You are on page 1of 22

11

BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN

II.1. DEFINISI STROKE


Stroke adalah suatu episode disfungsi neurologi akut yang
disebabkan oleh iskemia atau perdarahan, berlangsung selama 24 jam
atau meninggal, tetapi tidak mempunyai bukti yang cukup untuk
disklasifikasikan . (Sacco dkk, 2013)
Stroke hemoragik adalah disfungsi neurologis yang berkembang
cepat, yang disebabkan oleh kumpulan darah setempat pada parenkim
otak atau sistem ventrikular yang tidak disebabkan oleh trauma. (Sacco
dkk, 2013)
Defenisi

perdarahan

intraserebral

adalah

kumpulan

darah

setempat pada parenkim otak atau sistem ventrikel yang tidak disebabkan
oleh trauma. (Sacco dkk, 2013).
Menurut WHO stroke didefinisikan suatu gangguan fungsional otak
yang terjadi secara mendadak dengan tanda-tanda dan gejala klinik baik
fokal maupun global yang berlangsung lebih dari 24 jam, atau dapat
menimbulkan kematian, disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak.
(Setyopranoto, 2011)
Beberapa definisi tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa stroke
adalah :
1. Timbulnya kelainan saraf yang sifatnya mendadak.

12

2. Kelainan saraf yang ada harus sesuai dengan daerah atau bagian dari
otak yang terganggu.

II.2. EPIDEMIOLOGI STROKE


Kasus stroke bervariasi di berbagai Negara di Eropa, diperkirakan
terdapat 100-200 kasus stroke baru per 10.000 penduduk per tahun.
(Fewel dkk, 2003). Berdasarkan data WHO, setiap tahunnya terdapat 15
juta orang di seluruh dunia menderita stroke. Berdasarkan data NCHS,
stroke merupakan penyebab kematian tertinggi keempat di Amerika
Serikat setelah penyakit jantung, kanker, dan penyakit saluran pernafasan
bawah sejak tahun 2008. Menurut AHA, diperkirakan terjadi 3 juta
penderita stroke pertahun dan 500.000 penderita stroke baru yang terjadi
pertahun. Sedangkan angka kematian penderita stroke di Amerika Serikat
adalah 50-100 per 100.000 penderita pertahun. Angka kematian tersebut
mulai menurun sejak awal tahun 1900, dimana angka kematian sesudah
tahun 1969 menurun hingga 5% pertahun. (Setyopranoto, 2011)
Di Indonesia prevalensi stroke mencapai angka 8,3 per 1.000
penduduk. Daerah yang memiliki prevalensi stroke tertinggi adalah
Nanggroe Aceh Darussalam yaitu 16,6 per 1.000 penduduk dan yang
terendah adalah Papua yaitu 3,8 per 1.000 penduduk (DEPKES RI, 2013).
Prevalensi stroke berdasarkan diagnosis nakes tertinggi di Sulawesi Utara
(10,8%), diikuti DI Yogyakarta (10,3%), Bangka Belitung dan DKI Jakarta
masing-masing 9,7%. (Anggiamurni, 2010)

13

Prevalensi Stroke berdasarkan terdiagnosis nakes dan gejala


tertinggi terdapat di Sulawesi Selatan (17,9%), DI Yogyakarta (16,9%),
Sulawesi Tengah (16,6%, diikuti Jawa Timur sebesar 16%). Prevalensi
penyakit stroke pada kelompok yang didiagnosis nakes berdasarkan
gejala meningkat seiring dengan bertambahnya umur, tertinggi pada umur
75 tahun (43,1%) dan (67%). Insiden stroke mencapai 0,5 per 1.000
pada usia 40 tahun, dan meningkat menjadi 70 per 1.000 pada usia 70
tahun. Angka kematian stroke mencapai 20% pada 3 hari pertama dan
25% pada tahun pertama. (Anggiamurni, 2010)
Stroke iskemik merupakan presentasi terbanyak pada kasus stroke
yakni 80%, yang terdiri dari emboli intracranial (25%) dan thrombosis
intracranial (75%). Sementara itu stroke hemoragik adalah 20% dari
stroke yang terdiri dari perdarahan intraserebral dan perdarahan
subaraknoid. (Shiber dkk, 2010)
Stroke hemoragik spontan terjadi pada 15-20% kasus semua
stroke dan mengenai lebih dari 2 juta orang di seluruh dunia tiap tahun.
Benua Asia menjadi Negara dengan kejadian stroke hemoragik terbanyak
di seluruh dunia. Angka kejadian stroke hemoragik bervariasi yakni pada
rentang usia 18-95 tahun. Kasus yang paling banyak menimpa pasien
berjenis kelamin laki-laki dan usia lebih dari 55 tahun dengan peningkatan
angka kejadian dua kali lipat seiring dengan peningkatan dekade hingga
usia 80 tahun. Stroke hemoragik juga sering terjadi pada usia kurang dari
40 tahun. (Sandoval, 2006)

