You are on page 1of 16

BAGIAN ILMU FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL

LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

NARKOBA

Oleh :
Fajrul Siyam Ansar
10542 0212 10
Pembimbing :
dr. EKO YULIANTO, Sp.F,MH,MKes

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU FORENSIK DAN MEDIKOLEGALFAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2016
1

KATA PENGANTAR
Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa,
Pertama penulis mengucapkan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena rahmat dan
hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan laporaan kasus yang berjudul Narkoba
Tepat pada waktunya. Adapun pembuatan Laporan Kasus ini adalah sebagai prasyarat penulis
untuk dapat mengikut kepanitraan dalam bidang Ilmu Forensik Dan Medikolegal di Rumah Sakit
Bayangkara.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada pembimbing Laporan kasus penulis, dr. EKO
YULIANTO, Sp.F,MH,MK atas bimbingannya. Ilmu yang telah penulis terima tidaklah dapat
dinilai dan akan berguna selama penulis masih dapat mengamalkan ilmu pengetahuan yang telah
penulis dapatkan.
Demikianlah Laporan Kasus ini, penulis curahkan. Semoga Laporan kasus ini yang
penulis buat bermanfaat bagi siapa pun yang membacanya. Penulis memohon maaf apabila
selama penulisan, penulis melakukan kesalahan baik yang disengajakan maupun yang tidak.
Makassar, Maret 2016
Penulis

DAFTAR ISI
Halaman Judul
Kata Pengantar
Bab I Pendahuluan

Bab II Tinjauan Pustaka

2-12

Bab III Kesimpulan

13

Daftar Pustaka

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masalah penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainya
(NAPZA) atau istilah yang populer dikenal masyarakat sebagai NARKOBA (Narkotika
dan Bahan/ Obat berbahanya) merupakan masalah yang sangat kompleks, yang
memerlukan upaya penanggulangan secara komprehensif dengan melibatkan kerja sama
multidispliner, multisektor, dan peran serta masyarakat secara aktif yang dilaksanakan
secara berkesinambungan, konsekuen dan konsisten.1
Maraknya penyalahgunaan NAPZA tidak hanya dikota-kota besar saja, tapi sudah
sampai ke kota-kota kecil diseluruh wilayah Republik Indonesia, mulai dari tingkat sosial
ekonomi menengah bawah sampai tingkat sosial ekonomi atas. Dari data yang ada,
penyalahgunaan NAPZA paling banyak berumur antara 1524 tahun.
Berdasarkan data penelitian pengguna NAPZA di dunia, dilaporkan hampir 40%
penduduk di dunia pernah menggunakan NAPZA dalam hidup mereka. Beberapa
substansi tersebut menyebabkan kelainan status mental secara internal, seperti
menyebabkan perubahan mood, secara eksternal menyebabkan perubahan perilaku.
Substansi tersebut juga dapat menimbulkan problem neuropsikiatrik yang masih belum
ditemukan penyebabnya, seperti skizofrenia dan gangguan mood, sehingga kelainan
primer psikiatrik dan kelainan yang disebabkan oleh NAPZA menjadi sangat
berhubungan.1
Peran penting sektor kesehatan sering tidak disadari oleh petugas kesehatan itu
sendiri, bahkan para pengambil keputusan, kecuali mereka yang berminat dibidang
kesehatan jiwa, khususnya penyalahgunaan NAPZA. Dan minimnya pengetahuan
mengenai masalah NAPZA, penggunaannya, masalah psikiatri yang ditimbulkan, serta
penangannya, mendorong penulis untuk menyusun referat mengenai Gangguan Akibat
Penyalahgunaan NAPZA dan penanggulangannya.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
NAPZA (Narkotika,

