You are on page 1of 141

BADAN PERENCANAAN DAERAH

KOTA DEPOK
Tahun 2007

Kajian Perencanaan Partisipatif

Perbagai peluang pengembangan kota-kota di Indonesia, termasuk di


Kota Depok, menghendaki inovasi dan pendekatan-pendekatan baru
untuk menghasilkan gagasan-gagasan kreatif. Bagaimana pun berbagai
perubahan dimulai dari gagasan / ide. Karena itu, gagasan tentang
partisipasi warga

untuk menciptakan kondisi kota yang lebih baik,

seperti yang diprakarsai oleh Imagine Chicago, atau gagasan Charles


Landry (2002) tentang Kota Kreatif (The Creative City), mungkin harus
mulai

didiskusikan secara meluas

dan pengembangan gagasannya

dikelola secara lebih serius.


Konsep inti dibalik gagasan-gagasan itu adalah bahwa masa depan suatu
kota merupakan masa depan bersama seluruh warga kota. Kenyamanan,
kebanggaan, produktivitas, dan daya saing suatu kota merupakan produk
bersama warga kotanya. Karena itu perlu ditumbuhkan milieu kreatif
yang memungkinkan setiap individu warga kota, termasuk organisasiorganisasi yang ada, untuk

dapat memberikan gagasan kreatif dan

kontribusi terbaiknya bagi penciptaan kota yang diinginkan bersama.


Dari perspektif itu, maka perencanaan partisipatif harus dilihat tidak
semata-mata sebagai pelaksanaan suatu prosedur perencanaan yang
melibatkan masyarakat semata, seperti yang dilakukan selama ini, tapi
harus dimulai dengan proses imajinatif yang melibatkan sebanyak
mungkin warga kota untuk merumuskan bersama tentang kota seperti
apa yang diinginkan bersama di masa depan. Semakin detil kondisi yang
diinginkan, dan semakin banyak warga kota yang memahami tentang
kondisi detil kota yang diinginkan itu, maka akan semakin memudahkan
bagi semua pihak untuk merealisasikannya.
Depok, Desember 2007
BAPEDA KOTA DEPOK

Kajian Perencanaan Partisipatif

BAPEDA KOTA DEPOK

ii

Kajian Perencanaan Partisipatif

Hal
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL
BAB I

BAB II

BAB III

BAB IV

i
ii
iv
v

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang..
1.2. Tujuan..
1.3. Metodelogi kajian
1.4. Sistematika Penulisan Kajian

1
7
7
8

TINJUAN PUSTAKA
2.1. Konsep Pembangunan
2.2. Konsep Perencanaan
2.3. Partisipasi Masyarakat
2.4. Perencanaan Partisipatif
2.5. Modal Sosial.
2.6. Konsep Biaya Transaksi
2.7. Forum Warga.
2.8. Pendekatan Apreciative Inquiri

10
16
22
51
55
57
60
65

KEBIJAKAN DAERAH
3.1. Visi Pembangunan Daerah
3.2. Misi Pembangunan Daerah
3.3. Kebijakan Umum

72
75
75

LANDASAN KONSTITUSIONAL, YURIDIS DAN


KEBIJAKAN PERENCANAAN PARTISIPATIF
4.1. UUD 1945
4.2. UU NO. 25/2004
4.3. SE Bersama Bappenas dan Mendagri
4.4. Srt Mendagri No. 414.2/2435/SJ (2005)
4.5. Kep. Walikota Depok No. 02/2004

82
85
90
92
94

BAPEDA KOTA DEPOK

ii

Kajian Perencanaan Partisipatif

BAB V

BAB VI

BAB VII

KAJIAN EVALUATIF PERENCANAAN


PARTISIPATIF
Tolok ukur peraturan perundangan dan
5.1.
97
juknis (petunjuk teknis) ..
5.2. Tolok ukur berdasarkan tipologi partisipasi
98
5.3. Tolok ukur pengembangan modal sosial 98
5.4. Tinjauan evaluatif 99
5.5. Pembahasan 107
SKENARIO PENGUATAN PERENCANAAN
PARTISIPATIF
6.1. Tanpa perubahan berarti (status quo)
6.2. Memenuhi aturan/pedoman yg ada
6.3. Memenuhi aturan + kemitraan..
6.3. Kemitraan + pendekatan apresiatif

116
118
120
122

REKOMENDASI SKENARIO
Musrenbang RW dan Kelompok-kelompok
7.1.
124
Masyarakat
7.2. Musrenbang Kelurahan 125
7.3. Musrenbang Kecamatan 126
7.4. Forum SKPD 126
7.5. Musrenbang Kota 127

BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN


8.1. Kesimpulan 128
8.2. Saran 131
DAFTAR PUSTAKA

BAPEDA KOTA DEPOK

iii

Kajian Perencanaan Partisipatif

Hal
Gambar 1.
Tangga Partisipasi menurut Arnstein

Gambar 2.
Alur Kajian Perencanaan Partisipatif di Kota Depok

Gambar 3.
Roda Partisipasi oleh Davidson

44

BAPEDA KOTA DEPOK

iv

Kajian Perencanaan Partisipatif

Hal
Tabel 1.
Tiga model pendekatan pemberdayaan masyarakat.

16

Tabel 2.
Istilah-istilah didalam proses perencanaan berdasarkan
proses perencanaan yang dikandungnya

17

Tabel 3.
Tangga pemberdayaan warga, Burns

34

Tabel 4.
Tipologi partisipasi, Pretty

40

Tabel 5.
Tingkatan partisipasi, Mayer.

41

Tabel 6.
Tahapan partisipasi, Wates.. 42
Tabel 7.
Tipologi partisipasi, Parkers dan Panelli. 43
Tabel 8.
Tipologi roda partisipasi, Davidson

45

Tabel 9.
Tangga partisipasi masyarakat, Bonger & Specht. 46
Tabel 10.
Perbedaan pendekatan problem solving dan KPA...

69

Tabel 11.
Hak-hak warga Negara berdasarkan UUD 1945. 82

BAPEDA KOTA DEPOK

Kajian Perencanaan Partisipatif

Tabel 12.
Kewajiban warga Negara berdasarkan UUD 1945. 84
Tabel 13.
Tugas, tanggung jawab dan kewajiban Negara/pemerintah

85

Tabel 14.
Tinjauan evaluatif proses perencanaan di kota Depok.

99

BAPEDA KOTA DEPOK

vi

Kajian Perencanaan Partisipatif

1.1. Latar Belakang


Dewasa ini telah berkembang pendapat pakar dan praktisi tentang
Perencanaan Participatif

sebagai teknik dan metode yang tepat

sasaran untuk menganalisis persoalan pembangunan sosial masyarakat


di lingkungannya. Perencanaan Partisipatif telah diakui keunggulannya
melalui pendekatan partisipatif, transparan dan aspiratif. Kelebihan lain
adalah karena orang luar yang biasanya lebih aktif bekerja sendiri
dengan bekal pengetahuan dan keahliannya, maka dalam Perencanaan
Partisipatif posisi orang luar hanya sebatas Fasilitator atau Pemandu.
Tidak berlebihan kalau pada akhirnya hasil Perencanaan Partisipatif
merupakan data dasar atau rujukan untuk melakukan berbagai program
pembangunan

dan

pemberdayaan

di

lingkungan

masyarakat

bersangkutan (dimana Perencanaan Partisipatif itu diterapkan).


Perencanaan Partisipatif menjadi pantas untuk dikembangkan sebagai
upaya untuk mendukung pergeseran paradigma pembangunan ke arah
desentralisasi, penganekaragaman lokal, dan pemberdayaan masyarakat.
Memang benar bahwa Perencanaan Partisipatif lebih khusus untuk
mengkaji persoalan di daerah, akan tetapi melihat ciri dan cara kerjanya,
Perencanaan Partisipatif dapat pula dilakukan untuk kepentingan umum
yang berkaitan dengan persoalan pembangunan masyarakat.

BAPEDA KOTA DEPOK

Kajian Perencanaan Partisipatif

Meski banyak pihak sepakat bahwa pembangunan partisipatif atau


pelibatan masyarakat dalam proses pembangunan merupakan sebuah
keharusan, namun istilah partisipasi itu sendiri masih dimaknai secara
berbeda oleh orang yang berbeda. Apalagi jika istilah itu digunakan
dalam konteks / setting yang berbeda.
Berbagai stakeholders di Kota Depok, misalnya, dapat berbeda-beda
jawabannya jika ditanyakan apakah proses pembangunan di Kota Depok,
termasuk proses perencanaannya, sudah dapat dikategorikan partisipatif
atau

belum.

Jawaban

dari

mereka

yang

secara

rutin

mengikuti

Musrenbang di tingkat kelurahan atau mereka yang aktif di LPM


kelurahan, misalnya,

dapat berbeda dengan jawaban dari pihak

birokrasi; juga dapat berbeda dengan jawaban dari kalangan LSM,


kalangan dunia usaha, atau dari kalangan akademisi.
Ketiadaan kerangka definisi yang sama tentang konsep pembangunan
yang partisipatif ini membuat berbagai pihak yang mendiskusikannya
dapat terjebak pada debat yang tak berujung dan kerap kali berakhir
dengan

kekecewaan,

putus

asa,

frustasi,

dan

malahan

mungkin

melahirkan sikap apatis. Ini disebabkan karena masing-masing pihak


mungkin menggunakan tolok ukur, konsep, asumsi, dan paradigma yang
berbeda.
Seperti halnya dengan debat tentang penerapan demokrasi di Indonesia,
sebagian pihak menganggap bahwa Indonesia sudah demokratis, karena
telah terdapat berbagai prosedur yang menggambarkan sebuah negara
demokrasi seperti diadakannya pemilu secara rutin, pembatasan masa
jabatan kepala pemerintahan / kepala daerah, serta terdapat lembagalembaga yang menggambarkan sebuah negara yang demokratis. Namun
sebagian pihak berpendapat bahwa beberapa substansi demokrasi seperti
penghargaan yang tulus terhadap keragaman (pandangan, ideologi,

BAPEDA KOTA DEPOK

Kajian Perencanaan Partisipatif

agama) dan penyelesaian perbedaan pendapat / konflik secara beradab,


dalam banyak kasus belum sepenuhnya dimiliki oleh bangsa Indonesia.
Analog dengan hal itu, maka bagi sebagian pihak, partisipasi masyarakat
di Kota Depok barulah terbatas pada partisipasi yang prosedural, tapi
belum

tercipta

masyarakat

di

partisipasi
kelurahan

yang

substansial.

memang

sudah

Secara

diundang

prosedural
untuk

ikut

Musrenbang. Tapi apakah semua warga telah diberikan kesempatan yang


sama untuk mengikuti / memberikan masukan pada forum Musrenbang
kelurahan tersebut? Lalu, berapa persen usulan yang disepakati di
Musrenbang diakomodir dalam APBD? Kemudian secara prosedural
kelompok-kelompok masyarakat sudah diundang dalam forum SKPD, tapi
apakah

terdapat

simetrisitas

informasi

sebagai

basis

pengambilan

keputusan tentang sebuah rencana?


Dari perspektif ini, maka kajian evaluatif terhadap proses perencanaan
partisipatif di Kota Depok dan skenario penguatannya

ke depan hanya

dapat dilakukan secara utuh jika terdapat pemahaman bersama,


terutama kesepakatan bersama, di antara para stakeholders

dan

tentang

konsep pembangunan partisipatif yang akan diterapkan di Kota Depok.


Tanpa kesepakatan itu, masing-masing pihak akan melihat perencanaan
partisipatif yang dilaksanakan di Kota Depok dengan aksentuasi sudut
pandang yang berbeda-beda.
Salah satu hal yang perlu disadari sejak awal adalah bahwa partisipasi
masyarakat dalam proses pembangunan

itu sendiri memiliki derajat

yang berbeda-beda pada setiap komunitas dan pada setiap konteks


kegiatan tertentu. Derajat partisipasi masyarakat pada proyek-proyek
yang didanai oleh lembaga dana di luar Pemerintahan Kota Depok,
misalnya, dapat berbeda dengan derajat partisipasi masyarakat pada
proyek-proyek yang didanai oleh APBD Kota Depok. Pada Proyek
Penanggulangan

Kemiskinan

BAPEDA KOTA DEPOK

Perkotaan

(P2KP),

atau

Proyek

Kajian Perencanaan Partisipatif

Pemberdayaan

Masyarakat

Squatter

(PPMS),

misalnya,

derajat

partisipasinya dapat berbeda dengan derajat partisipasi pada proyek


pengentasan kemiskinan yang didanai oleh APBD Kota Depok dan
dilaksanakan oleh SKPD.
Yang menjadi pertanyaan adalah tolok ukur apa yang membedakan
derajat partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan? Dalam
berbagai

kepustakaan

(referensi),

derajat

tingkatan

partisipasi

masyarakat itu tergantung pada seberapa besar masyarakat / warga


memiliki power (kekuasaan, kekuatan, daya, kemampuan, wewenang)
dalam proses pengambilan keputusan tentang apa yang direncanakan,
bagaimana

rencana

itu

dilaksanakan,

dan

bagaimana

memelihara

hasilnya. Menurut Asrnstein (1969): citizen participation is citizen


power.
Berdasarkan tolok ukur ini,
maka

empowerment

(pemberdayaan) masyarakat
dapat

diartikan

proses

sebagai

menambah

kekuasaan pada masyarakat


untuk
yang

memutuskan
terbaik

bagi

apa
dirinya

secara kolektif. Bahkan ada


yang

berpendapat

jika

ingin

empowerment
maka

bahwa

membangun
masyarakat,

perlu

dilakukan

disempowerment

kepada

pihak-pihak yang selama ini


mengalami

kelebihan

(surplus)

BAPEDA KOTA DEPOK

Gambar 1.
Tangga partisipasi menurut Arnstein (1969)

power.

Kajian Perencanaan Partisipatif

Berdasarkan

tolok

ukur

ini

terdapat

beberapa

tipologi

partisipasi

masyarakat seperti yang dikemukakan oleh Arnstein (1969), Burns


(1994), Donaldson (1998), Pretty (1995), dan Mayer (1997).
Asumsi awal yang ingin ditegaskan dalam kajian ini adalah pelaksanaan
partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan di Kota
Depok merupakan bentuk operasional dari pilihan tahapan / jenjang /
tangga partisipasi masyarakat yang dipilih
ada.

Jika

mengacu

participation)

yang

pada

tangga

dikemukakan

berdasarkan tipologi yang

partisipasi

oleh

Arsntein

(ladder
(1969),

of

citizen

misalnya,

partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan di Kota Depok, seperti


melalui mekanisme Musrenbang, mungkin baru pada tahapan konsultasi.
Pada tahap ini masyarakat

memang

mengemukakan pandangan, apsirasi

diberikan kesempatan untuk

dan usulannya. Tapi masyarakat

tidak berada dalam posisi menentukan dalam proses pengambilan


keputusan akhir tentang sebuah rencana.
Jika naik ke tangga partisipasi yang lebih tinggi, yaitu tahapan
kemitraan (partnership), pemerintah dan masyarakat terlibat secara
sejajar dalam proses pengambilan keputusan. Sedangkan pada tangga
partisipasi

tertinggi,

yaitu

tahapan

kontrol

pengendalian

oleh

masyarakat (citizen control), pengambilan keputusan sepenuhnya berada


di tangan masyarakat.
Pertanyaannya adalah apakah mungkin partisipasi masyarakat dalam
proses pelaksanaan pembangunan di Kota Depok naik ke tangga
kemitraan (partnership) atau bahkan ke pengendalian oleh masyarakat
berdasarkan tipologi Arnstein itu?
Kajian ini juga akan mencoba mengaitkan antara proses perencanaan
partisipatif dengan pembentukan modal sosial. Meski baru bersifat
rintisan, yang diusulkan melalui kajian ini adalah bagaimana proses

BAPEDA KOTA DEPOK

Kajian Perencanaan Partisipatif

pembangunan di Kota Depok senantiasa mempertimbangkan aspek


peningkatan modal sosial.
Kajian yang dilakukan oleh Francis Fukuyama

dalam bukunya Trust

sampai pada kesimpulan betapa modal sosial ini akan ikut menentukan
kemajuan ekonomi suatu bangsa. Ia membagi masyarakat di dunia ini
dengan masyarakat dengan tingkat kepercayaan yang rendah (low trust
society) dan masyarakat dengan

tingkat kepercayaan yang tinggi (high

trust society). Dengan mengemukakan beberapa studi kasus, Fukuyama


sampai pada kesimpulan bahwa kinerja ekonomi yang tinggi terdapat
pada

masyarakat

dengan

tingkat

kepercayaan

yang

tinggi

pula.

Pertanyaannya adalah proses perencanaan partisipatif yang dilaksanakan


di Depok telah memberikan andil untuk penciptakan kategori dengan
tingkat

kepercayaan

kepercayaan

sesama

yang

mana?

stakeholders

Apakah
di

Kota

menambah
Depok

rekening

atau

malah

membuatnya semakin defisit sejalan dengan berjalannya waktu?


Berdasarkan paparan tersebut di atas, maka kajian ini akan mencoba
menjawab beberapa pertanyaan berikut:
a. Berdasarkan tipologi yang ada, partisipasi masyarakat yang ada di
Kota Depok dalam proses perencanaan berada pada level apa?
b. Apakah

mungkin

derajat

partisipasi

masyarakat

dalam

proses

perencanaan ditingkatkan (naik ke tangga yang lebih tinggi)?


c. Kendala-kendala institusional, yuridis, politis apa saja yang mungkin
dihadapi untuk meningkatkan derajat partisipasi masyarakat dalam
proses perencanaan di Kota Depok.
d. Bagaimana skenario proses perencanaan di Kota Depok dengan
derajat partisipasi masyarakat pada level yang optimal?
e. Prasyarat apa yang dibutuhkan agar skenario itu bisa terlaksana?
f. Bagaimana

keterkaitan

antara

pengembangan modal sosial?

BAPEDA KOTA DEPOK

perencanaan

partisipatif

dan

Kajian Perencanaan Partisipatif

1.2. Tujuan
Tujuan pelaksanaan kajian ini adalah:
1. Melakukan

tinjauan

evaluatif

pelaksanaan

proses

perencanaan

partisipasi ditinjau dari : (a) sisi peraturan perundang-undangan dan


kebijakan yang berkaitan dengan perencanaan partisipatif, (b) dari
sisi derajat partisipasi warga berdasarkan tipologi yang ada, serta (c)
dari sisi kontribusi proses perencanaan dalam pengembangan modal
sosial di Kota Depok.
2. Menyusun skenario penguatan perencanaan partisipatif di Kota Depok.
3. Mengidentifikasi kendala-kendala institusional, yuridis, dan politis
dalam upaya peningkatan derajat partisipasi dalam perencanaan di
Kota Depok.

1.3. Metodologi Kajian


Kajian

ini

menggunakan

pertanyaan-pertanyaan
dokumen-dokumen

pendekatan

rumusan

yang

ada,

kualitatif

masalah
termasuk

kalangan yang terekam di media masa,

yang

yaitu
ada

pandangan

menjawab

dengan
dari

studi

berbagai

studi kepustakaan,

serta

wawancara mendalam dengan beberapa informan. Kajian ini akan


mengikuti alur sebagai berikut :

BAPEDA KOTA DEPOK

Kajian Perencanaan Partisipatif

Deskripsi Pelaksanaan
Perencanaan
Partisipatif di Kota
Depok

Tinjauan Peraturan
Perundangan tentang
Perencanaan
Partisipatif

Tolok Ukur
Peraturan
Perundangan

Kajian Evaluatif
Perencanaan
Partisipatif di Kota
Depok

Tipologi
Partisipasi
Modal Sosial

Kajian Skenario
Penguatan Perencanaan
Partisipatif di Kota
Depok

Gambar 2. Alur Kajian Perencanaan Partisipatif di Kota Depok

1.4. Sistematika Penulisan Kajian


Kajian ini disusun dengan sistematika sebagai berikut :
BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
1.2. Tujuan
1.3. Tujuan
1.4. Metodelogi kajian
1.5. Sistematika Penulisan Kajian

BAB II

TINJUAN PUSTAKA
2.1. Konsep Pembangunan
2.2. Konsep Perencanaan
2.3. Partisipasi Masyarakat
2.4. Perencanaan Partisipatif
2.5. Modal Sosial
2.6. Konsep Biaya Transaksi
2.7. Forum Warga

BAPEDA KOTA DEPOK

Kajian Perencanaan Partisipatif

2.8.
BAB III

BAB IV

BAB V

BAB VI

BAB VII

Pendekatan Apreciative Inquiri

KEBIJAKAN DAERAH
3.1. Visi Pembangunan Daerah
3.2. Misi Pembangunan Daerah
3.3. Kebijakan Umum
LANDASAN KONSTITUSIONAL, YURIDIS
DAN KEBIJAKAN PERENCANAAN
PARTISIPATIF
4.1. UUD 1945
4.2. UU NO. 25/2004
4.3. SE Bersama Bappenas dan Mendagri
4.4. Srt Mendagri No. 414.2/2435/SJ (2005)
4.5. Kep. Walikota Depok No. 02/2004
KAJIAN EVALUATIF PERENCANAAN
PARTISIPATIF
5.1. Tolok ukur peraturan dan juknis
Tolok ukur berdasarkan tipologi
5.2.
partisipasi
5.3. Tolok ukur pengembangan modal sosial
5.4. Tinjauan evaluatif
5.5. Pembahasan
SKENARIO PENGUATAN PERENCANAAN
PARTISIPATIF
6.1. Tanpa perubahan berarti (status quo)
6.2. Memenuhi aturan/pedoman yg ada
6.3. Memenuhi aturan + kemitraan
6.3. Kemitraan + pendekatan apresiatif
SKENARIO PENGUATAN PERENCANAAN
PARTISIPATIF
Musrenbang RW dan Kelompok-kelompok
7.1.
Masyarakat
7.2. Musrenbang Kelurahan
7.3. Musrenbang Kecamatan
7.4. Forum SKPD
7.5. Musrenbang Kota

DAFTAR PUSTAKA

BAPEDA KOTA DEPOK

Kajian Perencanaan Partisipatif

2.1. Konsep Pembangunan


2.1.1. Pengertian Pembangunan
Kegiatan perencanaan bukanlah suatu kegiatan yang berdiri sendiri.
Aktifitas

ini

ada

dalam

konteks

siklus

proses

pembangunan

(perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, monitoring dan evaluasi).


Pada berbagai level status sosial masyarakat, istilah pembangunan ini
dapat memiliki makna yang berbeda-beda. Jika mempelajari usulanusulan pembangunan yang muncul dari forum Musrenbang di kelurahan,
misalnya,

pembangunan lebih banyak identik dengan pembangunan

fisik: jalan, jembatan, saluran, tanggul, fisik sekolah, fisik puskesmas,


dan sejenisnya. Sedangkan bagi para penggiat HAM (hak asasi manusia),
pembangunan dimaknai sebagai proses pemenuhan hak-hak warga
negara.
Ungkapan menggugat yang sering muncul berkaitan dengan istilah ini
adalah: Pembangunan itu untuk siapa?. Gugatan ini secara tidak
langsung

menggambarkan

bahwa

sebagian

warga

masyarakat

mempersepsikan terdapat pihak-pihak yang sangat diuntungkan dengan


proses pembangunan dan ada pihak-pihak yang seolah-olah tidak
mendapat apa-apa, malah mungkin dirugikan (berkorban). Bahkan,
telah terbentuk perspesi bahwa untuk mendapat manfaat dari kegiatan
pembangunan yang bersumber dari anggaran negara harus melalui KKN
(dekat dengan kekuasaan). Kesan yang juga muncul di masyarakat

BAPEDA KOTA DEPOK

10

Kajian Perencanaan Partisipatif

adalah kelompok yang paling diuntungkan dari proses pembangunan di


era reformasi ini adalah kalangan eksekutif dan legislatif. Meskipun tentu
saja kesan dan persepsi seperti ini belum tentu selalu benar.
Dari sudut pandang ini, maka proses perencanaan yang melibatkan
masyarakat, yang dilakukan secara iteratif (berulang), adalah untuk
menjamin bahwa akan terdapat distribusi keuntungan yang adil dari
proses

pembangunan.

Yang

dituju

adalah

munculnya

persepsi

di

masyarakat bahwa semua pihak memperoleh benefit (keuntungan) yang


adil dari setiap proses pembangunan. Persoalannya adalah bagaimana
dengan

kelompok-kelompok

masyarakat

yang

selama

ini

tidak

diuntungkan / terpinggirkan dalam proses pembangunan. Mereka adalah


kelompok-kelompok

yang

tidak

memiliki

akses

dalam

proses

pengambilan keputusan. Bagaimana agar suara mereka didengar dalam


proses perencanaan tersebut?
2.1.2. Pembangunan sebagai Pemenuhan Hak-Hak Warga Negara
Dalam dokumen Deklarasi tentang Hak atas Pembangunan yang
disetujui dengan resolusi Majelis Umum 41/28 tanggal 4 Desember 1986
ditegaskan

bahwa:

pembangunan

adalah

proses

ekonomi,

sosial,

budaya dan politik yang komprehensif yang ditujukan pada perbaikan


yang tetap mengenai kesejahteraan seluruh penduduk dan semua
individu atas dasar partisipasi mereka yang aktif, bebas, dan berarti
dalam pembangunan dan dalam distribusi keuntungan yang adil yang
timbul darinya.
Menurut deklarasi itu, hak atas pembangunan merupakan salah satu hak
asasi manusia. Pribadi manusia adalah pelaku utama pembangunan dan
harus merupakan peserta aktif dan pewaris hak atas pembangunan.
(Pasal 1 ayat 2)

BAPEDA KOTA DEPOK

11

Kajian Perencanaan Partisipatif

Secara filosofis suatu proses pembangunan dapat diartikan sebagai


upaya yang sistematik dan berkesinambungan untuk menciptakan
keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi
pencapaian aspirasi setiap warga negara yang paling humanistik.
Dengan

rumusan

seperti

ini

maka

pembangunan

pada

dasarnya

merupakan upaya untuk memanusiakan manusia (Rustiadi et al, 2006).


Lebih lanjut dijelaskan, pengertian pemilihan alternatif yang sah dalam
definisi pembangunan di atas diartikan bahwa upaya pencapaian aspirasi
tersebut dilaksanakan sesuai dengan hukum yang berlaku atau dalam
suatu tatanan kelembagaan atau tatanan budaya yang dapat diterima.
UNDP mendefisinikan pembangunan, khususnya pembangunan manusia,
sebagai suatu proses untuk memperluas pilihan-pilihan bagi penduduk
(a process of enlarging peoples choices). Dalam konsep tersebut,
penduduk (manusia) dilihat sebagai tujuan akhir (the ultimate end),
bukan alat, cara, atau instrumen pembangunan sebagaimana yang dilihat
oleh model formasi modal manusia (human capital).
Pembangunan juga dapat dikonseptualisasikan

sebagai suatu proses

perbaikan yang berkesinambungan atas suatu masyarakat atau suatu


sistem sosial secara keseluruhan menuju kehidupan yang lebih baik atau
lebih manusiawi. Menurut Tadaro (2000), pembangunan harus memenuhi
tiga komponen dasar yang dijadikan sebagai basis konseptual dan
pedoman praktis dalam memahami pembangunan yang
yaitu

kecukupan

(substenance)

memenuhi

paling hakiki

kebutuhan

pokok,

meningkatkan rasa harga diri atau jatidiri (self esteem), serta kebebasan
(freedom) untuk memilih.
Tadaro berpendapat bahwa pembangunan harus dipandang sebagai
proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar
atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, institusi-institusi, disamping

BAPEDA KOTA DEPOK

12

Kajian Perencanaan Partisipatif

tetap

mengejar

akselerasi

pertumbuhan

ekonomi,

penanganan

ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan.


2.1.3. Pembangunan Berkelanjutan
Keterbatasan

sumber

daya

alam

baik

akibat

degradasi

maupun

eksploitasi yang berlebihan telah melahirkan apa yang dikenal dengan


pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Inti dari konsep
ini

adalah

bahwa

pemanfaatan

sumber

daya

untuk

pemenuhan

kebutuhan generasi saat ini tidak boleh mengorbankan hak pemenuhan


kebutuhan generasi yang akan datang.
Konsep pembangunan berkelanjutan menjadi konsep yang populer
terutama sejak dipublikannya laporan Our Common Future sebagai
laporan World Commission on Environmental and Development yang
dipimpin oleh G.H. Bruntland di tahun 1988, dimana mantan Menteri
Kependudukan dan Lingkungan Hidup, Emil Salim, menjadi salah satu
anggotanya. Pada tahun 1992, pada KTT Bumi di Rio de Jenairo,
pentingnya pendekatan pembangunan secara berkelanjutan semakin
dipertegas.
Serageldin (1996), diacu dalam Rustiadi et al (2006) mengajukan tiga
dimensi keberlanjutan yang dikenal sebagai triangular framework yaitu
keberlanjutan secara ekonomi, sosial, dan ekologi. Ungkapan yang
populer tentang makna pembangunan berkelanjutan adalah secara
ekonomi menguntungkan, secara sosial pembangunan itu dapat diterima
dan adil (termasuk adil terhadap generasi mendatang), dan secara
ekologi tidak merusak alam (sehingga dapat digunakan oleh generasi
mendatang). Selanjutnya Spangenber (1999) menambahkan dimensi
kelembagaan (institution) sebagai dimensi keempat, sehingga keempat
dimensi tersebut membentuk sebuah prisma keberlanjutan (prism of
sustainability).

BAPEDA KOTA DEPOK

13

Kajian Perencanaan Partisipatif

2.1.4. Kegagalan Pemerintah dalam Pembangunan


Terdapat beberapa teori tentang tipologi kegagalan pemerintah dalam
proses

pembangunan

yang

pernah

dikemukakan

(ODowd,

1978;

Weisbrod, 1978, Dollery dan Wallis, 1997), namun penyebab kegagalan


tersebut dibagi dalam tiga faktor utama (Rustiadi et.al., 2006), antara
lain :
Pertama, disebabkan oleh inefisiensi dari sistem / struktur politik yang
asimetrik. Hal ini disebut juga constitutional failure atau legislative
failure, dimana para

politisi lebih mementingkan kelompok, terutama

untuk pemenangan pemilu yang akan datang, sehingga tidak memikirkan


kepentingan dan perbaikan kondisi-kondisi kemasyarakatan.
Kedua,

disebabkan

karena

terhenti

atau

tersendatnya

kegiatan

pelayanan masyarakat yang berakibat inefisiensi, sering disebut sebagai


bureauratic failure.
Ketiga, intervensi pemerintah dalam sektor rent seeking selalu disertai
dengan kepentingan pribadi dan kelompok, dalam hal ini pemerintah
lebih bertindak sebagai rent seeker.
2.1.5. Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat
Pusat Kajian Bina Swadaya (2007), memaparkan bagaimana sebuah
proses

pembangunan dilakukan terutama dikaitkan

degan praktek

pemberdayaan masyarakat (community development) dan membaginya


dalam

tiga

kategori,

yaitu:

(1)

development

for

community

(pembangunan untuk masyarakat), (2) development with community


(pembangunan

bersama

masyarakat),

dan

(3)

development

of

community (pembangunan masyarakat).


1. Pembangunan

untuk

masyarakat

(development

for

community)

adalah bentuk pemberdayaan masyarakat dimana masyarakat pada


dasarnya menjadi objek pembangunan karena berbagai inisiatif,
perencanaan, dan pelaksanaan kegiatan pembangunan dilakukan oleh

BAPEDA KOTA DEPOK

14

Kajian Perencanaan Partisipatif

aktor dari luar. Aktor luar ini dapat saja telah melakukan penelitian,
melakukan konsultasi, dan melibatkan tokoh setempat. Namun
apabila keputusan dan sumber daya pembangunan berasal dari luar
maka pada dasarnya masyarakat tetap menjadi objek. Hal ini dapat
terjadi

bila masyarakat merupakan komunitas yang kesadaran dan

budayanya terdominasi.
2. Pembangunan bersama masyarakat (development with community)
secara khusus ditandai dengan kuatnya pola kolaborasi antara aktor
luar dan masyarakat setempat. Keputusan yang diambil merupakan
keputusan bersama dan sumber daya yang dipakai berasal dari kedua
belah pihak. Model ini paling populer dan banyak diaplikasikan oleh
berbagai

pihak.