14

II.3 KLASIFIKASI STROKE HEMORAGIK


Berdasarkan atas gambaran klinik, patologi anatomi, sistem
pembuluh darah dan stadiumnya, dikenal bermacam-macam klasifikasi
stroke. Dasar klasifikasi yang berbeda-beda ini perlu, sebab setiap jenis
stroke mempunyai cara pengobatan, preventif dan prognosis yang
berbeda, walaupun patogenesisnya serupa. (Manno dkk, 2005)

II.3.1. Pendarahan Intra Serebri (PIS)


Pecahnya pembuluh darah (mikroaneurisma) terutama karena
hipertensi mengakibatkan darah masuk ke dalam jaringan otak,
membentuk massa yang menekan jaringan otak dan menimbulkan edema
otak. Peningkatan Tekanan Intra Kranial (TIK) yang terjadi cepat, dapat
mengakibatkan kematian mendadak karena herniasi otak. Perdarahan
intraserebri yang disebabkan hipertensi sering dijumpai di daerah
putamen, talamus, pons, dan serebellum (Meng dkk, 1995).

Gambar II.1. Stroke Hemoragik (Kontos, 2001)

15

II.3.1. Perdarahan Subarakhnoid (PSA)


Perdarahan ini berasal dari pecahnya aneurisma berry (AVM).
Aneurisma yang pecah ini berasal dari pembuluh darah sirkulasi Willisi
dan cabang-cabangnya yang terdapat di luar parenkim otak (Juwono,
1993).

Pecahnya

arteri

dan

keluarnya

ke

ruang

subarachnoid

menyebabkan TIK meningkat mendadak, meregangnya struktur peka 24


nyeri, dan vasospasme pembuluh darah serebri yang berakibat disfungsi
otak global (nyeri kepala hebat, penurunan kesadaran) maupun fokal
(hemipharese, gangguan hemisensorik, afasia dan yang lainnnya). Sering
pula dijumpai kaku kuduk dan tanda-tanda rangsangan selaput otak
lainnya. (Faracci dkk, 1993)
Peningkatan TIK yang mendadak juga mengakibatkan perdarahan
subhiolid

pada

retina

dan

penurunan

kesadaran.

subarakhnoid dapat mengakibatkan vasospasme

Perdarahan

pembuluh darah

serebri. Vasospasme sering terjadi 3-5 hari setelah terjadinya perdarahan,


mencapai puncaknya pada hari ke- 5 atau hari ke- 9, dan dapat
menghilang setelah minggu ke-2 sampai dengan minggu ke-5. Timbulnya
vasospasme diduga karena interaksi antara bahan-bahan yang berasal
dari darah dan dilepaskan ke dalam cairan serebrospinal dengan
pembuluh arteri di ruang subarakhnoid. Vasospasme mengakibatkan
disfungsi otak global mupun fokal. Otak dapat berfungsi jika kebutuhan O 2
dan glukosa otak terpenuhi. Energi yang dihasilkan di dalam sel saraf
hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak memiliki cadangan
O2 sehingga jika terjadi kerusakan atau kekurangan aliran darah otak