Psikotropika

dan Zat Adiktif

lain)

adalah

bahan/zat/obat yang bila masuk kedalam tubuh manusia akan mempengaruhi


tubuh terutama otak/susunan saraf pusat, sehingga menyebabkan gangguan
kesehatan fisik, psikis, dan fungsi sosialnya karena terjadi kebiasaan,
ketagihan (adiksi) serta ketergantungan (dependensi) terhadap NAPZA. Istilah
NAPZA umumnya digunakan oleh sektor pelayanan kesehatan, yang menitik
beratkan pada upaya penanggulangan dari sudut kesehatan fisik, psikis, dan
sosial. NAPZA sering disebut juga sebagai zat psikoaktif, yaitu zat yang
bekerja pada otak, sehingga menimbulkan perubahan perilaku, perasaan, dan
pikiran.1
B. Penggolongan NAPZA2
Berdasarkan efeknya terhadap perilaku yang ditimbulkan NAPZA dapat
digolongkan menjadi tiga golongan :
1. Golongan Depresan (Downer)
Adalah jenis NAPZA yang

berfungsi

mengurangi

aktifitas

fungsional tubuh. Jenis ini menbuat pemakaiannya merasa tenang,


pendiam dan bahkan membuatnya tertidur dan tidak sadarkan diri.
Golongan ini termasuk Opioida (morfin, heroin/putauw, kodein),
Sedatif (penenang), hipnotik (otot tidur), dan tranquilizer (anti
cemas) dan lain-lain.
2. Golongan Stimulan(Upper)
Adalah jenis NAPZA yang dapat merangsang fungsi tubuh dan
meningkatkan kegairahan kerja. Jenis ini membuat pemakainya
menjadi aktif, segar dan bersemangat. Zat yang termasuk golongan ini
adalah : Amfetamin (shabu, esktasi), Kafein, Kokain
3. Golongan Halusinogen
Adalah jenis NAPZA yang dapat menimbulkan efek halusinasi yang
bersifat merubah perasaan dan pikiran dan seringkali menciptakan
daya pandang yang berbeda sehingga seluruh perasaan dapat

terganggu. Golongan ini tidak digunakan dalam terapi medis.


Golongan ini termasuk : Kanabis (ganja), LSD, Mescalin.
C. Penyalahgunaan dan Ketergantungan2
Penyalahgunaan dan Ketergantungan adalah istilah klinis/medikpsikiatrik yang menunjukan ciri pemekaian yang bersifat patologik yang perlu
di bedakan dengan tingkat pemakaianpsikologik-sosial, yang belum bersifat
patologik
1. PENYALAHGUNAAN NAPZA
adalah penggunaan salah satu atau beberapa jenisNAPZA secara berkala
atau teratur diluar indikasi medis,sehingga menimbulkan gangguan
kesehatan fisik, psikis dan gangguan fungsi sosial.
2. KETERGANTUNGAN NAPZA
adalah keadaan dimana telah terjadi ketergantungan fisik dan psikis,
sehingga tubuh memerlukan jumlah NAPZA yang makin bertambah
(toleransi), apabila pemakaiannya dikurangi atau diberhentikan akan
timbul gejala putus zat (withdrawal syamptom). Oleh karena itu ia selalu
berusaha memperoleh NAPZA yang dibutuhkannya dengan cara apapun,
agar dapat melakukan kegiatannya sehari-hari secara normal
D. Memahami Adiksi Sebagai Gangguan Otak2
Zat psikoaktif, khususnya NAPZA, memiliki sifat-sifat khusus terhadap
jaringan otak : bersifat menekan aktivitas fungsi otak ( depresan ),
merangsang aktivitas fungsi otak ( stimulansia ) dan mendatangkan halusinasi
( halusinogenik ). Karena otak merupakan sentra perilaku manusia, maka
interaksi antara NAPZA ( yang masuk ke dalam tubuh manusia ) dengan selsel saraf otak dapat menyebabkan terjadinya perubahan perilaku manusia.
Perubahan-perubahan perilaku tersebut tersebut tergantung sifat-sifat dan jenis
zat yang masuk ke dalam tubuh .
Masuknya NAPZA ke dalam tubuh memiliki berberapa cara : disedot
melalui hidung ( snorting, sneefing ) , dihisap melalui bibir ( inhalasi,
merokok ), disuntikan dengan jarum suntikan melalui pembuluh darah balik
atau vena, ditempelkan pada kulit ( terutama lrngan bagian dalam ) yang telah
diiris-iris kecil dengan cutter, ada juga yang melakukannya dengan
mengunyah dan kemudian ditelan. Sebagian NAPZA sesuai dengan cara
penggunaannya , langsung masuk ke pembuluh darah dan sebagian lagi yang
6

