You are on page 1of 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Koma
Koma didefinisikan sebagai keadaan tidak sadarkan diri yang
penderitanya tidak dapat dibangunkan, bahkan dengan rangsang yang sangat
kuat.5 Gejala klinis yang ditemukan dalam keadaan koma dapat bervariasi
berdasarkan tingkat kedalaman koma. Pada tingkat terdalam dari koma, tidak
ada reaksi dalam bentuk apapun yang dapat dibangkitkan. Hal ini terlihat dari
hilangnya berbagai refleks, seperti refleks kornea, pupil, faring, dan tendon,
serta hilangnya tonus otot anggota gerak.2 Pada tingkat yang lebih ringan,
reflex biasanya dapat dibangkitkan dengan berbagai tingkat, seperti refleks
pupil, refleksgerakan bola mata, refleks kornea, dan berbagai refleks batang
otak. Selain itu, tonus otot biasanya meningkat dan respirasi dapat menjadi
lambat atau cepat, periodik, dan mengikuti pola tertentu.
Koma terjadi akibat adanya gangguan pada sistem reticular activating
system (RAS) yang mengatur kesadaran manusia. Menurut penyebabnnya
koma dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu koma yang disebabkan karena
adanya lesi pada RAS (koma struktural) dan koma yang disebabkan oleh
gangguan metabolik sehingga menekan aktivitas neuron (koma metabolik).
Lesi yang menyebabkan gangguan kesadaran dapat disebabkan karena tiga
jenis lesi. Jenis lesi yang pertama adalah lesi dengan masa yang cukup
bermakna. Lesi ini biasanya hanya mengenai sebagian dari korteks dan
substansia alba sedangkan bagian cerebrum lainnya berada dalam keadaan
intak. Akan tetapi, lesi ini dapat mengganggu fungsi otak bagian lainnya
melalui pergeseran struktur yang lebih dalam ke arah lateral. Kadang-kadang,
lesi dapat disertai oleh herniasi dari lobus temporal melalui celah di tentorium
sehingga menekanotak tengah dan RAS pada regio subtalamik.1
Jenis lesi yang kedua adalah lesi yang secara anatomi berada pada RAS,
yaitu talamus dan otak tengah. Lesi ini mengganggu fungsi neuron pada RAS
secara langsung. Lesi yang ketiga merupakan lesi yang bersifat difus dan luas
pada kedua bagian korteks dan substansia alba. Koma terjadi karena adanya
1

interupsi dari impuls talamokortikal atau dikarenakan adanya destruksi luas


pada akson korteks.1
Berdasarkan studi epidemiologi, pasien yang datang dalam keadaan
koma metabolik ditemukan lebih sering dibandingkan dengan koma struktural.
Sekitar dua dari tiga kasus kejadian koma merupakan jenis koma metabolik.
Karakteristik penderita koma metabolik berbeda dibandingkan dengan
penderita koma struktural. Manifestasi klinis, usia, tekanan darah, dan temuan
pada pemeriksaan neurologi merupakan salah satu faktor penentu yang kuat
dalam menentukan jenis koma yang dialami pasien.1
Tabel II.1. Perbandingan Gambaran Klinis Antara Koma Metabolik dan Koma
Struktural. 1

II.2. Definisi dan Patogenesis Ensefalopati Hepatikum


Hati merupakan organ yang memegang peran detoksifikasi yang sangat
penting dalam tubuh. Hati memiliki peranan dalam menetralisasi zat-zat kimia
yang berbahaya bagi tubuh, baik yang diserap dari sistem pencernaan maupun
yang dihasilkan oleh metabolisme dalam tubuh. Sebagian besar dari zat-zat
tersebut mencapai hati melalui sistem vena porta.Kemudian,hepatosit yang

berada di sinusoid hepatik akan menyerap dan mendetoksifikasi zat-zattersebut


menjadi zat-zat yang aman bagi tubuh.
Pada perburukan dari proses fibrosis hati dan perjalanan penyakit sirosis,
peningkatan tekanan hepatik mendesak darah untuk mengalir melalui
portosystemicshunt. Portosystemic shunt merupakan suatu keadaan dimana
darah yang berasal dari organ abdomen langsung dialirkan langsung ke aliran
sistemik tanpa melalui sinusoid hepatik. Hal ini menyebabkan terjadinya
penumpukan zat-zat racun di dalam aliran darah sistemik yang sebagian
mencapai otak dan organ-organ tubuh lainnya. Selain itu, terdapat pula
pengurangan jumlah sel hepatosit yang dapat berfungsi dengan baik secara
signifikan sehingga perburukan dapat dengan mudah terjadi pada penumpukan
sedikit zat toksin dalam keadaan sirosis.3
Otak yang normal membutuhkan struktur anatomi yang intak, produksi
energi yang cukup, dan neurotransmisi yang efisien antar sinaps. Ketiga hal ini
terganggu pada keadaan ensefalopati hepatikum. Menurut Kamus Kedokteran
DORLAND,