16

walau sebentar akan mengakbatkan gangguan fungsi. Demikian pula


dengan kebutuhan glukosa sebagai bahan bakar metabolisme otak, tidak
boleh kurang dari 20 mg% karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan
glukosa sebanyak 25% dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga
bila kadar glukosa plasma turun sampai 70% akan 25 terjadi gejala
disfungsi serebri. Otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi O 2
melalui proses metabolik anaerob, yang dapat menyebabkan dilatasi
pembuluh darah otak. (Misbach, 2011)

II.4. FAKTOR RISIKO STROKE


Ada beberapa yang memudahkan timbulnya stroke. Secara garis besar
dikelompokkan menjadi : (Sjahrir, 2003).
1. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi
a. Usia
b. Jenis kelamin
c. Herediter
d. Ras/etnik
2. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi
a. Riwayat stroke
b. Hipertensi
c. Penyakit jantung
d. Diabetes mellitus
e. Transient ischemic attack
f. Hiperkolesterol

17

g. Penggunaan kontrasepsi oral


h. Obesitas
i. Merokok

II.5. PATOFISIOLOGI STROKE HEMORAGIK


Perdarahan intraserebral biasanya timbul pada ganglia basalis,
talamus, lobus serebri, batang otak dan serebelum. Kerusakan jaringan
primer dan distorsi terjadi saat pembentukan hematom pada waktu darah
menyebar diantara celah substansia alba. Perdarahan umumnya timbul
akibat rupturnya arteri kecil oleh efek degeneratif dan hipertensi kronik
Vaskulopati pada hipertensi kronik mengenai arteri perforantes yang
berdiameter 100 400 m, kemudian mengakibatkan terjadinya
lipohialinosis atau nekrosis fokal. Hal ini dapat menjelaskan distribusi
perdarahan hipertensif pada teritori yang mendapat suplai dari arteri
lentikulostriata (ganglia basalis), arteri talamo perforantes (talamus), rami
perforantes dari arteri basilaris (pons) dan arteri serebelaris anterior
inferior dan anterior superior (serebelum). (Sacco dkk, 2013)
Jika pembuluh darah tersebut pecah, maka perdarahan dapat
berlanjut sampai dengan 6 jam dan jika volumenya besar akan merusak
struktur anatomi otak dan menimbulkan gejala klinik. Menurut Cushing
bahwa brain injury oleh karena perdarahan spontan intraserebri
diakibatkan oleh tekanan lokal yang menekan mikrosirkulasi dan
menyebabkan iskemia di sekeliling hematom. (Meng dkk, 1995)

18

Produk darah dan plasma merupakan mediator dari berbagai


proses sekunder yang terjadi setelah perdarahan spontan intraserebri.
Setelah perdarahan spontan intraserebri, mediator inflamasi dari darah
dapat menginduksi reaksi inflamasi pada hematom dan daerah sekitarnya,
dapat ditemukan neutrofil, makrofag, leukosit, dan mikroglia aktif.
Pelepasan enzim sitotoksik, radikal bebas, nitrid oksida dan produk
kaskade fosfolipid diduga berperan pada secondary neural injury dan
kematian sel. Disebutkan pula mengenai peranan nekrosis dan apoptosis
pada kematian neuron. (Grott, 2004)
Proses pembentukan edema perihematom berawal segera setelah
onset PIS, umumnya dalam 3 jam, dan meningkat secara bertahap dalam
sekurangnya 72 jam. Beberapa mekanisme dalam sekuens yang berperan
dalam pembentukan edema antara lain: fase pertama ditandai dengan
retraksi clot dan ekstrusi serum; fase kedua (dalam 2 hari pertama) terjadi
aktivasi kaskade koagulasi dan produksi trombin; serta fase terakhir (3
hari setelah onset) terjadi suatu lisis sel darah merah dan kerusakan
neuron yang diinduksi oleh hemoglobin. (Rambert, 2014)
Peran sentral trombin dalam meningkatkan edema perihematom
telah dilaporkan dalam sejumlah penelitian baik dalam percobaan maupun
pada PIS manusia, dan didapat data adanya penurunan pembentukan
edema setelah pemberian trombin inhibitor. Efek merusak dari trombin
pada jaringan perihematom diperantarai oleh inflamasi, sitotoksisitas dan
kerusakan sawar darah otak. Petanda molekular yang berhubungan
dengan peningkatan edema perihematom meliputi peningkatan glutamat,

