You are on page 1of 28

PENJAMINAN MUTU LAYANAN FARMASI DI APOTEK

MAKALAH

Dosen Pembimbing :
Yuni Retnaningtyas, S.Si., M.Si., Apt.

Oleh:
Kelompok 6
Dhita Oktavia W.

122210101092

Angela Merici Ayu P.

132210101001

Marsalita Irine P.

132210101002

Wirawan Deni

132210101006

Mia Rahmaniah

132210101016

Elok Faiqo H.

132210101018

Erlita Dinda N. I.

132210101020

Fergi Rizkhaltum Fitria

132210101022

Siti Marfuah

132210101052

Mia Restu

132210101086

Rizki Putri A.

132210101098

Dita Isnaini P.

132210101108

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS JEMBER
2016

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Apotek merupakan salah satu sarana pelayanan kesehatan dalam membantu
mewujudkan tercapainya derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat.
Pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan secara sendirisendiri atau bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan
meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit

serta

memulihkan kesehatan perorangan, keluarga, kelompok dan atau masyarakat.


Selain itu juga sebagai salah satu tempat pengabdian dan praktek profesi apoteker
dalam melaksanakan pekerjaan kefarmasiaan (Anonim, 2001). Standar Pelayanan
Kefarmasian di Apotek disusun bertujuan sebagai pedoman praktek apoteker dalam
menjalankan profesi, untuk melindungi masyarakat dari pelayanan yang tidak
profesional, dan melindungi profesi dalam menjalankan praktik kefarmasian
(Anonim, 2004). Perkembangan apotek ini sangat ditentukan oleh pengelolaan
sumber daya dan pelayanan di apotek tersebut. Oleh sebab itu, standar pelayanan
farmasi sangat diperlukan dalam menjalankan suatu apotek. Jika suatu apotek tidak
menggunakan standar pelayanan farmasi dalam menjalankan apotek maka tidak
akan tercapai derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat. Karena pelayanan
farmasi adalah bentuk pelayanan dan tanggung jawab langsung profesi apoteker
dalam

pekerjaan

kefarmasian

untuk

meningkatkan

pasien/masyarakat.
1.2 Rumusan Masalah
1

Apa saja jenis Apotek di Indonesia?

Apa saja peranan farmasis di Apotek ?

Bagaimana pengelolaan perbekalan di Apotek?

Bagaimana pelayanan farmasi klinik di Apotek?

1.3 Tujuan
1

Untuk mengetahui jenis-jenis apotek yang ada di Indonesia.

kualitas

hidup

Untuk mengetahui peranan farmasis di Apotek.

Untuk mengetahui cara pengelolaan perbekalan di Apotek.

Untuk mengetahui pelayanan farmasi klinik di Apotek.

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 35


Tahun 2014 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek, menjelaskan
apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik kefarmasian
oleh Apoteker. Sedangkan, apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai
apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker.
Pada Permenkes tersebut, juga diterangkan standar pelayanan kefarmasian
adalah tolak ukur yang dipergunakan sebagai pedoman bagi tenaga kefarmasian
dalam menyelenggarakan pelayanan kefarmasian, yang dalam hal ini adalah suatu
pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan
sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan
mutu kehidupan pasien. Selain itu, tujuan dari pengaturan standar pelayanan
kefarmasian di apotek, antara lain :
a. meningkatkan mutu Pelayanan Kefarmasian
b. menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian
c. melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan Obat yang tidak rasional
dalam rangka keselamatan pasien (patient safety)
Dalam kehidupannya, standar pelayanan kefarmasian di apotek, yaitu :
a. pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai, yang
meliputi perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pemusnahan,
pengendalian, pencatatan dan pelaporan.
b. pelayanan farmasi klinik, yang meliputi pengkajian resep, dispensing,
Pelayanan Informasi Obat (PIO), konseling, pelayanan kefarmasian di rumah
(home pharmacy care), Pemantauan Terapi Obat (PTO) dan Monitoring Efek
Samping Obat (MESO)
Dalam penyelenggaraan standar pelayanan kefarmasian di apotek harus
didukung oleh ketersediaan sember daya kefarmasian yang berorientasi kepada
keselamatan pasien, seperti SDM, sarana dan prasarana yang aman, bermutu,

bermanfaat dan terjangkau. Lalu, diperlukan adanya evaluasi untuk menjamin mutu
pelayanan kefarmasian.

BAB 3. PEMBAHASAN

3.1 Jenis Apotek di Indonesia


Di Indonesia telah banyak berdiri apotek yang mudah dijangkau masyarakat.
Apotek-apotek tersebut dapat digolongkan menjadi 2 jenis, yakni:
1) Apotek Swasta :

Sarana kesehatan tempat dilaksanakannya pelayanan kefarmasian yaitu


penyerahan obat dan perbekalan kesehatan tidak boleh melakukan
peracikan.

Dalam pelayanan kefarmasian, Apotek Swasta harus mengutamakan


pelayanan obat generik dan dilarang menyediakan narkotika, psikotropika,
meracik obat dan menyerahkan obat dalam jumlah yang besar.

Apotek Swasta Serupa harus memiliki 1 orang apoteker sebagai


penanggung jawab dan dibantu oleh asisten apoteker.

