisipasi dalam proses pembangunan. Dalam hal ini, sangat diperlukan
peranan tokoh pimpinan formal dan informal sebagai figur kepemimpinan.
Kepemimpinan yang baik adalah pemimpin yang memahami situasi dan kondisi
yang dihadapi, sehingga memahami betul kapan saatnya dan dimana tempat
yang tepat untuk melakukan tindakan (action).
Selain kepemimpinan, dalam menggerakkan masyarakat diperlukan pula
kegiatan memotivasi dan komunikasi yang baik. Tentunya kepemimpinan yang
baik adalah kepemimpinan yang tidak memberikan contoh perbuatan yang
tercela, bermoral yang baik, mendahulukan kepentingan orang banyak dari
kepentingan pribadi, mengayomi dan memiliki otos dan semangat kerja yang
tinggi, berkerja keras, jujur dan berlaku adil.
Dalam pembangunan daerah di Provinsi Riau ke depan, figur
kepemimpinan yang bertanggungjawab yang selalu didambakan dan diharapkan
masyarakat daerah. Untuk mendapatkan pemimpin yang demikian, perlu proses
pemilihan kepala daerah yang transparan, demokratis dan tanpa campur tangan
dari Pemerintah Pusat dan kelompok kepentingan serta bebas KKN. Disinilah
letak arti pentingnya pembangunan sosial terutama dalam mengaktualisasi nilai-
nilai demokrasi dan partisipasi dalam pembangunan. Selain itu diperlukan pula

29
K2i DI PROVINSI RIAU
TPK2-GUBRI 2003-2008

pembinaaan sumber daya manusia aparatur Pemerintah melalui pendidikan


lanjutan, kursus-kursus dan pelatihan.
Dalam pengawasan dan evaluasi pembangunan daerah tidak jelas pula
siapa yang melaksanakannya, sebagai contoh yang telah dikemukakan misalnya
banyak program dan proyek yang tidak berkualitas, namun tidak pernah ada
tindakan tegas untuk memperbaiki. Kenyataannya masyarakat tidak mengerti
dan masih takut kepada siapa dan bagaimana caranya untuk melaporkan
kegiatan program dan proyek yang tidak berkualitas atau menyimpang tersebut,
termasuk kekayaan pejabat daerah yang patut dicurigai. Keberadaan DPRD
yang diharapkan memberikan kontrol terhadap jalannya program dan proyek
ternyata tidak berfungsi dengan optimal, karena keberadaan lembaga tersebut
hanya lebih meutamakan kepentingan pribadi, kelompok, disamping belum
diberdayakan. Hanya LSM dan Mahasiswa yang masih punya hati nurani
memperjuangkan hak-hak rakyat dan penyimpangan pelaksanaan
pembangunan.
Berdasarkan uraian di atas tentang berbagai faktor yang menyebabkan
kurang optimalnya implementasi program pembangunan daerah, telah
memberi ketegasan bahwa diperlukan proses pembelajaran antara masyarakat
lokal dengan birokrat dalam pembangunan. Maksud gagasan ini adalah supaya
program-program pembangunan diarahkan kepada peningkatan kapasitas
organisasi dan masyarakat lokal untuk mampu melaksanakan program/proyek
pembangunan secara mandiri. Dengan demikian, melalui proses pembelajaran
dan pembinaaan dari Pemerintah yang telah memiliki sumber daya manusia
yang memadai diharapkan pula pada suatu saat organisasi dan masyarakat
lokal akan mandiri dan berdaya.
Selain dari itu, dalam jangka waktu tertentu, Pemerintah Daerah
memberikan dukungan sumber dana pembangunan kepada kelompok usaha
masyarakat melalui lembaga-lembaga perekonomian daerah yang sudah
dibentuk secara mapan, misalnya KUD dan Bank Pembangunan Daerah atau
BPR. Dalam waktu yang bersamaan organisasi dan masyarakat lokal terus
menggali dan mengembangkan sumber-sumber penerimaan pembangunan.

30
K2i DI PROVINSI RIAU
TPK2-GUBRI 2003-2008

Dengan demikian strategi pembangunan jangka panjang melalui otonomi Daerah


yang berswadaya dan mandiri diharapkan dapat memberdayakan masyarakat
(empewerment people) di daerah. Sehingga masyarakat lebih mengerti akan
tugas dan tanggung jawabnya. Secara tidak langsung partisipasi masyarakat
dalam pembangunan akan meningkat pula.

H. Sistem Perencanaan Strategis dalam Pembangunan Daerah yang


Kontekstual
Arti penting sistem perencanaan strategis dalam pembangunan daerah
yang kontekstual dimasa mendatang orientasinya tidak saja ditujukan kepada
mengejar pertumbuhan yang cukup tinggi, tetapi secara bersamaan tercipta pula
pemerataan pendapatan dan hasil-hasilnya. Banyak negara berkembang
termasuk Indonesia gagal mengatasi masalah kesenjangan sosial yang cukup
lebar yang terjadi dalam masyarakat. Sebagai akibat tidak meratanya pembagian
sumber-sumber produksi. Sekelompok orang dengan mudahnya memiliki dan
menguasai faktor produksi yang diperoleh dari sumber kekayaan negara sebagai
akibat kebijakan Pemerintah yang keliru. Ini disebabkan kebijakan ekonomi yang
berpihak kepada sekelompok konglemerat yang dianggap memiliki peran lebih
besar dalam pertumbuhan perekonomian nasional. Di pihak lain, mayoritas
masyarakat usaha menengah, kecil dan koperasi tidak memperoleh akses dan
kesempatan mendapatkan sumber-sumber produksi yang dikuasai negara akan
mengalami kesulitan dalam mengembangkan usahanya.
Strategi pembangunan yang berpihak kepada rakyat banyak (ekonomi
kerakyatan) yang hanya menguasai usaha menengah dan kecil sudah sangat
mendesak dilaksanakan. Melalui kebijakan perampingan birokrasi dan
deregulasi diberbagai peraturan, misalnya dalam pemberian kredit investasi dan
modal kerja kepada usaha kecil dan ekonomi lemah harus lebih dipermudah.
Jika Pemerintah benar-benar ingin mengatasi masalah kesenjangan sosial dan
ketidak adilan ekonomi dalam pembangunan daerah dimasa yang akan datang.

31
K2i DI PROVINSI RIAU
TPK2-GUBRI 2003-2008

Pembangunan untuk rakyat harus dilaksanakan dengan strategi


memadukan antara pertumbuhan dan pemerataan. Dengan demikian sasaran
pembangunan dalam arti yang luas, tidak saja pencapaian produktivitas
melainkan juga secara bersamaan tercapai pula pemerataan hasil dan
keseimbangan pembangunan diberbagai bidang: politik, ekonomi, sosial
budaya dan ketahanan masyarakat.
Peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan hendaknya tidak
saja dalam bentuk sumbangan pemikiran dan tenaga, melainkan juga pada
peningkatan partisipasi sumbangan dana. Pada saat ini yang sering menjadi
persoalan adalah bagaimana mengelola partisipasi masyarakat dalam bentuk
sumbangan dana.
Dalam persekutuan masyarakat dari bentuk negara sampai masyarakat
yang terkecil sebenarnya sumbangan dana dibenarkan dan penting artinya
dalam pembangunan. Dalam sistem Pemerintahan Islam sumbangan tersebut
merupakan kewajiban bagi orang yang kaya berupa zakat, infak atau sodaqah
kepada orang–orang yang tidak mampu. Sumbangan tersebut dapat diberikan
secara langsung atau melalui Pemerintah (penguasa) atau badan amal (amil
zakat) yang kemudian disalurkan dalam bentuk program pembangunan yang
bermanfaat.
Demikian pula Desa yang merupakan bagian wilayah Kabupaten/Kota
yang diharapkan dapat tumbuh dan berkembang dengan baik adalah desa yang
mampu menyelenggarakan pembangunan atas dasar kemampuan keuangannya
sendiri. Untuk penggalian sumber-sumber keuangan desa tentunya diperlukan
kewenangan yang lebih besar. Dalam peraktek pemerintahan di Indonesia
sumber-sumber daerah banyak di pungut pemerintahan Pusat, Provinsi dan
Kabupaten/kota. Misalnya Pajak Bumi dan Bangunan sebahagian besar
dananya masuk ke kas Kabupaten/Kota. Contoh lain adalah keberadaan
perusahaan negara dan perusahaan swasta besar di perdesaan. Secara resmi
tidak ada penghasilan perusahaan besar tersebut yang masuk ke kas Desa.
Mungkin secara tidak resmi bantuan perusahaan besar tersebut langsung
diberikan kepada aparatur atau tokoh masyarakat perdesaan, dengan maksud

32
K2i DI PROVINSI RIAU
TPK2-GUBRI 2003-2008

supaya mereka tidak mengalami kesulitan menghadapi kritikan masyarakat Desa


dari kebijakan perusahaan yang merugikan kepentingan masyarakat setempat.
Sebagai contoh adalah program bantuan ternak sapi dan perjalanan ke tanah
suci dari PT. RAPP melalui Departemen Community Development (CD) kepada
masyarakat Desa Pangkalan Kerinci. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari
masyarakat setempat, ternyata program bantuan ternak sapi diantaranya ada
yang diberikan kepada mereka yang secara ekonomis sudah mapan, misalnya
diberikan kepada ketua KUD atau pengurus pasar. Sedangkan sebahagian
masyarakat lain yang sangat membutuhkannya tidak mendapatkan bantuan
program tersebut. Ini artinya ada proses dalam pembagiannya tidak transparan
dan tidak adil. Sedangkan program perjalanan ke tanah suci, salah satunya
diberikan pula kepada Kepala Desa, ini menunjukkan program bantuan tersebut
tidak jelas tujuan, sasaran dan manfaatnya. Dengan demikian cukup kuat alasan
bahwa perusahaan hanya ingin menyenangkan dan membungkam kritikan dari
anggota masyarakat yang memiliki posisi kuat (bargening pocition) yang
diperkirakan dapat membahayakan keberadaan perusahaan tersebut di
perdesaan.
Pada sisi yang lain, hasil keuntungan perusahaan sebahagian besar
justru disetor pula ke Pemerintah Pusat melalui berbagai peraturan
perundangan yang diberlakukan terhadap perusahaan, selain itu perusahaanpun
seakan-akan tidak ada kewajiban untuk berhubungan dengan pemerintah
daerah, tidak terbuka dalam manajemennya dan tidak jelas konstribusinya
kepada daerah. Sebenarnya apa yang hilang dan yang diperoleh masyarakat
dari keberadaan perusahaan besar tersebut, tidak lain adalah : Pertama,
masyarakat akan kehilangan lahan pertanian; Kedua, masyarakat mendapatkan
limbah perusahaan; dan Ketiga, masyarakat termarjinalkan.
Dimasa yang akan datang, pemerintahan daerah yang berotonomi,
tentunya sangat memerlukan sumber-sumber dan penghasilan yang memadai.
Apabila pemerintahan yang berotonomi ini tidak dapat melaksanakan
kewenangannya dan kewajibannya secara baik, maka akan menimbulkan krisis
partisipasi bahkan perlawanan dari masyarakat terhadap Pemerintah Daerah.

33
K2i DI PROVINSI RIAU
TPK2-GUBRI 2003-2008

Atas dasar logika bahwa apsek perencanaan pembangunan daerah harus


pula disertakan dengan penyusunan APBD. Dimasa yang akan datang salah
satu faktor terpenting yang perlu direformasi dalam rangka proses pembelajaran
menuju pemberdayaan masyarakat, sudah sangat mendesak pemerintahan
daerah perlu menata kembali sistem anggaran pendapatan dan belanja
pembangunannya supaya lebih terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan. Oleh
karena itu, dimasa yang akan datang salah satu faktor yang terpenting adalah
bagaimana suatu sistem terbuka perencanaan strategis pembangunan yang
disertakan dengan penyusunan anggaran yang transparan dan
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat bukan hanya sekedar diterima
DPRD, sebagai suatu perwujudan otonomi Daerah yang berswadaya.

Efektivitas konsep sistem terbuka perencanaan strategis dalam


pembangunan perdesaan yang kontekstual memerlukan pula beberapa
persyaratan yang harus selalu terpenuhi, yaitu :
a. Ketersediaan data dan informasi yang akurat dan kontinuitas.
b. Sumber daya manusia yang handal.
c. Peralatan dan bahan atau perlengakapan organisasi yang
memadai.
d. Sumber pendanaan yang cukup.
e. Adanya kemauan politik pemerintah untuk mereformasi
administrasi.

1. Pendekatan Pembangunan Perdesaan


Menurut Kaho (1978) ada beberapa factor kemampuan suatu daerah
dalam rangka kemampuan penyelenggaran pemerintahan yang ber otonomi,
yaitu :
1. Organisasi (kelembagaan)
2. manajemen (manajerial)
3. Sumber Daya Manusia
4. Keuangan

34
K2i DI PROVINSI RIAU
TPK2-GUBRI 2003-2008

Pada tahun 1854 Pemerintah Belanda mengeluarkan Peraturan


Pemerintah (Regerrings Reglement, RR), pasal 71 RR menetapkan hak
masyarakat desa (inlandsche gemeente) untuk memilih kepala desanya dan
menyelenggarakan rumah tangganya sendiri. Ini jelas sebagai bentuk
pengakuan Pemerintah Belanda.
Dari awal masa kemerdekaan sampai pertengahan tahun enampuluhan
otonomi desa terus berkembang. Namun, sejak masa “Orde Baru”, terjadi
perubahan yang oleh Hansen (1981:178) disebut sebagai masa memudarnya
otonomi desa dan mengetatnya kontrol pemerintah pusat kepada desa. Sejak itu
secara berangsur profil desa sebagai pelaksana intruksi pihak atas semata-mata,
semakin jelas dan struktural. Ndraha (1990:157) menyatakan, hal itu sudah
barang tentu tidak mendorong berkembangnya inisiatif dan prakarsa masyarakat
desa. Soetardjo (1965:25) menyatakan pula, dahulu otonomi desa merupakan
otonomi yang tumbuh bersamaan dengan tumbuhnya masyarakat berdasarkan
hukum adat dan tradisi, kini otonomi itu merupakan pemberian dari atas
(pemerintah pusat).
Pada tahap perkembangan berikutnya pemerintah Orde Baru
mengeluarkan UU No. 5 tahun 1979 dan setelah 20 tahun kemudian di era
reformasi diganti dengan UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah,
namun konsep otonomi desa yang tertuang dalam UU No. 22 Tahun 1999
tersebut tidak terealisasi dengan baik oleh pemerintah desa, kerena tidak diatur
secara jelas dan rinci dalam Peraturan Pemerintah. Ndraha (1990:160)
menyatakan, menghadapi perubahan sosial, tampaknya kepemimpinan
pemerintahan desa belum mampu berperan. Karena itu, pemimpin formal dan
informal di desa dituntut kualitas yang lebih baik, seperti: tingkat pendidikan,
mempunyai sifat orientasi kedepan, dan kemampuan mencapai sasaran. Syarat-
syarat ini sulit untuk dipenuhi oleh tenaga-tenaga pemerintahan desa dewasa ini.
Selain itu program pemerintah untuk pendidikan dalam rangka peningkatan
sumber daya manusia di perdesaan kurang sungguh-sungguh, disamping
alokasi anggaran pembangunan untuk perdesaan masih relatif kecil, bila

35
K2i DI PROVINSI RIAU
TPK2-GUBRI 2003-2008

dibandingkan alokasi dana pembangunan di perkotaan. Bryant dan White


(1982:369) menyatakan, apabila konsep otonomi desa dilaksanakan oleh
masyarakat perdesaan dengan baik akan memberikan pengaruh yang cukup
besar kepada keberhasilan pembangunan secara nasional. Pendapat tersebut
dapat dipahami, karena hakekat otonomi adalah memberikan kewenangan
sepenuhnya kepada masyarakat perdesaan untuk mengurus dan mengatur
rumah tangganya sendiri, termasuk kewenangan mencari sumber-sumber
pembiayaan pembangunan (UU No. 22 Tahun 1999). Apabila kewenagan
pemerintahan desa yang berotonomi ini tidak dapat terlaksana dengan baik
maka akan menimbulkan krisis partisipasi dari masyarakat. Rusadi (1988:176)
menyatakan :
dalam proses pembuatan keputusan apapun yang menyangkut
kepentingan masyarakat perdesaan pemerintah selalu menganggap
lebih memahami persoalan, lebih banyak turunnya dari atas (top down),
selalu mengikat dan terkesan dipaksakan, sebagai konsekuensi logisnya
menimbulkan dampak krisis partisipasi.

