You are on page 1of 79

1

BAB I.
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Adanya Putusan Nomor: 10/PDT.SUS/PAILIT/2013/PN.NIAGA.JKT.PST,
membawa dampak kepada kreditur atas hilangnya harta serta semua asset yang
kreditur miliki tanpa batasan yang jelas dan oleh kreditur dirasa tidak mendapat
keadilan dan memberatkan kreditur. Sehingga kreditur merasa perlu melakukan
upaya-upaya hukum lain untuk mendapatkan kembali haknya serta untuk dapat
mengembalikan semua aset kreditur termasuk didalamnya adalah hak atas merek
Primagama, dengan pertimbangan bahwa Merek Jasa tersebut adalah
merupakan asset yang layak untuk dipertahankan sebagai satu-satunya aset yang
tidak dapat dinilai dengan nilai ekonomi yang jelas atau value secara pasti
sehingga keputusan hakim Pengawas dan Kurator yang ditunjuk dirasa tidak adil
dan tidak sesuai dengan penerapan asas kelangsungan usaha dalam penyelesaian
perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).
Akibat dari timbulnya putusan kepailitan bagi debitor adalah hilangnya
seluruh harta kekayaan Debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta
segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. Pasal 1131 KUH Perdata1 telah
menentukan bahwa semua kebendaan milik debitor baik yang sudah ada maupun
yang akan ada, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak demi hukum

Pasal 1131 KUH Perdata: Segala barang-barang bergerak dan tak bergerak milik
debitur, baik yang sudah ada maupunyang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan-perikatan
perorangan debitur itu.

menjadi jaminan atas utang-utang debitor, statement tersebut mengandung


persangkaan bahwa tidak ada kredit (piutang) yang tidak ada jaminannya. Jaminan
yang demikian selain terjadi demi hukum juga meliputi seluruh harta milik debitor
dan berlaku bagi semua kreditor yang pada asasnya memiliki kedudukan yang
sama oleh karenanya disebut dengan jaminan umum. Sebuah utang dikatakan
sama sekali tidak memiliki jaminan jika debitor sama sekali tidak memiliki harta
sedikitpun, namun hal itu hampir dikatakan tidak mungkin terjadi karena pada
umumnya yang ditemukan adalah harta debitor tidak mencukupi untuk memenuhi
keselurahan utang yang ada.
Undang-Undang Kepailitan dan PKPU tidak membedakan antara tidak
mampu membayar (insolven) dengan tidak mau membayar. Dalam hukum
kepailitan yang berlaku di negara lain, pernyataan pailit itu di dasarkan pada
keadaan dimana debitor berada dalam kondisi tidak mampu membayar utangnya
(insolvensi) yang didahului dengan proses insolvensi test untuk menentukan
apakah perusahaan tersebut masih solven atau tidak, sedangkan model penagihan
utang terhadap debitor yang dipandang masih solven tidak bisa menggunakan
jalur kepailitan, namun harus menempuh prosedur gugatan wanprestasi biasa.
Dari dasar diatas bahwa merek merupakan modal utama dalam
menjalankan usaha dan menjamin kelangsungan usaha debitur maka merek
merupakan hak yang paling penting dan utama untuk dipertahankan sebagai satusatunya aset pribadi dan perusahaan.
Bahwa Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, hurufhuruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut

yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang
atau jasa dan Merek Jasa adalah merek yang digunakan pada jasa yang
diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau
badan hukum untuk membedakan dengan jasa-jasa sejenis lainnya; Primagama
adalah Merek Jasa yang secara umum digunakan melekat pada pemiliknya yaitu
Purdi E. Chandra dan Purdi E. Chandra melekat dengan nama Primagama, dengan
kata lain Primagama tanpa Purdi E. Chandra tidak mempunyai arti apa-apa atau
tidak mempunyai nilai ekonomis apapun sehingga Merek Primagama selain
sebuah produk jasa merupakan hak yang melekat pada dirinya.
Dasar latar belakang penulisan adalah:
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 Tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Pasal 22 huruf
(a) Benda, termasuk hewan yang benar-benar dibutuhkan oleh debitor
sehubungan dengan pekerjaannya, perlengkapannya, alat-alat medis
yang dipergunakan untuk kesehatan, tempat tidur dan perlengkapannya
yang dipergunakan oleh debitor dan keluarganya, dan bahan makanan
untuk 30 (tiga puluh) hari bagi debitor dan keluarganya, yang terdapat
di tempat itu,; (b) Segala sesuatu yang diperoleh debitor dari
pekerjaannya sendiri sebagai penggajian dari suatu jabatan atau jasa,
sebagai upah, pensiun, uang tunggu atau uang tunjangan, sejauh yang
ditentukan oleh hakim pengawas; Menjadi latar belakang yang kuat
terhadap penulisan ini bahwa tidak semua harta atau aset debitor pailit
bisa menjadi boedel pailit.

2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2001 Tentang


Merek Pasal 41 ayat (2) Hak atas Merek Jasa terdaftar yang tidak dapat
dipisahkan dari kemampuan, kualitas, atau keterampilan pribadi
pemberi jasa yang bersangkutan dapat dialihkan dengan ketentuan harus
ada jaminan terhadap kualitas pemberian jasa, untuk itu Merek Jasa
sebagai boedel Pailit tidak dapat dilaksanakan sepanjang tidak ada
jaminan atas pemilik Merek itu sendiri. Hal tersebut menunjukkan bahwa
merek jasa tidak hanya sebuah tanda atau gambar saja yang membedakan
dengan jasa-jasa lainnya tetapi merupakan tanda yang menunjukkan
kemampuan, kualitas, atau keterampilan dari pemiliknya.
Selain dari latar belakang diatas dua hal yang melatar-belakangi
penulisan ini adalah pertama: sebuah hasil cipta karya atas usaha dari daya pikir,
imajinasi seseorang yang tertuang dalam sebuah Merek Jasa dapat dipindahkan
baik dilakukan secara lelang, pemindahan hak atau disebabkan oleh putusan
pengadilan, tetapi untuk menilai merek jasa dengan suatau harga atau dengan
sebuah nilai ekonomis belum ada ketentuan dan pathokan secara pasti serta rinci.
Sehingga dalam penjualan, lelang atau pengalihan hak sering terjadi penilaian
yang tidak wajar dan/atau dengan nilai yang tidak dapat diterima oleh Pemiliknya. Sehingga merek tersebut masih dapat memberikan hasil sehingga hal tersebut
menjadi sebagai landasan seseorang untuk mengajukan PKPU dan/atau
merupakan alasan kuat untuk mempertahankan usahanya atau perusahaannya
dengan

tujuan

agar

dapat

membayar

hutang-hutangnya;

kedua:

Asas

Kelangsungan Usaha (on going concern) bagi debitor pailit haruslah

dikedepankan sebagai landasan Asas Keadilan baik bagi debitor pailit sebagai
kesempatan bagi debitor yang mempunyai itikad baik untuk melunasi utangutangnya dan bagi para kreditor sebagai suatu usaha untuk memperkecil utangutang debitor pailit dan/atau suatu usaha untuk mengutungkan harta debitor pailit.

B. Perumusan Masalah
Berdasar pada latar belakang masalah, maka peneliti merumuskan
permasalahan sebagai berikut:
1. Apakah yang menjadi dasar hukum atas Merek Jasa Primagama menjadi
boedel pailit?
2. Apakah putusan Nomor: 10/PDT.SUS/PAILIT/2013/PN.NIAGA.JKT.PST
dapat menjadi acuan untuk menjadikan Merek Jasa Primagama sebagai
boedel pailit?
3. Bagaimanakah pertimbangan asas keberlangsungan usaha terhadap
Merek bagi debitor sebagai akibat langsung dari putusan Nomor:
10/PDT.SUS/PAILIT/2013/PN.NIAGA.JKT.PST?

C. Tujuan Penelitian
Setiap penelitian yang dilakukan memiliki tujuan yang diharapkan,
sedangkan tujuan yang hendak diperoleh dalam penelitian ini antara lain sebagi
berikut:

1. Mengetahui

dasar

hukum

atas

Putusan

Nomor:

10/PDT.SUS/PAILIT/2013/PN.NIAGA.JKT.PST terhadap Merek Jasa


Primagama menjadi boedel pailit.
2. Mengetahui landasan atau dasar penentuan Perlindungan Hukum Merek
Primagama sebagai boedel pailit dari sudut pandang Hak Kekayaan
Intelektual Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2001
Tentang Merek dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37
Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang (PKPU)
3. Mengetahui praktik Penerapan Prinsip dan Asas Hukum dalam Perkara
Kepailitan: Merek Jasa Primagama sebagai Boedel Pailit dalam UndangUndang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan
Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang atas penentuan boedel
pailit.

D. Tinjauan Pustaka
1.

Pengertian Kepailitan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004

Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang


(PKPU) Pasal 1: Ayat (1) Kepailitan adalah sita umum atas semua
kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan
oleh Kurator di bawah pengawasan hakim Pengawas sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang ini; Pasal 2 Ayat (1)

Debitor yang mempunyai

dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang
yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan
Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan
satu atau lebih kreditornya.

2.

Pengertian Pailit
Staatblads 1905 No. 217 jo. Staadblads 1906 No. 348

FaillisementverordeningBagian 1. Pernyataan Pailit. Pas. 1. (1) Setiap


debitur (orang yang berutang) yang tidak mampu membayar utangnya
yang berada dalam keadaan berhenti membayar kembali utang tersebut,
baik atas permintaannya sendiri maupun atas permintaan seorang
kreditur (orang yang berpiutang) atau beberapa orang krediturnya, dapat
diadakan putusan oleh hakim yang menyatakan bahwa debitur yang
bersangkutan dalam keadaan pailit. (F. 4 dst., 65, 213 dst.; Levensv. 46;
Ord. Levensv. 59, 77, 99.); bahwa pengertian tersebut dapat menjadi dasar
makna dan arti pailit, di dalam hukum positif di Indonesia arti pailit
terdapat pada:
KUH Perdata Pasal 1131 Segala barang-barang bergerak dan
tak bergerak milik debitur, baik yang sudah ada maupun yang akan ada,
menjadi jaminan untuk perikatan perorangan debitur itu.
KUH Perdata Pasal 1132 Barang-barang itu menjadi jaminan
bersama bagi semua kreditur terhadapnya; hasil penjualan barangbarang itu dibagi menurut perbandingan piutang masing-masing kecuali

bila di antara para kreditur itu ada alasan-alasan sah untuk


didahulukan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004
Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
(PKPU) Pasal 1: Ayat (2) Kreditor adalah orang yang mempunyai piutang
karena perjanjian atau Undang-Undang yang dapat ditagih di muka
pengadilan;Ayat (3) Debitor adalah orang yang mempunyai utang karena
perjanjian atau Undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka
pengadilan; Ayat (4) Debitor pailit adalah debitor yang sudah dinyatakan
pailit dengan putusan Pengadilan.
Bangkrut atau pailit adalah seorang pedagang yang bersembunyi
atau melakukan tindakan tertentu yang cenderung untuk mengelabui pihak
kreditor2, sedang dalam Ensiklopedia Ekonomi Keuangan Perdagangan
yang dimaksud pailit atau bangkrut adalah seseorang yang oleh suatu
pengadilan dinyatakan bangkrut dan aktivanya atau warisan telah
diperuntukan untuk membayar utang-utangnya3 dan menurut buku Hukum
Pailit dalam Teori dan Praktek yang dimaksud pailit atau bangkrut adalah
suatu sitaan umum atas seluruh harta debitor agar dicapainya perdamaian
antara debitor dan para kreditor atau agar harta tersebut dapat dibagi-bagi
secara adil diantara kreditor4.

Black, Henry Campbell, Blacks Law Dictionary, USA: West Publishing, 1968, hal 168
Abdurrahman, A, Ensiklopedia Ekonomi, Keuangan dan Perdagangan, Jakarta: Pradya
Paramita, 1991, hal 89
4
Fuady, Munir, HUKUM PAILIT, dalam Teori dan Pratek, Bandung; PT Citra Aditya
Bakti, 2014, hal 6
3

Dalam buku Hukum Kepailitan: Perbuatan Melawan Hukum oleh


Debitor, Pailit merupakan suatu keadaan dimana debitor tidak mampu
melakukan pembayaran utangnya kepada para kreditornya, keadaan tidak
mampu membayar ini biasanya disebabkan oleh kondisi kesulitan keuangan
(financial distress) usaha debitor mengalami kemunduran5.

3.

Pengertian Boedel Pailit


Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004

Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang


(PKPU) Pasal 21 Kepailitan meliputi seluruh kekayaan Debitor pada saat
putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh
selama kepailitan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004
Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
(PKPU) Pasal 22 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 tidak
berlaku terhadap: huruf (a) benda, termasuk hewan yang benar-benar
dibutuhkan

oleh

Debitor

sehubungan

dengan

pekerjaannya,

perlengkapannya, alat-alat medis yang di Pergunakan untuk kesehatan,


tempat tidur dan perlengkapannya yang dipergunakan oleh Debitor dan
keluarganya, dan bahan makanan untuk 30 (tiga puluh) hari bagi Debitor
dan keluarganya, yang terdapat di tempat itu; huruf (b) segala sesuatu yang
diperolehDebitor dari pekerjaannya sendiri sebagai penggajian dari suatu
5

Nur, Aco, HUKUM KEPAILITAN: Perbuatan Melawan Hukum oleh Debitor, Jakarta; PT
Pilar Yuris Ultima, 2015, hal 57

10

jabatan atau jasa, sebagai upah, pensiun, uang tunggu atau uang tunjangan,
sejauh yang ditentukan oleh hakim Pengawas; atau huruf (c) uang yang
diberikan kepada Debitor untuk memenuhi suatu kewajiban memberi nafkah
menurut undang-undang

4.

Pengertian Merek dan Merek Jasa


Dalam buku Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual

Property Right): merek adalah sesuatu yang ditempel atau dilekatkan


pada satu produk, tetapi ia bukan produk itu sendiri.6
Dalam buku Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Era Global:
Sebuah Kajian Kontemporer, ada beberapa pengertian tentang merek dan
jenisnya; Merek dagang adalah merek yang digunakan pada barang yang
diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama
atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa-jasa sejenis lainnya7;
Merek jasa (Service marks) adalah merek yang digunakan pada jasa yang
diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama
atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa-jasa sejenis lainnya8;
Merek kolektif (Collective marks) yang didefinisikan sebagai merek yang
digunakan pada barang dan/atau jasa dengan karekteristik yang sama dan
diperdagangkan oleh beberapa orang atau

badan

hukum

untuk

Saidin, OK, Haji, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property
Right), Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada, 2015, hal. 441.
7
Utomo, Tomi Suryo, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Era Global: Sebuah Kajian
Kontemporer, Yogyakarta; Graha Ilmu, 2010, hal 210
8
Ibid., hal 210

11

membedakan dengan jasa-jasa sejenis lainnya9; Certifikat marks adalah


merek yang digunakan pada barang dan/atau jasa dengan karekteristik
yang sama dan diperdagangkan oleh beberapa orang atau badan hukum
untuk membedakan dengan jasa-jasa sejenis lainnya10.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2001
Tentang Merek Pasal 1 Ayat (1) Merek adalah tanda yang berupa
gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau
kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan
digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa; Ayat (3)
Merek

Jasa

adalah

Merek

yang

digunakan

pada

jasa

yang

diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersamasama atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa-jasa sejenis
lainnya; Ayat (13) Lisensi adalah izin yang diberikan oleh pemilik
Merek terdaftar kepada pihak lain melalui suatu perjanjian berdasarkan
pada pemberian hak (bukan pengalihan hak) untuk menggunakan Merek
tersebut, baik untuk seluruh atau sebagian jenis barang dan/atau jasa
yang didaftarkan dalam jangka waktu dan syarat tertentu
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2001
Tentang MerekPasal 40 Ayat (1) Hak atas Merek terdaftar dapat beralih
atau dialihkan karena: a. pewarisan; b. wasiat; c. hibah; d. perjanjian; atau
e. sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan.