Apotek tidak buka 24 jam.

Apotek tidak melayani resep dokter.

2) Apotek BUMN :

Apotek di bawah naungan BUMN, apotek yang bergerak dari hulu ke hilir,
yaitu: industri, marketing, distribusi, ritel, laboratorium klinik dan klinik
kesehatan

Apotek buka 24 jam

obat yang relatif komplit, selain meyediakan obat-obat bebas (OTC), obat
resep (puyer/ racikan), Apotek ini juga menjual multivitamin dan suplemen,
alat kesehatan, serta produk-produk non-obat (yang masih berhubungan
dengan kesehatan/farmasi).

Dari segi harga, apotek ini menjual dengan harga bersaing.

Tenaga Apoteker yang bekerja full timer sehingga dapat melayani


informasi obat dengan baik.

Apotek melayani penjualan langsung dan melayani resep dokter dan


menyediakan pelayanan lain, misalnya praktek dokter dan pelayanan
OTC (swalayan) serta pusat pelayanan informasi obat.

3.2 Pelayanan Kefarmasian di Apotek


Pelayanan Kefarmasian di Apotek meliputi 2 (dua) kegiatan, yaitu kegiatan
yang bersifat manajerial berupa pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai dan pelayanan farmasi klinik. Kegiatan tersebut harus
didukung oleh sumber daya manusia, sarana dan prasarana.
3.2.1 Managerial
a. Perencanaan
Perencanaan adalah suatu kegiatan yang dilakukan dalam rangka menyusun
daftar kebutuhan obat secara sistematis untuk mencapai sasaran atau tujuan yang
telah ditetapkan. Proses perencanaan terdiri dari perkiraan kebutuhan, menetapkan
sasaran dan menentukan strategi, tanggung jawab dan sumber yang dibutuhkan
untuk mencapai tujuan. Perencanaan dilakukan secara optimal sehingga perbekalan
farmasi dapat digunakan secara efektif dan efisien.
Beberapa tujuan perencanaan dalam farmasi adalah untuk menyusun
kebutuhan obat yang tepat dan sesuai kebutuhan, untuk mencegah terjadinya
kekurangan atau kelebihan persediaan farmasi, dan meningkatkan penggunaan
persediaan farmasi secara efektif dan efisien.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan untuk mencapai tujuan
perencanaan obat, yaitu :
a. Mengenal dengan jelas rencana jangka panjang, apakah program dapat
mencapai tujuan dan sasaran.
b. Persyaratan barang meliputi : kualitas barang, fungsi barang, pemakaian satu
merk dan untuk jenis obat narkotika harus mengikuti peraturan yang berlaku.
c. Kecepatan peredaran barang dan jumlah peredaran barang.
d. Pertimbangan anggaran dan prioritas.

Dalam membuat perencanaan pengadaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan


bahan medis habis pakai perlu diperhatikan pula pola penyakit, pola konsumsi,
budaya dan kemampuan masyarakat (Permenkes RI Nomor 35 Tahun 2014).
b. Pengadaan
Pengadaan merupakan kegiatan untuk memenuhi kebutuhan operasional yang
telah ditetapkan di

dalam perencanaan, penentuan kebutuhan

maupun

penganggaran. Pelaksanaannya dapat dilakukan dengan pembelian, pembuatan,


penukaran ataupun penerimaan sumbangan.
Hal-hal yang perlu diperhatikan di dalam pengadaan adalah:
a. Doelmatig, artinya sesuai tujuan/sesuai rencana, haruslah sesuai kebutuhan
yang sudah direncanakan sebelumnya.
b. Rechtmatig, artinya sesuai hak/sesuai kemampuan.
c. Wetmatig, artinya sistem/cara pengadaannya haruslah sesuai dengan ketentuanketentuan yang berlaku (Soerjono Seto, 2004).
Salah satu metode dalam melakukan pengadaan obat adalah analisis ABC.
Analisis ABC digunakan untuk menentukan persediaan obat. Analisis ABC di
lakukan dengan mengklasifikasikan jenis obat menjadi 3 golongan, yaitu:
1. Golongan A (jumlah sedikit, harga total tinggi)
Contoh: vaksin, hormon, sediaan- sediaan injeksi.
2. Golongan B (jumlah sedang, harga total sedang)
Contoh: sediaan drop (eyes drop, oral drop,ear drop), sediaan inhaler/ spray.
3. Golongan C ( jumlah banyak, harga total rendah)
Contoh: obat- obat bebas yang sering digunakan secara swamedikasi (obat
batuk, diare, flu, sakit kepala, demam, vitamin, obat luka dll)
Analisis ABC bermanfaat untuk menekan frekuensi pemesanan,
mengurangi biaya total pengiriman obat dan menekan jumlah persediaan sehingga
mengurangi biaya total penyimpanan di gudang (Seto S, 2004).