Dasar

pemikiran

pola

ini

adalah

dapat

berkembangnya sinergi dari potensi yang dimiliki oleh masyarakat


lokal dengan yang dikuasai oleh aktor luar. Keterlibatan masyarakat
dalam upaya pembangunan juga diharapkan dapat mengembangkan
rasa memiliki terhadap inisiatif pembangunan yang ada sekaligus
membuat proyek pembangunan menjadi lebih efisien.
3. Pembangunan
proses

masyarakat

pembangunan

pelaksanaannya

(development
yang

dilaksanakan

of

inisiatif,
sendiri

oleh

community)
perencanaan,
masyarakat.

adalah
dan
Dapat

dikatakan masyarakat menjadi pemilik dari proses pembangunan.


Peran aktor luar dalam kondisi ini lebih sebagai sistem pendukung
bagi proses pembangunan. Ini merupakan model yang diidealkan oleh
berbagai pihak, namun dalam kenyatannya belum banyak komunitas
yang mampu membangun dirinya sendiri. Untuk mengarah ke model
ini diperlukan berbagai program peningkatan kapasitas (capacity
building) untuk masyarakat lokal.

BAPEDA KOTA DEPOK

15

Kajian Perencanaan Partisipatif

Tabel 1. Tiga Model Pendekatan Pemberdayaan Masyarakat

Aktor Utama

Development for
Community
(Pembangunan untuk
masyarakat)
Aktor dari luar

Bentuk
Hubungan

Sosialisasi dan
Konsultasi

Pengambil
keputusan

Aktor dari luar

Pelaksana

Aktor dari luar

Bentuk kegiatan

Proyek

Development with
Community
(Pembangunan
bersama masyarakat)
Aktor dari luar
bersama masyarakat
lokal
Kolaborasi
Aktor dari luar
bersama masyarakat
lokal
Aktor dari luar
bersama masyarakat
lokal
Proyek dan Program

Development of
Community
(Pembangunan
masyarakat)
Masyarakat lokal
Pemberdayan dan
pengerahan
potensi sendiri
Masyarakat lokal
Masyarakat lokal
Pengembangan
sistem dan
penguatan
kelembagaan

Sumber : Pusat Kajian Bina Swadaya (2007).

2.2. Konsep Perencanaan


2.2.1. Pengertian Perencanaan
Perencanaan telah didefinisikan secara berbeda-beda oleh para ahli
sesuai dengan bidangnya masing-masing. Namun dalam pengertian yang
paling sederhana, perencanaan sebenarnya adalah suatu cara rasional
untuk mempersiapkan masa depan. Menurut Kay dan Alder (1999), diacu
dalam

Rustiadi

et.

al

(2006),

perencanaan

adalah

suatu

proses

menentukan apa yang ingin dicapai di masa yang akan datang serta
menetapkan tahapan-tahapan yang dibutuhkan untuk mencapainya.
Dengan

demikian,

proses

perencanaan

dilakukan

dengan

menguji

berbagai arah pencapaian serta mengkaji berbagai ketidakpastian yang


ada,

mengukur

kemampuan

(kapasitas)

kita

untuk

mencapainya,

kemudian memilih arah-arah terbaik dan memilih langkah-langkah untuk


mencapainya.

BAPEDA KOTA DEPOK

16

Kajian Perencanaan Partisipatif

Sebagian berpendapat bahwa perencanaan adalah suatu aktivitas yang


dibatasi oleh lingkup waktu tertentu, sehingga perencanaan lebih jauh
diartikan sebagai suatu kegiatan terkoordinasi untuk mencapai suatu
tujuan tertentu dalam jangka waktu tertentu.
Dari berbagai pendapat dan definisi yang dikembangkan mengenai
perencanaan, secara umum selalu terdapat dua unsur penting, yakni: (1)
unsur hal yang ingin dicapai, dan (2) unsur cara untuk mencapainya.
Dalam implementasi proses perencanaan, dikenal berbagai nomenklatur
seperti visi, misi, tujuan, sasaran, strategi, kebijakan, program, proyek,
serta aktivitas. Istilah-istilah itu sering saling dipertukarkan dengan tidak
konsisten dan bahkan cenderung dapat membingungkan sehingga dapat
mengganggu proses pembangunan akibat perencanaan yang tidak jelas.
Visi,

tujuan

dan

sasaran

adalah

istilah-istilah

yang

menjelaskan

mengenai unsur perencanaan yang pertama (hal yang ingin dicapai). Misi
dan aktivitas adalah istilah-istilah mengenai unsur-unsur perencanaan
yang kedua (cara mencapainya). Sedangkan strategi, program, dan
proyek

merupakan

suatu

kumpulan

komponen

perencanaan

yang

mencakup kedua unsur perencanaan dalam suatu struktur tertentu.


Tabel 2.
Istilah-istilah di dalam proses perencanaan berdasarkan unsur perencanaan
yang dikandungnya

Istilah
(nomenklatur)
Visi (vision)

Unsur Perencanaan
Hal yang ingin

Cara untuk mencapai

Keterangan

dicapai

Normatif

Misi (mission)

Normatif

Tujuan (goal)

Terukur

Sasaran (objective)

Terukur

Strategi (strategy)

Normatif/terukur

Kebijakan (policy)

Terukur

Program (program)

Terukur

Pryek (project)

Terukur

Terukur

Aktifitas (action)

Sumber: Rustiadi et. al. (2006)


BAPEDA KOTA DEPOK

17

Kajian Perencanaan Partisipatif

1. Visi (vision): suatu kondisi ideal (cita-cita) normatif yang ingin dicapai
di masa datang
2. Misi (mission): cara normatif untuk mencapai visi.
3. Tujuan-tujuan (goals): hal-hal yang ingin dicapai secara umum.
Setiap bentuk tujuan (goals) bersifat dapat dimaksimumkan atau
diminimumkan.
4. Sasaran (objectives): bentuk operasional dari tujuan, biasanya lebih
terukur, disertai target pencapaiannya. Sasaran merupakan kondisi
minimum yang harus dicapai dalam mencapai tujuan dalam waktu
tertentu.
5. Strategi (strategy): sekumpulan sasaran-sasaran dengan metodemetode untuk mencapainya.
6. Kebijakan

(policy):

sekumpulan

aktivitas

(actions),

untuk

pelaksanaan-pelaksanaan pencapaian jangka pendek.


7. Aktivitas (actions): kegiatan pelaksanaan, khususnya menyangkut
fisik dan biaya.
8. Program (program): sekumpulan aktivitas (actions) untuk mencapai
suatu tujuan tertentu yang dilakukan oleh suatu institusi tertentu.
9. Proyek (project): sekumpulan aktivitas (actions) untuk mencapai
suatu tujuan/target/sasaran tertentu yang dilakukan oleh suatu
institusi tertentu dalam waktu tertentu dengan sumberdaya (biaya)
tertentu.
Dalam Undang-Undang No.25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan, beberapa istilah ini juga diberikan definisinya.

Visi adalah rumusan umum mengenai keadaan yang diinginkan pada


akhir periode perencanaan.

Misi adalah rumusan umum mengenai upaya-upaya yang akan


dilaksanakan untuk mewujudkan visi.

Strategi adalah langkah-langkah berisikan program-program indikatif


untuk mewujudkan visi dan misi.

BAPEDA KOTA DEPOK

18

Kajian Perencanaan Partisipatif

Kebijakan

adalah

arah/tindakan

yang

diambil

oleh

Pemerintah

Pusat/Daerah untuk mencapai tujuan.

Program adalah instrumen kebijakan yang berisi satu atau lebih


kegiatan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah/lembaga untuk
mencapai sasaran dan tujuan serta memperoleh alokasi anggaran,
atau

kegiatan

masyarakat

yang

dikoordinasikan

oleh

instansi

pemerintah.
2.2.2. Pendekatan / Basis Perencanaan
Perencanaan

umumnya

dilakukan

berdasarkan

berbagai

kombinasi

pendekatan. Beberapa pendekatan perencanaan yang umum dilakukan


berdasarkan basis (pijakan) utamanya (Kelly dan Becker, 2000, diacu
dalam Rustiadi et.al, 2006) adalah:
(1) Berbasis kecenderungan (trends-driven). Perencanaan dengan basis
pendekatan ini dilaksanakan dengan berdasarkan kecenderungan
umum yang terjadi. Kecenderungan selalu berubah-ubah sehingga
pendekatan ini bukan pendekatan yang ideal untuk kepentingan
publik jangka panjang. Tapi secara teknis pendekatan ini setidaknya
dapat memberikan informasi bagi pendekatan-pendekatan lainnya.
Pendekatan ini sering

dilakukan oleh institusi-institusi yang belum

matang dan mandiri dimana pendekatan yang termudah adalah


dengan meniru atau mengikuti kecenderungan dari institusi-institusi
yang lebih berpengalaman.
(2) Berbasis kesempatan / peluang (opprotunity-driven). Pendekatan ini
sering

dilakukan

terutama

karena

alasan-alasan

pragmatis,

mengingat adanya peluang-peluang yang langka. Adanya peluang


(opprtunity) dianggap harus dimanfaatkan sebesar-besanya.
(3) Berbasis isu (issue-driven). Perencanaan dilakukan berdasarkan isu
atau masalah-masalah yang ada. Beranjak dari permasalahan atau

BAPEDA KOTA DEPOK

19

Kajian Perencanaan Partisipatif

isu disusun langkah-langkah untuk menanggulangi dan menjawab


isu dan tantangan tersebut.
(4) Berdasarkan

tujuan

(goal-driven).

Ini

merupakan

pendekatan

perencanaan yang paling klasik. Namun proses tersulit adalah


menetapkan tujuan itu sendiri seringkali bukanlah proses yang
mudah apalagi jika dilakukan melalui proses lintas stakeholders.
(5) Berbasis visi (vision-driven). Berbeda dengan pendekatan berbasis
tujuan, pendekatan berbasis visi sangat menekankan nilai-nilai
normatif di dalam gerakan atau aktivitasnya dan tidak ada tujuantujuan yang spesifik dan terukur. Perencanaan seperti ini lebih
sesuai

untuk

gerakan-gerakan

sosial,

pendidikan,

spiritual/keagamaan, yang sangat berorientasi sangat panjang dan


tidak memiliki target-target spesifik jangka pendek.
2.2.3. Proses Perencanaan
Berdasarkan prosesnya, perencanaan dapat diklasifikasikan menjadi
perencanaan ikremental, adaptif, rasional, dan partisipatif (Rustiadi et al,
2006).
1. Perencanaan inkremental. Proses perencanaan ini dilakukan akibat
terbatasnya

kapasitas

pengambilan

keputusan,

dan

mereduksi

cakupan (scope) dan biaya pengumpulan informasi dan analisis.


Pendekatan

ini

dilakukan

sedemikian

rupa

agar

tidak

terlalu

menyimpang dari kondisi saat ini (status quo). Komponen utama dari
pendekatan ini adalah: (a) pilihan-pilihan diturunkan dari kebijakan
dan perencanaan yang merupakan peningkatan, penambahan, atau
perbaikan dari kebijakan yang ada (status quo), (b) hanya sejumlah
kecil

pilihan

yang

dipertimbangkan,

(c)

hanya

sejumlah

kecil

konsekuensi yang diinvestigasi, (d) tujuan dan pendekatan yang

BAPEDA KOTA DEPOK

20

Kajian Perencanaan Partisipatif

dipilih didasarkan atas pertimbangan yang mudah dilakukan, (e)


keputusan dibuat dari proses analisis iteratif dan evaluasi.
2. Perencanaan Adaptif. Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh
Holling

(1978),

yaitu

suatu

pendekatan

yang

berfokus

pada

pengambilan keputusan berdasarkan pengalaman. Begitu didapat


informasi baru segera dilakukan review atas pengelolaan yang sedang
berjalan dan pendekatan-pendekatan baru dirumuskan. Pendekatan
ini selalu menghadapi kendala terutama akibat adanya penolakan
(resistensi) dari pihak-pihak yang harus melakukan penyesuaianpenyesuaian terhadap

hal-hal

yang

bagi

mereka masih

penuh

ketidakpastian. Perencanaan adaptif yang terlalu longgar akan banyak


menimbulkan berbagai bentuk inkonsistensi dalam perspektif jangka
panjang.
3. Perencanaan

Rasional.

Rasionalitas

adalah

cara

utama

yang

dikembangkan masyarakat dan para pemikir barat sejak zaman


renaisan. Rasionalitas dapat diartikan sebagai suatu cara memilih
pendekatan

terbaik

dengan

menyeluruh

(komprehensif)

berpikir
untuk

tertib

mencapai

(sistematis)
tujuan

dan

tertentu.

Pendekatan rasional membutuhkan sejumlah pengetahuan, berbagai


alat (tools) berupa analisis ilmiah, untuk dapat membuat keputusankeputusan yang logis dalam menelaah semua alternatif yang ada.
Kesempurnaan dari pendekatan ini adalah terletak pada ketersediaan
informasi yang sempurna. Secara umum tahapan proses dalam
kerangka perencaan rasional adalah: (a) identifikasi masalah, (b)
menetapkan tujuan/sasaran, (c) identifikasi peluang dan hambatan,
(d) pengajuan alternatif-alternatif, (e) menetapkan alternatif pilihan
dan melaksanakannya.
4. Perencanaan

partisipatif

konsensus.

Dalam

perencanaan

rasional dituntut adanya pengetahuan / informasi yang sempurna.


Kondisi ini merupakan suatu kondisi
BAPEDA KOTA DEPOK

21

yang sangat sulit dipenuhi

Kajian Perencanaan Partisipatif

karena kapasitas, pengetahuan, pengalaman, informasi, dan teknologi


yang dimiliki perencana cenderung terbatas dibandingkan dengan
kompleksitas

permasalahan

yang

ada.

Di

sisi

lain,

informasi

sebenarnya tersebar beragam di masing-masing stakeholders dengan


kepentingan

yang

berbeda-beda

pula.

Dengan

demikian,

sifat

komprehensif dari suatu perencanaan pada dasarnya dapat dipenuhi


dengan membangun partisipasi seluruh stakeholders agar diperoleh
informasi yang lengkap dan dipahami bersama untuk kemudian
dibangun keputusan yang terbaik.
5. Perencanaan Rasional Partisipatif. Dengan perencanaan secara
terintegrasi ini, maka pendekatan partisipatif akan menutupi berbagai
kelemahan pendekatan perencanaan rasional terutama kelemahan
akibat terbatasnya informasi. Pendekatan partisipatif juga akan lebih
menjamin

penerimaan

(acceptability)

dari

pihak-pihak

yang

berkepentingan.

2.3. Partisipasi Masyarakat


2.3.1. Pengertian Masyarakat
Sebelum membahas partisipasi masyarakat, perlu dipahami terlebih
dahulu

berbagai

konsep

tentang

masyarakat

atau

komunitas

(community). Dari berbagai referensi di Indonesia kedua istilah ini kerap


kali dipertukarkan atau diangap sama. Ada yang menerjemahkan
community

sebagai

masyarakat

namun

ada

yang

lebih

suka

menerjemahkannya sebagai komunitas.


Dalam realitas, komunitas itu sendiri mulai dari level dengan lingkup
geografis yang relatif kecil, seperti komunitas RT / RW sampai pada
komunitas negara-negara seperti European Community (Masyarakat
Eropa). Bahkan dengan informasi yang tak terbatas, akibat kemajuan
BAPEDA KOTA DEPOK

22

Kajian Perencanaan Partisipatif

teknologi informasi (internet), terjadi perubahan yang radikal tentang


tempat

(space)

informasi

dan

waktu

(time).

Komunitas

dalam

masyarakat

menjadi tak berbatas ruang (spaceless) dan tak terbatas

waktu (timeless). Komunitas seperti ini di kota-kota modern membentuk


apa yang disebut sebagai cyber culture (budaya siber) atau networking
culture (kultur jejaring).
Burns (1994) memberikan beberapa makna tentang komunitas sebagai
berikut:
1. Masyarakat

komunitas

sebagai

warisan

identitas.

Makna

ini

merupakan ekspresi tradisi budaya atau identitas bersama, sebagai


sesuatu yang diwariskan turun temurun. Ini merupakan sebuah
konsep yang menggambarkan legitimasi berdasarkan sejarah.
2. Masyarakat

hubungan

komunitas

direfleksikan

sebagai

dalam

hubungan

kekeluargaan

sosial.
dan

Pola

antar

ketetanggaan,

dimana interaksi sosial dan dukungan satu satu sama lain seringkali
digerakkan oleh faktor tempat tinggal. Ini merupakan sebuah konsep
yang menggambarkan legitimasi berdasarkan tradisi sosiologi dan
antropologi.
3. Masyarakat / komunitas sebagai basis konsumsi kolektif, yakni suatu
kesatuan kelompok atau ketetanggaan yang memiliki kebutuhan atau
permintaan yang sama terhadap barang publik (public goods), seperti
perpustakaan, transportasi, kualitas lingkungan dan lainnya. Ini
merupakan

sebuah

konsep

masyarakat

yang

menggambarkan

legitimasi berdasarkan ekonomi.


4. Masyarakat

komunitas

sebagai

basis

untuk

produksi

dan

penyediaan barang-barang barang publik lokal. Barang-barang publik


itu dapat

disediakan oleh swasta, masyarakat umum, atau pihak-

pihak relawan (termasuk masyarakat itu sendiri). Ini merupakan


konsep masyarakat yang menggambarkan legitimasi berdasarkan
ekonomi dan penyediaan pelayanan teknologi.

BAPEDA KOTA DEPOK

23

Kajian Perencanaan Partisipatif

5. Masyarakat / komunitas sebagai sumber pengaruh dan kekuatan /


kekuasaan yang berasal dari hasil pemberdayaan (empowerment)
atau

keterwakilan,

apakah

melalui

saluran

representasi

atau

partisipasi formal atau informal dari aksi politik.


Ciri-ciri

komunitas

dapat

ditentukan

oleh

beberapa

hal.

Ciri-ciri

komunitas, menurut Community Speaker Series (2001), yang diacu


dalam Ahmad (2004) adalah:

Sekelompok orang

Sekelompok orang yang mendiami suatu wilayah tertentu

Orang-orang yang disatukan oleh isu bersama

Orang-orang yang bekerja sama

Sekelompok

orang

yang

mengkonsolidasikan

sumberdaya

bersama (pool resources).

Sekelompok orang yang saling menghormati satu dengan lainnya.

Sekelompok orang yang merasa aman bersama

Sekelompok orang yang memiliki rasa ketetanggaan.

Orang-orang yang terorganisir

Orang-orang yang mempertahankan dan membina kegiatan

Orang-orang yang membuat kemitraan

Orang-orang yang fokus pada kebutuhan dari kelompoknya.

Sekelompok orang yang memiliki visi bersama

Sukarelawan yang terorganisir

Orang-orang yang melakukan langkah kecil bersama untuk tujuan


yang besar.

Menurut

Moelyadi

dan

Simanjuntak

(1993),

masyarakat

sekelompok orang yang menempati wilayah tertentu secara

adalah
langsung

atau tidak langsung saling berhubungan dalam usaha pemenuhan


kebutuhannya, terikat sebagai suatu kesatuan sosial melalui perasaan
solidaritas oleh karena latar belakang sejarah, politik dan kebudayaan.

BAPEDA KOTA DEPOK

24

Kajian Perencanaan Partisipatif

Berdasarkan

berbagai

konsep

tersebut,

sesungguhnya

pengertian

masyarakat dapat dikelompok menjadi dua kategori yaitu community of


place dan community of interest. Pengelompokan ini dijelaskan oleh
Burns (1994) sebagai berikut:
1. Community of interest adalah perkumpulan komunitas /masyarakat
berdasarkan isu dan kepentingan tertentu baik pada lokasi tertentu
atau tidak, dan tidak selalu dihubungkan dengan batas wilayah
tertentu.
2. Community of place

yaitu pengelompokan masyarakat berdasarkan

wilayah / lokasi tertentu. Wilayah komunitas seperti itu dapat


bervariasi dalam hal ukuran meskipun batasan yang paling umum
adalah ukurannya relatif kecil dan lokal. Komunitas berbasis area /
wilayah ini dapat diidentifikasi dalam pengertian sebagai batasan
wilayah pelayan administratif, dan
dan

status

berdasarkan

sosial
tempat

ekonomi
ini

atau

lebih

atau dalam pengertian karakter


politik.

diidentifikasi

Kategori

masyarakat

berdasarkan

tempat

tinggal seperti jalan, blok, ketetanggaan, kejamaahan / jemaat,


perkampungan, dsb.
2.3.2. Pengertian Partisipasi Masyarakat
Menurut Cohen dan Uphoff (1977), yang diacu dalam Harahap (2001),
partisipasi
dan

adalah keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan

pembuatan

keputusan

tentang

apa

yang

dilakukan,

dalam

pelaksanaan program dan pengambilan keputusan untuk berkontribusi


sumberdaya atau bekerjasama dalam organisasi atau kegiatan khusus,
berbagi manfaat dari program pembangunan dan evaluasi program
pembangunan.
Sedangkan menurut Ndraha (1990),

partisipasi masyarakat dalam

proses pembangunan dapat dipilah meliputi; (1) partisipasi dalam /


melalui kontak dengan pihak lain sebagai awal perubahan sosial, (2)

BAPEDA KOTA DEPOK

25

Kajian Perencanaan Partisipatif

partisipasi dalam memperhatikan / menyerap dan memberi tanggapan


terhadap informasi, baik dalam arti menerima, menerima dengan syarat,
maupun dalam arti menolaknya, (3) partisipasi dalam perencanaan
termasuk pengambilan keputusan, (4) partisipasi dalam pelaksanaan
operasional,

(5)

partisipasi

dalam

menerima,

memelihara,

dan

mengembangkan hasil pembangunan, yaitu keterlibatan masyarakat


dalam menilai tingkat pelaksanaan pembangunan.
Survey

partisipasi

oleh

The

International

Association

of

Public

Participation telah mengidentifikasi nilai inti partisipasi sebagai berikut


(Delli Priscolli, 1997), yang diacu dalam Daniels dan Walker (2005):
1. Masyarakat harus memiliki suara dalam keputusan tentang tindakan
yang mempengaruhi kehidupan mereka.
2. Partisipasi masyarakat meliputi jaminan bahwa kontribusi masyarakat
akan mempengaruhi keputusan.
3. Proses partisipasi masyarakat mengkomunikasikan dan memenuhi
kebutuhan proses semua partisipan.
4. Proses partisipasi masyarakat berupaya dan memfasilitasi keterlibatan
mereka yang berpotensi untuk terpengaruh.
5. Proses

partisipasi

masyarakat

melibatkan

partisipan

dalam

mendefinisikan bagaimana mereka berpartisipasi.


6. Proses partisipasi masyarakat mengkomunikasikan kepada partisipan
bagaimana input mereka digunakan atau tidak digunakan.
7. Proses partisipasi masyarakat memberi partisipan informasi yang
mereka butuhkan dengan cara bermakna.
Korten (1988) dalam pembahasannya tentang berbagai paradigma
pembangunan mengungkapkan bahwa dalam paradigma pembangunan
yang berpusat pada rakyat, partisipasi adalah

proses pemberian peran

kepada individu bukan hanya sebagai subyek melainkan sebagai aktor


yang menetapkan tujuan, mengendalikan sumber daya dan mengarahkan
proses yang mempengaruhi kehidupannya.

BAPEDA KOTA DEPOK

26

Sedangkan Migley (1986)

Kajian Perencanaan Partisipatif

melihat partisipasi sebagai upaya memperkuat kapasitas individu dan


masyarakat untuk mendorong mereka dalam menyelesaikan permasalan
yang mereka hadapi.
Tjokrowinoto (1987), diacu dalam Hasibuan (2003), menyatakan alasan
pembenar partisipasi masyarakat dalam pembangunan:
1.

Rakyat adalah fokus sentral dan tujuan akhir pembangunan,


partisipasi merupakan akibat logis dari dalil tersebut.

2.

Partisipasi menimbulkan harga diri dan kemampuan pribadi untuk


dapatturut

serta

dalam

keputusan

penting

yang

menyangkut

masyarakat.
3.

Partisipasi

menciptakan

suatu

lingkungan

umpan

balik

arus

informasi tentang sikap, aspirasi, kebutuhan, dan kondisi lokal yang


tanpa keberadaannya akan tidak terungkap. Arus informasi ini tidak
dapat dihindari untuk berhasilnya pembangunan.
4.

Pembangunan dilaksanakan lebih baik dengan dimulai dari dimana


rakyat berada dan dari apa yang mereka miliki.

5.

Partisipasi memperluas wawasan penerima proyek pembangunan.

6.

Partisipasi akan

memperluas

jangkauan

pelayanan

pemerintah

kepada seluruh lapisan masyarakat.


7.

Partisipasi menopang pembangunan

8.

Partisipasi

menyediakan

lingkungan

yang

kondusif

baik

bagi

aktualisasi potensi manusia maupun pertumbuhan manusia


9.

Partisipasi

merupakan

lingkungan

yang

kondusif

baik

bagi

aktualisasi potensi manusia maupun pertumbuhan manusia.


10. Partisipasi merupakan cara yang efektif membangun kemampuan
masyarakat

untuk

pengelolaan

program

pembangunan

guna

memenuhi kebutuhan lokal.


11. Partisipasi dipandang sebagai pencerminan hak-hak demokratis
individu untuk dilibatkan dalampembangunan mereka sendiri.

BAPEDA KOTA DEPOK

27

Kajian Perencanaan Partisipatif

2.3.3. Keuntungan dan Kerugian Partisipasi Masyarakat


Dengan mengacu pada berbagai referensi (Anon, 2000; Blumenthal,
2000, Dovers, 2000; Kapoor, 2001; serta UNDP, 2000), Thomsen (2003)
memaparkan keuntungan dan kerugian dari partisipasi masyarakat.
Keuntungan dari partisipasi masyarakat adalah:
1. Partisipasi memperluas basis pengetahuan dan representasi. Dengan
mengajak masyarakat dengan spektrum yang lebih luas dalam proses
pembuatan keputusan, maka partisipasi dapat: (a) meningkatkan
representasi

dari

kelompok-kelompok

komunitas,

khususnya

kelompok yang selama ini termarjinalisasikan, (b) membangun


perspektif yang beragam yang berasal dari beragam stakeholders, (c)
mengakomodir

pengetahuan

lokal,

pengalaman,

dan

kreatifitas,

sehingga memperluas kisaran ketersediaan pilihan alternatif.


2. Partisipasi membantu terbangunannya transparansi komunikasi dan
hubungan-hubungan kekuasaan di antara para stakeholders. Dengan
melibatkan stakeholders dan berdiskusi dengan pihak-pihak yang
akan menerima atau berpotensi menerima akibat dari suatu kegiatan
/ proyek, hal itu dapat menghindari ketidakpastian dan kesalahan
interpretasi tentang suatu isu / masalah.
3. Partisipasi dapat meningkatkan pendekatan iteratif dan siklikal dan
menjamin

bahwa

solusi

didasarkan

pada

pemahaman

dan

pengetahuan lokal. Dengan membuka kesempatan dalam proses


pengambilan

keputusan,

maka

para

pembuat

keputusan

dapat

memperluas pengalaman masyarakat dan akan memperoleh umpan


balik dari kalangan yang lebih luas. Dengan demikian, kegiatan yang
dilakukan akan lebih relevan dengan kepentingan masyarakat lokal
dan akan lebih efektif.

BAPEDA KOTA DEPOK

28

Kajian Perencanaan Partisipatif

4. Partisipasi

akan

mendorong

kepemilikan

lokal,

komitmen

dan

akuntabilitas. Pelibatan masyarakat lokal dapat membantu terciptanya


hasil

(outcomes)

yang

berkelanjutan

dengan

menfasilitasi

kepemilikan masyarakat terhadap proyek dan menjamin bahwa


aktivitas-aktivitas

yang mengarah pada keberlanjutan akan terus

berlangsung. Hasil yang diperoleh dari usaha-usaha kolaboratif lebih


mungkin untuk diterima oleh seluruh stakeholders.
5. Partisipasi dapat membangun kapasitas masyarakat dan modal sosial.
Pendekatan partisipatif akan meningkatkan pengetahuan dari tiap
stakeholders tentang kegiatan / aksi yang dilakukan oleh stakholders
lain. Pengetahuan ini dan ditambah dengan peningkatan interaksi
antar sesama stakeholders akan meningkatkan kepercayaan diantara
para stakeholders dan memberikan kontribusi yang positif bagi
peningkatan modal sosial.
Sedangkan kerugian yang mungkin muncul dari pendekatan partisipatif
adalah:
1. Proses partisipasi dapat digunakan untuk memanipulasi sejumlah
besar warga masyarakat.

Partisipasi secara sadar atau tidak sadar

dapat merugikan kepada mereka yang terlibat jika: (a) para ahli yang
melakukan

proses

kepentingannya,

(b)

ini

memanipulasi

jika

tidak

partisipasi

direncanakan

publik

secara

untuk

hati-hati,

partisipasi dapat menambah biaya dan waktu dari sebuah proyek


tanpa ada jaminan bahwa partisipasi itu akan memberikan hasil yang
nyata.
2. Partisipasi dapat menyebabkan konflik. Proses partisipasi seringkali
menyebabkan ketidakstabilan hubungan sosial politik yang ada dan
menyebabkan konflik yang dapat mengancam terlaksananya proyek.

BAPEDA KOTA DEPOK

29

Kajian Perencanaan Partisipatif

3. Partisipasi dapat menjadi mahal dalam pengertian bahwa waktu dan


biaya yang dikeluarkan dipersepsikan sebagai sesuatu yang mahal
bagi masyarakat lokal. Pada wilayah-wilayah dimana di dalamnya
terdapat ketidakadilan sosial, proses partisipasi akan dilihat sebagai
sesuatu yang mewah dan pengeluaran-pengeluaran untuk proses itu
tidak dapat dibenarkan ketika berhadapan dengan kemiskinan yang
akut.
4. Partisipasi

dapat

memperlemah

(disempower)

masyarakat.

Jika

proses partisipasi dimanipulasi, tidak dikembangkan dalam kerangka


kerja institusional yang mendukung atau terjadi kekurangan sumber
daya untuk penyelesaian atau keberlanjutan suatu proyek, maka
partisipan

dapat meninggalkan proses tersebut, kecewa karena

hanya sedikit hasil yang diraih, padahal usaha yang dilakukan oleh
masyarakat telah cukup besar.
2.3.4. Tipologi Partisipasi
Tipologi partisipasi menggambarkan derajat keterlibatan masyarakat
dalam

proses

partisipasi

yang

didasarkan

pada

seberapa

besar

kekuasaan (power) yang dimiliki masyarakat dalam proses pengambilan


keputusan. Kegunaan dari adanya tipologi partisipasi ini adalah: (a)
untuk membantu memahami praktek dari proses pelibatan masyarakat,
(b) untuk mengetahui sampai sejauh mana upaya peningkatan partisipasi
masyarakat dan

(c) untuk

menilai dan mengevaluasi keberhasilan

kinerja dari pihak-pihak yang melakukan pelibatan masyarakat.


2.3.4.1. Tipologi Tangga Partisipasi Arnstein (1969).
Sherry Arnstein adalah yang pertama kali mendefinisikan strategi
partisipasi yang didasarkan pada distribusi kekuasaan antara masyarakat
(komunitas) dengan badan pemerintah (agency). Dengan pernyataannya
bahwa partisipasi masyarakat identik dengan kekuasaan masyarakat
BAPEDA KOTA DEPOK

30

Kajian Perencanaan Partisipatif

(citizen partisipation is citizen power), Arnstein menggunakan metafora


tangga partisipasi dimana tiap anak tangga mewakili strategi partisipasi
yang berbeda yang didasarkan pada distribusi kekuasaan.
Tangga terbawah merepresentasikan kondisi tanpa partisipasi (non
participation), meliputi: (1) manipulasi (manipulation) dan (2) terapi
(therapy).

Kemudian

(informing),

(4)

diikuti

konsultasi

dengan

tangga

(consultation),

(3)

menginformasikan

dan

(5)

penentraman

(placation), dimana ketiga tangga itu digambarkan sebagai tingkatan


tokenisme (degree of tokenism). Tokenisme dapat diartikan sebagai
kebijakan

sekadarnya,

berupa

upaya

superfisial

(dangkal,

pada

permukaan) atau tindakan simbolis dalam pencapaian suatu tujuan. Jadi


sekadar menggugurkan kewajiban belaka dan bukannya usaha sungguhsungguh

untuk

melibatkan

masyarakat

secara

bermakna.