Ibid., hal. 210


Ibid., hal. 211

10

12

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2001


Tentang Merek Pasal 41 Ayat (1) Pengalihan hak atas Merek terdaftar
dapat disertai dengan pengalihan nama baik, reputasi, atau lain-lainnya
yang terkait dengan Merek tersebut; Ayat (2) Hak atas Merek Jasa
terdaftar yang tidak dapat dipisahkan dari kemampuan, kualitas, atau
keterampilan pribadipemberi jasayang bersangkutan dapat dialihkan
dengan ketentuan harus ada jaminan terhadap kualitas pemberian jasa.

E. Metode Penelitian
1. Jenis dan sifat penelitian
Didalam penelitian ini Penulis mengunakan metode penelitian
yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif
dilakukan dengan cara menelaah dan menginterpretasikan hal-hal yang
bersifat teoritis yang menyangkut asas, konsepsi, doktrin dan norma
hukum yang berkaitan dengan pembuktian perkara perdata (penelitian
hukum untuk perkara In-Concrito). Adapun pendekatan yuridis empiris
dilakukan dengan penelitian lapangan yang ditujukan pada penerapan
hukum acara perdata dalam perkara kepailitan.
a. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan yang dilakukan
berdasarkan bahan hukum utama dengan cara menelaah teori-teori,
konsep-konsep, asas-asas hukum serta peraturan perundang-undangan
yang berhubungan dengan penelitian ini. Pendekatan ini dikenal pula
dengan pendekatan kepustakaan, yakni dengan mempelajari buku-buku,

13

peraturan perundang-undangan dan dokumen lain yang berhubungan


dengan penelitian ini.
b. Pendekatan yuridis empiris yakni dilakukan dengan melihat kenyataan
yang ada dalam praktek dilapangan.

2. Data dan sumber data


Data adalah segala fakta dan angka yang dapat dijadikan bahan
untuk menyusun suatu informasi11, data yang dipakai dalam penelitian ini
adalah data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari sumbernya,
baik melalui wawancara, observasi maupun laporan yang berbentuk
dokumen tidak resmi yang kemudian diolah oleh peneliti dan data
sekunder yaitu data yang diperoleh dari dokumen-dokumen resmi, bukubuku, hasil penelitian, laporan, buku harian, surat kabar, makalah, dan lain
sebagainya. Data sekunder dalam penelitian ini dapat dibagi atas 3
kelompok besar, yaitu :
a. Bahan hukum primer yang penulis peroleh dari beberapa peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, antara lain:
1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerd.),
2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2001
Tentang Merek,

11

Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta; Rineka


Cipta, 2002, hal 96

14

3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004


Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
(PKPU).
b. Bahan hukum sekunder diperoleh penulis dari putusan pengadilan
keterangan, kajian, analisis tentang hukum positif seperti skripsi,
makalah seminar, yaitu:
1)

Putusan

Pengadilan

Niaga

Jakarta

Pusat

Nomor:

10/PDT.SUS/PAILIT/2013/PN.NIAGA.JKT.PST
2)

Keterangan langsung serta informasi baik dari data, surat-surat dari


Responden,

3) Kajian tentang Hukum Kepailitan, Hak Kekayaan Intelektual, dan


Merek,
4) Beberapa skripsi tentang Kepailitan, Hak Kekayaan Intelektual dan
Merek Jasa,
5) Laporan Penelitian Badan Penelitian, Pengembangan, Pendidikan
dan Pelatihan Hukum Peradilan Mahkamah Agung RI tentang
"Penerapan Asas Kelangsungan Usaha Dalam Penyelesaian
Perkara Kepailitan Dan Penundaan KewajibanPembayaran Utang
(PKPU)".
c. Bahan hukum tertier yang dipergunakan penulis sebagai bahan yang
mendukung, memberi penjelasan bagi bahan hukum sekunder seperti
Kamus Besar Indonesia, Kamus Bahasa Inggris, dan Kamus Hukum.

15

Sumber data yaitu sumber subjek dari tempat mana data bisa
didapatkan. Jika peneliti memakai kuisioner atau wawancara didalam
pengumpulan datanya, maka sumber data itu dari responden, yakni orang
yang menjawab pertanyaan peneliti, yaitu tertulis ataupun lisan. Sumber
data berbentuk responden ini digunakan didalam penelitian.12 Pada
dasarnya penulis mengumpulkan data dari responden langsung dan
mengadakan wawancara dari sumber pendukung lainnya, antara lain:
a. Purdie E. Chandra (Pemilik Merek Jasa Primagama)
b. Haryanto, S.H. (KASUBBID PELAYANAN HUKUM UMUM
Kanwil. Kementerian Hukum & HAM DIY)
c. Beberapa responden yang mengetahui perkara dan mengenal responden
utama sebagai informasi yang dapat dipergunakan (nama dan identitas
atas permintaan responden untuk tidak dicantumkan)

3. Perolehan dan Pengumpulan Data


Berdasar pendekatan yang dipergunakan dalam memperoleh
data, maka alat pengumpulan data yang dipergunakan adalah :
a.

Studi kepustakaan dan dokumen


Dalam

penelitian

ini,

penulis

mempergunakan

metode

pengumpulan data melalui studi dokumen/kepustakaan ( library


research ) yaitu dengan melakukan penelitian terhadap berbagai sumber
bacaan seperti buku-buku yang berkaitan dengan kepailitan, hak
12

Informasi Pendidikan, Penjelasan Mengenai Sumber Data Penelitian, Diakses dari


http://www.informasi-pendidikan.com/2013/08/penjelasan-mengenai-sumber-data.html,
Pada
Tanggal 02 April 2016, Pukul 17.57

16

kekayaan intelektual, pendapat sarjana, surat kabar, artikel, kamus dan


juga berita yang penulis peroleh dari internet.
b.

Wawancara
Wawancara dilakukan baik secara langsung dengan pihak

responden dan komunikasi melalui tilpon untuk mendapat informasi


secara cepat, praktis dan efisien; Wawancara dipergunakan dengan
tujuan-tujuan sebagai berikut :
1) Mengetahui kronologi permasalahan
2) Memperoleh data mengenai pokok masalah
3) Mendapatkan data penyebabnya
4) Mengumpulkan data mengenai permasalahan kepailitan
5) Memperoleh data mengenai akibat dari kepailitan
6) Memperoleh data mengenai merek

17

BAB II.
TINJAUAN UMUM HUKUM KEPAILITAN DAN PKPU

A. Pengertian Kepailitan
Pailit merupakan suatu keadaan dimana debitor tidak mampu melakukan
pembayaran utang-utang dari kreditornya. Keadaan tidak mampu tersebut
biasanya disebabkan oleh karena kesulitan kondisi keuangan (financial distress),
dapat disebabkan karena kemunduran usahanya sehingga debitor tidak dapat
memenuhi kewajiban-kewajiban yang harus dibayarkan atau utang-utangnya yang
telah jatuh tempo.
Hal tersebut diatas merupakan alasan debitor dapat mengajukan
kepailitan atau dipailitkan oleh para kreditornya, Algra mendefinisikan kepailitan
adalah Faillissementis een gerechtelijk beslag op het gehele vermogen van een
schuldenaar ten behoeve van zijn gezamenlijke schuldeiser. (kepailitan adalah
suatu sitaan umum terhadap semua harta kekayaan dari seorang debitor (si
berutang) untuk melunasi utang-uangnya kepada kreditor (si berpiutang). Henry
Campbell Black dalam Blacks Law Dictionary-nya menyatakan Bankrupt is the
state or condition of one who is unable to pay his debt as they are, or become,
due. Agak lebih komprehensif, Jerry Hoff mengambarkan kepailitan sebagai:
Bankruptcy is a general statutory attachment encompass-ing all the
assets of the debtor. The bangkruptcy only covers the assets.
The personal status of an individual will not be effected by the
bangkruptcy ; he is not placed under guardianship. A company also
continues to exist after he declaration of bangkruptcy. During the
bangkruptcy proceedings, act with regard to the bangkruptcy estate can

18

only be performed by the receiver, but other act remain part of domain of
the debtors corporate organ.13
Adanya Reformasi hukum di Indonesia mengenai hukum kepailitan,
menunjuk pada ketentuan Pasal 1 angka 1 UU Nomor 4 Tahun 1998 yang berarti:
debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar sedikitnya
satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih dinyatakan pailit dengan
putusan pengadilan baik atas permohonan debitor sendiri maupun atas
permintaan seorang atau lebih kreditornya yang kemudian berlaku UU Nomor
37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
pengertian kepailitan disebutkan dalam Pasal1 angka 1 sebagai sita umum atas
semua kekayaan debitor pailit yangpengurusan dan pemberesannya, dilakukan
oleh kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam
undang-undang kepailitan,
Kepailitan sering dipahami salah oleh kalangan umum, bahwa kepailitan
adalah tindakan kriminal serta merupakan tidakan cacat hukum. Kepailitan secara
umum dianggap bahwa debitor melakukan pengemplangan hutang dan tidak
mampu membayar atau penggelapan terhadap hak-hak kreditor yang merupakan
kewajiban yang harus diselesaikan.
Pada sisi yang lain kepailitan merupakan salah satu jalan keluar bagi
pengusaha yang benar-benar dalam kesulitan kondisi keuangan (financial
distress), akan tetapi kepailitan merupakan tindakan yang banyak dihindari oleh
para pelaku usaha dengan pertimbangan usaha yang dijalankan masih dapat
diselamatkan dan disehatkan baik kondisi keuangan maupun jalannya suatu
13

Shubhan, M Hadi, Hukum Kepailitan : Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan.


Jakarta; Kencana Prenadamedia Group, 2008, hal 1

19

perusahaan sehingga pengusaha merasa perlu untuk mempertahankan aset yang


dimiliki untuk menyelesaikan utang-utangnya (solvency).
Didalam pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU sama sekali tidak
memperhitungkan solvabilitas dari pihak debitor yang dimohonkan pailit, padahal
pengertian pailit pada umumnya menunjuk pada kondisi debitor tidak mampu
membayar lagi hutangnya (insolvensi). Insolvensi merupakan sebuah tahapan
yang sangat penting, karena pada tahapan tersebut nasib debitor akan ditentukan,
apakah harta debitor akan habis dibagi untuk menutupi utangnya atau akan timbul
harapan baru ketika diterima suatu rencana perdamaian atau restrukturisasi utang.
Apabila debitor telah dinyatakan insolvensi, maka debitor sudah benar-benar pailit
dan hartanya segera di bagi secara pari passu pronata.
Prinsip pari passu pronata parte berarti bahwa harta kekayaan tersebut
merupakan jaminan bersama untuk para kreditor dan hasilnya harus dibagikan
secara proposional antara mereka, kecuali jika antara para kreditor itu ada yang
menurut undang-undang harus didahulukan dalam menerima pembayaran
tagihan.14

B. Perkembangan Hukum Kepailitan di Indonsia


Hukum kepailitan yang pertama di Indonesia adalah Failissementverordening, pada awalnya hanya berlaku di lingkungan masyarakat yang tunduk
pada hukum perdata dan hukum dagang Barat saja. Dalam perkembangannya pada
tahun 1997, Indonesia mengalami gejolak krisis moneter kemudian diperparah

14

Ibid., hal. 29.

20

dengan runtuhnya rezim Soeharto sebagai presiden Republik Indonesia pada


tanggal 21 Mei 1998.
Hal itu menyebabkan utang para pengusaha Indonesia dalam valuta
asing, terutama para kreditor luar negeri mengalami pembengkakan. Akibatnya
para para debitor Indonesia tidak mampu membayar utangnya. Keadaan itu
menimbulkan dampak luar biasa bagi perekonomian nasional dan diperparah oleh
kredit macet di perbankan dalam negeri akibat terpuruknya sektor riil saat itu.
Keadaan itu melahirkan akibat berantai, yang apabila tidak segera diatasi
dapat menimbulkan dampak yang lebih luas terhadap kelangsungan usaha dan
aspek-aspek perekonomian pada umunya, tetapi juga terhadap measalah
ketenagakerjaan dan berbagai demensi sosial lainnya.
Penyelesaian utang tersebut harus segala diatasi secara baik, adil, cepat
serta efektif, mengingat keadaan tersebut nerupakan satu masalah krusial. Upaya
restrukturisasi utang belum bisa berhasil baik, sedang melalui kepailitan dengan
mengunakan peraturan yang ada sangat lamban prosesnya dan tidak dapat
dipastikan hasilnya, sehingga para kreditor terutama kreditor luar negeri
menghendaki

untuk

digantinya

undang-undang

kepailitan

yang

berlaku

(Failissement-verordening) dengan yang baru atau direvisi.


Disamping itu IMF sebagai lembaga donor pemerintah mendesak untuk
segera dapat direvisinya peraturan kepailitan yaitu Failissement-verordening
sebagai upaya melindungi utang-utang Indonesia, sebagai hasil desakan tersebut
lahirlah Perpu No. 1 Tahun 1998 tentang perubahan atas Failissementverordening merupakan solusi penyelesaian utang pengusaha Indonesia.

21

Lima bulan setelah diterbitkannya Perpu No. 1 Tahun 1998 pada tanggal
22 April 1998, Perpu Kepailitan diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Kemudian pada tanggal 9 September 1998, Perpu No. 1 Tahun 1998 tentang
perubahan atas Failissement-verordening ditetapkan menjadi UU No. 4 Tahun
1998 Tentang Kepailitan.
UU No. 4 Tahun 1998 Tentang Kepailitan, bukan merupakan undangundang yang baru melainkan hanya mengubah dan menambah Failissementverordening. Secara yuridis formal, peraturan kepailitan yang lama masih tetap
berlaku walaupun secara materiil UU No. 4 Tahun 1998 telah menganti
peraturan kepailitan yang lama.
Setelah melalui berbagai desakan dari kalangan pedonor terutama dari
pihak IMF melalui Letter of Intent antara IMF dan Pemerintah Republik Indonesia
mengenai diberlakukan undang-undang kepailitan yang baru maka baru pada
tahun 2004 terjadi kesepakatan yang kemudian diundangkan undang-undang
kepailitan yang baru yaitu UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).

C. Dasar Hukum Kepailitan


Permasalahan utang-piutang berdasarkan UU No. 4 Tahun 1998 tentang
Kepailitan tersebut ditempuh melalui Pengadilan Niaga yang berada di lingkungan
peradilan umum. Pengadilan Niaga memegang kompetensi untuk mengadili

22

perkara permohonan pailit (bankruptcy petition) dan perkara penundaan


pembayaran utang (suspension of payment petition).15
Pasal 1331 KUHPdt menyatakan: Segala harta kekayaan debitor, baik
yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang
baru akan ada dikemudian hari, menjadi jaminan untuk segala perikatan
debitor.
Menurut Kartini Muljadi, rumusan Pasal 1331 KUHPdt itu menunjukkan
bahwa setiap tindakan yang dilakukan seseorang pada harta kekayaan selalu akan
membawa akibat terhadap harta kekayaannya, baik yang bersifat menambah harta
kekayaannya (kredit), maupun yang nantinya akan mengurangi jumlah harta
kekayaanya (debit).16
Yang merupakan dasar hukum bagi suatu kepailitan adalah sebagai
berikut:
1. Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU),
2. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH-Perdt); Pasal 1134, 1139,
1149 dan lain-lain,
3. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP); Pasal 396, 397, 398. 399.
400, 520 dan lain-lain,
15

Pengadilan Niaga yang pertama dibentuk berdasarkan Pasal 281 Ayat (1) Undangundang Kepailitan adalah Pengadilan Jakarta Pusat. Kemudian berdasar Keppres No. 07 Tahun
1999, tanggal 18 Agustus 1999, dibentuk Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Ujung
Pandang, Pengadilan Negeri Medan, Pengadilan Negeri Surabaya, dan Pengadilan Negeri
Semarang. Setelah Pengadilan Niaga dibentuk, Ketua Makamah Agung Republik Indonesia
mengangkat Hakim Niaga dari kalangan hakim peradilan umum yang telah mengikuti pelatihan
khusus dan telah lulus seleksi, untuk menyelesaikan masalah utang-piutang sesuai dengan aturan
main yang berlaku dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan.
16
Shubhan, M Hadi, Op.Cit., hal 75

23

4. Undang-Undang No. 49 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas


(UUPT),
5. Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan,
6. Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Fidusia,
7. Perundang-undangan di bidang Pasar Modal, Perbankan, BUMN dan
lain-lain.