dicerna melalui traktus gastro-intestinal diserap oleh pembuluh pembuluh


darah di sekitar dinding usus. Karena sifat khususnya, NAPZA akan , menuju
reseptornya masing-masing yang terdapat pada otak.
Beberapa jenis NAPZA menyusup kedalam otak karena mereka memiliki
ukuran dan bentuk yang sama dengan natural meurotransmitter. Di dalam
otak, dengan jumlah atau dosis yang tepat, NAPZA tersebut dapat mengkunci
dari dalam ( lock into ) reseptor dan memulai membangkitkan suatu reaksi
berantai pengisian pesan listrik yang tidak alami yang menyebabkan neuron
melepaskan sejumlah besar neurotransmitter miliknya. Beberapa jenis
NAPZA lain mengunci melalui neuron denhgan bekerja mirip pompa
sehingga neuron melepaskan lebih banyak neurotransmitter. Ada jenis
NAPZA yang menghadang reabsorbsi atau reuptake sehingga menyebabkan
kebanjiran yang tidak alami dari neurotransmitter.
Bila seseorang menyuntik heroin ( opioid atau putauw ). Heroin segera
berkelana cepat di dalam otak. Konsentrasi opioid terdapat pada : VTA (
ventral tegmental area ), nucleus accumbens, caudate nucleus dan thalamus
yang merupakan sentra kenikmatan yang terdapat pada area otak yang sering
dikaitkan dengan sebutan reward pathway.
Opioid mengikat diri pada reseptor opioid yang berkonsentrasi pada
daerah reward system. Aktivitas opioid pada thalamus mengindikasikan
kontribusi zat tersebut dalam kemampuannya untuk memproduksi analgesik.
Neurotranmitter opioid memiliki ukuran dan bentuk yang sama dengan
endorfin, sehingga ia dapat menguasai reseptor opioid. Opioid mengaktivasi
sistem reward melalui peningkatan neurotransmisi dopamin. Penggunaan
opioid yang berkelanjutan membuat tubuh mengadalkan diri kepada adanya
drug untuk mempertahankan perasaan rewarding dan perilaku normal lain.
Orang tidak lagi mampu merasakan keuntungan reward alami ( seperti
makanan, air, sex ) dan tidak dapat lagi berfungsi normal tanpa kehadiran
opioid.
E. Penyebab Penyalahgunaan NAPZA2
1. Faktor Psikodinamik
Berdasarkan teori klasik, penyalahgunaan NAPZA seperti keinginan untuk
masturbasi, mekanisme pertahanan untuk keadaan cemas, atau manifestasi
7

dari regresi oral. Dalam teori psikososial, menyebutkan bahwa banyak


alasan untuk mencurigai factor lingkungan memainkan peran

dalam

penyalahgunaan NAPZA. Sehingga dalam banyak artikel disebutkan


bahwa pelaku penyalahgunaan substansi ini kebanyakan adalan anak-anak
atau remaja dengan perkembangan psikososial yang buruk.
2. Factor Genetic
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa anak kembar, anak adopsi, dan
saudara kandung yang terpisah ataupun dipisahkan menjadi penyebab
utama terjadinya penyalahgunaan NAPZA.
F. Komorbiditas2
Komorbid adalah keterlibatan dua atau lebih gangguan psikiatrik pada
seorang

pasien.

