You are on page 1of 3

Kecuali dibatasi atau ditetapkan dalam akte pendirian perseroan atau oleh ketentuan perundangundangan yang berlaku, setiap

jenis saham memberikan hak-hak dasar kepada para pemiliknya


sebagai berikut:
1. Hak untuk ikut serta dalam pengelolaan perusahaan. Termasuk memilih anggota direksi
dengan hak suara yang proporsional dengan hak kepemilikan sahamnya di dalam
perusahaan, dan hak untuk memperoleh laporan keuangan perusahaan dan menentukan
kebijakan-kebijakan strategis perusahaan.
2. Hak untuk mendapatkan pembagian laba dalam bentuk dividen yang dibagikan oleh
perusahaan.
3. Hak untuk mendapatkan pembagian aktiva bersih perusahaan. Meliputi hak untuk membagi
dividen dan hak memperoleh pembayaran kembali atas penyertaan modalnya apabila
perusahaan harus dibubarkan atau dilikuidasi.
4. Hak untuk mengubah akte pendirian, anggaran dasar dan rumah tangga perusahaan.
Meliputi hak untuk memberikan persetujuan atas perubahan-perubahan akte pendirian,
anggaran dasar dan rumah tangga perusahaan, dan hak untuk mempertahankan rasio
kepemilikan sahamnya diperusahaan.
5. Hak untuk dapat mempertahankan jumlah relative saham yang dimiliki melalui pembelian
saham-saham baru yang diterbitkan oleh perusahaan yang disebut preemptive right. Yang
memungkinkan seorang pemegang saham untuk membeli sejumlah saham tambahan
dalam hal perusahaan melakukan emisi atau menerbitkan saham baru. Sebagai akibatnya,
rasio kepemilikan saham tidak bisa dikurangi sebagai akibat dari penerbitan saham-saham
baru yang dilakukan oleh perusahaan, kecuali pemegang saham tidak menggunakan
haknya untuk membeli saham baru
Tidak setiap pemegang saham memperoleh hak-hak dasar sebagaimana dikemukakan diatas.
Sebagai contoh, preemptive right seringkali sudah dieliminasi melalui perubahan akta pendirian,
anggaran dasar dan rumah tangga perusahaan. Disamping itu, memang sengaja tidak setiap
pemegang saham diberikan hak-hak yang sama. Banyak perusahaan besar menerbitkan beberapa
jenis sekuritas saham, dengan karakteristik dan hak-hak yang berbeda (hak suara dalam rapat umum
pemegang saham, hak prioritas untuk memperolah pembayaran dividen, hak atas jumlah minimum
dividen).
Sedangkan, untuk kewajiban dari pemegang saham itu sendiri adalah sebagai berikut :
Peraturan mengenai Perseroan Terbatas diatur didalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas (?strong>UU PT?. Di dalam UU PT mengatur mengenai tanggung jawab
pemegang saham dalam Perseroan Terbatas.
Menurut Pasal 3 ayat (1) UU PT, pemegang saham Perseroan Terbatas (?strong>Perseroan? tidak
bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama Perseroan dan tidak
bertanggung jawab atas kerugian Perseroan melebihi saham yang dimiliki. Ketentuan di dalam pasal
ini mempertegas ciri dari Perseroan bahwa pemegang saham hanya bertanggung jawab sebesar
setoran atas seluruh saham dan tidak meliputi harta kekayaan pribadinya.
Namun, masih ada kemungkinan pemegang saham harus bertanggung jawab hingga menyangkut
kekayaan pribadinya berdasarkan Pasal 3 ayat (2) UU PT yang menyatakan bahwa ketentuan di
dalam Pasal 3 ayat (1) tidak berlaku apabila:
1. persyaratan Perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi;
2. pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad
buruk memanfaatkan Perseroan untuk kepentingan pribadi;
3. pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang
dilakukan oleh Perseroan; atau
4. pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung secara
melawan hukum menggunakan kekayaan Perseroan, yang mengakibatkan kekayaan
Perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang Perseroan.
Selain itu berkaitan dengan masalah likuidasi, menurut Pasal 150 ayat (5) UU PT pemegang saham
wajib mengembalikan sisa kekayaan hasil likuidasi secara proporsional dengan jumlah yang diterima
terhadap jumlah tagihan. Kewajiban untuk mengembalikan sisa kekayaan hasil likuidasi tersebut
wajib dilakukan oleh pemegang saham apabila dalam hal sisa kekayaan hasil likuidasi telah dibagikan
kepada pemegang saham dan terdapat tagihan kreditor yang belum mengajukan tagihannya

