You are on page 1of 5

ANATOMI OTAK

Otak di lindungi dari cedera oleh rambut, kulit dan tulang yang membungkusnya,
tanpa perlindungan ini, otak yang lembut yang membuat kita seperti adanya, akan mudah
sekali terkena cedera dan mengalami kerusakan. Selain itu, sekali neuron rusak, tidak dapat
di perbaiki lagi. Cedera kepala dapat mengakibatkan malapetaka besar bagi seseorang.
Sebagian masalah merupakan akibat langsung dari cedera kepala. Efek-efek ini harus
dihindari dan di temukan secepatnya dari tim medis untuk menghindari rangkaian kejadian
yang menimbulkan gangguan mental dan fisik dan bahkan kematian.
Kulit kepala terdiri dari lima lapisan yang disebut sebagai SCALP, yaitu :
1

Skin atau kulit

Connective tissue atau jaringan penyambung

Aponeurosis atau jaringan ikat yang terhubung langsung dengan tengkorak

Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar

Perikranium

1. Pengertian
Contusio serebral merupakan cedera kepala berat, dimana otak mengalami
memar, dengan kemungkinan adanya daerah hemoragi (Smeltzer and Bare, 2006).
Kontusio
serebri
(cerebral
contussion) adalah
luka memar pada
otak. Memar yang disebabkan oleh trauma dapat membuat jaringan menjadi rusak dan
bengkak dan pembuluh darah dalam jaringan pecah, menyebabkan darah mengalir ke
dalam jaringan disebut hematoma (kamus besar bahasa Indonesia)
Memar otak atau kontusio serebri (contusio cerebri, cerebral contusion) adalah
perdarahan di dalam jaringan otak yang tidak disertai oleh robekan jaringan yang
terlihat, meskipun sejumlah neuron mengalami kerusakan atau terputus. Memar otak
disebabkan oleh akselerasi kepala tiba-tiba yang menimbulkan pergeseran otak dan
kompresi yang merusak, yang membuat pingsan sementara (kamus besar bahasa
Indonesia).

Secara definisi Contusio Cerebri didefinisikan sebagai gangguan fungsi otak


akibat adanya kerusakan jaringan otak disertai perdarahan yang secara makroskopis
tidak mengganggu jaringan (Corwin, 2000).
Pada kontusio atau memar otak terjadi perdarahan-perdarahan di dalam
jaringan otak tanpa adanya robekan jaringan yang kasat mata, meskipun neuronneuron mengalami kerusakan atau terputus (Harsono, 2010)
2. Etiologi
Penyebab contusio cerebri atau memar otak adalah adanya akselerasi kepala
tiba-tiba yang menimbulkan pergeseran otak dan kompresi yang merusak akibat dari
kecelakaan, jatuh atau trauma akibat persalinan.
Kontusio dapat pula terjadi akibat adanya gaya yang dikembangkan oleh
mekanisme-mekanisme yang beroperasi pada trauma kapitis, sehingga terdapat
vasoparalisis.
3. Manifestasi klinis
Timbulnya lesi kontusio di daerah-daerah dampak (coup) countrecoup dan
intermediated, menimbulkan gejala defisit neurologik, yang bisa berupa refleks
babinski yang positif dan kelumpuhan. Pada pemeriksaan neurologik pada kontusio
ringan mungkin tidak dijumpai kelainan neurologik yang jelas kecuali kesadaran yang
menurun. Pada kontusio serebri dengan penurunan kesadaran berlangsung berjam-jam
pada pemeriksaan dapat atau tidak dijumpai defisit neurologik. Pada kontusio serebri
yang berlangsung lebih dari enam jam penurunan kesadarannya biasanya selalu
dijumpai defisit neurologis yang jelas. Gejala-gejalanya bergantung pada lokasi dan
luasnya daerah lesi. Keadaan klinis yang berat terjadi pada perdarahan besar atau
tersebar di dalam jaringan otak, sering pula disertai perdarahan subaraknoid atau
kontusio pada batang otak. Edema otak yang menyertainya tidak jarang berat dan
dapat menyebabkan meningkatnya tekanan intrakranial.
Tekanan intrakranial yang meninggi menimbulkan gangguan mikrosirkulasi
otak dengan akibat menghebatnya edema. Dengan demikian timbullah lingkaran setan
yang akan berakhir dengan kematian bila tidak dapat diputus.
Pada perdarahan dan edema di daerah diensefalon pernapasan biasa atau
bersifat Cheyne Stokes, pupil mengecil, reaksi cahaya baik. Mungkin terjadi rigiditas
dekortikasi yaitu kedua tungkai kaku dalam sikap ekstensi dan kedua lengan kaku
dalam sikap fleksi pada sendi siku.
Pada gangguan di daerah mesensefalon dan pons bagian atas, kesadaran
menurun hingga koma, pupil melebar, refleks cahaya tidak ada, gerakan mata

diskonjugat, tidak teratur, pernapasan hiperventilasi, motorik menunjukkan rigiditas


