You are on page 1of 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang
Rhinitis, yang paling sering terjadi sebagai rinitis alergi, adalah radang

membran nasal yang ditandai dengan bersin, hidung tersumbat, gatal hidung, dan
rhinorrhea, dalam kombinasi apapun. Sementara rhinitis alergi itu sendiri tidak
mengancam jiwa (kecuali disertai dengan asma parah atau anafilaksis), morbiditas
dari kondisi dapat menjadi signifikan.1
Rhinitis alergi adalah cara beberapa orang merespon terhadap alergen outdoor
atau indoor. Pemicu luar rhinitis alergi termasuk ragweed, rumput, serbuk sari pohon,
dan spora jamur. Pemicu Indoor termasuk tungau debu, bulu hewan peliharaan, atau
jamur yang tumbuh di tempat-tempat dalam ruangan lembab seperti karpet. Alergen
di luar ruangan menyebabkan rhinitis alergi musiman (juga dikenal sebagai hay
fever), yang biasanya terjadi selama musim semi dan musim panas. Alergen dalam
ruangan dapat menyebabkan rhinitis alergi yang abadi (sepanjang tahun).2
Rhinitis alergi cenderung menurun dalam keluarga. Jika salah satu atau kedua
orang tua memiliki alergi rhinitis, ada kemungkinan besar bahwa anak-anak mereka
juga akan memiliki rhinitis alergi. Orang dengan rhinitis alergi memiliki peningkatan
risiko terkena asma dan alergi lainnya. Mereka juga beresiko terkena sinusitis,
gangguan tidur (termasuk mendengkur dan apnea tidur), polip hidung, dan infeksi
telinga.2
Pasien dengan rhinitis alergi kronis atau mereka yang memiliki gejala aktif
yang sebagian besar mengganggu selama setahun (terutama jika mereka juga
memiliki asma) mungkin memerlukan obat setiap hari. Obat ini yaitu: obat-obatan
anti inflamasi, antihistamin, antagonis Leukotriene, dan terapi imun.1,2,3

Obat anti-inflamasi yakni nasal kortikosteroid dianjurkan untuk pasien dengan


alergi sedang sampai berat, baik sendiri atau dalam kombinasi dengan antihistamin
generasi kedua. Pada rhinitis alergi, kortikosteroid mengurangi pembengkakan dan
peradangan pada hidung, sehingga gejala lebih sedikit. Ketika obat oral dikonsumsi
atau disuntikkan (sistemik) kortikosteroid, obat tersebut akan melalui seluruh tubuh
Hal ini dapat mengakibatkan efek samping yang serius. Bila menggunakan
kortikosteroid hidung, sebagian besar obat-obatan tetap di hidung dan tidak
melakukan perjalanan ke seluruh tubuh. Hal ini menyebabkan efek samping yang
lebih sedikit dan kurang serius daripada pil atau disuntikkan kortikosteroid.3

BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1

Rhinitis Alergi
Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma)

tahun 2010, rhinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin,
rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang
diperantarai oleh IgE.4
Rhinitis alergi adalah penyebab paling umum dari rhinitis. Merupakan kondisi
yang sangat umum, mempengaruhi sekitar 20% dari populasi.1
Meskipun rhinitis alergi bukanlah kondisi yang mengancam jiwa, komplikasi
dapat terjadi dan kondisi secara signifikan dapat mengganggu kualitas hidup, yang
mengarah ke sejumlah biaya tidak langsung. Total biaya langsung dan tidak langsung
dari rhinitis alergi baru-baru ini diperkirakan $5300000000 pertahun. Sebuah analisis
2011 menetapkan bahwa pasien dengan rhinitis alergi rata-rata 3 kunjungan tambahan
kantor, 9 resep yang lebih penuh, dan $1500 biaya kesehatan tambahan dalam 1 tahun
dibandingkan pasien yang sama tanpa rhinitis alergi.1
2.2

Etiologi
Rhinitis alergi dipicu oleh allergen, baik di luar ruangan (outdoor) maupun di

dalam ruangan (indoor). Rinitis alergi yang disebabkan oleh alergen outdoor (jamur
atau pohon, rumput dan serbuk sari) sering disebut sebagai alergi musiman, atau "hay
fever". Sedangkan rinitis alergi yang dipicu oleh alergen indoor (bulu binatang, jamur
dalam ruangan, atau tungau).2

Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas:5


1. Alegi inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan, misalnya
tungau debu rumah, kecoa, serpihan epitel kulit binatang, rerumputan serta
jamur.
2. Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya
susu sapi, telur, coklat, ikan laut, udang, kepiting dan kacang-kacangan.
3. Alergi injektan yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin
dan sengatan lebah.
4. Alergi kontaktan yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa,
misalnya bahan kosmetik dan perhiasan.
2.3

Epidemiologi1
Prevalensi rinitis alergi bervariasi pada setiap negara. Hal ini mungkin

disebabkan perbedaan geografis dan potensi dari alergen dan aeroalergen. Rinitis
alergi dialami sekitar 40 juta penduduk di Amerika Serikat. Data terbaru
menunjukkan sekitar 20% dari laju prevalensi kumulatif. Penelitian di Skandinavia
menunjukkan laju prevalensi kumulatif mencapai 15% pada laki-laki dan 14% pada
perempuan.1
Rinitis alergi dapat terjadi pada semua ras. Prevalensi rinitis alergi bervariasi
pada setiap populasi dan kultur, yang mana dipengaruhi perbedaan genetik, faktor
geografis atau lingkungan atau faktor-faktor lain yang berbasis populasi.1
Pada masa kanak-kanak, rinitis alergi lebih banyak dialami anak laki-laki
dibanding anak perempuan, namun pada masa dewasa prevalensinya nyaris seimbang
antara laki-laki dan perempuan.1
Onset rinitis alergi terbanyak pada masa kanak-kanak, remaja dan dewasa
muda, dengan onset usia rata-rata 8-11 tahun, namun rinitis alergi dapat terjadi pada
semua umur. Pada 80% kasus, rinitis alergi berkembang pada usia 20 tahun.
Prevalensi rinitis alergi telah dilaporkan sebesar 40% pada anak-anak dan menurun
dengan usia. Pada populasi geriatri, rinitis alergi jarang ditemukan.1

2.4

Klasifikasi
Klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO Initiative ARIA

(Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, yaitu berdasarkan sifat
berlangsungnya dibagi menjadi:5,6,7
1. Intermitten (kadang-kadang) : bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau
kurang dari 4 minggu
2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4
minggu.
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rhinitis alergi dibagi
menjadi:
1. Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian,
bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.
2. Sedang-berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut di atas.

Gambar 1. Klasifikasi Rhinitis Alergi Berdasarkan Durasi Gejala dan Keparahan.7


2.5
Patofisiologi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang ditandai dengan tahap
sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari
2 fase yaitu Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat
(RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan

Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Aergi Fase Lambat (RAFL) yang
berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiper-reaktifitas) setelah
pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.5
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau
monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan
menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses,
antigen akan membentuk fragmen pendek peptida dan ergabung dengan molekul
HLA kelas II mempentuk komplek peptida MHC Kelas II (Major Histocompatibility
Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th 0).Kemudian sel
penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL 1) yang akan mengaktifkan Th
0 untuk berplroliferasi menjadi Th 1 dan Th 2. Th 2 akan menghasilkan berbagai
sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5 dan IL 13. IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya
di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan
memproduksi Imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan
dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator)
sehingga ke dua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang
menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi
terpapar dengan alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen
spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan
akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Preformed Mediators)
terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara
lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4),
bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin seperti IL3, IL4,
IL5, IL6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lainlain. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alerfi Fase Cepat (RAFC).5
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga
menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan
menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan

permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung
tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin meransang ujung saraf
Vidianus, juga menyebabkan ransangan pada mukosa hidung sehingga terjadi
pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM 1).
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respon ini tidak
berhenti sampai di sini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam
setelah pemaparan. Pada RAFL ini diradai dengan penambahan jenis dan jumlah sel
inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa
hidung serta peningkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan Granulocyte Macrophage
Colony Stimulating Factor (GM CSF) dan ICAM 1 pada sekret hidung. Timbulnya
gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan
mediator inflamasi dan granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP),
Eosinophilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP) dan Eosinophilic
Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi olehfaktor non
spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang meransang,
perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi.5
2.6