Tangga

selanjutnya adalah (6) kemitraan (partnership), (7) pendelegasian


wewenang / kekuasaan (delegated power), dan (8) pengendalian
masyarakat (citizen control). Tiga tangga terakhir ini menggambarkan
perubahan dalam keseimbangan kekuasaan yang oleh Arnstein dianggap
sebagai bentuk sesungguhnya dari partisipasi masyarakat.
1. Manipulasi (manipulation). Pada tangga partisipasi ini bisa diartikan
relatif tidak ada komunikasi apalagi dialog; tujuan sebenarnya bukan
untuk melibatkan masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan
program tapi untuk mendidik atau menyembuhkan partisipan
(masyarakat tidak tahu sama sekali terhadap tujuan, tapi hadir dalam
forum).
2. Terapi (therapy). Pada level ini telah ada komunikasi namun bersifat
terbatas. Inisiatif datang dari pemerintah dan hanya satu arah.
Tangga ketiga, keempat dan kelima dikategorikan sebagai derajat
tokenisme dimana peran serta masyarakat diberikan kesempatan untuk
berpendapat dan didengar pendapatnya, tapi mereka tidak memiliki
kemampuan untuk mendapatkan jaminan bahwa pandangan mereka

BAPEDA KOTA DEPOK

31

Kajian Perencanaan Partisipatif

akan dipertimbangkan oleh pemegang keputusan. Peran serta pada


jenjang ini memiliki kemungkinan yang sangat kecil untuk menghasilkan
perubahan dalam masyarakat.
3. Informasi (information). Pada jenjang ini komunikasi sudah mulai
banyak terjadi tapi masih bersifat satu arah dan tidak ada sarana
timbal balik. Informasi telah diberikan kepada masyarakat tetapi
masyarakat tidak diberikan kesempatan melakukan tangapan balik
(feed back).
4. Konsultasi (consultation). Pada tangga partisipasi ini komunikasi telah
bersifat dua arah, tapi masih bersifat partisipasi yang ritual. Sudah
ada penjaringan aspirasi, telah ada aturan pengajuan usulan, telah
ada harapan bahwa aspirasi masyarakat akan didengarkan, tapi
belum ada jaminan apakah aspirasi tersebut akan dilaksanakan
ataupun perubahan akan terjadi.
5. Penentraman (placation). Pada level ini komunikasi telah berjalan baik
dan

sudah

Masyarakat

ada

negosiasi

antara

dipersilahkan

untuk

masyarakat

dan

memberikan

pemerintah.
saran

atau

merencanakan usulan kegiatan. Namun pemerintah tetap menahan


kewenangan

untuk

menilai

kelayakan

dan

keberadaan

usulan

tersebut.
Tiga tangga teratas dikategorikan sebagai bentuk yang sesungguhnya
dari partisipasi dimana masyarakat memiliki pengaruh dalam proses
pengambilan keputusan.
6. Kemitraan (partnership). Pada tangga partisipasi ini, pemerintah dan
masyarakat merupakan mitra sejajar. Kekuasaan telah diberikan dan
telah ada negosiasi antara masyarakat dan pemegang kekuasaan,
baik dalam hal perencanaan, pelaksanaan, maupun monitoring dan
evaluasi.

Kepada masyarakat yang selama ini tidak memiliki akses

BAPEDA KOTA DEPOK

32

Kajian Perencanaan Partisipatif

untuk proses pengambilan keputusan diberikan kesempatan untuk


bernegosiasiai dan melakukan kesepakatan.
7. Pendelegasian

kekuasaan

(delegated

power).

Ini

berarti

bahwa

pemerintah memberikan kewenangan kepada masyarakat untuk


mengurus

sendiri

perencanaan,

beberapa

pelaksanaan,

kepentingannya,
monitoring

dan

mulai

dari

evaluasi,

proses

sehingga

masyarakat memiliki kekuasaan yang jelas dan bertanggung jawab


sepenuhnya terhadap keberhasilan program.
8. Pengendalian warga (citizen control). Dalam tangga partisipasi ini,
masyarakat

sepenuhnya

mengelola

berbagai

kegiatan

untuk

kepentingannya sendiri, yang disepakati bersama, dan tanpa campur


tangan pemerintah.
2.3.4.2 Tipologi

Partisipasi

Burns,

Hambleton,

dan

Hogget

(1994)
Burns

et

al

(1994)

berpendapat

bahwa

bila

pemerintah

hendak

meningkatkan partisipasi masyarakat, maka harus diketahui terlebih


dahulu sampai sejauh mana jenjang proses partsipasi yang telah ada.
Untuk itu Burns memodifikasi model Arnstein yang dirasakan lebih tepat
terhadap kebutuhan publik (kewenangan masyarakat lokal) dalam rangka
mengembangkan partisipasi masyarakat, pemberdayaan, dan perubahan
tata kelola pemerintahan di daerah.
Dalam menggunakan tipologi ini, Burns menjelaskan bahwa terdapat
kemungkinan untuk menambah jenjang antara tangga partisipasi yang
satu dengan yang lainnya meski terkesan lebih rumit dan memberikan
kebebasan untuk menghapus atau menambah jenjang

menurut situasi

yang ada. Dia mengakui bahwa terdapat permasalahan yang kompleks


dalam penentuan jenjang partisipasi. Ini disebabkan adanya karakteristik
yang bisa diasumsikan bahwa terdapat lebih dari satu jenjang pada saat

BAPEDA KOTA DEPOK

33

Kajian Perencanaan Partisipatif

bersamaan dan upaya untuk meningkatkan partisipasi masyarakat di


setiap tangga membutuhkan cara yang berbeda-beda. Burns juga
mengingatkan

bahwa

kualitas

partisipasi

masyarakat

tidak

harus

menempati tangga tertinggi dalam waktu yang sangat cepat. Semua


harus didasarkan pada situasi dan kondisi masyarakat.
Berdasarkan hasil kajian terhadap delapan tangga partisipasi Arnstein,
serta

pemetaannya

terhadap

ruang

kekuasaan

yang

ada

dalam

masyarakat, Burns memodifikasi konsep Arsntein tersebut dalam rangka


pengembangan

partisipasi

masyarakat

dan

perubahan

tata

kelola

pemerintahan daerah. Burns dan koleganya memberi nama untuk tangga


partisipasi mereka dengan A Ladder of Citizen Empowerment (Tangga
Pemberdayaan Warga), dengan menambahkan ruang pada jenjang
partisipasi satu dengan yang lainnya serta menjabarkan kemungkinan
adanya perbedaan pembagian ruang jenjang partisipasi

pada penilaian

oleh pemerintah daerah atau institusi lainnya. Tabel 3 menggambarkan


Tangga Pemberdayaan Warga dari Burns.
Tabel 3. Tangga Pemberdayaan Warga oleh Burns et al (1994)

No.

Jenjang Partisipasi

1.

Civic hype

2.

Cynical Consultation

3.

Poor Information

4.

Customer care

5.

High Quality Information

6.

Genuine Information

7.

Effective Advisory Body

8.

Limited decentralised decision making

9.

Partnership

10.

Delegated Control

11.

Enrusted Control

12.

Independent Control

BAPEDA KOTA DEPOK

Kategori

Citizen Non Participation

Citizen Participation

Citizen Control

34

Kajian Perencanaan Partisipatif

Secara garis besar penjelasan terhadap jenjang partisipasi tersebut


adalah sebagai berikut :
A. Tanpa Partisipasi Warga.
Keempat jenjang dimana warga dikategorikan tidak berpartisipasi (citizen
non

participation)

adalah

civic

hype,

cynical

consultation,

foor

information, dan

customer care. Jenjang-jenjang ini tidak boleh

diabaikan,

manipulasi

karena

informasi

berkembang

dari

keempat

keadaan ini.
1. Civic hype. Peranan pemerintah dalam kondisi ini terlalu besar,
menguasai hampir seluruh segi kehidupan, sehingga masyarakat tidak
mempunyai peranan dan bersifat pasif. Pada jenjang ini pemerintah
daerah melakukan sosialisasi informasi, baik kepada masyarakat
maupun keluar, namun informasi yang diberikan bersifat manipulatif,
berbentuk propaganda dan pada dasarnya tidak sesuai dengan kondisi
obyektif daerahnya.
2. Cynical

consultation.

Pada

kondisi

ini

partisipasi

masyarakat

cenderung rendah tapi pemerintah daerah telah membuka diri untuk


menerima kritik dari masyarakat. Pada jenjang ini, pemerintah daerah
melakukan pertemuan konsultasi dengan masyarakat tentang suatu
masalah atau program tertentu, namun dalam pertemuan tersebut
tidak menyentuh topik-topik yang substantif. Misalnya, pemerintah
daerah melakukan pertemuan konsultasi dengan masyarakat untuk
memutuskan nama dari satu jalan yang akan dibangun, bukannya
membahas hal-hal yang bersifat strategis, seperti perencanannya,
tujuan serta pembiayaannya.
3. Poor informasi. Masyakat tidak diberikan informasi kebijakan dan
permasalahan

yang

berkaitan

dengan

kehidupan

masyarakat.

Informasi tersebut lebih untuk konsumsi pemerintah sendiri atau


legislatif.

Pada

BAPEDA KOTA DEPOK

jenjang

ini

masyarakat

35

sulit

atau

tidak

bisa

Kajian Perencanaan Partisipatif

mendapatkan informasi atau data-data yang akurat, valid, dan


obyektif

mengenai daerahnya atau hal-hal apa saja yang dilakukan

oleh pemerintah daerah. Hal ini disebabkan karena tidak dilakukannya


penerbitan data atau informasi

dan juga disebabkan oleh sulitnya

masyarakat untuk mendapatkan informasi tersebut.


4. Customer care. Pada jenjang ini pemerintah daerah membentuk
sejenis

unit

pelayanan

pengaduan.

Jika

pengaduan-pengaduan

masyarakat mengenai buruknya pelayanan pemerintah melalui unit


pelayanan itu diabaikan,

maka pada jenjang ini terjadi konsultasi

palsu (pseudo consultation). Namun sebaliknya jika pengaduan


masyarakat tersebut ditindaklanjuti dan membuahkan hasil, misalnya
terjadi perbaikan dalam pelayanan pemerintah, maka pada jenjang ini
dapat digolongkan dalam partisipasi. Hal ini dapat terjadi karena
masyarakat

memiliki

informasi

yang

cukup

mengenai

berbagai

kegiatan pemerintah atau mulai dilakukannya transparansi. Program


customer

care

ini

pada

awalnya

ditujukan

untuk

meredam

ketidakpuasan masyarakat terhadap pelayanan pemerintah.


B. Dengan Partisipasi Warga
5. High quality information. Pada jenjang ini terjadi sosialisasi informasi
yang berkualitas tinggi, baik dilihat dari proses maupun materi yang
disampaikan

pemerintah

daerah

kepada

masyarakat

setempat.

Sosialisasi informasi-informasi tersebut akan mendorong terjadinya


proses dialog atau konsultasi antara pemerintah daerah dengan
masyarakat setempat yang lebih menyentuh substansi permasalahan.
Keterbukaan pemerintah daerah dalam hal ini telah memberikan
peluang yang luas kepada masyarakat untuk terlibat dalam kegiatan
pemerintahan,
pengajuan

baik

dalam

hal

pemantauan,

evaluasi,

maupun

tuntutan-tuntutan. Dengan proses konsultasi seperti itu,

masyarakat dapat memberikan input yang signifikan bagi pemerintah


daerah.

BAPEDA KOTA DEPOK

36

Kajian Perencanaan Partisipatif

6. Genuine Consultation. Diskusi antara pemerintah dengan masyarakat


telah

ada

dan

sebenarnya

telah

berjalan.

Dalam

diskusi

ini,

masyarakat memberikan masukan kepada pemerintah sebelum suatu


kebijakan diambil

walaupun tidak ada kepastian pemerintah akan

melaksanakan atau tidak melaksanakan masukan tersebut. Pada


jenjang

genuine

consultation

ini,

dilakukan

improvisasi

untuk

meningkatkan kualitas konsultasi antara pemerintah daerah dengan


masyarakat dilihat dari substansi pembahasan maupun prosesnya.
Misalnya, dilakukan proses konsultasi antara pemerintah dengan
masyarakat sebelum merancang suatu peraturan atau sebelum
merancang

program.

Sebagai

hasil

dari

peningkatan

kualitas

konsultasi ini dapat menghasilkan perubahan struktural misalnya


pembentukan berbagai badan atau komite masyarakat yang berfungsi
sebagai penasehat (advisory) bagi pemerintah daerah dalam rangka
membuat kebijakan atau melaksanakan program-program pemerintah
yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat yang bersangkutan.
7. Effective advisory bodies. Pada jenjang ini terjadi peningkatan
keberadaan badan atau komite penasehat masyarakat, sehingga
dapat berfungsi efektif dan akan mendorong partisipasi badan atau
komite tersebut dalam pembuatan kebijakan yang menyangkut
operasional, penggunaan sumber daya bahkan dapat menyentuh
tataran

strategis.

Namun

tidak

ada

satu

ketentuan

pun

bagi

pemerintah daerah untuk memasukan pendapat komite masyarakat


tersebut ke dalam kebijakan yang akan dibuat. Artinya, hasil dialog
tersebut tidak mengikat pemerintah daerah.
8. Limited decentralised decision making. Pada tahap ini masyarakat
telah menunjukan inisiatif mereka dan telah ada transfer atau
setidaknya pemberian wewenang untuk mempengaruhi pemerintah.
Telah ada organisasi / perkumpulan masyarakat yang bekerjasama
dengan

pemerintah

BAPEDA KOTA DEPOK

dalam

pengambilan

37

keputusan.

Organisasi

Kajian Perencanaan Partisipatif

tersebut melaksanakan hal-hal seperti mengajak masyarakat untuk


bersatu, mendiskusikan persamaan persepsi bagaimana pelayanan
beroperasi,

memberi

pandangan

apa

yang

terjadi

saat

ini,

memberikan masukan apa yang dapat dan harus dilakukan untuk


memperbaiki

keadaan

saat

ini.

Organisasi

ini

juga

mengambil

keputusan untuk langkah aksi, memonitor aksi yang dilakukan dan


merencanakan langkah aksi selanjutnya. Pada jenjang ini keterlibatan
masyarakat dalam pembuatan kebijakan telah meningkat ke arah
kontrol masyarakat terhadap operasional maupun pengelolaan sumber
daya dengan kerangka yang spesifik dan terbatas. Pemerintah daerah
mulai

melakukan

pengalihan

manajerial

pengelolaan

program

pemerintah kepada masyarakat. Disamping itu, setidak-tidaknya


terjadi proses transfer kekuasaan (kewenangan), dimana masyarakat
memiliki

pengaruh

yang

maupun

pelaksanaan

signifikan

kebijakan,

terhadap
terutama

proses

pembuatan

melalui

mekanisme

negosiasi antara masyarakat dengan pemerintah daerahnya.


9. Limited

Partnership.

Pada

jenjang

ini

pemerintah

daerah

dan

masyarakat menjadi mitra sejajar, dan kemudian berkembang pada


pembagian kekuasaan antara pemerintah daerah atau unit-unit
pemerintah daerah dengan unit-unit kelompok masyarakat dalam
kerangka yang spesifik. Selain itu pemerintah daerah membangun
strategi bottom-up
10.Delegated control. Pada tahap ini operasional pengambilan keputusan
telah

dibedakan

secara

internal

(pemerintah)

dan

eksternal

(masyarakat), dimana pemerintah memisahkan kewenangan tertentu


untuk didelegasikan kepada masyarakat. Secara umum dalam jenjang
ini kontrol yang substansial didelegasikan kepada masyarakat daerah
atau pembuatan kebijakan maupun pelaksanaannya, namun harus
tetap mengacu pada kebijakan strategis, seperti standarisasi

BAPEDA KOTA DEPOK

38

yang

Kajian Perencanaan Partisipatif

ditetapkan pemerintah daerah serta kerangka pendelegasian kontrol


yang ditentukan secara terpusat.
C. Pengendalian / Kontrol oleh Masyarakat
Pada jenjang kesebelas dan keduabelas, masyarakat telah memiliki
kekuasaan untuk mengatur program, institusinya tidak bergantung pada
pemerintah daerah atau badan lainnya.
11.Entrust Control. Masyarakat memiliki kekuasaan dan kapasitas untuk
mengatur sebuah program, area dan institusi. Pada jenjang ini
peningkatan pengendalian / kontrol masyarakat telah mewujud
dengan terbentuknya suatu institusi atau organisasi yang otonom
secara legal untuk menguasai pembuatan maupun implementasi
kebijakan terhadap suatu atau beberapa bidang tertentiu, namun
institusi ini masih tergantung pada alokasi dana dari pemerintah
daerah yang hanya berperan pada tataran strategis.
12.Independent Control. Hubungan pemerintah dengan masyarakat
meningkat berdasarkan kepercayaan dan saling ketergantungan. Pada
jenjang ini dipertimbangkan transformasi fundamental antara negara
dan ekonomi pasar di satu sisi dan anggota masyarakat di sisi lain.
Kekuataan tidak berada pada pasar, tapi berdasarkan bentuk-bentuk
demokrasi dalam semua sisi kehidupan. Kedudukan pemerintah dan
masyarakat sederajat. Pada jenjang ini, institusi yang diprakarsai
masyarakat yang terlibat dalam menguasai (mengontrol) pembuatan
kebijakan maupun implementasinya secara penuh mendapatkan
otonomi,

baik

legal

maupun

finansial

dari

pemerintah

daerah.

Hubungan dengan pemerintah daerah dilakukan melalui koordinasi


dengan jaringan kerjasama.

BAPEDA KOTA DEPOK

39

Kajian Perencanaan Partisipatif

2.3.4.3. Tipologi Partisipasi Pretty (1995)


Dengan mengadaptasi tipologi partisipasi Arnstein, Pretty (1995), diacu
dalam Ahmad (2004), mengembangkan pendekatan yang berbeda
berkaitan dengan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumber daya
alam sebagaimana pada Tabel 4.
Tabel 4. Tipologi Partisipasi Pretty (1995)
Tipologi
Partisipasi manipulatif
Partisipasi pasif
Partisipasi dengan konsultasi
Partisipasi yang dibeli

Partisipasi fungsional

Partisipasi interaktif

Mobilisasi sendiri dan


berdikari

Karakteristik Setiap Tipe


Partisipasi dilakukan hanya dengan berpura-pura.
Warga berpartisipasi dengan diberitahukan apa yang
telah diputuskan atau yang telah dilaksanakan. Informasi
yang dibagi pun hanya untuk kalangan profesional.
Warga berpartisipasi
melalui konsultasi atau dengan
menjawab pertanyaan dan tidak terlibat dalam proses
pengambilan keputusan.
Warga berpartisipasi
untuk mendapatkan makanan,
uang tunai atau insentif material lainnya. Masyarakat
lokal tidak berkewajiban melanjutkan praktek yang
diintrodusir ketika insentif berakhir.
Partisipasi dilihat oleh badan eksternal sebagai sebuah
langkah untuk mencapai tujuan proyek, khususnya untuk
mengurangi biaya. Warga mungkin berpartisipasi dengan
membentuk kelompok untuk memenuhi tujuan yang
ditetapkan sebelumnya berkaitan dengan proyek
tersebut.
Warga
berpartisipasi
dalam
analisis
bersama,
mengembangkan
rencana
aksi
bersama
dan
pembentukan atau penguatan kelompok atau institusi
lokal.
Metodologi
pembelajaran
dipakai
untuk
menemukenali perspektif yang beragam, dan kelompok
menentukan bagaimana sumberdaya yang tersedia
digunakan.
Warga berpartisipasi dengan mengambil inisiatif secara
independen (tanpa campur tangan dari institusi luar)
untuk mengubah sistem. Mereka mengembangkan
kontak dengan institusi luar untuk mengakses sumber
daya dan bantuan teknis yang mereka butuhkan, tapi
memiliki kontrol sepenuhnya terhadap bagaimana
sumberdaya itu digunakan.

Sumber : Pretty (1995) diacu dalam Thomsen (2004)

BAPEDA KOTA DEPOK

40

Kajian Perencanaan Partisipatif

2.3.4.4. Tingkatan Partisipasi Mayer (1997) dan Wates (2000)


Tingkatan partisipasi yang dikemukakan oleh Mayer (1997) dan Wates
(2000) adalah salah satu instrumen untuk melihat tingkat keterlibatan
masyarakat dalam sebuah proyek atau proses perencanaan.
Tabel 5. Tingkatan Partisipasi Mayer (1997)
Tahapan

Cara

Tujuan

Pembelajaran

Para pihak dapat menentukan


kerjasama yang akan dilakukan
dengan pendekatan-pendekatan yang
sudah dipelajari. Terdapat perubahan
kelembagaan (pengetahuan,
kepercayaan dan sikap-kebiasaan)
Melihat hubungan antara berbagai
permasalahan di setiap tahapan
proses yang ada di berbagai pihak dan
berbagi tanggung jawab untuk
penyelesaian yang mungkin dicapai
Mengajak para pihak untuk melihat
sumberdaya yang mereka miliki dan
menginisiasi kerjasama
Mengajak para pihak untuk
mengetahui tentang nilai-nilai dan
kepentingan yang saling
menguntungkan
Memberikan kesempatan pada para
pihak untuk membuat antisipasi
permasalahan yang muncul di masa
depan
Bertanya kepada para pihak tentang
apa yang mereka tahu tentang
permasalahan mereka dan apa yang
dapat mereka lakukan terhadap
permasalahan tersebut
Memberikan akses informasi dan
pengetahuan kepada masyarakat
umum

Para pihak dapat menggali dan


membuat pendekatan yang
fleksibel dan kontekstual dengan
perubahan yang cepat

Ko-Produksi

Koordinasi
Mediasi

Antisipasi

Konsultasi

InformasiEdukasi

Identifikasi dan menjajaki


kemungkinan kerjasama dalam
berbagai aktivitas / proyek
Mengkoordinasi sumberdaya,
tujuan, dan cara pencapaian
Untuk mendamaikan konflik,
mencapai kompromi,
pemahaman bersama sampai
membuat konsensus
Menggali proyeksi kemungkinan
perubahan di masa depan
Membuat kebijakan atas dasar
informasi relevan yang didapat
di lapangan
Memperkaya pemahaman
kepada para pihak, memperkuat
penerimaan dan legitimasi,
belajar berdemokrasi

Sumber : Mayer (1997), diacu dalam Ahmad (2004).

Tahapan partisipasi yang dikembangkan oleh Wates (2000) berdasarkan


tingkat keterlibatan masyarakat (kemandirian, kemitraan, konsultasi, dan
informasi)

pada

masing-masing

tahapan

proyek

perencanaan, implementasi, dan keberlanjutan proyek).

BAPEDA KOTA DEPOK

41

(inisiasi

proyek,

Kajian Perencanaan Partisipatif

Tabel 6. Tahapan Partisipasi Wates (2000)

KEMANDIRIAN
Kontrol ada
pada komunitas

INISIASI

PERENCANAAN

IMPLEMENTASI

KEBERLANJUTAN

Komunitas
melakukan
inisiasi

Komunitas
merencanakan
kegiatannya
sendiri
Otoritas dan
komunitas secara
bersama-sama
merencanakan
kegiatan

Komunitas
mengimplementa
sikan rencananya
sendiri
Otoritas dan
komuniotas
bersama-sama
mengimplementa
sikan
perencanaan

Komunitas menjaga
hasil-hasil
pembangunan

Otoritas dan
komunitas
bersamasama
melakukan
inisiasi
kegiatan
KONSULTASI
Otoritas
Dilakukan
menginisiasi
dengan
kegiatan
pendekatan
setelah
dialog
berdialog
dengan
komunitas
Otoritas
INFORMASI
menginisiasi
Komunikasi
dilakukan searah kegiatan
KEMITRAAN
Berbagi tugas
dan ikut serta
dalam
pengambilan
keputusan

Otoritas
mengimplementa
sikan
perencanaannya
dengan
berkonsultasi
pada komunitas
Otoritas membuat Otoritas
mengimplementa
perencanaan
sikan
sendiri
perencanaannya
sendiri
Otoritas membuat
perncanaan
setelah
berkiomunikasi
dengan
komunitas

Otoritas dan
komunitas saling
menjaga hasil
pembangunan

Otoritas menjaga
hasil pembangunan
dengan bertanya
kepada komunitas

Otoritas menjaga
hasil
pembangunannya
sendiri

Sumber : Wates (2000)

2.3.4.5. Tipologi Partisipasi Parkers and Panelli (2001).


Tipologi

ini

menggunakan

esensinya
istilah

sama
yang

dengan
lain

tipologi

adalah

dikemukakan oleh Parkers dan Panneli (2001).

BAPEDA KOTA DEPOK

42

sebelumnya

tipologi

partisipasi

namun
yang

Kajian Perencanaan Partisipatif

Tabel 7. Tipologi Partisipasi Parkers dan Pannelli (2001)


Tipe partisipasi

Keterlibatan Masyarakat lokal

Co-option

Perwakilan masyarakat dipilih untuk ikut dalam

(pilihan bersama)

prosespartisipasi tapi tanpa input yang nyata atau tanpa


pembagian kekuasaan dalam pengambilan keputusan.

Compliance

Tugas ditetapkan dengan insentif tapi pihak luar memutuskan

(kerelaan)

agenda dan aksi apa yang harus dilakukan

Consultation

Pendapat masyarakat lokal dicari / diminta, tapi pihak luar

(konsultasi)

yang menganalisis dan memutuskan pilihan kegiatan yang


dianggap terbaik untuk dilakukan.

Cooperation

Masyarakat lokal bekerjasama dengan pihak luar untuk

(kerjasama)

menentukan prioritas tapi tanggungjawab tetap berada di


tangan pihak luar untuk mengarahkan proses tersebut.

Co-learning

Masyarakat lokal dan pihak luar berbagai pengetahuan mereka

(belajar bersama)

untuk menciptakan pemahaman baru dan mereka bekerja


sama untuk membentuk rencana aksi dengan fasilitasi dari
pihak luar

Collective action

Masyarakat lokal menyusun sendiri agenda mereka dan

(aksi bersama)

mengerahkan diri mereka sendiri untuk mencapainya tanpa


inisiatif dari pihak luar dan dengan atau tanpa kehadiran
fasilitator dari luar.

2.3.4.6. Roda Partisipasi Davidson (1998)


Sebenarnya Davidson tidak membuat tipologi partisipasi yang sama
sekali baru. Ia sepenuhnya mengadopsi tipologi yang dikemukakan oleh
Burns, dan sebagian besar menggunakan istilah yang digunakan oleh
Burns. Hanya saja menurut Davidson (1998), tiap jenjang partisipasi
masyarakat itu membutuhkan metode dan strategi pendekatan yang
berbeda.Karena itu dalam artikelnya Engaging Community, Davidson
memodifikasi metode dan strategi pendekatan

yang digunakan dalam

tiap jenjang partisipasi yang dikemukakan oleh Burns.

BAPEDA KOTA DEPOK

43

Kajian Perencanaan Partisipatif

Gambar 3. Roda Partisipasi oleh Davidson

BAPEDA KOTA DEPOK

44

Kajian Perencanaan Partisipatif

Tabel 8. Tipologi Roda Partisipasi Davidson


No. Jenjang Partisipasi

Karakteristik

1.

Minimal Communication

2.

Limited Information

3.

High Quality Information

4.

Limited Consultation

5.

Customer Care

6.

Genuine Consultation

7.

Effective Advisory Body

8.

Partnership

9.

Limited Decentralized
Decision-Making

Memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk


membuat keputusannya sendiri tentang beberapa isu,
seperti pengelolaan tempat permuan warga.

10.

Delegated Control

Mendelegasikan kekuasaan pembuatan keputusan


secara terbatas dalam wilayah atau proyek tertentu,
seperti organisasi pengelolaan penyewa dan dewan
sekolah.

11.

Independent Control

12.

Enrusted Control

Badan pemerintah diharuskan unrtuk menyediakan


pelayanan tapi memilih pelaksanannya dengan
menfasilitasi kelompok masyarakat dan / atau badan
lainnya untuk memberikan pelayanan atas nama
pemerintah, seperti pemberian kontrak pelayanan
perawatan oleh sektor volunter / relawan
Memindahkan kekuasaan pembuatan keputusan yang
substansial kepada masyarakat, seperti organisiasi
pengelolaan penyewaan.

BAPEDA KOTA DEPOK

Badan pemerintah memutuskan seluruh hal / materi


tanpa konsultasi (kecuali ketika aturan mengharuskan
melakukan konsultasi), seperti melalui laporan dari
komite.
Menjelaskan kepada publik apa yang diinginkan oleh
badan pemerintah, bukan tentang apa yang ingin
diketahui oleh publik. Ini dilakukan dengan pendekatan
yang menjangkau publik yang lebih luas
Memberikan informasi tentang apa yang diinginkan atau
dibutuhkan oleh masyarakat, seperti kertas kerja untuk
didiskusikan atau pameran untuk pengembangan
rencana atau catatan panduan untuk pengembangan
area konservasi
Pemberian informasi dalam cara yang terbatas dengan
beban diletakan pada masyarakat untuk memberikan
respon seperti dalam bentuk poster atau leaflet.
Memiliki pelayanan yang berorientasi pada publik
sebagai pelanggan (customer), seperti memperkenalkan
kebijakan yang peduli pada pelanggan atau
menyediakan sebuah skema untuk pengaduanpengaduan atau komentar-komentar
Badan pemerintah secara aktif mendiskusikan
berbagaiisu dengan masyarakat berkaitan dengan apa
yang dipikirkan tentang aksi yang akan dilakukan terlebih
dahulu. Sebagai contoh, berhubungan dengan kelompok
penyewa atau survey kepuasan publik.
Mengundang keterlibatan masyarakat untuk mengajukan
proposal / usulan yang akan menjadi bahan
pertimbangan badan pemerintah.
Memecahkan masalah melalui kemitraan dengan
masyarakat seperti kemitraan formal

45

Contoh Teknik
Catatan publik

Press release, newsletter,


dan kampanye
Leaflet

Pertemuan publik dan survey


Kartu komentar, wawancara
perorangan.

Panel warga, lingkaran


diskusi di tingkat distrik,
diskusi kelompok terarah,
pengukuran pendapat,
panelpengguna, dan
kelompok stakeholder
Perencanaan nyata (planning
for real), Dewan juri warga,
pencarian prioritas
Pilihan bersama (co-option),
Kelompok-kelompok
stakeholder, permainan
disain
Penerapan teknik-teknik
partisipatif dengan dukungan
politis untuk mendelegasikan
wewenang
Penerapan teknik-teknik
partisipatif dengan dukungan
politis untuk mendelegasikan
wewenang
Penerapan teknik-teknik
partisipatif dengan dukungan
politis untuk mendelegasikan
wewenang
Penerapan teknik-teknik
partisipatif dengan dukungan
politis untuk mendelegasikan
wewenang

Kajian Perencanaan Partisipatif

2.3.4.7.

Tipologi Partisipasi Brager & Specht (1973).

Brager & Specht mengembangkan tipologi partisipasi tidak dalam bentuk


jenjang tapi dalam bentuk kontinum, dilihat dari sisi pengendalian
masyarakat / partisipan dalam proses perencanaan. Pada tingkat
pengendalian yang tinggi, masyarakat memiliki dalam pelaksanaan
kegiatan, sedangkan pada tingkat pengendalian masyarakat yang rendah
boleh dikatakan tidak afda partisipasi samasekali.
Tabel 9 . Tangga Partisipasi Masyarakat Brager & Specht (1973).
Pengendalian
Tinggi

Aksi Partisipan
Has control
(memiliki kontrol)

Has delegated authority


(memiliki kewenangan yang
didelegasikan)

Plans jointly
(merencanakan bersama)
Advises
(pemberian saran )
Is consulted
(dikonsultasikan)

Receives information
(menerima informasi)

Rendah

None
(tidak ada)

Contoh
Organisiasi / badan pemerintah meminta
masyarakat untuk mengidentifikasi masalah dan
membuat seluruh keputusan penting terhadap
tujuan-tujuan dan langkah-langkah
mencapainya. Badan pemerintah berkeinginan
untuk membantu masyarakat pada tiap tahap
untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah
ditetapkan
Badan pemerintah mengidentifikasi dan
menyodorkan sebuah masalah kepada
masyarakat. Pemerintah menetapkan batasan
masalah dan meminta masyarakat untuk
membuat serangkaian keputusan yang dapat
ditambahkan dalam sebuah rencana sehingga
rencana itu dapat diterima.
Badan pemerintah menyodorkan rencana tentatif
(sementara) dan terbuka untuk perubahan dari
mereka yang dipengaruhi oleh rencana itu.
Badan pemerintah mempresentasikan sebuah
saran dan mengundang pertanyaan. Disiapkan
untuk perubahan rencana hanya jika betul-betul
dibutuhkan.
Badan pemerintah mencoba untuk
mempromosikan sebuah rencana dan
berkonsultasi dengan masyarakat sekadar untuk
mengembangkan dukungan agar rencana itu
dapat diterima, sehingga pemenuhan
administraif dapat diharapkan
Badan pemerintah membuat rencana dan
mengumumkannya. Masyarakat diajak
mengikuti pertemuan / rapat untuk tujuan
mendapatkan informasi.
Masyarakat tidak mendapatkan pemberitahuan
apa pun.