D. Asas Kelangsungan Usaha Dalam Hukum Kepailitan


Berkenaan dengan pentingnya penyelesaian sengketa bisnis,hukum telah
menyediakan cara-cara penyelesaian sengketa. Cara penyelesaian sengketa yang
lazim ditempuh oleh pelaku bisnis ialah cara litigasi ataupun cara non-litigasi.
Jalur non-litigasi biasanya menjadi pilihan utama, jika tidak berhasil mereka baru
menempuh cara litigasi. Opsi penyelesaian sengketa melalui cara litigasi
khususnya penyelesaian perkara (sengketa) kepailitan di Pengadilan Niaga
sengaja diangkat dalam penelitian ini dengan alasan sebagai berikut. Pertama,
perkara kepailitan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
masih relatif baru dan arti kepailitan sering dipahami secara keliru oleh kalangan
umum; Kedua, dalam perkara kepailitan terdapat asas kelangsungan usaha yang
memungkinkan perusahaan debitor yang prospektif tetap dilangsungkan. Ketiga,
hukum kepailitan merupakan jalan keluar dari persoalan likuiditas keuangan

24

sebuah usaha, sedangkan penjatuhan putusan pailit sebagai upaya terakhir


(ultimum remedium).17
Peryataan pailit dengan hanya mendasarkan pada ketentuan Pasal 2 ayat
(1) secara tidak langsung akan mengganggu proses kelangsungan usaha, padahal
asas kelangsungan usaha menjadi jiwa dari UU No. 37 tahun 2004 tentang
Kepailitan dan PKPU, dimana debitor yang masih prospektif dimungkinkan untuk
tetap melangsungkan usahanya.18 Untuk dapat melihat apakah perusahaan
debitor masih prospektif atau tidak salah satunya dengan mengukur kondisi
keuangan debitor.
Pengertian asas kelangsungan usaha sebagaimana disebutkan dalam
Penjelasan Umum UU Kepailitan adalah dimungkinkannya perusahaan Debitor
yang prospektif tetap dilangsungkan. Menurut Pasal 104 ayat (1) Berdasarkan
persetujuan panitia kreditorsementara, Kurator dapat melanjutkan usaha Debitor
yangdinyatakan pailit walaupun terhadap putusan pernyataan pailittersebut
diajukan kasasi atau peninjauan kembali. Sedangkan menurut ayat (2) Apabila
dalam kepailitan tidak diangkat panitia kreditor, Kurator memerlukan izin Hakim
Pengawas untukmelanjutkan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Proses
kelangsungan usaha setelah pernyataan pailit dijatuhkan sangat bergantung pada
itikad baik kurator dan para kreditornya, sehingga meskipun atas pernyataan pailit

17

Iriantoro, Catur, Penerapan Asas Kelangsungan Usaha Dalam Penyelesaian Perkara


Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), Laporan Hasil Penelitian,
Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI: Jakarta,
2014, hal 2
18
Nur, Aco, Op.Cit., hal 86

25

tersebut perusahaan masih tetap dapat dijalankan, namun tetap kondisi tersebut
sangat tidak menguntungkan bagi pihak perusahaan.
Selain asas kelangsungan usaha dalam UU Kepailitan dan PKPU juga
mengenal asas keseimbangan; untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata
dan lembaga kepailitan oleh pihak kreditor yang tidak beritikad baik, asas
keadilan; asas ini mencegah terjadinya kesewenang-wenangan pihak penagih yang
mengusahakan pembayaran tagihannya tanpa memperdulikan kreditor lainnya,
asas integrasi; bahwa sistem hukum formil dan hukum materiil peraturan
kepailitan merupakan satu kesatuan yang utuh dari sistem hukum perdata dan
hukum acara perdata nasional.

E. Hukum Kepailitan dalam UU RI No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan


dan PKPU
Luasnya pengertian utang dalam UU Kepailitan dan PKPU,
berimplikasi pada dimensi hukum kepailitan secara umum. Pasal 1 angka 6
mengartikan utang sebagai kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan
dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing,
baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen,
yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh
Debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada Kreditor untuk mendapat
pemenuhannya dari harta kekayaan Debitor. Berdasarkan ketentuan diatas,
maka rumusan tentang pengertian utang dapat di jabarkan kedalam beberapa
unsur antara lain:

26

1. Utang adalah sebuah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan


dalam jumlah uang;
2. Baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing;
3. Baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau
kontijen;
4. Yang timbul karena perjanjian atau undang-undang;
5. Wajib dipenuhi oleh Debitor;
6. Bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapat
pemenuhannya dari harta debitor.
Sedangkan untuk dapat dinyatakan pailit, UU Kepailitan dan PKPU
hanya menentukan dua syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) antara
lain:
1. Adanya debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor;
2. Tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan
dapat ditagih.
Dalam UU kepailitan perluasan makna utang tidak diikuti dengan
pembatasan nilai utang sebagai syarat untuk mengajukan permohonan pailit,
artinya tagihan sekecil apapun, baik yang timbul dari hubungan utang piutang
maupun dari hubungan keperdataan lainnya yang dapat menimbulkan kewajiban
pembayaran uang, dapat mengajukan permohonan pailit ke Pengadilan Niaga dan
Hakim Pengadilan Niaga akan mengabulkan permohan itu jika terpenuhi adanya
unsur debitor yang memiliki kreditor lebih dari satu dan setidaknya ada satu utang
yang tidak dibayar padahal utang itu telah jatuh tempo dan dapat ditagih.

27

Pernyataan pailit menimbulkan akibat hukum baik terhadap debitor pailit


maupun terhadap pihak ketiga. Akibat-akibat tersebut antara lain:19
1. Kekayaan debitor pailit yang masuk harta pailit (boedel) merupakan
sitaan umum atas harta pihak debitor yang dinyatakan pailit;
2. Kepailitan semata-mata hanya menyangkut harta pailit tidak mengenai
diri pribadi debitor pailit;
3. Debitor pailit demi hukum kehilangan hak untuk mengurus dan
menguasai kekayaannya yang termasuk harta pailitsejak hari putusan
pernyataan pailit diucapkan;
4. Segala perikatan debitor yang timbul setelah putusan pailit diucapkan
tidak dapat dibayar dari harta pailit kecuali jika menguntungkan harta
pailit;
5. Harta pailit diurus dan dikuasai oleh kurator untuk kepentingan para
kreditor dan Hakim Pengawas memimpin dan mengawasi pelaksanaan
jalannya kepailitan;
6. Tuntutan dan gugatan mengenai hak dan kewajiban harta pailit harus
diajukan oleh atau terhadap kurator;
7. Semua tuntutan atau gugatan yang bertujuan mendapatkan pelunasan
suatu perikatan dari harta pailit dan hari harta debitor sendiri selama
kepailitan harus diajukan dengan cara melaporkan untuk diverifikasi;
8. Pemegang

gadai,

hipotek,

hak

tanggungan

dan

fidusia

melaksanakan hak jaminananya seolah-olah tidak ada kepailitan;

19

Ibid., hal. 100-102

dapat

28

9. Pihak Berlakunya keadaan diam (stay) dimana hak eksekusi kreditor


yang dijamin dengan hak jaminan ditangguhkan selama 90 (sembilan
puluh) hari setelah putusan pernyataan pailit diucapkan;
10. Berdasarkan Ketentuan Pasal 8 ayat (4) UU Kepailitan kreditor yang
memiliki hak retensi tidak kehilangan haknya tersebut meskipun ada
pernyataan pailit.
Dalam UU Kepailitan dan PKPU menyebutkan bahwa permohonan
pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang
terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah dipenuhi Pasal tersebut
memberikan penegasan bahwa patokan hakim untuk mengabulkan sebuah
permohonan pailit hanya didasarkan pada syarat yang disebutkan dalam Pasal 2
ayat (1) bahkan undang-undang menyatakannya dengan kata harus dikabulkan.
Sehingga dapat dikatakan bahwa norma yang diatur dalam Pasal 8 ayat (4)
tersebut bersifat imperatif.20 Namun dibalik itu, apakah Hakim sama sekali tidak
dibolehkan melakukan terobosan hukum untuk menafsirkan secara lebih luas asas
kelangsungan usaha dalam UU Kepailitan artinya Hakim memperhitungkan
kebaikan dan keburukan atas permohonan pailit bagi kelangsungan usaha atas
perusahaan yang dimohonkan pailit dengan menggunakan pertimbangan
kepentingan masyarakat secara luas.
Pasal 1131 KUH Perdata telah menentukan bahwa semua kebendaan
milik debitor baik yang sudah ada maupun yang akan ada, baik yang bergerak

20

Iriantoro, Catur, Loc.Cit., hal. 13

29

maupun yang tidak bergerak demi hukum menjadi jaminan atas utang-utang
debitor, statement tersebut mengandung persangkaan bahwa tidak ada kredit
(piutang) yang tidak ada jaminannya. Jaminan yang demikian selain terjadi demi
hukum juga meliputi seluruh harta milik debitor dan berlaku bagi semua kreditor
yang pada asasnya memiliki kedudukan yang sama dan oleh karenanya disebut
dengan jaminan umum.

Sebuah utang dikatakan sama sekali tidak memiliki

jaminan jika debitor sama sekali tidak memiliki harta sedikitpun, namun hal itu
hampir dikatakan tidak mungkin terjadi karena pada umumnya yang ditemukan
adalah harta debitor tidak mencukupi untuk memenuhi keselurahan utang yang
ada.21
Untuk menjamin bahwa pada kreditor akan mendapatkan kembali
pelunasan dari harta kebendaan milik debitor secara adil dan merata berdasarkan
nilai tagihan dari masing-masing kreditor, maka hukum kepailitan menentukan
bahwa pada saat debitor dinyatakan pailit seluruh harta kekayaan debitor akan
menjadi boedel pailit dan pengurusan selanjutnya akan dilakukan oleh Kurator
dibawah pengawasan Hakim Pengawas. Hukum kepailitan sebagaimana diatur
dalam UU Kepailitan dan PKPU memiliki fungsi antara lain:
1. Untuk menghindari perebutan harta debitor apabila dalam waktu yang
sama ada beberapa kreditor yang menagih piutangnya;
2. Untuk menghindari adanya kreditor pemegang hak jaminan kebendaan
yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik debitor tanpa
memperhatikan kepentingan debitor atau para kreditor lainya;
21

J. Satrio, Parate Eksekusi Sebagai Sarana Mengatasi Kredit Macet, Citra Aditya
Bakti: Bandung, 1993, hal. 3

30

3. Untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh


salah satu kreditor atau debitor sendiri;22
Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU menyebutkan:
Yang dimaksud dengan "Kreditor" dalam ayat ini adalah baik kreditor
konkuren, kreditor separatis maupun kreditor preferen. Khusus
mengenai kreditor separatis dan kreditor preferen, mereka dapat
mengajukan permohonan pernyataan pailit tanpa kehilangan hak
agunan atas kebendaan yang mereka miliki terhadap harta Debitor dan
haknya untuk didahulukan.
Bilamana terdapat sindikasi kreditor maka masing-masing Kreditor
adalah Kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2.
Yang dimaksud dengan "utang yang telah jatuh waktu dan dapat
ditagih" adalah kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh
waktu, baik karena telah diperjanjikan, karena percepatan waktu
penagihannya sebagaimana diperjanjikan, karena pengenaan sanksi
atau denda oleh instansi yang berwenang, maupun karena putusan
pengadilan, arbiter, atau majelis arbitrase.
Berdasarkan ketentuan pasal diatas kreditor yang dapat mengajukan
permohonan kepailitan antara lain:
1. Kreditor konkuren, yang memiliki hak pembagian secara proporsional
mengikuti besar kecilnya tagihan.
Kreditor konkuren adalah para kreditor dengan hak pari passu pro-rata;
artinya para kreditor secara bersama-sama memperoleh pelunasan (tanpa
ada yang didahulukan) yang dihitung berdasarkan besarnya piutang
masing-masing dibanding piutang mereka secara keseluruhan dan seluruh
harta kekayaan debitor.23
2. Kreditor preferen, adalah kreditor yang memiliki hak untuk mendapatkan
pelunasan utangnya lebih dulu dari kelompok kreditor lainnya;
22

Nur, Aco, Op.Cit., hal. xii, Lihat. Penjelasan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
23
Ibid., hal 91

31

Kreditor preferen adalah kreditor yang diistimewakan yaitu, kreditor


yang oleh undang-undang, semata-mata karena sifat piutangnya,
mendapatkan pelunasan terlebih dahulu.24
3. Kreditor separatis, yaitu kreditor yang memiliki hak untuk melakukan
penjualan sendiri objek jaminan sebagai upaya pelunasan atas utangutang yang dijamin oleh jaminan kebendaan, kreditor separatis antara
lain kreditor pemegang gadai, hak tanggungan fidusia dan hipotek.
Dalam susunan pelunasan utang dengan harta debitor, kreditor yang
memiliki kedudukan paling tinggi akan didaftar teratas dan diurut berdasarkan
peringkat kedudukannya sampai yang paling bawah, kreditor yang kedudukan
atau tingkatnya lebih tinggi mengambil lebih dahulu dari hasil penjualan benda
jaminan milik debitor sebagai pelunasan tagihannya, sedangkan kreditor yang
sama tingkatannya menurut Pasal 1136 KUH Perdata berbagi secara merata
berdasarkan ponds-ponds antara mereka sedangkan yagn mengambil terakhir
adalah para kreditor kongkuren yang mengambil ponds ponds atas sisa yang ada,
itupun kalau hartanya masih tersedia. Dengan gambaran seperti itu dapat
dibayangkan bahwa kemungkinan diantara para kreditor yang tidak mendapatkan
bagian karena semakin rendah kedudukan kreditor, semakin kecil kemungkinan
baginya untuk mendapatkan pelunasan kalau harta kekayaan debitor tidak cukup
untuk membayar semua hutang-hutangnya.25
Berdasarkan Pasal 55 ayat(1) UU Kepailitan dan PKPU Dengan tetap
memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56, Pasal 57 dan
24

25

Ibid., hal 92
J. Satrio, Hukum Jaminan, Op.Cit., hal 70

32

Pasal 58, setiap Kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan,
hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya
seolah-olah tidak terjadi kepailitan bagi para kreditor separatis mereka tetap
dapat melakukan eksekusi pelunasan dengan menggunakan objek jaminan
meskipun debitor telah dinyatakan dalam keadaan pailit, meskipun pelaksanaanya
dibatasi dengan ketentuan Pasal 56 ayat (1) Hak eksekusi Kreditor sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) dan hak pihak ketiga untuk menuntut hartanya
yang berada dalam penguasaan Debitor Pailit atau Kurator, ditangguhkan untuk
jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal putusan
pernyataan pailit diucapkan.
Disamping Undang-Undang Kepailitan dan PKPU menganut konsep
utang dalam arti luas, ruang lingkup pengertian utang juga harus meliputi:
1. Utang tersebut telah jatuh tempo
Pada prinsipnya terdapat dua keadaan yang dapat menjadi ukuran
kapan suatu utang telah jatuh tempo. Pertama, karena sifat perjanjiannya yang
telah menentukan kapan debitor harus melaksanakan pretasinya dalam arti
perjanjian tersebut telah menyebutkan batas waktu pemenuhan prestasi
sehingga dengan tibanya waktu, maka utang tersebut menjadi matang untuk
di tagih (opeisbaar). Kedua, terhadap perjanjian yang tidak menentukan batas
waktu, maka jatuh tempo debitor untuk melaksanakan prestasinya adalah
sejak ia ditegur dengan sebuah resmi baik dalam bentuk exploit juru sita
maupun dengan surat sejenis yang isinya memberikan terguran kepada
debitor agar melaksanakan prestasinya.

33

Dalam praktiknya meskipun belum jatuh tempo tetapi utang itu telah
dapat ditagih karena telah terjadi salah satu dari peristiwa-peristiwa yang
disebut events of default. Kondisi tersebut lazim terjadi pada perjanjian kredit
perbankan untuk mencantumkan klausula yang disebut events of default
clause yaitu klausula yang memberikan hak kepada bank untuk menyatakan
debitor in default atau cidera janji apabila salah satu peristiwa (event) yang
tercantum dalam event of default clause itu terjadi.26
2. Utang tersebut dapat ditagih
Pada sebuah perjanjian kredit utang yang telah jatuh waktu atau utang
yang telah expired dengan sendirinya menjadi utang yang telah dapat ditagih
namun utang yang telah dapat ditagih belum tentu merupakan utang yang
telah jatuh waktu. Utang hanyalah jatuh waktu apabila menurut perjanjian
kredit atau perjanjian utang piutang telah sampai jadwal waktunya untuk
dilunasi oleh Debitur sebagaimana ditentukan dalam perjanjian itu ada tidak
harus suatu kredit dinyatakan expired pada tanggal akhir perjanjian kredit
terlampaui.27 Berdasarkan dari uraian tersebut maka antara utang yang jatuh
tempo dengan utang yang dapat ditagih tidak selalu maknanya sama,
meskipun idealnya sebuah utang yang dapat ditagih adalah utang yang telah
jatuh tempo.