Diagnosis6,7,8
Diagnosis rinitis alergika berdasarkan pada keluhan penyakit, tanda fisik dan

uji laboratorium. Keluhan pilek berulang atau menetap pada penderita dengan riwayat
keluarga atopi atau bila ada keluhan tersebut tanpa adanya infeksi saluran nafas atas
merupakan kunci penting dalam membuat diagnosis rinitis alergika. Pemeriksaan
fisik meliputi gejala utama dan gejala minor. Uji laboratorium yang penting adalah
pemeriksaan in vivo dengan skin prick test, IgE total, IgE spesifik dan pemeriksaan
eosinofil pada hapusan mukosa hidung. Uji Provokasi nasal masih terbatas pada
bidang penelitian.

Menegakkan diagnosis rinitis alergi dapat dipersulit oleh perilaku buruk


seperti kebiasaan menggosok mata dan hidung, sehingga timbul tanda-tanda khas,
yakni :
-

Allergic shiner, bayangan gelap di bawah kelopak mata akibat sumbatan

pembuluh darah vena.


Allergic salute, timbul akibat sering menggosok hidung dengan punggung

tangan ke arah atas.


allergic crease, garis melintang di dorsum nasi 1/3 bawah).
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau

lipid disertai adanya secret encer bening dan banyak. Perlu dicari keadaan yang dapat
menjadi faktor predisposisi misalnya polip hidung dan kelainan septum. Sebagai
pelengkap, dapat ditambah pemeriksaan sitologi hidung. Peningkatan eosinofil (5
sel / lapang pandang) menunjukkan kemungkinan alergi. Untuk mencari penyebab
dapat dilakukan uji kulit dengan cara skin prick test, scratch test, uji intrakutan atau
intradermal tunggal atau berseri (skin end point titration). Bila allergen diduga
berasal dari makanan, dapat dilakukan diet eliminasi dan provokasi atau
intracutaneous provocative food test (IPFT).
2.7

Penatalaksanaan1,7,9

Penatalaksanaan utama rinitis alergi terdiri dari 3 kategori pengobatan, yakni:


1. Langkah-langkah pengendalian lingkungan dan menghindari alergen
Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan alergen
penyebabnya (avoidance) dan eliminasi. Yakni dengan menghindari alergen
yang

sudah

dikenal

(zat

yang

dapat

menimbulkan

IgE-mediated

hypersensitivity pada pasien) dan menghindari alergen nonspesifik (Paparan


asap rokok, parfum dengan aroma yang kuat, asap, perubahan suhu yang
cepat, dan polusi luar ruangan), iritan serta factor pemicu.

Gambar 2. Algoritma Penatalaksanaan Rhinitis Alergi7


2. Manajemen farmakologis
Pasien dengan rhinitis alergi kronis atau mereka yang memiliki gejala aktif
yang sebagian besar mengganggu selama setahun (terutama jika mereka juga
memiliki asma) mungkin memerlukan obat setiap hari. Obat ini yaitu: obatobatan anti inflamasi, antihistamin, antagonis Leukotriene, dan terapi imun.
Obat anti-inflamasi yakni nasal kortikosteroid dianjurkan untuk pasien dengan
alergi sedang sampai berat, baik sendiri atau dalam kombinasi dengan
antihistamin generasi kedua. Pada rhinitis alergi, kortikosteroid mengurangi
pembengkakan dan peradangan pada hidung, sehingga gejala lebih sedikit.
Ketika obat oral dikonsumsi atau disuntikkan (sistemik) kortikosteroid, obat
tersebut akan melalui seluruh tubuh Hal ini dapat mengakibatkan efek
samping yang serius. Bila menggunakan kortikosteroid hidung, sebagian besar
obat-obatan tetap di hidung dan tidak melakukan perjalanan ke seluruh tubuh.

