You are on page 1of 21

SMF/Lab Ilmu Kesehatan Anak

Tutorial Klinik

Fakultas Kedokteran Umum


Universitas Mulawarman

GNAPS
(Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus)

Disusun Oleh:
Andreas Tedi S. Karo Karo

1310029037

Ayu Herwan Mardatillah

1310029039

Pembimbing:
Dr. Sherly Yuniarchan, Sp.A
Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik
SMF/Lab Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran UmumUniversitas Mulawarman
RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda
2016

BAB I
PENDAHULUAN
Glomerulonefritis merupakan penyebab utama terjadinya gagal ginjal
tahap

akhir

dan tingginya

angka

morbiditas

pada

anak. Terminologi

glomerulonefritis yang dipakai disini adalah untuk menunjukkan bahwa kelainan


yang pertama dan utama terjadi pada glomerulus, bukan pada struktur ginjal yang
lain.1 Gejala glomerulonefritis bisa berlangsung secara mendadak (akut) atau
secara menahun (kronis) seringkali tidak diketahui karena tidak menimbulkan
gejala.Gejalanya dapat berupa mual-mual, kurang darah (anemia), atau
hipertensi.Gejala umum berupa sembab kelopak mata, kencing sedikit, dan
berwarna merah, biasanya disertai hipertensi. Penyakit ini umumnya (sekitar
80%) sembuh spontan, 10% menjadi kronis, dan 10% berakibat fatal.4
Salah satu bentuk glomerulonefritis akut (GNA) yang banyak dijumpai pada anak
adalah glomerulonefritis akut pasca streptokokus (GNAPS). GNAPS dapat terjadi pada
semua usia, tetapi peak age indence pada usia 6 7 tahun. GNAPS merupakan penyebab
terbanyak nefritis akut pada anak di negara berkembang, sedangkan di negara maju
terjadi dalam prevalensi yang rendah.3
GNAPS masih menjadi masalah bagi para dokter dan dokter spesialis anak
terutama dalam penegakan diagnosis dan tata laksana. Beberapa kasus didiagnosis
sebagai ensefalopati karena kesadaran menurun dan kejang-kejang, tetapi ternyata
GNAPS. Hal ini terjadi karena GNAPS dapat menyebabkan ensefalopati hipertensi
disertai manifestasi kejang dan atau kesadaran menurun. Oleh karena itu, pada setiap
kasus dengan gejala kejang dan atau kesadaran menurun, jangan lupa memeriksa tekanan
darah untuk melacak adanya GNAPS.3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Glomerulonefritis akut juga disebut dengan glomerulonefritis akut post
streptokokus (GNAPS) adalah suatu sindrom nefrotik akut yang ditandai dengan
timbulnya hematuria, edema, hipertensi dan penurunan fungsi ginja. Merupakan
proses radang non-supuratif yang mengenai glomeruli, sebagai akibat infeksi
kuman streptokokus beta hemolitikus grup A, tipe nefritogenik di tempat lain.
Penyakit ini sering mengenai anak-anak.1,4
Glomerulonefritis akut (GNA) adalah suatu reaksi imunologis pada ginjal
terhadap bakteri atau virus tertentu.Yang sering terjadi ialah akibat infeksi kuman
streptococcus. Glomerulonefritis merupakan suatu istilah yang dipakai untuk
menjelaskan berbagai ragam penyakit ginjal yang mengalami proliferasi dan
inflamasi glomerulus yang disebabkan oleh suatu mekanisme imunologis.
Sedangkan istilah akut (glomerulonefritis akut) mencerminkan adanya korelasi
klinik selain menunjukkan adanya gambaran etiologi, patogenesis, perjalanan
penyakit dan prognosis.3
Epidemiologi
GNAPS dapat terjadi pada semua usia, tetapi paling sering terjadi pada usia 6 7
tahun. Penelitian multisenter di Indonesia memperlihatkan sebaran usia 2,5 15 tahun
dengan rerata usia tertinggi 8,46 tahun dan rasio : = 1, 34 : 1. 1 Angka kejadian
GNAPS sukar ditentukan mengingat bentuk asimtomatik lebih banyak dijumpai daripada
bentuk simtomatik. Di negara maju, insiden GNAPS berkurang akibat sanitasi yang lebih
baik, pengobatan dini penyakit infeksi, sedangkan di negara sedang berkembang insiden
GNAPS masih banyak dijumpai.2 Di Indonesia & Kashmir, GNAPS lebih banyak
ditemukan pada golongan sosial ekonomi rendah, masing masing 68,9% 1 & 66,9%.3

Etiologi
Sebagian besar (75%) glomerulonefritis akut paska streptokokus timbul
setelah infeksi saluran pernapasan bagian atas, yang disebabkan oleh kuman
Streptokokus beta hemolitikus grup A tipe 1, 3, 4, 12, 18, 25, 49. Sedang tipe 2,
49, 55, 56, 57 dan 60 menyebabkan infeksi kulit 8-14 hari setelah infeksi

streptokokus, timbul gejala-gejala klinis. Infeksi kuman streptokokus beta


hemolitikus ini mempunyai resiko terjadinya glomerulonefritis akut paska
streptokokus berkisar 10-15%.3 Streptococcus ini dikemukakan pertama kali oleh
Lohlein pada tahun 1907 dengan alasan bahwa :
1. Timbulnya GNA setelah infeksi skarlatina
2. Diisolasinya kuman Streptococcus beta hemolyticus golongan A
3. Meningkatnya titer anti-streptolisin pada serum penderita.4
Mungkin faktor iklim, keadaan gizi, keadaan umum dan faktor alergi
mempengaruhi terjadinya GNA setelah infeksi dengan kuman Streptococcuss.
Ada beberapa penyebab glomerulonefritis akut, tetapi yang paling sering
ditemukan disebabkan karena infeksi dari streptokokus, penyebab lain
diantaranya:
1. Bakteri :