Pada

pasien

yang

mendapatkan

terapi

karena

ketergatungan substansi seperti opioid, alcohol, dan kokain, memiliki


prevalensi tinggi mendapatkan gangguan psikiatri tambahan. Hal ini
dibuktikan

pada

studi

epidemiologi

bahwa

orang-orang

dengan

ketergantungan terhadap NAPZA lebih mudah mengalami gangguan


psikiatri lain.
1. Gangguan kepribadian antisocial
Pada berbaga macam studi, menunjukkan bahwa 35 sampai 60 persen
pasien dengan ketergantungan NAPZA juga memiliki diagnosa gangguan
kepribadian antisocial.
2. Depresi dan Bunuh diri
Gejala depresi sangat banyak ditemukan pada pasien yang didiagnosa
sebagai penyalahgunaan NAPZA ataupun ketergantungan NAPZA.
Hampir 40 persen pengguna opioid dan alcohol memenuhi criteria
diagnosis gangguan depresi mayor dalam hidup mereka. Penggunaan
NAPZA juga salah satu penyebab terjadinya bunuh diri. Orang dengan
penyalahgunaan NAPZA, sekitar 20 persen lebih rentan melakukan bunuh
diri dibandingkan populasi pada umumnya.
G. Gejala Klinis3
1. Perubahan Fisik
Gejala fisik yang terjadi tergantung jenis zat yang digunakan, tapi secara
umum dapat digolongkan sebagai berikut :
- Pada saat menggunakan NAPZA : jalan sempoyongan, bicara pelo
(cadel), apatis (acuh tak acuh), mengantuk, agresif,curiga
8

- Bila kelebihan disis (overdosis) : nafas sesak,denyut jantung dan nadi


lambat, kulit teraba dingin, nafas lambat/berhenti, meninggal.
- Bila sedang ketagihan (putus zat/sakau) : mata dan hidung
berair,menguap terus menerus,diare,rasa sakit diseluruh tubuh,takut air
sehingga malas mandi,kejang, kesadaran menurun.
- Pengaruh jangka panjang, penampilan tidak sehat,tidak peduli
terhadap kesehatan dan kebersihan, gigi tidak terawat dan kropos,
terhadap bekas suntikan pada lengan atau bagian tubuh lain (pada
pengguna dengan jarum suntik)
2. Perubahan Sikap dan Perilaku
- Prestasi sekolah menurun,sering tidak mengerjakan tugas sekolah,sering
membolos,pemalas,kurang bertanggung jawab.
- Pola tidur berubah,begadang,sulit dibangunkan pagi hari,mengantuk
dikelas atau tempat kerja.
- Sering berpegian sampai larut malam,kadang tidak pulang tanpa
memberi tahu lebih dulu
- Sering mengurung diri, berlama-lama dikamar mandi, menghindar
bertemu dengan anggota keluarga lain dirumah.
- Sering mendapat telepon dan didatangi orang tidak dikenal oleh
keluarga,kemudian menghilang
- Sering berbohong dan minta banyak uang dengan berbagai alasan tapi
tak jelas penggunaannya, mengambil dan menjual barang berharga milik
sendiri atau milik keluarga, mencuri, terlibat tindak kekerasan atau
berurusan dengan polisi.
- Sering bersikap emosional, mudah tersinggung, marah, kasar sikap
bermusuhan, pencuriga,tertutup dan penuh rahasia.
H. Menetapkan Diagnosis4
Dalam nomenklatur kedokteran, ketergantungan NAPZA adalah suatu
jenis penyakit atau disease entity yang dalam ICD 10 ( international
classification of disease and health related problems tenth revision 1992 )
yang dikeluarkan oleh WHO digolongkan dalam Mental and behavioral
disorders due to psychoactive substance use .
9