Sumber : Brager & Specht (1973), diacu dalam WHO (2002).

BAPEDA KOTA DEPOK

46

Kajian Perencanaan Partisipatif

2.3.4.8. Faktor-Faktor Yang mempengaruhi Partisipasi


Masyarakat
Partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan akan terwujud
sebagai suatu kegiatan nyata apabila terpenuhi adanya tiga faktor utama
yang mendukungnya, yaitu (1) kemauan, (2) kemampuan, dan (3)
kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi (Slamet, 1992) diacu
dalam Sumardjo dan Saharudin (2003).
Menurut
kemauan

Sahidu

(1998),

masyarakat

faktor-faktor

untuk

yang

berpartisipasi

mempengaruhi
adalah

motif,

tingkat
harapan,

kebutuhan (needs), imbalan (rewards), dan penguasaan informasi.


Faktor yang memberikan kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi
adalah pengaturan dan pelayanan, kelembagaan, struktur dan stratifikasi
sosial, budaya lokal, kepemimpinan, sarana dan prasarana. Sedangkan
faktor yang mendorong adalah pendidikan, modal dan pengalaman yang
dimiliki.
Jika

berpartisipasi

bisa

dianggap

sebagai

sebuah

perilaku

dari

masyarakat, dan partisipasi masyarakat juga berkaitan dengan perilaku


pemerintah untuk memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk
berpartisipasi, maka setidaknya terdapat dua teori yang dapat digunakan
untuk menjelaskan perilaku masyarakat dan pemerintah ini. Yaitu, teori
pilihan rasional (rational choices theory)

dan teori normatif (normative

theory).
Menurut teori pilihan rasional, perilaku individu atau sebuah kelompok
merupakan respon terhadap aturan (rules) dan insentif yang ada. Aturan
ini dapat berupa aturan formal (peraturan perundang-undangan) maupun
aturan non formal (misalnya, kesepakatan-kesepakatan warga), dapat
dalam bentuk tertulis atau tidak tertulis. Insentif pun beragam mulai dari
yang kasat mata dan bersifat ekonomi maupun yang tidak kasat mata

BAPEDA KOTA DEPOK

47

Kajian Perencanaan Partisipatif

dan bersifat non ekonomi. Jadi, jika seseorang atau sebuah kelompok
berperilaku partisipatif, maka perilaku itu merupakan pilihan rasional bagi
yang bersangkutan dalam memberikan respon terhadap aturan main
atau insentif yang ada.
Sedangkan menurut teori normatif, seorang berperilaku tertentu karena
perilaku itu merupakan sesuatu yang memang patut dilakukan. Jadi yang
menjadi pertimbangan adalah logika kepatutan (logic of approriateness).
Logika ini merupakan hasil dari proses internalisasi yang memakan waktu
yang relatif lama dalam diri seorang individu atau kelompok. Ini
merupakan hasil dari pendidikan (formal, nonformal, dan informal) pada
berbagai tingkatan, atau melalui kampanye-kampanye publik melalui
berbagai media.
2.3.5.

Faktor-Faktor Penghambat Partisipasi Masyarakat dalam


Perencanaan Pembangunan

Para ahli telah mengidentifikasi hal-hal yang menghambat partisipasi


masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan. Menurut Soetrisno
(1995), faktor-faktor penghambat itu adalah: (1) belum dipahaminya
konsep partisipasi oleh pihak perencana dan pelaksana pembangunan.
Partisipasi dipahami sebagai kemauan rakyat untuk mendukung program
pembangunan

yang

dirancang

dan

ditentukan

tujuannya

oleh

pemerintah, (2) adanya reaksi yang menghambat proses pembangunan


seperti keengganan masyarakat untuk ikut berperan serta seperti
mengevaluasi proses pembangunan secara kritis dan terbuka (budaya
diam), aparat bersikap otoriter, dan kurang terbuka terhadap aspirasi
masyarakat (budaya mencari selamat), (3) adanya peraturan-peraturan
pemerintah yang menghambat kemauan rakyat untuk berpartisipasi.
Sementara

Abe

(2001)

mengidentifikasi

setidaknya

enam

faktor

penghambat masyarakat untuk berpartisipasi, yaitu: (1) keterbatasan

BAPEDA KOTA DEPOK

48

Kajian Perencanaan Partisipatif

pengetahuan masyarakat sehingga secara teknis sulit berpartisipasi


(misalnya pendidikan yang rendah dan kemampuan baca tulis), (2)
masyarakat

berada

dalam

politik

sentralistik

otoriter

sehingga

membudaya politik mengekor, pasif, takut mengambil inisiatif dan


hidup dalam budaya petunjuk, (3) rakyat berada dalam represi ideologi
dimana kesadaran

politik rakyat diduga merupakan kesadaran hasil

bentukan negara, (4) aspirasi yang disampaikan rakyat adalah aspirasi


pantulan (refleksi) aspirasi negara, (5) rakyat telah kehilangan institusi
lokal, sebagai akibat dari tekanan politik elit, (6) langkanya kepercayaan
diri, sehingga rakyat tidak terbiasa jujur mengatakan apa adanya
meskipun bertentangan dengan pemerintah.
Hambat-hambatan untuk berpartisipasi itu juga dapat dilihat dari sisi
hambatan struktural, hambatan administrasi dan hambatan sosial (Okley,
1991). Hambatan struktural

berasal dari lingkungan politik negara,

dimana ideologi yang dianut kurang mendukung keterbukaan, kurang


respon terhadap suara rakyat, dan sistem politiknya tersentralisasi.
Hambatan administrasi adalah berupa prosedur perencanaan program
dan proyek pembangunan yang tersentralisasi mengurangi keterlibatan
lokal. Sedangkan hambatan sosial adalah masih terdapatnya mental
ketergantungan dimana pada umumnya terdapat dominasi dari kelompok
elit lokal.
Hamijoyo (1993) mengidentifikasi beberapa faktor pengambat partisipasi
masyarakat yang bersumber dari masyarakat itu sendiri, yaitu: (1)
masyarakat belum dapat menghayati atau merasakan masalah atau
kepentingannya, (2) masyarakat atau tokoh terpercaya belum sanggup
atau kurang berani mengajukan bentuk atau cara pemecahan masalah
yang diterima (acceptable) yang secara teknis dan keuangan dapat
dilaksanakan, (3) tujuan partisipasi masyarakat kurang jelas, karena
manfaat atau tujuan pembangunan masih kurang jelas bagi masyarakat,
(4) karena sebab-sebab terdahulu, maka di antara masyarakat belum

BAPEDA KOTA DEPOK

49

Kajian Perencanaan Partisipatif

ada atau bahkan tidak ada rasa keterikatan batin, rasa senasib
sepenanggungan, (5)

di wilayahnya sendiri, masyarakat tidak atau

belum merasakan ada kegiatan yang cocok ataupun bermanfaat baginya,


(6) tidak ada semacam reference group yang merupakan fokus atau
panutan bagi warga setempat, (7) tidak ada peran yang cukup merata
atau

banyak

peran

terlalu

diborong

oleh

orang-orang

tertentu.

Pembagian peran dan tanggung jawab dianggap kurang adil dan terbuka,
(8) kebanyakan warga lokal belum melihat hasil pembangunan melalui
partisipasi mereka, atau pimpinan kurang menunjukan hasil yang
sebenarnya ada, (9) tidak ada organisasi yang cukup handal untuk
mengelola partisipasi masyarakat, sehingga aspirasi dan potensi warga
kurang tersalur secara efektif dan efisien.
Jika ditelaah berbagai pendapat tersebut, dapat dilihat bahwa faktorfaktor yang dapat menghambat partisipasi masyarakat dalam proses
perencanaan pembangunan dapat dalam bentuk: (a) faktor internal
masyarakat, (b) faktor internal pemerintah, dan (c) faktor luar /
eksternal.
Untuk

mengantisipasi

berbagai

hambatan

partisipasi

masyarakat

dibutuhkan beberapa persyaratan untuk menjamin adanya partisipasi


tersebut. Uphoff dan Cernea (1988) mengidentifikasi beberapa cara
untuk menjamin

partisipasi masyarakat (penerima manfaat) dalam

perencanaan pembangunan, yaitu: (1) taraf partisipasi yang dikehendaki


mesti diperjelas sejak semula dan dengan cara yang dapat diterima oleh
semua pihak yang bersangkutan, (2) harus ada tujuan yang realistis
untuk partisipasi dan kelonggaran (toleransi)
kenyataan

bahwa

beberapa

tahap

harus diberikan untuk

perencanaan,

seperti

konsultasi

tentang suatu rancangan mungkin membutuhkan waktu yang relatif lama


atau berlarut-larut, sedangkan tahap-tahap lainnya seperti pengalihan
modal

untuk

poemanfaatan

mungkin

akan

lebih

singkat,

(3)

di

kebanyakan negara, perlengkapan khusus untuk memperkenalkan dan

BAPEDA KOTA DEPOK

50

Kajian Perencanaan Partisipatif

mendukung partisipasi memang diperlukan, (4) mesti ada komitmen


keuangan yang terpisah untuk menfasilitasi proses partisipasi, atau
dengan kata lain kemauan baik saja belum cukup.

2.4. Perencanaan Partisipatif


Pelaksanaan perencanaan partisipatif dapat dilakukan dalam pelaksanaan
sebuah program atau proyek tertentu, dan dapat juga dalam konteks
pembangunan skala kota. Salah satu alasan mengapa melakukan
perencanaan partisipatif sebelum mendisian sebuah program / proyek
adalah

bahwa

sesungguhnya

banyak

pihak

(stakeholders)

yang

berkepentingan di dalamnya, sehingga partisipasi menjadi isu yang


sangat penting dalam perencanaan dan implementasi suatu program /
proyek. Demikian halnya berkaitan dengan pembangunan skala kota
(yang terdiri

dari banyak

program /

proyek),

maka pihak

yang

seharusnya berkepentingan adalah stakeholders yang ada di kota itu.


Dengan

demikian,

konsep

stakeholders

menjadi

penting,

karena

sebagaimana dikemukakan oleh Warner (1997), diacu dalam Abbas


(2005), para stakeholders berbeda dalam beberapa hal yakni keinginan,
kebutuhan dan tata nilai, tingkat pengetahuan, serta motivasi
aspirasi. Karena itu perlu dibangun

dan

suatu mekanisme dimana seluruh

stakeholders dapat terlibat secara aktif dalam proses perencanaan,


pelaksanaan, monitoring dan evaluasi.
Selanjutnya Bock (2001) menyatakan bahwa terdapat tiga keuntungan
jika menggunakan proses partisipatif dalam perencanaan dan disain
suatu kegiatan, yaitu: (1) hasilnya bersifat alamiah dan tidak merupakan
rekayasa, (2) masyarakat yang merupakan target merasa lebih memiliki
dan memberikan kontribusi secara signifikan guna kesuksesan kegiatan,

BAPEDA KOTA DEPOK

51

Kajian Perencanaan Partisipatif

dan (3) pemantauan kegiatan lebih mudah dilaksanakan dan lebih


transparan.
Perencanaan partisipatif juga penting untuk dapat mengetahui kebutuhan
dan opini stakeholder terhadap program pembangunan yang akan
dilaksanakan. Dalam kaitan itu terdapat empat elemen kunci menuju
kesuksesan perencanaan partisipatif oleh stakeholders (Takeda 2001,
diacu dalam Abbas 2005):
1. Informasi. Peran informasi sangat esensial sebagai wahana untuk
menfasilitasi partisipasi. Tanpa informasi masyarakat tidak akan
mengetahui

apa,

berpartisipasi

kapan,

dalam

implementasinya.

dimana,

proses

Tanpa

siapa

dan

perencanaan

informasi

bagaimana

kebijakan

pemerintah

tidak

dan
dapat

mengetahui dan mengidentifikasi kebutuhan dan isu, dimana dan


bagaimana,

untuk

merumuskan

kebijakan

pengembangan

dan

implementasinya. Informasi yang baik dan tepat sasaran seringkali


menjadi pionir bagi keberhasilan suatu program. Informasi dapat
berupa publikasi media, dan akses yang terbuka terhadap pertemuan
maupun dokumen-dokumen.
2. Intermediasi. Intermediasi

berguna untuk menfasilitasi partisipasi

sehingga di dalamnya membutuhkan individu atau organisiasi guna


memainkan fungsi intermediasi.
3. Institusionalisasi

partisipasi

(forum)

stakeholders.

Mekanisme

partisipasi harus diinstitusionalisasikan. Guna mencapainya, maka


hak-hak dan proses partisipasi harus didefinisikan dalam pedoman
teknis, regulasi, atau kebijakan
dapat

menfasilitasi

kesediaan

di

antara

pemerintah. Prinsip pokoknya agar

partisipasi

stakeholders

konsultasi dan negosiasi.

BAPEDA KOTA DEPOK

stakeholders

52

untuk

adalah

dibutuhkan

melakukan

koordinasi,

Kajian Perencanaan Partisipatif

4. Inisiatif. Inisiatif stakeholders untuk

berpartisipasi dalam aktivitas

pembangunan sangat krusial kaitannya dengan proses pembangunan


tersebut.

Dalam

hal

ini

pemerintah

harus

menyediakan

dan

memberdayakan stakeholders (terutama masyarakat) agar mampu


menempatkan perannya dalam membuat inisiatif, misalnya dengan
mengkondisikan

lingkungan

yang

kondusif

untuk

masyarakat

berinisiatif.
Salah satu model best practice tentang perencanaan dan penganggaran
partisipatif dilakukan di Porto Alegre, sebuah kota industri di Rio Grande
do Sul, Brazil (World Bank, 2003). Dengan penduduk 1,3 juta jiwa,
kekayaan ekonominya sekitar US$ 7 miliar. Kota ini secara konsisten
menikmati

satu

dari

standar

kehidupan

yang

sangat

tinggi

dan

pendapatan perkapita yang tinggi dibandingkan dengan kota-kota di


Brazil pada umumnya. Kota ini juga memiliki reputasi sebagai

tuan

rumah masyarakat madani progresif yang dipimpin oleh intelektual dan


persatuan

buruh

serta

berpengalaman

memobilisasi

partisipasi

masyarakat. Sepanjang tahun dalam siklus anggaran partisipatif dari


Porto Alegre telah mendapatkan perhatian untuk dicermati.
Siklus anggaran yang dimulai pada Maret April, berlangsung degan
jadual sebagai berikut:

Maret:

pertemuan

informal

antar

warga

untuk

menentukan

kebutuhan. Dalam kegiatan ini tidak ada intervensi dari eksekutif


(pejabat kantor walikota).

April: Sidang Pleno pertama dilaksanakan antara masyarakat dan para


pejabat

kantor

walikota

untuk

menilai

proyek-proyek

tahun

sebelumnya, mendiskusikan usulan-usulan baru dan memilih delegasi


untuk pertemuan putaran kedua.

April sampai dengan Juni: Pertemuan Antara bagi delegasi untuk


mempelajari
prioritas

kriteria

untuk

BAPEDA KOTA DEPOK

teknis

setiap

dan

daerah.

53

mendiskusikan
Persiapan

kebutuhan

pertemuan

dan

informal

Kajian Perencanaan Partisipatif

dilaksanakan dengan masyarakat dan asosiaisi masyarakat untuk


menetapkan peringkat kebutuhan. Eksekutif mengumpulkan semua
usulan berdasarkan dua kriteria yaitu: (a) seberapa jauh akses ke
daerah yang harus dilayani, (b) jumlah penduduknya.

Juni: pleno kedua dilaksanakan ketika para Konselor dipilih dan


prioritas daerah sudah ditetapkan.

Juli: 44 Konselor membentuk The Council of Participatory Budgeting


(COP) dua dari masing-masing 16 daerah, dua dari masing-masing
tema ditambah dua lainnya dari legislatif.

Juli September: legislatif menjumpai setidaknya selama dua jam per


minggu untuk mendiskusikan kriteria, kebutuhan masyarakat, alokasi
sumber daya sebagaimana yang diusulkan pejabat kantor walikota,
demikian seterusnya.

September: Anggaran baru disahkan oleh COP dan dikirim kepada


legislatif untuk diadakan debat dan dikuasakan.

September sampai dengan Desember: COP menindaklanjuti debat


dengan anggota legislatif, melobi, dan bekerja secara terpisah pada
rencana investasi untuk masing-masing daerah, aturan-aturan yang
disepakati dan mengatur pertemuan selanjutnya.

Dengan pendekatan seperti itu, maka hal-hal yang telah dicapai antara
lain: (a) sejak 1989, Partai Buruh yang mengusulkan penganggaran
partisipatif telah memenangkan tiga kali berturut-turut dalam pemilihan
daerah di Porto Alegre, (b) sebuah jurnal bisnis yang berpengaruh telah
menetapkan Porto Alegre sebagai masyarakat Brazil dengan best quality
of life selama 4 tahun sejak 1989, (c) antara 1989 dan 1996 persentase
rumah tangga dengan kemudahan mendapatkan pelayanan air bersih
meningkat dari 80% menjadi 98%, (c) persentase penduduk yang
mendapatkan pelayanan sistem pembuangan air limbah meningkat dari
46% menjadi 85%, (d) jumlah anak-anak yang diterima di sekolah
pemerintah menjadi dua kali lipat, (e) 30 km jalan diperbaiki setiap
tahun, (f) karena transparansi menghasilkan sikap patuh membayar

BAPEDA KOTA DEPOK

54

Kajian Perencanaan Partisipatif

pajak, maka penerimaan meningkat mendekati 50%, dan (g) lebih dari
80 kota di Brazil mengikuti model Porto Alegre untuk penganggaran
partisipatif.

2.5. Modal Sosial


Konsep modal sosial antara lain sering digunakan untuk menjelaskan
mengapa satu kelompok masyarakat dapat bekerjasama untuk mencapai
kemaslahatan / kepentingan bersama, sementara kelompok masyarakat
lainnya tidak dapat melakukannya.
Konsep modal sosial telah dipopulerkan oleh Putnam (1993) walaupun
sebelumnya terlebih dahulu dikembangkan oleh Coleman (1988). Putnam
(1993), diacu dalam Rustiadi et.al (2006), mendefinisikan modal sosial
sebagai gambaran kehidupan sosial yang memungkinkan para partisipan
bertindak bersama secara lebih efektif untuk mencapai tujuan bersama.
Komponen-komponen kunci dari modal sosial yang diidentifikasi Putnam
(1993), Fukuyama (1995), serta oleh Knack dan Keefer (1997) adalah:
(a)

jaringan

pertemuan

dialog

masyarakat

(network

of

civic

engangement), (b) norma-norma yang saling berinteraksi / timbal balik


(norms of generalized reciprocity), dan (c) kepercayaan (Rustiadi et.al.
2006).
Hubungan saling percaya (social trust) akan membangun kerjasama,
yang kemudian akan menekan biaya transaksi antar mereka yang
bekerja sama dan kemudian berarti menghemat penggunaan sumber
daya.

Akibat

adanya

saling

percaya,

maka

para

pihak

tidak

membutuhkan upaya untuk memonitor atau mengawasi pihak lain agar


berperilaku seperti yang diharapkan. Artinya, saling percaya akan
menghemat waktu dan biaya.

BAPEDA KOTA DEPOK

55

Kajian Perencanaan Partisipatif

Lebih

lanjut

Coleman

(1988),

yang

diacu

dalam

Yustika

(2006)

menjelaskan tiga bentuk modal sosial:


Pertama, struktur kewajiban (obligation), ekspektasi (expectations), dan
kepercayaan (trustworthiness). Dalam konteks ini, bentuk modal sosial
tergantung pada dua elemen kunci yaitu kepercayaan dari lingkungan
sosial dan perluasan aktual dari kewajiban yang sudah dipenuhi. Dari
perspektif ini, individu yang bermukim dalam struktur sosial dengan
saling kepercayaan tinggi memiliki modal sosial yang lebih baik daripada
situasi yang sebaliknya.
Kedua, jaringan informasi (information channels). Informasi sangatlah
penting sebagai basis tindakan. Pada level yang paling minimal, dan ini
yang perlu mendapat perhatian, bahwa informasi selalu terbatas. Tentu
saja individu yang memiliki jaringan

lebih luas akan lebih mudah (dan

murah) untuk memperolah informasi sehingga dapat dikatakan modal


sosialnya tinggi; demikian pula sebaliknya.
Ketiga, norma dan sanksi yang efektif (norms and effective sanctions).
Norma dan sanksi efektif akan membangun dan menjaga perilaku yang
diharapkan secara sosial

sebagai upaya untuk mempertahankan level

modal sosial yang terbentuk.


Konsep

modal

sosial

berkaitan

erat

dengan

konsep

aksi

kolektif

(collective action). Menurut Marshall (1998), yang diacu dalam Knox dan
Gupta (2000), aksi kolektif adalah aksi yang dilakukan oleh sebuah
kelompok, baik secara langsung atau atas nama organisasi, dalam
mencapai apa yang oleh anggota kelompok itu dianggap sebagai
kepentingan bersama. Aksi kolektif dilaksanakan secara sukarela oleh
partisipannya yang membedakannya dengan usaha-usaha kolektif yang
dilakukan oleh kelompok-kelompok pekerja yang dibayar.

BAPEDA KOTA DEPOK

56

Kajian Perencanaan Partisipatif

Lebih lanjut dijelaskan, bahwa setiap aksi kolektif senantiasa melibatkan


organisasi untuk mendisain aturan-aturan main dan melaksanakan aksiaksi yang disepakati, menggalang proses partisipasi, dan menegakkan
aturan-aturan yang telah diterima, yang dianggap akan memberikan
manfaat bagi kelompok.

Meskipun terdapat banyak manfaat non

material yang diperoleh dari aksi-aksi kolektif, namun terdapat banyak


bukti

bahwa

manfaat

yang

bersifat

material

juga

mempengaruhi

kemunculan berbagai aksi kolektif.


Menurut

Eggertsson

(1990),

masalah-masalah

penting

dalam

aksi

kolektif adalah: (a) munculnya perilaku free ridding (penunggang gratis)


sehubungan

dengan

keinginan

individu

untuk

memaksimumkan

utilitasnya, (b) biaya aksi kolektif (collective action cost) sehubungan


dengan pembuatan dan penegakan kesepakatan, (c) ukuran kelompok
(group size), (d) masalah koordinasi antar pelaku.
Untuk membangun modal sosial secara efektif sehingga memunculkan
aksi kolektif, maka instansi pemerintah harus berbagi otonomi / peran
dengan masyarakat, dalam arti perannya harus bergeser dari yang
semula sebagai pengontrol (controller), pembuat aturan (regulator), dan
pelaksana

kegiatan

(provider)

menjadi

katalisator,

penyelenggara

pertemuan (convener) dan fasilitator (Crocker et al, diacu dalam Rustiadi


2006).

2.6. Konsep Biaya Transaksi


Konsep biaya transaksi dipaparkan dalam kajian ini, karena berbagai
ikhtiar untuk meningkatkan kualitas partisipasi masyarakat dalam proses
perencanaan akan senantiasa membutuhkan biaya. Keengganan berbagai
pihak di pemerintahan untuk menerapkan proses partisipatif antara lain
dilatarbelakangi oleh faktor biaya ini.

BAPEDA KOTA DEPOK

57

Kajian Perencanaan Partisipatif

Dalam ilmu ekonomi kelembagaan, biaya transaksi merupakan salah satu


alat analisis yang sering digunakan untuk mengukur efisien tidaknya
suatu

disain

kelembagaan.

Semakin

tinggi

biaya

transaksi

untuk

mewujudkan disain kelembagaan, maka kian tidak efisien kelembagaan


yang didisain itu. Awalnya konsep biaya transaksi ini diterapkan dalam
transaksi ekonomi (jual beli). Namun konsep ini kemudian digunakan
juga

untuk

menjadi

ukuran

dalam

proses-proses

membangun

kesepakatan dalam rangka peningkatan kualitas partisipasi masyarakat


dalam proses pembangunan.
Pandangan ekonomi neoklasik didasarkan pada anggapan bahwa pasar
berjalan sempurna tanpa biaya apapun (costless) karena pembeli
(consumers)

dianggap memiliki informasi yang sempurna dan penjual

(producers) saling berkompetisi, sehingga menghasilkan biaya yang


rendah. Namun pada kenyataannya,

fakta yang ada menunjukan

sebaliknya, dimana informasi, kompetisi, sistem kontrak dan proses


transaksi jual beli dapat sangat asimetris. Inilah yang menimbulkan biaya
transaksi. Karena itu biaya transaksi didefinikasi sebagai biaya-biaya
untuk melakukan negosiasi, pengukuran, dan pemaksanaan pertukaran
(Yustika, 2006).
North (1990), diacu dalam Yustika (2006), berpendapat bahwa biaya
untuk mencari informasi merupakan kunci dari biaya transaksi, yang
terdiri

atas

perlengkapan

biaya

untuk

(atributes)

mengerjakan
yang

pengukuran

dipertukarkan

dan

perlengkapanongkos

untuk

melindungi hak-hak kepemilikan (property rights) dan menegakkan


kesepakatan (enforcing agreements).
North memberikan isustrasi bahwa dalam komunitas pedesaan di negara
berkembang, biaya transaksi biasanya rendah. Hal ini dapat terjadi
karena kedekatan hubungan di dalam komunitas (keluarga, tetangga),

BAPEDA KOTA DEPOK

58

Kajian Perencanaan Partisipatif

sehingga informasi tentang aktifitas-aktifitas dalam komunitas tersedia


secara luas dan bebas. Sementara itu, struktur sosial (orang tua dan
figur kepemimpinan lain yang dihormati) memberikan mekanisme yang
sangat penting bagi penegakan kesepakatan dan memberikan resolusi
apabila ada konflik di antara anggota komunitas. Tetapi, agar kegiatan
ekonomi terus berlanjut dan dalam jangkauan yang luas, masyarakat
harus berdagang / bertransaksi dengan orang lain di luar komunitas
desanya, dan pada jarak yang semakin jauh. Semakin kompleks dan
impersonal jaringan perdagangan, maka semakin tinggi biaya transaksi
yang muncul (Yustika, 2006).
Meskipun awalnya muncul untuk menelaah aktifivitas yang murni
ekonomi,

konsep

menganalisis

biaya transaksi saat

biaya

yang

dibutuhkan

ini

telah

untuk

digunakan
membangun

untuk
dan

mengimplementasikan kesepakatan di sektor non ekonomi, seperti


penegakan kesepakatan-kesepakatan pada tingkat stakeholders.
Berkenaan dengan itu, definisi biaya transaksi yang dapat digunakan
adalah sebagaimana yang dikemukakan Thomson dan Freudenberger
(1997). Mereka

berpendapat bahwa

dengan waktu, usaha, material,

biaya transaksi adalah berkaitan

dan biaya finansial yang dibutuhkan

untuk mencapai sebuah keputusan. Ini mencakup berbagai biaya yang


dibutuhkan untuk membangun aturan main dan sampai bagaimana
aturan main itu diterima, serta biaya yang dibutuhkan untuk resolusi
konflik-konflik yang timbul akibat penerapan dari aturan main tersebut.
Komponen-komponen biaya transaksi menurut Ostrom, Schroeder dan
Waynne 1993, diacu dalam Nugroho 2006 adalah: (a) biaya koordinasi
(coordinating costs), yaitu biaya-biaya yang dikeluarkan untuk waktu,
modal, dan personil yang diinvestasikan dalam negosiasi, pengawasan,
dan penegakan kesepakatan di antara pelaku, (b) biaya informasi
(information costs), yaitu biaya-biaya yang diperlukan untuk mencari dan

BAPEDA KOTA DEPOK

59

Kajian Perencanaan Partisipatif

mengorganisasikan data, termasuk biaya atas kesalahan informasi


sebagai

akibat

kesenjangan

pengetahuan,

dan

(c)

biaya

strategi

(strategic costs), yaitu biaya yang dikeluarkan sebagai akibat informasi,


kekuasaan, dan suimberdaya lainnya yang tidak sepadan di antara
pelaku, umumnya berupa pengeluaran untuk membiayai aktivitas free
riding, rent seeking, dan korupsi.

2.7. Forum Warga


2.7.1. Konsep tentang Warga (Citizen)
Penelitian yang dilakukan di 47 negara-negara Commenwealth (bekas
jajahan Inggris) menemukan bahwa warga negara menginginkan peran
yang lebih besar dalam sistem kepemerintahan, dan dalam waktu yang
sama juga membutuhkan negara yang kuat. Temuan ini menimbulkan
pertanyaan
partisipasi

kunci
warga

bagaimana
dan

caranya

penciptaan

agar

peningkatan

pemerintahan

yang

kualitas

efektif

bisa

berlangsung secara bersamaan?


Menurut Cornwall & Gaventa (2000), yang diacu dalam Zakaria et al
(2001), formasi pemerintahan yang mengaitkan warga secara langsung
menuntut sebuah pendekatan partisipasi warga yang memungkinkan
warga, di mana pun dan siapa pun dia, menjadi pembuat dan penentu
keputusan, melalui perwakilan yang penuh dalam proses pemerintahan.
Dengan demikian, partisipasi warga tidak terbatas pada partisipasi politik
yang terbatas pada kampanye dan pemilihan umum, tapi juga mencakup
akses warga untuk mengidentifikasi prioritas lokal, merencanakan dan
melaksanakan program, dengan mendudukan warga sebagai aktor kunci
pembuat kebijakan.

BAPEDA KOTA DEPOK

60

Kajian Perencanaan Partisipatif

Dengan mengamati sejarah partisipasi sejak tahun 1970-an hingga saat


ini, Cornwall membedakan antara partisipasi yang dipaksakan dan
partisipasi karena diundang (induced and invited participation) melalui
kelompok pemanfaat, konsultasi, dan sejenisnya, dengan partisipasi
warga dimana warga masyarakat datang untuk membangun ruangnya
sendiri dan melakukan perubahan menurut strateginya sendiri (Cornwall,
2000). Lebih jauh Cornwall menyatakan, rekonseptualisasi kewargaan
akhirnya menempatkan warga sebagai pihak yang dapat bertindak (as
the exercise of agency), ketimbang konsep warga sebagai kumpulan hak.
Pemaknaan kewargaan sebagai pihak yang dapat bertindak ini menjadi
dasar dari sebuah pendekatan yang lebih inklusif dengan sejumlah hak
yang dikembangkan oleh warga itu sendiri.
Pemahaman baru partisipasi warga sebagai hak, dan sebagai ruang
beraktifitas,

juga

menuntut

pemahaman

baru

tentang

apa

yang

dimaksud dengan tata kelola kepemerintahan (governance). Selayaknya


warga dapat terkait dengan pemerintahan lokal melalui wakil-wakilnya
dan juga melalui sistem demokrasi partisipatif. Namun, aturan dan
mekanisme untuk keterkaitan langsung ini perlu dimantapkan, agar
dapat mengatur tata hubungan yang baru yang dilandasi oleh rasa
saling percaya dan kerjasama untuk maju, khususnya

jika sektor

masyarakat, yang secara historis aksesnya telah diabaikan dalam realita


pembuatan kebijakan publik, ingin dilibatkan (Fung & Wright, 2001, yang
diacu dalam Zakaria et al 2001). Pemberian saluran dan strategi yang
meningkatkan akses dari non-elit kepada pembuatan kebijakan dan
implementasinya, misalnya, perlu menjadi salah satu agenda utama.
Berkaitan

dengan

demokrasi

partisipatif,

proyek

penelitian

the

Comenwealth Foundation menyimpulkan bahwa demokrasi perwakilan


dan institusi-institusi negara dan pemerintahan yang dikenal dewasa ini
tidak

mampu

lagi

melayani

warga

negara

atau

memastikan

pemerintahan yang baik (good governance) di masa depan. Akibatnya,

BAPEDA KOTA DEPOK

61

Kajian Perencanaan Partisipatif

warga negara dan petugas-petugas pemerintahan yang progresif harus


mencari terobosan untuk menghubungkan kembali warga negara dengan
negara (Zakaria et al 2001).
2.7.2. Pengertian Forum Warga
Forum warga dapat memiliki skala cakupan geografis yang beragam.
Mulai dari forum warga yang merupakan forum yang berbasiskan
ketetanggaan sampai forum stakeholders yang keanggotaannya skala
kota.
Menurut Burns (1994), forum warga yang berbasiskan ketetanggaan
merupakan suatu forum diskusi antara masyarakat dalam pengambilan
keputusan termasuk dalam hal penegakan hukum, pemberian insiatif,
pengembangan kreatifitas dan dalam pemberikan masukan atau nasehat
dalam forum tersebut. Lebih lanjut dijelaskan bahwa tujuan diadakannya
forum warga berbasiskan ketetanggaan adalah:
1. Membantu asosiasi / perkumpulan / lembaga ketetanggaan dalam
menentukan skala prioritas pembangunan serta mengontrol kualitas
pelayanan di wilayahnya.
2. Mewajibkan aparat dewan ketetanggaan mengundang pemerintah
untuk menghadiri forum ketetanggaan untuk melaporkan kegiatankegiatan yang telah dilaksanakan.
3. Menyusun program kegiatan dan alokasi dana operasional dewan
ketetanggaan.
4. Untuk menyelaraskan keinginan dan pandangan masyarakat dengan
program kegiatan.
5. Sebagai wahana diskusi perencanaan dan pelaksanaan kegiatan.
6. Menyelenggarakan kerangka kerja dalam memberikan kesempatan
yang sama.