streptokokus grup C, meningococcocus, Sterptoccocus Viridans,

Gonococcus, Leptospira, Mycoplasma Pneumoniae, Staphylococcus albus,


Salmonella typhi dll
2. Virus

hepatitis B, varicella, vaccinia, echovirus, parvovirus, influenza,

parotitis epidemika dl
3. Parasit

: malaria dan toksoplasma 3

a. Streptokokus
Sterptokokus adalah bakteri gram positif berbentuk bulat yang secara khas
membentuk pasangan atau rantai selama masa pertumbuhannya. Merupakan
golongan bakteri yang heterogen. Lebih dari 90% infeksi streptokkus pada
manusia disebabkan oleh Streptococcus hemolisis kumpulan A. Kumpulan
ini diberi spesies nama S. pyogenes 1,3 S. pyogenes -hemolitik golongan A
mengeluarkan dua hemolisin, yaitu:
Sterptolisin O, adalah suatu

protein

(BM

60.000)

yang

aktif

menghemolisis dalam keadaan tereduksi (mempunyai gugus-SH) tetapi


cepat menjadi tidak aktif bila ada oksigen. Sterptolisin O bertanggung
jawab untuk beberapa hemolisis yang terlihat ketika pertumbuhan
dipotong cukup dalam dan dimasukkan dalam biakan pada lempeng agar
darah. Sterptolisisn O bergabung dengan antisterptolisin O, suatu antibody
yang timbul pada manusia setelah infeksi oleh setiap sterptokokus yang
menghasilkan sterptolisin O. antibody ini menghambat hemolisis oleh

sterptolisin O. fenomena ini merupakan dasar tes kuantitatif untuk


antibody. Titer serum antisterptolisin O (ASO) yang melebihi 160-200 unit
dianggap abnormal dan menunjukkan adanya infeksi sterptokokus yang
baru saja terjadi atau adanya kadar antibodi yang tetap tinggi setelah

serangan infeksi pada orang yang hipersensitifitas.3


Sterptolisin S, adalah zat penyebab timbulnya zone hemolitik disekitar
koloni sterptokokus yang tumbuh pada permukaan lempeng agar darah.
Sterptolisin S bukan antigen, tetapi zat ini dapat dihambat oleh
penghambat non spesifik yang sering ada dalam serum manusia dan hewan
dan tidak bergantung pada pengalaman masa lalu dengan sterptokokus.5

Gambar 1. Bakteri Sterptokokus 3


Bakteri ini hidup pada manusia di tenggorokan dan juga kulit. Penyakit yang
sering

disebabkan

diantaranya

adalah

faringitis,

demam

rematik

dan

glomerulonefritis.1
Patofisiologi
Sebenarnya bukan streptokokus yang menyebabkan kerusakan pada ginjal.
Diduga terdapat suatu antibodi yang ditujukan terhadap suatu antigen khusus yang
merupakan unsur membran plasma sterptokokal spesifik. Terbentuk kompleks
antigen-antibodi didalam darah dan bersirkulasi kedalam glomerulus tempat
kompleks tersebut secara mekanis terperangkap dalam membran basalis,
selanjutnya komplomen akan terfiksasi mengakibatkan lesi dan peradangan yang
menarik leukosit polimorfonuklear (PMN) dan trombosit menuju tempat lesi.
Fagositosis dan pelepasan enzim lisosom juga merusak endothel dan membran

basalis glomerulus (IGBM). Sebagai respon terhadap lesi yang terjadi, timbul
proliferasi sel-sel endotel yang diikuti sel-sel mesangium dan selanjutnya sel-sel
epitel. Semakin meningkatnya kebocoran kapiler gromelurus menyebabkan
protein dan sel darah merah dapat keluar ke dalam urine yang sedang dibentuk
oleh ginjal, mengakibatkan proteinuria dan hematuria. Agaknya kompleks
komplomen antigen-antibodi inilah yang terlihat sebagai nodul-nodul subepitel
pada mikroskop elektron dan sebagai bentuk granular dan berbungkah-bungkah
pada mikroskop imunofluoresensi, pada pemeriksaan cahaya glomerulus tampak
membengkak dan hiperseluler disertai invasi PMN.1,5
Menurut penelitian yang dilakukan penyebab infeksi pada glomerulus
akibat dari reaksi hipersensivitas tipe III. Kompleks imun (antigen-antibodi yang
timbul dari infeksi) mengendap di membran basalis glomerulus. Aktivasi
komplemen yang menyebabkan destruksi pada membran basalis glomerulus.1
Kompleks-kompleks

ini

mengakibatkan

kompelen

yang

dianggap

merupakan mediator utama pada cedera. Saat sirkulasi melalui glomerulus,


kompleks-kompleks ini dapat tersebar dalam mesangium, dilokalisir pada
subendotel membran basalis glomerulus sendiri, atau menembus membran basalis
dan terperangkap pada sisi epitel. Baik antigen atau antibodi dalam kompleks ini
tidak mempunyai hubungan imunologis dengan komponen glomerulus. Pada
pemeriksaan mikroskop elektron cedera kompleks imun, ditemukan endapanendapan terpisah atau gumpalan karateristik pada mesangium, subendotel, dan
epimembranosa. Dengan miskroskop imunofluoresensi terlihat pula pola nodular
atau granular serupa, dan molekul antibodi seperti IgG, IgM atau IgA serta
komponen-komponen