ensefalopati

hepatikum

atau

ensefalopati

portal-sistemik

merupakan suatu keadaan yang biasanya terjadi akibat penyakit hati lanjut,
tetapi juga ditemukan dalam perjalanan setiap penyakit berat atau pada pasien
dengan pirau portokava.Keadaan ini ditandai dengan gangguan kesadaran yang
berlanjut sampai koma dalam (koma hepatik), berbagai taraf perubahan
psikiatrik, flapping tremmor, dan fetor hepatikus.5
Ensefalopati hepatikum memiliki gambaran gejala neuropsikiatrik yang
luas. Untuk itu, dikembangkan suatu konsensus untuk mengklasifikasikan
ensefalopati hepatikum oleh World Congress of Gastroenterology. Berdasarkan
konsensus ini, ensefalopati hepatikum dibagi menjadi tiga tipe, yaitu tipe A,
tipe B, dan tipe C. Tipe A merupakan ensefalopati hepatikum yang
berhubungan dengan gagal hati akut. Ensefalopati hepatikum menentukan
prognosis dari gagal hati akut. Kurang lebih 30 persen dari pasien dengan
ensefalopati hepatikum tipe A meninggal karena herniasi serebri yang
disebabkan karena adanya edema serebri dan peningkatan tekanan intrakranial.
Tipe B merupakan tipe yang disebabkan karena adanya portosystemic shunt
tanpa disertai adanya kelainan intrinsik pada hati. Sedangkan tipe C merupakan
tipe yang dihubungkan dengan adanya sirosis dan peningkatan tekanan vena
porta atau adanyaportosystemic shunt.3,6Pada ensefalopati hepatikum akibat
3

gangguan hati kronis, pasien biasanya megalami berbagai gangguan


neuropsikiatri,

termasuk

gangguan

psikomotorik,

gangguan

memori,

abnormalitas pada sensorik, dan gangguan konsentrasi. Pada gangguan yang


lebih berat, pasien dapat berada dalam keadaan konfusi, stupor, koma, bahkan
kematian.
Tabel II.2. Tatanama Ensefalopati Hepatikum.6
Tipe
Ensefalopati

Tatanama

Subkategori

Subdivisi

Hepatikum (HE)
A
Ensefalopati yang
berhubungan dengan
B

acute liver failure


Ensefalopati yang
berhubungan dengan
portal-systemic bypass
dan tidak disertai
penyakit intrinsik

hepatoselular
Ensefalopati yang

HE Episodik

Precipitasi

berhubungan dengan

Spontan

sirosis (cirrhosis) dan

Rekurensi

hipertensi portal/atau
portal systemic shunts.

HE Persisten

Ringan
Berat
Treatment-dependent

HE Minimal
Terdapat perbedaan neuropatologi pada ensefalopati hepatikum yang
disebabkan karena adanya gagal hati akut dan ensefalopati hepatikum yang
disebabkan karena gangguan hati kronis. Pada gagal hati akut, terjadi
pembengkakan astrosit dan pasien mengalami edema serebri sitotoksik. Onset
dari pembengkakan astrosit tersebut terjadi secara akut progresif. Hal ini
menyebabkan adanya peningkatan tekanan intrakranial yang terjadi secara
4

tiba-tiba sehingga dapat menyebabkan kematian akibat herniasi serebri. Kadar


amonia otak meningkat dan dapat mencapai kadar 4 mM.
Berbeda dengan perubahan yang terjadi pada gagal hati akut, astrosit
pada gangguan hati kronis menunjukkan gambaran morfologi yang khas, yaitu
astrositosis Alzheimer tipe II. Astrosit menunjukkan adanya perbesaran dan
pembengkakan pada nukleus, penonjolan pada nukleolus, penepian dari pola
kromatin, dan pembesaran dari sitoplasma yang disebabkan karena adanya
proliferasi dari organel dalam sitoplasma akibat pemaparan amonia secara
kronis.

Gambar II.1. Perubahan Neuropatologi pada Astrosit akibat Gagal Hati Akut
dan Gangguan Hati Kronis.8
Banyak faktor yang mempengaruhi patogenesis dari ensefalopati
hepatikum. Berikut akan dibahas mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi
tingkat keparahan dari ensefalopati hepatikum. Sampai saat ini, peningkatan
kadar amonia dalam darah dianggap sebagai pemegang peranan terpenting
dalam patogenesis dari ensefalopati hepatikum. Selain itu, adanya gangguan
pada neurotransmitter akibat peningkatan dari -aminobutyric acid (GABA),
penurunan jumlah glutamate, dan peingkatandari benzodiazepin endogen serta
neurosteroid juga memegang peranan dalam patogenesis ensefalopati
hepatikum. Amonia dianggap turut memegang peranan dalam menyebabkan
gangguan neurotransmitter tersebut.
5