BAPEDA KOTA DEPOK

62

Kajian Perencanaan Partisipatif

Tugas dari organisasi forum warga adalah membentuk prakondisi untuk


menjamin

bahwa

bentuk

dasar

dari

proses

berlangsung. Pendekatan ini tidak hanya

pemberdayaan

dapat

untuk membangun kebiasaan

masyarakat lokal dalam kegiatan sosial, juga untuk meningkatkan


kapasitas

masyarakat

untuk

menghargai

perbedaan

pendapat,

mengurangi kegelisahan, ketidakpercayaan terhadap orang lain, dan


melaksanakan

pembangunan

secara

sektoral.

Selanjutnya

diharapkan forum warga tersebut dapat memberikan

dapat

peran kepada

demokrasi lokal dengan meningkatkan jaringan kesempatan kepada


masyarakat daerah untuk terlibat dalam politik daerah (Burns, 1994).
Burns mengusulkan beberapa hal yang

dapat menjadi ketentuan dalam

pelaksanaan forum komunikasi ketetanggaan tersebut, antara lain:


1. Anggota forum warga adalah masyarakat yang bertempat tinggal di
wilayah tersebut.
2. Pelaksana kegiatan forum warga adalah aparat / pimpinan yang
bekerja pada asosiasi / perkumpulan / lembaga forum ketetanggaan
tersebut, tetapi tidak mempunyai hak suara dalam forum.
3. Setiap kelompok masyarakat mempunyai perwakilan dalam forum,
antara lain:
-

kelompok muda di bawah 21 tahun

etnis minoritas

kelompok orang cacat baik secara fisik ataupun mental

perkumpulan wanita

kelompok orang yang telah pensiun.

Dari pandangan Burns tersebut, nampak bahwa ia menekankan sistem


perwakilan dimana wakil-wakil dari kelompok masyarakat tersebut dipilih
melalui tiga metode antara lain melalui pemilihan, pengangkatan /
penunjukan dari kelompok ataupun campuran dari keduanya.

BAPEDA KOTA DEPOK

63

Kajian Perencanaan Partisipatif

Forum warga juga merujuk pada forum perencanaan pembangunan skala


kota. Berdasarkan hasil workshop Pedoman Penyelenggaraan Rakorbang
2002 dan Repetada 2003 yang dirangkum oleh Perform Project dan
USAID,

pengertian

forum

warga

adalah

rapat

pertemuan

untuk

mengkonsultasikan dan mensikronkan program pembangunan daerah,


dimana penggunaan kata forum ditujukan untuk lebih mengedepankan
suasana

konsultatif

dan

dialog

yang

diperlukan

dalam

proses

pengambilan keputusan.
Lebih lanjut workshop itu juga menyepakati bahwa peranan dan fungsi
forum koordinasi pembangunan di era desentralisasi di Indonesia antara
lain:
1. Sebagai media komunikasi dan konsultasi, dimana suasana forum
perlu diusahakan sekondusif mungkin bagi terwujudnya komunikasi
dan konsultasi yang efektif di antara para pelaku pembangunan.
2. Media mengembangkan komitmen, konsensus, dan kesepakatan,
dimana forum
penanganan

didorong untuk menghasilkan konsensus tentang


isu-isu

strategis

dan

menghasilkan

kesepakatan

(agreements) dan komitmen di antara pada pelaku pembangunan


untuk mengimplementasikan usulan-usulan.
3. Media meningkatkan keterlibatan para pelaku pembangunan dalam
pengambilan keputusan, dimana forum merupakan instrumen untuk
meningkatkan

demokratisasi

perencanaan

yaitu

meningkatkan

keterlibatan para pelaku untuk secara aktif mengambil keputusan.


4. Media

untuk

memadukan

berbagai

alur

perencanaan,

forum

menjembatani, mempertemukan, dan memadukan berbagai alur


perencanaan baik yang bersifat horisontal (Rencana Tata Ruang
Wilayah, Rencana Srategis), dan yang bersifat vertikal (Popenas,
Renstra Lmbaga, Propeda Propinsi) serta perencanaan yang bottom
up (Repetada Kecamatan / Kelurahan).

BAPEDA KOTA DEPOK

64

Kajian Perencanaan Partisipatif

5. Media resolusi konflik kepentingan, dimana forum berfungsi sebagai


wadah mediasi untuk mengatasi berbagai konflik kepentingan antar
pelaku pembangunan untuk menghasilkan solusi yang optimal.
Senada dengan itu,

terdapat beberapa fungsi forum warga menurut

Labour Party Manifesto sebagaimana diacu dalam Burns (1994):


1. Forum warga merupakan badan yang bertanggung jawab menetapkan
dan mengawasi struktur dan mekanisme pelayanan masyarakat di
wilayah masyarakat tersebut.
2. Forum warga merupakan pertemuan masyarakat yang terdiri dari
aktivis masyarakat, kelompok kepentingan tertentu dan pebisnis
lokal, politikus, tokoh agama dan organisasi sosial yang dilaksanakan
secara reguler, untuk mendiskusikan permasalahan dan kegiatan lokal
dan membangun jaringan antar pelaku secara berkelanjutan
Manifesto ini mengingatkan bahwa keberadaan forum ini tidak baik
apabila mengubah fokus diskusi menjadi pelaksana, dimana hal tersebut
sebaiknya dipercayakan kepada organisasi pembangunan tertentu.

2.8. Pendekatan Appreciative Inquiry


2.8.1. Pengertian
Appreciative Inquiry, disingkat AI, adalah sebuah pendekatan yang
memandang manusia dan komunitas sebagai sebuah kapasitas kekuatan
yang tak terbatas. Pendekatan ini berpijak pada asumsi bahwa selalu
terdapat berbagai cerita sukses, bakat, keahlian dan sumber daya di
dalam masyarakat yang dapat ditemukan dan dikembangkan oleh
masyarakat itu sendiri. Refleksi diri atas relasi sosial yang bermakna dan
penciptaan impian bersama bersifat fundamental dan mendasar dalam
pendekatan ini. Refleksi mempunyai peran penting dalam mewujudkan

BAPEDA KOTA DEPOK

65

Kajian Perencanaan Partisipatif

partisipasi

aktif

komunitas

dalam

memberdayakan

dirinya

sendiri.

Fasilitasi dilakukan dalam rangka melakukan pengorganisasian bersama


yang

didasarkan

pada

pandangan

bahwa

semua

orang

mampu

mengorganisasikan dirinya sendiri dan mampu memberikan kontribusi


positif terhadap komunitasnya. Penggerak program justru berasal dari
jaringan lokal dan akan terus berperan sebagai fasilitator dalam
menghadapi berbagai tantangan dan perubahan sosial di kemudian hari.
Appreciative inquiry merupakan sebuah pendekatan yang sangat baru
dalam

khasanah pengembangan

komunitas

dan

juga

pengentasan

kemiskinan di Indonesia. Bila pendekatan lama berbasis pada motif untuk


keluar dari masalah,
sementara pendekatan Appreciative inquiry terfokus pada pencarian
kekuatan dan inti positif komunitas untuk membangun visi yang harus
diraih bersama. Aktivitas diawali dengan mengapresiasi apa yang terbaik
dalam komunitas, penciptaan impian komunitas, perancangan tindakan,
dan melakukan tindakan yang berbasis pada inti positif.
Efek dari Appreciative inquiry adalah masyarakat yang percaya diri,
antusias dan semangat positif untuk selalu mewujudkan impian bersama.
Sebagaimana efek yang muncul ketika Appreciative Inquiry diterapkan di
Srilanka, Nepal, Cina dan Afrika (Mc Oddel, 2002; Charles Elliott, 2001).
Berbagai

pengalaman

dalam

penerapan

appreciative

inquiry

ini

menemukan bahwa penerapannya melahirkan sebuah semangat positif


untuk

melakukan

langkah-langkah

kecil

yang

mewujudkan kondisi masa depan yang diidamkan.

BAPEDA KOTA DEPOK

66

bermakna

dalam

Kajian Perencanaan Partisipatif

2.8.2. Langkah Dasar


Langkah dasar Appreciative Inquiry adalah siklus 5-D yaitu Definition,
Discovery, Dream, Design dan Destiny (Cooperrider dan Whitney, 2001 &
der Haar dan Hosking, 2004).
a. Definition. Langkah awal Appreciative Inquiry adalah memilih sebuah
topik yang akan dieksplorasi (affirmative topic choice). Topik ini
menjadi arah perubahan sekaligus kenyataan akhir yang akan
terwujud.
b. Discovery.

Tujuan

utamanya

adalah

mengungkap

dan

mengapresiasikan sesuatu yang memberi kehidupan dan energi


kepada orang, pekerjaan dan komunitasnya. Fokus tahapan ini adalah
pada cerita positif yang merefleksikan pengalaman puncak baik pada
level individu maupun level masyarakat.
c. Dream. Tujuannya adalah berimajinasi (envision) tentang masyarakat
yang ideal di masa depan. Informasi pada tahap sebelumnya dijadikan
pijakan untuk berspekulasi mengenai kemungkinan masa depan
masyarakat.
d. Design. Tujuannya adalah menciptakan atau mendesain struktur
masyarakat, proses dan hubungan yang mendukung mimpi yang ada.
Aktivitas utamanya adalah menciptakan proposisi yang provokatif
(provocative propositions) secara kolaboratif.
e. Destiny. Tujuannya adalah menguatkan kapasitas dukungan terhadap
keseluruhan

masyarakat

menciptakan

proses

Tahapan

memberdayakan

ini

untuk

belajar,

membangun

menyesuaikan
setiap

harapan,

dan

anggota

dan

berimprovisasi.

untuk

melakukan

tindakan-tindakan yang dapat dilakukan untuk mencapai mimpi atau


visi masa depan masyarakat.

BAPEDA KOTA DEPOK

67

Kajian Perencanaan Partisipatif

2.8.3. Mengapa Appreciative Inquiry Berhasil?


Appreciative

Inquiry

dapat

berjalan

karena

pendekatan

ini

memperlakukan manusia sebagai manusia, dan bukan sebagai kumpulan


angka (misalnya sebagai persentasi jumlah orang miskin) dan bukan pula
sebagai kumpulan pembuat masalah. Manusia

menjalin hubungan

dengan orang lain dan menciptakan identitas dan pengetahuannya dalam


kesalinghubungan dengan orang lain. Manusia memiliki rasa ingin tahu,
suka

menceritakan

dan

mendengarkan

berbagai

kisah.

Manusia

menyampaikan berbagai nilai, kepercayaan, dan kearifannya lewat kisahkisah yang dituturkan. Manusia suka belajar dan menggunakan apa yang
dipelajari untuk meraih yang terbaik. Dan manusia merasa senang ketika
melakukan sesuatu dengan baik di hadapan orang-orang yang disayangi
dan dihormati.
Appreciative Inquiry memungkinkan para pemimpin untuk menciptakan
berbagai
organisasi manusia yang alami yakni sarat-pengetahuan, berbasiskelebihan, serta mampu melakukan pembelajaran organisasi secara
adaptif (Whitney, D & Trosten-Bloom, A. 2003). Hasil wawancara yang
dilakukan oleh Whitney dan Tristen-Bloom (2003) menunjukkan bahwa
Appreciative Inquiry dapat berhasil karena:
a. Appreciative Inquiry membangun hubungan yang memungkinkan
orang untuk dikenal karena hubungannya dengan orang lain, daripada
karena peran yang dibawakannya.
b. Appreciative Inquiry menciptakan kesempatan bagi setiap orang
untuk didengarkan.
c. Appreciative Inquiry memberikan kesempatan bagi setiap orang untuk
bermimpi dan berbagi impian.
d. Appreciative Inquiry menciptakan lingkungan tempat setiap orang
dapat memilih cara dalam memberikan kontribusi.
e. Appreciative Inquiry memberikan keleluasaan dan dukungan untuk
bertindak.

BAPEDA KOTA DEPOK

68

Kajian Perencanaan Partisipatif

f. Appreciative Inquiry mendorong dan memungkinkan orang bersikap


positif.
2.8.4. Kajian dan Pendekatan secara Apresiatif (KPA)
Dengan menggunakan pendekatan Appreciative Inquiry,

Pusat Kajian

Bina Swadaya (2007) memperkenalkan Model Kajian dan Pendekatan


secara Apresiatif (KPA). Ini merupakan proses mengkaji bersama yang
dilandasi oleh sikap mental berpikir positif dan terbukti sangat efektif
untuk melakukan perubahan dan transformasi secara positif, baik dalam
organisasi, lingkungan, maupun komunitas.
Pendekatan ini berbeda dengan pendekatan yang telah dikenal selama ini
yaitu pendekatan hadap masalah (problem posing) atau penyelesaian
masalah (problem solving) dimana fokus perhatian dari pendampingan
adalah membantu rakyat mengatasi masalah yang mereka hadapi. Upaya
penyelesaian masalah ini diawali dengan identifikasi masalah yang diikuti
dengan analisa dan perumusan rencana tindakan untuk mengatasi
masalah. Tabel berikut menjelaskan perbedaan antara pendekatan
pemecahan masalah dengan PKA.
Tabel 10.

Perbedaan Pendekatan Problem Solving dengan KPA

Problem Solving

KPA

Menemukan masalah apa yang


dihadapi rakyat

Menemukan apa yang baik dan


positif dari rakyat

Menganalisis masalah untuk


menemukan akar masalah

Merumuskan apa yang ingin


diwujudkan rakyat ke depan

Merancang langkah-langkah untuk


menjawab akar masalah

Merancang langkah-langkah untuk


mewujudkan keinginan / harapan
rakyat

Melaksanakan kegiatan yang sesuai

Mewujudkan keinginan / harapan


dengan mendampingi rakyat
melaksanakan kegiatan yang sesuai.

Sumber : Puska Bina Swadaya (2007).


BAPEDA KOTA DEPOK

69

Kajian Perencanaan Partisipatif

Dalam pemberdayaan masyarakat, penerapan KPA dilakukan melalui


tahapan mendefinisikan (define), menemukan (discover), mengimpikan
(dream), merancang (design), dan mewujudkan (deliver).
Mendefinisikan (define). Tahap mendefinisikan berkaitan erat dengan
prinsip-prinsip.

Tahap

ini

diawali

dengan

penentuan

kelompok,

bagaimana kelompok didefinisikan (berdasarkan geografis, kesamaan


kepentingan, dll). Dalam tahap ini adalah penting

untuk membangun

pemahaman dan kesadaran terhadap pendekatan KPA bagi setiap


anggota kelompok (kondisi pembelajaran yang diinginkan adalah: setiap
orang

aktif

untuk

belajar

dan

berkontribusi,

saling

menghormati

perbedaan, penerimaan, kepercayaan, keterbukaan). Kelompok akan


bekerja sesuai dengan tujuan dan arah yang telah ditetapkan
Menemukan (discover). Pada tahap menemukan ini, setiap orang diberi
kesempatan

untuk

membagikan

(sharing)

pengalaman-pengalaman

terbaik yang pernah dicapai dan kapan terjadi, keunggulan-keunggulan


dan prestasi-prestasi kelompok, dan sumber sumber kekuatan mereka.
Mengimpikan (dream). Kelompok mendiskusikan apa yang ingin mereka
wujudkan.

Masyarakat dapat mengubah situasi yang dihadapi dengan

mengimajinasikan

situasi

yang

lebih

baik,

yaitu

sesuatu

yang

menggetarkan, suatu proses idealisasi. Kebutuhan imajinasi dan daya


kreasi sangat penting ditumbuhkan pada tahap ini.
Merancang (design). Fokus tahap rancangan adalah menentukan apa
yang akan dilakukan. Tahap ini dapat disebut suatu konstruksi dari
bangun sosial yang akan diciptakan. Kelompok menyusun strategi dan
langkah-langkah untuk mewujudkan tujuan jangka pendek dan panjang.

BAPEDA KOTA DEPOK

70

Kajian Perencanaan Partisipatif

Mewujudkan (deliver). Pada tahap ini kelompok merealisiasikan rencana


aksi. Kelompok memobilisasi sumberdaya, mengembangkan hubunganhubungan

baru,

memperoleh

ketrampilan-ketrampilan

mengimplementasikan rencana aksi mereka.

BAPEDA KOTA DEPOK

71

baru

dan

Kajian Perencanaan Partisipatif

3.1. Visi Pembangunan Daerah


Analisis kondisi umum daerah saat ini dan prediksi kondisi umum ke
depan mengemukakan hal-hal berikut :
1. Kondisi geomorfologi dan lingkungan hidup Kota Depok saat ini sudah
mengalami tekanan yang sangat berat akibat pertumbuhan penduduk
dan persaingan untuk mendapatkan sumberdaya lahan, sumber daya
air dan sumber daya lainnya. Diprediksikan dimasa depan tekanan
terhadap lingkungan hidup akan semakin berat, sejalan dengan
meningkatnya jumlah penduduk Kota Depok.
2. Kondisi

demografi

Kota

Depok

saat

ini

dihadapkan

permasalahan kepadatan penduduk, jumlah angkatan kerja,

dengan
jumlah

pencari kerja dan sebagainya. Prediksi kondisi demografi dimasa


mendatang mengindikasikan adanya peningkatan intensitas terhadap
permasalahan-permasalahan demografis tersebut.
3. Kondisi ekonomi dan sumber daya alam Kota Depok saat ini sudah
mengarah pada struktur ekonomi tertentu, yaitu struktur ekonomi
modern yang bertumpu pada sektor tersier dan didukung sektor
Sekunder.

Dimasa

depan

diprediksikan

bahwa

tumpuan

ekonomi Kota Depok akan bertumpu ke sektor tersier.

BAPEDA KOTA DEPOK

72

utama

Kajian Perencanaan Partisipatif

4. Kondisi sosial budaya Kota Depok saat ini sudah mengarah pada
budaya metropolis yang multi etnis dan dengan latarbelakang
beragam tingkat intelektualitas. Dimasa depan, kondisi sosial budaya
yang ada akan terus berkembang mengikuti perkembangan zaman.
5. Kondisi sarana dan prasarana Kota Depok saat ini cukup baik dalam
segi kualitas, walaupun masih kurang dalam segi rasio kuantitas per
penduduk, terutama rasio rumah sakit umum per penduduk. Di masa
depan diprediksikan rasio jumlah sarana dan prasarana per penduduk
di Kota Depok

akan

semakin

kecil akibat tidak sebandingnya

pertumbuhan jumlah penduduk dengan pertumbuhan jumlah sarana


dan prasarana.
6. Kondisi pemerintahan Kota Depok saat ini semakin dituntut untuk
meningkatkan kinerja pelayanan yang berkualitas.

Diprediksikan

dimasa depan tuntutan terhadap kinerja pemerintahan akan semakin


tinggi dengan kinerja pelayanan yang diharapkan adalah pelayanan
prima.
Berdasarkan kondisi diatas, tantangan dan prediksi yang akan dihadapi
dalam 20 tahun mendatang serta dengan mempertimbangkan modal
dasar berupa Sumber Daya Manusia, Sumber Daya Sosial, Budaya dan
Ekonomi yang dimiliki, maka Visi Pembangunan Kota Depok

tahun

2006-2025 adalah :

DEPOK

KOTA

NIAGA

DAN

JASA,

YANG

RELIGIUS

DAN

BERWAWASAN LINGKUNGAN
Visi

pembangunan

Kota

Depok

tahun

2006-2025

ini

merupakan

komitmen politis yang mengarah pada pencapaian tujuan nasional seperti


tertuang dalam pembukaan UUD Negara Republik Indonesia dan tujuan
pembangunan Provinsi Jawa Barat yang menetapkan Kota Depok sebagai

BAPEDA KOTA DEPOK

73

Kajian Perencanaan Partisipatif

Pusat Kegiatan Nasional (PKN) dan salah satu kawasan andalan/kegiatan


utama berupa Jasa dan Sumberdaya Manusia. Sebagai gambaran
kualitatif, Visi Kota Depok mengandung makna sebagai berikut :
a.

Kota Niaga dan Jasa


Terwujudnya Kota Depok sebagai kota yang menjamin akses dan
mobilitas kegiatan niaga dan jasa yang kompetitif, yang didukung
oleh basis pendidikan dan potensi lokal.

b.

Kota Religius
Terwujudnya

masyarakat

Depok

yang

menjalankan

kewajiban

agama bagi masing-masing pemeluknya, yang tercermin dalam


peningkatan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta
kemulian dalam akhlak, moral dan etika.
c.

Kota Berwawasan Lingkungan


Terwujudnya Depok sebagai kota yang memanfaatkan sumber daya
alam

secara

optimal

dengan

mengindahkan

kelestarian

dan

kelangsungannya untuk generasi yang akan datang, yang tercermin


dalam pemanfaatan ruang yang serasi antara untuk permukiman,
kegiatan

sosial

ekonomi

dan

upaya

konservasi,

perbaikan

pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup, peningkatan


kenyamanan

kota,

serta

terpelihara

dan

termanfaatkannya

keanekaragaman hayati sebagai modal dasar pembangunan.


Dari

penjelasan

diatas,

Visi

Kota

Depok

mengarahkan

kepada

masyarakat dan Pemerintah Daerah Kota Depok untuk fokus kepada


bidang-bidang ekonomi yang menjadi tumpuan utama Kota Depok saat
ini

dan

dimasa

mendatang,

dengan

memperhatikan

kenyamanan

lingkungan, kenyamanan mencari penghidupan, kenyamanan dalam


memperoleh

pendidikan,

kenyamanan

melaksanakan

kegiatan

keagamaan, kenyamanan menggunakan sarana dan prasarana umum,

BAPEDA KOTA DEPOK

74

Kajian Perencanaan Partisipatif

serta

kenyamanan

dalam

memperoleh

pelayanan

dari

pemerintah

daerah.

3.2

Misi Pembangunan Daerah.

Dalam mewujudkan visi pembangunan daerah diatas, maka ditempuh


melalui 5 (lima) misi pembangunan daerah sebagai berikut :
1.

Mengelola perekonomian daerah secara fokus, efisien dan efektif,


dengan

mengutamakan

perhatian

kepada

sektor-sektor

yang

memberikan nilai tambah dan pertumbuhan tertinggi.


2.

Memanfaatkan dan mengelola secara optimal seluruh potensi letak


geografis sesuai dengan daya dukung lingkungan.

3.

Membangun sumberdaya manusia yang berdaya saing di lingkungan


nasional dan internasional melalui peningkatan kualitas pendidikan,
yang dilandasi oleh nilai-nilai keagamaan, hukum dan sosial budaya.

4.

Menyediakan sarana dan prasarana kota dalam jumlah dan kualitas


yang memadai dan diselaraskan dengan Rencana Tata Ruang.

5.

Menata

sistem

pemerintahan

yang

profesional,

baik,

bersih,

transparan, demokratis, dan bertanggung jawab.

3.3. Kebijakan Umum


Mengeloa perekonomian daerah secara fokus, efisien dan efektif
dengan mengutamakan perhatian kepada sektor-sektor yang
memberikan nilai tambah dan pertumbuhan yang tinggi.
1.

Pembangunan perekonomian diarahkan dalam rangka penguatan


pereknomian lokal serta berorientasi dan berdaya saing regional dan

BAPEDA KOTA DEPOK

75

Kajian Perencanaan Partisipatif

global. Dalam kaitan ini, sektor sekunder dan tersier merupakan


unggulan

atau

motor

penggerak

yang

perlu

mendapat

fokus

perhatian, yang didukung oleh sektor primer unggulan.


2.

Perekonomian dikembnagkan dalam rangka perluasan kesempatan


berusaha dan bekerja bagi seluruh masyarakat dan mendorong
tercapaianya penanggulangan kemiskinan

3.

Peningkatan daya saing usaha kecil dan menengah (UKM) sehingga


menjadi bagian integral dari keseluruhan kegiatan ekonomi daerah.

4.

Peningkatan investasi daerah dengan mewujudkan iklim investasi


yang menarik, dan meningkatkan kapasitas infrastruktur fisik dan
pendukung yang memadai.

5.

Peningkatan peran pemerintah daerah sebagai fasilitator, regulator


dan katalisator pembangunan ekonomi yang efisien dan efektif
terutama dalam pelayanan publik, penciptaan lingkungan usaha yang
kondusif dan terjaganya keberlangsungan mekanisme pasar.

Memanfaatkan

dan

mengelola

secara

optimal

potensi

letak

geografis sesuai dengan daya dukung lingkugan.


1.

Memanfaatkan letak geografis yang berdekatan dengan ibukota


negara sebagai pasar produk ekonomi yang terbuka luas, serta
peluang berusaha/ekonomi sebagai limpahan kegiatan ekonomi
ibukota.

2.

Menangkap peluang sebagai bagian dari Pusat Kegiatan Nasional


(PKN),

yaitu

internasional,
transportasi

sebagai
sabagai

dengan

pintu
pusat

sekala

gerbang
jasa,

ke

pusat

pelayanan

kawasan-kawasan

pengolahan,

nasional

atau

simpul

beberapa

propinsi.
3.

Pemanfaatan sumberdaya alam dan kegiatan ekonomi diarahkan


untuk mengelola dan memanfaatkan sumberdaya secara rasional,

BAPEDA KOTA DEPOK

76

Kajian Perencanaan Partisipatif

optimal

dan

bertanggungjawab,

yaitu

dengan

menjaga

dan

melestarikan sumberdaya alam, khususnya sumberdaya air dan


mencegah terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan.
Membangun
lingkungan

sumberdaya
nasional

dan

manusia

yang

internasional

berdaya
melalui

saing

di

peningkatan

kualitas pendidikan, yang dilandasi oleh nilai-nilai keagaman,


hukum dan sosial budaya.
1.

Pembangunan sumberdaya manusia yang berdaya saing diarahkan


untuk menciptakan sumberdaya manusia yang berkualitas melalui
pembangunan pendidikan, kesehatan dan agama yang bermutu,
pengendalian

jumlah

dan

laju

pertumbuhan

penduduk,

pemberdayaan perempuan dan anak serta pemuda.


2.

Pembangunan pendidikan diarahkan untuk mewujudkan masyarakat


yang berharkat, berakhlak mulia, disesuaikan dengan pembangunan
sosial ekonomi masa depan dan perkembangan iptek sehingga bisa
besaing dalam era global.

3.

Pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan kesadaran


dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang guna mendapatkan
kesehatan

yang

setinggi-tingginya

sebagai

prasyarat

dalam

mewujudkan produktivitas dan kemampuan daya saing. Penekanan


diberikan pada peningkatan perilaku dan kemandirian masyarakat
serta upaya promotif dan preventif.
4.

Pembangunan agama diarahkan untuk memantapkan fungsi dan


peran

agama

sebagai

landasan

moral

pembangunan, membina akhlak mulia,

dan

memupuk

etika

dalam

etos kerja,

menghargai prestasi, dan menjadi kekuatan pendorong guna


mencapai kemajuan dalam pembangunan spiritual.

BAPEDA KOTA DEPOK

77

Kajian Perencanaan Partisipatif

5.

Pengembangan

budaya

diarahkan

untuk

mewujudkan

budaya

kreatif, inovatif dan produktif yang berorientasi iptek sehingga


mampu bersaing secara regional maupun global. Selain itu juga
penting diiringi dengan pembangunan kesenian, kebudayaan dan
pembentukan karakter bangsa dan sistem sosial yang berakar,
unik, modern dan unggul, sehingga tercipta keseimbangan material
dan emosional.
6.

Pembangunan

hukum

terutama

diarahkan

untuk

mewujudkan

masyarakat yang berkesadaran dan berbudaya hukum tinggi,


menciptakan kehidupan masyarakat yang adil dan demokratis, serta
penyusunan

produk hukum yang dinamis dengan memperhatikan

pengaruh globalisasi.
Menyediakan sarana dan prasarana kota dalam jumlah dan
kualitas yang memadai dan diselaraskan dengan Rencana Tata
Ruang dan Wilayah.
1.

Pembangunan sarana dan prasarana diarahkan untuk pembangunan


sektor transportasi, pendidikan, kesehatan, perdagangan, sumber
daya

air,

permukiman,

energi

dan

kelistrikan

serta

sarana/prasarana pemerintahan.
2.

Pembangunan transportasi diarahkan untuk mendudkung kegiatan


ekonomi, sosial dan budaya serta lingkungan, dikembangkan
melalui

pendekatan

pengembangan

wilayah

agar

tercapai

keseimbangan dan pemerataan pembangunan antar wilayah, dan


pembentukan

struktur

ruang.

Untuk

itu,

perlu

dilakukan

peningkatan efisiensi dan aksesibilitas pergerakan lalu lintas jalan


(melalui peningkatan manajemen transportasi, pembangunan jalan
dan terminal dan lain-lain), integrasi berbagai moda angkutan,
peningkatan pelayanan angkutan umum, peningkatan ketertiban

BAPEDA KOTA DEPOK

78

Kajian Perencanaan Partisipatif

dan keselamatan lalu lintas, rencana pembangunan jalan dan


terminal layanan lokal dan nasional.
3.

Pembangunan sarana dan prasarana pendidikan dan kesehatan


diarahkan untuk memenuhi pelayanan pendidikan dan kesehatan
yang

bermutu,

dengan

mengarahkan

terwujudnya

kawasan

pendidikan terpadu dan layanan kesehatan tingkat nasional.


4.

Pembangunan sarana dan prasarana perdagangan diarahkan untuk


mewujudkan

pelayanan

perdagangan

yang

berkualitas

yang

memiliki jangkauan pelayanan sub kota dan wilayah kota.


5.

Pembangunan sarana dan prasarana sumberdaya air ditunjukan


untuk mewujudkan fungsi air sebagai sumberdaya sosial dan
ekonomi sehingga dapat menjamin kebutuhan pokok hiidup dan
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, pengembangan
sistem

drainase

yang

baik,

antara

lain

melalui

partisipasi

masyarakat dan kemitraan diantara pemangku kepentingan.


6.

Pembangunan sarana dan prasarana pemukiman diarahkan untuk


penyelenggaraan pembangunan perumahan yang berkelanjutan,
memadai, layak, dan terjangkau oleh daya beli masyarakat.

7.

Pengembangan

sarana

dan

prasarana

energi

dan

kelistrikan

diarahkan untuk pengembangan jaringan transmisi dan distribusi


tenaga listrik untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, pemerataan
pelayanan penerangan jalan umum, dan kegiatan ekonomi.
8.

Pembangunan sarana dan prasarana pemerintahan diarahkan untuk


mendukung terwujudnya pelayanan prima kepada masyarakat.

Menata sistem pemerintahan yang profesional, baik, bersih,


transparan, demokratis dan bertanggungjawab.
1.