komplomen

seperti

C3,C4

dan C2

sering

dapat

diidentifikasi dalam endapan-endapan ini. Antigen spesifik yang dilawan oleh


imunoglobulin ini terkadang dapat diidentifikasi.1,
Hipotesis lain yang sering disebut adalah neuraminidase yang dihasilkan
oleh Streptokokus, merubah IgG menjadi autoantigenic. Akibatnya, terbentuk
autoantibodi terhadap IgG yang telah berubah tersebut. Selanjutnya terbentuk
komplek imun dalam sirkulasi darah yang kemudian mengendap di ginjal.1
Streptokinase yang merupakan sekret protein, diduga juga berperan pada
terjadinya GNAPS. Sreptokinase mempunyai kemampuan merubah plaminogen

menjadi plasmin. Plasmin ini diduga dapat mengaktifkan sistem komplemen


sehingga terjadi cascade dari sistem komplemen.1
Pola respon jaringan tergantung pada tempat deposit dan jumlah kompleks
yang dideposit. Bila terutama pada mesangium, respon mungkin minimal, atau
dapat terjadi perubahan mesangiopatik berupa ploriferasi sel-sel mesangial dan
matrik yang dapt meluas diantara sel-sel endotel dan membran basalis,serta
menghambat fungsi filtrasi simpai kapiler. Jika kompleks terutama terletak
subendotel atau subepitel, maka respon cenderung berupa glomerulonefritis
difusa, seringkali dengan pembentukan sabit epitel. Pada kasus penimbunan
kronik komplek imun subepitel, maka respon peradangan dan proliferasi menjadi
kurang nyata, dan membran basalis glomerulus berangsur- angsur menebal
dengan masuknya kompleks-kompleks ke dalam membran basalis baru yang
dibentuk pada sisi epitel.1,5
Mekanisme yang bertanggung jawab terhadap perbedaan distribusi deposit
kompleks imun dalam glomerulus sebagian besar tidak diketahui, walaupun
demikian ukuran dari kompleks tampaknya merupakan salah satu determinan
utama. Kompleks-kompleks kecil cenderung menembus simpai kapiler,
mengalami agregasi, dan berakumulasi sepanjang dinding kapiler do bawah epitel,
sementara kompleks-kompleks berukuran sedang tidak sedemikian mudah
menembus membran basalis, tapi masuk ke mesangium. Komplkes juga dapat
berlokalisasi pada tempat-tempat lain.1,5
Jumlah antigen pada beberapa penyakit deposit kompleks imun terbatas,
misal antigen bakteri dapat dimusnahkan dengan mekanisme pertahanan penjamu
atau dengan terapi spesifik. Pada keadaan demikian, deposit kompleks-kompleks
imun dalam glomerulus terbatas dan kerusakan dapat ringan dan berlangsung
singkat, seperti pada glomerulonefritis akut post steroptokokus.1,2
Hasil penyelidikan klinis imunologis dan percobaan pada binatang
menunjukkan adanya kemungkinan proses imunologis sebagai penyebab.
Beberapa penyelidik mengajukan hipotesis sebagai berikut :1
1. Terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang melekat pada membrana
basalis glomerulus dan kemudian merusaknya.

2. Proses auto-imun kuman Streptococcus yang nefritogen dalam tubuh


menimbulkan badan autoimun yang merusak glomerulus.
3. Streptococcus nefritogen dan membran basalis glomerulus mempunyai
komponen antigen yang sama sehingga dibentuk zat anti yang langsung
merusak membrana basalis ginjal.4
Gejala Klinis
GNAPS lebih sering terjadi pada anak usia 6 sampai 15 tahun dan jarang pada usia
di bawah 2 tahun.1,2 GNAPS didahului oleh infeksi GABHS melalui infeksi saluran
pernapasan akut (ISPA) atau infeksi kulit (piodermi) dengan periode laten 1-2 minggu
pada ISPA atau 3 minggu pada pioderma. Penelitian multisenter di Indonesia
menunjukkan bahwa infeksi melalui ISPA terdapat pada 45,8% kasus sedangkan melalui
kulit sebesar 31,6%.1
Gejala klinik GNAPS sangat bervariasi dari bentuk asimtomatik sampai gejala yang
khas. Bentuk asimtomatik lebih banyak daripada bentuk simtomatik baik sporadik
maupun epidemik. Bentuk asimtomatik diketahui bila terdapat kelainan sedimen urin
terutama hematuria mikroskopik yang disertai riwayat kontak dengan penderita GNAPS
simtomatik.

GNAPS simtomatik

1. Periode laten
Pada GNAPS yang khas harus ada periode laten yaitu periode antara infeksi streptokokus
dan timbulnya gejala klinik. Periode ini berkisar 1-3 minggu; periode 1-2 minggu
umumnya terjadi pada GNAPS yang didahului oleh ISPA, sedangkan periode 3 minggu
didahului oleh infeksi kulit/piodermi. Periode ini jarang terjadi di bawah 1 minggu. Bila
periode laten ini berlangsung kurang dari 1 minggu, maka harus dipikirkan kemungkinan
penyakit lain, seperti eksaserbasi dari glomerulonefritis kronik, lupus eritematosus
sistemik, purpura Henoch-Schenlein atau Benign recurrent haematuria.4
2. Edema
Merupakan gejala yang paling sering, umumnya pertama kali timbul, dan menghilang
pada akhir minggu pertama. Edema paling sering terjadi di daerah periorbital (edema
palpebra), disusul daerah tungkai. Jika terjadi retensi cairan hebat, maka edema timbul di
daerah perut (asites), dan genitalia eksterna (edema skrotum/vulva) menyerupai sindrom
nefrotik. Distribusi edema bergantung pada 2 faktor, yaitu gaya gravitasi dan tahanan
jaringan lokal. Oleh sebab itu, edema pada palpebra sangat menonjol waktu bangun pagi,
karena adanya jaringan longgar pada daerah tersebut dan menghilang atau berkurang pada