1. Amonia
Amonia memegang peranan penting dalam menentukan tingkat
keparahan dari ensefalopati hepatik. Hal ini terbukti

dari beberapa

penelitian yang menunjukkan tingginya tingkat amonia dalam darah pada


pasien dengan ensefalopati hepatik. Selain itu, level amonia yang tertinggi
ditemukan pada pasien yang berada dalam keadaan koma.
Tabel II.3. Rasio Konsentrasi Amonia Otak-Darah : Efek dari Gagal Hati.7
[Amonia]otak/[Amonia]darah
2
3-4
8

Normal
Gagal Hati Kronis
Gagal Hati Akut

Amonia merupakan zat yang dihasilkan melalui penyerapan glutamin


di intestinal. Glutamin yang diserap kemudian diubah menjadi glutamat
dan amonia melalui kerja enzim glutaminase. Amonia yang dihasilkan akan
diubah menjadi urea oleh hepatosit periportal dan glutamin oleh hepatosit
perivenous. Pada keadaan normal, hati dapat membersihkan hampir semua
amonia dalam aliran vena porta, sehingga amonia tidak masuk ke dalam
aliran sistemik.
Pada keadaan gangguan hati, pembentukan urea di hati tidak berjalan
dengan baik. Selain itu, pada keadaan sirosis, amonia yang dibawa dari
sistem pencernaan tidak dialirkan melalui vena porta, namun dibawa
langsung ke dalam sirkulasi sistemik melalui portosystemic shunt . Hal ini
menyebabkan

terjadinya

hiperammonemia.

Untuk

mengkompensasi

peningkatan kadar amonia dalam darah, otak mengambil peranan sebagai


tempat utama dalam detoksifikasi amonia.
Bagian dari otak yang memegang peranan terpenting dalam proses
detoksifikasi amonia adalah astrosit. Astrosit merupakan sel paling banyak
ditemukan pada korteks serebri dan berfungsi dalam regulasi ion dalam
otak, regulasi neurotransmiter, pengaturan sawar darah otak, dan
penyediaan nutrisi bagi neuron. Amonia dieliminasi melalui proses amidasi
glutamat menjadi glutamin. Penumpukan glutamin di astrosit menyebabkan
terjadinya peningkatan tekanan osmosis sehingga terjadi pembengkakan
dari astrosit. Dampak dari hiperammonemia juga dipengaruhi oleh
kemampuan astrosit dalam mempertahankan keseimbangan osmotik
dengan pengeluraran osmolit, seperti myo-inositol sebagai respon dari
6

penumpukan glutamin. Oleh karena itu, pasien dengan hiponatremia


maupun hiperammonemia kronis lebih sensitif terhadap peningkatan kadar
amonia secara mendadak.

Gambar II.2. Patogenesis Terjadinya Pembengkakan Astrosit pada


Hiperammonemia.8
Selain itu, amonia dalam konsentrasi yang tinggi dalam darah
memiliki efek samping terhadap sistem saraf pusat. Hiperammonemia
mempengaruhi pengaturan neurotransmitter, baik inhibitor maupun
eksitator. Dalam keadaan gagal hati akut, terjadi alkalinisasi dari sitosil
yang menyebabkan pelepasan glutamat pada sinaps. Glutamat merupakan
suatu neurotransmiter utama yang bersifat eksitator pada otak. Pelepasan
glutamat menyebabkan overaktivasi dari reseptor glutamat ionotropik,
reseptor N-methyl-D-aspartat. Hal ini dihubungkan dengan kejang yang
terjadi pada ensefalopati hepatikum pada gagal hati akut.
Sebaliknya, pada penyakit hati kronis terjadi
keseimbangan

neurotransmitter

dimana

perubahan

neurotransmitter

inhibitor

mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan karena terjadinya penurunan


jumlah glutamat dan reseptor glutamat pada neuron post-sinaptik sehingga
terjadi penurunan neuroeksitasi. Selain itu, beberapa hipotesis menyatakan
terjadinya peningkatan tonus GABAergik pada pasien dengan ensefalopati
hepatikum. GABA merupakan salah satu neurotransmitter yang berfungsi
sebagai

inhibitor.