Penataan

sistem

meningkatkan

BAPEDA KOTA DEPOK

pemerintahan
kualitas

daerah

diarahkan

penyelenggaraaan

79

untuk

administrasi

Kajian Perencanaan Partisipatif

pemerintahan, meningkatkan pelayanan dalam rangka keberdayaan


masyarakat dalam pembangunan, dan mengurangi serta mencegah
penyalahgunaan kewenangan.
2.

Peningkatan kualitas penyelenggaraan administrasi pemerintahan


diarahkan

untuk

mengefektifkan

fungsi-fungsi

kelembagaan

pemerintah, meningkatkan efektifitas dan efisiensi ketatalaksanaan


dan prosedur pelayanan, menata dan meningkatkan kapasitas
sumberdaya aparatur agar lebih profesional dan berorentasi kepada
pelayanan.
3.

Peningkatan

pelayanan

kepada

masyarakat

diarahkan

untuk

meningkatkan pelayanan dasar/umum dan pelayanan unggulan,


serta peningkatan transparansi, peningkatan akses dan sebaran
informasi.

BAPEDA KOTA DEPOK

80

Kajian Perencanaan Partisipatif

Terdapat beberapa faktor pendorong mengapa perencanaan partisipatif


menjadi wacana penting dan merupakan agenda reformasi di banyak
daerah.
Pertama, secara paradigmatik diyakini bahwa perencanaan partisipatif
adalah bentuk kongkret dari pelaksanaan desentralisasi administrasi
pemerintahan
Perencanaan

dan
dan

prinsip-prinsip
penganggaran

tata

pemerintahan

partisipatif

adalah

yang

baik.

bentuk

nyata

penerapan prinsip demokrasi dalam alokasi sumberdaya publik.


Kedua, munculnya dukungan kerangka hukum yang memberikan peluang
bagi daerah untuk mengatur urusan daerahnya, termasuk di dalamnya
urusan perencanaan dan pengalokasian anggaran. Inisiatif reformasi
kebijakan

perencanaan

dan

penganggaran

daerah

muncul

sejak

ditetapkannya UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999.


Inisiatif tersebut kemudian menguat bersamaan dengan lahirnya UU No.
17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 25 tahun 2004 tentang
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, UU No. 32 tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, dan UU No. 33 tahun 2004 tentang
Perimbangan

Keuangan

antara

Pemerintah

Pusat

dan

Pemerintah

Pemerintah Daerah.
Keseluruhan peraturan tersebut memberikan peluang bagi pemerintah
daerah untuk menerapkan proses perencanaan dan penganggaran

BAPEDA KOTA DEPOK

81

Kajian Perencanaan Partisipatif

partisipatif, penyusunan anggaran berbasis kinerja, alokasi anggaran


yang pro terhadap kepentingan orang miskin (pro-poor) dan responsif
gender (gender budget responsiveness).
Disamping itu, amandemen UUD 1945 telah memasukan aspek hak asasi
manusia (HAM), dimana setiap warga negara memiliki sejumlah hak.
Negara, dalam hal hal ini pemerintah, memiliki kewajiban untuk
menfasilitasi agar hak-hak warga negara itu bisa terpenuhi. Dalam
berbagai kegiatan pembangunan di berbagai tempat di Indonesia, aspek
landasan konstitusional ini, yang seharusnya menjadi landasan moral dan
menginspirasi berbagai pihak, terutama pihak pengelola negara, justru
kerap kali dilupakan. Dalam UUD 1945 inilah tersirat semangat para
pendiri republik ini untuk mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia.

4.1. Undang-Undang Dasar 1945


Jika menggunakan definisi pembangunan sebagai proses pemenuhan
hak-hak warga negara, maka UUD 1945 hasil empat kali amandemen
secara tegas merinci hak-hak warga negara yang menjadi kewajiban
negara dalam hal ini pemerintah untuk menfasilitasi agar hak-hak itu bisa
terpenuhi.
Tabel 11. Hak-Hak Warga Negara berdasarkan UUD 1945

Pasal
Pasal 27 ayat 2
Pasal 27 ayat 3
Pasal 28A
Pasal 28B ayat 1
Pasal 28B ayat 2

Jenis hak
Tiap tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan
Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya
pembelaan negara
Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan
hidup dan kehidupannya
Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan
keturunan melalui perkawinan yang sah
Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan
berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi

BAPEDA KOTA DEPOK

82

Kajian Perencanaan Partisipatif

Pasal 28C ayat 1

Pasal 28C ayat 2


Pasal 28D ayat 1
Pasal 28D ayat 2
Pasal 28D ayat 3
Pasal 28E ayat 1

Pasal 28E ayat 2


Pasal 28E ayat 3
Pasal 28F

Pasal 28G ayat 1

Pasal 28G ayat 2


Pasal 28H ayat 1
Pasal 28H ayat 2
Pasal 28H ayat 3

Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan


kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh
manfaat dari ilmu
pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan
kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.
Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam
memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun
masyarakat, bangsa dan negaranya
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan
hukum
Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan
perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja
Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama
dalam pemerintahan
Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut
agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan,
memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal diwilayah negara
dan meninggalkannya, serta berhak kembali
Setiap orang atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan
pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan
mengeluarkan pendapat.
Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi
untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta
berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,
mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan
segala jenis saluran yang tersedia.
Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga,
kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah
kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari
ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang
merupakan hak asasi.
Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan
yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak
memperoleh suaka politik dari negara lain.
Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat
tinggal, dan medapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta
berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
Setiap orang mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk
memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai
persamaan dan keadilan.
Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan
pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang
bermartabat.

BAPEDA KOTA DEPOK

83

Kajian Perencanaan Partisipatif

Pasal 28H ayat 4


Pasal 28I ayat 1

Pasal 28I ayat 2


Pasal 28I ayat 3
Pasal 28I ayat 4
Pasal 28I ayat 5

Pasal 30 ayat 1
Pasal 31 ayat 1
Pasal 34 ayat 1

Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik
tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenangwenang oleh siapa
pun.
Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran
dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak
untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak
dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi
manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.
Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif
atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap
perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras
dengan perkembangan zaman dan peradaban
Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi
manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.
Untuk menegakan dan melindungi hak assi manusia sesuai dengan
prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak
asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan
perundanganundangan.
Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha
pertahanan dan keamanan negara.
Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan
Fakir miskin dan anak anak terlantar dipelihara oleh negara.

Tabel 12.
Kewajiban Warga Negara Menurut UUD 1945

Pasal 27 ayat 3
Pasal 28J ayat 1
Pasal 28J ayat 2

Pasal 30 ayat1
Pasal 31 ayat 2

Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya
pembelaan negara
Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam
tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk
kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan
maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan
atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil
sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha
pertahanan dan keamanan negara.
Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah
wajib membiayainya.

BAPEDA KOTA DEPOK

84

Kajian Perencanaan Partisipatif

Tabel 13.
Tugas, Tanggung Jawab, dan Kewajiban Negara / Pemerintah

Pasal 29 ayat 2
Pasal 31 ayat 3

Pasal 31 ayat 4

Pasal 31 ayat 5
Pasal 31 ayat 1
Pasal 31 ayat 2
Pasal 34 ayat 2
Pasal 34 ayat 3
Pasal 31 ayat 2

Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk


agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu.
Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem
pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan
serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
yang diatur dengan undang-undang.
Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya
dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta
dari aggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi
kebutuhanpenyelenggaraan pendidikan nasional.
Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan tekhnologi dengan
menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk
kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah
peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam
memelihara dalam mengembangkan nilainilai budayanya.
Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai
kekayaan budaya nasional.
Negara mengembangkan sistim jaminan sosial bagi seluruah rakyat
dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai
dengan martabat kemanusiaan.
Negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan
kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah
wajib membiayainya.

Baik dari segi proses maupun output sebuah perencanaan, landasan


konstitusional itu nampaknya harus selalu dijadikan acuan utama, karena
itulah

aturan

main

dan

kesepakatan

kita

dalam

berbangsa

dan

bernegara.

4.2. Undang-Undang No.25 Tahun 2004


Berdasarkan Undang-Undang

No. 25 Tahun

2004 tentang Sistem

Perencanaan Nasional, setiap Kota / Kabupaten perlu memiliki dokumen


rencana yaitu:

BAPEDA KOTA DEPOK

85

Kajian Perencanaan Partisipatif

1. Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP)


2. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM)
3. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Satuan Kerja Perangkat
Daerah, yang selanjutnya disebut Renstra-SKPD.
4. Rencana Pembangunan Tahunan Daerah, yang selanjutnya disebut
Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD).
5. Rencana Pembangunan Tahunan Satuan Kerja Perangkat Daerah,
yang selanjutnya disebut Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat
Daerah (Renja-SKPD).
4.2.1. Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Daerah

RPJP Daerah adalah dokumen perencanaan untuk periode 20 (dua


puluh) tahun.

RPJP Daerah memuat visi, misi, dan arah pembangunan Daerah yang
mengacu pada RPJP Nasional (Pasal 5 ayat 1)

Kepala Bappeda menyiapkan rancangan RPJP Daerah. (Pasal 10 ayat


2).

Musrenbang diselenggarakan dalam rangka menyusun RPJP dan


diikuti

oleh

unsur-unsur

penyelenggara

Negara

dengan

mengikutsertakan masyarakat (Pasal 11 ayat 1).

Kepala Bappeda menyelenggarakan Musrenbang Jangka Panjang


Daerah (Pasal 11 ayat 3).

Kepala Bappeda menyusun rancangan akhir RPJP Daerah berdasarkan


hasil Musrenbang Jangka Panjang Daerah (Pasal 12 ayat 2)

RPJP Daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Pasal 13).

4.2.2. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Daerah.

RPJM Daerah adalah dokumen perencanaan untuk periode 5 (lima)


tahun.

BAPEDA KOTA DEPOK

86

Kajian Perencanaan Partisipatif

RPJM Daerah merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program


Kepala Daerah yang penyusunannya berpedoman pada RPJP Daerah
dan memperhatikan RPJM Nasional, memuat arah kebijakan keuangan
Daerah,

strategi

pembangunan

program

Satuan

Kerja

Perangkat

Daerah,

rencana-rencana

Perangkat

dan

kerja

Daerah,

program

dalam

kebijakan

Daerah,

lintas

kewilayahan

kerangka

regulasi

umum,
Satuan

disertai
dan

dan
Kerja

dengan
kerangka

pendanaan yang bersifat indikatif (Pasal 7 ayat 2).

Kepala Bappeda menyiapkan rancangan awal RPJM Daerah sebagai


penjabaran dari visi, misi, dan program Kepala Daerah ke dalam
strategi pembangunan Daerah, kebijakan umum, program prioritas
Kepala Daerah, dan arah kebijakan keuangan Daerah (Pasal 14 ayat
2).

Kepala

Bappeda

menyusun

rancangan

RPJM

Daerah

dengan

menggunakan rancangan Renstra-SKPD dan berpedoman pada RPJP


Daerah (Pasal 15 ayat 4).

Rancangan RPJM Daerah menjadi bahan bagi Musrenbang Jangka


Menengah. (Pasal 16 ayat 1)

Musrenbang

Jangka

Menengah

diselenggarakan

dalam

rangka

menyusun RPJM diikuti oleh unsur-unsur penyelenggara Negara dan


mengikutsertakan masyarakat (Pasal 16 ayat 2).

Kepala Bappeda menyelenggarakan Musrenbang Jangka Menengah


Daerah (Pasal 16 ayat 4).

Musrenbang Jangka Menengah Daerah dilaksanakan paling lambat 2


(dua) bulan setelah Kepala Daerah dilantik. (Pasal 17 ayat 2)

Kepala Bappeda menyusun rancangan akhir RPJM Daerah berdasarkan


hasil Musrenbang Jangka Menengah Daerah (Pasal 18 ayat 2)

RPJM Daerah ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah paling


lambat 3 (tiga) bulan setelah Kepala Daerah dilantik (Pasal 19 ayat
3).

BAPEDA KOTA DEPOK

87

Kajian Perencanaan Partisipatif

4.2.3. Rencana Kerja Tahunan Daerah, disebut Rencana Kerja


Pemerintah Daerah (RKPD).

RKPD adalah dokumen perencanaan Daerah untuk periode 1 (satu)


tahun.

RKPD merupakan penjabaran dari RPJM Daerah dan mengacu pada


RKP,

memuat

rancangan

kerangka

ekonomi

Daerah,

prioritas

pembangunan Daerah, rencana kerja, dan pendanaannya, baik yang


dilaksanakan langsung oleh pemerintah maupun yang ditempuh
dengan mendorong partisipasi masyarakat.

Kepala

Bappeda

menyiapkan

rancangan

awal

RKPD

sebagai

penjabaran dari RPJM Daerah (Pasal 20 ayat 2)

Kepala Bappeda mengkoordinasikan penyusunan rancangan RKPD


dengan menggunakan Renja-SKPD (Pasal 21 ayat 4)

Rancangan RKPD menjadi bahan bagi Musrenbang (Pasal 22 ayat 1).

Musrenbang dalam rangka penyusunan RKPD diikuti oleh unsur-unsur


penyelenggara pemerintahan (Pasal 22 ayat 2).

Kepala Bappeda menyelenggarakan Musrenbang penyusunan RKPD


(Pasal 22 ayat 4).

Musrenbang penyusunan RKPD dilaksanakan paling lambat bulan


Maret (Pasal 23 ayat 2).

Kepala Bappeda menyusun rancangan akhir RKPD berdasarkan hasil


Musrenbang (Pasal 24 ayat 2)

RKPD menjadi pedoman penyusunan RAPBD (Pasal 25 ayat 2).

RKPD ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah (Pasal 26 ayat 2).

4.2.4. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Satuan Kerja


Perangkat Daerah (Renstra-SKPD)

Renstra-SKPD adalah dokumen perencanaan Satuan Kerja Perangkat


Daerah untuk periode 5 (lima) tahun.

BAPEDA KOTA DEPOK

88

Kajian Perencanaan Partisipatif

Renstra-SKPD

memuat

visi,

misi,

tujuan,

strategi,

kebijakan,

program, dan kegiatan pembangunan yang disusun sesuai dengan


tugas dan fungsi Satuan Kerja Perangkat Daerah serta berpedoman
kepada RPJM Daerah dan bersifat indikatif (Pasal 7 ayat 1).

Kepala

Satuan

Kerja

Perangkat

Daerah

menyiapkan

rancangan

Renstra-SKPD sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya dengan


berpedoman pada rancangan awal RPJM Daerah (Pasal 15 ayat 3)

Renstra-SKPD ditetapkan dengan peraturan pimpinan Satuan Kerja


Perangkat Daerah setelah disesuaikan dengan RPJM Daerah (Pasal 19
ayat 4)

4.2.5. Rencana Pembangunan Rencana Pembangunan Tahunan


Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renja-SKPD)

Renja-SKPD adalah dokumen perencanaan Satuan Kerja Perangkat


Daerah untuk periode 1 (satu) tahun.

Renja-SKPD disusun dengan berpedoman kepada Renstra SKPD dan


mengacu kepada RKP, memuat kebijakan, program, dan kegiatan
pembangunan baik yang dilaksanakan langsung oleh Pemerintah
Daerah

maupun

yang

ditempuh

dengan

mendorong

partisipasi

masyarakat (Pasal 7 ayat 2).

Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah menyiapkan Renja-SKPD


sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya dengan mengacu kepada
rancangan awal RKPD dan berpedoman pada Renstra-SKPD (Pasal 21
ayat 3).

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan RPJP Daerah,


RPJM

Daerah,

Renstra-SKPD,

RKPD,

Renja-SKPD

dan

pelaksanaan

Musrenbang Daerah diatur dengan Peraturan Daerah (Pasal 27 ayat 2).


Dari berbagai ketentuan dalam pasal-pasal UU
keharusan

bagi

penyelenggara

negara

untuk

masyarakat dalam proses penyusunan rencana.

BAPEDA KOTA DEPOK

89

ini, nampak adanya


mengikutsertakan

Kajian Perencanaan Partisipatif

Dari ketentuan Pasal 27 ayat 2 ini dapat ditarik kesimpulan bahwa


kepada setiap Daerah diberikan keleluasaan untuk mengatur sendiri
tentang

tata

meskipun

cara

tidak

pengikutsertaan

ada

keharusan

masyarakat

bagi

mengikutsertakan masyarakat dalam

tersebut.

Pemerintah

Bahkan,

Daerah

untuk

proses Musrenbang penyusunan

RKPD (Pasal 22 ayat 2), dan dalam proses penyusunan Renstra-SKPD


dan

Renja-SKPD,

namun

jika

ada

kesepakatan

di

daerah

untuk

menciptakan proses yang lebih partisipatif, maka hal itu dapat dilakukan.

4.3. Surat Edaran Bersama Menteri Negara Perencanaan


Pembangunan Nasional / Kepala Bappenas Dan
Menteri Dalam Negeri
Sesuai dengan UU No. 25 Tahun 24 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional, perlu diterbitkan Peraturan Pemerintah tentang
Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan
Rencana Pembangunan Daerah. Namun karena PP tersebut belum ada,
maka sejak tahun 2005 dikeluarkan Surat Edaran Bersama (SEB) Menteri
Negara Perencanaan pembangunan Nasional / Kepala Bappenas dan
Menteri

Dalam

Negeri,

tentang

Petunjuk

Teknis

Penyelenggaraan

Musrenbang pada tahun yang bersangkutan.


Pada tahun 2005 diterbitkan Surat Edaran Bersama kedua Menteri
tersebut No: 0259/M.PPN/I/2005 050/166/SJ tanggal 20 Januari 2005
dan

pada

tahun

2007

diterbitkan

Surat

Edaran

Bersama

No:

0008/M.PPN/01/2007 050/264A/SJ tanggal 12 Januari 2007 tentang


Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Musrenbang Tahun 2007.
Jika mengacu pada pada SEB tersebut, pelaksanaan Musrenbang 2007
berkaitan

dengan

kewajiban

Pemerintah

Daerah

untuk

menyusun

rancangan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) tahun 2008 sebagai


BAPEDA KOTA DEPOK

90

Kajian Perencanaan Partisipatif

landasan penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah


(RAPBD) tahun 2008.
SEB itu mengatur waktu pelaksanaan Musrenbang Desa/kelurahan pada
bulan Januari,

Musrenbang Kecamatan pada bulan Pebruari dan

Musrenbang Kota pada bulan Maret.


Sistematika Pedoman itu adalah:
I.

Musrenbang Desa / Kelurahan Tahun 2007

II.

Musrenbang Kecamatan

III. Forum Satuan kerja Perangkat Daerah (Forum SKPD)


IV. Musrenbang Kota / Kabupaten
V.

Paska Musrenbang Kabupaten / Kota.

Masing-masing bagian itu, kecuali bagian V, berisi penjelasan yang rinci


dengan muatan materi sebagai berikut:
A. Pengertian
B. Tujuan
C. Masukan
D. Mekanisme
1. Tahap Persiapan
2. Tahap Pelaksanaan
E. Keluaran
F. Peserta
G. Narasumber
H. Tugas Tim Penyelenggara
I. Tugas Delegasi Desa / Kelurahan

BAPEDA KOTA DEPOK

91

Kajian Perencanaan Partisipatif

4.4. Surat Mendagri No: 414.2/2435/Sj (2005)


Surat Mendagri No: 414.2/2435/SJ tertanggal 21 September 2005
tentang Pedoman Umum Pengelolaan pembangunan Partisipatif. Surat
yang ditujukan kepada Gubernur, Ketua DPRD Provinsi, Bupati / Walikota
dan Ketua DPRD Kabupaten / Kota. Secara spesifik, Pedoman ini hanya
ditujukan untuk penguatan pengelolaan pembangunan partisipatif di desa
/ kelurahan dan kecamatan.
Semangat

dari

Pedoman

ini

adalah

ingin

menjadikan

paradigma

pemberdayaan dalam pengelolaan pembangunan. Secara terbuka diakui


bahwa: Pengelolaan pembangunan yang ada saat ini kurang bisa
menjawab tuntutan pemberdayaan. Hal ini dapat dilihat dari proses
perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian belum melibatkan peran
serta

masyarakat

secara

aktif,

sehingga

secara

sistem

belum

mencerminkan pembangunan partisipatif yang berbasis masyarakat.


Untuk dapat melaksanakan pembangunan yang partisipatif, Pedoman ini
juga

mensyaratkan:

Pada

tataran

pemerintah

perlu

ditambahkan

perilaku kepemerintahan yang jujur, terbuka, bertanggung jawab, dan


demokratis (good governance). Sedangkan pada tataran kemasyarakatan
dikembangkan mekanisme yang memberikan peluang partisipasi warga
masyarakat dalam proses pengambilan keputusan bagi kepentingan
bersama.
Tujuan dari Pedoman ini adalah:
1. Memberikan acuan terhadap para pemeran pembangunan dalam
rangka melakukan fasilitasi proses pembangunan partisipatif.
2. Meningkatkan kemampuan lembaga kemasyarakatan di

desa /

kelurahan dalam pengelolaan pembangunan partisipatif sesuai potensi


yang desa / kelurahan.
3. Membangun kemitraan melalui jejaring kerja lintas sektor terkait.

BAPEDA KOTA DEPOK

92

Kajian Perencanaan Partisipatif

4. Penguatan

kemampuan

masyarakatdalam

rangka

meningkatkan

pengetahuan, sikap, dan ketrampilan dalam melakukan pembangunan


partisipatif.
Pedoman ini menyarankan beberapa metode yang dapat digunakan
untuk

pengelolaan

pembangunan

partisipatif

yaitu:

(1)

Metode

Perencanaan Partisipatif Pembangunan Masyarakat Desa (P3MD), (2)


Metode Partisipatif dalam Identifikasi Kebutuhan melalui Pendekatan
Rapid Rural Appraisal (RRA), (3) Metode Partisipasi dalam perencanaan
Sosial Participatory Rural Appraisal (PRA), (4) Metoda Focus Group
Discusion (Kelompok Diskusi Terarah), dan (5) Metode ZOPP (Ziel
Oriented Project Planning).
Prinsip-prinsip pembangunan partisipatif yang dimuat dalam Pedoman ini
adalah:
1. Pemberdayaan (empowerment), yaitu upaya untuk mewujudkan
kemampuan

dan

kemandirian

masyarakat

dalam

kehidupan

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.


2. Keterbukaan

(transparancy),

yaitu

setiap

proses

dan

tahapan

perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian pembangunan secara


terbuka yang bisa diakses seluruh masyarakat.
3. Akuntabilitas (accountability), yaitu proses dan tahapan perencanaan,
pelaksanaan,

dan

dipertanggungjawabkan

pengendalian
secara

benar,

pembangunan
baik

kepada

dapat

pemerintah

maupun warga masyarakat.


4. Keberlanjutan

(sustainability),

yaitu

setiap

proses

dan

tahapan

perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian pembangunan harus


berjalan secara berkelanjutan.
5. Partisipasi

(participatory),

yaitu

keikutsertaan

dan

masyarakat secara aktif dalam proses pembangunan.

BAPEDA KOTA DEPOK

93

keterlibatan

Kajian Perencanaan Partisipatif

6. Efisien dan Efektif, yaitu pelaksanaan dan pemanfaatan kegiatan


sesuai dengan sumber daya alam yang tersedia dan pengelolaan
sesuai dengan perencanaan.
7. Aspirasi, yaitu pengelolaan kegiatan dilakukan dengan memperhatikan
aspirasi dan kebutuhannya.
Menurut

Pedoman

ini,

hasil

dan

manfaat

yang

diharapkan

dari

pengelolaan pembangunan yang partisipatif adalah:


1. Terwujudnya peningkatan partisipasi masyarakat dalam aktifitas
kajian

keadaan

dusun/rukun

warga

desa/kelurahan,pemilihan

tindakan untuk mengatasi masalah, perencanaan, pelaksanaan, dan


penggalian,

pemanfaatan

dan

pelestarian

serta

pengembangan

program menuju masyarakatyang madani,mandiri, dan sejahtera.


2. Terwujudnya peningkatan modal sosial, keberdayaan, manajemen
penguatan dukungan lembaga kemasyarakatan di desa / kelurahan.
3. Terwujudnya

peningkatan

produktivitas

ekonomi

dalambentuk

pengembangan usaha ekonomi masyarakat,perluasan kesempatan


kerja serta peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat
secara merata melalui pengembangan potensi lokal.
4. Terwujudnya penguatan lembaga kemasyarakatan di desa/kelurahan
sehingga berperan secara aktif dalam pengelolaan pembangunan
partisipatif.
5. Tumbuhnya kecamatan sebagai wilayah pengembangan.
6. Terwujudnya pengelolaan pembangunan yang partisipatif
7. Terwujudnya

proses

pembelajaran

bagi

masyarakatdan

aparat

pemerintah dalam pengambilan keputusan secara demokratis.

4.5. Keputusan Walikota Depok No: 02 Tahun 2004


Sebelum

diterbitkannya

Surat

Edaran

Bersama

Menteri

Negara

Perencanaan Pembangunan Nasional / Kepala Bappenas dan Menteri

BAPEDA KOTA DEPOK

94

Kajian Perencanaan Partisipatif

Dalam

Negeri

pada

Penyelenggaraan

tahun

2005

Musrenbang,

di

yang
tingkat

perencanaan partisipatif ditetapkan melalui


No:

02

Tahun

2004

tentang

Forum

mengatur
Kota

tentang

Depok,

Teknis

mekanisme

Keputusan Walikota Depok


Komunikasi

Perencanaan

Pembangunan (FKPP).
FKPP

adalah

media

untuk

dilaksanakan

secara

partisipatif,

pembangunan

guna

menampung
dengan

merumuskan

aspirasi

masyarakat

melibatkan

indikasi

para

prioritas

yang
pelaku

kegiatan

pembangunan daerah untuk satu tahun anggaran tertentu (Pasal 1 ayat


6).
FKPP dilaksanakan secara berjenjang dengan nama FKPP Kelurahan,
FKPP Kecamatan dan FKPP Kota (Pasal 3). Sedangkan pelaksanaan FKPP
dilakukan

melalui

tahapan-tahapan

kegiatan

meliputi:

Sosialisasi

Pembangunan, Pemantapan Perencanaan Partisipatif, FKPP Kelurahan,


FKPP Kecamatan, Diskusi Terfokus Bidang Kewenangan, Survey Teknis
Perencanaan,

Diskusi

Terfokus

Antar

Bidang

Kewenangan

Terkait,

Kompilasi dan Restrukturisasi Program, serta FKPP Kota (Pasal 5 ayat 1).
Tujuan

dari dibentuknya

FKPP

adalah

untuk:

(a) meningkatkan

partisipasi seluruh pelaku pembangunan, (b) meningkatkan kualitas


perencanaan pembangunan, (c) meningkatkan kualitas pembangunan
sesuai dengan kebutuhan masyarakat (Pasal 7). Sedangkan fungsi FKPP
adalah: (a) pengambilan keputusan dalam perencanaan pembangunan
yang melibatkan para pelaku pembangunan, dan (b) peningkatan
kualitas pengelolaan pembangunan (Pasal 8).
Keputusan Walikota ini juga mengatur penanggung jawab untuk masingmasing tahapan, yaitu: (a) Lurah untuk FKPP tingkat Kelurahan, (b)
Camat untuk FKPP tingkatKecamatan, dan (c) Walikota untuk FKPP
tingkat Kota (Pasal 9). Sedangkan penanggung jawab tahapan lainnya

BAPEDA KOTA DEPOK

95

Kajian Perencanaan Partisipatif

yang mendukung FKPP adalah: (a) Badan Perencanaan Pembangunan


Daerah untuk Sosialisasi

Pembangunan,

Pemantapan Perencanaan

Partisipatif, Survey Teknis Perencanaan, Diskusi Terfokus Antar Bidang


Kewenangan Terkait, Kompilasi dan Restrukturisasi Program, dan (b)
Kepala Unit Kerja Perangkat Darah untuk Diskusi Terfokus Bidang
Kewenangan.
Pada Lampiran Surat Keputusan Walikota ini dipaparkan mekanisme dari
setiap tahapan dan memuat: (1) tujuan, (2) pihak yang terlibat, (3)
materi, (4) mekanisme, serta (5) waktu dan tempat.

BAPEDA KOTA DEPOK

96

Kajian Perencanaan Partisipatif

Tolok ukur yang akan digunakan untuk melakukan penilaian evaluatif


terhadap proses perencanaan partisipatif di Kota Depok adalah: (a) tolok
ukur peraturan perundang-undangan untuk melihat seberapa taat proses
yang

terjadi

dikaitkan

dengan

aturan

yang

ada,

(b)

tolok

ukur

berdasarkan tipologi partisipasi untuk melihat pada level mana derajat


partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan di Kota Depok, dan (c)
tolok ukur pengembangan modal sosial untuk melihat sejauh mana
pelaksanaan

proses

perencanaan

partisipatif

dikaitkan

dengan

pengembangan modal sosial.

5.1. Tolok ukur peraturan perundangan dan juknis


(petunjuk teknis).
Tolok ukur peraturan perundang-undangan termasuk terhadap petunjuk
teknis yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat dimaksudkan untuk
mengetahui seberapa sesuai pelaksanaan proses perencanaan partisipatif
yang ada di Kota Depok sesuai dengan aturan atau petunjuk teknis yang
ada. Setidaknya terdapat tiga aturan yang ada, masing-masing sebuah
UU

yaitu

UU

No.25

tahun

2004

tentang

Sistem

Perencanaan

Pembangunan Nasional, sebuah Surat Edaran Bersama (SEB), yaitu SEB


Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional / Kepala Bappenas
dan Menteri Dalam Negeri tentang Petunjuk Teknis Penyelenggaraan
Musrenbang, serta Keputusan Walikota Depok No. 2 Tahun 2004 tentang
FKPP. Kategori evaluasinya adalah sesuai dan belum sesuai.
BAPEDA KOTA DEPOK

97

Kajian Perencanaan Partisipatif

5.2. Tolok ukur berdasarkan tipologi partisipasi


Tolok

ukur

tipologi

partisipasi

adalah

untuk

mengetahui

derajat

partisipasi dari proses perencanaan yang dilakukan di Kota Depok telah


berada pada jejang / tangga partisipassi yang mana. Tipologi yang
digunakan adalah tipologi partisipasi yang dikemukakan oleh Sherry
Arnstein (1969), seorang mantan birokrat. Pilihan terhadap tipologi
Arnstein ini adalah karena kesederhanaan konsepnya, sehingga relatif
mudah untuk dipahami, serta telah menggambarkan derajat partisipasi
yang ada dalam proses perencanaan di lingkungan pemerintahan.
Arnstein adalah penasehat utama tentang partisipasi

warga pada

Departemen pengembangan Perumahan dan Perkotaan Amerika Serikat,


ketika Presiden Amerika Lyndon Johnson memulai Program Kota Model
pada tahun 1966.

Dalam berbagai kepustakaan terakhir tentang

pengembangan partisipasi warga, seperti dalam buku Mewujudkan


partisipasi; 21 Teknik Partisipasi Masyarakat untuk Abad 21 terbitan The
British Council, tipologi Arsntein ini yang digunakan.

5.3. Tolok ukur pengembangan modal sosial


Tolok ukur kontribusi proses perencanaan terhadap pengembangan
modal

sosial

merupakan

langkah

awal

untuk

memasukan

aspek

pengembangan modal sosial dalam setiap proses pembangunan. Itu


artinya, setiap aktivitas yang dilakukan, terutama oleh pemerintah, dan
menggunakan dana publik, perlu mempertimbangkan aspek memupuk
modal sosial ini. Dalam banyak kasus, terdapat banyak kegiatan
pemerintah yang didanai oleh anggaran publik yang justru mengikis
modal sosial yang ada. Meskipun aspek modal sosial ini memiliki banyak
dimensi, namun aspek kepercayaan (saling percaya) merupakan faktor
yang paling menentukan dalam menentukan tinggi rendahnya modal
sosial. Artinya jika suatu kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah
BAPEDA KOTA DEPOK

98

Kajian Perencanaan Partisipatif

menambah kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dan sebalikya,


maka itu artinya kegiatan itu memberikan kontribusi positif pada
pembentukan modal sosial. Derajat kontribusi positif dapat bervariasi
dari rendah, sedang, dan tinggi.
mengurangi

kepercayaan

Sebaliknya jika kegiatan itu malah

masyarakat

kepada

pemerintah,

maka

kontribusi kegiatan itu pada pembentukan modal sosial bersifat negatif.


