You are on page 1of 13

REFERAT

TRAUMA CAPITIS

Disusun oleh :
Melissa Setiawan Putra (0610005)
Christian (0610012)
Gregorius A. Enrico A. (0610037)
Wiliiam Jakatama Suwandi (0610053)
Natasha Devi ()

Pembimbing :
dr. M.N. Simamora, Sp. B, FINACS

SMF BEDAH RUMAH SAKIT IMMANUEL


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN
MARANATHA
BANDUNG
2010

BAB I
PENDAHULUAN
Trauma kapitis atau lebih dikenal dengan gegar otak oleh masyarakat, merupakan penyakit
yang dapat menyebabkan kematian atau kelumpuhan pada semua tingkat usia. Trauma kapitis
merupakan urutan kedua penyebab kematian pada usia antara 1-35 tahun, kurang lebih setiap
tahun 77.000 orang meninggal dan sekitar 50.000 orang menderita kelumpuhan setiap tahunnya
di Amerika Serikat karena trauma kapitis. Di Indonesia sendiri, walaupun belum ada data pasien
mengenai angka kejadian trauma kapitis, tetapi yang jelas trauma sering dan banyak terjadi di
rumah sakit di seluruh Indonesia. Penyebab trauma kapitis adalah benturan pada kepala, seperti
kecelakaan kerja, lalu lintas dan jatuh. Trauma kapitis lebih berbahaya dari trauma pada organ
lainnya, karena trauma ini mengenai otak. Selain itu sekali neuron rusak tidak dapat diperbaiki
lagi. Trauma ini mengakibatkan malapetaka besar bagi seorang individu. Beberapa masalah
disebabkan langsung dan banyak lainnya karena efek sekunder dari trauma. Penderita dapat
meninggal atau menjadi cacat, invalid, tergantung pada orang lain dan menjadi beban bagi
keluarga.
Melihat kenyataan di atas, penderita perlu mendapatkan penanganan serius dan melibatkan
berbagai tenaga kesehatan agar dapat memberikan pertolongan guna mencegah hal-hal yang
lebih buruk dan lebih berbahaya bagi penderita trauma kapitis.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ANATOMI
A. Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin atau kulit, connective tissue
atau jaringan penyambung, aponeurosis atau galea aponeurotika, loose conective tissue atau
jaringan penunjang longgar dan pericranium.

Gambar 1. Lapisan Kranium


B. Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak terdiri dari
beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria khususnya di regio
temporal adalah tipis, namun di sini dilapisi oleh otot temporalis. Basis kranii berbentuk tidak
rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan
deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu : fosa anterior tempat lobus frontalis,

fosa media tempat temporalis dan fosa posterior ruang bagi bagian bawah batang otak dan
serebelum.
C. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan yaitu :
1. Duramater
Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal dan lapisan
meningeal.4 Duramater merupakan selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrisa yang
melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput arachnoid
di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang subdural) yang terletak antara
duramater dan arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak,
pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di
garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan
perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan
sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat.
Arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari kranium (ruang epidural).
Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan
menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea
media yang terletak pada fosa temporalis (fosa media).
2. Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang. Selaput arakhnoid terletak
antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini
dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial, disebut spatium subdural dan dari pia mater
oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan sub arakhnoid
umumnya disebabkan akibat cedera kepala.
3. Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adarah membrana vaskular
yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk kedalam sulci yang paling dalam.

Membrana ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang
masuk kedalam substansi otak juga diliputi oleh pia mater.
D. Otak
Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat pada orang dewasa sekitar 14 kg.7
Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu; proensefalon (otak depan) terdiri dari serebrum dan
diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons,
medula oblongata dan serebellum.

Gambar 2. Lobus-lobus Otak


Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi,
fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan dengan fungsi sensorik
dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital
bertanggung jawab dalam proses penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem
aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewapadaan. Pada medulla oblongata
terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan
keseimbangan.

E. Cairan serebrospinalis
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan kecepatan produksi
sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel lateral melalui foramen monro menuju
ventrikel III, dari akuaduktus sylvius menuju ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam
sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya
darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan
CSS dan menyebabkan kenaikan takanan intracranial. Angka rata-rata pada kelompok populasi
dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari.
F. Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial (terdiri dari fosa
kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang infratentorial (berisi fosa kranii posterior).
G. Perdarahan Otak
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis. Keempat arteri ini
beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk sirkulus Willisi. Vena-vena otak
tidak mempunyai jaringan otot didalam dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai
katup. Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus cranialis.
2.2 ASPEK FISIOLOGIS CEDERA KEPALA
a. Hukum Monroe-Kellie
Volume intrakranial adalah tetap karena sifat dasar dari tulang tengkorak yang tidak elastik.
Volume intrakranial (Vic) adalah sama dengan jumlah total volume komponen-komponennya
yaitu volume jaringan otak (V br), volume cairan serebrospinal (V csf) dan volume darah (Vbl).
Vic = V br+ V csf + V bl
b. Tekanan Perfusi Serebral
Adalah selisih antara mean arterial pressure (MAP) dan tekanan intarkranial (ICP). Pada
seseorang yang dalam kondisi normal, aliran darah otak akan bersifat konstan selama MAP
berkisar 50-150mmhg. Hal ini dapat terjadi akibat adannya autoregulasi dari arteriol yang akan