19

tumor necrosis factor-, interleukin-1, dan intercellular adhesion molecule1, tetapi hanya kadar tumor necrosis factor- yang tidak tergantung
dengan volume edema perihematom. (Subramania, 2006)
Kadar glutamat serum yang tinggi berhubungan dengan outcome
neurologis yang buruk setelah PIS.14,15,16,17 Pemecahan hematom
meliputi

invasi

makrofag,

progresi

edema

sekitar,

pembentukan

microvessel pada tepi klot dan kadangkala gliosis. Hasil akhir adalah
jaringan parut yang ditandai dengan hemosiderin atau kavitas yang
mengandung darah lama yang dikelilingi jaringan ikat. (Kontos, 2001)
Gejala neurologis yang timbul karena ekstravasasi darah ke
jaringan otak sehingga menyebabkan nekrosis. Pada saat awal mungkin
darah hanya akan mendesak jaringan otak tanpa merusaknya, karena
saat itu difusi darah ke jaringan belum terjadi. Perdarahan intraserebral
dan edema bisa mengganggu dan menekan jaringan otak sekitarnya,
mengakibatkan gangguan neurologis. Absorpsi dapat terjadi dalam waktu
3-4 minggu. (Kontos, 2001)
Proses kematian sel otak akibat iskemia melalui 2 proses yaitu
nekrosis dan apoptosis. Kematian akibat nekrosis ditandai dengan adanya
edema sitoplasma dan pembengkakan sel, kerusakan sitoskeleton dan
ruptur membran sel dan organela. Tanda-tanda inflamasi nyata didapatkan
pada nekrosis sel. Kematian sel pada proses apoptosis bersifat aktif dan
didapatkan ekspresi protein baru. Energi sel normal sampai tahap final
kematian sel, penurunan energi sel terjadi lambat akibat sekunder dari
apoptosis. Aktifasi endonuklease menyebabkan pemecahan ikatan ganda

20

DNA, terbentuk fragmentasi DNA, dan kondensasi kromatin. Sel menjadi


mengkerut dan terbentuk tonjolan-tonjolan membran. Tonjolan membran
bertambah besar dan terpisah dari sel membentuk apoptotic bodies, yang
kemudian mengalami lisis dan mengalami proses fagositosis. Proses
apoptosis ini terjadi dalam beberapa hari. Pada apoptosis tidak didapatkan
inflamasi atau hanya terdapat inflamasi ringan. (Harjuno, 2011)

II.6. PEMBENTUKAN RADIKAL BEBAS


Radikal bebas adalah setiap atom atau senyawa yang memiliki
setidaknya satu elektron yang tidak berpasangan pada orbital luarnya. Sel
organisme memerlukan proses respirasi aerob yang terjadi dalam
mitokondria melalui proses oksidasi. Dalam keadaan normal, radikal
bebas dihasilkan oleh sel selama proses oksidasi. Radikal bebas
mengandung oksigen dan atau nitrogen yang diproduksi terus menerus.
(Kontos, 2001)
Perubahan oksigen menjadi air dan ATP pada rantai transport
elektron

mitokondria

menghasilkan

superoksida

(SO2),

hidrogen

peroksida (H2O2), hidroksil radikal (OH-) yang umumnya dikenal sebagai


reactive oxygen species (ROS) yang menjadi pusat adalah atom oksigen,
serta reaktive nitrogen species (RNS) seperti nitrit oksida (NO) dan
nitrogen dioksida (NO2) yang menjadi pusat adalah atom nitrogen.20
Superoksida (O2) merupakan radikal bebas yang sebenarnya dan akan
menghasilkan hidrogen peroksida (H2O2). (Kontos, 2001)