2. Pemerintah Desa beserta Perangkat Desa


Meskipun kewenangan kepala desa cukup besar namun tidak diiringi
dengan kemampuan dan kapasistas SDM yang cukup untuk melaksanakan
pembangunan sehingga desa sebagai daerah otonom belum mampu
dilaksanakan sesuai kewenangannya dalam melaksanakan otonominya.
Pada hakekatnya kepala desa dipilih oleh masyarakat desa melalui
pemilihan yang demokratis. Sebagai konsekuensinya kepala desa tentunya
bertanggung jawab kepada siapa yang memilihnya. Dapat ditegaskan disini
bahwa Bupati sebagai Kepala Daerah Kabupaten hanya menerima laporan
sebagai tembusan. Dalam kaitan ini permasalahan harmonisasi hubungan
kepala desa dengan camat sebagai perangkat daerah dapat diselesaikan,
apabila ada kejelasan dan ketegasan pelimpahan kewenangan dari bupati
kepada cawat dalam tugas pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan.

36
K2i DI PROVINSI RIAU
TPK2-GUBRI 2003-2008

Dalam struktur organisasi pemerintah Desa telah ada pembagian kerja


dan diharapkan pelaksanaan tugas menjadi lebih lancar. Apabila dilihat dari
struktur organisasi Pemerintahan Desa ini sudah jelas siapa sebagai unsur
pimpinan, unsur staf dan unsur pelaksana, namun hal yang masih lemah adalah
kurangnya pembinaan dari Pemerintah Kecamatan dan Kabupaten. Malah yang
lebih menonjol adalah campur tangan Pemerintah yang lebih tinggi atau di
atasnya.

2. BPD (Badan Perwakilan Desa)

Pada permulaan tumbuh dan berkembangnya pemerintahan desa,


lembaga yang memiliki kekuasaan tertinggi di perdesaan menurut hukum adat
adalah Rembug Desa atau Rapat Desa. Ndraha (1990:157) menyatakan:
sebagai pemegang kekuasaan (menurut) hukum adat di desa adalah
lembaga yang disebut Rembug Desa, Rapat Desa atau Kerapatan
Negeri. Lembaga inilah yang memegang kekuasaan tertinggi di desa.
Kepala Desa bersama-sama pembantu-pembantunya merupakan unsur
pelaksana di bawah Rembug Desa yang merencanakan dan
melaksanakan pembangunan.

Akan tetapi pada perkembangan berikutnya fungsi mengatur (legislatif)


yang dimiliki desa lambat laun berkurang karena Lembaga Musyawarah Desa
(LMD) dijadikan unsur pemerintah desa, bukan substitusi atau peningkatan
Rembug Desa, sumber-sumber administratif pemerintah desa lemah, sementara
tugas dan tanggung jawabnya semakin berat. Pemerinatah desa diperlakukan
sebagai pelaksana instruksi dari atas belaka. Hal ini terjadi lebih-lebih karena
kebijakan pemerintah yang lebih mementingkan pencapaian target, formalitas,
keserempakan, keseragaman, dan sifat massal.
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa salah satu unsur Pemerintahan
Desa adalah Badan Perwakilan Desa. Pasal 104 UU No. 22 tahun 1999

37
K2i DI PROVINSI RIAU
TPK2-GUBRI 2003-2008

menetapkan bahwa Badan Perwakilan Desa atau yang disebut dengan nama
lain berfungsi mengayomi adat istiadat, membuat Peraturan Desa, menampung
dan menyalurkan aspirasi masyarakat, serta melakukan pengawasan terhadap
penyelenggaraan Pemerintah Desa. Selanjutnya pasal 105 UU No. 22 tahun
1999 mengatur tentang Badan Perwakilan Desa yaitu: Anggota Badan
Perwakilan Desa dipilih dari dan oleh penduduk Desa yang memenuhi
persyaratan, Pimpinan Badan Perwakilan Desa dipilih dari dan oleh anggota,
Badan Perwakilan Desa bersama dengan Kepala Desa menetapkan Peraturan
Desa, dan Pelaksanaan Peraturan Desa ditetapkan dengan keputusan Kepala
Desa.
Kedudukan politis LMD sebelumnya yang sekarang dengan telah
ditetapkannya UU No. 22 tahun 1999 dirubah namanya menjadi Badan
Perwakilan Desa (BPD) atau disebut dengan nama lain. BPD adalah wadah
permusyawaratan/pemukatan pemuka-pemuka masyarakat desa, bertugas
menyalurkan pendapat masyarakat Desa dan memusyawarahkan setiap rencana
pembangunan sebelum ditetapkan menjadi Keputusan Desa.
Sebenarnya tugas dan fungsi BPD sama DPRD di Provinsi dan
Kabupaten/Kota, namun dalam kenyataanya belum diberdayakan. Selain
anggotanya belum mampu memainkan peran, juga karena kuatnya pengaruh
Kepala Desa. Fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan yang diharapkan
berjalan mencapai keseimbangan antara kekuasaan legislatif dan eksekutif tidak
berjalan sebagaimana mestinya. Ini merupakan kendala otonomi desa dimasa
yang akan datang.

4. LKD (Lembaga Ketahanan Desa)


Pada awalnya Lembaga masyarakat yang tumbuh dari bawah dan dapat
mengemban fungsinya sebagai pembimbing dan penyuluh berbagai pekerjaan
sosial desa, dan mampu menjadi saluran aspirasi masayarakat desa adalah
Lembaga Sosial Desa. Namun, melalui KEPRES No. 28 Tahun 1980, LSD
diubah menjadi Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD). Kemudian
menurut pasal 106 UU No. 22 Tahun 1999 selain lembaga Badan Perwakilan

38
K2i DI PROVINSI RIAU
TPK2-GUBRI 2003-2008

Desa, di Desa terdapat juga lembaga lainnya sesuai dengan kebutuhan Desa
dan ditetapkan dengan Peraturan Desa.
Kepala Desa karena jabatannya merangkap sebagai ketua umum LKMD.
Sesungguhnya LKMD memiliki fungsi yang sangat strategis sebagai perangkat
perencana dan pelaksana pembangunan desa dan membantu kepala desa
dalam mengkoordinasikan pembangunan, menggerakkan partisipasi masyarakat
dan mendorong kegotongroyongan masyarakat, tetapi pada kenyataannya
kurang berfungsi, karena lebih besar pengaruh kepala desa dalam proses
pengambilan keputusan.
Melalui kedudukannya sebagai Ketua Umum LKMD, Kepala Desa
berfungsi merencanakan dan mengendalikan pelaksanaan pembangunan Desa.
Jika dihubungkan dengan Bab IV Bagian D Umum angka 2 huruf f GBHN 1978
maka kemampuan pemerintah Desa untuk melaksanakan tugasnya langsung
bertalian dengan usaha menggerakkan masyarakat untuk berpartisipasi dalam
pembangunan dan penyelenggaraan administrasi desa yang semakin meluas
dan efektif.
Selanjutnya pada tahap perencanaan pembangunan di tingkat
Kecamatan juga tidak memperkokoh sistem perencanaan bottom up planning.
Hanafiah (1982:56) menyatakan bahwa :
pembentukan sistem UDKP diharapkan dapat berfungsi sebagai sistem
perencanaan, pelaksanaan, pengendalian serta evaluasi pelaksanaan
pembangunan wilayah yang menyeluruh dan terpadu di tingkat
Kecamatan, namun karena pembangunan perdesaan hendak dipadukan
dalam jangkauan kewenangan Camat selaku kepala Wilayah, hal ini
justru semakin memperkokoh sistem “top down planning” dalam
pembangunan perdesaan.

Dalam kaitan organisasi perencanaan pembangunan, berdasarkan


pendekatan kontekstual sebaiknya kewenangan menentukan tujuan, sasaran
dan program pembangunan lebih besar diserahkan kepada organisasi lokal.

39
K2i DI PROVINSI RIAU
TPK2-GUBRI 2003-2008

Sedangkan pemerintah yang lebih tinggi tingkatannya hanya sebagai fasilisator


dan memberi bimbingan. Esman dan Uphoff (1982:9) menyatakan:
organisasi lokal adalah organisasi penduduk desa yang bertanggung
jawab kepada anggota-anggotanya dan terlibat dalam berbagai kegiatan
pembangunan. Sejauhmana organisasi ini berhasil merealisasikan
potensinya sebagai organisasi yang tumbuh dari bawah (grass root
organization), bergantung pada cara mendirikan dan
mengembangkannya.

Dengan demikian organisasi harus mencerminkan pengalaman,


kemampuan dan keinginan anggotanya. Baik struktur maupun prosedur
janganlah dikendalikan secara seragam dari luar, sementara pengembangannya
haruslah merupakan “learning process” bagi semua pihak.
Friedmann (1981: 42) menyatakan bahwa :
pembangunan desa (rural development) harus dibimbing secara sentral
tetapi dilandaskan pada kondisi setempat. Bimbingan dari atas hanya
mungkin efektif jika di perdesaan ada organisasi yang mampu menerima,
menyerap, menterjemahkan dan menanggapi bimbingan tersebut.
Organisasi yang dimaksud haruslah yang mampu berbicara untuk dan
atas nama masayarakat setempat.

Dengan kemampuan administratifnya, pemerintah desa diharapkan


mampu menggali, menggerakkan, dan mengkombinasikan masukan-masukan,
mencegah berbagai akses sistem dari atas ke bawah, dan mengefektifkan
sistem dari bawah ke atas, sedemikian rupa, sehingga sasaran pembangunan
perdesaan dapat dicapai.
Ada beberapa anggapan yang keliru dari pengambil kebijakan.
Kartasasmita (1996:146-147) menyatakan bahwa:
1. Pendekatan pembangunan yang berasal dari atas lebih sempurna dari
pada pengalaman dan aspirasi pembangunan di tingkat bawah (grass
root). Akibatnya kebijakan pembangunan menjadi kurang efektif

40
K2i DI PROVINSI RIAU
TPK2-GUBRI 2003-2008

karena kurang mempertimbangkan kondisi yang nyata dan hidup di


masyarakat;
2. Masyarakat di lapisan bawah tidak tahu apa yang diperlukannya atau
bagaimana memperbaiki nasibnya. Oleh karena itu mereka harus
dituntun dan diberi petunjuk dan tidak perlu dilibatkan dalam
perencanaan meskipun yang menyangkut dirinya sendiri. Akibat dari
anggapan ini banyak proyek-proyek pembangunan yang ditujukan
untuk rakyat, tetapi salah alamat, tidak memecahkan masalah, dan
bahkan merugikan rakyat.

Dari kenyataan tersebut di atas bahwa pemerintah masih kuat


menggunakan pendekatan top down strategis dirasakan kurang efektif dalam
pembangunan. Perencanaan dari atas menunjukkan bahwa semua ide berasal
dari atas (pemerintah). Akibatnya pihak atas kurang memperhatikan kultur
masyarakat, daya dukung wilayah yang bersangkutan, dan peranan
kelembagaan. Karena itu, misalnya pada program inpres desa tertinggal banyak
menemui kegagalan, walaupun perencanaan dari atas juga mempunyai
kebaikan-kebaikan. Melihat kenyataan tersebut, Nasoetion dan Tadjuddin
(Budiharsono, 1989:30) memberi alternatif pemecahan berupa konsep
perencanaan dari bawah, hal demikian sesuai dengan semangat pemerintahan
yang desentralisasi dalam rangka pemberian otonomi yang lebih luas dan
bertanggung jawab kepada desa. Ndraha (1990:147) menawarkan pendekatan
yang lebih tepat mengenai sasaran kepada aspirasi masyarakat yaitu pola balik
yang disebut pola dari bawah ke atas (bottom up strategis). Namun pola tersebut
diharapkan tidak hanya bersifat formal, melainkan sungguh-sungguh mengakar-
rumput, atau “gross root”. Selanjutnya Budiharsono (1989:31) menyatakan
pengadaptasian perencanaan pembangunan dari bawah dalam konteks
pembangunan nasional bukan berarti membunuh total perencanaan dari atas
yang berlaku saat ini. Perencanaan dari atas masih mungkin untuk tetap
diberlakukan sepanjang masih dengan “konsensus nasional” yaitu UUD 45 dan
Pancasila.

41
K2i DI PROVINSI RIAU
TPK2-GUBRI 2003-2008

Sekarang pada siapakah tanggung jawab bagi perencanaan dan


pelaksanaan proyek-proyek, program-program dan kebijakan-kebijakan
pembangunan diberikan. Persoalannya, bergantung bagaimana menemukan
kombinasi antara desentralisasi dan sentralisasi yang cocok untuk berbagai
tugas pembangunan.

5. Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBD) termasuk usaha Desa :

Struktur juga mendukung pelaksanaan tugas dalam hal pembiayaan.


sehari-hari dan biaya operasional keluar. Pasal 107 ayat 1 UU No. 22 tahun
1999 menetapkan sumber pendapatan desa terdiri dari : pertama, pendapatan
asli Desa yang meliputi hasil usaha Desa, hasil kekayaan Desa, hasil swadaya
dan partisipasi, hasil gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli desa yang
sah; kedua, bantuan dari Pemerintah Kabupaten yang meliputi bagian dari
perolehan pajak dan retribusi Daerah, dan bagian dari dana perimbangan
keuangan Pusat dan daerah yang diterima oleh Pemerintah Kabupaten; ketiga,
bantuan dari Pemerintah dan Pemerintan Provinsi; keempat, Sumbangan dari
pihak ketiga; dan kelima, pinjaman desa.
Sumber pendapatan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menurut
pasal 107 ayat 2 UU No. 22 tahun 1999 dikelola melalui Anggaran Pendapatan
dan Belanja Desa (APBD); ayat 3 menetapkan Kepala Desa bersama Badan
Perwakilan Desa (BPD) menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa
(APBD) setiap tahun dengan Peraturan Desa (Perdes.); ayat 4 menetapkan
pedoman penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa ditetapkan oleh
Bupati; ayat 5 menetapkan tata cara pungutan objek Pendapatan dan Belanja
Desa ditetapkan bersama antara Kepala Desa dan badan perwakilan Desa.
Selanjutnya pasal 108 UU No. 22 tahun 1999 menetapkan pula bahwa Desa
dapat memiliki badan usaha sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Desa yang diharapkan dapat tumbuh dan berkembang dengan baik
adalah Desa yang mampu menyelenggarakan pembangunan atas dasar
kemampuan keuangannya sendiri. Untuk penggalian sumber-sumber keuangan

42
K2i DI PROVINSI RIAU
TPK2-GUBRI 2003-2008

Desa tentunya diperlukan kewenangan yang lebih besar. Dalam peraktek


pemerintahan di Indonesia sumber-sumber perdesaan banyak di pungut
pemerintahan Kabupaten/ Kota. Misalnya Pajak Bumi dan Bangunan
sebahagian besar dananya masuk ke kas Kabupaten/Kota. Contoh lain adalah
keberadaan perusahaan negara dan perusahaan swasta besar di perdesaan.
Secara resmi tidak ada penghasilan perusahaan besar tersebut yang masuk ke
kas Desa. Mungkin secara tidak resmi bantuan perusahaan besar tersebut
langsung diberikan kepada aparatur atau tokoh masyarakat perdesaan.
Pada sisi yang lain, hasil keuntungan perusahaan sebahagian besar
justru disetor pula ke Pemerintah Kapupaten/Kota, Provinsi dan Pusat melalui
berbagai peraturan perundangan yang diberlakukan terhadap perusahaan..
Dimasa yang akan datang, pemerintahan perdesaan yang berotonomi,
tentunya sangat memerlukan sumber-sumber dan penghasilan yang memadai.
Atas dasar logika bahwa apsek perencanaan pembangunan perdesaan harus
pula disertakan dengan penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa
(APBD). Dimasa yang akan datang salah satu faktor terpenting yang perlu
direformasi dalam rangka proses pembelajaran menuju pemberdayaan
masyarakat, sudah sangat mendesak pemerintahan Desa perlu menata kembali
sistem anggaran pendapatan dan belanja pembangunannya. Dalam
penyusunan APBD harus tercermin pula sisi sumber-sumber penerimaan Desa
dan sisi pengeluaran untuk biaya rutin dan biaya pembangunan desa.