26

Ismail, Rumadan, Interpretasi Tentang Makna Utang Jatuh Tempo Dalam Perkara
Kepailitan, (Kajian Terhadap Putusan mahkamah Agung 2009-2013), Laporan Hasil Penelitian,
Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI: Jakarta,
2013, hlm. 30, lihat Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan Memahami Undang-Undang
Nomor: 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, hlm. 68-70
27
Sutan Remi Syahdeni, Op. Cit., hal. 68.

34

3. Utang tersebut tidak dibayar lunas


Setiap perjanjian berisi sekumpulan perikatan yang satu sama lain
saling menimbulkan hak dan kewajiban diantara kedua belah pihak, pada
perjanjian timbal balik, hak dan kewajiban itu melekat kepada masing-masing
pihak, sedangkan dalam perjanjian sepihak, disatu pihak timbul hak dan di
pihak lain timbul kewajiban. Utang atau sebuah kewajiban berprestasi
ditentukan bentuk sifat dan jenisnya oleh perjanjian itu sendiri, misalnya
perjanjian utang piutang bentuk utang prestasinya adalah mengembalikan
utang kepada pihak pemberi utang berikut bunga dan segala biaya yang
disepakati oleh para pihak. Sebuah utang dibayar lunas jika sifat dan bentuk
prestasi yang dilakukan telah memenuhi secara sempurna sesuai prestasi yang
dikehendaki oleh perjanjian tersebut.

F. Penerapan Hukum Kepailitan: Norma dan Prinsip


Prinsip hukum hakikatnya adalah sebagai a fundamental truth or
doctrine, as of law; a comprehensive rule or doctrine wich furnishes a basis or
origin for others, asas atau prinsip hukum adalah nilai-nilai yang mendasari nilai
hukum dan mendasari pikiran-pikiran yang berkenanan dengan ketentuanketentuan atau keputusan-keputusan individual.28
Prinsip hukum merupakan metanorma yang dapat dijadikan sebagai
landasan dalam pembentukan suatu peraturan perundang-undangan atau dijadikan
pedoman bagi para hakim dalam memutuskan suatu perkara dalam pengadilan,

28

Shubhan, M Hadi, Op.Cit., hal. 25

35

untuk itu prinsip hukum merupakan landasan dan pertimbangan dalam penerapan
hukum dilapangan. Didalam penerapan hukum kepailitan yang baru dan
merupakan undang-undang yang terasa masih kurang bahkan dapat dikata jauh
dari kesempurnaan, maka peran hakim dalam penerapannya harus berpegang pada
prinsip-prinsip hukum yang ada untuk menemukan suatu hukum terhadap kasuskasus kepailitan.
Pengunaan prinsip hukum sebagai dasar hakim dalam memutus perkara
kepailitan memperoleh legalitas dalam UU Kepailitan Pasal 8 Ayat 5 menyatakan
bahwa putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib memuat
pula: a. Pasal tertentu dari perturan perundang-undangan yang bersangkutan
dan/atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili; dan b.
Pertimbangan hukum dan pendapat yang berbeda dari hakim anggota atau ketua
majelis.29
Prinsip paritas creditorium, prinsip parri passu pronata parte, dan
prinsip structured prorata merupakan prinsip utama penyelesaian utang dari
debitor terhadap kreditornya. Vollmar mengatakan bahwa Een der belangrijkse
beginselen, dat de verhaalsreshten van den schuldeiser zich uitstrekken over alle
roerende en onroerende goederen van den schuldenaar, zowel die hij zal
krijgen.30
Prinsip paritas creditorium, bahwa kesetaraan kedudukan para kreditor
adalah sama sehingga dapat disimpulkan bahwa kreditor mempunyai kedudukan
dan kesetaraan atas semua harta benda debitor dalam hal ini adalah semua harta
29
30

Shubhan, M Hadi, Op.Cit., hal. 27


Vollmar, De Faillessementsweet, Tjenk Willink & Zoon N.V.: Haarlem, hal. 1

36

kekayaan debitor baik yang berupa barang bergerak ataupun barang tidak
bergerak maupun harta yang sekarang telah dipunyai debitor dan barang-barang di
kemudian hari akan dimiliki debitor terikat kepada penyelesaian kewajiban
debitor.
Prinsip paritas creditorium memberikan keadilan bagi semua kreditor
tanpa perbedaan kondisinya terhadap harta debitor kedatipun harta kekayaan
debitor tidak berkaitan secara langsung terhadap transaksi yang dilakukannya,
prinsip paritas creditorium memberikan keadilan bagi kreditor dengan konsep
keadilan proposional; dimana kreditor yang mempunyai piutang lebih besar dari
kreditor lainnya mendapat porsi pembayaran piutang dari debitor lebih besar dari
kreditor yang memiliki piutang lebih kecil dari padanya.
Ketidakadilan pembagian secara paritas creditorium

terhadap harta

debitor akan muncul apabila harta debitor lebih kecil dari utang-utang debitor,
penerapan prinsip paritas creditorium menjadi tidak relevan apabila harta debitor
lebih besar dari utang-utang kreditor, demikian pula dalam penerapan hukum
kepailitan terhadap harta debitor lebih besar daripada utang-utang kreditor tidak
tepat dan tidak ada relevansinya terhadap prinsip parri passu pronata parte.
Sehingga pada hakikinya, prinsip parri passu pronata parte adalah inheren
dengan lembaga kepailitan itu sendiri.
Prinsip paritas creditorium yang dilengkapi dengan prinsip parri passu
pronata parte dalam konteks kepailitan juga masih memiliki kelemahan jika
kreditor tidak sama kedudukannya bukan besar kecilnya piutang saja tetapi tidak
sama kedudukannya, sebagian kreditor yang memegang jaminan kebendaan

37

dan/atau kreditor yang memiliki hak preferensi yang telah diberikan oleh undangundang.
Prinsip parri passu pronata parte tidak memberi keadilan kepada
kreditor yang memegang jaminan kebendaan , bukankah maksud adanya lembaga
jaminan adalah untuk memberikan perlindungan hukum terhadap pemegang
jaminan tersebut?. Secara prinsip bahwa undang-undang telah mengatur adanya
pembagian harta pailit dengan mengacu pada kedua prinsip diatas sebagai
penerapannya, akan tetapi agar penerapannya dapat diterima oleh semua pihak
dan memberikan rasa keadilan kepada para pihaknya dibutuhkan jalannya keluar
dengan prinsip structured prorata (structured creditors) sebagai dasar hakim
dalam memutus perkara-perkara kepailitan.
Adapun

prinsip

structured

prorata

adalah

prinsip

yang

mengklarifikasikan atau mengelompokan berbagai macam debitor sesuai dengan


kelasnya masing-masing. Dalam kepailitan kreditor diklasifikasikan menjadi tiga
macam, yaitu:
1. Kreditor separatis
2. Kreditor preferen
3. Kreditor separatis
Jerry hoff menjabarkan masing-masing kreditor tersebut sebagai berikut:
Securred Creditor, right of second creditors, security interest are in rem
right that vest in the creditor by agreement and subsequent performance of
certain formalities, A creditor whose interests are secured by an in rem right is
usually entitled to cause the fareclousure of the collateral, without a judgement, to
satisfy his claim from the proceeds with priority over the creditors. This right to
foreclose without a judgement is called the right of immediate enforcement.31
31

Jerry Hoff, Indonesian Bankruptcy Law, Tatanusa: Jakarta, 1999, hal. 96

38

Preferred creditor, unlike secure creditors, who have a preference


because they agreed upon this with their debtor, the prefered creditors have a
preference to their claim. Obviously, the preference issue is only relevant if there
is more than one creditor and if the assets of the debtor are not sufficient to pay of
all the creditor (there is a concursus creditorum). Prefered creditor are required
to present their claims to the receiver for verification and are thereby charged a
pro rata parte share of costs of the bankrupcy. There are several catagories of
preference creditors:
Creditor who have statutory priority;
Creditor who have non-statutory priority;
Estate creditor.32
Unsecured creditor, they are do not have priority and will there fore be
paid, if any proceeds of the bankruptcy estate remain, after all the other creditors
have received payment. Unsecured creditors are required to present their claims
for verification to their receiver and they are charged a pro rata parte of the costs
of the bankruptcy.33

32
33

Ibid., hal. 111-112


Ibid., hal. 117

39

BAB III.
HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL:
TENTANG MEREK DAGANG DAN JASA

A. Pengertian HKI: Merek Dagang dan Merek Jasa


Hak Kekayaan Intelektual sebenarnya merupakan bagian dari benda,
yaitu benda tidak berwujud (benda immaterial). Benda dalam kerangka hukum
perdata dapat diklasifikasikan ke dalam berbagai kategori salah satu diantara
kategori itu, adalah pengelompokan benda ke dalam klasifikasi benda berwujud
dan benda tidak berwujud. Untuk hal ini dapatlah dilihat batasan benda yang
dikemukakan oleh pasal 499 KUHPerdata,34 dari pasal tersebut apabila dikendaki
dapat ditarik kesimpulan lain sebagai berikut: yang dapat menjadi objek hak milik
adalah benda dan benda itu terdiri dari barang dan hak.35
Selanjutnya sebagaimana diterangkan oleh Prof. Mahadi barang yang
dimaksudkan oleh Pasal 499 KUHPerdata tersebut adalah benda materiil
(stoffelijk voorwerp), sedangkan hak adalah benda immaterial. Uraian ini sejalan
dengan klasifikasi benda menurut pasal 503 KUHPerdata,36 yaitu pengolongan
benda berwujud (bertubuh) dan benda tidak berwujud (tidak bertubuh).37

34

Pasal 499 KUHPerdata: Menurut undang-undang, barang adalah tiap benda dan tiap
hak yang dapat menjadi obyek dari hak milik.
35
Mahadi, Hak Milik Dalam Sistem Hukum Perdata Nasional, Jakarta; BPHN, 1981,
hal. 65.
36
Pasal 503 KUHPerdata: Ada barang yang bertubuh, dan ada yang tidak bertubuh.
37
Sadikin, H. OK, ASPEK HUKUM KEKAYAAN INTELEKTUAL (INTELLECTUAL
PROPERTY RIGHTS), Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada, 2015, hlm. 13.

40

Hak Kekayaan Intelektual pada dasarnya dapat dikatakan merupakan


benda hasil karya cipta, karsa serta buah pikiran manusia dan hasil kecerdasan
intelektual manusia yang kemudian menghasilkan kebendaan yang berwujud atau
tidak berwujud dan akan bermanfaat bagi orang lain sebuah sebuah hasil karya
yang bermanfaat, berharga dan berguna bagi orang lain. Sebagai dasar atas
pemikiran tersebut dapat disimpulkan bahwa HKI dapat dikatakan merupakan
sebuah kebendaan yang dapat dikategorikan sesuai dengan pasal 499
KUHPerdata, karena merupakan benda maka HKI mempunyai sebuah nilai yang
melekat didalamnya.
Ada beberapa pengertian tentang merek dan jenisnya; Merek dagang
adalah merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang
atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan
dengan jasa-jasa sejenis lainnya38; Merek jasa (Service marks) adalah merek yang
digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang
secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa-jasa
sejenis lainnya39; Merek kolektif (Collective marks) yang didefinisikan sebagai
merek yang digunakan pada barang dan/atau jasa dengan karekteristik yang sama
dan diperdagangkan oleh beberapa orang atau badan hukum untuk membedakan
dengan jasa-jasa sejenis lainnya40; Certifikat marks adalah merek yang digunakan
pada barang dan/atau jasa dengan karekteristik yang sama dan diperdagangkan

38

Utomo, Tomi Suryo, Op.Cit., hal. 210


Ibid., hal. 210
40
Ibid., hal. 210
39

41

oleh beberapa orang atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa-jasa
sejenis lainnya41.
Bedasar pada UU RI No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek Pasal 1 Ayat (1)
Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angkaangka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki
daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa;
Ayat (3) Merek Jasa adalah Merek yang digunakan pada jasa yang
diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau
badan hukum untuk membedakan dengan jasa-jasa sejenis lainnya.
Dapat disimpulkan bahwa merek dan merek jasa adalah hal yang berbeda
walaupun keduanya merupakan bagian dari HKI dan merupakan benda tidak
berwujud (immaterial) yang mempunyai nilai ekonomi dan nilai moral (moral
right), terutama untuk merek Jasa merupakan Merek yang digunakan pada jasa
yang diperdagangkan dan selalu melekat pada keahlian seseorang yang yang
melakukan atau yang menemukannya sehingga dalam merek jasa adalah
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara merek jasa itu sendiri
dengan penemunya atau tenaga ahli dalam jasa tersebut atau identik pada
pemiliknya sebagai nilai yang tidak terpisahkan.

B. Perspektif dan Terminologi HKI


Landasan filosofis HKI dimulai sejak dikemukannya ide penghargaan bagi
pencipta atau penemu atas kreasi intelektual mereka yang berguna bagi

41

Ibid., hal. 211

42

masyarakat dalam politik Aristotle pada masa abad keempat sebelum masehi.
Dalam berbagai diskusinya Aristotle kerap kali mengkritik secara tajam pendapat
Hippodamus dari Miletus, ia mengajukan proposal Sistem Penghargaan (reward
system) bagi mereka yang berjasa membuat penemuan yang berguna bagi
masyarakat. Proposal Hippodamus menyatakan bahwa: if you reward the
creators of useful things, you get more useful things. Atas proposal, Aristotle
berpendapat bahwa: a such system of individual reward may otherwise reduce
social welfare... a reward for revealing information to the state would give rise to
fraudulent claims of discovery of malfeasance of the part of public officials.42
Ada dua teori secara filosofis terkait anggapan hukum bahwa Hak
Kekayaan Intelektual adalah suatu sistem kepemilikan (Property). Teori tersebut
dikemukan oleh John Locke yang sangat berpengaruh di negara tradisi hukum
Common Law System dan Hegel yang sangat berpengaruh pada negara-negara
penganut tradisi hukum Civil Law System.43
Sedangkan Friedrich Hegel mengembangkan konsep tentang Right,
Ethic, and State yang intinya sebagai eksistensi dari kepribadian (the existence of
personality). Menurut Hegel: The property is, among other things, the means by
which an individual could objectively express a personal, singular will. In
property a person exsists for the fisrt time as reason kekayaan diantara sesuatu
kebendaan lainnya adalah sarana dimana seseorang dapat secara objektif
mengemukakan kehendak pribadi dan tunggal.44

42

Nasution, Rahmi Jened Parinduri, Interface Hukum Kekayaan Intelektual dan Hukum
Persaingan (Penyalahgunaan HKI), Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2015, hal. 23
43
Ibid., hal. 24
44
Ibid., hal. 26

43

C. Sejarah dan Perkembangan HKI di Indonesia


Peraturan perundang-undangan di bidang HKI di Indonesia telah ada sejak
tahun

1840-an,

memperkenalkan

kemudian

tahun

undang-undang

1844

pertama

pemerintah
mengenai

kolonial

Belanda

perlindungan

HKI.

Selanjutnya, tahun 1885 pemerintah Belanda mengundangkan Undang-Undang


Merek, Undang-Undang Paten pada tahun 1910, dan Undang-Undang Hak Cipta
pada tahun 1912. Indonesia yang pada waktu itu masih bernama Netherlands
East-Indies telah menjadi anggota Paris Convention for the Protection of
Industrial Property sejak tahun 1888 dan anggota Berne Convention for the
Protection of Literary and Aristic Works sejak tahun 1914. Pada jaman
pendudukan Jepang yaitu tahun 1942 sampai dengan tahun 1945, semua peraturan
perundang-undangan di bidang HKI tersebut tetap berlaku.
Pada tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia memproklamirkan
kemerdekaannya. Sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan peralihan UndangUndang Dasar tahun 1945, seluruh peraturan perundang-undangan peninggalan
kolonial Belanda tetap berlaku selama tidak bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar tahun 1945. UU Hak Cipta dan UU peningggalan Belanda tetap berlaku,
namun tidak demikian halnya dengan UU Paten yang dianggap bertentangan
dengan pemerintah Indonesia. Sebagaimana ditetapkan dalam UU Paten
peninggalan Belanda, permohonan paten dapat diajukan di kantor paten yang
berada di Batavia ( sekarang Jakarta ), namun pemeriksaan atas permohonan paten
tersebut harus dilakukan di Octrooiraad yang berada di Belanda.