Sedangkan jika kegiatan itu tidak mengubah sama sekali kepercayaan
masyarakat kepada pemerintah, maka kontribusi kegiatan itu terhadap
pembentukan modal sosial bersifat netral. Pendekatan ini dimaksudkan
agar setiap perencana dan pelaksana kegiatan pembangunan di Kota
Depok ke depan,

perlu senantiasa mempertimbangkan aspek modal

sosial ini.

5.4. Tinjauan Evaluatif


Berdasarkan ketiga tolok ukur tersebut di atas, maka evaluasi terhadap
proses perencanaan di Kota Depok dapat dilihat pada Tabel
Tabel 14. Tinjauan Evaluatif Proses Perencanaan di Kota Depok
No.

Peraturan Perundang-undangan /
Kebijakan
I.
UU No.25 Tahun 2004 tentang
Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional
1. Penyusunan RPJP
Musrenbang Penyusunan RPJP
yang melibatkan masyarakat
(Pasal 11 ayat 1)

2. Penyusunan RPJM
Musrenbang Penyusunan RPJM
yang melibatkan masyarakat
(Pasal 16 ayat 2)

BAPEDA KOTA DEPOK

Pelaksanaan
di Kota Depok

Catatan Evaluatif

Pemerintah menyiapkan draft


RPJP dan dibahas dalam
lokakarya stakeholders.
Pendapat stakeholders hanya
dianggap sebagai masukan.

Sesuai dengan
aturan
Derajat partisipasi:
Konsultasi
Kontribusi pada
modal sosial: Positif
Rendah
Sesuai dengan
aturan
Derajat partisipasi:
Konsultasi
Kontribusi pada
modal sosial:
Positif Rendah

Pemerintah menyiapkan draft


RPJM dan dibahas dalam
lokakarya stakeholders.
Pendapat stakeholders hanya
dianggap sebagai masukan.

99

Kajian Perencanaan Partisipatif

3. Penyusunan RKPD
Musrenbang Penyusunan RKPD
hanya melibatkan unsur-unsur
penyelenggara pemerintahan
(Pasal 22 ayat 2)

Pemerintah kota menyiapkan


RKPD dan dibahas oleh
unsur-unsur pemerintah.

4. Penyusunan Renstra-SKPD
Tidak ada ketentuan pelibatan
masyarakat

Masing-masing SKPD telah


memiliki Renstra,
penyusunannya tanpa
keterlibatan masyarakat

5. Penyusunan Renja-SKPD
Tidak ada ketentuan pelibatan
masyarakat

Masing-masing SKPD
menyusun Renja-SKPD tanpa
melibatkan masyarakat

6. Perda tentang Tata Cara


Penyusunan RPJP Daerah, RPJM
Daerah, Renstra-SKPD, RKPD,
Renja-SKPD dan Pelaksanaan
Musrenbang Daerah (Pasal 27 ayat
2).
II.
Surat Edaran Bersama Menteri
Negara Perencanaan Pembangunan
Nasional dan Menteri Dalam Negeri
1. Musrenbang Kelurahan
Masukan dari Kelurahan
- Daftar prioritas masalah RW
dan kelompok-kelompok
masyarakat
- Daftar permasalahan kelurahan
seperti kerawanan, kemiskinan,
pengangguran
- Daftar masalah dan usulan
kegiatan prioritas kelurahan
- Dokumen Rencana
Pembangunan Jangka
Menengah kelurahan
- Hasil evaluasi kegiatan
pembangunan kelurahan tahun
sebelumnya

Belum ada Perda tentang Tata


Cara Penyusunan RPJP
Daerah, RPJM Daerah,
Renstra-SKPD, RKPD, RenjaSKPD dan Pelaksanaan
Musrenbang Daerah.

Masukan dari Kecamatan / Kota


- Hasil evaluasi pemerintah kota
dan kecamatan
- Informasi dari pemerintah Kota
tentang indikasi jumlah alokasi
BAPEDA KOTA DEPOK

Masukan dari kelurahan:


- Daftar prioritas dari RW
umumnya belum ada
- Belum ada dokumen
Rencana Pembangunan
Jangka menengah (RPJM)
Kelurahan
- Hasil evaluasi belum
dipaparkan

Masukan dari Kecamatan


- Pemberian informasi dari
kecamatan dan kota belum
dilaksanakan

100

Sesuai dengan
aturan
Derajat Partisipasi:
Menginformasikan
Kontribusi pada
modal sosial: Netral
Sesuai dengan
aturan
Derajat partisipasi:
Menginformasikan
Kontribusi pada
modal sosial: Netral
Sesuai dengan
aturan
Derajat partisipasi:
Menginformasikan
Kontribusi pada
modal sosial: Netral
Belum sesuai
dengan aturan

Kesesuaian dengan
Jukius : Belum
sepenuhnya sesuai
dengan Juknis
Derajat partisipasi:
Konsultasi
Kontribusi terhadap
modal sosial: Negatif
sampai Netral

Kajian Perencanaan Partisipatif

dana kelurahan
- Kegiatan prioritas
pembangunan daerah tahun
mendatang
Mekanisme
- Tahap Persiapan (penetapan
tim fasilitator musrenbang,
musyawarah di RW dan
kelompok-kelompok
masyarakat, pengumuman
terbuka dan pendaftaran)
- Tahap pelaksanaan
(pemaparan camat, pemaparan
lurah, pembahasan dan
penetapan prioritas kegiatan,
pemisahan kegiatan yang
diselesaikan di kelurahan dan
yang akan menjadi tanggung
jawab SKPD, penetapan
perwakilan ke musrenbang
kecamatan.
Keluaran
- Dokumen Rencana Kerja
Pembangunan Kelurahan (form
1.5) yang berisi prioritas
kegiatan pembangunan skala
desa (form 1.1. dan 1.2) dan
prioritas kegiatan yang akan
dilaksanakan melalui SKPD
(form 1.3)
- Berita Acara dan Daftar nama
delegasi ke musrenbang
kecamatan.
Peserta
Peserta adalah perwakilan
komponen masyarakat (individu
atau kelompok): ketua RT/RW,
tokoh agama, wakil kelompok
perempuan, wakil
kelompokpemuda, organisasi
masyarakat, pengusaha,
kelompok tani, komite sekolah dll.
2. Musrenbang Kecamatan
Masukan dari Kelurahan
- Dokumen Rencana Kerja
Pembangunan Tahunan dari
BAPEDA KOTA DEPOK

Mekanisme:
- Musrenbang di RW dan
kelompok masyarakat
belum dilaksanakan
- Pengumuman terbuka dan
pendaftaran terbuka belum
dilaksanakan

Keluaran:
- Sesuai dengan Juknis

Peserta:
- Belum sepenuhnya
mewakili kelompokkelompok yang ada di
kelurahan

Masukan dari kelurahan


- Dokumen RKPT dari
masing-masing kelurahan

101

Kesesuaian dengan
Jukius: Belum
sepenuhnya sesuai
dengan Juknis

Kajian Perencanaan Partisipatif

masing-masing kelurahan
- Daftar nama delegasi dari
kelurahan dan wakilkelompok
fungsional / organisasi sosial
kemasyarakatan, koperasi, LSM
yang bekerja di kecamatan.
Masukan dari Kecamatan / Kota
- Kegiatan prioritas
pembangunan daerah tahun
mendatang yang dirinci
berdasarkan SKPD
- Penjelasan nama dan jumlah
Forum SKPD dan Forum
Gabungan SKPD
Mekanisme
- Tahap Persiapan (penetapan
Tim Penyelenggara
Musrenbang Kecamatan,
pengumuman terbuka dan
pendaftaran)
- Tahap pelaksanaan
(pemaparan camat, pemaparan
kepala cabang SKPD setempat
atau pejabat SKPD Kota,
pemaparan Tim Penyelenggara
Musrenbang, Verifikasi dari
delegasi kelurahan,
kesepakatan kegiatan prioritas
pembangunan kecamatan
berdasarkan masing-masing
SKPD, penetapan perwakilan
ke Forum SKPD dan
Musrenbang Kota.
Keluaran
- Dokumen Rencana Kerja
Pembangunan Kecamatan yang
akan dibiayai oleh anggaran
kecamatan
- Daftarkegiatan prioritas yang
akan dilaksanakan melalui
SKPD
- Berita Acara dan Daftar nama
delegasi ke Forum SKPD dan
Musrenbang Kota.
Peserta
Peserta Musrenbang Kecamatan
BAPEDA KOTA DEPOK

tersedia / tidka tersedia

Masukan dari Kec. /Kota


- Prioritas kegiatan tahun
mendatang dari SKPD
tersedia / tidak tersedia

Mekanisme:
- Pengumuman terbuka 7
hari sebelumnya dan
pendaftaran terbuka belum
dilakukan.

Keluaran:

Peserta:
- Belum semua perwakilan

102

Derajat partisipasi:
Konsultasi
Kontribusi terhadap
modal sosial:
Netral sampai
Positif-Rendah

Kajian Perencanaan Partisipatif

adalah perwakilan dari kelurahan


dan dari kelompok-kelompok
masyarakat yang beroperasi
dalam skala kecamatan.
3. Forum SKPD
Masukan dari Provinsi dan
Kementerian Negara: informasi
kegiatan dan sumber
pendanannya dari APBN dan
APBD Provinsi.
Masukan dari Kota:
- Daftar kegiatan prioritas yang
bersumber dari Renstra SKPD
- Kegiatan prioritas
pembangunan / rancangan
RKPD (jika ada)
- Rancangan Renja SKPD
- Daftar individu /organisasi
masyarakat skalakota seperti
asosiasi profesi, LSM,
perguruan tinggi, serta ahli yang
berkaitan dengan SKPD yang
bersangkutan
Masukan dari Kecamatan:
- Daftar kegiatan prioritas
pembangunan hasil
Musrenbang Kecamatan
- Daftar delegasi kecamatan
Mekanisme
- Tahap Persiapan (penetapan
Tim Penyelenggara Forum
SKPD, pengumuman terbuka
dan pembukaan pendaftaran)
- Tahap pelaksanaan
(pemaparan oleh Kepala SKPD,
verifikasi kegiatan prioritas dari
kecamatan, menetapkan
kegiatan prioritas, menyusun
rekomendasi regulasi,
penetapan perwakilan Forum
SKPD ke Musrenbang Kota.
Keluaran
- Rancangan Renja-SKPD
- Kegiatan prioritas yang sudah
BAPEDA KOTA DEPOK

kelompok masyarakat di
kecamatan hadir

Masukan dari Provinsi dan


kementerian Negara:
- Di beberapa SKPD
dilaksanakan
Masukan dari Kota

Masukan dari kecamatan:


- Tersedia

Mekanisme:
- Pengumuman terbuka dan
pendaftaran tidak
dilakukan. Peserta datang
karena diundang.
- Rekomendasi regulasi
belum banyak dieksplorasi

Keluaran:
- Sesuai dengan Juknis

103

Kesesuaian dengan
Jukius: Belum
sepenuhnya sesuai
dengan Juknis
Derajat partisipasi:
Konsultasi
Kontribusi terhadap
modal sosial:
Netral sampai Positif
- Sedang

Kajian Perencanaan Partisipatif

dipilah berdasar sumber


pendanaan.
- Berita Acara dan Daftar nama
delegasi dari Forum SKPD ke
musrenbang Kota.
Peserta
Peserta adalah delegasi
kecamatan dan dari kelompokkelompok masyarakat yang
berkaitan dengan SKPD atau
gabungan SKPD.
4. Musrenbang Kota
Masukan dari Provinsi dan
Kementerian Negara: informasi
kegiatan dan sumber
pendanannya dari APBN dan
APBD Provinsi.
Masukan dari Kota:
- Daftar kegiatan prioritas yang
bersumber dari Renstra SKPD
- Kegiatan prioritas
pembangunan / rancangan
RKPD (jika ada)
- Rancangan Renja SKPD
- Daftar individu /organisasi
masyarakat skalakota seperti
asosiasi profesi, LSM,
perguruan tinggi, serta ahli yang
berkaitan dengan SKPD yang
bersangkutan
Masukan dari Kecamatan:
- Daftar kegiatan prioritas
pembangunan hasil
Musrenbang Kecamatan
- Daftar delegasi kecamatan
Mekanisme
- Tahap Persiapan (penetapan
Tim Penyelenggara
Musrenbang Kota,
pengumuman terbuka dan
pembukaan pendaftaran)
- Tahap pelaksanaan
(pemaparan Rancangan RKPD,
dan plafon anggaran,
pemaparan hasil kompilasi dan
BAPEDA KOTA DEPOK

Peserta:
- Belum semua kelompok
yang berkaitan dengan
SKPD hadir
Masukan dari Provinsi dan
Kementerian Negara:
- Masukan hanya dari
Provinsi
Masukan dari Kota:

Masukan dari Kecamatan:


- Telah sesuai Juknis

Mekanisme:
- Pengumuman terbuka dan
pembukaan pendaftaran
belum dilakukan.
- Dilakukan penyederhanaan
proses dibandingkan
dengan Juknis.

104

Kesesuaian dengan
Jukius: Belum
sepenuhnya sesuai
dengan Juknis
Derajat partisipasi:
Konsultasi
Kontribusi terhadap
modal sosial:
Netral sampai
Positif-Rendah.

Kajian Perencanaan Partisipatif

verifikasi oleh SKPD, delegasi


kecamatan, dan delegasi forum
SKPD, pembahasan kriteria
untuk kegiatan prioritas,
penetapan prioritas,
pemutakhiran rancangan RKPD
dan pembahasan kebijakan
pendukung)
Keluaran
- Kesepakatan untuk
pemutakhiran rancangan RKPD
dan rancangan Renja-SKPD.
Peserta
Peserta adalah delegasi dari
Musrenbang Kecamatan dan
delegasi dari Forum SKPD

Keputusan Walikota No.2 Tahun


2004
1. Sosialisasi Pembangunan
Materi: APBD Kota Depok tahun
yang bersangkutan

Keluaran:
- Sesuai dengan Juknis

Peserta:
Peserta bukan hanya delegasi
Musrenbang Kecamatan dan
Forum SKPD, juga dengan
kelompok-kelompok
masyarakat yang mewakili
organisasi-organisasi skala
kota.

III.

Sosialisasi Pembangunan
- Sesuai dengan aturan

Mekanisme
Pemaparan oleh Kepala Bappeda
dan dialog interaktif pihak
eksekutif (Walikota / Wakil
Walikota / Sekda) dengan peserta
Peserta
Peserta adalah elemen
masyarakat kecamatan dan
kelurahan, pemerintah daerah dan
anggota DPRD dari daerah
pemilihan yang bersangkutan.
2. Pemantapan Perencanaan partisipatif
Peserta:
Pengurus LPM Kelurahan dan
FKA LPM Kecamatan,aparatur
perencana di setiap unit kerja
perangkat daerah
BAPEDA KOTA DEPOK

Pemantapan Perencanaan
Partisipatif

105

Kesesuaian dengan
Juknis: Sudah
sesuai sesuai atuan
Derajat partisipasi:
Menginformasikan
Kontribusi terhadap
modal sosial:
Negatif sampai Netral

Kajian Perencanaan Partisipatif

Fasilitator:
Bappeda dan unsur perguruan
tinggi / tenaga ahli / NGOs yang
memiliki kompetensi dalam
perencanaan partisipatif
Materi:
- Konsep dan mekanisme
perencanaan partisipatif
- Konsep dan Teknik
Penyusunan Anggaran Berbasis
Kinerja
- Teknik Penyusunan Anggaran
Biaya
- Metode Penjaringan Aspirasi
Masyarakat
- Teknik Penyusunan Dokumen
Usulan Perencanaan
Mekanisme
- Persiapan
- Metode: kuliah umum, tanya
jawab, simulasi dan praktekl
penyusunan rencana
3. Survey Teknis Perencanaan
Pihak yang terlibat
- Tim Survey Bappeda dan Unit
Kerja Perangkat Daerah
- Pendamping dari perwakilan
masyarakat dan organisasi
kemasyarakatan

Survey Teknis Perencanaan

Materi
Hasil kesepakatan diskusi terfokus
Mekanisme
- Penetapan tim survey
- Penetapan mekanisme dan
penilaian hasil oleh tim survey
- Pelaksanaan survey
- Penilaian hasilsurvey
5. Kompilasi dan Restrukturisasi
Program

Kompilasi dan Restrukturisasi


Program

Pihak yang terlibat:


Bappeda dan unit peranghkat
kerja, FKA LPM Kecamatan dan
BAPEDA KOTA DEPOK

106

Kajian Perencanaan Partisipatif

perwakilan diskusi stakeholders


terfokus.
Mekanisme
- Tim kompilasi dan
restrukturisasi program
melakukan rapat koordinasi
untuk menetapkan mekanisme
- Tim melakukan sinkronisasi
program yang diusulkan tiap
unit kerja sebagai hasildiskusi
terfokus dan hasil survey
Materi
Usulan program kegiatan unit
kerja, hasil FKPP Kecamatan dan
hasil diskusi terfokus yang telah
disurvey.
IV Lain-lain
1. Workshop Isu Strategis

Workshop Isu Strategis

5.5. Pembahasan
5.5.1. Evaluasi Kesesuaian Proses Berdasarkan Aturan.
Dari

segi

peraturan

perundang-undangan

dan

kebijakan

tentang

perencanaan, proses perencanaan yang dilakukan di Kota Depok secara


garis besar telah sesuai dengan prosedur yang ada, meskipun masih
terdapat beberapa yang belum sesuai dengan aturan / kebijakan yang
ada. Sebagai sebuah proses, evaluasi terhadap perencanaan yang
dilakukan dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu berkaitan dengan
input, proses dan output.
Dari segi masukan (input), hal ini dapat dilihat dari sisi input materi dan
input peserta yang terlibat dalam proses perencanaan. Input materi
adalah bahan-bahan tertulis / dokumen serta materi berupa bahan

BAPEDA KOTA DEPOK

107

Kajian Perencanaan Partisipatif

pemaparan dari berbagai unit birokrasi yang perlu diterima oleh peserta,
sebagai basis untuk menyepakati rencana di level masing-masing.
Di level kelurahan, yang sangat menyolok adalah ketiadaan dokumen
Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Kelurahan. Kemudian,
pada level Kecamatan, SKPD, dan Musrenbang Kota, beberapa dokumen
yang seharusnya dimiliki peserta Musyawarah juga umumnya tidak
tersedia.

Kemudian

evaluasi

terhadap

hasil

pembangunan

tahun

sebelumnya pada masing-masing tingkatan, serta program-program


yang akan dilaksanakan pada tahun yang sedang berjalan,
disediakan. Padahal evaluasi terhadap hasil pembangunan

tidak
dapat

menjadi acuan bagi peserta musyawarah untuk membuat perencanaan


pada tahun selanjutnya.
Berkaitan dengan penyusunan RPJM Kelurahan, Pemerintah Kota Depok
tampaknya belum merasa urgen terutama dikaitkan belum

diakuinya

Kelurahan sebagai SKPD di masa lalu. Namun dengan adanya Peraturan


yang mengakui Kelurahan sebagai SKPD, maka pengadaan RPJM atau
Renstra Kelurahan harus menjadi prioritas di masa datang yang segera.
Berkaitan dengan penyediaan dokumen-dokumen sebagai bahan bagi
peserta dalam proses perencanaan, alasan klasiknya adalah keterbatasan
dana untuk penggandaan berbagai dokumen. Karena ketiadaan dana
untuk

penggandaan

materi,

maka

tidak

mengadakannya. Idealnya, seluruh dokumen

ada

insentif

untuk

yang dibutuhkan telah

diterima peserta beberapa hari sebelumnya, sehingga bisa dipelajari lebih


awal. Yang kerap kali muncul adalah ketergesa-gesaan dalam persiapan
pelaksanannya. Padahalkondisi ini, secara tidak disadari, berpotensi
menurunkan kepercayaan warga kepada pemerintah. Artinya, proses
yang ada malah memberikan kontribusi negatif bagi pengembangan
modal sosial.

BAPEDA KOTA DEPOK

108

Kajian Perencanaan Partisipatif

Sebagaimana diidentifikasi oleh Uphoff dan Cernea (1988), salah satu


cara untuk menjamin partisipasi masyarakat (penerima manfaat) dalam
perencanaan pembangunan adalah adanya komitmen keuangan yang
terpisah untuk menfasilitasi proses partisipasi, karena kemauan baik saja
belum cukup.

Sehubungan dengan itu diperlukan studi tentang biaya

transaksi yang dibutuhkan untuk pencapaian kesepakatan / keputusan


pada forum musyawarah perencanaan pada berbagai tingkatan. Hasil
studi ini akan menjadi masukan dalam penyusunan anggaran biaya yang
dibutuhkan dalam proses perencanaan.
Dari sisi input peserta, model yang dilaksanakan selama ini adalah
peserta hadir dalam berbagai forum musyawarah perencanaan karena
diundang. Dapat dikatakan sangat sedikit, atau bahkan mungkin tidak
ada peserta yang hadir di forum perencanaan karena mendapatkan
informasi

tentang

kegiatan

itu

dan

karena

kepeduliannya

datang

mendaftar.
Dalam Petunjuk Teknis yang ada, kepada Tim Penyelenggara Musrenbang
atau Forum SKPD diharuskan mengumumkan secara terbuka jadual,
agenda pembahasan, dan tempat penyelenggaraan acara, selambatlambatnya 7 hari sebelum pelaksanaan.
Kemudian

Tim

Penyelenggara

mengundang para peserta.

membuka

pendaftaran

dan

atau

Acuan ini memang dapat ditafsirkan

berbeda-beda tentang apakah apakah jika ada warga Depok yang peduli,
yang

mungkin

memiliki

gagasan,

dan

berminat

mengikuti

forum

musyawarah perencanaan itu dapat ikut mendaftar? Pendaftaran secara


aktif

ini penting untuk mengukur keseriusan warga untuk mengikuti

kegiatan Musrenbang atau Forum SKPD. Jika hal ini tidak dimungkinkan
karena alasan klasik keterbatasan dana, maka setidaknya dibuka
pemberian kesempatan untuk mengajukan usulan tertulis yang dikirim
melalui faksimili atau melalui e-mail.
BAPEDA KOTA DEPOK

109

Kajian Perencanaan Partisipatif

Disamping

itu

pemberitahuan

diadakan Musrenbang atau


sehingga

memberikan

selambat-lambatnya

hari

sebelum

Forum SKPD seharusnya dapat dilakukan,

kesempatan

kepada

berbagai

pihak

untuk

mempersiapkan materi yang akan dibawa ke forum tersebut. Ini antara


lain untuk menjamin kualitas pelaksanaan dari Musrenbang atau Forum
SKPD.
Dari segi proses (mekanisme), kendala yang umum terjadi adalah
kendala

waktu.

Pelaksanaannya

umumnya

hanya

sehari,

bahkan

setengah hari di Musrenbang Kelurahan. Hal ini tidak memberikan


kesempatan yang luas kepada para peserta untuk mendiskusikan,
menyampaikan usulan, mengkritisi usulan, mengklarifikasi usulan serta
berbagai aspek dari hal-hal yang direncanakan.

Padahal Musrenbang

Kelurahan merupakan ruang terbesar bagi masyarakat yang terlibat


dibanding

dengan

Musrenbang

di

tingkat

selanjutnya,

dan

dapat

dianggap sebagai proses belajar (social learning) sekaligus membangun


modal sosial di antara sesama warga.
Disamping itu ada keengganan dari para peserta musyawarah untuk
berdiskusi secara lebih rinci karena telah terbentuk persepsi bahwa
belum tentu apa yang diusulkan dapat diakomodir dan dibiayai oleh dana
APBD. Disamping itu belum utuhnya pemahaman terhadap peran sebagai
warga negara yang memiliki hak untuk ikut menentukan tentang apa
yang terbaik bagi diri dan lingkungannya memberikan kontribusi pada
sikap apatisme masyarakat dalam proses-proses perencanaan. Akhirnya,
Musrenbang atau Forum SKPD, bagi sebagian warga, hanya dianggap
kegiatan ritual semata tanpa makna yang berarti untuk kemajuan
kotanya.
Dari sisi keluaran (output), yang terjadi adalah masih kuatnya cara-cara
lama dengan berlomba-lomba membuat semacam shoping list atau
BAPEDA KOTA DEPOK

110

Kajian Perencanaan Partisipatif

daftar

belanja

yang

sebanyak-banyaknya

tanpa

memperhatikan

kebutuhan, prioritas, dan ketersediaan anggaran.


Disamping itu, tidak ada informasi balik segera kepada warga tentang
nasib dari usulan-usulan mereka, maka ini berpotensi menurunkan
kepercayaan masyarakat tentang kemungkinan berperan serta dalam
membuat keputusan dalam forum sejenis di masa datang.
Dari sisi output akhir pun (dalam bentuk APBD), kesan bahwa program
masih didominasi untuk kepentingan pemerintah, politis,

dan egoisme

sektoral, terbukti dengan kecilnya alokasi anggaran untuk sektor-sektor


ekonomi kerakyatan, pengentasan kemiskinan, dan lingkungan hidup,
sulit dihindari.
Menurut Kajian Bappenas, terdapat beberapa fakta berkaitan dengan
pelaksanaan proses perencanaan (Musrenbang dan Forum SKPD), yaitu
(Rudiyanto dan Setiawan 2007):
1. Masyarakat

enggan

karena

usulannya

belum

tentu

dapat

mempengaruhi proses penganggaran. Usulan yang terdahulu pun


belum

direalisasikan.

Jadi

merasa

percuma

saja

datang

ke

musrenbang.
2. Waktu pelaksanaan musrenbang sangat singkat, sehingga masyarakat
tidak

mempunyai

kesempatan

untuk

mengkritisi

maupun

mengklarifikasi usulannya.
3. Masyarakat kurang memahami proses musrenbang
4. Masyarakat kurang menguasai substansi dari program-program yang
diusulkan oleh dinas-dinas.
5. Pemahaman partisipasi dari pemerintah daerah yang muncul dalam
Musrenbang adalah menempatkan masyarakat sebagai pihak yang
harus mendukung kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah
mulai

dari

tingkat

kelurahan,

kecamatan,

provinsi
BAPEDA KOTA DEPOK

111

kota/kabupaten,

dan

Kajian Perencanaan Partisipatif

6. Keengganan

pemerintah

untuk

melibatkan

masyarakat

karena

memerlukan waktu yang cukup panjang dan biaya yang relatif cukup
besar.
5.5.2. Evaluasi Derajat Partisipasi
Dari sisi derajat partisipasi, proses Musrenbang dan Forum SKPD masih
berkisar pada, menurut Tipologi Partisipasi Arnstein, derajat tokenisme.
Istilah

tokenisme

ini

bermakna

bahwa

langkah

yang

dilakukan

merupakan kebijakan sekadarnya yang berupa upaya artifisial (dangkal,


pada permukaan) atau tindakan simbolis dalam pencapaian suatu tujuan.
Derajat

tokenisme

ini

(menginformasikan),

meliputi

consultation

jenjang

mulai

(konsultasi),

dari

informing

dan

placation

(penentraman), yaitu dengan mengakomodir hal-hal yang kecil dan tidak


strategis.
Pada derajat tokenisme ini, maka pendapat, pandangan, usulan, dan
masukan dari masyarakat hanya sekadar didengar atau dicatat, dan
dalam beberapa aspek ikut mengubah hal-hal kecil dari draft rencana
yang ada. Namun tidak ada umpan balik dan mekanisme bagi warga
untuk mengetahui apakah berbagai usulan itu benar-benar diakomodir
dalam

rancangan rencana untuk pembahasan selanjutnya atau hanya

sekadar dicatat dalam notulen pertemuan. Yang terjadi adalah, tanpa


mengetahui apakah berbagai usulan warga diakomodir atau tidak, warga
kemudian telah diajak lagi untuk mengikuti proses sejenis (Musrenbang
dan Forum SKPD) untuk proses perencanaan tahun berikutnya.
Dari segi proses, perencanaan dengan jenjang derajat tokenisme ini
memang memberikan hasil. Namun output yang dihasilkan dari proses
seperti ini memiliki derajat legitimasi dan akseptabilitas yang relatif lebih
rendah,

dibandingkan

dengan

jika

kemitraan (partnership).
BAPEDA KOTA DEPOK

112

prosesnya

dilaksanakan

secara

Kajian Perencanaan Partisipatif

Kondisi seperti itu terjadi karena musrenbang hanya dipandang sebagai


kegiatan bermusyawarah belaka, sehingga dokumen hasil musrenbang
dengan sendirinya tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak ada
sanksi khusus yang jelas ketika Pemerintah tidak mengakomodir hasilhasil musrenbang secara layak. Di masa mendatang, perlu aturan yang
jelas tentang hal ini.
5.5.3. Evaluasi Kontribusi terhadap Modal Sosial
Sebagai akibat dari proses yang dipaparkan pada bagian terdahulu, maka
proses kontribusi proses perencanaan Kota Depok melalui Musrenbang
kelurahan, Musrenbang kecamatan, Forum SKPD, dan Musrenbang Kota,
terhadap pengembangan modal sosial berkisar antara negatif, netral dan
positif tingkat rendah.
Kontribusi negatif. Kontribusi proses perencanaan bersifat negatif, karena
secara tidak disadari proses yang dilaksanakan justru mengurangi
kepercayaan warga kepada pemerintah. Seoptimal dan sekeras apa pun
upaya pemerintah untuk melaksanakan proses perencanaan dengan
melibatkan masyarakat, namun kesan bahwa pelaksanaan kegiatan itu
hanya

sekadar

ritual

tahunan

merupakan

indikator

berkurangnya

kepercayaan masyarakat. Belum lagi usulan-usulan dari kelurahan dan


kecamatan yang ternyata tidak diakomodir sama sekali dalam APBD.
Malahan

muncul

kegiatan

yang

justru

tidak

diusulkan

semakin

menambah ketidakpercayaan itu. Ungkapan-ungkapan ketidakpercayaan


itu biasanya muncul dalam kegiatan Sosialisasi Pembangunan ketika
Pemerintah Kota Depok mensosialisasikan APBD yang akan dilaksanakan
pada tahun yang sedang berjalan.
Namun faktor proses perencanaan memang bukan faktor tunggal yang
memberikan kontribusi terhadap kondisi ini. Faktor lainnya adalah masih
adanya

dualisme

BAPEDA KOTA DEPOK

antara

proses

113

perencanaan

yang

melibatkan

Kajian Perencanaan Partisipatif

masyarakat dengan proses penganggaran yang sepenuhnya merupakan


kewenangan pemerintah. Hal ini menyebabkan usulan yang disepakati
dalam

proses

perencanaan

banyak

yang

tereduksi

di

proses

penganggaran. Usulan dari masyarakat terhenti hanya sampai pada


penyusunan RKPD. Proses selanjutnya dilakukan oleh panitia anggaran
eksekutif, panitia anggaran legislatif, dan masing-masing SKPD. Peran
masyarakat tidak ada sama sekali dalam proses penyusunan dan
penetapan anggaran. Hal ini yang menyebabkan usulan dari masyarakat
hasil musrenbang bisa tidak diperhatikan. Di samping itu, proses
penyusunan

dan

penetapan

anggaran

ini

sudah

diwarnai

oleh

kepentingan politik baik dari pihak DPRD maupun eksekutif (Rudiyanto


dan Setiawan, 2007).
Lebih

lanjut

dijelaskan,

bahwa

tidak

tuntasnya

proses

partisipasi

masyarakat sampai ke tingkat perencanaan anggaran menyebabkan


masyarakat tidak mengetahui seberapa banyak program dalam APBD
mengakomodasi hasil-hasil musrenbang. Dengan kata lain sering terjadi
adanya inkonsistensi antara APBD yang ditetapkan pemerintah dengan
hasil kesepakatan dalam musrenbang. Hal ini dikhawatirkan akan
menimbulkan persepsi bahwa pendekatan partisipatif pada akhirnya
hanya sekedar mobilisasi masyarakat saja untuk melegalkan proses
perencanaan pembangunan.
Oleh sebab itu, perlu pembenahan dalam proses penyelenggaraan
musrenbang

termasuk

ketersediaan

informasi,

waktu,

keterwakilan

pemangku kepentingan dalam pembahasan, kejelasan kriteria dalam


penetapan hasil, serta pemanfaatan hasil musrenbang secara langsung
dalam penetapan prioritas kebijakan, program dan kegiatan dalam
Renja-SKPD dan RKA-SKPD, dan penetapan RAPBD.
Kontribusi netral. Kontribusi proses perencanaan dapat

bersifat netral

terhadap modal sosial karena proses yang ada tidak mengubah apa-apa
BAPEDA KOTA DEPOK

114

Kajian Perencanaan Partisipatif

dari sisi pengembangan modal sosial. Proses yang ada tidak menambah
atau mengurangi posisi tingkat kepercayaan masyarakat yang ada
terhadap pemerintah. Ini dapat terjadi karena bagi kelompok ini telah
terbentuk persepsi bahwa mungkin seperti itulah proses perencanaan
yang seharusnya ada. Proses itulah yang optimal bisa dijalankan,
meskipun ada ketidakpuasan-ketidakpuasan.
Kontribusi positif. Proses perencanaan dapat memberikan kontribusi
positif pada modal sosial, jika proses itu memberikan hasil yang nyata
berupa usulan-usulan yang disampaikan dalam proses perencanaan di
musrenbang itu diterima, dan mereka bisa terlibat dalam kegiatankegiatan
kontribusi

yang

mereka

positif

usulkan

proses

yang

perencanaan

didanai

oleh

tidak

cukup

APBD.
besar

Namun
dalam

pengembangan modal sosial, karena kesan umum yang muncul adalah


bahwa secara keseluruhan proses perencanaan belum separtisipatif yang
mereka bayangkan. Artinya, kualitas partisipasi dari proses perencanaan
yang ada di Kota Depok sesungguhnya masih dapat ditingkatkan.

