You are on page 1of 19

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah negara hukum sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 Ayat
(3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDNRI
1945). Oleh karena itu sudah sepatutnya hukum menjadi yang pertama dalam
negeri ini, sehingga semua orang harus patuh dan tunduk pada hukum tanpa
terkecuali. Segala sektor dalam kehidupan bermasyarakat perlu terdapat perangkat
hukum yang mengatur. Salah satu sektor tersebut adalah pengaturan hukum di
bidang kesehatan. Karena kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu
unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Pembukaan UUDNRI
1945.
Kesehatan bagi warga negara dapat terjamin jika pemerintah membuat
kebijakan dan upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya, serta dilaksanakan berdasarkan prinsip nondiskriminatif,
partisipatif, perlindungan, dan berkelanjutan, sebagaimana tertuang dalam
pertimbangan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU
Kesehatan). Prinsip perlindungan adalah hal terpenting dalam rangka pelayanan
kesehatan karena upaya penyembuhan penyakit atau pemulihan kesehatan yang
dilakukan oleh tenaga kesehatan merupakan upaya yang berpotensi dapat
menimbulkan bahaya bagi pasien, apalagi jika dilakukan oleh tenaga kesehatan
khususnya dokter yang tidak kompeten di bidangnya. Dokter merupakan salah
satu pemberi pelayan kesehatan kepada masyarakat yang memiliki peranan

penting karena terkait langsung dengan pemberian pelayanan kesehatan dan mutu
pelayanan yang diberikan.
Perlindungan bagi masyarakat terhadap praktik kedokteran yang tidak
bermutu, terkesan praktik coba-coba atau yang dapat membahayakan telah diatur
dalam Pasal 77 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (UU Praktik Kedokteran) yang berbunyi :
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan identitas berupa gelar
atau bentuk lain yang menimbulkan kesan bagi masyarakat seolaholah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah
memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter
gigi dan/atau surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73
ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
atau denda paling banyak Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta
rupiah).
Pada hakikatnya dokter memiliki kewajiban memberikan pelayan kesehatan
yang terbaik bagi pasien yang membutuhkan pelayanan untuk kesembuhan
penyakitnya. Dokter yang memiliki kemampuan atau keterampilan di bidang
pelayanan medik dan pasien yang kurang paham atas penyakit yang dideritanya
mempercayakan dirinya untuk diobati atau dilakukan tindakan medik oleh dokter.
Dewasa ini sering terjadi kealpaan atau kelalaian yang dilakukan oleh dokter
yang merupakan bentuk kesalahan dan bukan merupakan kesengajaan dan juga
bukan merupakan sesuatu yang terjadi karena kebetulan. Dalam hal kealpaan tidak
ada niat jahat dari pelaku. Kealpaan atau kelalaian dan kesalahan dalam melaksanakan tindakan medik berakibat menimbulkan rasa ketidakpuasan bagi pasien
dan keluarga pasien terhadap dokter yang menangani upaya tindakan medik sesuai
profesinya. Bagi pasien dan keluarga pasien hal tersebut merupakan suatu
kerugian.

Pengaturan mengenai sanksi pidana bagi dokter yang telah alpa atau lalai
dalam melakukan tindakan medik sesuai profesinya yaitu diatur dalam UndangUndang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan (UU Tenaga
Kesehatan) Pasal 84 yang berbunyi
(1) Setiap Tenaga Kesehatan yang melakukan kelalaian berat yang
mengakibatkan Penerima Pelayanan Kesehatan luka berat
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun.
(2) Jika kelalaian berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan kematian, setiap Tenaga Kesehatan dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.
Yang dimaksud tenaga kesehatan dalam undang-undang tersebut adalah
setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki
pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan.
Tenaga kesehatan salah satunya terdiri dari tenaga medik yang meliputi dokter
dan dokter gigi. Dokter adalah orang yang mengabdikan diri dalam bidang
kesehatan dan memiliki pengetahuan/ keterampilan tertentu. Sehingga dokter atas
profesinya memiliki tanggung jawab dalam menyembuhkan pasien secara
professional. Di samping itu juga diatur mengenai pelaporan dokter ke organisasi
profesinya apabila terdapat indikasi tindakan dokter yang membawa kerugian dan
bukan sebagai dasar untuk menuntut ganti rugi atas tindakan dokter yaitu Pasal 66
ayat (1) UU Praktik Kedokteran yang berisi norma dari sudut hukum administrasi
praktik kedokteran, selengkapnya berbunyi :
setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas
tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik
kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada ketua Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia
Hukum kedokteran di Indonesia sampai saat ini belum dapat dirumuskan
secara mandiri sehingga batasan-batasan mengenai malpraktik belum bisa