Hal ini menyebabkan efek samping yang lebih sedikit dan kurang serius
daripada pil atau injeksi kortikosteroid. Preparat kortikosteroid dipilih bila
gejala terutama sumbatan hidung akibat respons fase lambat tidak berhasil
diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai adalah kortikosteroid topical
(beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason, mometason furoat, dan
triamsinolon). Kortikosteroid topical bekerja untuk mengurangi jumlah sel
mastosit pada mukosa hidung, mencegah pengeluaran protein sitotoksik dari
eosinofil, mengurangi aktifitas limfosit, mencegah bocornya plasma. Hal ini
menyebabkan epitel hidung tidak hiperresponsif terhadap rangsangan allergen
(bekerja pada respons fase cepat dan lambat). Preparat sodium kromoglikat
topical bekerja menstabilkan mastosit (mungkin menghambat ion kalsium)
sehingga pengelepasan mediator dihambat. Pada respons fase lambat, obat ini
juga menghambat proses inflamasi dengan menghambat aktifasi sel netrofil,
eosinofil dan monosit. Hasil terbaik dapat dicapai bila diberikan sebagai
profilaksis.
3. Operatif
Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior),
konkoplasti atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirkan
bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara
kauterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.
4. Imunoterapi
Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat
dan sudah berlagsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak
memberikan hasil yang memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah
pembentukkan IgG blocking antibody dan penurunan IgE. Ada 2 metode
imunoterapi yang umum dilakukan yaitu intradermal dan sub-lingual.
2.7.1

Mekanisme Kerja Nasal Steroid11


Kortikosteroid bekerja mengendalikan laju sintesis protein. Saat diberikan

baik secara sistemik maupun topikal, molekul steroid bebas akan berdifusi secara

10

pasif ke membran sel target dan memasuki sitoplasma dan kemudian berikatan
dengan reseptor glukokortikoid. Kemudian reseptor glukokortikoid teraktivasi dan
memasuki inti sel, dan kemudian melekat sebagai dimer pada lokasi ikatan spesifik
(elemen respon glukokortikoid) pada DNA di gen 5-upstream promotor region of
steroid-response. Efek interaksi ini menginduksi dan mensupresi transkripsi gen.
Transkripsi RNA messenger terinduksi selama proses ini kemudian diikuti proses
post-transkripsional dan ditransportasikan ke sitoplasma untuk translasi ribosom,
dengan produk sampingan protein baru. Setelah proses post-transkripsional terjadi,
protein baru dilepaskan untuk aktivitas ekstraselular atau ditahan oleh sel untuk
aktivitas intraselular. Waktu yang dibutuhkan untuk transalasi RNA messenger dan
transkripsi protein dapat terjadi pada lag phase antara pemberian dan menghasilkan
aktivitas klinis kortikosteroid.
Penelitian terkini, terlihat bahwa aktivasi reseptor glukokortikoid dapat
berinteraksi langsung dengan faktor transkripsi lain di sitoplasma, yang mana dapat
sangat mempengaruhi respon steroid pada sel target.
Efektivitas kortikosteroid dalam penatalaksanaan rinitis alergi berkaitan
dengan beberapa aksi farmakologis. Kortikosteroid telah menunjukkan efek spesifik
dalam sel inflamasi dan mediator kimia yang terlibat dalam proses alergi. Mediator
kimia yang dipengaruhi secara langsung oleh kortikosteroid adalah leukotrien dan
prostaglandin, yang disintesa dari asam arakidonat melalui jalur enzimatik
lipoksigenase dan siklooksigenase. Kortikosteroid meningkatkan sintesis suatu
protein (lipocortin-1) yang memiliki efek fosfolipase A2 dan dapat menghambat
produksi mediator lipid. Mediator lainnya seperti histamin, platelet activating factor,
kinin dan substansi P dipengaruhi secara tidak langsung pada sel-sel inflamasi.
Kortikosteroid mengurangi jumlah limfosit T yang bersirkulasi dan
menghambat aktivasi limfosit T, produksi IL-2, generasi reseptor IL-2, dan produksi
IL-4. Kortikosteroid juga mengurangi jumlah eosinofil yang bersirkulasi dan influks
eosinofil dalam RAFL, menghambat IL-5 yang dimediasi eosinofil, dan menghambat