Pemesanan obat golongan narkotika harus di Pedagang Besar Farmasi


(PBF) Kimia Farma. Pemesanan ini menggunakan surat pesanan khusus model N9 yang terdiri dari empat lembar yaitu warna putih, kuning, merah, dan biru. SP
warna kuning, putih, merah diserahkan ke PBF, sedangkan SP biru digunakan
sebagai arsip pembelian. Khusus untuk narkotik, satu lembar pesanan untuk satu
jenis obat dan harus ditanda tangani oleh APA dengan mencantumkan nama dengan
SIK, alamat, serta stempel apotek.
Pengadaan obat psikotropika menggunakan surat pesanan model khusus
yang dibuat rangkap dua dan ditandatangani oleh APA dimana tiap lembar surat
pesanan dapat digunakan untuk memesan lebih dari satu macam obat asalkan
pemesanan tersebut ditujukan untuk satu distributor atau PBF saja.
Apotek melakukan pengadaan barang Narkotika dan Psikotropika dengan
melakukan beberapa prosedur, diantaranya:
1) Apotek melakukan DEPEKTA (Daftar Obat Kosong Menipis)
2) Penulisan SP (Surat Pesanan) kemudiaan di setujui oleh apoteker sebagai
penanggung jawab dan ASKES sebagai pihak yang memberikan keuangan.
3) Kemudian di kirim ke PBF.
4) PBF yang telah mengabulkan permohonan tidak langsung mengirim barang
tetapi menunggu pengabulan permohonan oleh apoteker PBF.
5) Apabila semua pihak telah mengabulkan maka barang akan segera di kirim.
c. Penerimaan
Salah satu fungsi dari bagian administrasi gudang yaitu bertanggung jawab
dalam melakukan penerimaan dan pengeluaran barang. Penerimaan barang harus
disertai faktur pembelian, yang sebelumnya telah dilakukan pemeriksaan terhadap
faktur tersebut dengan melihat alamat distributor, NPWP, nomor telepon yang
menunjukkan keaslian faktur. Alur penerimaan barang meliputi :
1) Petugas gudang memeriksa dan menerima fisik barang (segel, nomor batch
sediaan dengan yang tercantum pada faktur, kemasan dari sediaan, bentuk

sediaan, jumlah, keadaan fisik obat, tanggal kadaluarsa) dari PBF sesuai dengan
SP dan faktur barang.
2) Membuat tanda terima penerimaan barang (stempel gudang dan tanda tangan
penanggung jawab gudang) di faktur barang.
3) Menyimpan dan membukukan barang masuk dalam kartu stok barang.
4) Membuat tanda terima penyerahan barang yang ditandatangani oleh penerima
barang dan distempel apotek serta dicatat.
5) Menyimpan dan membukukan barang keluar di kartu stok barang
d. Penyimpanan
Penyimpanan obat atau pembekalan farmasi dilakukan oleh Asisten Apoteker.
Setiap pemasukan dan penggunaan obat atau barang diinput ke dalam sistem
komputer dan dicatat pada kartu stok yang meliputi tanggal penambahan atau
pengurangan, nomor dokumennya, jumlah barang yang diisi atau diambil, sisa
barang dan paraf petugas yang melakukan penambahan atau pengurangan barang.
Kartu stok ini diletakan di masing-masing obat atau barang. Setiap Asisten
Apoteker bertanggung jawab terhadap stok barang yang ada di lemari.
Obat/bahan obat harus disimpan dalam wadah asli dari pabrik. Dalam hal
pengecualian atau darurat dimana isi dipindahkan pada wadah lain, maka harus
dicegah terjadinya kontaminasi dan harus ditulis informasi yang jelas pada wadah
baru. Wadah sekurang-kurangnya memuat nama obat, nomor batch dan tanggal
kadaluwarsa.
Semua obat/bahan obat harus disimpan pada kondisi yang sesuai sehingga
terjamin keamanan dan stabilitasnya. Penyimpanan barang disusun berdasarkan
jenis sediaan, bentuk sediaan dan alfabetis untuk obat-obat ethical, serta
berdasarkan farmakologi untuk obat-obat OTC (Over The Counter). Penyimpanan
obat atau barang disusun sebagai berikut :
a. Lemari penyimpanan obat ethical atau prescription drugs.
b. Lemari penyimpanan obat narkotik dan psikotropik dengan pintu rangkap dua
dan terkunci.

c. Lemari penyimpanan sediaan sirup, suspensi dan drops.