deserebrasi dengan keempat ekstremitas kaku dalam sikap ekstensi.
Pada lesi pons bagian bawah bila nuklei vestibularis terganggu bilateral,
gerakan kompensasi bola mata pada gerakan kepala menghilang. Pernapasan tidak
teratur. Bila oblongata terganggu, pernapasan melambat tak teratur, tersengal-sengal
menjelang kematian (Harsono, 2010).
Gejala lain yang sering muncul pada contusion serebri menurut Smeltzer and
Bare (2006) yaitu :
a. Pasien berada pada periode tidak sadarkan diri
b. Kehilangan gerakan
c. Denyut nadi lemah
d. Pernapasan dangkal
e. Kulit dingin dan pucat
f. Sering defekasi dan berkemih tanpa disadari
g. Pasien dapat diusahakan untuk bangun/sadar tetapi segera kembali kedalam
keadaan tidak sadarkan diri
h. Tekanan darah dan suhu abnormal
dalam tahap peka rangsang serebral, pasien sadar tetapi sebaliknya mudah
terganggu oleh suatu bentuk stimulasi, suara, cahaya, dan bunyi-bunyian dan
menjadi hiperaktif sewaktu. Berangsur-angsur denyut nadi, pernapasan, suhu dan
fungsi tubuh lain kembali normal. Walaupun pemulihan sering terlihat lambat.
sakt kepala dan sisa vertigo dan gangguan fungsi mental atau kejang sering
terjadi sebagai akibat kerusakan serebral yang tidak dapat diperbaiki (Smeltzer
and Bare, 2006).
Menurut Corwin (2000) manifestasi yang muncul pada pasien dengan
contusion cerebri adalah defisit neurologis jika mengenai daerah motorik atau
sensorik otak., secara klinis didapatkan penderita pernah atau sedang tidak sadar
selama lebih dari 15 menit atau didapatkan adanya kelainan neurologis akibat
kerusakan jaringan otak. Pada pemerikasaan CT Scan didapatkan daerah hiperdens di
jaringan otak
4. Pathofisologi
Pada contusio cerebri (memar otak) terjadi perdarahan-perdarahan di dalam
jaringan otak tanpa adanya robekan jaringanyang kasat mata, meskipun neuronneuron mengalami kerusakan atau terputus. Yang penting untuk terjadinya lesi
contusio ialah adanya akselerasi kepala yang seketika itu juga menimbulkan
pergeseran otak serta pengembangan gaya kompresi yang destruktif. Akselerasi yang
kuat berarti pula hiperekstensi kepala. Oleh karena itu, otak membentang batang otak

terlalu kuat, sehingga menimbulkan blockade reversible terhadap lintasan asendens


retikularis difus.
Akibat blockade itu, otak tidak mendapat input aferen dan karena itu,
kesadaran hilang selama blockade reversible berlangsung. Timbulnya lesi contusio di
daerah coup, contrecoup, dan intermediate menimbulkan gejala deficit neurologik
yang bisa berupa refleks babinsky yang positif dan kelumpuhan. Setelah kesadaran
pulih kembali, penderita biasanya menunjukkan organic brain syndrome. Lesi
akselerasi-deselerasi, gaya tidak langsung bekerja pada kepala tetapi mengenai bagian
tubuh yang lain, tetapi kepala tetap ikut bergerak akibat adanya perbedaan densitas
tulang kepala dengan densitas yang tinggi dan jaringan otot yang densitas yang lebih
rendah, maka terjadi gaya tidak langsung maka tulang kepala akan bergerak lebih dulu
sedangkan jaringan otak dan isinya tetap berhenti, pada dasar tengkorak terdapat
tonjolan-tonjolan maka akan terjadi gesekan antara jaringan otak dan tonjolan tulang
kepala tersebut akibatnya terjadi lesi intrakranial berupa hematom subdural, hematom
intra serebral, hematom intravertikal, kontra coup kontusio. Selain itu gaya akselerasi
dan deselarasi akan menyebabkan gaya tarik atau robekan yang menyebabkan lesi
diffuse berupa komosio serebri, diffuse axonal injuri. Akibat gaya yang dikembangkan
oleh mekanisme-mekanisme yang beroperasi pada trauma kapitis tersebut di atas,
autoregulasi pembuluh darah cerebral terganggu, sehingga terjadi vasoparalitis.
Tekanan darah menjadi rendah dan nadi menjadi lambat, atau menjadi cepat dan
lemah. Juga karena pusat vegetatif terlibat, maka rasa mual, muntah dan gangguan
pernafasan bisa timbul (Corwin, 2010)
5. Pemeriksaan diagnostik
Pemeriksaan penunjang seperti CT-Scan berguna untuk melihat letak lesi dan
adanya kemungkinan komplikasi jangka pendek. Pemeriksaan tambahan yang perlu
dilakukan ialah foto rontgen polos, bila perlu scan tomografik, EEG dan pungsi
lumbal.
.

Daftar Pustaka
Corwin. (2010). Hand Book Of Pathofisiologi. EGC : Jakarta
Harsono. (2010). Kapita Selekta Neurologi. Gadjah Mada University Press : Yogyakarta
Mardjono M., Sidharta P., Neurologi Klinis Dasar, Dian Rakyat, Jakarta, 2000
Smeltzer, S. C & Bare, G. B. (2006) Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner and
Suddart, Edisi 8. Vol 3 EGC, Jakarta.

You might also like