mengalami vasokonstriksi atau vasodilatasi dalam upaya menjaga agar aliran darah ke otak
berlangsung konstan.
2.3 DEFINISI
Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara langsung atau
tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik,
kognitif, psikososial, bersifat temporer atau permanen. Menurut Brain Injury Assosiation of
America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun
degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau
mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.
2.4 PATOFISIOLOGI
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer dan
cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung dari
suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu benda keras maupun
oleh proses akselarasideselarasi gerakan kepala. Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi
peristiwa coup dan contrecoup. Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada
tulang tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan dengan
tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup. Akselarasi-deselarasi terjadi karena
kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas
antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semisolid) menyebabkan tengkorak
bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa
otak membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan
(countercoup).

Gambar 3. Coup dan countercoup


Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang timbul
sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan, edema otak, kerusakan
neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi.
Fraktur tengkorak
Fraktur tengkorak dapat terjadi pada kalvaria atau basis. Pada fraktur kalvaria ditentukan apakah
terbuka atau tertutup, linear atau stelata, depressed atau non depressed. Fraktur tengkorak basal
sulit tampak pada foto sinar-x polos dan biasanya perlu CT scan dengan setelan jendela-tulang
untuk memperlihatkan lokasinya. Sebagai pegangan umum, depressed fragmen lebih dari
ketebalan tengkorak (> 1 tabula) memerlukan operasi elevasi. Fraktura tengkorak terbuka atau
compound berakibat hubungan langsung antara laserasi scalp dan permukaan serebral karena
duranya robek, dan fraktura ini memerlukan operasi perbaikan segera. Frekuensi fraktura
tengkorak bervariasi, lebih banyak fraktura ditemukan bila penelitian dilakukan pada populasi
yang lebih banyak mempunyai cedera berat. Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko
hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan 20 kali pada pasien yang
tidak sadar. Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar 400 kali
pada pasien yang sadar dan 20 kali pada pasien yang tidak sadar. Untuk alasan ini, adanya
fraktura tengkorak mengharuskan pasien untuk dirawat dirumah sakit untuk pengamatan, tidak
peduli bagaimana baiknya tampak pasien tersebut.

Lesi Intrakranial
Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difusa, walau kedua bentuk cedera ini
sering terjadi bersamaan. Lesi fokal termasuk hematoma epidural, hematoma subdural, dan
kontusi (atau hematoma intraserebral). Pasien pada kelompok cedera otak difusa, secara umum,
menunjukkan CT scan normal namun menunjukkan perubahan sensorium atau bahkan koma
dalam. Basis selular cedera otak difusa menjadi lebih jelas pada tahun-tahun terakhir ini.
Hematoma Epidural
Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk di ruang potensial antara tabula
interna dan duramater. Paling sering terletak di regio temporal atau temporal parietal dan sering
akibat robeknya pembuluh meningeal media. Perdarahan biasanya dianggap berasal arterial,
namun mungkin sekunder dari perdarahan vena pada sepertiga kasus. Kadang-kadang, hematoma
epidural mungkin akibat robeknya sinus vena, terutama diregio parietal-oksipital atau fossa
posterior. Walau hematoma epidural relatif tidak terlalu sering (0.5% dari keseluruhan atau 9%
dari pasien koma cedera kepala), harus selalu diingat saat menegakkan diagnosis dan ditindak
segera. Bila ditindak segera, prognosis biasanya baik karena cedera otak disekitarnya biasanya
masih terbatas. Outcome langsung bergantung pada status pasien sebelum operasi. Mortalitas
dari hematoma epidural sekitar 0% pada pasien tidak koma, 9% pada pasien obtundan, dan 20%
pada pasien koma dalam.
Hematoma Subdural
Hematoma subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi di antara duramater dan arakhnoid.
SDH lebih sering terjadi dibandingkan EDH, ditemukan sekitar 30% penderita dengan cedera
kepala berat. Terjadi paling sering akibat robeknya vena bridging antara korteks serebral dan
sinus draining. Namun ia juga dapat berkaitan dengan laserasi permukaan atau substansi otak.
Fraktura tengkorak mungkin ada atau tidak. Selain itu, kerusakan otak yang mendasari
hematoma subdural akuta biasanya sangat lebih berat dan prognosisnya lebih buruk dari
hematoma epidural. Mortalitas umumnya 60%, namun mungkin diperkecil oleh tindakan operasi
yang sangat segera dan pengelolaan medis agresif.