d. Lemari penyimpanan obat tetes mata dan salep mata.
e. Lemari penyimpanan salep kulit.
f. Lemari es untuk penyimpanan obat yang termolabil seperti suppositoria, insulin
dan lain lain.
g. Lemari penyimpanan obat bebas, obat bebas terbatas dan alat kesehatan.
Pengeluaran Obat memakai sistem FEFO (First Expire First Out) dan FIFO
(First In First Out). FIFO (First In First Out) dimana barang yang baru diterima
disimpan dibagian belakang dari barang yang diterima sebelumnya, sedangkan
Sistem FEFO (First Expired First Out) yang berdasarkan tanggal kadaluarsa
barang.
e. Distribusi
Prosedur tetap dari pendistribusian obat yang baik dan benar dibuat oleh orang
yang kompeten, kemudian ditandatangani dan dilegalisasi oleh penanggung jawab
perusahaan dagang yang bergerak di bidang farmasi. Isi dari prosedur tetap
distribusi ini adalah antara lain judul, nomor, dokumen, revisi, jumlah halaman,
dokumen acuan, nama berikut tanda tangan penanggung jawab laporan dan yang
terakhir adalah uraian proses.
Alur distribusi dimulai dari pemesanan dari PBF ke sumber resmi yang
ditunjuk untuk pembelian obat yakni industri farmasi. Setelah mengetahui stok
hidup dan stok pengaman, dikeluarkanlah surat pemesanan obat yang telah ditanda
tangani oleh penanggung jawab yang dilengkapi dengan nama dan nomor Surat Ijin
Kerja Apoteker (SIKA). Setelah pemesanan dilakukan, obat akan diterima dengan
beberapa proses. Mulai dari pemeriksaan kelengkapan obat yang telah dipesan, bila
telah sesuai segera disimpan di tempat persediaan perusahaan dagang farmasi tadi.
Bila masih ada yang kurang atau tidak sesuai, makan dikembalikan atau diganti di
tempat pemesanan obat tadi (industri farmasi), faktur dan surat penyerahan barang
harus ada pada proses ini. Setelah proses ini selesai, maka mulai masuk ke sistem
administrasi dengan barang (obat) yang dimasukkan ke kartu persediaan dan buku

pembelian sehingga stok barang dapat terlihat dengan jelas dan akurat. Selanjutnya,
apotek dapat memesan obat-obatan melalui PBF menggunakan surat pemesanan
yang ditandatangai oleh apoteker.

Pengelolaan obat di Apotek dimana obat-obat yang masuk atau keluar dicatat
di buku Defecta (buku untuk menuliskan barang yang habis di apotek untuk dipesan
kembali ke PBF), termasuk juga bila ada obat yang kosong atau habis. Kemudian
dari buku defecta obat di pesan dengan menggunakan surat pesanan, baik generik,
paten, dan obat-obat bebas. Obat tersebut di pesan di PBF. Tapi khusus obat-obat
narkotika dan psikotropika mempunyai surat pesanan yang berbeda dengan obatobat lainnya.
1) Surat pesanan obat bebas, bebas terbatas, keras dibuat rangkap 2 yang asli
dikirim ke PBF dan tembusannya sebagai arsip apotek.
2) Surat pesanan psikotropika, pemesanannya di lakukan di luar provinsi, sebelum
dikirim ke PBF, surat pesanan di legalisir terlebih dahulu ke Dinas Kesehatan
Provinsi Bengkulu.
3) Surat pesanan narkotika dibuat 4 rangkap dan yang berhak tanda tangan adalah
APA.
Surat pesanan yang dipesan di luar provinsi harus di legalisir, sedangkan yang
di dalam provinsi tidak di legalisir. Barang atau obat yang diterima dari PBF, dicek
ED, jumlah dan kondisi obat, keadaan obat atau barang yang masuk dan dilihat

apakah sudah sesuai atau belum dengan faktur atau surat pesanan. Bila sudah sesuai
obat tersebut di stock. Kemudian barulah faktur di tanda tangani oleh AA, untuk
obat Narkotika yang menanda tangani harus apoteker setelah obat diterima lalu obat
di hargai dan di susun pada tempatnya atau diletakan di dalam gudang Apotek yang
terlindung dari sinar matahari. Fungsinya untuk mencegah kerusakan dan
penurunan mutu obat atau barang yang di simpan.
Distribusi obat di apotek dapat melalui dua acara, yakni:
1) Penjualan Bebas
Penjualan bebas adalah penjualan obat tanpa resep. Dalam PERMENKES
Nomor 924/Menkes/Per/X/1993 tentang Obat Wajib Apotek menyatakan bahwa
APA dapat menjual obat bebas yang dinyatakan sebagai obat wajib apotek tanpa
resep dokter. Daftar obat ini di tetapkan berdasarkan SK Menkes RI Nomor
347/Menkes/SK/VIU/1997 tentang Obat Wajib Apotek No. 1 dan Keputusan
Menteri Kesehatan No 924/Menkes/Per/X/1993 tentang Obat Wajib Apotek No. 2.
2) Penjualan dengan Resep
Penjualan dengan resep adalah penjualan obat dengan resep dokter. Sistem
pelayanan resep di apotek ada 6 yaitu:
a) Pemeriksaan keabsahan dan kelengkapan resep
1. Nama, Alamat, No hp dan tanda tangan dokter penulis resep
2. Nama obat, dosis, jumlah dan aturan pakai
3. Nama pasien, umur, alamat dan no telepon

b) Perjanjian dan pembayaran


1. Pengambilan obat semua atau sebagian
2. Atau tidak penggantian obat atas persetujuan dokter atau pasien

c) Peracikan
1. Penyiapan etiket atau penandaan obat dan kemasan
2. Peracikan obat (hitung, campur, kemas)
3. Penyajian hasil akhir peracikan

d) Pemeriksaan akhir
1. Kesesuaian hasil peracikan dengan resep.
2. Nomor resep.
3. Nomor obat, bentuk dan jenis sediaan, dosis, jumlah dan aturan pakai.
4. Nama pasien, umur, alamat dan nomor telepon.