siang dan sore hari atau setelah melakukan kegitan fisik. Hal ini terjadi karena gaya
gravitasi. Kadang-kadang terjadi edema laten, yaitu edema yang tidak tampak dari luar
dan baru diketahui setelah terjadi diuresis dan penurunan berat badan. Edema bersifat
pitting sebagai akibat cairan jaringan yang tertekan masuk ke jaringan interstisial yang
dalam waktu singkat akan kembali ke kedudukan semula.
3. Hematuria
Hematuria makroskopik terdapat pada 30-70% kasus GNAPS, 4,5 sedangkan hematuria
mikroskopik dijumpai hampir pada semua kasus. Suatu penelitian multisenter di
Indonesia mendapatkan hematuria makroskopik berkisar 46-100%, sedangkan hematuria
mikroskopik berkisar 84-100%.1
Urin tampak coklat kemerah-merahan atau seperti teh pekat, air cucian daging atau
berwarna seperti cola. Hematuria makroskopik biasanya timbul dalam minggu pertama
dan berlangsung beberapa hari, tetapi dapat pula berlangsung sampai beberapa minggu.
Hematuria mikroskopik dapat berlangsung lebih lama, umumnya menghilang dalam
waktu 6 bulan. Kadang-kadang masih dijumpai hematuria mikroskopik dan proteinuria
walaupun secara klinik GNAPS sudah sembuh. Bahkan hematuria mikroskopik bisa
menetap lebih dari satu tahun, sedangkan proteinuria sudah menghilang. Keadaan terakhir
ini merupakan indikasi untuk dilakukan biopsi ginjal, mengingat kemungkinan adanya
glomerulonefritis kronik.
4. Hipertensi :

Hipertensi merupakan gejala yang terdapat pada 60-70% kasus GNAPS. Albar
mendapati hipertensi berkisar 32-70%. Umumnya terjadi dalam minggu pertama
dan menghilang bersamaan dengan menghilangnya gejala klinik yang lain. Pada
kebanyakan kasus dijumpai hipertensi ringan (tekanan diastolik 80-90 mmHg).
Hipertensi ringan tidak perlu diobati sebab dengan istirahat yang cukup dan diet
yang teratur, tekanan darah akan normal kembali. Adakalanya hipertensi berat
menyebabkan ensefalopati hipertensi yaitu hipertensi yang disertai gejala serebral,
seperti sakit kepala, muntah-muntah, kesadaran menurun dan kejang- kejang.
Penelitian multisenter di Indonesia menemukan ensefalopati hipertensi berkisar 4-50%. 1

5. Oliguria

Keadaan ini jarang dijumpai, terdapat pada 5-10% kasus GNAPS dengan produksi urin
kurang dari 350 ml/m2 LPB/hari. Oliguria terjadi bila fungsi ginjal menurun atau timbul
kegagalan ginjal akut. Seperti ketiga gejala sebelumnya, oliguria umumnya timbul dalam
minggu pertama dan menghilang bersamaan dengan timbulnya diuresis pada akhir
minggu pertama. Oliguria bisa pula menjadi anuria yang menunjukkan adanya kerusakan
glomerulus yang berat dengan prognosis yang jelek.
6. Gejala Kardiovaskular :
Gejala kardiovaskular yang paling penting adalah bendungan sirkulasi yang terjadi pada
20-70% kasus GNAPS. Bendungan sirkulasi dahulu diduga terjadi akibat hipertensi atau
miokarditis, tetapi ternyata dalam klinik bendungan tetap terjadi walaupun tidak ada
hipertensi atau gejala miokarditis. Ini berarti bahwa bendungan terjadi bukan karena
hipertensi atau miokarditis, tetapi diduga akibat retensi Na dan air sehingga terjadi
hipervolemia.
7. Edema paru
Edema paru merupakan gejala yang paling sering terjadi akibat bendungan sirkulasi.
Kelainan ini bisa bersifat asimtomatik, artinya hanya terlihat secara radiologik. Gejalagejala klinik adalah batuk, sesak napas, sianosis. Pada pemeriksaan fisik terdengar ronki
basah kasar atau basah halus. Keadaan ini disebut acute pulmonary edema yang
umumnya terjadi dalam minggu pertama dan kadang-kadang bersifat fatal. Gambaran
klinik ini menyerupai bronkopnemonia sehingga penyakit utama ginjal tidak
diperhatikan. Oleh karena itu pada kasus-kasus demikian perlu anamnesis yang teliti dan
jangan lupa pemeriksaan urin. Frekuensi kelainan radiologik toraks berkisar antara 62,585,5% dari kasus-kasus GNAPS. Kelainan ini biasanya timbul dalam minggu pertama
dan menghilang bersamaan dengan menghilangnya gejala-gejala klinik lain. Kelainan
radiologik toraks dapat berupa kardiomegali, edema paru dan efusi pleura. Tingginya
kelainan radiologik ini oleh karena pemeriksaan radiologik dilakukan dengan posisi
Postero Anterior (PA) dan Lateral Dekubitus. Kanan (LDK).
Suatu penelitian multisenter di Indonesia menunjukkan efusi pleura 81,6%, sedangkan
Srinagar da Pondy Cherry mendapatkan masing-masing 0,3% dan 52%. 1 Bentuk yang
tersering adalah bendungan paru. Kardiomegali disertai dengan efusi pleura sering
disebut nephritic lung. Kelainan ini bisa berdiri sendiri atau bersama-sama. Pada
pengamatan 48 penderita GNAPS yang dirawat di departemen Anak RSU. Wahidin
Sudirohusodo dan RS. Pelamonia di Makassar sejak April 1979 sampai Nopember 1983