Hiperammonemia
7

diketahui

dapat

menghambat

pengambil GABA oleh astrosit, peningkatan muatan klorida neuron dengan


kerja langsung pada kompleks reseptor GABAA, dan potensiasi ikatan pada
reseptor GABAA.
Percobaan dengan tikus menunjukkan bahwa gangguan hati kronis dan
hiperammonemia menyebabkan gangguan dari glutamate-nitric oxide
cGMP pathwayyang diaktivasi oleh reseptor NMDA dan penting dalam
proses belajar. Hal ini menyebabkan adanya gangguan pada memori jangka
pendek pada pasien dengan ensefalopati hepatikum yang minimal.
2. Inflamasi
Faktor presipitasi dari manifestasi akut pada gangguan hati
kronisyang sering ditemukan adalah sepsis. Hati merupakan pertahanan
pertama terhadap agen infeksius yang dibawa dari saluran pencernaan.
Darah yang mengandung agen infeksius dibawa melalui parenkim hati
sehingga memungkinkan untuk sel-sel imun menangkap sebagian besar
mikroba di sistem vena portal. Sirosis dan portosystemic shunt
menyebabkan adanya perubahan dari sistem hemodinamik tersebut. Hal ini
menyebabkan banyaknya mikroba yang dapat memasuki sirkulasi darah
sistemik sehingga menyebabkan adanya endotoksinemia dan inflamasi
yang kronis. Selain itu, pembengkakan dari astrosit yang terjadi akibat
adanya hiperammonemia juga menyebabkan adanya gangguan dari aliran
darah ke otak. Astrosit merupakan sel yang berperan penting dalam
pembentukan sawar darah otak dan pengaturan sistem serebrovaskular.

Gambar II.3. Diagram Mengenai Hubungan Inflamasi dan Aliran Darah ke


Otak Terhadap Manifestasi Klinik Ensefalopati Hepatikum.8

Astrosit dan sel-sel mikroglia merupakan penghasil sitokin sebagai


respon terhadap kerusakan atau inflamasi yang terjadi di otak. Sitokin yang
pertama kali dihasilkan adalah tumor necrosis factor (TNF-). Hal ini
terlihat dengan ditemukan adanya peningkatan dari serum inflamasi, seperti
(TNF-), interleukin-1 beta (IL-1 ), IL-6, dan IL-18 pada ensefalopati
hepatikum.

Mediator-mediator

inflamasi

ini

menyebabkan

adanya

potensiasi dari efek amonia pada sistem saraf pusat sehingga adanya
peningkatan level glutamine, penurunan myoinositol otak, dan peningkatan
kandungan cairan dalam otak. Selain itu, TNF- memiliki efek terhadap
permeabilitas sel endotelial yang berpotensi menyebabkan gangguan dari
fungsi sawar darah otak.
3. Mangan
Mangan merupakan salah satu neurotoksin yang kuat pada manusia dan
primata. Zat ini ditemukan di otak pada ensefalopati menggunakan MRI
dan memiliki korelasi terhadap keadaan psikometrik dan fatique.
Peningkatan serum mangan pada penderita gagal hati disebabkan karena
adanya penurunan dari ekskresi bilier. Hal ini menyebabkan penumpukan
mangan pada daerah-daerah yang memiliki aliran darah yang tinggi, seperti
basal ganglia. Menurut beberapa postulat dinyatakan bahwa mangan
memiliki efek neurotoksin yang sinergis dengan amonia dan menyebabkan
tingginya radikal bebas serta gangguan pada integritas selular astrosit.
II.3. Manifestasi Klinis
Gambaran Ensefalopati hepatikum dapat ditemukan dengan berbagai
manifestasi klinis berdasarkan tingkat keparahannya. Pada dasarnya, gambaran
klinis dari ensefalopati hepatikum dapat dilihat dari perubahan stastus mental,
perubahan neuromuskular, dan perubahan tingkah laku serta mood. Pada
pasien dengan ensefalopati hepatik yang minimal, gejala klinis biasanya hanya
dapat ditemukan melalui penilaian neuropsikiatri dan psikomotor. Sedangkan
pasien dengan ensefalopati hepatikum yang berat dapat ditemukan dalam
keadaan koma. Untuk mempermudah klasifikasinya, ensefalopati hepatikum
dibagi menjadi empat tingkat berdasarkan status mentalnya menggunakan
klasifikasi West Haven. Klasifikasi ini sangat penting pada kasus ensefalopati
hepatikum yang bersifat akut, namun kurang efektif jika dipakai dalam
perjalanan penyakit yang kronis. Hal ini disebabkan karena adanya gangguan
9