e) Penyerahan Obat dan pemberian informasi


Penjelasan obat harus di sertai dengan penjelasan info tentang: Nama
obat, bentuk dan sediaan, dosis, jumlah dan aturan pakai, cara penyimpanan,
efek samping yang mungkin timbul dan cara mengatasinya, tanda terima
pasien atau penerima obat.
f) Layanan Purna Jual
1. Komunitas dan informasi dan penerima obat
2. Penggantian obat bila di perlukan atas permintaan dokter
f. Pemusnahan
Sediaan farmasi yang sudah tidak memenuhi syarat sesuai dengan standar
yang ditetapkan harus dimusnahkan. Penghapusan atau pemusnahan sediaan
farmasi yang tidak dapat atau tidak boleh digunakan harus dilaksanakan dengan
cara yang baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Prosedur pemusnahan obat hendaklah mencakup kedalam pencegahan
terjadinya pencemaran dilingkungan dan mencegah jatuhnya obat-obat tertentu
dikalangan orang atau masyarakat yang tidak berwenang. Sediaan farmasi yang
akan dimusnakan, hendaknya disimpan terpisah dan dibuat daftar yang mencakup
jumlah dan identitas produk.
Pemusnahan obat atau sediaan farmasi baik yang dilakukan sendiri maupun
oleh pihak lain harus didokumentasikan sesuai dengan ketentuan dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Pemusnahan obat dapat dilakukan dengan
beberapa cara, diantaranya yaitu pemusnahan obat dalam bentuk padatan dengan

cara ditanam, pemusnahan obat dalam bentuk cair dengan cara diencerkan terlebih
dahulu, atau pemusnahan obat dengan cara dititipkan ke Dinkes (Dinas Kesehatan).
Pemusnahan obat dibidang farmasi karena rusak, dilarang atau kadaluwarsa
dilakukan dengan cara dibakar, ditanam atau dengan cara lain yang ditetapkan oleh
Badan POM. Pemusnahan obat kadaluwarsa atau rusak yang mengandung
narkotika atau psikotropika dilakukan oleh Apoteker dan disaksikan oleh Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota. Pemusnahan Obat selain narkotika dan psikotropika
dilakukan oleh Apoteker dan disaksikan oleh tenaga kefarmasian lain yang
memiliki surat izin praktik atau surat izin kerja. Pemusnahan tersebut harus
dilaporkan oleh APA secara tertulis kepada Sub Dinkes atau Dinkes setempat
dengan mencantumkan Nama dan Alamat apotek, Nama APA, Perincian obat dan
perbekalan kesehatan dibidang farmasi yang akan dimusnahkan, rencana tanggal
dan Tempat pemusnahan, cara pemusnahan (sesuai Formulir 1).

Selain pemusnahan obat/sediaan farmasi, dapat juga dilakukan pemusnahan


resep. Pemusnahan resep dapat dilakukan apabila resep telah disimpan melebihi
jangka waktu yaitu 5 tahun seperti yang tertera pada perundang-undangan. Yang
mana dalam pemusnahan resep harus dibuatkan berita acara pemusnahan sesuai
dengan bentuk yang telah ditentukan dalam rangkap empat dan ditandatangani oleh
Apoteker Pengelola Apotek dan seorang petugas yang ikut memusnahkan (Berita
Acara Pemusnahan Resep menggunakan Formulir 2). Yang harus disebutkan dalam
berita acara pemusnahan resep ini yaitu:
1) Hari dan Tanggal pemusnahan
2) Tanggal yang terawal dan terakhir dari resep
3) Berat resep yang dimusnahkan dalam kilogram

Setelah dilakukan pemusnahan resep, selanjutkan harus melapor kepada Dinas


Kesehatan Kabupaten atau Kota.

g. Pengendalian
Pengendalian dilakukan untuk mempertahankan jenis dan jumlah persediaan
sesuai kebutuhan pelayanan, melalui pengaturan sistem pesanan atau pengadaan,
penyimpanan dan pengeluaran. Hal ini bertujuan untuk menghindari terjadinya
kelebihan, kekurangan, kekosongan, kerusakan, kadaluwarsa, kehilangan serta
pengembalian pesanan. Pengendalian persediaan dilakukan menggunakan kartu
stok baik dengan cara manual atau elektronik. Kartu stok sekurang-kurangnya
memuat nama obat, tanggal kadaluwarsa, jumlah pemasukan, jumlah pengeluaran
dan sisa persediaan.
Pengendalian persediaan melalui kartu stok pada masing-masing obat
merupakan kegiatan pencatatan jumlah obat yang masuk ketika gudang farmasi
menerima obat dari PBF dan mencatat obat yang keluar ketika ada permintaan dari
unit-unit pengguna seperti apotek. Kegiatan pengendalian ini dilakukan setiap hari.
Unit Pelaksana Fungsional Farmasi dan Apotek mempunyai Sistem Informasi yaitu
system inventory. Pengendalian persediaan melalui system inventory merupakan
metode pencatatan jumlah stok obat masuk dan keluar ke dalam komputer, system
inventory ini link dengan unit-unit pengguna seperti Apotek. Setiap obat masuk di
input ke dalam system inventory, berapa jumlah obat yang diterima, sesuai dengan
nama PBF (Perusahaan Besar Farmasi), dan harga setiap item obat. Obat yang
keluar juga di input ke dalam system inventory, dengan menginput nama obat, dan
jumlah obat yang diminta oleh unit-unit pengguna seperti apotek, system inventory
ini otomatis mengurangi jumlah stok yang ada di gudang farmasi, sehingga dari
system inventory ini dapat melakukan pengendalian persediaan dengan melihat
jumlah persediaan obat di masing-masing unit pengguna (apotek). Jumlah
persediaan obat dari system inventory dicocokkan dengan jumlah stok obat yang
ada di kartu stok dan jumlah fisik persediaan obat yang ada di gudang farmasi. Dari
laporan tersebut dapat dilihat jumlah pemakaian masing-masing item obat selama
satu bulan, sesuai dengan unit pengguna yang melakukan permintaan, kemudian
obat-obat apa saja yang tidak bergerak, serta diperiksa expired date dan kemasan
setiap obat.