didapatkan 56,4% kongesti paru, 48,7% edema paru dan 43,6% efusi pleura. Kelainan
radiologik paru yang ditemukan pada GNAPS ini sering sukar dibedakan dari
bronkopnemonia, pnemonia, atau peradangan pleura, oleh karena adanya ronki basah dan
edema paru. Menurut beberapa penulis, perbaikan radiologik paru pada GNAPS biasanya
lebih cepat terjadi, yaitu dalam waktu 5-10 hari, sedangkan pada bronkopnemonia atau
pneumonia diperlukan waktu lebih lama, yaitu 2-3 minggu. Atas dasar inilah kelainan
radiologik paru dapat membantu menegakkan diagnosis GNAPS walaupun tidak
patognomonik. Kelainan radiologik paru disebabkan oleh kongesti paru yang disebabkan
oleh hipervolemia akibat absorpsi Na dan air.
8. Gejala-gejala lain
Selain gejala utama, dijumpai gejala umum seperti pucat, malaise, letargi dan anoreksia.
Gejala pucat mungkin karena peregangan jaringan subkutan akibat edema atau akibat
hematuria makroskopik yang berlangsung lama.

Laboratorium6
Urin :
- Proteinuria :
Secara kualitatif proteinuria berkisar antara negatif sampai dengan ++, jarang
terjadi sampai dengan +++. Bila terdapat proteinuria +++ harus dipertimbangkan
adanya gejala sindrom nefrotik atau hematuria makroskopik. Secara kuantitatif
proteinuria biasanya kurang dari 2 gram/m2 LPB/24 jam, tetapi pada keadaan
tertentu dapat melebihi 2 gram/m2 LPB/24 jam. Hilangnya proteinuria tidak
selalu bersamaan dengan hilangnya gejala-gejala klinik, sebab lamanya
proteinuria bervariasi antara beberapa minggu sampai beberapa bulan sesudah
gejala klinik menghilang. Sebagai batas 6 bulan, bila lebih dari 6 bulan masih
terdapat proteinuria disebut proteinuria menetap yang menunjukkan kemungkinan
suatu

glomerulonefritis

kronik

yang

memerlukan

biopsi

ginjal

untuk

membuktikannya.
- Hematuria mikroskopik :
Hematuria mikroskopik merupakan kelainan yang hampir selalu ada, karena itu
adanya eritrosit dalam urin ini merupakan tanda yang paling penting untuk
melacak lebih lanjut kemungkinan suatu glomerulonefritis. Begitu pula dengan

torak eritrosit yang dengan pemeriksaan teliti terdapat pada 60-85% kasus
GNAPS. Adanya torak eritrosit ini merupakan bantuan yang sangat penting pada
kasus GNAPS yang tidak jelas, sebab torak ini menunjukkan adanya suatu
peradangan glomerulus (glomerulitis). Meskipun demikian bentuk torak eritrosit
ini dapat pula dijumpai pada penyakit ginjal lain, seperti nekrosis tubular akut.
Darah
- Reaksi serologis
Infeksi streptokokus pada GNA menyebabkan reaksi serologis terhadap produkproduk ekstraselular streptokokus, sehingga timbul antibodi yang titernya dapat
diukur, seperti antistreptolisin O (ASO), antihialuronidase (AH ase) dan
antideoksiribonuklease (AD Nase-B). Titer ASO merupakan reaksi serologis yang
paling sering diperiksa, karena mudah dititrasi. Titer ini meningkat 70-80% pada
GNAPS. Sedangkan kombinasi titer ASO, AD Nase-B dan AH ase yang
meninggi, hampir 100% menunjukkan adanya infeksi streptokokus sebelumnya.
Kenaikan titer ini dimulai pada hari ke-10 hingga 14 sesudah infeksi streptokokus
dan mencapai puncaknya pada minggu ke- 3 hingga 5 dan mulai menurun pada
bulan ke-2 hingga 6. Titer ASO jelas meningkat pada GNAPS setelah infeksi
saluran pernapasan oleh streptokokus. Titer ASO bisa normal atau tidak
meningkat akibat pengaruh pemberian antibiotik, kortikosteroid atau pemeriksaan
dini titer ASO. Sebaliknya titer ASO jarang meningkat setelah piodermi. Hal ini
diduga karena adanya jaringan lemak subkutan yang menghalangi pembentukan
antibodi terhadap streptokokus sehingga infeksi streptokokus melalui kulit hanya
sekitar 50% kasus menyebabkan titer ASO meningkat. Di pihak lain, titer AD
Nase jelas meningkat setelah infeksi melalui kulit.
Aktivitas komplemen :
Komplemen serum hampir selalu menurun pada GNAPS, karena turut serta
berperan dalam proses antigen-antibodi sesudah terjadi infeksi streptokokus yang
nefritogenik. Di antara sistem komplemen dalam tubuh, maka komplemen C3
(B1C globulin) yang paling sering diperiksa kadarnya karena cara pengukurannya
mudah. Beberapa penulis melaporkan 80-92% kasus GNAPS dengan kadar C3

menurun. Umumnya kadar C3 mulai menurun selama fase akut atau dalam
minggu pertama perjalanan penyakit, kemudian menjadi normal sesudah 4-8
minggu timbulnya gejala-gejala penyakit. Bila sesudah 8 minggu kadar
komplemen C3 ini masih rendah, maka hal ini menunjukkan suatu proses kronik
yang dapat dijumpai pada glomerulonefritis membrano proliferatif atau nefritis
lupus.
- Laju endap darah :
LED umumnya meninggi pada fase akut dan menurun setelah gejala klinik
menghilang. Walaupun demikian LED tidak dapat digunakan sebagai parameter
kesembuhan GNAPS, karena terdapat kasus GNAPS dengan LED tetap tinggi
walaupun gejala klinik sudah menghilang.
Diagnosis6
Berbagai macam kriteria dikemukakan untuk diagnosis GNAPS, tetapi pada
umumnya kriteria yang digunakan adalah sebagai berikut:
Gejala-gejala klinik :
1

Secara klinik diagnosis GNAPS dapat ditegakkan bila dijumpai full blown
case dengan gejala-gejala hematuria, hipertensi, edema, oliguria yang

merupakan gejala-gejala khas GNAPS.


