You are on page 1of 9

2.

6 Keanekaragaman Hermeneutika
Hermeneutika bukan sebuah pandangan filsafat ilmu pengetahuan yang seragam.
Ada banyak perbedaan dalam hal asas, tujuan maupun pendekatan atau metode.
Juga terdapat perbedaan pandangan yang cukup tajam antara para peletak dasar
(founding fathers), seperti misalnya W. Dilthey, dan penerusnya pada zaman
sekarang, seperti antara lain, Gadamer (1900), P. Ricoeur (1913-), K.-O. Apel
(1922-) dan J. Habermas (1929-). Dalam hal ini diterangkan asas-asas yang
mendasari aliran hermeneutika yang berlaku pada masa kini, khususnya
pendekatan interpretatif dalam ilmu sosial di Amerika Serikat, dengan cara
mempertetangkannya dengan pandangan Dilthey. Sebab tokoh ilmu filsafat ini
meletakkan dasar pandangan filsafat ilmu pengetahuan kebanyakan karya ilmu
sosial masa kini yang berorientasi pada hermeneutika.
3. Pandangan Filsafat Ilmu Dilthey
3.1 Asumsi Dasar
Prinsip yang mendasari gejala yang dipelajari oleh ilmu kemanusiaan sebagai
objek studi khasnya, menurut Dilthey, adalah verstehen, yakni kemampuan
manusia saling memahami berdasarkan pengalaman sendiri. Sehubungan dengan
prinsip ini dibuat lima asumsi dasar :
a. Memahami adalah sesuatu yang biasa dalam kehidupan manusia seharihari.
b. Tindakan (actions), dan juga gerak-gerik tubuh (gesticulation) serta tutur
kata atau suara hanya merupakan isyarat (sign).
c. Manusia memiliki kemampuan menembus lapisan luar itu sampai pada
dorongan sesama manusia tersebut dan dapat memahaminya karena pihak
yang bertindak dan pihak yang hendak memahaminya, dua-duanya berada
dalam lingkup pengalaman (Erlebnisraum/bahasa Jerman) bersama.
d. Daya pemahaman manusia tidak terbatas pada tindakan perseorangan
(individual actions) yang terbatas pada tempat dan waktu tertentu, tetapi
juga menjangkau gejala yang lebih menyeluruh seperti misalnya
sandiwara, acara tv, lagu, maupun tatanan ekonomi dan dan zaman
peradaban.

e. Dua orang yang asing satu sama lain, karena hidup dalam konteks sejarah
yang berbeda, dapat saling memahami karena dua-duanya adalah bagian
dari suatu pemahaman kolektif yang memuat semua fakta maknawi
yang ada.
3.2 Proses Pengembangan Pengetahuan
Usaha mengembangkan pengetahuan ilmiah, menurut Dilthey, dimulai dari
pemahaman (verstehen) terhadap isyarat yang tersedia dan terbuka untuk
diamati melalui pancaindera dengan maksud mengenal bagian dalamnya.
Isyarat itu diasumsikan merupakan ekspresi atau ungkapan dorongandorongan dari dalam. Dorongan ini dianggap bagian pemahaman kolektif
yang bersifat umum dan menyeluruh. Pemahaman kolektif adalah kenyataan
tersendiri yang mempunya perkembangan (sejarah) sendiri pula dan
terungkapkan dalam segala macam bentuk kehidupan manusia. Namun
demikian, hanya bentuk kehidupan manusia yang sudah bertahan sejak lama
sekali sangat berguna untuk tujuan penelitian ilmiah. Dalam pandangan
Dilthey, memahami (verstehen) isyarat yang terbuka untuk diamati tidak
cukup untuk menghasilkan pengetahuan ilmiah. Pemahaman tentang isyarat
itu perlu dikembangkan menjadi interpretasi sempurna tentang kenyataan
yang tersembunyi di dalamnya.
3.3 Kebenaran dan Keobjektifan
Pandangan Wilhem Dilthey tentang hakikat objek studi ilmu kemanusiaan dan
tujuan penelitian ilmiah mempunya implikasi lanjut terhadap pengertian
konsep kebenaran dan objektifitas. Kebenaran menurut Dilthey berarti
terdapat kesamaan dengan pemahaman kolektif manusia yang umum dan
menyeluruh. Kebenaran ini pada hakikatnya bersifat normatif. Sebab,
pemahaman kolektif adalah mengenai bentuk yang semestinya manusia
mengungkapkan diri. Selain itu menurut Dilthey, kebenaran paling murni
terungkapkan dalam karya-karya sastrawan, penemu, pemikir agama dan filsuf
termasyur.