h. Pencatatan dan Pelaporan


Pencatatan dilakukan pada setiap proses pengelolaan sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan bahan medis habis pakai meliputi pengadaan (surat pesanan, faktur),
penyimpanan (kartu stock), penyerahan (nota atau struk penjualan) dan pencatatan
lainnya disesuaikan dengan kebutuhan.
Pelaporan terdiri dari pelaporan internal dan eksternal. Pelaporan internal
merupakan pelaporan yang digunakan untuk kebutuhan manajemen apotek,
meliputi keuangan, barang dan laporan lainnya. Pelaporan eksternal merupakan
pelaporan yang dibuat untuk memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan meliputi pelaporan narkotika (menggunakan
Formulir 3 sebagaimana terlampir), psikotropika (menggunakan Formulir 4
sebagaimana terlampir) dan pelaporan lainnya.
1) Pelaporan narkotika
Berdasarkan UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika pasal 14 ayat (2)
dinyatakan bahwa industri farmasi, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan
sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai
pengobatan,

dokter,

dan

lembaga

ilmu

pengetahuan

wajib

membuat,

menyampaikan, dan menyimpan laporan berkala mengenai pemasukan dan/atau


pengeluaran narkotika yang berada dibawah penguasaannya. Laporan tersebut
meliputi laporan pemakaian narkotika dan laporan pemakaian morfin dan petidin.
Laporan harus di tandatangani oleh apoteker pengelola apotek dengan
mencantumkan SIK, SIA, nama jelas dan stempel apotek, kemudian dikirimkan
kepada Kepala Suku Dinas Kesehatan dengan tembusan kepada :
1) Kepala Dinas Kesehatan Propinsi setempat.
2) Kepala Balai POM setempat.
3) Penanggung jawab narkotika.
4) Arsip.
Laporan penggunaan narkotika tersebut terdiri dari:
1) Laporan penggunaan sediaan jadi narkotika

2) Laporan penggunaan bahan baku narkotika


3) Laporan khusus penggunaan morfin dan petidin Laporan narkotika tersebut
dibuat setiap bulannya dan harus dikirim selambat-lambatnya tanggal 10 bulan
berikutnya
2) Pelaporan Psikotropika
Apotek wajib membuat dan menyimpan catatan mengenai kegiatan yang
berhubungan dengan psikotropika dan melaporkan pemakaiannya setiap bulan
kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan tembusan kepada Kepala Balai
Besar POM setempat dan 1 salinan untuk arsip apotek
Berikut adalah contoh formulir untuk pelaporan pemakaian narkotika dan
psikotropika:

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3


Tahun 2015 Tentang Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan, Dan Pelaporan
Narkotika, Psikotropika, Dan Prekursor Farmasi disebutkan bahwa :

Industri Farmasi, PBF, Instalasi Farmasi Pemerintah, Apotek, Puskesmas,


Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Instalasi Farmasi Klinik, Lembaga Ilmu
Pengetahuan, atau dokter praktik perorangan yang melakukan produksi,
Penyaluran, atau Penyerahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi
wajib membuat pencatatan mengenai pemasukan dan/atau pengeluaran
Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi serta toko obat yang melakukan
penyerahan Prekursor Farmasi dalam bentuk obat jadi wajib membuat
pencatatan mengenai pemasukan dan/atau pengeluaran Prekursor Farmasi
dalam bentuk obat jadi. Pencatatan yang dilakukan yaitu meliputi :
a. Nama,bentuk sediaan,dan kekuatan narkotika, psikotropika, dan prekursor
Farmasi;
b. Jumlah persediaan;
c. Tanggal, nomor dokumen, dan sumber penerimaan
d. Jumlah yang diterima;
e. Tanggal, nomor dokumen, dan tujuan penyaluran/penyerahan;
f. Jumlah yang disalurkan/diserahkan;
g. Nomor batch dan kadaluarsa setiap penerimaan atau penyaluran/penyerahan;
h. Paraf atau identitas petugas yang ditunjuk.

Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Instalasi Farmasi Klinik, Lembaga


Ilmu Pengetahuan, dan dokter praktik perorangan wajib membuat, menyimpan,
dan menyampaikan laporan pemasukan dan penyerahan/penggunaan Narkotika
dan Psikotropika, setiap bulan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
dengan tembusan Kepala Balai setempat yang meliputi :
a. Nama, bentuk sediaan, dan kekuatan Narkotika, Psikotropika, dan/atau
Prekursor Farmasi;
b. Jumlah persediaan awal dan akhir bulan;
c. Jumlah yang diterima; dan
d. Jumlah yang diserahkan.