21

Superoksida diproduksi melalui berbagai reaksi enzimatik atau


melalui auto oksidasi dari komponen jaringan. Interaksi antara radikal
oksigen dengan komponen jaringan lain dapat menghasilkan varietas
radikal lain. Antara lain interaksi antara superoksida dengan nitrit oksida
akan memproduksi asam peroksinitrit. Interaksi ini merupakan sumber dari
radikal hidroksil yang dikatalisis oleh serum besi. Antara non radikal
dengan radikal juga dapat terjadi reaksi yang menghasilkan reaksi rantai
yang membentuk radikal bebas yang lain dari senyawa non radikal itu,
misalnya reaksi antara radikal hidroksil dengan fosfolipid membran akan
menghasilkan peroksida lipid. (Graham and Hickey, 2002)
Pada konsentrasi yang besar, radikal oksigen dapat menyebabkan
kematian sel dan kerusakan jaringan, superoksida, hidrogen peroksida
dan peroksinitrit bersifat vasodilator serebral reversibel pada konsentrasi
rendah. superokside mendilatasi arteriol serebral melalui pembukaan
calcium activated potassium channels. Radikal oksigen juga dapat
meningkatkan agregasi platelet serta meningkatkan permeabilitas endotel.
Glutamat

yang

mengaktifkan

menstimulasi

nitrit

okside

NMDA

sintase

(N-methyl-D-aspartat)

yang

akan

memproduksi

akan
NO,

sedangkan glutamat yang mengaktifkan reseptor AMPA (Alpha-amino-3hydroxy-5-methyl-4-isoxazolpropionat) akan memproduksi superoksida
(SO2). (Kontos, 2001)
Interaksi antara nitrit oksida dan superoksida di dalam sel akan
menghasilkan peroksinitrit, yang dapat menimbulkan suatu injury.
Peroksinitrit akan diinaktivasi secara cepat dan tidak dilepaskan ke ruang

22

ekstraseluler. Radikal bebas nitrit oksida (NO) dihasilkan 3 jenis isoform


nitrit oksida sintase (NOS) yaitu neuronal NOS (nNOS), inducible NOS
(iNOS) dan endotelial (eNOS), merupakan enzym yang aktivitasnya
tergantung kalsium dan stimulasi terhadap enzim tersebut dapat
menghasilkan NO dalam jumlah kecil. iNOS adalah enzim yang tidak
tergantung kalsium dan diinduksi oleh sitokin yang akan menghasilkan NO
dalam jumlah yang besar. Peran nitrit oksida pada iskemia serebral adalah
kompleks, NO dapat memberikan efek protektif maupu efek merusak pada
sel. (Kontos, 2001)
Dalam keadaan iskemik, NO yang dihasilkan oleh nNOS melalui
aktivasi Ca dapat merusak sel-sel otak melalui reaksi NO dengan
superoksida

yang

menghasilkan

peroksinitrit

yang

sangat

reaktif,

sedangkan iNOS yang dihasilkan oleh makrofag terlibat dalam proses


inflamasi dan bersifat sitotoksik yang menyebabkan kematian sel. NO
yang dihasilkan oleh eNOS mempunyai efek protektif yaitu menurunkan
agregasi trombosit, mencegah adhesi leukosit dan meningkatkan
vasodilatasi pembuluh darah arteri dan aliran darah serta mengatur
kontraktilitas. (Kontos, 2001)
Dalam keadaan normal otak dapat menghasilkan NO yang
berperan pada pengontrolan darah, perfusi jaringan, trombogenesis dan
modulasi aktifitas neuronal. (Kontos, 2001)

23

II.7. PROGNOSIS STROKE HEMORAGIK


Prediktor terpenting untuk menilai outcome perdarahan intra serebri
(PIS) adalah volume PIS, tingkat kesadaran penderita (menggunakan skor
Glasgow Coma Scale (GCS)), dan adanya darah intraventrikel. Volume
PIS dan skor GCS dapat digunakan untuk memprediksi tingkat kematian
dalam 30 hari dengan sensitivitas sebesar 96% dan spesifitas 98%. Suatu
PIS dengan volume >60 mL dan skor GCS 8 memiliki tingkat mortalitas
sebesar 91% dalam 30 hari, dibanding dengan tingkat kematian 19% pada
PIS dengan volume <30 mL dan GCS skor 9. (Fewel dkk, 2003)
Perluasan PIS ke intraventrikel meningkatkan mortalitas secara
umum menjadi 45% hingga 75%, tanpa memperhatikan lokasi PIS,
sebagai bagian dari adanya hidrosefalus obstruktif akibat gangguan
sirkulasi liquor cerebrospinal (LCS). Pengukuran volume hematom dapat
dilakukan secara akurat dengan CT scan. Secara klinis, edema berperan
dalam efek massa dari hematom, meningkatkan tekanan intrakranial dan
pergeseran otak intrakranial. Secara paradoks, volume relatif edema yang
tinggi berhubungan dengan outcome fungsional yang lebih baik, yang
menimbulkan Suatu kerancuan apakah edema harus dijadikan target
terapi atau hanya merupakan variabel prognostik. (Baehr dan Frotscher,
2005)
Volume perdarahan merupakan prediktor terkuat dari outcome
stroke hemoragik dan mengatasi ekspansi perdarahan telah menjadi
tujuan primer padari penelitian klinis terkini. Penyebab dari kerusakan