Pengetahuan yang dikembangkan dengan metode verstehen dianggap bersifat


objektif jika memenuhi tiga syarat berikut :
a. Didorong oleh perhatian (interest) yang benar-benar murni.
b. Objek studi, yaitu ungkapan dalam kehidupan manusia telah bakuatau
tetap selama masa yang panjang sehingga wujudnya benar-benar sesuai
dengan wujud aslinya.
c. Dihasilkan sesuai dengan aturan mengadakan interpretasi sudah baku
untuk menciptakan kembali objek studi dalam diri ilmuwan sendiri
berdasarkan perasaan empati terhadap perasaan manusia.
Apa yang dikemukakan oleh W. Dilthey mirip dengan yang dimaksudnykan E.
Durkheim dengan konsep kesadaran kolektif. Dalam pandangan Dilthey
kesadaran kolektif terdiri dari bentuk-bentuk dasar yang menentukan
susunan setiap gejala maknawi. Bentuk fromal ini memungkinkan gejala
maknawi dipahami.
Aturan interpretasi ini menunjukkan jalan menuju fakta-fakta maknawi yang
tersembunyi dalam bentuk-bentuk kehidupan manusia yang bersifat permanen.
Aturan ini berkembang dalam tradisi yang lama sekali dan merupakan hasil
proses seleksi secara evolusionermelalui kokmpetensi sehingga, akhirnya,
hanya aturan terbaik yang memberikan hasil paling objektif untuk
dipertahankan.
3.4 Prinsip Metode Hermeneutika
Dalam pandangan Dilthey, metode hermeneutika berjalan menurut dua
prinsip. Pertama, prinsip ketidakterpisahan antara usaha mengenal sesuatu
dan memberikan penilaian (valuation) terhadapnya. Dua sisi upaya
mengembangkan pemahaman ini selalu berhubungan satu sama lain oleh
karena kenyataan yang dipelajari ilmu kemanusiaan pada hakekatnya bersifat
normatif, yaitu mengenai keadaan sebagaimana mestinya. Kedua, prinsip
keharusan

mengaitkan

degan

konteks

luas

untuk

mengembangkan

pemahaman. Untuk memahami gejala maknawi, misalnya satu jenis tindakan


yang terjadi pada waktu dan tempat tertentu, perlu diketahui konteks luas
dimana tindakan itu terjadi.

3.5 Masalah Metodologis Dilthey


Dalam pandangan Dilthey pengetahuan objektif adalah pengetahuan yang
mencerminkan objek itu secara sempurna. Kedua, objektif berarti
dianggap oleh umum merupakan pengetahuan penting. Seperti telah
diterangkan, Dilthey mengira dapat memecahkan masalah ini dengan
mengasumsikan tidak saja bahwa ada suatu pemahaman kolektif yang
memuat semua fakta maknawi dan merupakan milik bersama semua orang,
tetapi juga bahwa fakta maknawi berbeda-beda tingkat keobjektifannya.
Hanya gejala kehidupan yang sudah baku dan bertahan sejak lama sekali
memiliki tingkat objektivitas tinggi dan berguna untuk dipelajari. Adalah Max
Weber yang berjasa menunjukan ketidaktepatan asumsi Dilthey yang tersebut
diatas. Weber memperlihatkan bahwa objek studi ilmu kemanusiaan tidak
bersifat normatif, tetapi deskriptif dan dapat dipelajari dengan metode yang
juga bebas nilai (value free) seperti metode penelitian ilmu alam. Dengan
demikian ia membuka jalan untuk perkembangan baru ilmu sosial.
4. Sumbangan Max Weber
Weber (1864-1920) mengembangkan pandangan sendiri tentang metode
mengembangkan pengetahuan ilmiah melalui verstehen. Meskipun Weber
sependapat dengan Dilthey tentang perlunya ilmu sosial mempelajari
pemaknaan