Untuk menunjang diagnosis klinik, dilakukan pemeriksaan laboratorium
berupa ASTO (meningkat) & C3 (menurun) dan pemeriksaan lain berupa

adanya torak eritrosit, hematuria & proteinuria.


Diagnosis pasti ditegakkan bila biakan positif untuk streptokokus
hemolitikus grup A.

Pada GNAPS asimtomatik, diagnosis berdasarkan atas kelainan sedimen urin


(hematuria mikroskopik), proteinuria dan adanya epidemi/kontak dengan
penderita GNAPS.

Diagnosis banding6

Banyak penyakit ginjal atau di luar ginjal yang memberikan gejala seperti
GNAPS.
1. Penyakit ginjal :
a. Glomerulonefritis kronik eksaserbasi akut
Kelainan ini penting dibedakan dari GNAPS karena prognosisnya sangat berbeda.
Perlu dipikirkan adanya penyakit ini bila pada anamnesis terdapat penyakit ginjal
sebelumnya dan periode laten yang terlalu singkat, biasanya 1-3 hari. Selain itu
adanya gangguan pertumbuhan, anemia dan ureum yang jelas meninggi waktu
timbulnya gejala-gejala nefritis dapat membantu diagnosis.
b. Penyakit ginjal dengan manifestasi hematuria
Penyakit-penyakit ini dapat berupa glomerulonefritis fokal, nefritis herediter
(sindrom Alport), IgA-IgG nefropati (Maladie de Berger) dan benign recurrent
haematuria. Umumnya penyakit ini tidak disertai edema atau hipertensi.
Hematuria mikroskopik yang terjadi biasanya berulang dan timbul bersamaan
dengan infeksi saluran napas tanpa periode laten ataupun kalau ada berlangsung
sangat singkat.
c. Rapidly progressive glomerulonefritis (RPGN)
RPGN lebih sering terdapat pada orang dewasa dibandingkan pada anak. Kelainan
ini sering sulit dibedakan dengan GNAPS terutama pada fase akut dengan adanya
oliguria atau anuria. Titer ASO, AH ase, AD Nase B meninggi pada GNAPS,
sedangkan pada RPGN biasanya normal. Komplemen C3 yang menurun pada
GNAPS, jarang terjadi pada RPGN. Prognosis GNAPS umumnya baik, sedangkan
prognosis RPGN jelek dan penderita biasanya meninggal karena gagal ginjal.
2. Penyakit-penyakit sistemik.
Beberapa penyakit yang perlu didiagnosis banding adalah purpura HenochSchenlein, eritematosus dan endokarditis bakterial subakut. Ketiga penyakit ini
dapat menunjukkan gejala-gejala sindrom nefritik akut, seperti hematuria,
proteinuria dan kelainan sedimen yang lain, tetapi pada apusan tenggorok negatif
dan titer ASO normal. Pada HSP dapat dijumpai purpura, nyeri abdomen dan
artralgia, sedangkan pada GNAPS tidak ada gejala demikian. Pada SLE terdapat
kelainan kulit dan sel LE positif pada pemeriksaan darah, yang tidak ada pada

GNAPS, sedangkan pada SBE tidak terdapat edema, hipertensi atau oliguria.
Biopsi ginjal dapat mempertegas perbedaan dengan GNAPS yang kelainan
histologiknya bersifat difus, sedangkan ketiga penyakit tersebut umumnya bersifat
fokal.
3. Penyakit-penyakit infeksi :
GNA bisa pula terjadi sesudah infeksi bakteri atau virus tertentu selain oleh
Group A -hemolytic streptococci. Beberapa kepustakaan melaporkan gejala GNA
yang timbul sesudah infeksi virus morbili, parotitis, varicella, dan virus ECHO.
Diagnosis banding dengan GNAPS adalah dengan melihat penyakit dasarnya.
Komplikasi6
Komplikasi yang sering dijumpai adalah :
1. Ensefalopati hipertensi (EH).
EH adalah hipertensi berat (hipertensi emergensi) yang pada anak > 6 tahun dapat
melewati tekanan darah 180/120 mmHg. EH dapat diatasi dengan memberikan
nifedipin (0,25 0,5 mg/kgbb/dosis) secara oral atau sublingual pada anak dengan
kesadaran menurun. Bila tekanan darah belum turun dapat diulangi tiap 15 menit
hingga 3 kali.
Penurunan tekanan darah harus dilakukan secara bertahap. Bila tekanan darah
telah turun sampai 25%, seterusnya ditambahkan kaptopril (0,3 2 mg/kgbb/hari)
dan dipantau hingga normal.
2. Gangguan ginjal akut (Acute kidney injury/AKI)
Pengobatan konservatif :
a. Dilakukan pengaturan diet untuk mencegah katabolisme dengan
memberikan kalori secukupnya, yaitu 120 kkal/kgbb/hari
b. Mengatur elektrolit :
- Bila terjadi hiponatremia diberi NaCl hipertonik 3%.
- Bila terjadi hipokalemia diberikan :
Calcium Gluconas 10% 0,5 ml/kgbb/hari
NaHCO3 7,5% 3 ml/kgbb/hari