neurologis, seperti gejala ekstrapiramidal dan demensia, yang biasanya muncul


pada ensefalopati hepatikum kronis.9
Ensefalopati hepatikum yang bersifat akut dapat ditemukan pada pasien
dengan hepatitis virus, hepatitis toksik obat (halotan, asetaminofen),
perlemakan hati akut pada kehamilan, dan kerusakan parenkim hati yang
fulminan tanpa adanya faktor pencetus. Pada perjalanan penyakit biasanya
ditemukan gejala yang eksplosif dan ditandai dengan delirium, kejang, disertai
dengan edema otak.10 Sedangkan pada ensefalopati hepatikum yang kronis
biasanya perjalanan penyakit tidak bersifat progresif sehingga gejala
neuropsikiatri terjadi secara perlahan dan dicetuskan oleh beberapa faktor
presipitasi, seperti azotemia, perdarahan gastrointestinal, infeksi, alkalosis
metabolik, gangguan keseimbangan cairan, dan pemakaian diuretik.10
Awalnya, gambaran ensefalopati hepatikum biasanya ditandai dengan
gambaran gangguan mental, seperti gangguan dalam pengambilan keputusan
dan gangguan konsentrasi. Keadaan ini dapat dinilai dengan uji psikomotor
atau pada pasien dengan intelektual cukup dapat dites dengan membuat
gambar-gambar atau dengan uji hubung angka (UHA). Selain itu, manifestasi
klinis yang dapat ditemukan sebagai gejala awal pada ensefalopati
hepatikumadalah perubahan pola tidur diurnal. Perubahan ini disebabkan
karena adanya perubahan pada sekresi melatonin pada ensefalopati hepatik.
Pada perjalanan penyakit yang lebih jauh dapat ditemukan gejala
neurologis berupa bradikinesia, asterixis, hiperefleksia, dan postur deserebrasi
yang samar. Asterixis merupakan gejala yang sering ditemukan pada
ensefalopati hepatik, namun bukan merupakan gejala yang spesifik. Asterixis
dapat ditemukan pada ensefalopati metabolik lainnya, seperti uremia, gagal
napas dan keracunan barbiturat.
Tabel II.4. Klasifikasi West-Haven.9,11
Tingkat

Kesadaran

Fungsi Intelektual

Kepribadian dan

Abnormalitas

Ensefalopati
Tingkat 0

Tidak terganggu

Tidak terganggu

Tingkah Laku
Tidak terganggu

Neuromuskular
Tidak terganggu

Normal
Tingkat 1

Hipersomnia

Gangguan ringan

Perilaku berlebihan

Tremor metabolik

Euforia/ depresi
Logorrhoea
Iritabilitas

Inkoordinasi muskular
Gangguan dalam

Gangguan
ringan

Insomnia
Perubahan pada

pada kalkulasi
Hilangnya atensi

pola tidur
10

menulis

Tingkat 2

Melambatnya

Disorientasi waktu

Penurunan inhibisi

Asterixis

Gangguan

respon
Letargi

Gangguan kalkulasi

Perubahan nyata pada

Bicara kacau

Disorientasi

yang berat
Amnesia mengenai

Hiporefleks
Ataxia

minimal

peristiwa yang baru

perilaku
Anxietas/apatis
Perilaku yang tidak

Somnolen
Konfusi
Semi-stupor

terjadi
Disorientasi tempat
Amnesia total
Tidak mampu

Stupor

melakukan kalkulasi
Disorientasi terhadap

sedang

Tingkat 3
Gangguan
berat
Tingkat 4
Koma

Tidak sadar

orang
Tidak memiliki

adekuat
Perilaku yang aneh
Paranoid/pemarah
Mengamuk

None

Hiperrefleks
Nistagmus
Babinski, mioklonus
Rigiditas
Dilatasi pupil
Opistotonus
Koma

intelektual
II.4. Diagnosis
Pada dasarnya, tidak ada pemeriksaan yang dapat dijadikan gold
standard dalam mendiagnosis ensefalopati hepatikum. Pada ensefalopati
hepatikum diperlukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap dan
detail. Hal ini disebabkan karena banyaknya penyakit yang bisa menjadi
diagnosis banding dari ensefalopati hepatikum, baik gangguan vaskular,
gangguan metabolik, gangguan intrakranial, maupun gangguan neuropsikiatrik.
Selain itu, gejala klinis yang ditemukan pada ensefalopati hepatikum tidak ada
yang bersifat spesifik untuk penyakit ini. Dalam anamnesis, perlu diketahui
ada tidaknya riwayat maupun gejala klinis dari gangguan hati. Selain itu, perlu
diketahui juga faktor-faktor lain menjadi pencetus pada ensefalopati
hepatikum.
Dalam pendekatan diagnosis ensefalopati hepatikum, perlu dilakukan
eksklusi penyebab lain dari ensefalopati, mengidetifikasikan faktor-faktor
pencetus yang dapat menyebabkan ensefalopati hepatikum, dan memulai terapi
empirik untuk ensefalopati hepatikum. Respon yang baik terhadap terapi
empirik dapat menegakkan diagnosis ensefalopati hepatikum, akan tetapi jika
tidak ada respon dalam 72 jam mengindikasikan perlunya terapi lebih jauh.12