24

sekunder setelah perdarahan inisial yaitu ekspansi perdarahan dan


edema serebri. (Bhalla dkk, 2015)

II.8 PERAN OSMOLALITAS PLASMA PADA OUTCOME KLINIS


STROKE HEMORAGIK
Terdapat bukti bahwa dengan peningkatan mutu pelayanan dalam
penatalaksanaan stroke mempu meningkatkan keselamatan pasien dan
mengurangi ketergantungan pasien. Salah satunya adalah identifikasi
biopetanda yang dijadikan tolak ukur penilaian prognosis pasien.
Identifikasi biopetanda dalam darah berhubungan dengan perburukan
neurologis dan/atau prognosis setelah stoke hemoragik merupakan
langkah kritis untuk mengembangkan terapi terbaru. Biopetanda ini
berhubungan dengan kegagalan hemostasis atau edema serebri yang
akan

mengarahkan

atau

mengeksplorasi

target

terapi,

dan

mengidentifikasi penderita yang membutuhkan terapi hemostasis atau anti


inflamasi. Salah satu elemen penting yakni penilaian status fisiologis
pasien,

seperti

temperaturm

tekanan

darah,

dan

status

hidrasi.

(Lumenpow, 2011)
Osmolalitas plasma dapat menjadi salah satu biopetanda unggulan
untuk menilai status hidrasi pasien dibandingkan dengan pemeriksaan
biokimia konvensional seperti natrium atau urea plasma. Osmolalitas
plasma adalah jumlah keseluruhan partikel yang larut di dalam larutan.
Osmolalitas plasma merupakan salah satu indikator konsentrasi serum.
Osmolalitas

plasma

yang

meningkat

menggambarkan

keadaan

25

hipernatremia. Ada dua cara pemeriksaan osmolalitas yaitu: 1) secara


tidak langsung menggunakan osmometer (osmolalitas ukur) dengan
metode

freezing

point

depression;

2)

secara

langsung

dengan

menggunakan rumus (osmolalitas hitung). (Broderick dkk, 1993)


Terdapat

beberapa

penelitian

yang

menunjukkan

bahwa

meningkatnya osmolalitas plasma dapat meningkatkan kematian dan


outcome fungsional yang buruk. Bhalla dkk mendemonstrasikan bahwa
peningkatan osmolalitas plasma di atas 296 mOsm/kg dapat dihubungkan
dengan tingginya mortalitas tiga bulan. Pada dua penelitian lain yang
dilakukan oleh Seo W dan Oh H, osmolalitas plasma telah dinilai, tapi
mereka tidak menemukan bahwa osmolalitas plasma sebagai predictor
dari prognosis dan outcome yang buruk. ONeil dkk juga menemukan tidak
ada perbedaan signifikan antara osmolalitas plasma antara pasien yang
mampu bertahan dan yang tidak. Hal ini didukung pula oleh Joynt dkk
yang tidak menemukan perbedaan signifikan pada osmolalitas plasma
pada pasien stroke dan sampel control.

Namun tidak satupun dari

penelitian ini yang melibatkan volume hematoma sebagai parameter untuk


melihat pembesaran atau pengecilan volume hematom terkait dengan
perubahan pola osmolalitas. Efek desakan dari hematoma dan edema
peri-hematom sering menyebabkan gangguan neurologis pasca stroke
hemoragik akut. Namun, hubungan yang jelas antara osmolalitas plasma
dan

volume

hematom

masih

dikembangkan.