11

produksi GM-CSF. Kortikosteroid mengurangi sel mast nasal dan kadar histamin,
mengurangi jumlah basofil di sirkulasi dan menghjambat influks netrofil setelah
paparan alergen. Kortikosteroid menyebabkan reduksi jumlah makrofag dan monosit
dalam sirkulasi dan menghambat pelepasan sitokin termasuk IL-1, IFN-1, TNF-a dan
GM-CSF.
Steroid intranasal mempengaruhi seluruh aspek respon inflamasi nasal. Efek
inhibisi steroid intranasal pada respon alergi fase cepat dan lambat telah diteliti pada
beberapa penelitian.
Durasi penggunan kortikosteroid pretreatment merupakan faktor yang
mempengaruhi RAFC. Pada penelitian ditemukan inhibisi signifikan dari peningkatan
resistensi jalur napas nasal pada penggunaan beclometasone. Penggunaan steroid juga
mengurangi produksi sekret nasal dan hidung tersumbat yang diukur menggunakan
rhinomanometri. Pemberian steroid pretreatment sangat efektif dalam menurunkan
symptom scores. Steroid juga mempengaruhi RAFL dengan menurunkan gejala
bersin, kadar histamin dan aktivitas TAME-esterase.
Penelitian lain menunjukkan steroid secara signifikan menurunkan kadar
protein kationik eosinofil pada sekret nasal. Kortikosteroid juga secara signifikan
menghambat influksbasofil, eosinofil, netrofil, dan sel mononukleat pada RAFL
penderita yang terpapar alergen musiman. Pada biopsi nasal penderita rinitis alergi
yang diberikan steroid intranasal juga tidak ditemukan peningkatan eosinofil epitelial,
submukosal dan sel mast epitelial. Penggunaannya juga mengurangi jumlah antigenpresenting cell dan sel T di mukosa nasal pasien rinitis alergi. Penggunaan steroid
juga menurunkan kadar chemokins (IL-8, macrophage inflammatory protein-1a, dan
RANTES) dan sitokin (IL-1b dan GM-CSF) pada sekret nasal pasien alergi setelah
paparan alergen.
2.7.2

Dosis dan Sediaan Nasal Steroid11

12

Sediaan dan dosis steroid yang sering dipergunakan ditampilkan pada tabel
berikut:11
Kortikosteroid
Merek Dagang
Beclomethasone

Beconase AQ
42 g per spray
Vancenase 84AQ
84 g per spray

Flunisolide
Nasalide

Bioavailabilitas

Dosis dan Pemberian


1-2 spray/nostril 2 168-336

Dewasa

kali/hari

anak 6 tahun diketahui

g/hari

1 atau 2 spray/ 168-336

Dewasa

nostril per hari

anak 6 tahun

g/hari

dan 40%-50%

2 spray/nostril dua 200 g/hari Dewasa 15 20%


kali sehari atau 2

tahun

spray/nostril 3 kali

Anak

sehari

tahun

spray/nostril

6-14

3 300 g/hari Dewasa

/ kali sehari atau 2


sehari

dan 0,5%- 2%

anak 6 tahun

Nasarel, 25 g per spray/nostril 2 kali 150 g/hari Dewasa


spray

Intranasal
dan Belum

anak

dan Belum
12 diketahui

tahun
Budesonide

spray/nostril

Rhinocort, 32 g kali sehari

2 200 g/hari Anak

4-11 0,1%

tahun

per spray
Fluticasone

4 spray/nostril per 256 g/hari Dewasa

Flonase, 50 g per hari

anak

spray

tahun

dan
12

13

Triamcinolone

2 spray/nostril per 200 g/hari Anak

Nasacort, 55 g per hari


spray

1-2

tahun
spray/nostril 100-200

per hari
Nasacort AQ, 55 g 2-4
per spray

6-11

g/hari
spray/nostril 220-440

per hari

g/hari

Dewasa
anak

dan
12

2 spray/nostril per 220 g/hari tahun


hari

Anak

6-12

tahun
Mometasone

2spray/nostril

per 220 g/hari Dewasa

Nasonex,50 g per hari


spray

1-2
per hari

dan

anak 6 tahun
spray/nostril 110-220
g/hari

2 spray /nosreil per 200 g/hari


hari
Tabel 3. Dosis dan cara pemberian beberapa sediaan steroid intranasal
Dikutip dari Craig LaForce: Use of Nasal Steroids in Managing Allergic Rhinitis. J
Allergy Clin Immunol 1999;103:S388-94
2.7.3

Keuntungan11
Penelitian efek humoral steroid intranasal menunjukkan pengaruh langsung

respon imun pada alergen musiman oleh regulasi produksi antibodi alergen spesifik.
Penggunaan steroid mengurangi gejala rinitis dan mengantisipasi peningkatan IgE
spesifik selama paparan alergen. Penggunaan kortikosteroid intranasal juga terlihat
lebih efektif dalam mengatasi rinitis alergika perenial dibandingkan antihistamin
generasi kedua.