11

Gambar II.4. Pendekatan pada Pasien dengan Ensefalopati Hepatikum.12


Diagnosis ensfalopati hepatikum merupakan suatu diagnosis eksklusi.
Penyebab lain yang mungkin menyebabkan ensefalopati metabolik, seperti
defisensi vitamin B1, hipoglikemia, dan hipotiroid perlu disingkirkan terlebih
dahulu. Selain itu, adanya lesi intraserebral yang dapat muncul bersamaan
dengan sirosis dan ensefalopati hepatikum juga perlu dieksklusikan. Sebagai
contoh ialah hematoma subdural yang dapat terjadi akibat koagulopati pada
pasien sirosis atau trauma kepala akibat jatuh pada pasien dengan ensefalopati
hepatikum. Penyebab ensefalopati metabolik lain atau gangguan otak lain perlu
dicurigai jika tidak terdapat peningkatan kadar amonia dalam darah atau jika
tidak ada perbaikan walaupun sudah diberikan terapi yang adekuat.11
Selain menyingkirkan penyakit lain yang dapat menyerupai, identifikasi
dari penyebab-penyebab yang memicu terjadinya ensefalopati hepatikum juga
perlu dilakukan dalam mendiagnosis ensefalopati hepatikum. Pada penyakit
hati kronis, biasanya terdapat minimal satu faktor pemicu yang dapat
menginduksi episode dari ensefalopati hepatikum.
Tabel II.5. Diagnosis Banding dari Ensefalopati Hepatikum
Gangguan
Ensefalopati metabolik
Hipoglikemia
Gangguan elektrolit
Hipoksia
Narcosis karbon dioksida
Azotemia
Ketoasidosis
Ensefalopati toksik

Metode Diagnosis

Analisa Kimia Darah

12

Alkohol
Intoksikasi akut
Sindrom withdrawal
Sindrom Wernicke-Korsakoff
Obat-obatan psikotropik
Logam berat
Lesi intrakranial
Perdarahan (subdural, subaraknoid,

Pemeriksaan kandungan alkohol darah


Respon terhadap tiamin

intraserebral)
Infark
Tumor
Abses
Meningitis
Ensefalitis
Epilepsi atau ensefalopati post-seizure
Gangguan neuropsikiatrik

Deteksi kadar toksik


CT scan, MRI, arteriografi

Pungsi Lumbar
Serologi
Elektroensefalografi
Tes neuropsikologi

Pemeriksaan laboratorium untuk mendeteksi penyakit hati yang


mendasari juga perlu dilakukan. Pemeriksaan yang dilakukan adalah
pemeriksaan fungsi hati secara lengkap. Pada ensefalopati hepatikum biasanya
didapat hasil yang abnormal pada pemeriksaan fungsi hati, seperti peningkatan
kadar bilirubin, alanine aminotransferese (ALT), aspartate aminotransferese
(AST), dan alkaline phosphatase, serta penurunan kadar albumin serum.
Pemeriksaan kadar amonia dalam darah pada ensefalopati hepatikum biasanya
meningkat pada pasien dengan pasien dengan ensefalopati hepatikum. Akan
tetapi, pemeriksaan ini masih kontroversial karena pengambilan sampel
amonia masih dianggap belum akurat dan sangat dipengaruhi oleh teknik
pengambilan. Selain itu, peningkatan kadar amonia dalam darah juga dianggap
kurang menunjukkan tingkat keparahan dari ensefalopati hepatikum.3,13,14
Tabel II.6. Faktor Presipitasi dari Ensefalopati Hepatikum9
Perdarahan gastrointestinal
Infeksi/ systemic inflammatory response syndrome
Gagal ginjal/ gangguan elektrolit
Obat-obatan psikotropik
Peningkatan konsumsi protein
Konstipasi
Tidak diketahui pada 20-30% kasus
Ensefalopati

hepatikum

ditandai

dengan

perlambantan

fungsi

psikomotorik. Untuk itu, tes hubung angka (THA) dapat digunakan untuk
mengevaluasi kemampuan kognitif dan motorik. THA sempat digunakan
13

sebagai salah satu pemeriksaan yang paling sensitif untuk mendeteksi


ensefalopati hepatikum. Namun beberapa penelitian menunjukkan banyaknya
faktor-faktor yang mempengaruhi hasil dari THA, seperti usia pasien,
gangguan visual, serta gangguan konsentrasi pada penderita ensefalopati
hepatikum.11

Gambar II.5. Tes Hubung Angka.


Tabel II.7. Tingkat Uji Hubung Angka (UHA).10
Tingkat Ensefalopati

Hasil Uji Hubung Angka (UHA)


dalam detik
15-30
31-50
51-80
81-120
>120

Normal
Tingkat I
Tingkat II
Tingkat III
Tingkat IV

Pemeriksaan penunjang lain yang dalam dilakukan adalah pemeriksaan


dengan elektroensefalografi (EEG). Pada pemeriksaan EEG terlihat adanya
peninggian amplitudo, munculnya gelombang triphasic, dan menurunnya
jumlah siklus per detik. Selain itu, terjadi juga penurunan frekuensi dari
gelombang normal Alfa (8-12 Hz). Abnormalitas pada EEG tersebut bersifat
tidak spesifik karena dapat ditemukan pada ensefalopati metabolik lainnya.11
14

Tabel II.8. Tingkat Kuantitas dari Elektroensefalografi (EEG).10


Tingkat Ensefalopati

Frekuensi Gelombang EEG

Tingkat 0
Tingkat 1
Tingkat 2
Tingkat 3
Tingkat 4

Frekuensi alfa (8,5-12 Hz)