Gambaran klinis utama dari fenomena ketergantiungan dikenal dengan istilah


sindrom ketergantungan ( PPDGJ-III , 1993 ). Sehingga diagnosis
ketergantungan NAPZA ditegakkan jika diketemukan tiga atau lebih dari
gejala-gejala di bawah selama masa setahun sebelumnya:
1. Adanya keinginan yang kuat atau dorongan yang memaksa ( kompulsi )
untuk menggunakan NAPZA
2. Kesulitan dalam mengendalikan perilaku menggunakan NAPZA sejak
awal, usaha penghentian atau tingkat penggunaannya
3. Keadaan putus NAPZA secara fisiologis ketika penghentian penggunaan
NAPZA atau pengurangan, terbukti orang tersebut menggunakan NAPZA
atau golongan NAPZA yang sejenis dengan tujuan untuk menghilangkan
atau menghindari terjadinya gejala putus obat.
4. Adanya bukti toleransi, berupa peningkatan dosis NAPZA yang
diperlukan guna memperoleh efek yang sama yang biasanya diperoleh
dengan dosis yang lebih rendah.
5. Secara progressif mengabaikan alternatif menikmati kesenangan karena
penggunaan NAPZA, meningkatnya jumlah waktu yang diperlukan untuk
mendapatkan atu menggunakan NAPZA atau pulih dari akibatnya
6. Meneruskan penggunaan NAPZA meskipun ia menyadari dan memahami
adanya akibat yang merugikan kesehatan akibat penggunaan NAPZA
seperti gangguan fungsi hati karena minum alkohol berlebihan, keadaan
depresi sebagai akibat penggunaan yang berat atau hendaya fungsi
kognitif. Segala upaya mesti dilakukan untuk memastikan bahwa
pengguna NAPZA sungguh sungguh menyadari akan hakikat dan
besarnya bahaya.
I. Terapi dan Upaya pemulihan
Karakteristik terapi adiksi yang efektif NIDA ( National Institute of Drug
Abuse, 1999 ) menunjuk 13 prinsip dasar terapi efektif berikut, untuk dijadikan
pegangan bagi para profesional dan masyarakat5,6:
1. Tidak ada satupun terapi yang serupa untuk semua individu
10

2. Kebutuhan mendapatkan terapi harus selalu siap tersedia setiap waktu.


Seorang adiksi umumnya tidak dapat memastikan kapan memutuskan
untuk masuk dalam program terapi. Pada kesempatan pertama ia
mengambil keputusan, harus secepatnya dilaksanakan ( agar ia tidak
berubah pendirian kembali )
3. Terapi yang efektif harus mampu memenuhi banyak kebutuhan ( needs )
individu tersebut, tidak semata mata hanya untuk kebutuhan memutus
menggunakan NAPZA
4. Rencana program terapi seorang individu harus dinilai secara kontinyu
dan kalau perlu dapat dimodifikasi guna memastikan apakan rencana
terapi telah sesuai dengan perubahan kebutuhan orang tersebut atau belum.
5. Mempertahankan pasien dalam satu periode program terapi yang adekuat
merupakan sesuatu yang penting guna menilai apakah terapi cukup efektif
atau tidak
6. Konseling dan terapi perilaku lain merupakan komponen kritis untuk
mendapatkan terapi yang efektif untuk pasien adiksi
7. Medikasi atau psikofarmaka merupakan elemen penting pada terapi
banyak pasien, terutama bila dikombinasikan dengan konseling dan terapi
perilaku lain
8. Seorang yang mengalami adiksi yang juga menderita gangguan mental,
harus mendapatkan terapi untuk keduanya secara integratif
9. Detoksifikasi medik hanya merupakan taraf permulaan terapi adiksi dan
detoksifikasi hanya sedikit bermakna untuk menghentikan terapi jangka
panjang
10. Terapi yang dilakukan secara sukarela tidak menjamin menghasilkan suatu
bentuk terapi yang efektif
11. Kemungkinan penggunaan zat psikoaktif selama terapi berlangsung harus
dimonitor secara kontinyu
12. Program terapi harus menyediakan assesment untuk HIV / AIDS ,
hepatitis B dan C, tuberkulosis dan penyakit infeksi lain dan juga
menyediakan