Harus disadari bahwa pembinaan otonomi desa merupakan tanggung


jawab semua, baik Pemerintah pusat, Provinsi dan Kabupaten. Misalnya porsi
bantuan dan dana perimbangan sumer daya alam masing-masingnya adalah
Pusat membantu 20 %, Provinsi 30 % dan Kabupaten/kota 50 % dari 50 % total
kebutuhan biaya pembangunan perdesaan.

6. Lembaga Adat
Seperti telah dikemukakan pada uraian terdahulu bahwa pemerintahan
Desa memerlukan dukungan keuangan dan dukungan struktur organisasi

43
K2i DI PROVINSI RIAU
TPK2-GUBRI 2003-2008

dalam rangka pelaksanaan tugas yang berkaitan dengan dukungan lingkungan.


Dukungan lingkungan terhadap Pemerintahan Desa terletak pada kenyataan
bahwa Kepala Desa maupun pembantu-pembantunya merupakan tokoh-tokoh
pilihan masyarakat setempat.
Dengan kemampuan adminsitratif seperti diuraikan di atas, pemerintahan
Desa diharapkan mampu menggali, menggerakkan dan mengkombinasikan
masukan-masukan, mencegah berbagai akses sistem dari atas ke bawah, dan
mengefektifkan sistem dari bawah ke atas, sehingga sasaran pembangunan
desa dapat dicapai.
Dewasa ini Desa selalu ada dua kelompok tokoh pemimpin, yaitu tokoh
formal dan tokoh informal. Tokoh formal merupakan pemerintah Desa yang
mempuyai kekuatan hukum. Tokoh informal merupakan tokoh yang mempunyai
kekuatan ikatan batin dengan warganya sehingga besar pengaruhnya pada
masyarakat. Tokoh formal kelopok pertama terdiri dari : Kepala Desa, Setretaris
Desa, Kepala-kepala Urusan, Kepala-kepala Dusun, Ketua dan anggota BPD,
Ketua dan Seksi LKMD, Pengurus PKK, Ketua RW atau RK, Ketua RT. Tokoh
formal kelompok kedua yaitu semua petugas instansi terkait dalam
pembangunan Desa, terdiri dari : Dephankam (Babinsa dan Bimpolda), Dinas P
dan K (penilik SD, penilik olahraga, dan penilik pendidikan), Dinas Kesehatan
(dokter, juru rawat, dan sanitarian), Dinas Pertanian dan Kehutanan (PPL, mantri
kehewanan, polisi hutan, penyuluh penghijauan, dan mantri perikanan), Dinas
Pemukiman dan Prasarana Wilayah (petugas pengairan (P3S), TSKT, sarjana
penggerak pembangunan Desa), Dinas Sosial (TKSS, PSM, dan PSK), Badan
Penerangan (juru penerangan dan penerangan transmigrasi), Dinas Koperasi
dan PKM (petugas penerangan KUD), Dinas Perindustrian dan Perdagangan
(petugas proyek BIPIK perindustrian), BKKBN (PLKB), BRI (petugas BRI unit
Desa), Perguruan Tinggi (Mahasiswa KKN dan PKL).
Sedangkan tokoh informal antara lain : pemuka agama, pemuka adat,
tokoh yayasan sosial dan pendidikan, tokoh pemuda, pimpinan organisasi
kemasyarakatan, pimpin Orsospol komisariat Desa, kelompok petani dan
nelayan, kelompencapir, dan lain-lain sebagainya sebagai tokoh informal.

44
K2i DI PROVINSI RIAU
TPK2-GUBRI 2003-2008

Kedua kelompok tokoh formal dan tokoh informal tersebut merupakan


kekuatan yang sangat besar jika dapat dipersatukan untuk menggerakkan
masyarakat dalam pembangunan. Karena mereka ini merupakan pelopor (agen
pembangunan) bagi masyarakat dalam menggerakkan roda pembangunan,
khususnya pembanguan pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, jasa
dan perdagangan, pariwisata dan lain-lain sebagainya.

I. Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia


Berdasarkan tingkat perkembangan pembangunan daerah di Riau,
apabila dirincikan berdasarkan bidang pembangunan, memperlihatkan bahwa
perencanaan dan implementasi program pembangunan daerah pada bidang
kualitas sumber daya manusia belum optimal. Sesungguhnya program
peningkatan S.D.M di daerah tidak saja ditujukan kepada kedisiplinan dan
penguasaan atau pemahaman materi pekerjaan dan pelayanan yang diberikan
aparatur, melainkan bertujuan meningkatkan kemampuan masyarakat dalam
berusaha meningkatkan pendapatan perkapitanya.
Perbaikan faktor manusia (human factor) memberikan kontribusi yang
besar bagi percepatan laju pembangunan. Meningkatkan mutu sumber daya
manusia dipandang sebagai bagian pembangunan yang dapat menjamin
kemajuan ekonomi dan kestabilan sosial.
Kemajuan ekonomi suatu masyarakat supaya dapat berkesinambungan,
harus didukung oleh sumber daya manusia yang memiliki prakarsa dan daya
kreasi untuk kemajuan diri termasuk menggunakan hak-hak politiknya. Prakarsa
itu hanya akan tumbuh apabila ada kesempatan yang sama dan berkeadilan
kepada setiap masyarakat dalam proses pembangunan.
Atas dasar pandangan perlu adanya daya prakarsa dan kreasi
masyarakat dalam pembangunan, maka kebijakan pembangunan harus tercipta
sedemikian rupa sehingga ada kebebasan dan kesempatan untuk berperan serta
(berpartisipasi) dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut diri
setiap individu dan masyarakat.

45
K2i DI PROVINSI RIAU
TPK2-GUBRI 2003-2008

Peran serta masyarakat tidak hanya terbatas pada bidang tertentu saja,
melainkan termasuk kepada semua bidang pembangunan : ekonomi, politik,
sosial budaya dan hankam. Singkatnya, kemajuan ekonomi suatu masyarakat
tidak akan mampu bertahan, tanpa adanya pembangunan demokrasi politik
dalam masyarakat tersebut.
Pembangunan sosial (social building) dalam rangka pengembangan
sumber daya manusia tidak terlepas dari bagaimana menciptakan sistem sosial
yang dapat mendorong lahirnya manusia kreatif atau manusia berprestasi,
termasuk pula sikap mental masyarakat dan aparatur Pemerintah.
Selama ini pembangunan hanya difokuskan pada pembangunan fisik dan
mengabaikan faktor-faktor non fisik yang justru memiliki potensi yang cukup
besar untuk keberhasilan pembangunan. Smith dan Mill (Todaro, 1995:391)
menyatakan dalam pembangunan ekonomi perlu pula memperhitungkan faktor
non ekonomi yaitu kepercayaan masyarakat, kebiasaan berpikir, adat istiadat,
budaya usaha dan corak kelembagaan masyarakat.
Pada periode pembangunan selama pemerintahan orde lama berkuasa
yang mengutamakan pembangunan politik sampai kepada lapisan terbawah di
perdesaan, pada kenyataannya telah gagal menciptakan kemakmuran dan
keadilan bagi rakyatnya. Demikian pula dengan pengalaman selama
pemerintahan orde baru berkuasa, juga dianggap telah gagal karena terlalu
memfokuskan pada pembangunan ekonomi masyarakat semata dalam rangka
mengejar pertumbuhan. Oleh karena itu sungguh sangat tepat di era reformasi
yang juga dalam waktu yang bersamaan sedang mengalami krisis ekonomi,
Pemerintah Daerah Provinsi Riau melakukan perubahan strategi pembangunan
daerah dari strategi mengabaikan aspek pembangunan demokrasi politik menuju
kepada strategi pembangunan demokrasi ekonomi bergandengan dengan
pembangunan demokrasi politik.
Pembangunan demokrasi politik terutama dalam hal prakarsa, daya kreasi
dan hak-hak politik masyarakat Daerah belum dapat terekspresikan dengan baik.
Demikian pula dalam hal partisipasi individu dan masyarakat daerah dalam
proses pengambilan keputusan.

46
K2i DI PROVINSI RIAU
TPK2-GUBRI 2003-2008

Keberadaan Pemerintah dengan visi dan misinya tersediri telah membuat


masyarakat daerah tidak ada pilihan kecuali hanya mengikut. Salah satu faktor
yang perlu dipertimbangkan dalam rangka mencari penyesuaian antara
keinginan arus bawah dengan keinginan pihak atas, tidak lain adalah dengan
mengembangkan demokrasi politik. Upaya tersebut dimaksudkan untuk
mengurangi ketergantungan masyarakat dan sekaligus mengurangi campur
tangan yang berlebihan dari Pemerintah Daerah dalam proses pembangunan.
Disinilah arti pentingnya pembangunan demokrasi politik di daerah dalam rangka
pemberdayaan masyarakat madani dimasa yang akan datang.
Pembangunan masyarakat daerah sebenarnya meliputi dua unsur pokok
yaitu : masalah manusia yang menjadi pengambil inisiatif, yang menjadi manusia
pembangunan. Dan masalah meteri yang mau dihasilkan dan dibagi-bagikan.
Para ahli ekonomi hanya menekankan pada aspek keterampilan, dan
manusia lebih dianggap sebagai faktor produksi saja. Yang kurang dipersoakan
adalah bagaimana menciptakan sistem sosial, yang bisa mendorong lahirnya
manusia kreatif. Dengan demikian, pembangunan tidak saja berurusan dengan
produksi dan distribusi barang-barang material selain itu, pembangunan juga
harus menciptakan kondisi-kondisi yang memuat manusia yang bisa tumbuh dan
mengembangkan kreatifitas. Jadi pembangunan harus dimulai dari
pembangunan manusianya.
Pengembangan sumber daya manusia, tidak terlepas dari pada untuk
membuat sebuah pekerjaan menjadi berhasil. Yang paling penting adalah sikap
terhadap pekerjaan tersebut. Perseoalannya apakah seseorang memiliki
semangat baru yang sempurna dalam menghadapi pekerjaan. Dan apakah dia
memiliki keinginan untuk berhasil. Sejalan yang dikemukakan. Mc Clelland (
dalam Budiman, 1995 : 23 ) dengan konsepnya The need for Achievement (n-
Ach) yaitu kebutuhan atau dorongan untuk berprestasi. Orang dengan n-Ach
yang tinggi, yang memiliki kebutuhan untuk berprestasi, mengalami kepuasan
bukan karena mendapat imbalan dari hasil kerjanya, tetapi karena hasil kerjanya
dianggap sangat baik.

47
K2i DI PROVINSI RIAU
TPK2-GUBRI 2003-2008

Mengacu pada konsep tadi, maka kemampuan sumber daya manusia di


perdesaan yang di tingkatkan terlebih dahulu, karena kalau dalam masyarakat
ada banyak orang yang memiliki n-Ach yang tinggi, dapat diharapkan
masyarakat tersebut akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang cukup
tinggi. Jadi sebenarnya kemajuan suatu masyarakat itu sendiri maju atau
berkeinginan untuk terus berprestasi.
Memajukan masyarakat dapat dimulai dari pendidikan keluarga,
pendidikan sekolah, diskusi-diskusi, bahan-bahan bacaan, kursus-kursus
keterampilan, pemanfaatan media informasi yang kesemuanya dapat memberi
semangat dan motivasi berprestasi tinggi.
Menurut Inkeles dan Smith ( dalam Kamil P,1999 : 89 ) bahwa
pembangunan negara berkembang memerlukan manusia-manusia modern yang
siap menerima perubahan.
Menjadi manusia modern yang perlu dirubah adalah watak masyarakat.
Tentang proses perubahan manusia modern, Inkelas dan Smith ( dalam
Budiman, 1995 : 35 ) mengatakan bagaimanpun juga, manusia bisa dirubah
secara mendasar setelah dia menjadi dewasa, dan karena itu tak ada manusia
yang tetap menjadi manusia tradisional dalam pandangan dan keperibadiannya,
hanya karena dia dibesarkan dalam sebuah masyarakat tradisional.
Inkelas dan Smith memberikan pemahaman bahwa dengan memberikan
lingkungan yang tepat, setiap orang bisa diubah menjadi manusia modern,
setelah dia mencapai usia dewasa.
Bagaimana menjadikan masyarakat perdesaan menjadi orang modern.
Menurut Inkelas dan Smith ( dalam Suarsono dan Alvin,1991 : 33 ) ada beberapa
faktor antara lain : pendidikan, penduduk desa mencari pengalaman ke kota,
tersedianya media informasi ( televisi, radio, surat kabar, majalah, jurnal iptek ),
memberikan pendidikan politik, modernisasi pabrik dan administrasi industri, dan
pengembangan ilmu dan teknologi.
Selanjutnya kondisi-kondisi apa yang membuat suatu masyarakat dapat
membimbing proses mengatur kehidupan dan membentuk kembali. Menurut
Etzioni (dalam Garna, 1992: 77) mengatakan bahwa pengatahuan, pengambilan

48
K2i DI PROVINSI RIAU
TPK2-GUBRI 2003-2008

keputusan, kekuasaan, kesesuaian paham dan mobilisasi sebagai variabel-


variabel penyambung pada transformasi dari masyarakat yang terasing kepada
tahap masyarakat aktif.
Etzioni yakin bahwa pengatahuan ilmiah, termasuk ilmu-ilmu pengatahuan
sosial, akan dipakai dalam transformasi sosial, khususnya dalam memahami dan
mewujutkan masyarakat yang self-guinding. Masyarakat lebih menjadi
demokratis, penggunaan jasa paksaan dikurangi dan kontrol sosial pun lebih
efektif.
Banyak ahli ekonomi berangkali sependapat bahwa bukanlah sumber
daya modal atau materi yang sepenuhnya menentukan karakterisasi dan tingkat
perkembangan ekonomi dan sosial, melainkan sumber daya manusia.
Sebagimana dikatakan Herbison (dalam Todaro 1995 : 385) bahwa sumber daya
manusia merupakan landasan utama bagi kesejahteraan negara. Sumber daya
alam dan modal merupakan faktor-faktor produksi aktif yang dapat
mengakumulasi modal, mengelola sumber daya alam, membangun organisasi-
organisasi sosial, ekonomi dan politik serta melaksanakan pembangunan
nasional lebih lanjut.
Dengan demikian investasi sumber daya manusia akan menghasilkan
manfaat ganda. Sedangkan mekanisme kelembagaan yang paling penting bagi
pengembangan keterampilan masyarakatlah sistem pendidikan nonformal.
Peningkatan kesempatan pendidikan kuantitatif dan kualitatif yang cepat akan
merupakan kunci pokok pembangunan masyarakat perdesaan.
Permasalahan yang sangat mendasar tentang pendidikan di perdesaan
adalah kurang sesuainya sistem pendidikan dengan kebutuhan pembangunan.
Ini disebabkan, sistem pendidikan hafalan, pengulangan dan pengalaman,
bukannya pemikiran, penalaran atau pemecahan masalah. Jadi sekolah-sekolah
dasar amat terbatas waktunya untuk memberikan bekal pengatahuan kecakapan
dan gagasan-gagasan baru yang sangat dibutuhkan murid agar bisa berfungsi
secara efisien di dalam lingkungan perdesaan, misalnya praktek pertanian dan
pengelolaannya, kesehatan, nutrisi, pembangunan komunikasi dan sebagainya.
Yang menjadi prioritas hanya membaca, menulis, berhitung dan bahasa asing,

49
K2i DI PROVINSI RIAU
TPK2-GUBRI 2003-2008

sesungguhnya kebanyakan mereka bukan dipersiapkan untuk melanjutkan


keperguruan tinggi. Misalnya, anak-anak yang berasal dari keluarga miskin
dengan tarap kehidupan keluarga yang rendah, sering gagal dalam
menyelesaikan pendidikan.
Menurut Simmon ( dalam Yodaro; 1995 : 397 ) menyebutkan ada empat
faktor paling penting yang merupakan determinasi terhadap kemampuan belajar
anak-anak, yaitu :
1. Lingkungan keluarga, termasuk tingkat penghasilan, pendidikan orang
tua, kondisi perumahan, jumlah anak dalam suatu keluarga, dan
sebagainya.
2. Interaksi kelompok sebaya, yaitu tipe anak-anak dengan siapa
seseorang anak berhubungan.
3. Keperibadian, yaitu inteligensia dan kecapan yang diturunkan kepada
anak.
4. Nutrisi dan kesehatan selama bertahun-tahun awal.
Setidaknya ada beberapa manfaat dari investasi sumber daya manusia di
perdesaan, antara lain : mendorong pertumbuhan ekonomi, terciptanya angkatan
kerja terdidik, memacu sikap-sikap modern masyarakat, dan mengurangi tingkat
kesuburan wanita.
Menurut Todaro ( 1995 : 423 ) banyak pendidikan di masyarakat desa di
negara-negara berkembang hanya sedikit sumbangannya di dalam memperbaiki
tingkat produktivitas pertanian alam atau di dalam membuat murid bisa belajar
lebih efektif di lingkunagan masyarakatnya.
Selanjutnya Coombs ( dalam Todaro, 1995 : 423 ) mengelompokkan pada empat
kelompok pendidikan yang diperlukan penduduk usia muda dan dewasa, laki-laki
dan perumpuan, dalam empat bagian sebagai berikut:
1. Pendidikan umum atau pendidikan dasar, membaca, menulis,
berhitung, lingkungan hidup dan sebagainya.
2. Pendidikan kesejahteran keluarga, untuk mendalami pengatahuan,
keterampilan, dan sikap-sikap yang berguna untuk memperbaiki
kualitas kehidupan keluarga termasuk kesehatan, nutrisi, rumah sakit,

50
K2i DI PROVINSI RIAU
TPK2-GUBRI 2003-2008

perawatan anak, membangunan rumah dan memperbaikinya, keluarga


berancana, dan sebagainya.
3. Pendidikan kesejahteraan masyarakat, dirancang untuk memperkuat
lembaga-lembaga kemasyarakatan, baik lokal maupun nasional, LMD,
LKMD, koprasi, proyek kemasyarakatan dan upaya serupa.
4. Pendidikan keterampilan kerja, dirancang untuk mengembangkan
pengatahuan dan kecapan khususnya yang berkaitan dengan
efektivitas ekonomi dan yang bermanfaat bagi usaha membina
kehidupan.
Untuk mencapai tingkat keberhasilan peningkata SDM, berikut ini akan
ditunjukkan betapa kebutuhan terhadap pendidikan berbeda antara kelompok
yang satu dengan kelompok yang lain di lingkungan perdesaan. Program-
program pendidikan yang efektif dan diatur dengan baik secara cocok untuk
semua kelompok pekerja adalah sangat diperlukan jika pendidikan dimaksudkan
sebagai sarana penunjang yang penting bagi pembangunan perdesaan. Untuk
lebih jelasnya tertuang pada tabel berikut ini.