subjektif

(Sinnzusammenhange/

bahasa

Jerman)

yang

mengendalikan kelakuan individu, ia berbeda pendapat dengannya tentang


metode yang harus dipakai untuk itu. Menurut Weber pengalaman subjektif
yang dimiliki ilmuwan sosial tidak boleh berperan dalam upaya itu. Sebab,
menurut Weber tidak mungkin seorang ilmuwan sosial dapat menarik
kesimpulan yang benar dan berlaku tentang kehidupan sosial orang yang
hidup dalam zaman sejarah terdahulu atau dalam lingkungan kebudayaan lain
berdasarkan pada pengalaman dibesarkan dalam lingkungan sosial-budaya
sendiri pada masa sekarang. Kalau seorang ilmuwan sosial mengadakan
penelitian didasarkan atas pengalaman pribadi maka penggambaran yang
dihasilkan atas dunia pemaknaan orang yang diteliti kemungkinan besar
menyimpang jauh daripada yang sebenarnya. Untuk menjaga terjadinya

kesalahan itu maka Weber mengubah tiga asumsi dasar teori ilmu pengetahuan
Dilthey.
Asumsi pertama tentang sifat hubungan antara pengetahuan dan kenyataan.
Menurut Dilthey pengetahuan merupakan refleksi keteraturan yang dimiliki
kenyataan, atau antara kenyataan dan pengetahuan terdapat kesesuaian
(correspondence). Weber sebaliknya, berpendapat bahwa kenyataan tidak
memperlihatkan strukturnya, tetapi merupakan arus pengalaman yang tidak
teratur dan kelihatan kacau balau. Sejauh mana manusia menyangkka
menemukan keteraturan, keteraturan ini merupakanj hasil upaya pikiran
sendiri. Ini berarti, mengetahui sesuatu, menurut Weber, adalah mengatur
kenyataan melalui daya berpikir sendiri.
Asumsi kedua yang diubah Weber adalah mengenai apa yang sebenarnya
merupakan hasil penelitian. Menurut Dilthey tujuan ilmu kemanusiaan adalah
mengungkapkan fakta-fakta maknawi yang tersembunyi dalam bentukbentuk nyata kehidupan sosial. Fakta maknawi ibarat objek yang berdiri
sendiri terlepas dari kesadaran ilmuwan sosial sekalipun mengungkapkan diri
dalam pikirannya. Menurut Weber, sebaliknya, fakta maknawi bukan objek
yang berdiri sendiri. Dalam upaya mempelajari kelakuan manusia ilmuwan
sosial tidak tepat berpedoman pada perasaan empati, tetapi pada prinsip
tertentu dalam pikiran sendiri seperti konsep dan teori. Prindip yang terpenting
untuk penelitian ilmu sosial menurut Weber, adalah tipe ideal (ideal type),
yaitu satu konstruksi model abstrak dan teoritis oleh ilmuwan sosial sendiri
tentang isi dunia pemaknaan orang yang ingin diteliti beserta tindakantindakan yang dapat disimpulkan darinya. Dalam bentuk lengkap tipe ideal
merupakan keseluruhan konsisten dan tersusun logis dan dapat dipakai
sebagai pedoman atau tolak ukur untuk menentukan sejauh mana situasi
dan kejadian kongkret bertindih tepat atau menyimpang darinya. Pemakaian
tipe ideal merupakan perberdaan pendapat mendasar antara Weber dan Dilthey
dalam hal verstehen. Dalam pandangan Dilthey rasa empati merupakan unsur
pokok verstehen. Pemahaman kelakuan orang lain perlu dikembangkan
dengan upaya berusaha merasakannya kembali dalam perasaan hati sendiri.