konseling

untuk

membantu

pasien

agar

mampu
11

memodifikasi atau mengubah tingkah lakunya, serta tidak menyebabkan


dirinya atau diri orang lain pada posisi yang beresiko mendapatkan infeksi
13. Recovery dari kondisi adiksi NAPZA merupakan suatu proses jangka
panjang dan sering mengalami episode terapi yang berulang ulang
Sasaran terapi7,8
Sasaran jangka panjang terapi pasien/ klien dengan adkisi NAPZA :
1. Abstinensia atau mengurangi penggunaan NAPZA bertahap sampai
abstinensia total. Hasil yang ideal untuk terapi adiksi NAPZA adalah
penghentian total penggunaan NAPZA. Perjanjian pada awal terapi sangat
penting dilakuakan, terutama dalam komitmen terapi jangka panjang.
Komitmen tersebut membantu menurunkan angka morbiditas dan
penggunaan NAPZA. Umumnya mayoritas pasien / klien perlu mendapat
motivasi yang cukup kuat untuk menerima abstinensia total sebagai sasaran
terapi.
2. Mengurangi frekuensi dan keparahan relaps. Pengurangan frekuensi
penggunaan NAPZA dan keparahannya merupakan sasaran kritis dari
terapi. Fokus utama dari pencegahan relaps adalah membantu pasien.klien
mengidentifikasi situasi yang menempatka dirinya kepada resiko relaps dan
menggembangkan respon alternatif asal bukan merupakan NAPZA. Pada
beberap pasien atau klien, situasi sosial atau interpersonal dapat merupakan
faktor beresiko terjadinya relaps. Pengurangan frekuensi dan keparaha
relaps sering menjasikan sasaran yang realistik daripada pencegahan yang
sempurna.
3. Perbaikan dalam fungsi psikologi dan penyesuaian fungsi sosial dalam
masyarakat. Gangguan penggunaan zat sering dikaitkan dengan problema
psikologi dan sosial, melepaskan diri dari hubungan antar teman dan
keluarga, kegagalan dalam performance di sekolah maupun dalam
pekerjaan, problema finensial dan hukum dan gangguan dalam fungsi
kesehatan umum. Mereka memerlukan terapi spesifik untuk memperbaiki
gangguan hubungannya dengan orang lain tersebut, mengembangkan
keterampilan sosial serta mempertahankan status dalam pekerjaannya
12

disamping mempertahankan dirinya semaksimal mungkin agar tetap dalam


kondisi bebas obat.
Tahapan terapi9,10,11
Proses terapi adiksi zat umumnya dapat dibagi atas beberapa fase berikut:
1. Fase penilaian ( assesment phase ), sering disebut dengan fase penilaian
awal ( initial intake ). Informasi dapat diperoleh dari pasien dan juga dapat
diperoleh dari anggota keluarga, karyawan sekantor, atau orang yang
menanggung biaya. Termasuk yang perlu dinilai adalah :
a. Penilaian yang sistematik terhadap level intiksokasi, keparaha gejala
gejala putus obat, dosis zat terbesar yang digunakan terakhir, lama waktu
setelah penggunaan zat terakhir, awitan gejala, frekuensi dan lamanya
penggunaan, efek subjektif dari semua jenis zat yang digunakan.
b. Riwayat medis dan psikiatri umum yang komprehensif, termasuk status
pemeriksaan fisik dan mental lengkap, untuk memastikan ada tidaknya
gangguan komorbiditas psikiatris dan medis seperti tanda dan gejala
intoksikasi atau withdrawal. Pada beberapa kasus diindikasikan juga
pemeriksaan psikologik dan neuro psikologi
c. Riwayat

terapi

gangguan

penggunaan

zat

sebelumnya,

termasuk

karakteristik berikut : setting terapi, kontekstual ( volintary, non voluntary


), modalitas terapi yang digunakan, kepatuhan terhadap program terapi,
lamanya ( singkat 3 bulanan, sedang 1 tahun dan hasil dengan program
jangka panjang, berikut dengan jenis zat yang digunakan, level fungsi
sosial dan okupasional yang telah dicapai dan variabel hasi terapi lainnya
d. Riwayat penggunaan zat sebelumnya, riwayat keluarga dan riwayat sosio
ekonomik lengkap, termasuk informasi tentang kemungkinan adanya
gangguan penggunaan zat dan gangguan psikiatri pada keluarga, faktor
faktor dalam keluarga yang mengkontribusi berkembang atau penggunaan
zat terus menerus, penyesuaian sekolah dan vokasional, hubunggan dengan
kelompok sebaya, problema finansial dan hukum, pengaruh lingkungan
kehidupan sekarang terhadap kemampuannya untuk mematuhi terapi agar
tetap abstinensia di komunitasnya, karakteristik lingkungan pasien ketika
13