Kontusi dan hematoma intraserebral.


Kontusi serebral sejati terjadi cukup sering. Selanjutnya, kontusi otak hampir selalu berkaitan
dengan hematoma subdural. Majoritas terbesar kontusi terjadi dilobus frontal dan temporal,
walau dapat terjadi pada setiap tempat termasuk serebelum dan batang otak. Perbedaan antara
kontusi dan hematoma intraserebral traumatika tidak jelas batasannya. Bagaimanapun, terdapat
zona peralihan, dan kontusi dapat secara lambat laun menjadi hematoma intraserebral dalam
beberapa hari. Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam jaringan (parenkim)
otak. Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau kontusio jaringan otak yang menyebabkan
pecahnya pula pembuluh darah yang ada di dalam jaringan otak tersebut. Lokasi yang paling
sering adalah lobus frontalis dan temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan
(coup) atau pada sisi lainnya (countercoup). Defisit neurologi yang didapatkan sangat bervariasi
dan tergantung pada lokasi dan luas perdarahan.
2.5 KLASIFIKASI
Cedera kepala diklasifikasikan berdasarkan nilai Glasgow Coma Scale adalah sebagai
berikut :
1. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefenisikan sebagai cedera kepala berat.
2. Cedera kepala sedang memiliki nilai GCS 9-13 dan,
3. Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14-15.

Tabel 1. Glasgow Coma Scale

2.6 PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya memikili tujuan untuk
memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder serta memperbaiki keadaan
umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu penyembuhan sel-sel otak yang sakit.16
Penatalaksanaan cedera kepala tergantung pada tingkat keparahannya, berupa cedera kepala
ringan, sedang, atau berat. Prinsip penanganan awal meliputi survei primer dan survei sekunder.
Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain airway, breathing,
circulation, disability, dan exposure, yang kemudian dilanjutkan dengan resusitasi. Pada

penderita cedera kepala khususnya dengan cedera kepala berat survei primer sangatlah penting
untuk mencegah cedera otak sekunder dan mencegah homeostasis otak. Tidak semua pasien
cedera kepala perlu di rawat inap di rumah sakit.
Indikasi rawat antara lain:
1. Amnesia posttraumatika jelas (lebih dari 1 jam)
2. Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit)
3. Penurunan tingkat kesadaran
4. Nyeri kepala sedang hingga berat
5. Intoksikasi alkohol atau obat
6. Fraktura tengkorak
7. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea
8. Cedera penyerta yang jelas
9. Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggungjawabkan
10. CT scan abnormal
Terapi medikamentosa pada penderita cedera kepala dilakukan untuk memberikan suasana
yang optimal untuk kesembuhan. Hal-hal yang dilakukan dalam terapi ini dapat berupa
pemberian cairan intravena, hiperventilasi, pemberian manitol, steroid, furosemid, barbitirat dan
antikonvulsan. Pada penanganan beberapa kasus cedera kepala memerlukan tindakan operatif.
Indikasi untuk tindakan operatif ditentukan oleh kondisi klinis pasien, temuan neuroradiologi dan
patofisiologi dari lesi. Secara umum digunakan panduan sebagai berikut:
1. volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah supratentorial atau lebih
2. dari 20 cc di daerah infratentorial
3. kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis, serta gejala dan
4. tanda fokal neurologis semakin berat
5. terjadi gejala sakit kepala, mual, dan muntah yang semakin hebat
6. pendorongan garis tengah sampai lebih dari 3 mm
7. terjadi kenaikan tekanan intrakranial lebih dari 25 mmHg.
8. terjadi penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan ulang CT scan
9. terjadi gejala akan terjadi herniasi otak
10. terjadi kompresi / obliterasi sisterna basalis

DAFTAR PUSTAKA

Anderson S. McCarty L., Cedera Susunan Saraf Pusat, Patofisiologi, edisi 4, Anugrah P. EGC,
Jakarta,1995, 1014-1016
Anonym, Intracranial Hemorrhage, www.ispub.com
Buergener F.A, Differential Diagnosis in Computed Tomography, Baert A.L. Thieme Medical
Publisher, New York,1996, 22
Dahnert W, MD, Brain Disorders, Radioogy Review Manual, second edition, Williams &
Wilkins, Arizona, 1993, 117 178
Markam S, Trauma Kapitis, Kapita Selekta Neurologi, Edisi kedua, Harsono, Gajah Mada
University Press, Yogyakarta, 2005, 314
Mardjono M. Sidharta P., Mekanisme Trauma Susunan Saraf, Neurologi Kilinis Dasar, Dian
Rakyat, Jakarta, 2003, 254-259
Sain I, Asuhan Keperawatan Klien Dengan Trauma Kapitis, http://iwansain.wordpress.com/2007

You might also like