Kemudian Coombs dan Ahmed ( 1985 : 37 – 39 ) mengemukankan dari


empat pendekatan untuk meningkatkan sumber daya manusia perdesaan,
diantaranya:
1. Pendekatan penyuluhan, berusaha merubah pertanian subsistensi
menjadi suatu masyarakat yang dinamik, dan meningkatkan suatu
taraf hidup keluarga dan masyarakat.
2. Pendekatan pelatihan/pendidikan, pengajaran yang sistematis serta
mendalam untuk meningkatkan keterampilan dan pengatahuan dasar
tertentu.
3. Pendekatan swadaya terpadu, merubah watak, sikap penduduk
terhadap pembaharuan dan hasrat mereka akan perbaikan nasib.
4. Pendekatan pembangunan terpadu, sifatnya beraneka ragam dan
tegas dalam memilih metode pendidikannya. Suatu pandangan yang
luas mengenai proses pembangunan dan cara mengkoordinasi

51
K2i DI PROVINSI RIAU
TPK2-GUBRI 2003-2008

dalam rangka satu sistem pengelolaan tunggal segala komponen


penting.
Dengan demikian jelaslah bahwa secara konvensional pembangunan
sumber daya manusia diartikan sebagai investasi ‘’human capital” yang harus
dilakukan sejalan dengan investasi physikal capital.
Cakupan pembangunan sumber daya ini meliputi pendidikan, pelatihan,
kesehatan, gizi, penurunan fertilitas, dan pengembangan enterpreneurial, yang
kesemuanya bermuara kepada peningkatan produktivitas manusia. Karenanya
dikatatan kenerja pembangunan sumber daya manusia mencakup indikator
pendidikan, pelatihan, kesehatan, gizi, dan sebagainya yang disebut di atas tadi.
Namun, pembangunan sumber daya manusia tidak hanya terbatas pada
hanya untuk membuat manusia profesional dan terampil yang sesuai dengan
kebutuhan sistem untuk dapat memberikan kontribusinya di dalam proses
pembangunan interpretasi pengembangan sumber daya manusia lebih luas lagi,
seperti yang dikemukakan Tjokrowinato ( 1996 : 29 ) bahwa pembangan sumber
daya manusia menjangkau demensi yang lebih luas yang menekankan
pentingnya kemanpuan manusia untuk ikut berpertipasi dalam proses
transformasi masyarakatnya dimana mereka hidup bukan suatu struktur yang
statis, tertutup, suatu realita yang harus diterima saja, tetapi menuntut mereka
untuk beradaptasi sepenuhnya kepada sistem.
Pembangunan sumber daya manusia masyarakat perdesaan tidak sekitar
pendidikan, kesehatan dan gizi, akan tetapi membentuk manusia yang
mempunyai kemampuan kritis untuk melihat kendala-kendala sosial, ekonomi,
politik, kultural dan sebagainya dari sistem sosial yang ada, dan mencari
alternatif-alternatif pemecahan. Jadi menyangkut pula membentuk mental yang
baik, sikap kritis dan pola pikir berlian, selalu ingin maju dan berperestasi,
tumbuh jiwa wiraswasta, punya ide-ide cemerlang, pandangan kedepan
menyongsong hari esok dan mampu sebagai agen pembangunan. Apabila
sudah memiliki tingkat sumber daya yang demikian, diharapkan pula dapat
mengembangkan ilmu pengatahuan dan teknologi, termasuk menggali dan

52
K2i DI PROVINSI RIAU
TPK2-GUBRI 2003-2008

mengembangkan teknologi pribumi ( eudugeulous technology ) yang dimilikinya.


Dengan memberikan peningkatan kepada kemampuan sosial ekonominya.
Menurut Hagen ( dalam Tjokrowinoto, 1996 : 49 ) bahwa diterimanya
keberhasilan pembangunan suatu negara tergantung pada peran faktor makro
individu, yaitu keperibadian. Ada empat unsur keperibadian sumber daya
manusia, yaitu : intelegensia dan energi, orientasi nilai, kognisi dan kebutuhan
(need), yang membedakan keperibadian antara bangsa-bangsa adalah pada
unsur kebutuhan (need). Keberhasilan pembangunan menurut peribadi yang
mempunyai kebutuhan manipulatif ( mengubah lingkungan ) yang tinggi,
kebutuhan agresif ( bertindak agresif ), rendah, dan kebutuhan pasif ( bersikaf
pasif ) yang rendah, kebutuhan manipulatif terdiri atas empat unsur, yaitu : need
achievement ( kebutuhan untuk selalu berperstasi ), need outonomy ( kebutuhan
mandiri ), need order ( kebutuhan untuk hidup dalam lingkungan yang serba
teratur ), dan need understanding ( kebutuhan untuk selalu memahami peristiwa
yang terjadi ), yang masing-masing juga harus tinggi.
Untuk merubah sumber daya manusia masyarakat perdesaan sehingga
memiliki kualitas keperibadian yang dapat mendorong keberhasilan
pembangunan pada bidang lain perlu upaya-upaya yang sungguh-sungguh.
Dengan demikian akan terbentuk manusia-manusia sebagaimana yang
dikatakan Dahlan ( 1992 : 9 -10 ) bahwa kualitas manusia Indonesia seutuhnya
adalah memiliki kualitas fisik, yaitu : kesegaran jasmani, kesehatan, daya tahan
fisik, dan sebagainya. Dan kualitas non fisik yaitu :
1. Kualitas keperibadian : Kecerdasan, kemendirian, kreativitas,
ketahanan mental, keseimbangan antara emosi dan rasio;
2. Kualitas masyarakat : keselarasan hubungan sesama manusia;
3. Kualitas berbangsa : tingkat kesadaran berbangsa dan bernegara;
4. Kualitas spiritual : religiousitas dan moralitas;
5. Wawasan lingkungan : kualitas yang diperlukan untuk mewujutkan
pembangunan yang berkelanjutan; dan

53
K2i DI PROVINSI RIAU
TPK2-GUBRI 2003-2008

6. kualitas kekaryaan : kemampuan mewujutkan aspirasi dan potensi diri


dalam bentuk kerja nyata guna menghasilkan sesuatu dengan mutu
yang sebaik-baiknya.
Didalam konteks kearifan pembangunan yang mendasarkan dari pada ”
Human centered develoment “ justru kearifan, inovasi, dan daya kreasi manusia
yang mempunyai potensi untuk tumbuh secara ezponential, merupakan “
Inexhaustible determinant “ proses pembangunan itu sendiri. Karenanya ”
Human centered develoment “ merupakan “ Conditio – sine qao non “ dari
pembangunan yang berkelanjutan ( subtained development ).

J. Pendekatan Pembangunan dan Pemerataan Ekonomi

Dalam meningkatkan perekonomian masyarakat dapat dilakukan dengan


menghidupkan dan memfungsikan kembali lembaga-lembaga dalam masyarakat
yang mendukung perekonomian masyarakat. Misalanya KUD, Bank
Pembangunan Daerah atau BPR, Pasar dan pengadaan sarana produksi dan
distribusi Daerah. Apabila semua masyarakat usahanya sudah diwadahi oleh
KUD yang didukung pula dengan pengadaan sarana produksi dan distribusi,
sementara Bank Pembangunan Derah atau lembaga keuangan lainnya
menyediakan fasilitas kredit untuk modal usaha dan modal kerja maka
diharapkan masyarakat lebih akses dan berdaya dalam berusaha.
Penumpukan produksi dapat pula diatasi apabila KUD dan berbagai
lembaga perekonomian lainnya benar-benar berfungsi tidak saja sebagai wadah
produksi, melainkan juga sebagai penyalur (distribusi) produk daerah ke pasar
lokal, regional bahkan ke pasar Internasional.
Dukungan Pemerintah yang sangat dibutuhkan di sini adalah pembinaan
lembaga perekonomian dan dukungan (support) dana yang dititipkan pada
lembaga KUD atau lembaga keuangan (Bank Perkeriditan Rakyat). Alternatif ini
perlu lilakukan, karena pengalaman telah membuktikan bahwa dana yang
disalurkan melalui berbagai program/proyek ternyata kurang efektif untuk
mengangkat harkat dan martabat manusia di daerah sebagaimana maksud dan

54
K2i DI PROVINSI RIAU
TPK2-GUBRI 2003-2008

tujuan program/proyek diadakan. Sebagai akibat dari proses dan struktur


program/proyek terlalu birokratis dan regulasi. Selain dari itu, dukungan
Pemerintah diperlukan pula dalam hal memberi informasi produk daerah apa
saja yang dibutuhkan pasar lokal, regional dan pasar Internasional.
Secara umum pembangunan di bidang fisik khususnya penyediaan
sarana dan prasarana di daerah belum pula optimal. Misalnya, yang hampir
terlupakan adalah pengadaan fasilitas dan perangkat pendukung pelatihan
kerja kepada petani dan nelayan. Selain bertujuan meningkatkan kemampuan
petani dan nelayan pelatihan ditujukan pula kepada proses pengenalan dan
adaptasi teknologi baru terhadap teknologi dan budaya kerja setempat. Tidak
mungkin petani dan nelayan kita akan mencapai taraf kemajuan yang lebih baik
tanpa menguasai ilmu pengetahuan, keterampilan dan teknologi dalam
berusaha tani, meskipun telah didukung oleh sarana dan prasarana umum yang
memadai.
Selanjutnya, dalam bidang pembangunan lingkungan hidup di daerah
ternyata hasilnya belum pula optimal. Masih terdapat beberapa faktor kerusakan
lingkungan, khususnya tanah perdesaan di Riau yang disebabkan oleh faktor
alam dan ulah manusia. Kerusakan karena faktor alam banyak disebabkan oleh
gelombang pasang terutama Desa-desa pesisir dan pantai. Sedangkan
kerusakan karena faktor ulah manusia disebabkan oleh sikap yang berlebihan
dari perusahaan (investor) dalam pembukaan lahan perkebunan. Mengakibatkan
gundulnya hutan yang berdampak pada tingkat erosi tanah yang cukup tinggi.
Faktor kerusakan tanah yang lain disebabkan adat atau tradisi pembagian tanah
warisan, sehingga lahan menjadi sempit dan kurang produktif (pregmentatie),
tanpa ada usaha membuka lahan baru yang lebih luas.

Pembangunan daerah di Riau termasuk gagal dalam mengatasi masalah


kesenjangan sosial yang cukup lebar yang terjadi dalam masyarakat. Sebagai
akibat tidak meratanya pembagian sumber-sumber produksi. Sekelompok orang
dengan mudahnya memiliki dan menguasai faktor produksi yang diperoleh dari
sumber kekayaan negara dan Daerah sebagai akibat kebijakan Pemerintah

55
K2i DI PROVINSI RIAU
TPK2-GUBRI 2003-2008

terlalu berlebihan dan berpihak kepada sekelompok konglemerat yang dianggap


memiliki peran dalam pertumbuhan perekonomian. Di pihak lain, mayoritas
masyarakat usaha menengah, kecil dan koperasi tidak memperoleh akses dan
kesempatan mendapatkan sumber-sumber produksi yang dikuasai negara dan
Daerah akan mengalami kesulitan dalam mengembangkan usahanya.
Strategi pembangunan yang berpihak kepada rakyat (ekonomi
kerakyatan) yang hanya menguasai usaha menengah dan kecil sudah sangat
mendesak dilaksanakan, melalui kebijakan parampingan birokrasi dan deregulasi
diberbagai peraturan, misalnya dalam pemberian kredit investasi dan modal
kerja kepada usaha kecil dan ekonomi lemah harus lebih dipermudah. Tentunya,
jika Pemerintah Daerah benar-benar ingin mengatasi masalah kesenjangan
sosial dan ketidakadilan ekonomi dalam pembangunan dimasa yang akan
datang.
Visi dan misi Riau 2020 akan mendekati kenyataan apabila semua
pihak: pemerintah daerah, pihak swasta dan masyarakat memiliki komitmen dan
dapat bekerjasama yang saling menguntungkan dan adil. Terutama dalam
kegiatan produksi dan distribusi dengan memanfaatkan potensi alam dan
masyarakat secara optimal dan berkelanjutan. Hal ini dapat diwujudkan, apabila
mampu menghasilkan barang dan jasa yang memiliki nilai ekonomis dari potensi
yang dimiliki luas lahan dan potensi kelautan dimanfaatkan pemerintah daerah,
pihak swasta dan masyarakat untuk kegiatan pertanian, perikanan, perkebunan,
industri dan perdagangan secara professional, ekonomis dan berteknologi tinggi.
Di Riau dalam hal pembangunan ekonomi kerakyatan belumlah dapat
dikatakan berhasil. Pembangunan perekonomian masyarakat di Riau telah
menimbulkan dampak terjadinya kesenjangan sosial dan kesenjangan tingkat
pendapatan yang cukup tinggi.
Ada sekelompok kecil masyarakat sebagai pemilik perusahaan
pertambangan, perkebunan, industri pengolahan (manufactur) kayu lapis, telah
meraih keuntungan dengan pendapatan perkapita yang cukup tinggi atas
sumber-sumber kekayaan alam di Riau, sedangkan sebahagian besar