menggunakan zat ( dimana, dengan siapa, berapa kali/ banyak, bagaimana


cara penggunaan. ).
e. Skrining urin dan darah kualitatif dan kuantitatif untuk jenis jenis
NAPZA yang disalahgunakan, pemerisaan pemeriksaan laboratorium
lainnya terhadap kelainan kelainan yang dikaitkan dengan penggunaan
zat akut atau menahun.
f. Skrining penyakit penyakit infeksi dan penyakit lain yang sering
diketemukan

pada pasien / klien ketergantungan zat ( seperti HIV,

tuberkulosis, hepatitis ).
2. Fase terapi detoksifikasi, sering disebut dengan fase terapi withdrawal atau
fase terapi intoksikasi. Fase ini memiliki beragam variasi :
a. Rawat inap dan rawat jalan
b. Intensive out patient treatment
c. Terapi simptomatik
d. Rapid dotoxification, ultra rapid detoxification
e. Detoksifikasi dengan menggunakan : kodein dan ibuprofen, klonidin dan
naltrexon, buprenorfin, metadon
3. Fase terapi lanjutan. Tergantung pada keadaan klinis, strategi terapi harus
ditekankan kepada kebutuhan individu agar tetap bebas obat atau
menggunakan program terapi subtitusi ( seperti antagonis naltrexon,
agonis metadon, atau partial agonisbrupenorfin. Umumnya terapi yang
baik berjalan antara 24 sampai 36 bulan. Terapi yang lamanya kurang dari
jangka waktu tersebut,umumnya memiliki relaps rate yang tinggi.

14

BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan data penelitian pengguna NAPZA di dunia, dilaporkan hampir 40%


penduduk di dunia pernah menggunakan NAPZA dalam hidup mereka. Beberapa
substansi tersebut menyebabkan kelainan status mental secara internal, seperti
menyebabkan perubahan mood, secara eksternal menyebabkan perubahan perilaku.
Substansi tersebut juga dapat menimbulkan problem neuropsikiatrik yang masih belum
ditemukan penyebabnya, seperti skizofrenia dan gangguan mood, sehingga kelainan
primer psikiatrik dan kelainan yang disebabkan oleh NAPZA menjadi sangat
berhubungan.
NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lain) adalah bahan/zat/obat yang
bila masuk kedalam tubuh manusia akan mempengaruhi tubuh terutama otak/susunan
saraf pusat, sehingga menyebabkan gangguan kesehatan fisik, psikis, dan fungsi
sosialnya karena terjadi kebiasaan, ketagihan (adiksi) serta ketergantungan (dependensi)
terhadap NAPZA
Penyebab penyalahgunaan napza karena factor genetic dan juga psikodinamik.
Penyalahhunaan NAPZA sendiri memiliki Komorbid dengan gangguan kepribadian
antisocial dan juga prilaku bunuh diri. Gejala-gejala klinis gangguan penyalahgunaan
NAPZA adalah:
1. Adanya keinginan yang kuat atau dorongan yang memaksa ( kompulsi )
untuk menggunakan NAPZA
2. Kesulitan dalam mengendalikan perilaku menggunakan NAPZA sejak
awal
3. Keadaan putus NAPZA secara fisiologis ketika penghentian penggunaan
NAPZA atau pengurangan
4. Adanya bukti toleransi
5. Secara progressif mengabaikan alternatif menikmati kesenangan karena
penggunaan NAPZA.
6. Meneruskan penggunaan NAPZA meskipun ia menyadari dan memahami
adanya akibat yang merugikan kesehatan akibat penggunaan NAPZA.
15

Terapi pada gangguan akibat penyalahgunaan NAPZA itu sendiri dibagi menjadi 3 fase:
1. Fase penilaian
2. Fase terapi detoksifikasi
3. Fase terapi lanjutan

16

You might also like