7-8 siklus/detik
5-7 siklus/detik
3-5 siklus/detik
3 siklus/detik atau negatif

Pemeriksaan radiologi dapat dilakukan, namun tidak memberikan


gambaran khusus dalam mendiagnosis ensefalopati hepatikum. Pemeriksaan
Computed Tomography scanning (CT scan) dapat menunjukkan adanya edema
serebri, namun hal tersebut tidak signifikan dalam penegakkan diagnosis
ensefalopati hepatikum. Pemeriksaan CT scan perlu dilakukan untuk
mengeksklusikan kemungkinan lain yang dapat menyebabkan gangguan
neurologis, seperti perdarahan subdural atau epidural.9,xPemeriksaan MRI
menunjukkan gambaran abnormal pada pasien dengan sirosis hepatikum. Hasil
MRI T1-weighted menunjukkan adanya hiperintensitas yang simetris pada
pallidum, substansia nigra, dan nukleus dentata. Namun, hasil pemeriksaan
dengan MRI tidak menunjukkan tingkat keparahan dari ensefalopati
hepatikum, melainkan lebih menunjukkan keparahan dari portosystemic
shunts.
II.5. Tatalaksana
Patofisiologi dari ensefalopati hepatikum merupakan peristiwa yang
kompleks dan multifaktorial. Tatalaksana dari ensefalopati mencangkup
beberapa hal,yaitu mengobati penyakit dasar hati, mengidentifikasikan dan
menghilangkan faktor-faktor pencetrus, mengurangi pembentukan influks
toksin nitrogen ke jaringan otak, serta mengatasi komplikasi yang mungkin
ditemui.10
Pada pasien dengan gagal hati akut, ensefalopati hepatikum terjadi secara
cepat dan progresif, serta biasanya disertai komplikasi berupa edema serebri.
Pasien dengan gagal hati akut dan ensefalopati hepatikum tingkat 3 dan 4
sebaiknya dimonitor tekanan intrakranialnya. Pemberian manitol dengan dosis
0,5 gram per kilogram berat badan secara bolus berulang masih merupakan
terapi farmakologi utama dalam menangani edema serebri pada kasus ini.14
Terapi yang berbeda diberikan pada penderita ensefalopti hepatikum
pada gangguan hati kronis. Menurunkan absorpsi amonia dan neurotoxin
15

lainnya di intestinal merupakan tatalaksana pada kasus ini. Hal ini dicapai
dengan menurunkan jumlah konsumsi nitrogen dari makan, konsumsi
disakarida yang tidak dapat diserap dan dengan konsumsi antibiotik yang tidak
dapat/sedikit diserap. Antibiotik yang biasa digunakan adalah neomisin,
paromomisin, dan rifaximin. Penelitian menunjukkan bahwa penggunaan
antibiotik lebih efektif dibandingkan dengan penggunaan disakarida. Selain
menggunakan disakarida dan antibiotik yang sukar diserap, pemberian bakteri
urease-negative dalam jumlah besar dapat diberikan untuk memanipulasi
produksi amonia di usus. Bakteri yang biasanya diberikan adalah
Lactobacillus acidophilus dan Enterococcus faecium. Akan tetapi, terapi
berikut masih membutuhkan investigasi lebih lanjut.
Pemberian obat-obatan yang bekerja pada siklus urea juga dapat
diberikan pada penderita ensefalopati hepatikum. Hal ini termasuk dengan
pemberian ornithine-aspartate yang menyediakan substrat untuk pembentukan
urea dan glutamin. Pemberian zinc juga dapat meningkatkan pembentukan
urea karena zinc merupakan kofaktor dari berbagai enzim yang digunakan
dalam siklus urea.
Obat lain yang dapat diberikan pada penderita ensefalopati hepatikum
adalah antagonis dari benzodiazepine. Pemberian antagonis benzodiazepine,
seperti

flumazenil,

dapat

memberikan

sedikit

perbaikan.

Namun,

sesungguhnya efektifitas dari obat-obatan antagonis benzodiazepine terbukti


rendah dalam mengatasi ensefalopati hepatikum. Penggunaan obat ini dapat
dipakai sebagai cara untuk mengeksklusikan penggunaan benzodiazepine
sebagai penyebab dari ganggaun neurologik pada pasien tersebut. Agonis
dopaminergik, seperti bromocriptine dan L-dopa, dapat digunakan untuk
mengatasi gejala ekstrapiramidal dari ensefalopati hepatikum yang kronis.
Restriksi protein sebaiknya tidak dilakukan karena dapat memperburuk
status gizi dari pasien dan dapat mengurangi pembuangan amonia melalui otot.
Untuk itu, pada pasien dengan ensefalopati hepatik dapat diberikan diet
normoprotein. Pada pasien ensefalopati hepatikum, diet yang diberikan dapat
diperkaya dengan asam amino rantai ganda. Penggunaan suplemen asam
amino rantai ganda dapat diberikan sebagai terapi ensefalopati hepatikum akut
maupun pada ensfalopati hepatikum kronik dimana pasien memikiki
intoleransi terhadap protein.