14

Kortikosteroid intranasal juga sering dikominasikan dengan antihistamin


untuk mengurangi gejala pada mata dengan lebih cepat. Pada suatu penelitian juga
terlihat bahwa kortikosteroid intranasal juga lebih baik dibandingkan dengan
Pollinex-R, suatu bentuk imunoterapi.
Sediaan baru nasal steroid dengan bioavailabilitas sistemik rendah seperti
mometason dan fluticason dipertimbangkan pada penatalaksanaan rinitis alergi pada
anak. Sediaan ini telah disetujui oleh FDA dimulai pada usia 3 tahun (mometason)
dan 4 tahun (fluticason), dengan dosis yang direkomendasikan setengah dari dosis
dewasa. Mometason dan fluticason hampir tidak diabsorbsi di traktus gastrointestinal,
dengan fraksi yang diabsorbsi dimetabolisme dengan cepat di hepar.
2.7.4

Efek Samping11
Efek samping penggunaan kortikosteroid juga jarang dilaporkan. Efek

samping yang paling sering adalah iritasi nasal, yang terjadi pada 10% pasien. Hal ini
memberikan gejala berupa sensasi terbakar atau bersin-bersin. Dua persen pasien
melaporkan mengeluarkan sekret hidung bercorak darah akibat obat maupun gejala.
Perforasi septum juga pernah dilaporkan meskipun sangat jarang. Biopsi nasal setelah
penggunaan obat dalam jangka waktu lama juga tidak memperlihatkan penipisan
epitel nasal atau abnormalitas mukosa nasal. Superinfeksi mukosa oleh Candida
albicans, yang biasanya ditemukan pada penggunaan kortikosteroid topikal, inhalasi
oral pada penatalaksanaan asma, bukanlah hal yang sigifikan di hidung.11
Efek samping sistemik telah dipermasalahkan sejak dahulu. Deksametason,
kortikosteroid topikal pertama yang tersedia di Amerika Serikat, telah diperhitungkan
absorbsi sistemiknya menyebabkan supresi adrenal setelah penggunaan jangka
panjang. Sediaan yang lebih baru seperti yang digunaan saat ini memiliki absorbsi
sistemik yang lebih rendah dan pada dosis standar yang digunakan untuk terapi rinitis
alergi, tidak ditemukan efek pada aksis hipotalamus-pituitari-adrenal. Katarak
retrokapsular pernah diaporkan pada terapi beklometason. Namun penelitian lebih

15

lanjut menujukkan efek katarak akibat penggunaan steroid ini tidak lebih tinggi
daripada efek yang ditimbulkan akibat tidak digunakannya kaca mata hitam.11
Gangguan pertumbuhan tulang pada anak juga telah diperhatikan,
sebagaimana yang diamati pada penggunaan steroid jangka panjang pada asma. Hal
ini diamati pada penggunaan beclometason. Namun penggunaan steroid dosis rendah
namun dapat mengurangi gejala rinitis pada jangka panjang masih disarankan dan
aman. Penelitian penggunaan mometason furoat pada anak-anak dengan rinitis alergi
parenial tidak menyebabkan retardasi pertumbuhan atau supresi aksis hipotalamuspituitari-adrenal. Efek jangka panjang penurunan kecepatan pertumbuhan yang
berpengaruh pada tinggi saat dewasa dan kemampuan mengejar pertumbuhan setelah
penghentian terapi steroid belum diteliti secara adekuat. Namun disarankan
pengamatan reguler setiap 3 hingga 6 bulan dengan instrumen adekuat (statiometer)
oleh staf terlatih. Lebih lanjut, perlu dipertimbangkan penggunaan sediaan baru
dengan bioavailabilitas sistemik rendah seperti mometason dan fluticason pada
penatalaksanaan rinitis alergi pada anak. Sediaan ini telah disetujui oleh FDA dimulai
pada usia 3 tahun (mometason) dan 4 tahun (fluticason), dengan dosis yang
direkomendasikan setengah dari dosis dewasa. Mometason dan fluticason hamper
tidak diabsorbsi di traktus gastrointestinal, dengan fraksi yang diabsorbsi
dimetabolisme dengan cepat di hepar.11