K+ exchange resin 1 g/kgbb/hari


Insulin 0,1 unit/kg & 0,5 1 g glukosa 0,5 g/kgbb
3. Edema paru
Anak biasanya terlihat sesak dan terdengar ronki nyaring, sehingga sering
disangka sebagai bronkopneumoni.
4. Posterior leukoencephalopathy syndrome
Merupakan komplikasi yang jarang dan sering dikacaukan dengan ensefalopati
hipertensi, karena menunjukkan gejala-gejala yang sama seperti sakit kepala,
kejang, halusinasi visual, tetapi tekanan darah masih normal.
PENGOBATAN6
1. Istirahat
Istirahat di tempat tidur terutama bila dijumpai komplikasi yang biasanya timbul
dalam minggu pertama perjalanan penyakit GNAPS. Sesudah fase akut, tidak
dianjurkan lagi istirahat di tempat tidur, tetapi tidak diizinkan kegiatan seperti
sebelum sakit. Lamanya perawatan tergantung pada keadaan penyakit. Dahulu
dianjurkan prolonged bed rest sampai berbulan-bulan dengan alasan proteinuria
dan hematuria mikroskopik belum hilang. Kini lebih progresif, penderita
dipulangkan sesudah 10-14 hari perawatan dengan syarat tidak ada komplikasi.
Bila masih dijumpai kelainan laboratorium urin, maka dilakukan pengamatan
lanjut pada waktu berobat jalan. Istirahat yang terlalu lama di tempat tidur
menyebabkan anak tidak dapat bermain dan jauh dari teman-temannya, sehingga
dapat memberikan beban psikologik.
2. Diet
Jumlah garam yang diberikan perlu diperhatikan. Bila edema berat, diberikan
makanan tanpa garam, sedangkan bila edema ringan, pemberian garam dibatasi
sebanyak 0,5-1 g/hari. Protein dibatasi bila kadar ureum meninggi, yaitu sebanyak
0,5-1 g/kgbb/hari. Asupan cairan harus diperhitungkan dengan baik, terutama
pada penderita oliguria atau anuria, yaitu jumlah cairan yang masuk harus
seimbang dengan pengeluaran, berarti asupan cairan = jumlah urin + insensible

water loss (20-25 ml/kgbb/hari) + jumlah keperluan cairan pada setiap kenaikan
suhu dari normal (10 ml/kgbb/hari).
3. Antibiotik
Pemberian

antibiotik

pada

GNAPS

sampai

sekarang

masih

sering

dipertentangkan. Pihak satu hanya memberi antibiotik bila biakan hapusan


tenggorok atau kulit positif untuk streptokokus, sedangkan pihak lain
memberikannya secara rutin dengan alasan biakan negatif belum dapat
menyingkirkan infeksi streptokokus. Biakan negatif dapat terjadi oleh karena telah
mendapat antibiotik sebelum masuk rumah sakit atau akibat periode laten yang
terlalu lama (> 3 minggu). Terapi medikamentosa golongan penisilin diberikan
untuk eradikasi kuman, yaitu Amoksisilin 50 mg/kgbb dibagi dalam 3 dosis
selama 10 hari. Jika terdapat alergi terhadap golongan penisilin, dapat diberi
eritromisin dosis 30 mg/kgbb/hari.
4. Simptomatik
a. Bendungan sirkulasi
Hal paling penting dalam menangani sirkulasi adalah pembatasan cairan, dengan
kata lain asupan harus sesuai dengan keluaran. Bila terjadi edema berat atau
tanda-tanda edema paru akut, harus diberi diuretik, misalnya furosemid. Bila tidak
berhasil, maka dilakukan dialisis peritoneal.
b. Hipertensi
Tidak semua hipertensi harus mendapat pengobatan. Pada hipertensi ringan
dengan istirahat cukup dan pembatasan cairan yang baik, tekanan darah bisa
kembali normal dalam waktu 1 minggu. Pada hipertensi sedang atau berat tanpa
tanda-tanda serebral dapat diberi kaptopril (0,3-2 mg/kgbb/hari) atau furosemid
atau kombinasi keduanya. Selain obat-obat tersebut diatas, pada keadaan asupan
oral cukup baik dapat juga diberi nifedipin secara sublingual dengan dosis 0,250,5 mg/kgbb/hari yang dapat diulangi setiap 30-60 menit bila diperlukan. Pada
hipertensi berat atau hipertensi dengan gejala serebral (ensefalopati hipertensi)
dapat diberi klonidin (0,002-0,006 mg/kgbb) yang dapat diulangi hingga 3 kali

atau diazoxide 5 mg/kgbb/hari secara intravena (I.V). Kedua obat tersebut dapat
digabung dengan furosemid (1 3 mg/kgbb).
c. Gangguan ginjal akut
Hal penting yang harus diperhatikan adalah pembatasan cairan, pemberian kalori
yang cukup dalam bentuk karbohidrat. Bila terjadi asidosis harus diberi natrium
bikarbonat dan bila terdapat hiperkalemia diberi Ca glukonas atau Kayexalate
untuk mengikat kalium.
Pemantauan6
Pada umumnya perjalanan penyakit GNAPS ditandai dengan fase akut yang
berlangsung 1-2 minggu. Pada akhir minggu pertama atau kedua gejala-gejala
seperti edema, hematuria, hipertensi dan oliguria mulai menghilang, sebaliknya
gejala-gejala laboratorium menghilang dalam waktu 1-12 bulan. Penelitian
multisenter di Indonesia memperlihatkan bahwa hematuria mikroskopik terdapat
pada rata-rata 99,3%, proteinuria 98,5%, dan hipokomplemenemia 60,4%.1 Kadar
C3 yang menurun (hipokomplemenemia) menjadi normal kembali sesudah 2
bulan. Proteinuria dan hematuria dapat menetap selama 6 bln1 tahun. Pada
keadaan ini sebaiknya dilakukan biopsi ginjal untuk melacak adanya proses
penyakit ginjal kronik. Proteinuria dapat menetap hingga 6 bulan, sedangkan
hematuria mikroskopik dapat menetap hingga 1 tahun.
Dengan kemungkinan adanya hematuria mikroskopik dan atau proteinuria yang
berlangsung lama, maka setiap penderita yang telah dipulangkan dianjurkan untuk
pengamatan setiap 4-6 minggu selama 6 bulan pertama. Bila ternyata masih
terdapat hematuria mikroskopik dan atau proteinuria, pengamatan diteruskan
hingga 1 tahun atau sampai kelainan tersebut menghilang. Bila sesudah 1 tahun
masih dijumpai satu atau kedua kelainan tersebut, perlu dipertimbangkan biopsi
ginjal.
Rujukan kepada Konsultan Ginjal Anak6
Meskipun GNAPS merupakan penyakit yang bersifat self limiting disease, masih
terdapat kasus-kasus yang perjalanan penyakitnya tidak khas sebagai GNAPS,