44

Pada tahun 1953 Menteri Kehakiman RI mengeluarkan pengumuman yang


merupakan perangkat peraturan nasional pertama yang mengatur tentang paten,
yaitu Pengumuman Menteri Kehakiman No. J.S. 5/41/4, yang mengatur tentang
pengajuan semetara permintaan paten dalam negeri, dan Pengumuman Menteri
Kehakiman No. J.G. 1/2/17 yang mengatur tentang pengajuan sementara
permintaan paten luar negeri.
Pada tanggal 11 Oktober 1961 pemerintah RI mengundangkan UU No. 21
tahun 1961 tentang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan (UU Merek 1961)
untuk menggantikan UU Merek kolonial Belanda. UU Merek 1961 yang
merupakan undang-undang Indonesia pertama di bidang HKI. Berdasarkan pasal
24, UU No. 21 Th. 1961, yang berbunyi "Undang-undang ini dapat disebut UU
Merek 1961 dan mulai berlaku satu bulan setelah undang-undang ini
diundangkan". Undang-undang tersebut mulai berlaku tanggal 11 November
1961. Penetapan UU Merek 1961 dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dari
barang-barang tiruan/bajakan. Saat ini, setiap tanggal 11 November yang
merupakan tanggal berlakunya UU No. 21 tahun 1961.
Pada tanggal 10 Mei 1979 Indonesia meratifikasi Konvensi Paris [Paris
Convention for the Protection of Industrial Property (Stockholm Revision 1967)]
berdasarkan Keputusan Presiden No. 24 Tahun 1979. Partisipasi pemerintah
Indonesia dalam Konvensi Paris saat itu belum penuh karena Indonesia membuat
pengecualian (reservasi) terhadap sejumlah ketentuan,yaitu Pasal 1 s.d. 12, dan
Pasal 28 ayat (1).

45

Pada tanggal 12 April 1982 Pemerintah mengesahkan UU No.6 tahun


1982 tentang Hak Cipta ( UU Hak Cipta 1982) untuk menggantikan UU Hak
Cipta peninggalan Belanda. Pengesahan UU Hak Cipta 1982 dimaksudkan untuk
mendorong dan melindungi penciptaan, penyebarluasan hasil kebudayaan di
bidang karya ilmu, seni dan sastra serta mempercepat pertumbuhan kecerdasan
kehidupan bangsa.
Tahun 1986 dapat disebut sebagai awal era modern sistem HKI di tanah
air. Pada tanggal 23 Juli 1986 Presiden RI membentuk sebuah tim khusus di
bidang HKI melalui Keputusan No. 34/1986 (Tim ini lebih dikenal dengan
sebutan Tim Keppres 34). Tugas utama Tim Keppres 34 adalah mencangkup
penyusunan kebijakan nasional di bidang HKI, perancangan peraturan perundangundangan di bidang HKI dan sosialisasi sistem HKI di kalangan instansi
pemerintah terkait, aparat penegak hukum dan masyarakat luas. Tim Keppres 34
selanjutnya membuat sejumlah terobosan, antara lain dengan mengambil inisiatif
baru dalam menangani perdebatan nasional tentang perlunya sistem paten di tanah
air. Setelah Tim Keppres 34 merevisi kembali RUU Paten yang telah diselesaikan
pada tahun 1982, akhirnya pada tahun 1989 Pemerintah mengesahkan UU Paten.
Pada tanggal 19 September 1987 Pemerintah RI mengesahkan UU No. 7
tahun 1987 sebagai perubahan atas UU No. 12 tahun 1982 tentang Hak Cipta.
Dalam penjelasan UU No. 7 tahun 1987 secara jelas dinyatakan bahwa perubahan
atas UU No. 12 tahun 1982 dilakukan karena semakin meningkatnya pelanggaran
hak cipta yang dapat membahayakan kehidupan sosial dan menghancurkan
kreativitas masyarakat.

46

Menyusuli pengesahan UU No. 7 tahun 1987 Pemerintah Indonesia


menandatangani sejumlah kesepakatan bilateral di bidang hak cipta sebagai
pelaksanaan dari UU tersebut.
Pada tahun 1988 berdasarkan Keputusan Presiden No. 32 di tetapkan
pembentukan Direktorat Jendral Hak Cipta, Paten dan Merek (DJ HCPM) untuk
mengambil alih fungsi dan tugas Direktorat Paten dan Hak Cipta yang merupakan
salah satu unit eselon II di lingkungan Direktorat Jendral Hukum dan Perundangundangan, Departemen Kehakiman.
Pada tanggal 13 Oktober 1989 Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui
RUU tentang Paten, yang selanjutnya disahkan menjadi UU No. 6 tahun 1989
(UU Paten 1989) oleh Presiden RI pada tanggal 1 November 1989. UU Paten
1989 mulai berlaku tanggal 1 Agustus 1991. Pengesahan UU Paten 1989
mengakhiri perdebatan panjang tentang seberapa pentingnya sistem paten dan
manfaatnya bagi bangsa Indonesia. Sebagaimana dinyatakan dalam pertimbangan
UU Paten 1989, perangkat hukum di bidang paten diperlukan untuk memberikan
perlindungan hukum dan mewujudkan suatu iklim yang lebih baik bagi kegiatan
penemuan teknologi. Hal ini disebabkan karena dalam pembangunan nasional
secara umum dan khususnya di sektor indusri, teknologi memiliki peranan sangat
penting. Pengesahan UU Paten 1989 juga dimaksudkan untuk menarik investasi
asing dan mempermudah masuknya teknologi ke dalam negeri. Namun demikian,
ditegaskan pula bahwa upaya untuk mengembangkan sistem KI, termasuk paten,
di Indonesia tidaklah semata-mata karena tekanan dunia internasional, namun juga

47

karena kebutuhan nasional untuk menciptakan suatu sistem perlindungan HKI


yang efektif.
Pada tanggal 28 Agustus 1992 Pemerintah RI mengesahkan UU No. 19
tahun 1992 tentang Merek (UU Merek 1992), yang mulai berlaku tanggal 1 April
1993. UU Merek 1992 menggantikan UU Merek 1961. Pada tanggal 15 April
1994 Pemerintah RI menandatangani Final Act Embodying the Result of the
Uruguay Round of Multilateral Trade Negotiations, yang mencakup Agreement
on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (Persetujuan TRIPS).
Tiga tahun kemudian, pada tahun 1997 Pemerintah RI merevisi perangkat
peraturan perundang-undangan di bidang KI, yaitu UU Hak Cipta 1987 jo. UU
No. 6 tahun 1982, UU Paten 1989, dan UU Merek 1992.
Di penghujung tahun 2000, disahkan tiga UU baru di bidang KI, yaitu UU
No. 30 tahun 2000 tentang Rahasia Dagang, UU No. 31 tahun 2000 tentang
Desain Industri dan UU No 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit
Terpadu.
Dalam upaya untuk menyelaraskan semua peraturan perundang-undangan
di bidang Kekayaan Intelektual dengan Persetujuan TRIPS, pada tahun 2001
Pemerintah Indonesia mengesahkan UU No. 14 tahun 2001 tentang Paten, dan
UU No. 15 tahun 2001 tentang Merek. Kedua UU ini menggantikan UU yang
lama di bidang terkait. Pada pertengahan tahun 2002 tentang Hak Cipta yang
menggantikan UU yang lama dan berlaku efektif satu tahun sejak diundangkan.45

45

Direktorat Jendral Kekayaan Intelektual, Sekilas Sejarah Perkembangan Sistem


Perlindungan Kekayaan Intelektual (KI) di Indonesia, diakses dari http://www.dgip.go.id/tentangkami/sekilas-sejarah, pada tanggal 25 Februari 2016 pukul 02.36

48

D. Perlindungan Hukum HKI: Merek Dagang dan Merek Jasa


Hak Merek adalah hak eksklusif yang diberikan negara kepada pemilik
merek yang terdaftar dalam daftar umum merek untuk jangka waktu tertentu
menggunakan sendiri merek tersebut atau member izin kepada sesorang atau
beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk menggunakan
(Pasal 3 Undang-Undang No. 15 Tahun 2001). Merek sebagai salah satu wujud
karya intelektual memiliki peranan penting bagi kelancaran dan peningkatan
perdagangan barang atau jasa dalam kegiatan perdagangan dan investasi. Merek
(dengan brand image-nya) dapat memenuhi kebutuhan konsumen akan tanda
pengenal atau daya pembeda yang teramat penting dan merupakan jaminan
kualitas produk atau jasa dalam suasana persaingan bebas. Oleh karena itu Merek
adalah aset ekonomi bagi pemiliknya, baik perorangan maupun perusahaan (badan
hukum) yang dapat menghasilkan keuntungan besar, tentunya bila didayagunakan
dengan memperhatikan aspek bisnis dan proses manajemen yang baik. Demikian
pentingnya peranan Merek ini, maka terhadapnya dilekatkan perlindungan hukum,
yakni sebagai obyek terhadapnya terkait hak-hak perseorangan atau badan hukum.
Perlindungan maksimum untuk merek-merek di suatu wilayah hanya dapat
diberikan dengan mengajukan permohonan pendaftaran Merek si setiap negara di
suatu wilayah. Indonesia telah meratifikasi Persetujuan TRIPs (Agreement on
Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights, Including Trade on
Counterfit Goods) yang merupakan bagian dari Persetujuan Pembentukan
Organisasi Perdagangan Dunia pada tanggal 15 april 1994 Undang-undang R.I

49

No. 7 tahun 1994 tentang Pengesahan Persetujuan Pembentukan Organisasi


Perdagangan Dunia/Agreement Establishing the World Trade Organization).
Pada tanggal 7 Mei 1997, Pemerintah Indonesia telah meratifikasi
Konvensi Paris dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 15 Tahun
1997 Tentang Perubahan Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 1979 Tentang
Pengesahan Paris Convention for the Protection of Industrial Property dan
Convention Establishing the world Intellectual Property Organization, dengan
mencabut persyaratan (reservasi) terhadap Pasal 1 sampai dengan pasal 12.
Sebagai konsekuensinya, Indonesia harus memperhatikan ketentuan yang
bersifat substantif yang menjadi dasar bagi pengaturan dalam peraturan
perundang-undangan dibidang Merek, disamping Paten maupun Desain Industri.
Pada tanggal 7 Mei 1997 juga telah diratifikasi Traktat Kerjasama dibidang Merek
(Trademark Law Treaty) dengan Keputusan Presiden Nomor 17 tahun 1997.
Pemerintah Indonesia telah memberlakukan Undang-Undang Merek baru
No. 15 tahun 2001 pada tanggal 1 Agustus 201. Sebelumnya , Merek dilindungi
berdasarkan Undang-Undang No.14 tahun 1997 tentang Perubahan atas Undangundang No. 19 tahun 1992 tentang Merek. Undang-undang No. 15 tahun 2001
sebagai pengganti Undangundang No. 14 tahun 1997 juncto Undang-undang No.
19 tahun 1992 menganut sistem konstitutif (first to file) yang menggantikan
sistem deklaratif (first to use) yang pertama kali dianut oleh Undang-undang
No.21 tahun 1961 tentanh Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan. Menurut
Undang-undang No.21 tahun 1961, siapa yang pertama-tama memakai suatu
Merek di dalam wilayah Indonesia dianggap sebagai pihak yang berhak atas

50

Merek yang bersangkutan. First to use adalah suatu sistem khusus, bahwa siapa
pertama-tama memakai suatu Merek di dalam wilayah Indonesia dianggap sebagai
pihak yang berhak atas Merek yang bersangkutan. Jadi bukan pendaftaranlah yang
menciptakan suatu hak atas Merek, tetapi sebaliknya pemakaian pertama di
Indonesia yang menciptakan hak atas Merek. Dugaan hukum tentang pemakai
pertama dari seseorang yang telah mendaftarkan Merek ini hanya dapat
dikesampingkan dengan adanya bukti sebaliknya. Orang yang Mereknya telah
terdaftar berdasarkan undang-undang dianggap sebagai yang benar-benar berhak
karena pemakaian pertama. Anggapan hukum seperti ini dalam prakteknya telah
menimbulkan ketidakpastian hukum dan juga telah melahirkan banyak persoalan
dan hambatan dalam dunia usaha. Sistem yang dianut dalam Undang-undang No.
15 tahun 2001 tentang Merek yaitu Sistem Konstitutif, yaitu bahwa hak atas
Merek timbul karena pendaftaran. Hal ini tercantum dalam Pasal 3 UndangUndang No. 15 tahun 2001 tentang Merek yang berbunyi sebagai berikut :
Hak atas Merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada
pemilik Merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka
waktu tertentu dengan menggunakan sendiri Merek tersebut atau
memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya.
Undang-undang Merek memberikan perlindungan hukum bagi tanda yang
berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau
kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan
dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa. Tanda-tanda tersebut harus berbeda
sedemikian rupa dengan tanda yang digunakan oleh perusahaan atau orang lain
untuk membedakan dengan barang-barang sejenis lainnya. Tanda dianggap tidak
memiliki daya pembeda apabila tanda tersebut terlalu sederhana, seperti satu tanda

51

garis atau satu tanda titik, ataupun terlalu rumit sehingga tidak jelas. Merek
terdaftar mendapat perlindungan hukum untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun
sejak Tanggal Penerimaan dan jangka waktu perlindungan itu dapat diperpanjang.
Merek menurut Undang-undang no. 15 tahun 2001 tentang Merek dibedakan
yaitu:
1. Merek Dagang adalah Merek yang digunakan pada barang yang
diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama
atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa-jasa sejenis lainnya
(pasal 1 ayat (2)).
2. Merek Jasa adalah Merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan
oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan
hukum untuk membedakan dengan jasa-jasa sejenis lainnya (pasal 1 ayat
(3)).
3. Merek Kolektif adalah Merek yang digunakan pada barang dan atau jasa
dengan karakteristik yang sama yang diperdagangkan oleh beberapa orang
atau badan hukum secara bersama-sama untuk membedakan dengan
barang dan/ atau jasa sejenis lainnya (Pasal 1 ayat (4)).
Dalam hal pengalihan hak, ketentuan Pasal 40 ayat (1) Undang-undang
No. 15 tahun2001 tentang Merek disebutkan hak atas Merek terdaftar dapat
beralih atau dialihkan karena : pewarisan; wasiat; hibah; perjanjian; sebab-sebab
lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan. Maksud dari sebabsebab lain yang dibenarkan peraturan perundang-undangan, misalnya pemilikan
Merek karena pembubaran badan hukum yang semula merupakan pemilik Merek.

52

Khusus mengenai pengalihan dengan perjanjian, hal tersebut harus


dituangkan dalam bentuk akta perjanjian. Pengalihan hak atas Merek ini dilakukan
dengan menyertakan dokumen yang mendukungnya, antara lain Sertifikat Merek
serta bukti-bukti lain yang mendukung kepemilikan tersebut, kemudian wajib
dimohonkan pencatatannya kepada Direktorat Jenderal untuk dicatatkan dalam
Daftar Umum Merek. Pencatatan ini dimaksudkan agar akibat hukum dari
pengalihan hak atas Merek terdaftar tersebut berlaku terhadap pihak-pihak yang
bersangkutan dan terhadap pihak ketiga. Yang dimaksud dengan pihak-pihak
yang bersangkutan disini adalah pemilik Merek dan penerima pengalihan hak
atas Merek. Sedangkan yang dimaksud dengan pihak ketiga adalah penerima
lisensi. Namun tujuan yang penting dari adanya kewajiban untuk mencatatkan
pengalihan hak atas Merek adalah unutk memudahkan pengawasan dan
mewujudkan kepastian hukum. Di dalam pengalihan hak atas Merek terdaftar
dapat disertai dengan pengalihan nama baik, reputasi, atau lain-lainnya yang
terkait dengan Merek tersebut. Pengalihan hak atas Merek Jasa terdaftar hanya
dicatat oleh Direktorat Jenderal apabila disertai pernyataan tertulis dari penerima
pengalihan bahwa Merek tersebut akan digunakan bagi perdagangan barang
dan/atau jasa. Seperti halnya dalam pengalihan hak atas Merek Dagang, Undangundang Merek juga memungkinkan terjadinya adanya pegalihan hak atas Merek
Jasa. Hal ini diatur dalam Pasal 41 ayat (2) yang menyatakan bahwa hak atas
Merek Jasa terdaftar yang tidak dapat dipisahkan dari kemampuan, kualitas, atau
keterampilan pribadi pemberi jasa yang bersangkutan dapat diahlihkan dengan
ketentuan harus ada jaminan terhadap kualitas pemberi jasa.