BAB III
PENUTUP

3.1

Kesimpulan

16

Steroid intranasal merupakan obat yang sangat efektif dalam penatalaksanaan


pasien dengan rinitis alergi dibandingkan dengan antihistamin, dekongestan dan
kromolin. Saat ini telah tersedia beberapa sediaan steroid intranasal yang memiliki
efektivitas dan karakteristik keamanan relatif sama.
Meskipun steroid intranasal masih kurang efektif dalam mengurangi gejala
akut seperti gejala okular dibandingkan antihistamin dalam penatalaksanaan rinitis
alergi perenial, steroid intranasal dapat digunakan sebagai kombinasi dengan terapi
lainnya untuk mencapai perbaikan optimal dari gejala keseluruhan.
Sediaan kortikosteroid memiliki onset aksi terlambat dan dibutuhkan
pemberian harian untuk mencapai hasil yang optimal. Efek samping utama dari
steroid intranasal adalah iritasi lokal dan meskipun telah diteliti bioavailabilitas
sistemik dari beberapa sediaan steroid intranasal, laporan mengenai efek samping
sistemik masih sangat jarang.

DAFTAR PUSTAKA
1.

Sheikh J. Medscape. Allergic Rhinitis. April 1, 2013. Available at URL:


http://emedicine.medscape.com/article/134825-overview. Accessed on 20th August
2013.

17

2.

Simon H. University of Maryland Medical Center. Allergic Rhinitis. June 21, 2013.
Available at URL: http://umm.edu/health/medical/reports/articles/allergic-rhinitis.
Accessed on 20th August 2013.

3.

Healthwise. WebMD. Corticosteroids for Allergic Rhinitis. June 30, 2011. Available
at

URL:

http://www.webmd.com/allergies/corticosteroids-for-allergic-rhinitis.

Accessed on 20th August 2013.


4.

Brozek JL, Bousquet J, Baena-Cagnani CE, Bonini S, Canonica GW et al. National


Guideline Clearinghouse. Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA) 2010
revision. 23 Dec, 2010. http://www.guideline.gov/content.aspx?id=24599 Accessed
on 20th August 2013.

5.

Irawati, N, E. Kasakeyan dan N. Rusmono. Rinitis Alergi. Dalam: Soepardi EA dkk,


eds. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher Edisi
Keenam. FKUI. Jakarta, 2009: hal 128-134.

6.

DeGuzman, et al. Allergic Rinitis. Michigan: UMHS Guidelines Oversight Team;


2007.

7.

Small and Kim. Allergic rinitis. Allergy, Asthma & Clinical Immunology 2011, 7
(Suppl 1): S3. [Online] Avaliable from: http://www.aacijournal.com/content/7/S1/S3.
Accessed on 25th August 2013.

8.

Wallace DV, et al. The diagnosis and management of rhinitis: An updated practice
parameter. J Allergy Clin Immunol; 2008.

9.

Scandale

S.

Denise

KS.

Treatment

Physician. 2010 Jun 15;81(12):1440-1446.

of

Allergic

Rhinitis.

Am

Avaliable

Fam
from:

http://www.aafp.org/afp/2010/0615/p1440.html. Accessed on 25th August 2013.


10. Trangsurd AJ et al. Medscape. Intranasal Corticosteroids for Allergic Rhinitis.
Available from: http://www.medscape.com/viewarticle/444368_5. Accessed on 25th
August 2013.
11. LaForce, Craig. Use of nasal steroids in managing allergic rhinitis. J Allergy Clin
Immunol

1999;103:S388-94.

Available

from:

18

http://www.jacionline.org/article/S0091-6749(99)70218-6/fulltext. Accessed on 25th


August 2013.

19

You might also like