BAPEDA KOTA DEPOK

115

Kajian Perencanaan Partisipatif

Berdasarkan tinjauan evaluatif yang dilakukan, maka penguatan proses


perencanaan di Kota Depok ke depan setidaknya memenuhi tiga kriteria:
(1) sesuai dengan aturan yang ada, (2) derajat partisipasinya mencapai
level kemitraan (partnership) menurut Tipologi Arnstein, (3) memberikan
kontribusi positif pada pengembangan modal sosial.
Dengan menggunakan ketiga kriteria itu, maka setidaknya terdapat
empatskenario untuk penguatan proses perencanaan partisipatif di Kota
Depok, yaitu: (1) Skenario Status Quo, (2) Skenario Taat Aturan, (3)
Skenario Kemitraan, dan (4) Skenario Kemitraan-Apresiatif.

6.1. Skenario I :
Tanpa perubahan berarti (status quo)
Skenario pertama ini dapat disebut sebagai Skenario Status Quo.
Mempertahankan status quo atau pendekatan tidak mengubah apa
pun

berarti

melaksanakan

proses

dan

mekanisme

perencanaan

pembangunan seperti yang sudah dilakukan selama ini. Penerapan


proses itu sendiri merupakan interpretasi Pemerintah Kota Depok, yakni
Bapeda,

terhadap

Petunjuk

Teknis

Penyelenggaraan

Musrenbang

sebagaimana yang tertuang dalam lampiran Surat Edaran Bersama


Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional / Kepala Bappenas
dan Menteri Dalam Negeri.

BAPEDA KOTA DEPOK

116

Kajian Perencanaan Partisipatif

Meskipun masih muncul kekecewaan terutama dari masyarakat (LPM dan


LSM) mengenai proses perencanaan tersebut,

namun secara prosedur

kepemerintahan proses yang ada itu telah menghasilkan output yang


dibutuhkan yaitu menghasilkan Rencana

Kerja Pemerintah Daerah

(RKPD), sebagai basis untuk penyusunan RAPBD.


6.1.1. Kelebihan Skenario Status Quo
Kelebihan dari skenario ini adalah dapat mempertahankan hal-hal positif
yang sudah terbentuk melalui proses yang sudah dilaksanakan dan
kebutuhan biaya untuk pelaksanaannya telah diketahui. Hal-hal positif
yang ada dari proses yang sudah dijalani selama ini antara lain: (1)
berbagai pihak yang terlibat dalam proses itu (pemerintah dan warga)
sudah

memiliki

pengalaman

bersama

tentang

bagaimana

proses

perencanaan itu dijalankan, (2) karena sudah berlangsung beberapa


tahun dengan proses yang relatif sama, maka telah terbentuk persepsi
bahwa memang seperti itulah proses perencanaan di sebuah kota
berlangsung,

(3)

telah

terbangun

mekanisme-mekanisme

untuk

mengatasi perbedaaan-perbedaaan, baik antara sesama warga, sesama


pemerintah, dan perbedaana antara warga dan pemerintah, terutama
berkaitan dengan penetapan prioritas, (4) membutuhkan biaya yang
relatif tidak besar dan besarannya sudah diketahui, (5)
6.1.2. Kekurangan Skenario Status Quo
Kekurangan dari skenario status quo ini adalah: (1) jika mengacu pada
Petunjuk Teknis yang ada masih terdapat beberapa hal yang masih harus
dipenuhi, terutama dari segi masukan, peserta, dan mekanisme, (2) jika
mengacu pada tipologi partisipasi yang ada, proses yang ada saat ini
masih

berada

pada

ungkapan-ungkapan

derajat

tokenisme,

ketidakpuasan

warga

sehingga

memunculkan

terhadap

output

yang

dihasilkan, (3) dari perspektif pengembangan modal sosial, proses yang


ada berpotensi untuk membangun ketidakpercayaan warga (distrust)
BAPEDA KOTA DEPOK

117

Kajian Perencanaan Partisipatif

kepada pemerintah, (4) tidak terbangun kemandirian warga untuk


membangun wilayahnya sendiri, dan sepenuhnya bergantung pada
sumber daya terutama dana dari luar yaitu APBD, (5).

6.2. Skenario II :
Memenuhi aturan / pedoman yang ada
Skenario kedua ini bisa disebut sebagai Skenario Taat Aturan / Pedoman
Pusat. Dengan skenario kedua ini, proses perencanaan pembangunan
yang ada diupayakan untuk semaksimal mungkin mengikuti peraturan
perundangan dan petunjuk teknis yang ada. Disamping itu, agar semua
pihak

yang

terlibat

dapat

semaksimal

mungkin

mengikuti

proses

perencanaan sesuai dengan aturan yang ada, maka pemerintah kota


perlu membuat pedoman-pedoman dan pelatihan capacity building,
terutama

bagi

bagaimana

pemerintah

proses

kelurahan

perencanaan

di

dan

level

masyarakat,

RW,

tentang

kelompok-kelompok

masyarakat, dan di level kelurahan.


Jika Petunjuk Teknis Musrenbang 2007 dijadikan acuan, maka beberapa
hal yang sehaharusnya ada adalah:
1. Pada

Tahap

Persiapan

Musrenbang

Kelurahan

perlu

dilakukan

musyawarah pada level masyarakat di tingkat Rukun Warga (RW) dan


kelompok-kelompok masyarakat seperti: kelompok tani, kelompok
perempuan, kelompok pemuda, dll). Keluaran dari musyawarah di
tingkat RW / kelompok masyarakat ini adalah:
a. daftar masalah dan kebutuhan
b. gagasan

dan

atau

usulan

kegiatan

prioritas

masing-masing

RW/Kelompok untuk diajukan ke Musrenbang Kelurahan.


c. Wakil / delegasi RW / kelompok yang akan hadir di Musrenbang
kelurahan.

BAPEDA KOTA DEPOK

118

Kajian Perencanaan Partisipatif

2. Membuka

pendaftaran

bagi

warga

kelurahan

yang

peduli

dan

berkeinginan untuk hadir.


3. Perlu tersedia dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah
(RPJM) Kelurahan.
Di Kota Depok, ketiga hal tersebut di atas sebagai contoh, dari sekian
banyak hal yang harus dilakukan, belum terlaksana. RW-RW dan
kelompok-kelompok

masyarakat

belum

secara

rutin

melakukan

melakukan musyawarah sebagaimana yang diminta dalam Petunjuk


Teknis itu. Kepada warga kelurahan belum diberikan kesempatan terbuka
bagi siapa saja yang peduli yang ingin mengikuti Musrenbang. Alasan
yang

kerap

dikemukakan

adalah

biaya

yang

terbatas

dan

ketidaktersediaan tempat yang memadai untuk menampung peserta


yang banyak. Kemudian belum tersedia dokumen RPJM Kelurahan pada
masing-masing kelurahan.

Bahkan

acuan

untuk

penyusunan

RPJM

Kelurahan pun belum tersedia.


Jika skenario ini yang dipilih, maka Pemerintah Kota antara lain perlu
menyediakan berbagai pedoman tertulis bagi warga RW dan kelompokkelompok masyarakat tentang bagaimana melakukan musyawarah,
termasuk

pelatihan

bagi

tenaga

fasilitator

untuk

pelaksanaan

musyawarah pada level ini, serta pedoman penyusunan RPJM Kelurahan


dan pelatihan bagi tim penyusunnya.
6.2.1. Kelebihan Skenario Taat Pedoman Pusat
Kelebihan dari skenario ini adalah: (1) semua dokumen untuk proses
pengambilan keputusan dalam setiap tahapan proses perencanaan akan
tersedia,

(2) akan terbentuk kepuasan secara psikologis terutama di

aparat perencana bahwa seluruh proses perencanaan telah mengikuti


aturan yang ada, tanpa ada satu

pun yang terlewatkan, (3) jika

pedoman-pedoman untuk musyawarah RW dan kelompok-kelompok


BAPEDA KOTA DEPOK

119

Kajian Perencanaan Partisipatif

masyarakat tersedia, maka itu akan memunculkan persepsi positif


tentang keseriusan pemerintah melibatkan masyarakat dalam proses
perencanaan, (4) pemberian kesempatan kepada pihak-pihak yang peduli
dan ingin hadir sebagai peserta Musrenbang (Kelurahan, Kecamatan dan
Kota) dan Forum SKPD akan meningkatkan legitimasi dan akseptibilitas
terhadap hasil dari proses perencanaan, (5) akan terjadi proses belajar
bersama (social learning) di tingkat lokal, dan berpotensi membangun
modal sosial di level lokal, (6).
6.2.2. Kekurangan Skenario Taat Pedoman Pusat
Kekurangan dari skenario ini

adalah: (1) akan ada biaya tambahan

untuk melaksanakan semua proses yang ada, termasuk pengadaan


pedoman-pedoman,
serta

biaya

kemungkinan
diusulkan

dan

pelatihan-pelatihan
tim

penyusunan

munculnya

ledakan

bagi

RPJM

fasilitator

di

harapan,

level

dimana

musyawarah

kelurahan,
kegiatan

(2)
yang

warga kemungkinan besar tidak dapat diakomodir oleh

anggaran yang tersedia, sehingga berpotensi menimbulkan kekecewaan


dan berkontribusi negatif terhadap pengembangan modalsosial, (3)
skenario ini masih menggunakan pendekatan pemecahan masalah
(problem solving approach), sehingga secara tidak disadari memunculkan
mentalitas ketergantungan, (4) derajat partisipasi yang ada tidak
beranjak dari derajat tokenisme, (5)

6.3. Skenario III :


Memenuhi Aturan + Kemitraan
Skenario ketiga ini dapat disebut Skenario Kemitraan. Melalui skenario
ini, maka dokumen-dokumen perencanaan di berbagai level (Kelurahan,
Kecamatan, SKPD, dan Kota), draftnya dihasilkan oleh

Tim yang

beranggotakan unsur pemerintah dan unsur masyarakat, kemudian

BAPEDA KOTA DEPOK

120

Kajian Perencanaan Partisipatif

pembahasan draft dokumen rencana itu dilaksanakan dalam forum


stakeholders pada setiap level. Dokumen-dokumen rencana itu adalah:
1. Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Kota Depok
2. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Kota Depok
3. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Satuan Kerja Perangkat
Daerah (Renstra-SKPD)
4. Rencana

Pembangunan

Tahunan

Daerah

atau

Rencana

Kerja

Pemerintah Daerah (RKPD).


5. Rencana Pembangunan Tahunan Satuan Kerja Perangkat Daerah atau
Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renja-SKPD).
6. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Kelurahan
7. Rencana Kerja Pemerintah Kelurahan (RKPK)
Model kemitraan dalam penyusunan dokumen rencana ini mengharuskan
adanya

pelembagaan

stakeholders

(semacam

forum

warga)

pada

berbagai level.
1. Pada level kota difasilitasi pembentukan Forum Stakleholders Kota
2. Pada level kecamatan difasilitasi pembentukan Forum Stakeholders
Kecamatan
3. Pada tiap SKPD difasilitasi pembentukan Forum Stakeholders SKPD
4. Pada level kelurahan difasilitasi pembentukan Forum Stakeholders
Kelurahan.
Dengan demikian, maka pemilihan dan penetapan individu yang akan
duduk dalam Tim Penyusun draft dokumen rencana itu dilaksanakan
dalam

masing-masing

forum

stakeholders

secara

terbuka

dan

demokratis.
6.3.1. Kelebihan Skenario Kemitraan
Kelebihan dari skenario kemitraan ini adalah: (1) keluaran dokumen akan
lebih aspiratif dan

mengakomodir kepentingan

dan

cara

pandang

pemerintah serta kepentingan dan cara pandang masyarakat, (2)


BAPEDA KOTA DEPOK

121

Kajian Perencanaan Partisipatif

keluaran dokumen akan memiliki legitimasi dan akseptabilitas yang


tinggi, (3) karena terjadi proses belajar bersama (social learning
process), maka akan terbangun modal sosial pada berbagai level
pemerintahan, mulai di level kelurahan, kecamatan, SKPD, dan kota, (4)
akan terjadi pengembangan kapasitas dari sektor masyarakat, (5)
6.3.2. Kekurangan Skenario Kemitraan
Kekurangan dari Skenario Kemitraan ini adalah: (1) akan ada resistensi
dari pihak-pihak, terutama
berbagai

peran

tambahan

yang

biaya

di pemerintahan (SKPD), karena harus

setara

untuk

dengan

masyarakat,

menfasilitasi

(2)

pelembagaan

dibutuhkan
forum-forum

stakehodlers pada berbagai level, serta berbagai biaya transaksi untuk


biaya informasi, biaya koordinasi, dan biaya lainnya untuk mencapai
kesepakatan,
pemecahan

(3)

pendekatan

masalah

(problem

yang

dilakukan

solving

masih

approach),

pendekatan

sehingga

tidak

memunculkan kemandirian, inisiatif, dan energi kolektif warga secara


optimal, (4) membutuhkan dukungan politis dalam bentuk payung
hukum yang jelas tentang pembentukan forum-forum stakleholders dan
pemberian peran yang lebih besar dari unsur masyarakat.

6.4. Skenario IV :
Kemitraan + Pendekatan Apresiatif
Skenario keempat bisa disebut Skenario Kemitraan-Apresiatif. Melalui
skenario

ini,

maka

proses

perencaan

mengintegrasikan

antara

pendekatan kemitraan seperti pada Skenario III dan dipadukan dengan


pendekatan apresiatif pada berbagai level, mulai dari level RT/RW dan
kelompok-kelompok masyarakat di Kelurahan, di Kecamatan, SKPD, dan
Kota.

BAPEDA KOTA DEPOK

122

Kajian Perencanaan Partisipatif

Untuk

dapat

terlaksana

skenario

ini

dibutuhkan

fasilitator

yang

memahami pendekatan kemitraan dan pendekatan apresiatif, serta


pedoman-pedoman

yang

dapat

digunakan

oleh

berbagai

level

perencanaan.
6.4.1. Kelebihan Skenario Kemitraan-Apresiatif
Kelebihan dari skenario ini adalah: (1) akan terbangun energi positif
kolektif pada berbagai level, mulai dari RT/RW, Kelurahan, Kecamatan,
SKPD, dan Kota untuk melaksanakan pembangunan di masing-masing
level, (2) dokumen perencanaan yang dihasilkan pada masing-masing
level

merupakan

rencana

aksi

bersama,

sebagai

upaya

untuk

mewujudkan mimpi / harapan bersama, sehingga akan memunculkan


insiatif-insiatif dan kemandirian pada masing-masing level, (3) ledakan
harapan

dapat

dikurangi

karena

pendekatan

apresiatif

akan

memunculkan prakarsa-prakarsa pada masing-masing level, tarutama


pada level lokal, yang perwujudan prakarsa-prakarsa lokal itu akan lebih
menggunakan sumber daya, potensi, dan kearifan lokal, (4).
6.4.2. Kekurangan Skenario Kemitraan-Apresiatif
Kekurangan dari Skenario Kemitraan Apresiatif adalah: (1) resistensi
dari pihak-pihak tertentu, terutama dari pemerintahan, yang harus
berbagi peran secara setara dengan masyarakat, (2) membutuhkan
tambahan biaya untuk melatih fasilitator yang mampu menfasilitasi
pendekatan

kemitraan

dan

pendekatan

apresiatif,

serta

membuat

pedoman-pedoman yang dapat digunakan pada berbagai level, (3)


membutuhkan dukungan politis dalam bentuk payung hukum yang jelas
tentang pembentukan forum-forum stakleholders dan pemberian peran
yang lebih besar dari unsur masyarakat.

BAPEDA KOTA DEPOK

123

Kajian Perencanaan Partisipatif

Sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat 2, UU No.25 Tahun 2004


tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, setiap Pemerintah
Daerah perlu membuat Peraturan Daerah yang mengatur Tata Cara
Pnyusunan RPJP Daerah, RPJM Daerah, Renstra-SKPD, RKPD, RenjaSKPD dan pelaksanaan Musrenbang Daerah.
Penyusunan Peraturan Daerah seperti itu membutuhkan kajian ilmiah
dalam bentuk draft akademis dan setidaknya membutuhkan disain
skenario, dimana skenario itu diasumsikan akan memberikan hasil yang
terbaik ditinjau dari berbagai sudut. Berdasarkan hasil kajian ini, maka
skenario yang direkomendasikan untuk muatan Perda adalah Skenario
Kemitraan-Apresiatif.
Adapun

garis

besar

teknis

pelaksanaan

musrenbang

berdasarkan

skenario ini adalah mengikuti mekanisme yang ada sesuai dengan


Petunjuk Teknis Pelaksanaan Musrenbang dengan modifikasi sebagai
berikut :

7.1. Musrenbang RW dan Kelompok-Kelompok


Masyarakat

Fasilitasi warga RW atau Kelompok-kelompok masyarakat di


kelurahan dengan menggunakan pendekatan apresiatif. Output
dari fasilitasi ini adalah dokumen Kajian dan Pendekatan Apresiatif

BAPEDA KOTA DEPOK

124

Kajian Perencanaan Partisipatif

(KPA) RW yang memuat: (1) identifikasi prestasi-prestasi yang


pernah dicapai oleh RW / Kelompok masyarakat bersangkutan di
masa lalu, (2) kondisi yang diinginkan bersama di masa datang
sebagai wujud dari mimpi bersama, (3) rancangan langkahlangkah dan rencana-rencana aksi yang akan dilakukan untuk
mewujudkan kondisi yang diinginkan tersebut, (4)

Fasilitasi untuk menghasilkan: (a) dokumen rencana yang akan


dilaksanakan oleh komunitas RW atau kelompok masyarakat yang
bersangkutan dalam mewujudkan kondisi ideal yang diimpikan
bersama, dan (b) rencana yang akan diusulkan (diteruskan) ke
Musrenbang Kelurahan untuk mendukung terwujudnya kondisi
ideal yang diimpikan bersama.

7.2. Musrenbang Kelurahan

Fasilitasi pembentukan Forum Stakeholders Kelurahan. Forum ini


dapat juga dianggap sebagai forum Musyawarah Anggota menurut
Perda

Kota

Depok

No.

13

Tahun

2002

tentang

Pedoman

Pembentukan RT, RW dan LPM. Keanggotaan Forum Stakeholders


Kelurahan dilakukan secara proaktif dan stelsel aktif. Siapa pun
warga kelurahan yang peduli terhadap pembangunan kelurahan
yang

bersangkutan

dapat

bergabung

dalam

Forum

tersebut

dengan mendaftar.

Fasilitasi

warga

yang

tergabung

dalam

Forum

Stakeholders

Kelurahan dengan menggunakan pendekatan apresiatif. Masukan


untuk proses ini adalah dokumen KPA RW / Kelompok Masyarakat.
Output: dokumen KPA Kelurahan.

Penetapan tim penyusun draft RPJM Kelurahan yang terdiri dari


unsur pemerintah kelurahan dan unsur warga kelurahan yang
dipilih dalam Forum Stakeholders Kelurahan.

BAPEDA KOTA DEPOK

125

Kajian Perencanaan Partisipatif

Draft

RPJM

Kelurahan

di

bahas

dalam

Forum

Stakeholders

Kelurahan

Untuk penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Kelurahan (RKPK)


dibentuk tim penyusun draft RKPK Kelurahan yang terdiri dari
unsur pemerintah kelurahan dan unsur warga yang dipilih dan
ditetapkan dalam Forum Stakeholders Kelurahan.

Draft RKPK dibahas dan disepakati dalam Forum Stakeholders


Kelurahan

7.3. Musrenbang Kecamatan

Fasilitasi

pembentukan

Forum

Stakeholders

Kecamatan.

Keikutsertaan dalam Forum ini bersifat stelsel aktif. Warga


kecamatan yang peduli terhadap pembangunan kecamatan dapat
menjadi anggota Forum ini.

Fasilitasi

warga

yang

tergabung

dalam

Forum

Stakeholders

Kecamatan menggunakan pendekatan apresiatif. Masukan untuk


kegiatan

ini

adalah

hasil

fasilitasi

pendekatan

apresiatif

di

kelurahan. Output: Dokumen Kajian dan Pendekatan secara


Apresiatif (KPA) Kecamatan.

7.4. Forum SKPD

Fasilitasi pembentukan Forum Stakeholders SKPD. Keikutsertaan


dalam Forum Stakeholders SKPD bersifat stelselaktif. Individu atau
organisasi

yang

peduli

terhadap

bidang

tugas

SKPD

dapat

mendaftar menjadi anggota Forum tersebut.

Fasilitasi warga yang tergabung dalam Forum Stakeholders SKPD


menggunakan pendekatan apresiatif. Output: Dokumen Kajian dan
Pendekatan Apresiatif (KPA) SKPD.

BAPEDA KOTA DEPOK

126

Kajian Perencanaan Partisipatif

Dalam

penyusunan

Renstra-SKPD

dan

Renja-SKPD,

draftnya

disiapkan oleh Tim yang beranggotakan unsur pemerintah / SKPD


dan unsur masyarakat. Individu unsur masyarakat yang dipilih dan
ditetapkan dalam Forum Stakeholders SKPD.

Draft Renstra-SKPD dan draft Renja-SKPD dibahas dan disepakati


dalam Forum Stakeholders SKPD.

7.5. Musrenbang Kota

Fasilitasi pembentukan Forum Stakeholders Kota. Keanggotaan


dalam Forum ini bersifat terbuka dan stelsel aktif. Individu dan
organisasi yang peduli pada Pembangunan Kota Depok dapat
mendaftar menjadi anggota Forum.

Fasilitasi warga yang tergabung dalam Forum Stakeholders Kota


menggunakan pendekatan apresiatif. Masukan untuk kegiatan ini
adalah dokumen KPA Kecamatan dan SKPD. Output dari kegiatan
ini adalah: dokumen KPA Kota Depok.

Dalam penyusunan RPJP, RPJM, dan RKPD, draftnya disusun oleh


Tim yang beranggotakan unsur masyarakat dan unsur pemerintah
Kota Depok. Individu dari unsur masyarakat dipilih secara terbuka
dan demokratis dalam Forum Stakeholders Kota.

Draft-draft RPJP, RPJM, dan RKPD dibahas dan disepakati dalam


Forum Stakeholders Kota Depok.

BAPEDA KOTA DEPOK

127

Kajian Perencanaan Partisipatif

8.1. Kesimpulan

Proses perencanaan pembangunan di Kota Depok adalah untuk


menghasilkan dokumen rencana yang menurut UU No. 25 Tahun 2004
tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional terdiri dari dari:
1. Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP)
2. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM)
3. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Satuan Kerja Perangkat
Daerah, yang selanjutnya disebut Renstra-SKPD.
4. Rencana Pembangunan Tahunan Daerah, yang selanjutnya disebut
Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD).
5. Rencana Pembangunan Tahunan Satuan Kerja Perangkat Daerah,
yang selanjutnya disebut Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat
Daerah (Renja-SKPD).

Evaluasi terhadap proses perencanaan di Kota Depok dapat dilakukan


melalui 3 tolok ukur: (1) tolok ukur peraturan perundang-undangan
untuk menilai seberapa sesuai pelaksanaan proses perencanaan
dengan aturan / pedoman yang ada, (2) tolok ukur tipologi partisipasi
untuk

menilai

derajat

partisipasi

yang

tercipta

dalam

proses

perencanaan perencanaan pembangunan di Kota Depok, dan (3)


tolok ukur kontribusi pada pengembangan modal sosial untuk menilai
kontribusi proses perencanaan pembangunan di Kota Depok terhadap

BAPEDA KOTA DEPOK

128

Kajian Perencanaan Partisipatif

pengembangan

modal

sosial,

terutama

dalammembangun

kepercayaan (trust) warga kepada pemerintah.

Berdasarkan tolok ukur peraturan perundang-undangan / pedoman,


maka pelaksanaan proses perencanaan di Kota Depok secara umum
telah sesuai dengan aturan yang ada, yaitu UU No. 25 tahun 2004
tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, Surat Edaran
Bersama (SEB) Menteri Negara Perencanaan pembangunan Nasional
/ Kepala Bappenas dan Menteri Dalam Negeri, tentang Petunjuk
Teknis Penyelenggaraan Musrenbang,

dan SK Walikota Depok

Keputusan Walikota Depok No: 02 Tahun 2004 tentang Forum


Komunikasi Perencanaan Pembangunan (FKPP).

Berdasarkan tolok ukur peraturan perundang-undangan / pedoman


dari pusat, hal-hal yang perlu mendapatkan perhatian adalah:
1. pengoptimalan masukan (input) baik berupa input materi maupun
input peserta pada semua tingkatan forum musrenbang dan forum
SKPD dengan ikhtiar untuk semaksimal mungkin mengikuti aturan
/ pedoman yang ada.
2. pengoptimalan mekanisme pelaksanaan forum musrenbang dan
forum SKPD dengan semaksimal mungkin mengikuti mekanisme
yang diatur dalam aturan / pedoman yang ada.

Berdasarkan tolok ukur tipologi partisipasi, jika mengacu pada tipologi


yang

yang

perencanaan

dikemukakan
di

Kota

oleh

Sherry

Depok

Arnstein

barulah

pada

(1969),
taraf

proses

konsultasi

(consultation). Pada taraf ini kepada warga memang telah diberikan


kesempatan untuk memberikan masukan, tapi keputusan akhir tetap
berada di pemerintah. Taraf partisipasi ini ini berpotensi menimbulkan
kekecewaan

warga

dan

berpotensi

kepercayaan warga kepada pemerintah.

BAPEDA KOTA DEPOK

129

juga

menurunkan

tingkat

Kajian Perencanaan Partisipatif

Berdasarkan

tolok

ukur

kontribusi

proses

perencanaan

dalam

pengembangan modal sosial, maka disain proses perencanaan yang


dilaksakanan belum secara sadar mempertimbangkan aspek ini.
Berbagai tahapan proses perencanaan pembangunan di Kota Depok
memberikan kontribusi yang berkisar dari negatif (menurunkan
tingkat kepercayaan), netral, dan kontribusi positif tingkat rendah.

Terdapat empat skenario penguatan proses perencanaan di Kota


Depok, yaitu:
1. Skenario Status Quo yaitu skenario dimana proses perencanaan
dilakukan tanpa perubahan yang berarti atau sama seperti tahuntahun sebelumnya.
2. Skenario

Taat

Aturan

Pusat.

Dalam

skenario

ini

proses

perencanaan dengan dilakukan dengan mengikuti semaksimal


mungkin peraturan perundangan dan pedoman dari Pusat, baik
dari segi input (masukan), mekanisme, maupun output (keluaran).
3. Skenario Kemitraan adalah skenario dimana derajat partisipasi
yang diinginkan adalah derajat kemitraan (partnership). Dalam
skenario ini, setiap draft dokumen rencana disiapkan oleh tim
penyusun draft yang beranggotakan unsur pemerintah dan unsur
warga, dan pembahasan draftnya dilaksanakan dalam forum
stakeholders. Dengan demikian dkumen rencana merupakan hasil
kesepakatan stakeholders.
4. Skenario Kemitraan-Apresiatif. Skenario ini sama dengan Skenario
Kemitraan, namun diintegrasikan dengan pendekatan apresiatif,
mengikuti pendekatan Appreciative Inquiry yang dikemukakan oleh
David Cooperrider.
KPA

dilakukan

menemukan

Pendekatan ini dilakukan melalui penerapan


melalui

(discover),

tahapan

mengimpikan

(design), dan mewujudkan (deliver).

BAPEDA KOTA DEPOK

mendefinisikan

130

(dream),

(define),
merancang

Kajian Perencanaan Partisipatif

8.2. Saran

Berdasarkan Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem


Perencanaan Nasional (Pasal 27 ayat 2), Pemerintah Kota Depok
sebaiknya dapat segera menyusun dan menetapkan Peraturan Daerah
tentang Tata Cara Penyusunan RPJP Daerah, RPJM Daerah, RenstraSKPD, RKPD, Renja-SKPD dan Pelaksanaan Musrenbang.

Substansi dan semangat Peraturan Daerah tersebut hendaknya dapat


mengakomodir Skenario Kemitraan Apresiatif dari hasil kajian ini.

BAPEDA KOTA DEPOK

131

Abbas, R. 2005. Mekanisme Perencanaan Partisipasi Stakeholder Taman


Nasional Gunung Rinjani. Tesis. Bogor:Sekolah Pasca Sarjana Institut
Pertanian Bogor.
Ahmad W T. 2004. Evaluasi Tingkat Partisipasi Pembangunan di Tingkat
Komunitas. Thesis. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian
Bogor.
Arnstein S.R, 1969. A Ladder of Citizen Participation. JAIP, Vol 35. No. 4, Juli
1969.
Burns D, Hambleton, Hogget. 1994. The Politics of
Decentralisation:
Revitalising Local Democracy. London: Mac Millan Press.
Hasibuan FD. 2003. Jenjang Partisipasi Masyarakat dalam Perencanaan
pembangunan Melalui Forum Komunikasi Perencanaan Pembangunan di
Kota Depok. Tesis. Jakarta: Program Pascasarjana Ilmu Kesejahteraan
Sosial, Universitas Indonesia.
Korten DC, Sjahrir. 1988. Pembangunan Berdimensi Kerakyatan. Jakarta:
yayasan Obor Indonesia.
Lugiarti E. 2004. Peningkatan Partisipasi Masyarakat dalamproses
Perencanaan Program Pengembangan Masyarakat di Komunitas Desa
Cijayanti. Tesis. Bogor: Sekolah pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.
Pusat Kajian Bina Swadaya 2007. Pembangunan yang Diprakarsai
Masyarakat (Community Driven Development); Buku 1. Jakarta: Pusat
kajian Bina Swadaya.
Rudiyanto, A dan Setiawan, A. 2007. Relevansi Pelaksanaan Musyawarah
Perencanaan
Pembangunan
(Musrenbang)
dalam
Memperkuat
Perencanaan Partisipatif. Yayasan Inovasi Pemerintahan Daerah (YIPD).
Rustiadi E, Saefulhakim S, Panuju DR. 2006. Diktat Perencanaan
Pengembangan Wilayah. Edisi Januari 2006. Bogor: Fakultas Pertanian
Institut Pertanian Bpogor.
Tadaro M P. 2000. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Alih bahasa Han
Munandar. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Thomsen, D. 2003. Community-Based Research; An Opportunity for
Collaboration and Social Change. Submitted ini fulfilment of requirements

of the degree of Doctor of Philosophy. Australian School ofEnvironmental


Studies, Faculty of Environmental Sciences, Griffith University.
WHO Regional Offfice for Europe. 2002. Community Participation in Local
Health and Sustainable Development; Approach and Techniques.
World Bank. 2003. Kota-Kota dalam Transisi: Tinjauan Sektor Perkotaanm
Pada Era Desentralisasi di Indonesia. Jakarta: The World Bank Office.
Yustika AE. 2006. Ekonomi Kelembagaan; Definisi,Teori & Strategi. Malang:
Bayumedia Publishing.
Zakaria, RY et al. 2001. Seputar Partisipasi Warga dan Pemerintahan Lokal.
Dalam Annotated Bibliography on Citizen Participation and Local
Governance. Brighton: Logo Link.

You might also like