53

Dalam hal lisensi Merek, Pasal 43 Undang-undang Merek menentukan


bahwa Pemilik Merek terdaftar berhak memberikan Lisensi kepada pihak lain
dengan perjanjian bahawa penerima Lisensi akan menggunakan Merek tersebut
untuk sebagian atau seluruh jenis barang atau jasa. Perjanjian Lisensi berlaku si
seluruh wilayah Negara Republik Indonesia, kecuali bila diperjanjikan lain, untuk
jangka waktu yang tidak leboh lama dari jangka waktu perlindungan Merek
terdaftar yang bersangkutan. Pemilik Merek terdaftar yang telah memberikan
Lisensi kepada pihak lain tetap dapat menggunakan sendiri atau memberikan
Lisensi kepada pihak ketiga lainnya untuk menggunakan Merek tersebut, kecuali
bila diperjanjikan lain (Pasal 44 Undang-undang Merek). Dalam perjanjian
Lisensi dapat ditentukan bahwa penerima Lisensi bisa memberi Lisensi lebih
lanjut kepada pihak ketiga (Pasal 45 Undang-undang Merek).
Dari perlindungan hukum yang didapat atas timbulnya beberapa hak atas
merek antara lain: cara mendapatkannya, tata cara pendaftaran, pengalihan dan
licensi atas hak kepemilikan merek bahwa Merek merupakan benda yang tidak
berujud atau immateriil yang mempunyai nilai ekonomi bagi pemiliknya,
sehingga merek merupakan aset kepemilikan (property asset) yang tidak ternilai
yang terkandung didalamnya sebuah nilai ekonomis (economic value) dan nilainilai moral atau hak moral (moral right) selain itu bahwa kepemilikan merek
mengandung nilai-nilai intagible didalamnya, antara lain: perwujudan kepribadian
(personality), hak abstrak (abstract right), pengakuan hak moral (moral right).
Dapat disimpulkan bahwa merek adalah benda imateriil yang dilindungi oleh

54

hukum dan mempunyai satu nilai ekonomis didalamnya sehingga merupakan aset
kepemilikan (property).

55

BAB IV.
HASIL
MEREK JASA SEBAGAI BOEDEL PAILIT

A. Dasar Hukum Merek Primagama Sebagai Boedel Pailit Atas Putusan


Nomor: 10/PDT.SUS/PAILIT/2013/PN.NIAGA.JKT.PST
Berdasar Putusan Nomor: 10/PDT.SUS/PAILIT/2013/PN.NIAGA.JKT.PST,
bahwa saudara Purdi E. Chandra (selanjutnya disebut Debitor Pailit) telah
dinyatakan pailit dengan segala akibat hukumnya. Putusan tersebut berdasar pada
pembuktian secara sederhana (sumir), hal ini termuat dalam penjelasan Pasal 8
Ayat (4) UUK terpenuhi yakni syarat adanya utang yang telah jatuh tempo dan
adanya minimal dua kreditor.
Pada awalnya Debitor Pailit terbukti dalam putusannya memiliki 4 (empat)
kreditor yang terdiri 1 (satu) kreditor separatis yaitu PT. BANK BNI SYARIAH
Cabang Jl. Jendral Sudirman Kavling 1 Jakarta (selanjutnya disebut Kreditor
Separatis) dan 3 (tiga) kreditor konkuren yaitu sdr. I Nyoman Kertha Widyarta,
sdr. I Nyoman Bagus Nuradita/Rini Sudarwati, Tsuyoshi Shiraishi (selanjutnya
disebut Kreditor Konkuren) dan sejumlah utang kepada para kreditor.

46

Antara

lain kepada Kreditor Separatis dengan dibuktikan adanya perjanjian Akad


Pembiayaan Murabahah No. TKS/140/2007/MRBH Tanggal 29 Agustus 2007
dan Akad Pembiayaan Murabahah No. TKS/166/2008/MRBH Tanggal 9 Mei

46

Pertemuan dan Wawancara Purdi E. Chandra, Jay Prasetya, Pada Rabu, 18 Nopember
2015, Pukul 19.30, Di Kantor PT. Sarana Indo Prima Persada (PT. SIPP)

56

2008 (utang 1); kepada kreditor konkuren dengan 2 (dua) utang dagang dan 1
(satu) utang yang disertai surat perjanjian kerja sama.
Walaupun dalam persidangan debitor pailit mengajukan eksepsi dengan
hanya mengakui 1 (satu) kreditor separatis dan utang belum jatuh tempo untuk
dapat ditagih.47 Pada dasarnya apabila telah terbukti dipengadilan dengan
sedikitnya dua kreditor atau lebih dan satu utang jatuh tempo atau dapat ditagih
seseorang atau badan hukum dapat diajukan dalam perkara kepailitan dengan
hanya butuh pembuktian sederhana atau sumir, dengan fakta atau keadaan yang
terbukti secara sederhana adalah adanya fakta dua atau lebih kreditor dan fakta
utang yang telah jatuh waktu dan tidak dibayar, sedangkan perbedaan besarnya
jumlah utang yang didalihkan oleh pemohon pailit dan termohon pailit tidak
terhalangi dijatuhkannya putusan pernyataan pailit.
Dalam hal ini penulis tidak menitik-beratkan dalam penelitian tentang
besarnya utang debitor pailit terhadap para kreditor, karena dalam UU Kepailitan
dan PKPU tidak adanya metode insolvensi test juga menjadi kelemahan dalam UU
Kepailitan dan PKPU padahal dengan menerapkan metode insovensi test sebelum
permohonan pailit diperiksa oleh Hakim akan melindungi kepentingan debitor
yangmasih dalam kondisi solven dan tidak ada masalah dengan kondisi
keuangannya agar tidak dinyatakan pailit hanya dengan dua syarat sederhana
sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU.
UU Kepailitan dan PKPU tidak membedakan antara tidak mampu
membayar (insolven) dengan tidak mau membayar. Dalam hukum kepailitan
47

Wawancara Dengan Bapak Purdi E. Chandra dan Eksepsi Bambang Heriarto, SH.
(Lawyer) atas Putusan Nomor: 10/PDT.SUS/PKPU/2013/PN.NIAGA.JKT.PST Jo Nomor:
10/PDT.SUS/ PAILIT/2013/ PN.NIAGA.JKT.PST, Tanggal 8 April 2013.

57

yang berlaku di negara lain, pernyataan pailit itu didasarkan pada keadaan dimana
debitor berada dalam kondisi tidak mampu membayar utangnya (insolvensi) yang
didahului dengan proses insolvensi test untuk menentukan apakah perusahaan
tersebut masih solven atau tidak, sedangkan model penagihan utang terhadap
debitor yang dipandang masih solven tidak bisa mengunakan jalur kepailitan,
namun harus menempuh prosedur gugatan wanprestasi biasa.
Prinsip structured creditors, prinsip utang, prinsip debt collection, prinsip
debt polling, prinsip debt forgiveness, prinsip universal dan prinsip teritorial;
prinsip-prinsip tersebut masih mengedepankan pada kepentingan dan keadilan
bagi kreditor sehingga perlindungan hukum bagi debitor pailit sangat minim
bahkan kurang. Untuk itu dibutuhkan terobosan hukum untuk melindungi debitor
pailit yang masih mempunyai itikad baik dalam menyelesaikan utang-utangnya,
walau dirasa masih kurang cukup memberi ruang bagi debitor pailit untuk
meperjuangkan hak-haknya sebagai seorang yang sedang memiliki masalah
dengan tuntutan kepailitan dan terancam hilangnya harta serta semua aset yang
dimiliki dan usahanya yang dibangun dengan susah dalam waktu yang lama.
Sedang bagi debitor pailit dengan putusan dalam keadaan pailit dengan
segala akibat hukumnya membawa implikasi atau akibat hukum bagi debitor
pailit karena putusan kepailitan bersifat putusan Constitutif48 dan serta merta
(uitvoerbaar bij voorraad); lihat Pasal 8 ayat (7) UU No. 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan PKPU.

48

Putusan Constitutif, putusan yang sifatnya meniadakan suatu keadaan hukum atau
menimbulkan suatu keadaan hukum yang baru.

58

Akibat hukum yang lain adalah semua harta dan aset debitor pailit yaitu
sejumlah bidang tanah, rumah dan bangunan milik debitor pailit sebagai jaminan
pada perjanjian Akad Pembiayaan Murabahah No. TKS/140/2007/MRBH dan No.
TKS/166/2008/MRBH dapat langsung dieksekusi dengan diadakan lelang
pertama49 dan lelang kedua50 dan aset-aset lain yang dinyatakan sebagai boedel
pailit oleh kurator dan hakim pengawas.
Dalam hukum kepailitan telah diberi ruang yaitu Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang (PKPU) sebagai sarana untuk mempertahankan dan
memperbaiki keadaan, akan tetapi bagi debitor pailit dirasa tidak dapat
melindungi karena dalam memberi putusan atas perkara kepailitan harus
dikabulkan apabila terbukti secara sumir.
Dalam hal ini debitor pailit telah menempuh jalur PKPU pada tanggal 17
April 2013 dengan Putusan Nomor: 10/PDT.SUS/PKPU/2013/PN.NIAGA.JKT.PST,
dengan mengabulkan permohonan PKPU sementara paling lama 45 (empat puluh
lima) hari sejak putusan ini diucapkan, dirasa kurang cukup bagi debitor pailit
untuk dapat menyelesaikan kewajiban-kewajibannya yaitu utang terhadap para
kreditor sebesar Rp. 25.367.377.937 (Dua Puluh Lima Milyard Tiga Ratus Enam
Puluh Tujuh Juta Tiga Ratus Tujuh puluh Tujuh Ribu Sembilan Ratus Tiga Puluh
Tujuh Rupiah)51 dan $2.000.000 (Dua Juta Dollar US).52

49

Pengumuman Lelang Pertama Eksekusi Hak Tanggungan, Dilaksanakan Hari Kamis


Tanggal 13 September 2013, Pukul 10.00 WIB, Tempat KPKNL, Bandar Lampung, Jl. Basuki
Rahmat No. 12, Bandar Lampung
50
Pengumuman Kedua Lelang Eksekusi Harta Pailit Purdi E. Chandra, Dilaksanakan Hari
Rabu Tanggal 30 Oktober 2013, Pukul 10.00 WIB, Tempat KPKNL, Jakarta III, Jl. Prapatan
Nomor 10 Jakarta Pusat.
51
Surat Tagihan BNI Syariah, No. BNISy/UPK/22, Perihal Penyelesaian Kewajiban
Purdi E. Chandra, Tanggal 19 Maret 2012

59

Pada tanggal 24 Juni 2013 terbit Putusan Nomor: 10/PDT.SUS/


PKPU/2013/PN.NIAGA.JKT.PST

jo

Nomor:

10/PDT.SUS/PAILIT/2013/

PN.NIAGA.JKT.PST berdasar Rapat Kreditor Pertama tertanggal 23 April 2013,


rapat Verifikasi tanggal 8 Mei 2013 dan Rapat Pemunggutan suara atas usulan
perdamaian tanggal 28 Mei 2013 yang diajukan oleh Debitor:
Bahwa Rapat Kreditur untuk pemunggutan suara terhadap Usulan
Perdamaian yang diajukan oleh Debitur/Termohon PKPU telah dihadiri 4
Kreditur Konkuren dan satu Kreditur Separatis, dan telah disetujui oleh
satu Kreitur Separatis dan 3 Kreditur Konkuren, akan tetapi tidak
disetujui oleh Kreditur Konkuren.
Bahwa setelah dilakukan perhitungan suara ternyata, untuk Kreditur
Konkuren yang menyetujui Usulan Perdamaian aquo jumlah piutangnya
tidak mewakili 2/3 dari jumlah keseluruhan tagihan Kreditur Konkuren
Bahwa oleh karena itu, Hakim Pengawas berpendapat Debitur Pailit
demi hukum harus dinyatakan pailit;
Keputusan tersebut berdasar pada Pasal 281 ayat (1) UU No. 37 Tahun
2004 jumlah Kreditur Konkuren yang menyetujui perdamaian tidak mencapai
jumlah 2/3 dari jumlah tagihan Kreditur Konkuren dan menetapkan usulan
perdamaian yang diajukan termohon PKPU tidak mencapai quorum, dan Debitur
Pailit dinyatakan Pailit.
Akibat hukum bagi Debitur Pailit berdasar Pasal 1131 KUH Perdata telah
menentukan bahwa semua kebendaan milik debitor baik yang sudah ada maupun
yang akan ada, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak demi hukum
menjadi jaminan atas utang-utang debitor, statement tersebut mengandung

52

Wawancara Dengan Bapak Purdi E. Chandra, Tanggal 30 Nopember 2015, Pukul


11.00, Tempat Caffe Cangkir 6 Bintaran Kidul-Yogyakarta.

60

persangkaan bahwa tidak ada kredit (piutang) yang tidak ada jaminannya; semua
harta yang sudah ada maupun yang akan ada menjadi boedel pailit.