Weber sebaliknya, berpendapat bahwa verstehen terdiri daru upaya


menempatkan diri melalui pikiran, yakni dengan bantuan konsep atau teori,
dalam situasi dan kondisi individu yang dipelajari.
Asumsi ketiga yang diubah oleh Weber adalah mengenai jenis metodologi
yang dianggap khusus berlaku untuk ilmu sosial. Weber tidak saja menolak
pandangan positivisme bahwa kelakuan manusia ditenteukan oleh masyarakat
yang melebihi individu dan memaksakan kepadanya, seperti terdapat dalam
teori sosial Durkheim, tetapi juga pandangan idealisme bahwa kelakuan
manusia dikendalikan secara tersembunyi dan tak diketahui oleh gagasan
(ideas) tertentu, seperti dipertahankan dalam teori Dilthey. Weber sebaliknya,
berpendapat bahwa kehidupan sosial sehari-hari maupun penelitian ilmu sosial
yang mempelajarinya selalu mengenai kelakuan dan pemaknaan subjektif
individu sendiri. Tiga asas tersebut merupakan inti pandangan hermeneutika
yang mendasari pendekatan interpretatif masa kini.
5. Pendekatan Interpretatif Masa Sekarang
Aliran interpretatif atau aliran hermeneutika terkenal pada masa kini adalah
interaksionisme son=bolis, kontruktivisme sosial, etnometodologi, dan
fenomenologi. Ciri utamanya adalah peranan kunci yang diberikan pada
gagasan (ideas) dalam pikiran orang dan ekspresi simbolisnya dalam
kehidupan sosial sehari-hari. Pokok penelitian adalah individu sejauh mana
mampu mengendalikan kelakuannya, mempunyai kemauan tertentu atay
bertindak secara spontan. Kelakuan manusia dianggap tidak dapat
menjelaskan dengan mengaitkannya kepada kekuatan luar yang seakan-akan
memaksakan keberadaannya, melainkan dengan cara menghubungkannya
pada sasaran (end) spesifik indivisu bersangkutanyang ingin mencapainya.
Ini berarti, penjelasan terdiri dari pemberian alasan atau motif untuk
kelakuan.
5.1 Objek Studi
Dalam pandangan pendekatan interpretatif kehidupan sosial manusia mirip
sebuah teks atau karya seni, yakni keseluruhan susunan makna yang perlu

diinterpretasikan sebelum dapat dimengerti. Dicontohkan dalam transaksi jualbeli, antara pejual dan pembeli dua-duanya sudah ada gagasan dalam
pikirannya sendiri tentang cara membawakan diri terhadap pihak lain dan juga
tentang jenis kelakuan yang diharapkan dari dirinya sendiri sehingga
tujuannya berhasil dicapai. Tetapi gagasan dalam pikiran itu bukan penyebab
kelakuan masing-masing pihak. Gagasan itu oleh dua belah pihak dipakai
untuk berusaha membawakan diri dengan cara yang menandakan kepada
pihak lain apa yang menjadi maksudnya dan apa yang diharapkan dari
pihak lain.
5.2 Jenis Penjelasan
Kelakuan perlu diinterpretasikan sebelum dapat dinyatakan jenis kelakuan
yang terjadi. Penting ditambahkan disini bahwa makna dan kelakuan tidak
berhubungan dengan sebab dan akibat. Sebab yang satu tidak dapat
diketahui terlepas dari yang lain. Tidak mungkin menentukan terjadi suatu
kelakuan (action) terlepas dari pemastian tujuannya. Sebab, tujuan itu
menerangkan mengenai apa kelakuan itu. Sebaliknya, tujuan orang
bersangkutan tidak bisa diketahui tanpa memastikan apakah orang itu
membawakan diri dengan cara tertentu. Inilah sebabnya dalam pandangan
pendekatan interpretatif antara tujuan dan kelakuan seseorang terdapat
hubungan logis. Kelakuan seseorang dianggap bisa dijelaskan dengan
menunjukan tujuannya, mengingat syarat-syarat yang berlaku dalam situasi
dan kondisi bersangkutan.
Menjelaskan kelakuan orang adalah mengerti jalan pikiran yang dipakai
olehnya dengan upaya mengerti konteks ketika orang itu berusaha bertindak.
5.3 Hakikat Kenyataan Sosial
Dalam sebuah transaksi jual-beli menunjukan bahwa kenyataan sosial dalam
pandangan pendekatan interpretatif yang berlaku pada masa sekapdang pada
hakikatnya bersifat kognitif, yakni terdiri dari gagasan, pikiran, dan unsurunsur lain yang termuat dalam kesadaran. Individu mempunyai gagasan dalam
pikiran dengannya yang menggolongkan dan membagi kejadian dan situasi.