56
K2i DI PROVINSI RIAU
TPK2-GUBRI 2003-2008

masyarakat terutama yang tinggal di perdesaan pendapatan perkapitanya cukup


kecil.
Dengan meningkatnya persentase penduduk yang berada dibawah
garis kemiskinan di Riau, membuktikan bahwa hasil pembangunan yang
dinikmati masyarakat sampai lapisan terbawah (trickle-down effect) yang melekat
pada paradigma pertumbuhan (growth paradigm) ternyata tidak terwujud bahkan
yang terjadi justru kesenjangan semakin melebar.
Sebagai akibat penerapan secara bulat konsep ekonomi liberal kapitalis,
tanpa menyesuaikan dengan peradaban sosial budaya masyarakat daerah di
Provinsi Riau, ternyata kemajuan-kemajuan ekonomi daerah di Provinsi Riau
dianggap telah gagal, karena hanya menguntungkan sebahagian kecil individu
dan kelompok dalam masyarakat.
Sebagai akibat kebijakan pembangunan yang keliru tersebut, ternyata
sekelompok individu dalam masyarakat yang tinggal di ibu kota sudah baik
keadaannya, secara ekonomi lebih mampu dan dapat memanfaatkan sumber-
sumber kekayaan Daerah Provinsi Riau. Sebahagian kecil jumlah masyarakat
ekonomi kelas atas selalu mendapat peluang dan kesempatan yang lebih luas
bila dibandingkan dengan mayoritas masyarakat ekonomi lemah yang tinggal di
daerah kumuh atau kantong kemiskinan di perkotaan dan perdesaan. Dengan
demikian yang kaya semakin kaya dan yang miskin tetap miskin bahkan menjadi
lebih miskin lagi.
Pasal 33 UUD 1945 telah mengamanatkan bahwa demokrasi ekonomi
secara harfiah berarti kedaulatan rakyat di bidang kehidupan ekonomi. Kalau
demokrasi ekonomi dijabarkan maka bermakna produksi dikerjakan oleh semua,
untuk semua dibawah pimpinan atau kepemilikan anggota-anggota masyarakat.
Dengan demikian dalam demokrasi ekonomi, kemakmuran masyarakat yang
diutamakan bukan kemakmuran orang seorang. Kemakmuran yang hendak
dicapai haruslah kemakmuran atas dasar keadilan sosial.
Dewasa ini masalah yang masih mengganjal bagi pembangunan
demokrasi ekonomi di Provinsi Riau berdasarkan hasil penelitian yaitu masih
adanya ketidakseimbangan kemampuan dan kesempatan berusaha antara

57
K2i DI PROVINSI RIAU
TPK2-GUBRI 2003-2008

pihak-pihak diberbagai lapisan masyarakat antara yang menguasi dengan yang


tidak menguasi sumber-sumber produksi. Sudah saatnya dimasa yang akan
datang pembangunan ekonomi yang berakar kepada kerakyatan dianggap lebih
tepat di terapkan di Provinsi Riau. Selain dapat meningkatkan kemampuan
masyarakat yang berpenghasilan rendah, juga sebagai upaya Pemerintah
Daerah Provinsi Riau dalam menciptakan pemerataan pendapatan dan sekaligus
mengatasi kesenjangan sosial. Diantara upaya yang perlu dilakukan Pemerintah
Daerah Provinsi Riau termasuk Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota adalah
kebijakan debirokratisasi dan deregulasi yang transparan dan seadil-adilnya.
Dalam rangka peningkatan kemampuan perekonomian masyarakat di
daerah Provinsi Riau tidak lain dengan memberdayakannya. Strategi yang
dikembangkan adalah pembangunan ekonomi yang bertumpu pada
pertumbuhan yang dihasilkan melalui upaya pemerataan, dengan penekanan
pada peningkatan kualitas sumber daya manusianya.
Pemberdayaan masyarakat perdesaan bukan hanya meliputi penguatan
individu anggota masyarakat, melainkan termasuk pula membangun pranata-
pranatanya, dalam hal menanamkan nilai-nilai budaya modern misalnya kerja
keras, keterbukaan, hemat, dan bertanggung jawab. Demikian pula
pembaharuan lembaga-lembaga sosial daerah dan pengintegrasiannya ke dalam
kegiatan pembangunan serta peranan masyarakat di dalamnya melalui proses
pembelajaran.
Pengembangan ekonomi yang berakar pada kerakyatan tetap pula
mengacu pada pertumbuhan, pemerataan, stabilitas dan peningkatan sumber
daya manusia. Selain itu perlu pula mempercepat berbagai proses perubahan
dari masyarakat daerah yang masih berpikir dan berprilaku tradisional ke
masyarakat modern, dari sistem ekonomi yang subsistem ke ekonomi pasar,
dan dari ketergantungan masyarakat terhadap pemberi bantuan menuju
kemandirian dan pemberdayaan. Dalam hal ini sasaran ekonomi kerakyatan di
daerah tidak lain adalah petani dan nelayan. Dalam kebijakan ekonomi
kerakyatan, petani harus diberi hak kepemilikan, penguasaan dan penggunaan

58
K2i DI PROVINSI RIAU
TPK2-GUBRI 2003-2008

tanah sebagai lahan pertanian, disediakan pula fasilitas kredit untuk permodalan
dan teknologi tepat guna dalam rangka efektivitas berusaha.
Dalam rangka meningkatkan perekonomian masyarakat dapat dilakukan
dengan menghidupkan dan memfungsikan kembali lembaga-lembaga dalam
masyarakat yang mendukung perekonomian masyarakat. Misalanya KUD, Bank
Daerah, Pasar dan pengadaan sarana produksi dan distribusi. Apabila semua
masyarakat usahanya sudah diwadahi oleh KUD yang didukung pula oleh
pengadaan sarana produksi dan distribusi, sementara Bank Daerah atau
lembaga keuangan lainnya menyediakan fasilitas kredit untuk modal usaha dan
modal kerja maka diharapkan masyarakat lebih akses dan berdaya dalam
berusaha.
Penumpukan produksi dapat pula diatasi apabila KUD benar-benar
berfungsi tidak saja sebagai wadah produksi, melainkan juga sebagai penyalur
(distribusi) produk daerah ke pasar lokal, regional bahkan ke pasar Internasional.
Dalam perkembangannya, keberadaan investor di daerah sering
menimbulkan konflik antara pemilik modal dengan petani sebagai pemilik lahan.
Pada sisi yang lain, keberadaan investor untuk menanamkan modalnya dalam
rangka pemanfaatan potensi alam dan tenaga kerja sangat diharapkan
masyarakat. Jalan tengah yang terbaik sebagai solusinya adalah perencanaan
pembangunan harus pula menciptakan kerjasama dan saling ketergantungan
(komensalisma) anatara investor dan petani.
Efektivitas penerapan teknologi daerah dapat dicapai dengan cara
memadukan teknologi sendiri dengan teknologi dari luar, karena dianggap lehih
cepat tingkat pemahaman dan diharapkan lebih efektif dan efisien. Upaya
penerapan inovasi dan teknologi di daerah, membutuhkan suatu strategi
adaptasi antara modernisasi dengan tradisi.
Pendekatan pembangunan dalam rangka peningkatan sumber daya
manusia daerah, dapat dilakukan yaitu melalui penyuluhan, pelatihan, swadaya
terpadu dan pembangunan terpadu. Meningkatkan mutu sumber daya manusia
dipandang sebagai bagian pembangunan yang dapat menjamin kemajuan

59
K2i DI PROVINSI RIAU
TPK2-GUBRI 2003-2008

ekonomi dan kestabilan sosial, karena itu investasi harus diarahkan bukan saja
untuk meningkatkan mutu pendidikan, melainkan juga kesehatan dan gizi.
Salah satu kegagalan dalam perencanaan pembangunan daerah adalah
karena ketidakmampuan Kepala Daerah bersama DPRD dalam menyusun
APPD. Dimasa yang akan datang salah satu faktor terpenting yang perlu
direformasi dalam rangka proses pembelajaran menuju pemberdayaan
masyarakat, sudah sangat mendesak pemerintahan Daerah perlu menata
kembali sistem anggaran pendapatan dan belanja pembangunannya supaya
lebih berkualitas, transparan dan dapat dipertanggung jawabkan kepada
masyarakat.
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada kebijakan
pembangunan daerah di Provinsi Riau yang berakar kepada kerakyatan, ada
beberapa faktor penting yang harus dikembangkan di masa yang akan datang,
antara lain :
Pertama, faktor sumber daya manusia. Sebagaimana telah diketahui
ada dua kelompok pelaku dalam pembangunan yaitu Pemerintah dan
masyarakat. Kedua pelaku pembangunan ini adalah sama-sama penting dan
memberikan akses bagi pembangunan. Kedua pelaku pembangunan ini sama-
sama perlu ditingkatkan kemampuan sumber daya manusianya. Walaupun
dipihak Pemerintah telah cukup memadai kekampuan daya pikir dan nalarnya
dalam berkreativitas, namun dipihak masyarakat dirasakan masih banyak
kelemahan, jika dilihat dari sisi sumber daya manusianya. Oleh karena itu dalam
pengembangan ekonomi kerakyatan di daerah Provinsi Riau, perlu diberikan
pendidikan dan pelatihan kepada petani dan nelayan, dalam rangka efektivitas
dan efisiensi dalam berusaha. Selain itu instansi yang terkait menyangkut
masalah kegiatan pertanian harus pula rutin dan lebih serius lagi dalam
memberikan bimbingan dan penyuluhan.
Kedua, faktor lahan pertanian. Dalam pengembangan ekonomi
kerakyatan di daerah Provinsi Riau, faktor pemilikan lahan oleh petani sangat
penting, dan justru perlu pengaturan, pembagian, dan penataan kembali
kepemilikan hak-hak atas tanah. Selain perusahaan-perusahaan besar

60
K2i DI PROVINSI RIAU
TPK2-GUBRI 2003-2008

Pemerintah (BUMN) dan swasta yang menguasi lahan untuk perkebunan


dengan areal yang begitu luas, meskipun hanya dengan hak guna usaha atau
hak pakai dan sebahagian lagi penduduk kota yang begitu banyak menguasai
lahan yang tidak produktif maksudnya tidak diusahakan, melainkan hanya untuk
memperoleh keuntungan dari hasil jual-beli sebagai pakang tanah. Sementara
pada sisi yang lain petani kita yang ingin melakukan kegiatan usaha pertanian
tidak mempunyai cukup lahan, sebagai akibat tidak mampu untuk membelinya
atau tidak memiliki modal untuk membuka lahan baru. Dimasa yang akan
datang, Pemerintah Daerah Provinsi Riau melalui Dinas Pertanahan harus
benar-benar melakukan pemetaan, pembagian dan penggunaan lahan pertanian
secara transparan dan seadil-adilnya, sehingga lahan-lahan yang tidak produktif
dapat diserahkan kepada masyarakat yang tidak memiliki atau lahannya sangat
sempit untuk kegiatan berusaha.
Ketiga, faktor permodalan. Selain masalah lahan pertanian, petani di
daerah Provinsi Riau, perlu pula memiliki modal dalam arti dana untuk investasi
dan modal kerja. Jika tidak ada dana, sudah barang tentu petani tidak akan
mungkin memiliki peralatan, bibit tanaman yang unggul, pupuk, racun hama dan
biaya hidup selama kegiatan produksi. Untuk itu Pemerintah Daerah Provinsi
Riau harus membuat program bantuan permodalan sebagai upaya mengatasi
kesulitan permodalan petani dalam rangka pengembangan ekonomi kerakyatan.
Program permodalan petani untuk kegiatan berusaha, dapat dilakukan
Pemerintah melalui kebijakan kredit lunak melalui bank milik Pemerintah Daerah,
misalnya melalui Bank Pembangunan Daerah Riau (BPD Riau), Bank Syariah
dan PT.PER atau program bantuan khusus disalurkan kepada KUD atau Bank
Desa yang telah dibentuk dan dibina secara mapan.
Keempat, faktor teknologi. Kegiatan pertanian merupakan pekerjaan
yang sangat kompleks dan membutuhkan banyak modal, pengetahuan khusus
dan teknologi tepat guna. Dengan penggunaan teknologi, misalnya : bibit unggul,
pupuk, racun hama, dan peralatan mekanik, kegiatan pertanian diharapkan lebih
efisien dan produktif. Oleh karena itu, dalam rangka pengembangan ekonomi
kerakyatan, petani secara menyeluruh harus dapat menikmati penggunaan bibit

61
K2i DI PROVINSI RIAU
TPK2-GUBRI 2003-2008

unggul, pupuk, racun hama, dan perlatan mekanik yang mudah didapat dan
dengan harga yang relatif terjangkau oleh petani. Semua teknologi tersebut
seharusnya tetap selalu tersedia, namun dalam kenyataannya di daerah Provinsi
Riau teknologi tersebut sangat sulit didapat dan harganyapun relatif cukup tinggi,
terutama peralatan mekanik untuk kegiatan pengolahan lahan dan untuk
kegiatan pasca panen. Karena itu kebijakan pengembangan dan penemuan baru
di bidang teknologi pertanian harus tetap selalu ditingkatkan, dalam rangka
produktivitas, efektivitas dan efisiensi kegiatan usaha tani. Upaya tersebut dapat
dilakukan apabila Pemerintah Daerah Provinsi Riau mau bekerjasama dengan
lembaga riset dan teknologi melalui berbagai perguruan tinggi yang ada di
Daerah, misalnya dengan Fakultas Teknik dan Fakultas pertanian UNRI, UIR
atau UNILAK.
Kelima, faktor distribusi dan pemasaran. Setelah kegiatan produksi
yang perlu diperhatikan adalah bagaimana memasarkan produk yang dihasilkan.
Dalam pengembangan ekonomi kerakyatan distribusi dan pemasaran hasil
produksi harus ditata sedemikian rupa sehingga ada jaminan bahwa setiap hasil
pertanian tetap terjual di pasaran lokal, regional dan internasional. Untuk itu
Pemerintah Daerah Provinsi Riau harus menciptakan pengaturan dalam rangka
memasarkan produk pertanian di daerah. Pemasaran lokal diserahkan kepada
Koprasi Unit Desa dan pemasaran regional dan internasional harus ada
koordinasi antara instansi terkait, misalnya: Dinas Koperasi dan UKM, Dinas
Industri dan Perdagangan, Dinas Perhubungan, Badan Gugus Kendali Mutu,
termasuk pula Badan yang mengatur kegiatan Ekspor-Inpor.
Keenam, pemberdayaan koperasi. Perubahan mendasar pada fungsi
koperasi sebagai tulang punggung ekonomi kerakyatan adalah dengan telah
dikeluarkannya UU. No. 25 Tahun 1992, bahwa koperasi tidak lagi semata-mata
sebagai organisasi ekonomi bertujuan sosial melainkan sebagai organisasi
ekonomi yang mencari keuntungan untuk kesejahteraan anggota dan
masyarakat luas. Dalam pengembangan ekonomi kerakyatan yang dimaksud,
struktur koperasi termasuk KUD di Provinsi Riau yang selama ini kurang efektif
perlu dilakukan perubahan-perubahan yang sangat mendasar. Tidak saja

62
K2i DI PROVINSI RIAU
TPK2-GUBRI 2003-2008

perluasan usaha, manajemen yang baik, struktur modal yang kuat sampai
kepada peningkatan sumber daya manusia pengurus dan keanggotaannya.
Dengan demikian, strategi pemberdayaan koperasi, seharusnya diarahkan
kepada : Pertama, posisi, peran dan fungsi Pemerintah Daerah haruslah
mendorong peran serta, efisiensi, dan produktivitas masyarakat melalui koperasi;
Kedua, meningkatkan kegairahan, kesadaran, dan kemampuan berkoperasi di
seluruh lapisan masyarakat; Ketiga, meningkatkan kemitraan usaha diantara
sesama lembaga koperasi, dan antara koperasi dengan usaha swasta dan
BUMN lainnya; dan Keempat, menciptakan iklim berusaha yang mendukung
tumbuhnya koperasi secara sehat dan mandiri.
Ketujuh, kemitraan berusaha. Dalam perkembangan perekonomian
masyarakat daerah di Provinsi Riau, sangat dirasakan adanya kepincangan
struktural, antara usaha besar dengan usaha kecil dan menengah. Kesenjangan
itu merupakan akibat dari tidak meratanya pemilikan sumber daya produksi dan
produktivitas usaha, serta sistem distribusi dan pemasaran diantara pelaku
ekonomi. Untuk memecahkan masalah ini menuntut perlu dilakukannya
kemitraan berusaha, dan bukan ketergantungan dan persaingan yang tidak
sehat. Kemitraan berusaha yang dimkasud adalah dalam rangka penciptaan
hubungan kerja antara pelaku ekonomi yang didasarkan kepada ikatan yang
saling menguntungkan dalam hubungan kerja yang sejajar, dilandasi oleh prinsip
saling menunjang, dan saling menghidupi berdasarkan asas kekeluargaan dan
kebersamaan. Pengalaman telah membuktikan bahwa dalam berusaha masing-
masing pihak tetap saja memiliki kelebihan dan kekurangan. Oleh sebab itu,
atas dasar kelebihan dan kelemahan ini setiap usaha dituntut untuk selalu
berkerjasma dan bermitra. Justru disinilah arti penting ekonomi kerakyatan.
Usaha yang besar dan usaha kecil saling membutuhkan dan saling
berkerjasama dalam rangka mencapai produktivitas dan efisiensi dalam
persaingan yang sehat. Dalam sistem perekonomian yang kita anut sebenarnya
tidak ada persaingan bebas yang tidak seimbang, yang ada hanyalah persaingan
sehat berupa perlombaan untuk mencari yang terbaik dan bermanfaat bagi
semua pihak. Usaha yang satu harus dapat menunjang usaha yang lain, dan