3.2.2 Pelayanan Farmasi Klinik


Pelayanan farmasi klinik di apotek merupakan bagian dari pelayanan
kefarmasian yang langsung dan bertanggung jawab kepada pasien berkaitan dengan
sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai dengan maksud
mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.
a. Pelayanan Resep
Menurut KEPMENKES RI NO 1332/MENKES/SK/XX/2002, resep adalah
permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, dokter hewan kepada Apoteker
Penanggung jawab Apotek (APA) untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi
penderita sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Pelayanan
resep yang diberikan apotek menurut Peraturan Menteri Kesehatan No.
1027/MENKES/PER/IX/2004 Bab III, meliputi:
1) Skrining Resep
Apoteker melakukan skrining resep meliputi :
a) Persyaratan administratif: Nama, SIP (surat izin praktek) dan alamat dokter;
tanggal penulisan resep; tanda tangan/paraf dokter penulis resep; nama,
alamat, umur, jenis kelamin, dan berat badan pasien; nama obat, potensi,
dosis, jumlah yang diminta; cara pemakaian yang jelas, informasi lainnya.
b) Kesesuaian farmasetik: bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas,
inkompatibilitas, cara dan lama pemberian.
c) Kesesuaian klinis: adanya alergi, efek samping, interaksi, kesesuaian (dosis,
durasi, jumlah obat dan lain-lain).
2) Penyiapan Obat
a) Peracikan
Merupakan kegiatan menyiapkan, menimbang, mencampur, mengemas dan
memberikan etiket pada wadah. Dalam melaksanakan peracikan obat harus
dibuat suatu prosedur tetap dengan memperhatikan dosis, jenis dan jumlah
obat serta penulisan etiketmobat yang benar.

b) Etiket
Etiket harus jelas dan dapat dibaca, meliputi nomor resep, tanggal, nama
dan aturan pakai.
c) Kemasan obat yang diserahkan
Obat hendaknya dikemas dengan rapi dalam kemasan yang cocok sehingga
terjaga kualitasnya.
3) Penyerahan Obat
Sebelum obat diserahkan pada pasien harus dilakukan pemeriksaan khir
terhadap kesesuaian antara obat dengan resep. Penyerahan obat dilakukan oleh
apoteker disertai pemberian informasi obat dan konseling kepada pasien dan
tenaga kesehatan.
4) Informasi Obat
Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas dan mudah
dimengerti, akurat, tidak bisa, etis, bijaksana, dan terkini. Informasi obat pada
pasien sekurang-kurangnya meliputi : cara pemakaian obat, cara penyimpanan
obat, jangka waktu pengobatan (jam penggunaan obat), aktivitas serta makanan
dan minuman yang harus dihindari selama terapi.
5) Konseling
Apoteker harus memberikan konseling, mengenai sediaan farmasi, pengobatan
dan perbekalan kesehatan lainnya, sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup
pasien atau yang bersangkutan terhindar dari bahaya penyalahgunaan atau
penggunaan salah sediaan farmasi atau perbekalan kesehatan lainnya. Untuk
pasien penyakit tertentu seperti kardiovaskular, diabetes, TBC, asthma, dan
penyakit kronis lainnya, apoteker harus memberikan konseling secara
berkelanjutan.
Pada pasien dengan resep dokter, informasi yang diberikan hanya bersifat
menunjang dan menegaskan kembali informasi yang telah diberikan oleh

dokter. Three prime question yang diajukan jika pasien mendapat resep baru
adalah :
1. Bagaimana penjelasan Dokter tentang obat Anda ?
2. Bagaimana penjelasan Dokter tentang cara pakai obat Anda ?
3. Bagaimana penjelasan Dokter tentang harapan setelah minum/memakai
obat Anda ?
6) Monitoring Penggunaan Obat
Setelah penyerahan obat kepada pasien, apoteker harus melaksanakan
pemantauan

penggunaan

obat,

terutama

untuk

pasien

tertentu

seperti

kardiovaskular, diabetes, TBC, asthma, dan penyakit kronis lainnya. Dari


keterangan yang diperoleh ini maka apoteker bisa menunjang informasi dari dokter
dengan menambahkan informasi-informasi lain mengenai obat kepada pasien,
misal petunjuk khusus cara penyediaan obat, hal-hal yang mungkin timbul selama
penggunaan obat, hal-hal yang harus dihindari selama penggunaan obat yang
meliputi kontra indikasi dan interaksi obat dan makanan serta cara penyimpanan
obat yang benar.