B. Perlindungan Hukum Merek Primagama sebagai Boedel Pailit


Pada dasarnya hasil sebuah Hak Kekayaaan Intelektual (Intellectual
Property Right) yang berkaitan dengan hasil karya olah pikir manusia baik yang
berujud (materiil) maupun tidak berujud (immateriil) adalah mempunyai nilai
ekonomis bagi pemiliknya sehingga dapat dikatakan sebuah hasil karya yang
dilindungi undang-undang merupakan aset.
Merek Jasa Primagama merupakan sebuah aset yang di lindungi oleh HKI
dan akan memberikan keuntungan bagi pemiliknya baik dilihat dari sisi ekonomi
yaitu nilai atau harga dari obyek yang menjadi perlindungan dan hak moral (moral
right) yang terkandung didalamnya. Karena mempunyai nilai ekonomi (economic
value) maka Merek Jasa Primagama dapat dikatakan merupakan sebuah harta atau
merupakan sebuah nilai kekayaan bagi seseorang yang memilikinya, sebaiknya
dari harta atau aset yang mempunyai nilai maka dapat pula mendatangkan sebuah
akibat atasnya (secara ekonomi).53
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Merek Jasa Primagama
merupakan benda tidak berujud (immateriil), baik benda berujud (materiil)
maupun yang tidak berujud (immateriil) diatur secara umum dalam hukum
keperdataan (lex generalist) yaitu Kitab Undang-undang Hukum Perdata
(KUHPerdt.), obyek HKI diatur pula dalam pengaturan hukum-hukum yang lebih
53

Wawancara dengan Bpk. Haryanto, S.H. (KASUBBID PELAYANAN HUKUM


UMUM Kanwil. Kementerian Hukum & HAM DIY), Pada Hari Senin Tanggal 7 Februari 2016,
Pukul 08.00

61

khusus (lex specialist) yaitu dalam UU No. 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta
(UUHC) dan UU No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek, disamping itu ada beberapa
Undang-Undang yang mengikutinya sebagai sebab timbulnya perlakuan hukum
terhadap obyek HKI itu sendiri antara lain UU No.4 Tahun 1996 Tentang Hak
Tanggungan dan UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan dan PKPU).
Merek termasuk didalamnya merek jasa yaitu Merek Primagama sebagai
obyek hak kekayaan intelektual yang dilindungi oleh undang-undang maka baik
pemanfaatannya, pengaturannya, pengunaanya serta akibat-akibat hukum yang
timbul dalam perlakuaan hukum didalamnya, selain itu dalam pemanfaatanya
akan berdampak dan/atau memberi akibat (prestasi) maupun akibat hukum bagi
pemilik atau yang memanfaatkanya.54
Secara tidak langsung Merek Primagama sebagai merek jasa mempunyai
nilai filosofi yang sama dengan obyek-obyek hasil kekayaan intelektual lainnya
baik yang berujud (materiil) maupun yang tidak berujud (immateriil), merek jasa
(Service marks) sendiri merupakan sebuah hasil cipta karya atas usaha dari daya
pikir, imajinasi seseorang yang tertuang dalam sebuah kebendaan yang tidak
berujud (immateriil) dan mempunyai satu nilai ekonomis.
Merek Primagama sebagai salah satu obyek HKI merupakan kepemilikan
(property) yang mempunyai nilai-nilai filosofi yang terkandung didalamnya,
antara lain:
1. Hasil cipta karya
54

Berdasar Sertifikat Hak Merek No. IDM000226564, Tanggal Pendaftaran 11 Nopember


2009, Kelas Barang/Jasa NCL9 41 (Merek), Atas Nama Purdi E. Chandra

62

Pada dasarnya Merek jasa merupakan benda hasil karya cipta, karsa serta
buah pikiran manusia dari unsur budaya atau kebudayaan hasil olah daya
dari budi sebagai benda yang tidak berujud (immateriil), sehingga semua
hasil cipta karya manusia harus dilidungi sebagai anugrah tuhan kepada
manusia.
2. Daya pikir
Merupakan hasil kecerdasan intelektual manusia yang kemudian
menghasilkan sebuah kebendaan didalamnya.
3. Imajinasi
Adalah kekuatan atau proses menghasilkan citra mental dan ide,
merupakan suatu gambaran (citra) yang dihasilkan oleh otak seseorang.
Hasil kecerdasan imaginasi dari olah pikir manusia yang kemudian
menghasilkan kebendaan didalamnya.
4. Nilai ekonomis
Karena hasil dari cipta karya, daya pikir dan imajinasi menghasilkan
sebuah kebendaan yang tidak berujud (immateriil) dan merupakan sebuah
hasil karya yang bermanfaat, berharga dan berguna bagi orang lain akan
mendapat penghargaan yaitu royalti dan kepemilikan (property) yang
mempunyai nilai ekonomi didalamnya.
5. Jasa atau service atau pelayanan
Jasa adalah aktivitas ekonomi yang mempunyai sejumlah elemen (nilai
atau manfaat) intangibel yang berkaitan dengannya, yang melibatkan
sejumlah interaksi dengan konsumen atau dengan barang-barang milik,

63

tetapi tidak menghasilkan transfer kepemilikan. Perubahan daiam kondisi


bisa saja muncul dan produksi suatu jasa bisa memiliki atau bisa juga tidak
mempunyai kaitan dengan produk fisik.
Dari uraian diatas bahwa Merek Primagama sebagai Merek Jasa (Service
Mark) terkait dengan masalah-masalah kepailitan sebagai boedel pailit, antara
lain:
Pertama: bahwa merek jasa selain mempunyai nilai dan manfaat dari
unsur atau elemen benda yang tidak berujud (intagible asset), kepemilikan
(property), nilai ekonmis (value), dan kebendaan yang tidak berujud (immateriil)
merupakan sebuah harta bagi yang memilikinya atau obyek hak milik (asset);
KUHPerdt. Pasal 499: Menurut undang-undang, barang adalah tiap benda dan
tiap hak yang dapat menjadi obyek dari hak milik. (KUHPerd. Pasal 503).
Karena merek jasa merupakan obyek kebendaan sebagai harta bagi pemiliknya
dan memberi nilai ekonomis atas kepemilikannya akan memberi akibat hukum
bagi pemiliknya.
Kedua: bahwa merek jasa sebagai obyek HKI dapat menjadi jaminan
mengacu pada UU No. 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta Pasal 16 Ayat (3) Hak
Cipta dapat dijadikan sebagai objek jaminan fidusia, untuk itu cara
pengaturannya baik pengalihan hak dan pemanfaatannya diatur dalam sistem
peraturan perundang-undangan yang ada yaitu UU No. 42 Tahun 1999 Tentang
Jaminan Fidusia Pasal 1 angka (1) dan anka (2).
Ketiga: bahwa merek jasa benda yang tak berujud (immateriil) dan
digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang

64

secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa-jasa


sejenis lainnya; Pasal 1 Ayat (3) dan dalam pengalihannya diatur dalam Pasal 41
Ayat (1) dan (2) dalam UU No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek.
Dari ketiga uraian diatas bahwa Merek Primagama merupakan benda yang
tidak berujud (immateriil) atau tidak bertubuh dan mempunyai nilai ekonomi serta
dapat dialihkan kepemilikannya maka Merek Jasa dapat menjadi boedel pailit,
sedang dalam penerapannya harus mempertimbangkan prinsip-prinsip hukum dan
asas-asas hukum kepailitan.
Merek Primagama sebagai benda tidak berujud (immateriil) yang bernilai
ekonomi dan merupakan identitas dalam usaha atau perusahaan Debitor Pailit
mempunyai sifat aktif atau dapat menghasilkan suatu kebendaan lainnya
(mendapatkan hasil), sebagai boedel pailit dalam pemberesan atau penjualannya
atau pengalihannya harus melalui penilaian yang pas dan mempertimbangkan
asas-asas dalam hukum kepailitan.

C. Penerapan Prinsip dan Asas Hukum dalam Perkara Kepailitan:


Merek Jasa Primagama sebagai Boedel Pailit.
Prinsip hukum hakikatnya adalah sebagai a fundamental truth or
doctrine, as of law; a comprehensive rule or doctrine wich furnishes a basis or
origin for others, asas atau prinsip hukum adalah nilai-nilai yang mendasari nilai
hukum dan mendasari pikiran-pikiran yang berkenanan dengan ketentuanketentuan atau keputusan-keputusan individual.

65

Pengunaan prinsip hukum sebagai dasar hakim dalam memutus perkara


kepailitan memperoleh legalitas dalam UU Kepailitan Pasal 8 Ayat 5 menyatakan
bahwa putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib memuat
pula: a. Pasal tertentu dari perturan perundang-undangan yang bersangkutan
dan/atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili; dan b.
Pertimbangan hukum dan pendapat yang berbeda dari hakim anggota atau ketua
majelis.
Prinsip paritas creditorium, prinsip parri passu pronata parte, dan prinsip
structured prorata merupakan prinsip utama penyelesaian utang dari debitor
terhadap kreditornya.
Solvabilitas adalah kemampuan Merek Primagama (Merek Jasa) untuk
memenuhi semua kewajibannya, yang dapat diartikan juga sebagai kemampuan
perusahaan dalam melunasi seluruh utang yang ada dengan menggunakan
seluruh asset yang dimilikinya, sehingga dalam pelaksanaan atau pemberesan
utang-utang debitor pailit dibutuhkan pengawasan oleh Hakim Pengawas dan
penilaian atau perhitungan yang dilaksanakan oleh kurator terhadap harta debitor
pailit sebagai boedel pailit. Dalam pelaksanaanya selain berpegang pada prinsipprinsip hukum yang ada dibutuhkan pula asas-asas dalam hukum kepailitan; asas
keseimbangan, asas kelangsungan usaha (on going concern), asas keadilan dan
asas integrasi.
Asas keseimbangan, untuk mencegah terjadinya perebutan harta debitor
pailit oleh kreditor yang beritikad tidak baik dan mencegah terjadinya
peyalahgunaan pranata dan lembaga peradilan oleh debitor yang tidak jujur; asas

66

kelangsung usaha (on going concern), memberi ruang kepada debitor pailit
beritikad baik untuk meneruskan usaha atau perusahaan yang propspektif tetap
berjalan; asas keadilan, mencegah terjadinya kesewenang-wenangan pihak
penagih yang mengusahakan pembayaran tagihannya tanpa memperdulikan
kreditor lainnya; dan asas integrasi, mengandung pengertian bahwa sistem hukum
formil dan materiil peraturan kepailitan merupakan satu kesatuan yang utuh dari
sistem hukum perdata dan hukum acara perdata nasional.
Salah satu akibat hukum yang timbul dalam perkara kepailitan dengan
Putusan Nomor: 10/PDT.SUS/PAILIT/2013/PN.NIAGA.JKT.PST adalah lepasnya
kepemilikan Merek Primagama kepada pihak ketiga melalui lelang, hal ini
membawa implikasi besar kepada Debitur Pailit atas hilangnya kemampuan untuk
menyelesaikan kewajiban-kewajibannya yaitu utang-utang para krediturnya.
Pertanyaan yang muncul adalah apakah putusan kepailitan tersebut telah sesuai
dengan norma-norma dan asas-asas hukum kepailitan?; Mampukah sebuah Merek
Primagama dan usaha dari perusahaan untuk membayar kewajiban utangutangnya?.
Merek Primagama telah digunakan oleh 723 cabang di tahun 2009, 756
cabang di tahun 2010, dan 587 cabang di tahun 2015 dengan sistem Waralaba
(Franchise) di 33 provinsi, selain itu Primagama adalah satu-satunya bimbingan
belajar yang telah mendapat sertifikat ISO 9001:2008 sebagai bukti kualitas dan
jaminan mutu layanan.55

55

Sumber: Data Website http://Primagama.co.id, Diakses dari http://www.


primagama.co.id/ tentang-primagama/sekilas-sejarah-primagama, pada Tanggal 20 Februari 2016,
Pukul 01.15, dan Informasi Data Sdr. Purdi E. Chandra

67

Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa kemampuan untuk melakukan


kegiatan usaha masih mempunyai prospek dengan jaringan yang telah terbentuk
dalam dari tahun 1982 sampai saat ini, dapat disimpulkan bahwa Primagama
memiliki manajemen yang baik sehingga dapat tumbuh dan berkembang sebagai
unit usaha atau perusahaan yang berkemampuan. Dari 587 cabang (tahun 2015)
primagama dengan sistem Waralaba (Franchise) dan lebih dari 168.100 siswa di
seluruh Indonesia, untuk saat ini biaya untuk SD Kelas 3,4,5 dan SMP Kelas 7,8
adalah Rp. 2.200.000 (Tipe 1); SMA Kelas 10,11 adalah Rp. 2.400.000 (Tipe 2);
SD Kelas 6 dan SMP Kelas 9 adalah Rp. 2.700.000 (Tipe 3); Kelas 12 IPA dan
Kelas 12 IPS adalah Rp. 2.900.000 (Tipe 4).56
Biaya Franchisee dari Waralaba (Franchise) Primagama, untuk 1 Outlet
atau Cabang harus membayar Franchise Fee sebesar Rp. 100.000.000 dan
membayar royalti 10% dari penghasilan kotor.57 Dari data-data dan informasi
yang didapat penulis nilai sebuah Merek Jasa dapat mencapai fantastis sehingga
merupakan kekuatan dan kemampuan bagi pemiliknya untuk dapat menyelesaikan
kewajiban-kewajiban utangnya apabila dikelola dengan baik dan dengan
manajemen yang baik pula akan memberi prospek kedepan. Dapat kita hitung
harga Merek Primagama dari data diatas:

56

Cabang

- 587 Outlet

Siswa

- 168.100 Orang

Informasi BIMBEL PRIMAGAMA Sukamandi, Daftar Biaya Bimbingan


Belajar Tahun Pelajaran 2013/2014 Khusus Siswa Lanjutan, Diakses dari http://
elisprimagamaski.blogspot.co.id/
2013/04/daftar-biaya-bimbingan-belajar-khusus.html,
Pada
Tanggal 2 Maret 2016, Pukul 18.07
57
Mahru El, Cara Menjadi Franchise di Primagama, Diakses dari http://
mahrudinda.blogspot.co.id/ 2015/07/bersiaplah-menjadi-business-owner.html, Pada Tanggal 2
Maret 2016 Pukul 21.09

68

Biaya Rata-rata

- Rp. 2.550.000

o Biaya (Tipe 1)

- Rp. 2.200.000

o Biaya (Tipe 2)

- Rp. 2.400.000

o Biaya (Tipe 3)

- Rp. 2.700.000

o Biaya (Tipe 4)

- Rp. 2.900.000

Ilustrasi pendapatan perkiraan dan rata-rata (asumsi data) Merek


Primagama dalam satu periode per tahun adalah:
Tahun I (pertama)
Franchise Fee

- Rp. 100.000.000 x Cabang/Outlet


- Rp. 100.000.000 x 587 Cabang

Subtotal Pendapatan Franchise Fee Rp. 58.700.000.000


(Lima Puluh Delapan Milyar Tujuh Ratus Juta Rupiah)
Royalti

- 10% x Jumlah Siswa x Biaya rata-rata pertahun


- 10% x 168.100 Orang x Rp. 2.550.000

Subtotal Royalti per tahun Rp. 42.865.500


(Empat Puluh Dua Milyar Delapan Ratus Enam Puluh Lima Juta Rupiah)
Tahun II (kedua)
Subtotal Royalti per tahun Rp. 42.865.500.000
(Empat Puluh Dua Milyar Delapan Ratus Enam Puluh Lima Juta Rupiah)
Pendapatan pada tahun I (pertama) dan tahun II (kedua) adalah:

Rp. 58.700.000.000 + Rp. 42.865.500.000 = Rp. 101.565.500


(Seratus Satu Milyar Liam Ratus Enam Puluh Lima Juta Rupiah)58

Dari perhitungan diatas dapat disimpulkan bahwa Merek Primagama


merupakan nilai aset yang tak terhingga apabila dikelola dengan benar dan diikuti

58

Data sementara, Nilai yang didapat hanya ilustrasi pendapatan selama 2 tahun pertama

(Bukan Pendapatan dan Nilai yang sebenarnya); Besaran hanya diperoleh dari sumber luar dan
bukan besaran yang sebenarnya.

69

manajemen yang baik, berikut hanya sebuah gambaran untuk dapat menilai
sebuah Merek Jasa atau Merek Dagang yang mempunyai harga (value) atau nilai
ekonomi (economic value) dari sebuah boedel pailit. Sehingga Kurator untuk
melindungi para pihak baik pihak kreditur maupun debitor pailit dengan
mengunakan asas kehati-hatian dalam menilai sebuah objek boedel pailit dan/atau
hakim juga memperhatikan dan/atau mempertimbangkan akibat yang timbul serta
mempunyai bahan pertimbangan dan alasan yang kuat pada saat menjatuhkan
putusan pailit kepada seseorang.
Dalam perkara Purdi E. Chandra dengan Merek Primagama sebagai salah
satu aset atau harta debitor pailit sebagai boedel pailit tidak memberi implikasi
baik bagi debitor pailit untuk melanjutkan usaha atau perusahaannya agar
berkemampuan untuk membayar utang-utangnya, sebagai pemilik merek
primagama yang masih jalan dan produktif seta mempunyai prospek memberikan
hasil kepada debitor pailit. Bukankah asas kelangsungan usaha (on going concern)
harusnya dikedepanlan sebagai pertimbangan memutus perkara kepailitan.
Dapat disimpulkan bahwa batasan mengenai boedel pailit dalam hukum
kepailitan memberi keleluasaan bagi Hakim, Kurator, Hakim Pengawas dan
Panitya Kreditor untuk menentukan harta-harta debitor pailit untuk dijadikan
boedel pailit, batasan mengenai harta-harta debitor pailit kecuali mengutungkan
harta pailit berarti dimana harta tersebut memberi keuntungan dan mempunyai
nilai uang (bukan utang atau beban atau biaya, dan sebagainya) dapat dijadikan
boedel pailit: Pasal 40 Ayat (1) dan Pasal 21 UU No. 37 Tahun 2004 Tentang
Kepailitan dan PKPU: Kepailitan meliputi seluruh kekayaan Debitor pada saat

70

putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama
kepailitan, kecuali: a. benda, termasuk hewan yang benar-benar dibutuhkan oleh
Debitor sehubungan dengan pekerjaannya, perlengkapannya, alat-alat medis yang
dipergunakan untuk kesehatan, tempat tidur dan perlengkapannya yang
dipergunakan oleh Debitor dan keluarganya, dan bahan makanan untuk 30 (tiga
puluh) hari bagi Debitor dan keluarganya, yang terdapat di tempat itu; b. segala
sesuatu yang diperoleh Debitor dari pekerjaannya sendiri sebagai penggajian dari
suatu jabatan atau jasa, sebagai upah, pensiun, uang tunggu atau uang tunjangan,
sejauh yang ditentukan oleh Hakim Pengawas; atau c. uang yang diberikan kepada
Debitor untuk memenuhi suatu kewajiban memberi nafkah menurut undangundang (Pasal 22 huruf a, b dan c dalam UU Kepailitan dan PKPU).
Sehingga batasan-batasan tersebut tidak mengutungkan debitor pailit
dan/atau tidak memberi ruang yang luas bagi debitor pailit untuk mengusahakan
dalam penyelesaian kewajibannya terhadap utang-utang kreditor, adalah sebuah
ketidak adilan bagi debitor apabila hal tersebut dikarenakan suatu alasan bahwa
debitor pailit telah melakukan kesalahan atau telah melakukan tindakan untuk
mengemplang utang dan/atau tidak melakukan pembayaran utang-utang yang
telah jatuh tempo dapat ditagih kepada sedikitnya salah satu dari dua kreditor atau
lebih dan merupakan manifestasi dari prinsip debt collection principe (prinsip
debt collection) yang mempunyai makna sebagai konsep pembalasan dari kreditor
terhadap debitor pailit dengan menagih klaimnya terhadap debitor atau harta
debitor.