63
K2i DI PROVINSI RIAU
TPK2-GUBRI 2003-2008

tentunya merupakan bahagian dari yang lain. Perusahaan yang besar menopang
dan mendorong yang kecil agar tumbuh besar, dan yang kecil membantu yang
besar dalam penyediaan berbagai kebutuhan bahan mentah dan lain
sebagainya. Pada akhirnya menciptakan suatu totalitas sistem usaha bersama
untuk kesejahteraan bersama. Pengalaman telah membuktikan bahwa
sebenarnya tidak ada perusahaan yang maju dan menjadi besar sendiri
meninggalkan usaha-usaha lain yang kecil. Semua berhubungan, terkait dan
interdependensi. Model kemitraan berusaha yang dimaksud dapat berupa
hubungan yang saling menguntungkan (komensalisma), misalnya petani
perkebunan kelapa sawit di Provinsi Riau menyediakan bahan mentah,
sedangkan pabrik selain menyediakan kebutuhan petani sekaligus mengolah
bahan mentah menjadi bahan jadi atau menghasilkan minyak goreng untuk
dipasarkan pada pasar lokal, regional dan internasional. Bentuk hubungan
kerjasama ini dapat saja diterapkan pada hubungan antara petani dengan KUD
yang memiliki pabrik pengolahan barang-barang produksi. Dengan demikian,
kemitraaan usaha ini diharapkan pula dapat memberantas atau mengurangi
kegiatan monopoli dan oligopoli dari sekelompok orang yang perekonomiannya
yang sudah sangat kuat dalam masyarakat. Selanjutnya dalam kemitraan usaha,
selain saling menguntungkan, juga harus adil dan dinamis. Adil, dalam arti
kemitraannya tidak memberatkan kepada salah satu pihak. Dinamis, dalam arti
tidak terpaku pada suatu keadaan, tetapi senantiasa disesuaikan dengan
tuntutan keadaan situasi dan kondisi setempat, sehingga efektivitas,
produktivitas, dan kualitas usaha kemitraan senantiasa tetap terjaga. Sampai
saat ini, berdasarkan pengamatan langsung di lapangan ternyata konsep
kemitraan berusaha di Provinsi Riau belum terlaksana dengan baik, karena itu
diperlukan peranan Pemerintah Daerah dalam upaya mempercepat proses
sosialisasi kemitraan berusaha. Peranan Pemerintah Daerah Provinsi Riau
dalam hal ini adalah membuat kebijakan, menfasilitasi pertemuan dan dialog
antara perusahaan-perusahaan besar Pemerintah (BUMN) dan swasta dengan
petani sebagai pemilik lahan, tentang kemitraan berusaha.

64
K2i DI PROVINSI RIAU
TPK2-GUBRI 2003-2008

Kedelapan, kebijakan anti monopoli, oligopoli dan kartel. Dalam


mengembangkan ekonomi kerakyatan, tidak dibenarkan adanya praktek-
praktek monopoli, oligopoli dan kartel. Hal ini bertentangan dengan prinsip
ekonomi dan keadilan. Kegiatan monopoli sudah barang tentu tidak efisien,
karena pelakunya secara sengaja membatasi keluaran dan membebankan
harga yang lebih tinggi dibandingkan jika keluaran atau produksi itu dihasilkan
dalam kondisi persaingan yang murni dan sempurna. Oleh sebab itu dapat
ditegaskan disini bahwa monopoli atau sejenisnya seperti perusahaan-
perusahaan BUMN adalah tidak efisien jika dibandingkan dengan perusahaan-
perusahaan swasta yang murni bersaing, karena BUMN menghasilkan terlalu
sedikit dengan beban biaya yang tinggi. Berkurangnya persaingan atau
kompetisi yang didukung oleh adanya subsidi Pemerintah, telah menyebabkan
perusahaan-perusahaan milik Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah
dituduh sebagai perusahaan yang dijalankan dengan manajemen yang kurang
baik, tidak efisien dan dicemari oleh akses-akses birokrasi, korupsi, kolusi dan
nepotisme yang merajalela. Oleh karena itu usaha apaun, besar atau kecil
termasuk perusahaan-perusahaan negara atau perusahaan Daerah yang
kegiatannya berbau monopoli, harus diswastakan (privatisasi) murni dan
dipaksa untuk dapat bersaing di pasaran yang bebas. Demikian pula halnya
dengan kegiatan kartel, tidak dibenarkan ada dan berkembang dalam sistem
perekonomian kerakyatan. Kegiatan kartel hanya menciptakan kelompok-
kelompok usaha yang kecenderungannya dikuasai oleh sekelompok
masyarakat saja, sedangkan sebahagian besar masyarakat yang lainnya tidak
mendapatkan akses dan kesempatan untuk berusaha. Untuk mencegah dan
memberantas praktek-praktek monopoli, oligopoli dan kartel ini, Pemerintah
Daerah Provinsi Riau harus lebih serius melaksanakan undang-undang tentang
pelarangan kegiatan monopoli, oligopoli dan kartel dalam setiap dunia usaha.
Perubahan masyarakat perdesaan tidak dapat hanya dilihat dari sisi ”
Human Centered Develoment“ sebagimana telah disinggung pada uraian
sebelumnya. Karena harapan meningkatkan kemampuan sumber daya manusia

65
K2i DI PROVINSI RIAU
TPK2-GUBRI 2003-2008

adalah supaya pembangunan terarah juga pada “Production centered


development ”.
Adam Smith, sebagi tokoh sentral Aliran Ekonomi klasik telah
mengemukakan ajaran “ individualisme ” dan “ Laissez Faire ” adalah semboyan
yang lahir dari semangat individualisme. Menurut Smith ( dalam Tjokroamidjojo,
1995 : 30 ) bahwa sistem induvidualisme ekonomi menyerahkan aturan dan
penguasaan ekonomi kepada masyarakat, sedangkan pemerintah tidak perlu
campur tangan. Tiap-tiap produser dan konsumen merdeka bertindak,
pembentukan karya didasari kepada hukum permintaan dan permintaan pasar,
menjadi dasar pengambilan keputusan. Harga yang terbentuk atas dasar
mekanisme pasar tersebut, dengan sendirinya akan mengpengaruhi produksi,
alokasi, pendapatan dan konsumen. Dan semua itu akan lancar jalannya apabila
orang seseorang merdeka bertindak dan berbuat. Mekanisme pembentukan
harga akan membawa segala hubungan ekonomi secara otomatis kejurusan
persesuaian kepada keadaan seimbang. Dengan “invisibel hand” mekanisme
harga tersebut “natural orde” dan naturan price, akan berlaku.
Pendekatan teori klasik ini akan baik hasilnya, jika persyaratan-
persyaratan yang memungkinkan setiap individu memiliki kemampuan yang
sama untuk berperan dalam iklim individualisme. Pendekatan pembangunan
ekonomi ini tidak akan baik, kalau iklim usaha tidak kondusif. Misalnya masih
ada monopoli, oligopali, kartel, dan harus ada perangkat aturan yang jelas.
Mereka yang sudah memiliki kesempatan yang besar untuk menguasai sumber-
sumber ekonomi. Akibatnya terjadi kepincangan sosial, dimana yang kaya
bertambah kaya dan yang miskin bertambah melarat, inilah mungkin yang terjadi
di perdesaan dengan kebijakan perkebunan dalam skala luas.
Menurut Smith dan Mill ( dalam Tjokroamidjojo, 1996 : 32 ) bahwa
penduduk secara pasti merupakan tenaga produksi yang akan melahirkan
perluasan pasar dan pertumbuhan ekonomi. Dalam pembangunan ekonomi
perlu pula memperhitungkan faktor non-ekonomi : kepercayaan masyarakat,
kebiasaan-kebiasaan berpikir, adat istiadat, dan corak kelembagaan dalam

66
K2i DI PROVINSI RIAU
TPK2-GUBRI 2003-2008

masyarakat. Ini memperkuat argumen bahwa pembangunan ekonomi perlu


memeperhatikan kontekstual desa.
Kemudian Keynes ( dalam Tjokroamidjojo, 1995 : 34 ) mengatakan bahwa
rendahnya suatu pertumbuhan ekonomi sebagai akibat kurangnya penanaman
modal dari pengusaha-pengusaha, maka pemerintah harus bertindak berupa
kebijakan fiskal dan moneter. Untuk melengkapi pendapat ini, Domar
menambahkan bahwa pembentukan modal dipandang sebagai pengeluaran
yang akan menambah kesanggupan suatu perekonomian untuk menghasilkan
barang, sekaligus juga sebagai pengeluaran yang akan menambah permintaan
efektif seluruh masyarakat. Penanaman modal yang dilakukan masyarakat
dalam sewaktu waktu tertentu digunakan dua tujuan : mengganti alat-alat modal
yang tidak dapat dipergunakan dan untuk memperbanyak jumlah alat-alat modal
dalam masyarakat. Yang menghanghasilkan dua macam nilai, yaitu rasio
produksi modal dan rasio modal produksi ( capital output ratio ).
Teori ini menuntun kebijakan ekonomi masyarakat, bahwa perlunya
investasi dan modal kerja. Untuk itu perlu didukung oleh pemerintah, terutama
mencari investor dalam dan luar negeri, serta pengadaan kredit usaha yang
disediakan pihak bank. Selain itu diperlukan pula lembaga ekonomi yang lain,
misalnya koperasi masyarakat perdesaan untuk usaha simpan pinjam, memberi
semangat budaya menabung, dan termasuk persediaan saprodi untuk keperluan
petani, serta destribusi pemasaran hasil-hasil pertanian. Tampa itu semua
pertumbuhan ekonomi yang meningkatkan pendapatan masyarakat sulit dicapai.
Aliran Neo klasik yang dipelajari Cobb dan Douglas ( dalam
Tjokroamidjojo, 1995 : 36 ) bahwa pertumbuhan ekonomi masyarakat ditentukan
oleh pertumbuhan dalam penawaran faktor-faktor produksi. ( alat-alat modal di
tenaga kerja ) dan teknologi. Fungsi produksi yang telah berkembang, yang
terkenal dengan istilah “Cobb-Douglas Production Function, sebagai berikut :
Yt = Tingkat Produksi Pada Tahun t;
Tt = Tingkat Teknologi Pada tahun t;
Kt = Jumlak Stok Alat-Alat Modal Pada Tahun t;
Lt = Jumlah Tenaga Kerja Pada Tahun t

67
K2i DI PROVINSI RIAU
TPK2-GUBRI 2003-2008

x = Pertambahan Produksi Akibat pertumbuhan Satu Unit Modal


B = Pertumbuhan Produksi Akibat pertambahan Satu Unit Tenaga Kerja
Nilai x dan B biasanya ditentukan dengan anggapan bahwa x + B = 1,
berakti nilai x dan B adalah sama dengan nilai produktivitas batas dari masing-
masing faktor tersebut, dengan melihat peranan tenaga kerja dan modal dalam
pencapaian pendapatan masyarakat.
Dalam menganalisa tahapan pembangunan sosial ekonomi perdesaan,
dapat mengacu pada konsep proses pembangunan yang dikemukan Rostow (
dalam Budiman, 1995 : 25 – 31 ) bahwa pembangunan merupakan proses yang
bergerak dalam sebuah garis lurus, yakni dari masyarakat yang terkebelakang
ke masyarakat yang maju, yaitu :
1. Masyarakat tradisional : tingkat ilmu pengatahuan masyarakat rendah,
masyarakatnya masih dikuasai kepercayaan kekuatan magis, tunduk
kepada alam, produksi terbatas, ekonomi subsistensi, tidak ada
investasi, dan masyarakatnya statis.
2. Prakondisi untuk lepas landas : masyarakat tradisional meskipun
sangat lemah, terus bergerak mencapai suatu titik prakondisi untuk
lepas landas. Perubahan ini karena ada campur tangan dari luar, mulai
dari ide pembaharuan. Usaha untuk meningkatkan tabungan terjadi
digunakan untuk investasi sektor-sektor produktif dan menguntungkan,
termasuk pendidikan.
3. Lepas landas : dimulai dari tersingkirnya hambatan-hambatan yang
menghalangi proses pertumbuhan ekonomi. Tabungan dan investasi
yang aktif meningkat 5% menjadi 10% dari pendapatan nasional
industri-industri baru mulai berkembang dengan pesat. Pertanian
menjadi usaha komersial, bukan sekedar untuk konsumsi.
4. Bergerak ke kedewasaan : terjadi proses kemajuan yang terus
bergerak kedepan, tabungan dan investasi mencapai antara 10%
sampai 20% dari pendapatan nasional dan diinvestasikan kemabali.
Industri berkembanmg sangat pesat, sebahagian barang diimpor
sekarang sudah di produksi dan ekspor barang-barang baru

68
K2i DI PROVINSI RIAU
TPK2-GUBRI 2003-2008

mengimbangi impor. Setelah 40 – 60 tahun setelah periode lepas


landas terakhir, tingkat kedewasan biasanya tercapai.
5. Jaman konsumsi masal yang tinggi : karena pendapatan masyarakat
naik , konsumsi tidak lagi terbatas pada kebutuhan pokok untuk hidup
tetapi meningkat ke kebutuhan yang lebih tinggi. Produksi industri
berubah kebutuhan dasar menjadi kebutuhan barang konsumsi yang
tahan lama. Investasi untuk meningkatkan produksi tidak lagi menjadi
tujuan utama, surplus ekonomi akibat proses politik dialokasikan untuk
kesejahteraan sosial dan penambahan dana sosial. Pembangunan
sudah berkesinambungan untuk kemajuan terus menerus.
Teori Rostow tentang lima tahap pertumbuhan ekonomi ini, seperti teori
modernisasi lainnya, didasarkan pada dekotomi masyarakat-masyarakat
tradisional dan masyarakat modern. Titik tengah dalam gerakan kemajuan dari
masyarakat yang satu ke yang lainnya adalah periode lepas landas (
masyarakat transisi ). Kalau mengaku ke perdesaan, tingkat perkembanganya
yaitu desa tradisional, desa tradisional dan desa modern, dalam perkembangan
tingkat sosial ekonomi masyarakat Rostow juga mengemukakan penting adanya
kelompok wiraswastawan, elite baru dalam masyarakat, misalnya : kaum
pedagang, meningkatnya investasi, tumbuh industri pengelolaan (manufaktur)
dan adanya secara cepat lembaga-lembaga politik dan sosial yang dapat
menciptakan iklim berinvestasi yang kondusif.
Pada umunya perdesaan di Indonesia karena sebagai negara agraris,
sektor pertanian yang menjadi andalan. Menurut Weitz ( dalam Todaro, 1995 :
367 ) terdapat tiga langkah atau tahapan besar di dalam perjalanan evolusi
produksi pertanian : pertama, pertanian subsisten yang produktivitasnya rendah;
kedua tahapan pertanian diversifikasi atau capuran; ketiga, tahapan pertanian
modern, produktivitas yang tinggi untuk mengisi pasar-pasar komersial.
Modernisasi di bidang pertanian di dalam ekonomi pasar campuran
seperti yang tampak di perdesaan akan mengalami peralihan secara bertahap,
dari subsisten ( untuk memenuhi kebutuhan sendiri ) menuju spesialisasi
produksi ( komersial ). Akan tetapi transisi tersebut lebih banyak memerlukan