Penelitian

ini

tidak

menemukan hubungan yang signifikan antara osmolalitas plasma dan


volume hematom pada saat datang dan setelah terapi diberikan. Namun,

26

volume hematom memiliki pengaruh yang signifikan dalam mempengaruhi


outcome klinis. Dua hal ini memiliki pengaruh yang besar terhadap
outcome klinis pasien. (Bhalla dkk, 2015)

II. 9 PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan Umum Stroke Akut menurut Perhimpunan Dokter
Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI) 2007 meliputi:
1. Penatalaksanaan di Ruang Gawat Darurat
a. Evaluasi cepat dan diagnosis
Oleh karena jendela terapi stroke akut sangat pendek, evaluasi dan
diagnosis klinik harus cepat. Evaluasi gejala dan tanda klinik meliputi:
1) Anamnesis
2) Pemeriksaan fisik
3) Pemeriksaan neurologik dan skala stroke.
4) Studi diagnostik stroke akut meliputi CT scan tanpa kontras, KGD,
elektrolit darah, tes fungsi ginjal, EKG, penanda iskemik jantung, darah
rutin, PT/INR, aPTT, dan saturasi oksigen. (Akib, 2010)

II.10. PEMERIKSAAN YANG DILAKUKAN PADA SAAT TERJADI


STROKE
Pemeriksaan neurologi dalam penanganan kegawatdaruratan,
termasuk kasus stroke hemoragik harus dilaksanakan secara cepat dan
tepat. Outcome penderita stroke hemoragik dapat dinilai dengan beberapa
skala atau skor klinis seperti NIHSS, modified Rankin Scale (mRS),

27

Barthel index, ICH score, GOS (Glasgow Outcome Scale). National


Institutes of Health Stroke Scale (NIHSS) banyak digunakan sebagai
instrumen standar untuk mengevaluasi keparahan defisit neurologis
pasien, baik di Instalasi Gawat Darurat (IGD) maupun di unit perawatan
stroke. NIHSS adalah suatu skala penilaian yang dilakukan pada pasien
stroke untuk melihat kemajuan hasil perawatan fase akut (akibat
impairment).

Penilaian ini dilakukan dua kali, yaitu saat masuk (hari

pertama perawatan) dan saat keluar dari perawatan (Soertidewi dan


Misbach, 2011; Boone dkk., 2012) NIHSS adalah skala kuantitatif stroke
yang secara spesifik meneliti tingkat kesadaran, fungsi bahasa, negleg,
gangguan visual, pergerakan bola mata, kelemahan wajah, kekuatan
motorik, gangguan fungsi sensorik dan koordinasi. Pemeriksaan dapat
dilakukan dengan cepat dan skor NIHSS dapat dinilai oleh seorang ahli
saraf 31 maupun petugas kesehatan yang telah dilatih. (Snell, 1996)
NIHSS merupakan skala yang tepat dan handal dan valid dan telah
yang telah digunakan pada berbagai penelitian stroke untuk mengevaluasi
luaran neurologis (Meg dkk., 1995; Paragos dkk., 2002). Selama fase akut
stroke iskemik, pasien sering mengalami defisit neurologis dan komplikasi
medis lainnya. Defisit neurologis pasca stroke terjadi hingga 40% dari
pasien dan berhubungan dengan luaran

perawatan stroke. Defisit

neurologis pada awal terjadinya stroke umumnya disebabkan oleh


beberapa mekanisme patofisiologi termasuk perluasan infark, perdarahan,
edema serebri, kejang dan hidrosefalus. Selain itu, defisit neurologis
paska stroke diantaranya adalah infeksi saluran kencing, infeksi paru,