dirumuskan, sehingga isi pengertian dan batasan-batasan malpraktik kedokteran


belum seragam bergantung pada sisi mana orang memandangnya. 1 Dewasa ini
terdapat beberapa peraturan perundang-undangan di bidang kesehatan yaitu UU
Kesehatan, UU Praktik Kedokteran, UU Tenaga Kesehatan dan beberapa
Peraturan Pemerintah.
Berdasarkan beberapa peraturan perundang-undangan tersebut akan dikaji
lebih mendalam dengan dikaitkan dengan kasus yang terjadi di wilayah hukum
Pengadilan Negeri Manado yang telah memperoleh Putusan Pengadilan Nomor:
90/Pid.B/2011/PN.Mdo. Kasus berupa kelalaian yang telah dilakukan oleh dokter
terhadap pasiennya dengan kronologi kasus sebagai berikut :
dr. DA (Terdakwa I), dr. HS (Terdakwa II) dan dr. HSN (Terdakwa III)
sebagai dokter pada Rumah Sakit Prof. Dr. R. D. Kandou Manado melakukan
operasi Cito Secsio Sesaria terhadap korban SM. Saat operasi dilakukan, dr. HS
(Terdakwa II) sebagai asisten operator I (satu) dan dr. HSN (Terdakwa III)
sebagai asisten operator II (dua) membantu untuk memperjelas lapangan operasi
yang dilakukan oleh dr. DA (Terdakwa I) sebagai pelaksana operasi/ operator
yang memotong, menggunting dan menjahit agar lapangan operasi bisa terlihat
agar mempermudah operator yaitu dr. DA (Terdakwa I) dalam melakukan operasi.
Pada saat sebelum operasi Cito Secsio Sesaria terhadap korban dilakukan,
para terdakwa tidak pernah menyampaikan kepada pihak keluarga korban tentang
kemungkinan-kemungkinan terburuk termasuk kematian yang dapat terjadi
terhadap diri korban jika operasi Cito Secsio Sesaria tersebut dilakukan terhadap
1

Crisdiono M. Achadiat, Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran dalam tantangan Zaman,
Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta ,2004. Hal 21.

diri korban. Para terdakwa sebagai dokter yang melaksanakan operasi Cito Secsio
Sesaria terhadap diri korban tidak melakukan pemeriksaan penunjang seperti
pemeriksaan jantung, foto rontgen dada dan pemeriksaan penunjang lainnya
sedangkan tekanan darah pada saat sebelum korban dianestesi, sedikit tinggi yaitu
menunjukkan angka 160/70 (seratus enam puluh per tujuh puluh).
Pada waktu kurang lebih pukul 20.10 WITA, hal tersebut telah disampaikan
oleh saksi dr. Hermanus J. Lalenoh, Sp. An. pada bagian Anestesi melalui
jawaban konsul kepada bagian kebidanan bahwa pada prinsipnya disetujui untuk
dilaksanakan pembedahan dengan anestesi resiko tinggi. Oleh karena itu mohon
dijelaskan kepada keluarga segala kemungkinan yang bisa terjadi, tetapi
pemeriksaan jantung terhadap korban dilaksanakan setelah pelaksanaan operasi
selesai dilakukan pemeriksaan jantung tersebut dilakukan setelah dr. DA
(Terdakwa I) melaporkan kepada saksi Najoan Nan Waraouw sebagai Konsultan
Jaga Bagian Kebidanan dan Penyakit Kandungan bahwa nadi korban 180 (seratus
delapan puluh) x permenit dan saat itu saksi Najoan Nan Waraouw menanyakan
kepada dr. DA (Terdakwa I) apakah telah dilakukan pemeriksaan jantung/ EKG
(Elektri Kardio Graf atau Rekam Jantung) terhadap diri korban. Selanjutnya
jawaban dr. DA (Terdakwa I) tentang hasil pemeriksaan adalah Ventrikel Tachy
Kardi (denyut jantung sangat cepat), akan tetapi saksi Najoan Nan Waraouw
mengatakan bahwa denyut nadi 180 (seratus delapan puluh) x permenit bukan
Ventrikel Tachy Kardi (denyut jantung sangat cepat) tetapi Fibrilasi (kelainan
irama jantung).