Dengan cara demikian mereka memperi makna (meaning), rasionalitas


(rationality), keterhubungan (coherence), dan keteraturan (order) pada situasi
dimana berada. Pengalaman (experience) bukan pengaruh luar terhadap
diri sendiri yang diamati melalui pancaindera, tetapi pada hakikatnya terdiri
dari upaya individu memberikan makna kepada situasi dan kejadian kongkret
berdasarkan gagasan dalam pikiran. Ini berarti, individu tidak pernah
berhadapan langsungdengan kenyataan, tetapi selalu berhubungan dengannya
secara hukum alam secara tidak langsung melalui dunia kognitif sendiri.
Dunia kognitif ini tidak tunduk kepada hukum-hukum alam dan tidak dapat
dipelajari melalui elsperimen. Justru sebaliknya, kenyataan sosial ibarat
sebuah teks yang perlu dibaca dan diinterpretasikan. Sesuai dengan asumsi
dasar ini individu bukan sebuah objek tetapi seseorang yang mampu
mengadakan interpretasi.
5.4 Metode Penelitian
Berbeda dengan Max Weber, dalam pendekatan interpretatif masa kini
ilmuwan sosial memusatkan perhatian sepenuhnya kepada segi pandang
individu yang melakukan tindakan sosial (the actors perspective). Individu
dianggap tidak bertindak sosial karena ciri objektif situasi yang dihadapinya,
tetapi karena interpretasi pribadi terhadapnya, yakni makna yang diberikan
padanya. Ini berarti, apabila ilmuwan sosial ingin memahami kelakuan
individu, maka apa yang perlu diteliti adalah makna-makna yang
diberikannya, interpretasinya terhadap individu bersangkutan dan implikasi
untuk kelakuannya. Dengan ini, metode pengumpulan data terbaik adalah
wawancara mendalam (depth interview) dan observasi berpartisipasi
(participant observation). Tipe-tipe ideal seperti dikembangkan Weber
dinilai tidak berguna disini. Sebab kalau ingin mengetahui interpretasi
seseorang terhadap situasi yang dihadapinya, perlu dimulai dengan langsung
mengamati situasi itu dan mengembangkan teori dimulai dari pengamatan itu
(grounded theory approach).
6. Kritik Terhadap Pendekatan Interpretatif

Pada masa sekarang kebanyakan filsuf ilmu pengetahuan dan ilmuwan tidak
lagi membedakan secara tajam anatara ilmu alam dan ilmu kemanusiaan di
pihak lain seperti terjadi pada abad ke-XIX. Sebab sudah menjadi pengertian
bersama bahwa ilmu alam juga mengandung unsur hermeneutika. Namun
demikian, kebanyakan filsuf dan ilmuwan masih cenderung mempertahankan
pendapat hawa penelitian ilmu kemanusiaan, ilmu sosial dan ilmus ejarah
mempunya sifat khas. Sebab, objek studi jenis ilmu pengetahuan ini adalah
hasil jenis subjek yang mampu bertindak dan mengembangkan
pemahaman. Inilah sebabnya pengetahuan ilmiah tentang kehidupan sosial
manusia dan sejarah dianggap tidak bisa dibedakan secara tegas dari subjeksubjek yang menghasilkannya. Implikasinya adalah bahwa objek studi ilmu
sosial tetap dianggap berupa fakta-fakta objektif yang berdiri sendiri. Selain
itu, pengembangan pengetahuan inilah menyebabkan pendekatan interpretatif
tidak berlaku.

You might also like