b. Pelayanan Non Resep


Pelayanan non resep meliputi pelayanan swamedikasi (self medication) atau
upaya pengobatan diri sendiri (UPDS), termasuk di dalamnya pemilihan obat wajib
apotek (OWA), serta obat bebas/bebas terbatas. Untuk pelayanan swamedikasi
tanpa resep dokter dilakukan sendiri oleh apoteker yang bertugas saat itu,
sedangkan untuk penjualan obat bebas Pelayanan Non Resep dapat dilakukan oleh
asisten apoteker. Pelayanan swamedikasi meliputi pemberian dan penjualan obatobat keras (OWA) yang dapat diberikan tanpa resep dokter, tapi dalam jumlah
terbatas dan penyerahannya oleh apoteker di apotek.
Dalam pelayan obat non resep diperlukan informasi tentang pasien. Metode
yang digunakan untuk mengetahui informasi pasien adalah metode WWHAM,
yaitu :
W : Who is patient? (Siapa pasiennya ?)
W : What are the symptoms? (Apa gejalanya?)
H : How long have the symptoms persisted? (Berapa lama gejala tersebut
muncul?)
A : Action taken, what medicine tried? (Tindakan yang dilakukan, obat apa yang
digunakan?)
M : Medicine already being taken for other conditions? (Obat apa yang saat ini
digunakan untuk gejala yang lain?)
Pelayanan Komunikasi, Informasi , dan Edukasi (KIE)
Pelayanan KIE bertujuan memberikan informasi yang benar mengenai segala
sesuatu yang harus diketahui dan diperhatikan pasien mengenai suatu obat, antara
lain macam obat, indikasi pengobatan, kontraindikasi obat, efek samping yang
mungkin timbul, cara penggunaan, frekuensi pemberian, pentingnya kepatuhan
maupun hal-hal lain yang harus diperhatikan oleh pasien yang meminum obat
tersebut. Melalui KIE diharapkan pasien dapat menggunakan obat yang
diminumnya secara benar sehingga tujuan terapi dapat tercapai.

Pelayanan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) diberikan kepada pasien


karena pasien memiliki pengetahuan yang terbatas mengenai obat yang diminum.
Pemberian pelayanan KIE terutama ditujukan pada pasien:
1) Polifarmasi, sebab semakin banyak obat yang harus dikonsumsi setiap harinya
semakin besar terjadi ketidak patuhan dan kesalahan penggunaan obat karena
kelalaian atau lupa.
2) Menerima terapi dengan obat terapi sempit, hal ini dimaksudkan untuk
menghindari terjadinya efek toksik.
3) Memerlukan perhatian khusus yaitu anak-anak, lanjut usia, ibu menyusui, ibu
hamil, pasien dengan gangguan fungsi organ seperti hati, ginjal dan jantung
terutama dalam hal dosis dan kepatuhan.
4) Menerima terapi dengan obat yang mempunyai efek samping tertentu yang
dapat menyebabkan keresahan atau mengganggu kegiatan pasien.
Apoteker sebagai care giver diharapkan juga dapat melakukan pelayanan
kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk kelompok lansia dan
pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya. Selain dengan kunjungan
rumah, pelayanan residensial dapat dilakukan dengan menghubungi pasien melalui
telepon/sms bila obat hampir habis dan menanyakan bagaimana keadaan pasien
tersebut apakah membaik atau tidak. Jika keadaan pasien tidak membaik maka
pasien dianjurkan untuk mengecek kondisinya pada dokter sehingga dapat
ditentukan langkah selanjutnya. Untuk aktivitas ini apoteker harus membuat catatan
berupa catatan pengobatan (medication record).
Patient Medication Record (PMR) menurut Standar Pelayanan Kefarmasian
di Apotek merupakan catatan pengobatan pasien yang dimiliki oleh apotek, yang
berguna untuk memastikan keamanan, keefektifan, kerasionalan penggunaan obat
sesuai dengan kondisi kesehatan masing-masing pasien. Selain itu, PMR berguna
untuk mengetahui riwayat obat yang pernah digunakan, sehingga dapat
menghindari penyalahgunaan obat, dan membantu mengingat semua pengobatan
(terapi) yang pernah digunakan.

Pada akhirnya, catatan pengobatan digunakan sebagai pedoman oleh apoteker


agar dapat memberikan konseling dan controlling pada pasien mengenai
pengobatan dan perkembangan penyakitnya agar tujuan terapi dapat tercapai secara
optimal.

BAB 4. KESIMPULAN

1. Ada dua jenis apotek yang ada di Indonesia, yakni apotek BUMN dan apotek
milik swasta.
2. Pelayanan Kefarmasian di Apotek meliputi 2 (dua) kegiatan, yaitu kegiatan
yang bersifat manajerial dan pelayanan farmasi klinik.
3. Fungsi

managerial

meliputi

perencanaan,

pengadaan,

penerimaan,

penyimpanan, distribusi, pemusnahan, pengendalian, pencatatan dan pelaporan.


4. Fungsi pelayanan farmasi klinik meliputi pelayanan dengan resep dan
pelayanan tanpa resep.

DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Menteri Kesehatan No. 1027/MENKES/PER/IX/2004 Bab III.


Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek.
Syamsuni. 2005. Farmasetika Dasar dan Hitungan Farmasi Bab II hal.10. Jakarta:
Buku Kedokteran EGC.,
Seto, S., Nita, Y., Triana, L., 2008. Manajemen Farmasi: Lingkup Apotek, Farmasi
Rumah Sakit, Pedagang Besar Farmasi, Industri Farmasi. Edisi II.
Surabaya: Airlangga University Press.

You might also like