69
K2i DI PROVINSI RIAU
TPK2-GUBRI 2003-2008

adanya reorganisasi struktural ekonomi pertanian atau aplikasi teknologi


pertanian.
Kebanyakan masyarakat perdesaan pada saat ini, pertanian bukan saja
aktivitas ekonomi, tatapi sudah menjadi cara hidup. Setiap pemerintah yang
berusaha untuk mengubah pertanian tradisionalnya ini harus mengatahui bahwa
selain penerapan struktural pertanian yang baru, perubahan-perubahan yang
berpengaruh kepada seluruh struktur kehidupan sosial ekonomi, pendidikan dan
kelembagaan pada masyarakat, kesemuanya itu sangat diperlukan. Tampa
adanya perubahan seperti itu, pembangunan masyarakat perdesaan tidak akan
beranjak atau barangkali hanya akan memperlebar kesenjangan antara
sekelompok kecil orang yang kaya dan makmur dan mayoritas petani miskin.
Di dalam pertanian subsisten tradisional, keluaran dan konsumsi identik
dengan dua tiga hasil pertanian pokok ( biasanya sagu, beras dan jagung )
merupakan sumber pangan utama. Keluaran dan produktivitasnya rendah dan
peralatan pertanian yang digunakan amat sederhana, lingkungan statis, musim
tanam sangat tergantung pada cuaca, dan tenaga kerja merupakan faktor
produksi pokok. Gagal panen dan kurang keterampilan dalam mengelola lahan
merupakan bencana bagi kelansungan hidup petani. Para petani
memperkerjakan anggota keluarganya. Terbatasnya teknologi, kakunya
lembaga-lembaga sosial dan terbagi-baginya pasar merintangi meningkatnya
produksi. Sebagian besar masyarakat pertanian perdesaan masih tetap berarti
pada tahap subsistensi. Namun kebanyakan pertanian tradisional dapat
berprilaku secara ekonomi rasional, jika dihadapkan kepada alternatif
kesempatan.
Menurut teori yang baku, pendapatan rasional atau laba (profit)
maksimum pertanian atau perusahaan akan selalu memilih metode produksi
yang akan meningkat keluaran pada biaya tertentu atau menurut biaya pada
tingkat keluaran tertentu ( prinsip ekonomi ). Oleh karena itu, jika rasio dan
ketidak pastiannya pasar, seorang petani miskin akan segan ( pikir-pikir dulu )
untuk beralih dari teknologi tradisional dan bertani yang telah bertahun-tahun
mereka tekuni ke teknologi baru, yang walupun menjanjikan hasil panen lebih

70
K2i DI PROVINSI RIAU
TPK2-GUBRI 2003-2008

tinggi, namun mengandung resiko kegagalan yang besar juga. Menurut Todaro (
1995 : 370 ) mengatakan bahwa ada beberapa faktor mengapa petani kecil
kurang responsif terhadap peluang ekonomi yang jelas, diantaranya karena :
pemerintah memberikan jaminan harga yang tidak pernah dibayar, memasukan
pelengkap ( pupuk, obat-obatan, anti hama, pengairan, kredit-kredit yang tidak
bisa dimanfaatkan dan sebagainya ), semuanya itu di tidak tertenggulangi petani
kecil.
Dengan demikian usaha-usaha untuk memperkecil resiko dan
melenyapkan hambatan-hambatan komersial dan kelembagaan terhadap inovasi
baru termasuk teknologi, merupakan persyaratan pokok (esensial) bagi
pembangunan pertanian di perdesaan.
Selanjutnya diversifikasi tanaman atau pertanian campuran merupakan
langkah pertama yang dapat dianggap masuk akal untuk beralih dari subsisten
ke spesialisasi produksi. Dalam tahap ini panen pokok tidak lagi di dominasi
keluaran pertanian, karena hasil bumi baru untuk perdagangan seperti buah-
buahan, sayuran, kopi, the, sawit, kelapa, nenas, pisang, jeruk, mangga,
rambutan dan sebagainya dapat dipungut bersama-sama dengan hasil kolam
dan ternak peliharaan.
Aktivitas baru ini dapat dilakukan lebih santai, dimana banyak tenaga
kerja petani diluar masa panen dalam keadan setengah menganggur,
memanfaatkan sisa lahan. Akhirnya dengan menggunakan traktor kecil, mesin
penyebar benih, bajak-bajak yang dijalankan hewan, penggunaan bibit unggul,
pupuk, irigasi, racun hama, dan irigasi akan meningkatkan hasil panen pokok
seperti, beras, dan jagung serta dapat menghemat tanah untuk digunakan
menahan tanaman perdagangan, tampa menggangu sediaan panen pokok. Para
penggarap lahan yang demikian dapat memiliki surplus panen yang dapat dijual
ke pasar yang hasilnya dapat meningkatkan standar hidup keluarganya atau
digunakan untuk investasi, divertifikasi tanaman dapat juga memperkecil
pengaruh gagalnya panen, disamping memberikan jaminan tambahan
pendapatan. Sukses atau gagaglnya petani di perdesaan, akan tergantung tidak
hanya pada kemampuan petani dan keterampilannya dalam meningkatkan

71
K2i DI PROVINSI RIAU
TPK2-GUBRI 2003-2008

produktivitasnya, tertapi bahkan yang lebih penting tertumpu pada kondisi-


kondisi sosial, komersial dan kelembagaan yang melingkupi petani. Khususnya
jika petani telah yakin gampang memperoleh kredit ,pupuk, air, penjelasan-
penjelasan dari penyuluh, fasilitas pemasaran, dan sebagainya, dan jika petani
tidak ragu-ragu lagi akan dapat memperoleh keuntungan dari setiap perbaikan,
maka tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa petani tidak tanggap terhadap
rangsangan ekonomi dan peluang-peluang baru untuk memperbaiki taraf
kehidupan kehidupan masyarakat di perdesaan.
Kemudian dari pada itu, spesialisasi tanaman merupakan tahap akhir dan
paling maju dari lahan pertanian yang dikelola secara individu dari dalam
perekonomian pasar campuran. Pada tipe pertanian yang mengenal spesialisasi
tanaman atau usaha, penyediaan pangan bagi keluarga dari surplus atau
kelebihan penjualan pasar tidak lagi merupakan sasaran motivasi pokok.
Keuntungan yang benar-benar komersial menjadi ukuran atau kriteria sukses
usaha manusia atas lahan pertanian per meter kubik ( Irigasi, pupuk, anti hama,
bibit unggul dan sebagainya, sementara itu tujuan aktivitas usaha. Produksi
dimaksudkan semata-mata untuk pasar dan konsep-konsep ekonomi, seperti
biaya tetap, biaya variabel, tabungan, investasi dan tingkat laba atau
keuntungan, kombinasi-kombinasi faktor optimal, harga-harga pasar dan
penunjang harga dan sebagainya, mempunyai peranan kuantatif dan kualitatif.
Pembentukan modal, kemajuan teknologi, penelitian ilmiah, memainkan peran
besar di dalam meningkatkan keluaran dan produktivitas yang lebih tinggi.
Spesialisasi tanaman mungkin berbeda ukuran, bentuk dan fungsinya.
Cakupannya meliputi pembudidayaan buah-buahan, sayur-sayuran, perkebunan,
peternakan dan perikanan yang sangat luas padat modal. Dalam banyak hal
peralatan mekanis yang hemat tenaga, dari mulai traktor-traktor yang besar
sampai dengan pesawat penyemperot hama memungkinkan seorang petani
mengelola ribuan meterkubik lahan tanah sekaligus. Gambaran umum mengenai
spesialisasi pertanian, menitik beratkan pada pembudidayaan satu jenis
tanaman tertentu, pemakaian teknik-teknik yang padat modal dan hemat tenaga
kerja terkait pada skala ekonomi, yaitu memperkecil biaya perunit tetapi dengan

72
K2i DI PROVINSI RIAU
TPK2-GUBRI 2003-2008

keuntungan maksimal. Kenyatanya beberapa pengoprasian spesialisasi tanaman


dimiliki dan dikelola oleh perusahan-perusahaan agrobisnis.
Dengan berpengalaman kepada negara-negara maju yang tingkat
kemakmuranya tinggi, pilihan kepada spesialisasi produksi yang disesuaikan
dengan sumber alam dan permintaan pasar merupakan alternatif yang tepat
untuk diterapkan pada pembangunan sosial ekonomi perdesaan. Hanya saja
berdasarkan pengalaman spesialisasi.
Produksi, seperti perkebunan inti rakyat, faktor modal, teknologi dan
keterlibatan (keikutsertaan) petani yang berada disekitarnya atau sebagai pemilik
lahan merupakan faktor yang perlu diperhitungkan, dalam rangka pencapaian
pembangunan perdesaan yang beroreintasi pada kepentingan manusia yang
sebenarnya. Yang sering menimbulkan konflik adalah para pemilik agrobisni
swasta selalu menggarap lahan-lahan petani dalam skala yang luas, tanpa
mengikutsertakan petani, bahkan merampas lahan-lahannya. Jadi aspek
pengaturan dan pembagian mengurangi resiko spesialisasi produksi dalam skala
yang luas.
Dengan mengacu pada beberapa teori pertumbuhan ekonomi dari
berbagai aliran, maka setidak-tidaknya ada beberapa faktor yang harus ada
selalu tersedia dan berfungsi pada masyarakat perdesaan, diantaranya :
1. Tenaga kerja yang terampil dan sehat, pembentukan melalui
peningkatan sumber daya manusia.
2. Petani yang memiliki tanah (lahan) melalui kebijakan landreform.
3. Dana untuk investasi dan modal kerja, melalui penyediaan kredit
jangka panjang dan kecil tingkat suku bunga yang disediakan bank
pemerintah atau koperasi desa.
4. Seperangkat aturan yang mencagah terjadinya monopoli /persaingan
yang tidak sehat dan iklim sosial politik yang kondusif.
5. Jaminan distribusi dan pemasaran hasil-hasil usaha di perdesaan.
6. Teknologi tepat guna ( yang disesuaikan dengan kebutuhan
karateristik sosial ekonomi desa ).

73
K2i DI PROVINSI RIAU
TPK2-GUBRI 2003-2008

7. Pembagian kerja (usaha) secara lokal, ragional dan nasional, melalui


perkembangan spesialisasi produksi yang sesuai dengan sumber-
sumber setempat.
8. Dukungan kebijakan dan kemampuan politik dari pemerintah.
9. Berfungsinya lembaga-lembaga dalam masyarakat.

K. Pendekatan Kebijakan Pengembangan Usaha Berpusat di Perdesaan


Dalam kerangka acuan pembangunan nasional, pembangunan yang
memberdayakan masyarakat di perdesaan harus menjadi pusat perhatian dan
tanggung jawab bersama. Membangun masyarakat perdesaan berarti pula
membangun sebagian besar penduduk Indonesia. Selain memiliki potensi
sumber daya manusia, perdesaan juga memiliki potensi sumber daya alam.
Dengan demikian pembangunan masyarakat pedesaan Indonesia harus
menjadi pusat perhatian yang lebih serius, terencana, terpadu dan
berkesinambungan, serta dipercepat prosesnya, sebagaimana telah ditegaskan
dalam Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1999–2004 sebagai TAP MPR
No. IV/ MPR /1999 (huruf G angka 1. d), bahwa perlu percepatan pembangunan
perdesaan dalam rangka pemberdayaan masyarakat terutama petani dan
nelayan melalui penyediaan program prasarana, pengembangan kelembagaan,
penguasaan teknologi dan pemanfaatan sumber daya alam.
Berkaitan dengan prinsip-prinsip birokrasi pemerintahan yang efektif
(Osborne dan Gaebler, 1992:281; Osborne dan Plastrik, 1996:349) dalam
perspektif kontekstual (Friedmann, 1981:42; Findley, 1987:19; Bryant dan White,
1989:378; Saefullah, 1995:13) menyatakan bahwa pendekatan pembangunan
yang berpihak kepada kepentingan masyarakat dan berdasarkan situasi kondisi
internal dan eksternal yang merupakan faktor-faktor kunci keberhasilan, antara
lain berupa potensi, kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan, tidak dapat
diabaikan. Demikian pula halnya dalam upaya penerapan Otonomi Daerah (UU
No. 22 Tahun 1999) membutuhkan suatu strategi adaptasi antara modernisasi
dengan tradisi.

74
K2i DI PROVINSI RIAU
TPK2-GUBRI 2003-2008

Strategi dan kebijakan pembangunan yang tidak sesuai dengan keinginan


masyarakat dan potensi yang ada di perdesaan, tentunya tidak efisien,
mengingat pada kenyataannya perdesaan di Indonesia memiliki perbedaan
karakteristik antara satu Desa dengan Desa yang lain (Saefullah, 1995:13).
Karena itu, menurut Findley (1987:19) menyatakan bahwa keberhasilan
pembangunan perdesaan sangat ditentukan bagaimana terciptanya kesesuaian
antara perencanaan pembangunan yang dibuat dengan potensi yang ada,
kebutuhan dan keinginan masyarakat di perdesaan.
Berdasarkan survey awal di lokasi penelitian, meskipun dalam prakteknya
mekanisme perencanaan dan pelaksanaan program pembangunan masuk
perdesaan telah melibatkan kelembagaan perdesaan yang memiliki kewenangan
untuk itu. Namun pada kenyataannya terdapat indikasi kuat kurang efektifnya
perencanaan dan implementasi program pembangunan perdesaan yang
dirumuskan pemerintah daerah, perusahaan besar maupun LSM. Hal ini
dikarenakan pembangunan masyarakat perdesaan terutama petani dan nelayan
belum dapat melepaskan diri mereka dari kemiskinan. Kenyataan yang demikian
yang membuat penulis tertarik untuk melakukan penelitian dan pembinaan
terutama pada masyarakat di desa yang terisolir.
Sebagimana telah diuraikan bahwa rencana maupun program
pembangunan ekonomi, pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, industi,
pariwisata, perdagangan, dan lain-lain harus disesuaikan dengan potensi sosial
dan potensi alam setempat, yang kemudian dikaitkan pula dengan peluang-
peluang pasar lokal, regional, nasional dan pasar internasional.
Untuk mewujudkan rencana dan program yang demikian dibutuhkan
dukungan sumber dana dan manusia dari berbagai pihak : Pemerintah Daerah,
Perguruan Tinggi, Perusahaan Besar, Perbankan, Balai Pelatihan, Koperasi,
LSM dan lain sebagainya dalam rangka pembinaan masyarakat tani dan nelayan
di perdesaan.
Dukungan dana dan pembinaan diperlukan masyarakat tani dan nelayan
terutama ditujukan pada manajemen usaha, pengolahan lahan, efisiensi dan
efektivitas berusaha, dan bantuan teknologi termasuk pembinaan memasarkan

75
K2i DI PROVINSI RIAU
TPK2-GUBRI 2003-2008

produk. Semuanya itu dilakukan dalam rangka proses pembelajaran dan


pemberdayaan dalam rangka kemandirian masyarakat tani dan nelayan.
Dalam hal ini diperlukan suatu kajian analisis potensi alam dan potensi
masyarakat setempat untuk membuat suatu proyek desa percontohan dalam
rangka mengembangkan jenis-jenis usaha apa saja yang perlu dikembangkan
yang dilakukan secara terintegral dan terpadu dan memerlukan dukungan dana
dan pemibinaan dari perguruan tinggi.
Oleh karena itu, pada bahagian ini penulis tertarik untuk meneliti dengan
memfokuskan pada analisis tentang potensi alam dan potensi masyarakat
setempat yang dikaitkan dengan peluang pasar lokal, regional, nasional dan
internasional dalam rangka menetukan proyek percontohan usaha apa yang
perlu dikembangkan pada suatu komunitas kelompok masyarakat atau pada
suatu desa. Setelah itu dilakukan pembinaan, yairu : melakukan pemilihan usaha
yang berbasiskan potensi desa dan dikaitkan dengan peluang pasar (market);
melakukan pelatihan terhadap SDM petani, memberikan dukungan finansial,
pengolahan lahan decara mekanik dalam skala luas, pembinaan lembaga
Koperasi, dan penerapaqn teknologi. Kesemuanya itu diharapkan melahirkan
suatu desa yang dapat dijadikan contoh dalam pengembangan usaha pertanian
terpadu yang memiliki efek ganda (multi efec) dalam rangka pengurangi tingkat
kemiskinan dan kebodohan.
Permasalahan selama ini adalah ”Rencana dan implementasi program
dan kegiatan pembangunan pertanian di perdesaan dalam usaha mencapai
keberhasilan pembangunan perdesaan kurang didasarkan pada potensi alam
dan sosial setempat serta kurang dikaitan dengan peluang pasar lokal, regional,
nasional dan internasional” serta belum optimal dalam pembinaan SDM petani,
memberikan dukungan finansial dan penggunaan teknologi.
Ada beberapa hal penting yang harus terungkap apabila ingin
pengembangkan usaha di desa dalam rangka kemiskinan dan kebodohan antara
lain :
1. Apa potensi alam dan sosial suatu komunitas masyarakat atau desa;