16

Tindakan operatif dapat dilakukan untuk mengurangi portosystemic


shunts. Tindakan ini memiliki resiko perdarahan akibat peningkatan tekanan
portal setelah tindakan operatif ini dilakukan. Tindakan invasif lain yang bisa
dilakukan adalah embolisasi terhadap arteri splenikus dan kolektomi total.
Tindakan tersebut hanya dilakukan pada ensefalopati hepatikum kronik yang
resistant dengan tindakan lain. Tindakan invasif yang paling radikal adalah
transplantasi hati. Pada tindakan ini, evaluasi terhadap periode dan jenis
ensefalopati perlu dilakukan secara kritis. Transplantasi hati pada pasien
dengan perjalanan penyakit yang kronis dapat hanya memberikan sedikit
perbaikan dan bahkan tidak memberikan perbaikan sama sekali.9

BAB III
KESIMPULAN
III.1. KESIMPULAN
Koma hepatikum merupakan suatu komplikasi yang ditimbulkan oleh
ensefalopati hepatikum. Ensefalopati hepatikum sendiri dapat disebabkan oleh
hiperamonemia akibat penyakit hati,baik yang bersifat akut maupun kronis.
Keduanya memberikan gambaran klinis yang bervariasi dan luas. Pada gagal
hati akut, biasanya gejala yang ditimbulkan merupakan dampak dari edema
serebri akibat hiperamonemia. Sedangkan gejala yang ditimbulkan pada
gangguan hati kronis biasanya disebabkan karena adanya faktor-faktor
17

pencetus. Adanya ensefalopati hepatikum pada penyakit hati kronis


memberikan prognosis yang buruk. Diagnosis dan tatalaksana sedini mungkin
dapat memperbaiki prognosis dari ensefalopati hepatikum. Gambaran klinik
pasien merupakan perangkat diagnostik terbaik dan tidak ada pemeriksaan
penunjang yang menjadi gold standard untuk menegakkan diagnosis. Untuk
itu, anamnesis dan pemeriksaan fisik secara komprehensif merupakan hal yang
sangat penting untuk dilakukan.
Tatalaksana dari ensefalopati hepatikum, baik pada penyakit hati kronis
maupun akut, memiliki tujuan sebagai berikut : (1)mengobati penyakit dasar
hati, (2) mengidentifikasikan dan menghilangkan faktor-faktor pencetus, (3)
mengurangi pembentukan influks toksin nitrogen ke jaringan otak, serta (4)
mengatasi komplikasi yang mungkin ditemui.

DAFTAR PUSTAKA
1. Forsberg S, Hojer J, Ludwigs U, Nystrm H. Metabolic vs structural coma in the
ED-an observational study. Am J Emerg Med 2012;30:1986-90.
2. Ropper AH, Brown RH. Adam and Victors principle neurology. United States
of America: McGraw-Hill;2005.
3. Bleibel W, Al-Osaimi A. Hepatic enchepalopathy. Saudi J Gastroenterol
2012;18:301-9.
4. Hassanein T, Hilsabeck P, Perry W. Introduction to the hepatic enchepalopathy
scoring algorithm (HESA). Dig Dis Sci 2008;53:529-38.
5. Dorland WAN. Kamus kedokteran Dorland. 29th ed. Jakarta:EGC;2002.
6. Ferenci P, Lockwood A, Mullen K, Tarter R, Weissenborn K, Blei A.T, et al.
Hepatic encephalopathydefinition, nomenclature, diagnosis, and quantification:
18

final report of the working party at the 11th world congresses of


gastroenterology. Hepatology 2002;35:716-21.
7. Butterworth, Roger F. Pathophysiology of hepatic encephalopathy: a new look at
amonia. Metab Brain Dis 2002;17;221-27.
8. Shawcross D, Jalan R. The pathophysiologic basis of hepatic encephalopathy:
central role for amonia and inflamation. Life Sci 2006;62:2295-304.
9. Mas, Antoni. Hepatic encephalopathy: from pathophysiology to treatment.
Digestion 2006;73:86-93.
10. Zubir, Nasrul. Koma hepatik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.V.Jakarta :
InternaPublishing;2009:451-3.
11. Guillen J.C.Q, Gutierrez J.M.H. Diagnostic methods in hepatic encephalopathy.
Clin Chim Acta 2006;365:1-8.
12. Prakash R, Mullen K.D. Mechanisms, diagnosis, and management of hepatic
encephalopathy. Nat Rev Gastroenterol Hepatol 2010;7:515-25.
13. Lockwood A.H. Blood amonia levels and hepatic encephalopathy. Metab Brain
Dis 2004;19:345-49.
14. Riordan S.M, Williams R. Treatment of hepatic encephalopathy. N Engl J M
2010;337:473-79.
15. Weissenborn, Karin. Diagnosis of encephatopathy. Digestion 1998;59:22-24.

19

You might also like