28

gagal

jantung

kongestif,

trauma,

ulkus

dekubitus,

perdarahan

gastrointestinal, Deep Venous Thrombosis (DVT), dan emboli paru yang


mana komplikasi ini merupakan penyebab utama kematian pada fase akut
dan subakut dari stroke (Barba dkk., 2000).
Nilai prognostik stroke iskemik pada fase akut dapat dilihat dari
perbedaan skor NIHSS pada hari ke-7 dengan skor NIHSS saat awal
masuk rumah sakit. Batasan hari ke-7 didapat dari berbagai penelitian
bahwa perbaikan awal dapat dimulai pada minggu pertama setelah
awitan. Keunggulan dari NIHSS adalah dapat dilakukan dengan cepat,
kurang lebih 15 menit, telah banyak digunakan dan telah divalidasi,
berguna untuk kondisi stroke akut, mudah dipelajarinya dan skor yang
dipakainya sederhana, tingkat reliabilitinya tinggi diantara para pengguna
skor. Sedangkan kelemahannya yaitu kurang baik untuk stroke gangguan
sirkulasi posterior, oleh karena di dalam skoring terdapat penilaian
kemampuan berbahasa dan untuk gangguan di batang otak, nilai yang
diperoleh tidak sesuai antara 32

luasnya kerusakan patologis dengan

beratnya gejala dan tanda defisit neurologis yang ditimbulkannya (Roger,


2012; Broderick dkk., 1993).
Beberapa studi telah menunjukkan bahwa NIHSS adalah prediktor
yang baik dalam menilai luaran klinis Stroke. Hubungan skor NIHSS
dengan luaran stroke bervariasi sesuai dengan waktu dari awitan
tejadinya stroke, sebagian karena defisit neurologis yang terjadi pada awal
stroke cenderung tidak stabil dan banyak pasien mengalami pemulihan
bertahap.

29

Tabel II.1. Skala NIHSS

30

Tabel II. 2 Skala mRS

NIHSS memiliki 15 item yang menunjukkan adanya defisit klinis


pada stroke, pertama kali dipublikasikan pada tahun 1989. Nilai minimal 0
dan nilai maksimal 42 dimana semakin berat klinis neurologis yang
ditemukan semakin besar skor NIHSS. Uji kesepakatan bila dikerjakan
antara tenaga medis dengan rata-rata k=0,69, bila dikerjakan dikalangan
neurologis rata-rata nilai k=0,77. Perbedaan nilai skor NIHSS yang
dianggap bermakna bila didapatkan perbedaan 2 poin atau lebih, bila skor
semakin tinggi pada penghitungan ke-2 dikatakan prediktor buruk dan
begitu sebaliknya pengurangan 2 poin atau lebih sebagai prediktor baik.
(Juvela, 2006). Untuk menilai tingkat kecacatan pasca stroke, dapat

pula menggunakan sistem Skala Rankin yang dimodifikasi (modified


Rankin Scale).

31

II.11.KERANGKA TEORI

OSMOLALITAS
PLASMA

VOLUME
PLASMA

Bhalla dkk (2015)


mendemonstrasikan
bahwa peningkatan
osmolalitas plasma di atas
296 mOsm/kg dapat
dihubungkan dengan
mortalitas 3 bulan pada
pasien dengan PIS

Nag dkk (2012)


menemukan bahwa jumlah
kematian tiga hari
pertama pada pasien PIS
adalah 58,1% dimana ratarata volume PIS yang
menyebabkan kematian
adalah 65,60 ml.

STROKE
HEMORAGIK

SKALA mRS

SKALA NIHSS
Menurut Adams dkk (2011), skor
NIHSS mampu memprediksi
outcome klinis pada pasien stroke,
dimana outcome yang sangat baik
pada 7 hari sebesar 24% dan pada 3
bulan sebesar 17 % .

Banks JL dan Marotta CA (2007)


menyatakan terdapat beberapa jenis
bukti membuktikan validitas dan
reliabilitas dari mRS . Data yang
dilaporkan mendukung pandangan
bahwa mRS adalah alat yang berharga
untuk menilai dampak dari pengobatan
stroke yang baru .

OUTCOME
KLINIS

32

II.12. KERANGKA KONSEP

OSMOLALITAS
PLASMA

VOLUME HEMATOM

STROKE HEMORAGIK

National Institute
Health Stroke Scale
(NIHSS)

Modified
Rankin Scale
(mRS)

OUTCOME KLINIS

You might also like