76
K2i DI PROVINSI RIAU
TPK2-GUBRI 2003-2008

2. Jenis usaha apa saja yang perlu dikembangkan dikaitkan dengan potensi
alam dan sosial pada suatu komonitas setempat atau pada suatu desa
yang dikaitkan dengan peluang pasar;
3. Bagaimana pembinaan yang harus dilakukan terhadap petani atau
masyarakat miskin dalam berusaha;
4. Bagaimana mengoptimalkan dukungan finansial dari pemerintah Daerah
Kabupaten, Provinsi dan Pusat sehingga penggunaan dana tidak
konsumtif, tetapi memilki nilai ganda dalam rangka penyediaan modal
kerja, pembinaan SDM petani dan penerapan teknologi pertanian.
Dari potensi, kelemahan , peluang dan tantangan pengembangan usaha
masyarakat di desa tersebut di atas, apabila dikaji karakteristik pengembangan
usaha di Provinsi Riau dapat saja berupa pembukaan perkebunan dalam sekala
luas dengan kebijakan redistribusi asset kepada petani dan nelayan atas dasar
dukungan kerjasama Pemerintah, suasta dan masyarakat dan pertimbangan
karakteristik potensi alam dan berorientasi kepada pasar (market).
Salah satu strategi yang diterapkan adalah seluruh kegiatan perkebunan
dan pertanian dipusatkan pada suatu KUD sebagai pusat lembaga perekonomian
dan seluruh peserta program wajib menjadi anggotanya. Ini adalah merupakan
proses pemberdayaan masyarakat. Dimana pada suatu ketika masyarakat sudah
mampu mengrus usahanya maka KUD beserta assetnya akan diserahkan. Hal ini
atas dasar konsep, bahwa pemberdayaan masyarakat akan terjadi apabila :
1. Dalam jangka waktu tertentu masyarakat harus mampu berusaha sendiri;
2. Pada tahap awal diberikan modal dan pembinaan;
3. Pemerintah, Lembaga perguruan Tinggi, Pengusaha (investor) dan LSM,
bertindak sebagai agen perubahan (pembangunan) dengan menyediakan
kebutuhan usaha masyarakat, berupa:
a. investasi dan modal kerja dengan cuma-cuma atau kredit lunak
tanpa bunga;
b. Bantuan dan Penyediaan mekanisasi pertanian, teknologi (bibit
unggul, pupuk dan racun hama penyakit);
c. Tenaga ahli sebagai pembina/pendamping;

77
K2i DI PROVINSI RIAU
TPK2-GUBRI 2003-2008

d. Membantu proses terbentuknya Organisasi/Lembaga Ekonomi


berupa KUD;
e. Memberikan pelatihan dan keterampilan secara cuma-cuma;
f. Memberi motivasi dan etos kerja;
g. Membantu dalam memasarkan hasil produksi.
h. Pemerintah, perguruan tinggi dan LSM, berkewajiban
menjembatani pola kemitraan (saling menguntungkan) antara
petani dengan pengusaha, petani sebagai pelaksana pengadaan
bahan baku dan Perusahaan menyediakan pabrik pengolahan.
Sebagai ciri negara agraris menuju industri, perkebunan kelapa sawit atau
apapun dalam sekala luas yang sesuai dengan kondisi lahan dan budaya bertani
masyarakat lokal yang diminta pasar, diharapkan sebagai penghasilan untuk
jangka panjang. Sedangkan usaha lain sebagai tumpang sari atau melengkapi,
misalnya ternak ayam potong, tanaman sayuran dan buah-buahan merupakan
penghasilan jangka pendek.
Dasar pemikirannya adalah sambil menunggu 4-5 tahun sawit berproduksi,
penghasilan tanaman tumpang sari dan ternak ayam potong diharapkan sebagai
sumber untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Selain itu pupuk kandang
ayam potong dapat bermanfaat untuk pupuk kandang perkebunan kelapa sawit.
Namun demikian setelah 4-5 tahun, apabila sawit sudah menghasilkan
maka masyarakat sebagai peserta program sekarang harus mengembalikan biaya
atau modal yang telah diterimanya kepada KUD dengan cara mencicil perbulan
tanpa dikenakan biaya bunga dalam jangka waktu yang sangat meringankan.
Ikatan ini dilakukan dalam suatu surat perjanjian, dengan jaminan kebun sawitnya.
Kemudian dana yang terkumpul di koperasi setelah 4-5 tahun selain untuk
pengembangan usaha digulirkan kembali kepada masyarakat yang belum
menerima program dengan pelaksanaan program menggunakan sistem yang
sama.
L. Model Pembangunan Desa Berdasarkan Karakteristik Potensi
Paling tidak ada sembilan karakteristik perdesaan yang masing-
masingnya menggambarkan potensi alam dan potensi masyarakatnya. Dengan

78
K2i DI PROVINSI RIAU
TPK2-GUBRI 2003-2008

demikian model pembangunan perdesaan yang seharusnya dikembangkan


dalam konsep sistem terbuka perencanaan strategis dalam pembangunan
perdesaan yang kontekstual, adalah model-model pembangunan :
1. Desa persawahan,
2. Desa perladangan,
3. Desa perkebunan, Desa peternakan,
4. Desa perikanan,
5. Desa industri besar dan sedang,
6. Desa industri kecil dan kerajinan,
7. Desa jasa dan perdagangan, dan
8. Desa pariwisata.

1. Organisasi dan Peserta Penerima Program


Organisasi Pengembangan usaha terdiri dari :
1. Organisasi Pembina dan Pelaksana Utama adalah Pemerintah, Perguruan
Tinggi dan LSM, sedangkan Koperasi Unit Desa (KUD) Desa. Segala
kebutuhan dan hasil produksi pertanian terpusat di KUD, dan setiap
anggota penerima program wajib menjadi anggotanya.
2. Organisasi Pembina Pendamping adalah :Dinas Daerah Terkait, dalam hal
ini sebagai tenaga teknis dan penyuluh lapangan, antara lain misalnya :
Dinas Tanaman Pangan, Peternakan, Perkebunan, Perikanan, Pertanahan,
Kimpraswil, Pasar, Perindustrian Perdagangan dan Koperasi.
3. Organisasi Pengawas adalah Pemerintah Daerah melalui Bappeda dan
Bawasda adalah sebagai pengawas program.

Peserta yang menerima program adalah masyarakat miskin yang berada di


Desa.
Pemilihan dan penunjukan yang menjadi peserta program dilakukan
dengan penyebaran Instrumen penelitian, wawancara dan pengamatan langsung
terhadap masyarakat berupa aktifitas dan tempat tinggalnya. Proritas yang
menerima program adalah masyarakat yang miskin yang sudah berkeluarga dan

79
K2i DI PROVINSI RIAU
TPK2-GUBRI 2003-2008

sudah menetap minimal 5 tahun, selain tidak memiliki usaha yang tetap,
pendapatan rendah, tempat tinggal yang kurang memadai, juga dipertimbangkan
mereka yang memiliki semangat kerja cukup tinggi. Atas dasar kriteria tersebut
disusun daftar nama yang menerima program.
Daftar nama tersebut akan di cek lagi secara faktual di lapangan
apakah benar-benar masyarakat miskin, jika masih ada masyarakat yang lebih
berhak menerima bantuan program ini maka namanya akan diganti pada calon
peserta yang lebih berhak menerimanya.

2. Jenis Usaha Menjadi Prioritas Pengembangan


Berdasarkan Survai yang dilakukan di lokasi penerima program dengan
mempertimbangkan :
1. Merupakan tanah datar dan berbukit-bukit;
2. Ketinggian sekitar 300 meter dari permukaan laut;
3. Jenis tanahnya berwarna kuning dengan kemasaman tanah antara 4,5
sampai dengan 5,5;
4. Iklimnya tropis dengan suhu udara berkisar antara 19,5 derajat celcius
sampai dengan 34,2 derajat celcius;
5. Sedangkan musim yang ada adalah musim hujan dan musim kemarau,
musim hujan terjadi pada bulan September sampai dengan bulan Maret
dan musim kemaraunya terjadi pada bulan April sampai dengan bulan
Agustus.
Selanjutnya di Desa Pengembangan terdapat lapangan kerja rumah
tangga pertanian 116, perdagangan 3, buruh/ karyawan 3, dan jasa 3.
Sedangkan atau di desa yang lain terdapat lapangan kerja rumah tangga
pertanian 107, perdagangan 3, buruh/ karyawan 5, dan jasa 3. Ini berarti
sebahagian besar masyarakat disini sudah memiliki budaya bertani dan
berkebun dan memang kondisi alamnya cukup mendukung atau potensial.
Tradisi berkebun dengan pemilihan tanaman antara lain : karet, kelapa (kopra),
pisang, nangka, mangga, jambu air, pepaya, petai, jengkol dan nenas. Jenis
tanaman pertanian, antara lain : padi sawah dan ladang, plawija, kacang-

80
K2i DI PROVINSI RIAU
TPK2-GUBRI 2003-2008

kacangan, sayuran, dan bumbu masak. Sedikit perikanan darat dengan jenis
ikan nila dan mas. Petrnakan yang menjadi prioritas adalah ayam kampung,
sapi, kerbau dan kambing.
Jika dilihat dari peluang pasar lokal di suatu daerah dan sekitarnya, maka
jenis produksi pertanian dan perkebunan yang diminati pasar dan memiliki
potensi dapat dikembangkan, misalnya adalah jenis usaha yang menghasilkan :
I. Kebutuhan Pokok adalah:

1. Beras;
2. Gula Pasir;
3. Minyak Goreng
4. Daging Sapi
5. Daging Ayam Broiler
6. Daging Ayam Ras
7. Daging Ayam Kampung
8. Telur Ayam Ras
9. Telur Ayam Kampung
10. Jagung Pipilan
11. Ketela Pohon Umbi Basah
12. Ketela Rambat Umbi Basah
13. Tepung Gaplek
14. Kacang Tanah (Wose)
15. Kedelai (Lokal)
16. Kacang Hijau
17. Sagu
18. Berbagai Jenis Ikan Sungai dan Kolam, dsbnya
II. Jenis Sayuran :
1. Bayam
2. Bawang Prey
3. Bawang Merah
4. Bawang Putih Lokal

81
K2i DI PROVINSI RIAU
TPK2-GUBRI 2003-2008

5. Buncis
6. Cabe Merah Besar
7. Cabea Merah Keriting
8. Cabe Rawit
9. Kangkung
10. Ketimun
11. Petsai/ Sawi Panjang
12. Kentang Mutu Sedang
13. Tomat Mutu Sedang
14. Wortel
15. Terong
16. Kacang Panjang
17. Labu Siam
18. Paria
19. Gambas, dsbnya
III. Buah-buahan adalah :
1. Alpokat
2. Jeruk Manis
3. Jeruk Nipis
4. Mangga
5. Nenas
6. Rambutan
7. Pisang Ambon
8. Pisang Tanduk
9. Pisang Raja Serai
10. Pisang Barangan
11. Semangka
12. Manggis
13. Pepaya
14. Sawo
15. Duku

82
K2i DI PROVINSI RIAU
TPK2-GUBRI 2003-2008

16. Durian
17. Kedondong
18. Jambu Biji, dsbnya
Dengan demikian apabila dilihat dari potensi geografis, topografi, budaya
usaha, modal, teknologi dan pelung pasar maka usaha yang menjadi prioritas
untuk dikembangkan di suatu Desa yang menjadi contoh dalam model analisis
pendekatan potensi alam, budaya usaha dan pertimbangan permintaan pasar
adalah sebagai berikut :
1. Tanaman Pokok adalah Perkebunan Kelapa Sawit, masing-masing petani
6 ha; dengan pertimbangan untuk penghasilan jangka panjang dan
memiliki nilai ekonomis tinggi, selain mudah memasarkan produknya.
2. Ternak ayam potong adalah selain memberikan penghasilan utama
menjelang panen kelapa sawit, juga diharapkan dapat menghasilkan
pupuk kandang. Pupuk kandang ini dibutuhkan untuk pupuk kelapa sawit,
pupuk tanaman plawija, umbi-umbian, buah-buahan dan sayuran.
3. Tanaman tumpang sari di areal sawit 2 ha, jenis tanaman untuk setiap
petani berbeda atau tidak boleh seragam, antara lain :
1. Jenis Tanaman Pangan :
a. Jagung Pipilan
b. Ketela Pohon Umbi Basah
c. Ketela Rambat Umbi Basah
d. Kacang Tanah
e. Kcang Kedelai
f. Kacang Hijau, dsbnya
2. Peikanan Darat :
a. Ikan Nila
b. Lele Jumbo, dsb
3. Jenis Buah-buahan :
a. Alpokat
b. Jeruk Nipis
c. Nenas

83
K2i DI PROVINSI RIAU
TPK2-GUBRI 2003-2008

d. Pisang Ambon
e. Pisang Tanduk
f. Pisang Raja Serai
g. Pisang Barangan
h. Semangka
i. Pepaya
j. Sawo, dsbnya
4. Jenis Sayuran :
a. Bayam
b. Bawang Prey
c. Bawang Merah
d. Bawang Putih Lokal
e. Buncis
f. Cabe Merah Besar
g. Cabe Merah Keriting
h. Cabe Rawit
i. Kangkung
j. Ketimun
k. Petsai/ Sawi Panjang
l. Kentang Mutu Sedang
m. Tomat Mutu Sedang
n. Terong
o. Kacang Panjang
p. Labu Siam
q. Paria, dsbnya

3. Biaya, Mekanisasi dan Teknologi


Pembiayaan investasi, modal kerja, dan pengadaan mekanisasi dan
teknologi adalah merupakan shering antara Pemerintah Pusat, Provinsi,
Kabupaten/Kota, Bantuan atau Pinjaman Lunak Luar Negeri (Bank Bunia, ADB)
dan swasta Nasional atau Daerah dengan pola kemitraan.

84
K2i DI PROVINSI RIAU
TPK2-GUBRI 2003-2008

4. Model Pola Kemitraan


a. Pemerintah berperan memberikan pelayanan kepada investor,
kemudahan, insentif dan kepastian hukum serta menyediakan
infrastruktur yang dibutuhkan pengusaha. Lembaga Teknis
pemerintah dan Perguruan Tinggi serta LSM melakukan pembinaan
dan pengembangkan teknologi.
b. Pengusaha atau pemilik modal berperan mendirikan industri
pengolahan dan dukungan modal kerja dan teknologi serta pelatihan
kerja dalam skil yang dibutuhkan perusahaan.
c. Masyarakat sebagai petani selain bekerja, memiliki lahan dan ikut
memiliki sahan dalam Pabrik industri pengolahan.

5. Balai Latihan Keterampilan


Pemerintah dan pemilik modal berkewajiban mengadakan balai latihan,
kursus keterampilan bagi setiap peserta atau penerima program dalam rangka
pengembangan SDM sesuai dengan tuntutan kebutuhan.

6. Tahapan Persiapan, Pengolahan Lahan, Produksi dan Pemasaran


1. Penyiapan lokasi:
a. Pembangunan bangunan kantor dan perlengkapan KUD (pusat
kegiatan)
b. pembersihan lahan dengan teknologi mekanisasi
c. pembangunan kandang ayam
d. pembangunan instalasi air bersih
e. pembangunan instalasi listrik
f. pembelian peralatan dan perlengkapan, perkebunan dan
pertanian
2. Perkebunan Kelapa Sawit :
a. Pembuatan lobang tanam untuk Kelapa Sawit
b. Penanaman bibit kelapa sawit

85
K2i DI PROVINSI RIAU
TPK2-GUBRI 2003-2008

c. Pemeliharaan sampai panen


d. Pemasaran
3. Ternak ayam potong :
a. Pembuatan kandang
b. Pemelian tempat makan, tempat minum, terpal jendela
kandang, bibit, pakan, obat-obatan, semprot kandang ayam
potong
c. Pemeliharaan dan panen
d. Pemasaran
4. Tanaman Sayuran dan Buahan :
a. Pengolahan tanah
b. Penyemaian dan penanaman
c. Pemeliharaan dan panen
d. Pemasaran
Apa yang diuraikan tersebut di atas hanyalah beberapa contoh, namun
prinsip pengembangan usaha dalam rangka membuka lapangan kerja,
meningkatkan pendapatan perkapita dan kepemilikan atas asset dan
peningkatan SDM petani adalah tetap mengacu konsep pengembangan
ekonomi kerakyatan ( 8 faktor keberhasilan) yang penulis sebutkan di atas tadi.
Selain itu juga pertimbangan potensi setempat, pengembangan SDM dan
pemilihan tanaman yang sesuai dengan peluang pasar lokal, regional, nasional
dan Internasional.

86

You might also like