Catatan ringan ini hanya menyajikan gambaran sederhana terkait dengan konsep separation of ownership and control,
sebuah jargon yang sering kita dengar dalam area corporate governance, management, dan capital market. Makna
pertama Pada dasarnya konsep perusahaan (modern) mulai muncul pada saat perusahaan tersebut dimiliki oleh
banyak pihak, tidak lagi dimiliki oleh perorangan ataupun hanya dimiliki beberapa pihak saja. Kebutuhan modal usaha
dan pengembangan bisnis mungkin menjadi salah satu alasan mengapa kepemilikan perusahaan dibuka kepada
banyak pihak. Pada mulanya pada saat perusahaan masih belum berkembang (tertutup), pemilik (owner) masih
merangkap juga sebagai manajer perusahaan yang menjalankan usaha sehari-hari. Namun seiring dengan
berkembangnya kepemilikan pada banyak pihak (diverse ownership), maka para pemilik perusahaan (shareholders)
harus menyerahkan pengendalian perusahaan (control) kepada pihak lain, dalam hal ini management yang akan
menjalankan kegiatan sehari-hari. Inilah awal konsep separation of ownership and control- pemisahan antara
kepemilikan (ownership) dan pengendalian (control). Pemisahan ini kemudian dikenal dengan teori agency theory /
agency relationship, dimana terdapat pihak principal (shareholders) yang mendelegasikan kewenangan mengelola
perusahaan kepada agent (manajemen) dan untuk bertindak mewakili kepentingan principal. Adanya pemisahan antara
kepemilikan dan pengendalian ini juga menimbulkan permasalahan yang dikenal sebagai agency problem, yaitu
adanya perbedaan kepentingan antara pemilik dan manajemen. Pemilik mengharapkan perusahaannya bisa tumbuh
dalam jangka panjang, sedangkan manajemen dalam menjalankan tugasnya lebih berorientasi kepada jangka pendek,
sesuai dengan kontrak masa kerjanya, dan penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan pribadi yang dibebankan
kepada perusahaan. Secara teoritis, agency theory and agency problem merupakan cikal bakal tumbuhnya ilmu
corporate governance. Secara sederhana corporate governance bisa diartikan bagaimana mekanisme perusahaan
dikelola dan dijalankan serta mempelajari hubungan antara berbagai pihak yang terkait dengan perusahaan. Dari sinilah
muncul berbagai macam pengaturan terhadap perusahaan yang dikenal sebagai good corporate governance untuk
melindungi kepentingan shareholders dan stakeholders. Makna kedua Dalam konteks ini, konsep separation of
ownership and control adalah terkait dengan struktur/ kepemilikan perusahaan publik. Kalau dalam konsep pertama
lebih bersifat kepada asal mula teori pemisahan kepemilikan dan pengendalian dalam suatu perusahaan, maka dalam
makna kedua ini lebih terkait dengan struktur kepemilikan perusahaan publik yang sudah modern dan bersifat komplek.
Dalam konsep ke-dua ini, terdapat dua pengertian fundamental terkait dengan kepemilikan perusahaan, yaitu
Ownership Right (OR) dan Control Right (CR). Ownership Right (OR) mengacu kepada besarnya kepemilikan suatu
pihak terhadap perusahaan yang diukur dari jumlah uang/modal yang telah diinvestasikan dalam perusahaan, yang
sering kita lihat sebagai persentase kepemilikan. Atas dasar investasi ini, maka pemodal berhak mendapatkan Cash
Flow Right (CFR) dalam bentuk dividen atas sahamnya. Dalam kerangka pengertian ini, maka Ownership Right (OR)
juga sering disebut sebagai Cash Flow Right (CFR). Control Right (CR) mengacu kepada kekuatan mengontrol
perusahaan yang tercermin pada kekuatan suara dalam penentuan kebijakan strategis perusahaan dalam sebuat rapat
umum pemegang saham, sehinggga Control Right (CR) sering juga disebut sebagai Voting Right (VR). Secara teori,
seharusnya cash flow right dan voting right adalah sama dikarenakan saham menganut prinsip one-share-one-vote
principle. Artinya persentase kepemilikan suatu pihak yang tercermin dari jumlah nominal investasinya adalah sama
dengan persentase suara yang dimiliki pihak tersebut dalam rapat pengambilan keputusan. Ini adalah konsep yang fair,
dimana uang yang dikeluarkan untuk investasi dalam perusahaan memberikan hak yang sebanding dalam mengontrol
perusahaan melalui kekuatan suara dalam rapat. Namun demikian, terdapat kondisi atau penyimpangan dimana
ownership right/cash flow right adalah tidak sama dengan control right/voting right. Yang terjadi adalah control/voting
right melebihi dari ownership/cash flow right. Adanya voting right yang lebih besar dari cash flow right mencerminkan
ketidakadilan, dimana ada pemegang saham yang memperoleh control (suara) lebih besar dibanding persentase
kepemilikan (investasi)-nya. Atau dengan kata lain, investasi sedikit pada perusahaan namun mendapat hak voting yang
lebih besar. Penyimpangan inilah yang juga kemudian dikenal sebagai makna lain dari konsep separation of ownership
and control. Bahwa antara ownership (cash flow right) dan control (voting right) terdapat penyimpangan atau
perbedaan (deviation/separation). Yang menggelitik adalah kenapa bisa terjadi penyimpangan ini. Terdapat dua sebab
utama. Pertama, memang terdapat perbedaan kelas saham (misal adanya saham preferen yang memang menyimpang
dari prinsip one-share-one-vote). Biasanya ini terjadi pada perusahaan negara (BUMN), dimana diterbitkan saham
preferen dalam bentuk gold shares/kelas A yang dimiliki oleh pemerintah. Kedua, penyimpangan dilakukan melalui
pengaturan struktur kepemilikan terhadap suatu perusahaan, yaitu melalui pyramidal structure, cross-holding dan