71

Untuk itu Merek Jasa merupakan boedel pailit yang berbeda baik
perlakuannya dan penilaiannya terhadap harta kekayaan lainnya, dengan
pertimbangan bahwa semua harta kekayaan yang menjadi boedel pailit harus
dapat dialihkan atau dijual oleh kurator yang ditunjuk dengan ketentuan sesuai
perundang-undangan baik secara terbuka (melalui Balai Lelang) yang mengacu
UU Kepailitan dan PKPU Pasal 185 Ayat (1): Semua benda harus dijual di muka
umum sesuai dengan tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundangundangan atau secara tertutup (dibawah tangan) yang mengacu pada UU
Kepailitan dan PKPU Pasal 185 Ayat (2): Dalam hal penjualan di muka umum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai maka penjualan di bawah
tangan dapat dilakukan dengan izin Hakim Pengawas, dengan mengisyaratkan
adanya persetujuan Hakim Pengawas; Pasal 107 ayat (1) UU Kepailitan dan
PKPU.
Dalam menjual harta debitor sebagai proses pemberesan harta pailit
kurator harus mempertimbangkan dua aspek, yaitu:
1. Pertimbangan Yuridis
Tentunya agar pihak kurator yang menjual harta debitor pailit tidak
disalahkan, yang pertama sekali harus diperhatikan adalah apa persyaratan
yuridis terhadap tindakan tersebut.
2. Pertimbangan bisnis
Kurator

yang

menjual

aset

debitor

juga

harus

memperhatikan

pertimbangan bisnis, fokus utama dari pertimbangan bisnis disini adalah

72

apakah dengan penjualan tersebut dapat dicapai harga yang setinggitingginya.


Hukum Kepailitan harus dapat membedakan, antara perusahaan yang
harus diliquidasi dan yang harus di reorganisasi Jika utang tidak terlalu besar dan
terdapat prospek arahnya tidak liquidasi, tetapi terdapat alternatif penyelamatan.
Sedangkan jika utang terlalu besar dan prospek bisnisnya tidak lagi cerah, maka
tidak ada jalan lain kecuali mempailitkan.
Hukum Kepailitan harus mengutamakan penyelesaian melalui PKPU dan
diikuti dengan penerapan asas kelangsungsan usaha (on going concern), dengan
melihat kemampuan dan prospek usaha atau perusahaan Purdie E. Chandra
sebagai pemilik Merek Primagama untuk menghasilkan prestasi sebagai
kemampuan untuk membayar utang-utang debitor pailit atau menyelesaikan
utang-utang para krediturnya, suatu hal yang berbeda apabila Purdie E. Chandra
tidak mau bekerja sama dan/atau tidak kooperatif dalam penyelesaiannya dan/atau
tidak mempunyai jaminan atas penyelesaian utang-utang kreditor dan/atau berniat
curang terhadap harta debitor pailit dan/atau merugikan harta debitor pailit
dan/atau adanya kesepakatan jahat antara salah satu kreditor dan debitor pailit.
Bahwa seharusnya dalam UU Kepailitan dicantumkan ketentuan bahwa
sebelum sampai pada keputusan pailit dan liquidasi, baik atas permintaan kreditor
maupun debitor sendiri, wajib untuk pertama-tama dan terlebih dahulu menelaah
kemungkinan perusahaan debitor dapat diselamatkan dari kepailitan melalui
program rehabilitasi perusahaan.

73

Dan apabila dalam perjalananya Debitor Pailit terbukti melakukan salah


satu dari implikasi atau idikasi melakukan tindakan yang akhirnya merugikan
harta debitor pailit maka pihak Kurator bersama-sama dengan Hakim Pengawas
untuk segera melakukan pemberesan atau penjualan harta debitor pailit sesuai
dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku, akan tetapi hal tersebut
juga harus memperhatikan dan menjalankan dengan tujuan memberi keuntungan
terhadap harta debitor pailit (tidak merugikan harta debitor pailit), dan memberi
keuntungan terhadap para pihak (debitor maupun para Kreditor) karena dalam
kasus penanganan harta debitor pailit terhadap aset yang tidak berujud
(immateriil) harus memperhatikan asas kehati-hatian dalam penilaian atau taksiran
terhadap nilai suatu objek harta pailit terutama untuk harta-harta yang tidak
berujud, seperti: Merek, Merek Dagang, Paten dan Merek Jasa.59 Sampai saat ini
belum ada lembaga idependent yang dapat memberikan pathokan secara pasti
nilai yang terkandung atau nilai (value) bagi barang-barang yang tidak berujud
(immateriil), tidak demikian halnya untuk barang-barang atau benda yang berujud
(materiil) dapat dengan mudah untuk dinilai.
Pada dasarnya dibutuhkan sebuah kesepakatan antara pemilik Merek baik
Merek Dagang maupun Merek Jasa untuk dapat menghitung bersama-sama
Kurator dan Hakim Pengawas untuk memberikan audit secara rinci mengenai nilai
sebuah merek dari beberapa aspek: aspek ekonomi, nilai kekayaan dan goodwill,
serta aset-aset yang ada baik yang tangible maupun yang intagible dengan nilai
yang obyektif.
59

Wawancara dengan Bpk. Haryanto, S.H. (KASUBBID PELAYANAN HUKUM


UMUM Kanwil. Kementerian Hukum & HAM DIY), Tempat di Kantor Kementerian Hukum &
HAM DIY, Pada Hari Senin Tanggal 7 Februari 2016, Pukul 08.00

74

Tujuan

adanya

sebuah

penilaian

yang

obyektif

adalah

untuk

menguntungkan harta pailit dan harta debitor pailit itu sendiri, sehingga apabila
harga atau nilai yang dicapai maksimal dalam penjualan baik melalui lelang
(secara terbuka) atau melalui penjualan langsung dengan seijin hakim pengawas
(secara tertutup) diharapkan debitor dapat memenuhi kewajiban-kewajibannya
untuk mengakhiri masa kepailitannya dan segera melakukan rehabilitasi atas
namanya atau ahli warisnya; Pasal 166, 202, 210 dan 217 UU Kepailitan dan
PKPU.60
Dan pada akhirnya untuk dapat memberikan kepuasan bagi debitor pailit
atas pelepasan dan/atau pemberesan dan/atau penjualan harta debitor pailit adalah
mendapat hasil dari penjualan harta debitor pailit sebesar-besarnya dan untuk
menjaga penjualan tersebut dengan terbuka maka Hakim harus mengawasi
jalannya penjualan aset-aset atau harta debitor pailit melalui Hakim Pengawas
yang ditunjuk dan memberikan arahan kepada Kurator dalam penjualan atau
pengalihan harta debitor pailit secara maksimal dan dengan tujuan tidak
merugikan salah satu pihak baik debitor maupun kreditor.

60

Wawancara dengan Bpk. Haryanto, S.H. (KASUBBID PELAYANAN HUKUM


UMUM Kanwil. Kementerian Hukum & HAM DIY), Tempat di Kantor Kementerian Hukum &
HAM DIY, Pada Hari Senin Tanggal 7 Februari 2016, Pukul 08.00

75

BAB V.
PENUTUP

A. Kesimpulan
Bahwa

Merek

Primagama

dapat

menjadi

boedel

pailit

dengan

memperhatikan beberapa aspek hukum yaitu:


1. Dasar hukum atas Merek Jasa Primagama menjadi boedel pailit, adalah:
a. Bahwa merek jasa sebagai obyek HKI dapat menjadi jaminan mengacu pada
UU No. 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta Pasal 16 Ayat (3) Hak Cipta
dapat dijadikan sebagai objek jaminan fidusia. (pengaturannya baik
pengalihan hak dan pemanfaatannya diatur dalam UU No. 42 Tahun 1999
Tentang Jaminan Fidusia Pasal 1 angka (1) dan anka (2));
b. Berdasar UU No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek Pasal 40 ayat (1) Hak
atas Merek terdaftar dapat beralih atau dialihkan karena: a. pewarisan; b.
wasiat; c. hibah; d. perjanjian; atau e. sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh
peraturan perundang-undangan, dalam frasa sebab-sebab lain yang
dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan bahwa dengan adanya
putusan Nomor: 10/PDT.SUS/PAILIT/2013/PN.NIAGA.JKT.PST menjadi
landasan hukum yang kuat untuk menjadikan Merek Primagama sebagai
boedel pailit;
c. Bahwa Merek Primagama (sebagai Merek Jasa) memiliki nilai (value) atau
nilai ekonomi (economic value) dan merupakan harta atau aset bagi
pemiliknya, dalam hal ini pemilik sebagai debitor pailit.

76

2. Dasar

hukum

atas

Putusan

Nomor:

10/PDT.SUS/PAILIT/2013/

PN.NIAGA.JKT.PST untuk menjadikan Merek Jasa Primagama sebagai boedel


pailit, adalah:
a. Berdasar UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan PKPU Pasal 1:
Ayat (1) Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit
yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah
pengawasan hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
ini;
b. Berdasar Pasal 1131 KUH Perdata telah menentukan bahwa semua
kebendaan milik debitor baik yang sudah ada maupun yang akan ada, baik
yang bergerak maupun yang tidak bergerak demi hukum menjadi jaminan
atas utang-utang debitor, statement tersebut mengandung persangkaan
bahwa tidak ada kredit (piutang) yang tidak ada jaminannya.
3. Pertimbangan asas keberlangsungan usaha (on going concern) terhadap Merek
Primagama

sebagai

akibat

langsung

10/PDT.SUS/PAILIT/2013/PN.NIAGA.JKT.PST,

dari

putusan

memberi

ruang

Nomor:
kepada

debitor pailit yang beritikad baik untuk meneruskan usaha atau perusahaan
yang propspektif tetap berjalan dan pada akhirnya berkemampuan untuk
membayar utang-utang kreditor, selain itu sebagai pertimbangan debitor pailit
untuk mengajukan permohonan PKPU.

77

B. Saran
1. Hakim, Hakim Pengawas, Kurator dan Panitya Kreditor adalah pihakpihak yang terlibat dalam proses kepailitan harus mengutamakan
kepentingan penyelesaian kasus kepailitan dengan mengedepankan
kepentingan para kreditor dan menguntungkan harta debitor pailit.
2. Untuk debitor pailit dan para kreditor: bahwa penyelesaian melalui perkara
kepailitan adalah usaha terakhir yang ditempuh karena akan memberi
beban pada harta debitor (biaya), haruslah mengutamakan penyelesaian
diluar pengadilan (non-litigasi).
3. Usaha atau perusahaan debitor pailit yang menjalankan kegiatan usaha
dan/atau mempunyai pontensi mendapatkan hasil dari salah satu harta
yang menjadi boedel pailit (merek) sebagai harta yang mempunyai nilai
dan bersifat produktif dalam scame PKPU seyogyanya tidak hanya diberi
kesempatan waktu untuk merestrukturisasi utang, tetapi yang lebih penting
adalah restrukturisasi usaha atau perusahaan debitor dengan pemberian
refinance atau menjalankan kembali usahanya.
4. Dalam perkara kepailitan, khususnya setelah perusahaan debitor
dinyatakan pailit seyogyanya terhadap perusahaan debitor yang beretikat
baik dan terdapat potensi serta prospek yang baik, maka peran aktif
Kurator sangat diperlukan dalam rangka meyakinkan para kreditornya
untuk tetap memberikan kelangsungan usaha debitor demi menaikan nilai
ekonomi (economic value) perusahaan yang telah dinyatakan pailit.

78

DAFTAR PUSTAKA

Buku:
Abdurrahman, A, Ensiklopedia Ekonomi, Keuangan dan Perdagangan, Jakarta:
Pradya Paramita, 1991.
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta;
Rineka Cipta, 2002.
Black, Henry Campbell, Blacks Law Dictionary, USA: West Publishing, 1968.
Fuady, Munir, HUKUM PAILIT, dalam Teori dan Pratek, Bandung; PT Citra
Aditya Bakti, 2014.
J. Satrio, Parate Eksekusi Sebagai Sarana Mengatasi Kredit Macet, Citra Aditya
Bakti: Bandung, 1993.
Jerry Hoff, Indonesian Bankruptcy Law, Tatanusa: Jakarta, 1999.
Nur, Aco, HUKUM KEPAILITAN: Perbuatan Melawan Hukum oleh Debitor,
Jakarta; PT Pilar Yuris Ultima, 2015.
Saidin, OK, Haji, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property
Right), Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada, 2015.
Shubhan, M Hadi, Hukum Kepailitan : Prinsip, Norma, dan Praktik di
Peradilan. Jakarta; Kencana Prenadamedia Group, 2008.
Mahadi, Hak Milik Dalam Sistem Hukum Perdata Nasional, Jakarta; BPHN,
1981.
Nasution, Rahmi Jened Parinduri, Interface Hukum Kekayaan Intelektual dan
Hukum Persaingan (Penyalahgunaan HKI), Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2015.
Sadikin,
H. OK, ASPEK
HUKUM KEKAYAAN
INTELEKTUAL
(INTELLECTUAL PROPERTY RIGHTS), Jakarta; PT. Raja Grafindo
Persada, 2015.
Utomo, Tomi Suryo, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Era Global: Sebuah
Kajian Kontemporer, Yogyakarta; Graha Ilmu, 2010.
Vollmar, De Faillessementsweet, Tjenk Willink & Zoon N.V.: Haarlem

79

Internet:
Direktorat Jendral Kekayaan Intelektual, Sekilas Sejarah Perkembangan Sistem
Perlindungan
Kekayaan
Intelektual
(KI)
di
Indonesia,
http://www.dgip.go.id/tentang-kami/sekilas-sejarah, (Diakses tanggal 25
Februari 2016)
Wikipedia, Definisi Jasa, https://id.wikipedia.org/wiki/Jasa, (Diakses tanggal 1
Maret 2016)
Pengertian Harta, Utang dan Modal, http://akuntansi-id.com/44-pengertian-hartautang-dan-modal, (Diakses tanggal 1 Maret 2016)

Penelitian:
Iriantoro, Catur, Penerapan Asas Kelangsungan Usaha Dalam Penyelesaian
Perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
(PKPU), Laporan Hasil Penelitian, Puslitbang Hukum dan Peradilan
Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI: Jakarta, 2014
Ismail Rumadan, Interpretasi Tentang Makna Utang Jatuh Tempo Dalam Perkara
Kepailitan, (Kajian Terhadap Putusan mahkamah Agung 2009-2013),
Laporan Hasil Penelitian, Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang
Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI: Jakarta, 2013, hlm. 30, lihat Sutan
Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan Memahami Undang-Undang Nomor:
37 Tahun 2004 tentang Kepailitan, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2014
Makalah:
Binsar Nasution, et. Al., Diktat Hukum Kepailitan, Medan, Program Magister
Kenotariatan, Sekolah Pasca Sarjana USU, 003, hal. 142.
Sutan Remy Syahdeini, Tanggapan Terhadap Perpu Kepailitan Nomor 1 tahun
1998, makalah Jakarta, tgl. 13 Juli 198, hal. 27.

You might also like