sehingga memerlukan rujukan kepada Konsultan Ginjal Anak untuk tindakan


khusus (antara lain biopsi ginjal).
Indikasi rujukan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Gejala-gejala tidak khas untuk GNAPS :
- Periode laten pendek
- Adanya penyakit ginjal dalam keluarga
- Pernah mendapat penyakit ginjal sebelumnya
- Usia di bawah 2 tahun atau di atas 12 tahun
2. Adanya kelainan-kelainan laboratorik yang tidak khas untuk GNAPS :
- Hematuria makroskopik > 3 bulan
- Hematuria mikroskopik > 12 bulan
- Proteinuria > 6 bulan
- Kadar komplemen C3 tetap rendah > 3 bulan
- Laju Filtrasi Glomerulus < 50% menetap > 4 bulan
- Kadar komplemen C4 rendah, ANCA (+), ANA (+), anti ds DNA (+) atau anti
GBM (+)
Perjalanan Penyakit Dan Prognosis6
Penyakit ini dapat sembuh sempurna dalam waktu 1-2 minggu bila tidak ada
komplikasi, sehingga sering digolongkan ke dalam self limiting disease. Walaupun
sangat jarang, GNAPS dapat kambuh kembali.
Pada umumnya perjalanan penyakit GNAPS ditandai dengan fase akut yang
berlangsung 1-2 minggu, kemudian disusul dengan menghilangnya gejala
laboratorik terutama hematuria mikroskopik dan proteinuria dalam waktu 1-12
bulan. Pada anak 85-95% kasus GNAPS sembuh sempurna, sedangkan pada
orang dewasa 50-75% GNAPS dapat berlangsung kronis, baik secara klinik
maupun secara histologik atau laboratorik. Pada orang dewasa kira-kira 15-30%
kasus masuk ke dalam proses kronik, sedangkan pada anak 5-10% kasus menjadi
glomerulonefritis kronik. Walaupun prognosis GNAPS baik, kematian bisa terjadi
terutama dalam fase akut akibat gangguan ginjal akut (Acute kidney injury),
edema paru akut atau ensefalopati hipertensi.

BAB III
KESIMPULAN
Glomerunefritis

merupakan

penyakit

perdangan

ginjal

bilateral. Glomerulonefritis akut paling lazim terjadi pada anakanak 5 sampai 10 tahun meskipun orang dewasa muda dan
remaja dapat juga terserang , perbandingan penyakit ini pada
pria dan wanita 2:1.
Glomerulonefritis akut juga disebut dengan glomerulonefritis akut post
streptokokus (GNAPS) adalah suatu sindrom nefrotik akut yang ditandai dengan
timbulnya hematuria, edema, hipertensi dan penurunan fungsi ginja. Merupakan
proses radang non-supuratif yang mengenai glomeruli, sebagai akibat infeksi
kuman streptokokus beta hemolitikus grup A, tipe nefritogenik di tempat lain.
Penyakit ini sering mengenai anak-anak.1,4
Tujuan utama dalam penatalaksanaan glomerulonefritis
adalah

untuk

Meminimalkan

kerusakan

pada

glomerulus,

Meminimalkan metabolisme pada ginjal, Meningkatkan fungsi


ginjal. Tidak ada pengobatan khusus yang mempengaruhi
penyembuhan kelainan glomerulus. Pemberian pinisilin untuk
membrantas semua sisa infeksi,tirah baring selama stadium
akut, diet bebas bila terjadi edema atau gejala gagal jantung dan
antihipertensi
mempunyai

kalau
efek

perlu,

pada

sementara

glomerulofritis

kortikosteroid
akut

pasca

tidak
infeksi

streptokokus.
Prognosis

penyakit

pada

anak-anak

baik

prognosisnya pada orang dewasa tidak begitu baik.

sedangkan

DAFTAR PUSTAKA

1. Wiguno .P, et al, 2009, Glomerulonefritis, Ilmu Penyakit


Dalam II, , Balai Penerbit FKUI: Jakarta. Hal: 969
2. Husein

Alatas,

1995,

Glomerulonefritis

akut,

Infomedika:IDAI: Jakarta.
3. Antonius, P, et al, 2012, Glomerulonefritis Akut Pasca
Streptokokus, dalam: Pedoman Pelayanan Medis, PP IDAI:
Jakarta. Hal: 89-91
4. lorraine, W dan Sylvia, P, 2006, Patofisiologi :Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit, ed 6, EGC, Jakarta. Hal: 867
5. Ilmu Kesehatan Anak Nelson, 2000, vol 3, ed Wahab, A.
Samik, Ed 15, Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus,
EGC: Jakarta.Hal: 1813-1814
6. Rauf S, Albar H, Aras J., 2012, Konsensus Glomerulonefritis

Akut Pasca Streptokokus, IDAI: Jakarta.

You might also like