konglomerasi. Sebab kedua inilah yang memang sengaja diciptakan oleh para pemilik/pengendali/family clan, terutama
terhadap perusahaan publik melalui pengaturan struktur kepemilikan, untuk memperoleh manfaat voting right yang lebih
besar dari cash flow right. Tentunya pihak pemegang saham yang dirugikan adalah pemegang saham lainnya yang
berkurang voting right-nya dibandingkan dengan control right-nya. Pemegang saham lainnya disini bisa merupakan
pemegang saham publik atau pemegang saham minoritas lainnya. Terkait dengan fenomena ini, khususnya yang
melalui struktur kepemilikan, bagaimana cara mendeteksi dan mengukurnya, misalnya untuk perusahaan
terbuka/publik? Untuk bisa menyimpulkan terjadinya penyimpangan, analisa struktur kepemilikan perusahaan
publik/terbuka harus dilakukan. Dengan tergambarnya struktur kepemilikan yang komprehensif sampai dengan ultimate
shareholder (pemegang saham paling atas, biasanya perorangan atau keluarga), maka dapat diketahui bahwa ultimate
shareholder tersebut mendapatkan keuntungan berupa voting right yang lebih besar dari cash flow right. Memang jika
hanya melihat satu atau dua derajat ke atas terhadap pemegang saham dari suatu perusahaan publik, maka tidak
terlihat adanya penyimpangan ini, dimana cash flow right adalah sama dengan voting right. Penyimpangan ini akan
terlihat jika kita menyusuri rantai kepemilikan sampai dengan paling atas (ultimate shareholder). Cara mengukur
besarnya cash flow right adalah berdasarkan persentase kepemilikan jika kepemilikan langsung dan berdasarkan
perkalian persentase kepemilikan sepanjang jalur rantai kepemilikan untuk kepemilikan tidak langsung. Sedangkan
untuk mengukur besarnya voting right kepenilikan langsung, maka atas suatu persentase kepemilikan yang ada, harus
diklarifikasi apakah terdapat penyimpangan dari one-share-one-vote principle. Apabila tidak ada penyimpangan, maka
persentase voting right sama besar dengan persentase cash flow right. Jika terdapat penyimpangan, maka harus
ditentukan berdasarkan voting right yang riil yang dimiliki oleh pemegang saham tersebut. Sedangkan untuk mengukur
voting right dalam suatu jalur rantai kepemilikan (pemilikan tidak langsung), nilai voting right yang dipakai adalah nilai
voting right yang paling rendah dalam rangkaian rantai kepemilikan tersebut. Dari hasil pembandingan pengukuran
antara cash flow right dan voting right yang dimiliki pemegang saham akhir terhadap suatu perusahaan publik yang
dimiliki melalui pengaturan struktur kepemilikan, biasanya akan diketemukan penyimpangan yang cukup besar. Sebagai
contoh konglomerasi di Korea, melalui pengaturan pyramidal structure dan cross holding, ultimate shareholder dapat
menguasai voting right sebesar 24% terhadap sebuah perusahaan publik di Korea dengan hanya memiliki 6% cash flow
right. Sebuah penyimpangan yang cukup material dan merugikan pemegang saham lainnya yang hak voting right-nya
terkurangi secara signifikan.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/boby-hernawan/corporate-governance-dua-makna-konsep-separation-ofownership-and-control_552fef086ea834b36b8b45cd

You might also like