Berdasarkan hasil rekam medis No. 041969 (nol empat satu sembilan enam
sembilan) yang telah dibaca oleh saksi ahli dr. Erwin Gidion Kristanto, SH. Sp. F.
bahwa pada saat korban masuk RSU Prof. R. D. Kandou Manado, keadaan umum
korban adalah lemah dan status penyakit korban adalah berat.
dr. DA (Terdakwa I), dr. HS (Terdakwa II) dan dr. HSN (Terdakwa III)
sebagai dokter telah lalai dalam melaksanakan operasi Cito Secsio Sesaria
terhadap korban SM, sehingga terhadap diri korban terjadi emboli udara yang
masuk ke dalam bilik kanan jantung yang menghambat darah masuk ke paru-paru
sehingga terjadi kegagalan fungsi paru dan selanjutnya mengakibatkan kegagalan
fungsi jantung. Korban SM meninggal dunia berdasarkan Surat Keterangan dari
Rumah Sakit Umum Prof. Dr. R. D. Kandou Manado No. 61 / VER / IKF / FK / K
/ VI / 2010.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) menggunakan dakwaan kombinasi yang terdiri
dari beberapa pasal yaitu Kesatu, Primair Pasal 359 KUHP Jis. Pasal 361 KUHP,
Pasal 55 ayat (1) ke- 1 KUHP, Subsidair Pasal 359 KUHP Jo. Pasal 55 ayat (1)
ke- 1 KUHP. Kedua, Primair Pasal 76 UU Praktik Kedokteran Jo. Pasal 55 ayat
(1) ke-1 KUHP dan Ketiga, Primair Pasal 263 ayat (1) KUHP Jo. Pasal 55 ayat (1)
ke- 1 KUHP, Subsidair Pasal 263 ayat (2) KUHP Jo. Pasal 55 ayat (1) ke- 1
KUHP. JPU menuntut para terdakwa masing-masing dengan pidana penjara 10
(sepuluh) bulan.
Majelis Hakim memutus kasus tersebut dengan menyatakan bahwa Para
Terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana dalam dakwaan Kesatu Primer dan subsidair, dakwaan kedua dan dakwaan

ketiga primer dan subsidair. Serta membebaskan Terdakwa I, Terdakwa II dan


Terdakwa III dari semua dakwaan (Vrijspraak). Tidak terima atas putusan
Pengadilan Negeri Manado tersebut JPU mengajukan kasasi pada Mahkamah
Agung dengan Perkara Nomor: 365 K / Pid / 2012 yang kemudian oleh Majelis
Hakim memutus para Terdakwa bahwa terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana perbuatan yang karena kealpaannya
menyebabkan matinya orang lain dan menjatuhkan pidana terhadap Para
Terdakwa dengan pidana penjara masing-masing selama 10 (sepuluh) bulan.
Kemudian Para Terdakwa mengajukan Peninjauan Kembali pada Mahkamah
Agung karena tidak terima atas Putusan Kasasi tersebut, akan tetapi Majelis
Hakim Peninjauan Kembali lebih mendukung dan membenarkan Putusan
Pengadilan

Negeri

Manado

yang

membebaskan

Para

Terdakwa

dan

memerintahkan untuk mengeluarkannya dari Lembaga Pemasyarakatan.


1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan yang diambil oleh penulis adalah
sebagai berikut :
1. Apakah tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana dalam kasus
kelalaian yang dilakukan oleh dokter ?
2. Bagaimana pertimbangan Majelis Hakim dalam Putusan Pengadilan
Negeri

Manado

Nomor

90/Pid.B/2011/PN.Mdo,

Putusan

Kasasi

Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 365/K/Pid/2012, dan


Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Republik Indonesia
Nomor 79/PK/Pid/2013 ?

1.3. Tujuan Penelitian


1. Untuk mengkaji tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana dalam
kasus kelalaian yang dilakukan oleh dokter.
2. Untuk mengkaji pertimbangan Majelis Hakim dalam Putusan Pengadilan
Negeri

Manado

Nomor

90/Pid.B/2011/PN.Mdo,

Putusan

Kasasi

Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 365/K/Pid/2012, dan


Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Republik Indonesia
Nomor 79/PK/Pid/2013.
1.4. Penjelasan Judul
Berdasarkan judul ANALISIS YURIDIS TINDAK PIDANA DAN
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP KELALAIAN YANG
DILAKUKAN DOKTER perlu dijelaskan beberapa pengertian agar tidak
menimbulkan penafsiran yang berbeda dari penulisan tesis ini.
Tindak pidana (criminal act) adalah perbuatan atau tindakan yang oleh
suatu aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana bagi setiap orang atau
badan hukum yang melanggar larangan tersebut. Pengertian tindak pidana
menurut pakar hukum di Indonesia masih belum ada kesepahaman atau kesamaan
pendapat. Ada yang menggunakan istilah perbuatan pidana, delik, peristiwa
pidana, perbuatan yang boleh dihukum, pelanggaran pidana, tindak pidana atau
dengan istilah yang lainnya. Dalam peraturan perundang-undangan pidana di
Indonesia sering dikenal dengan istilah tindak pidana. Tindak pidana sendiri
merupakan terjemahan dari bahasa Belanda yaitu kata strafbaar feit. Secara
harfiah, strafbaar feit terdiri dari kata feit yang dalam bahasa Belanda berarti

sebagian daripada suatu kenyataan, sedangkan strafbaar berarti dapat dihukum. 2


Beberapa ahli hukum pidana mendefinisikan strafbaar feit dalam beberapa
pengertian, antara lain sebagai berikut :
a. Menurut Moeljatno istilah strafbaar feit adalah perbuatan yang
dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman
(sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar
larangan tersebut.3
b. Menurut Pompe strafbaar feit secara teoritis dapat dirumuskan
sebagai suatu pelanggaran Norma (gangguan terhadap tertib
hukum) yang dengan sengaja maupun tidak sengaja telah
dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman
terhadap pelaku adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan
terjaminnya kepentingan hukum. 4
c. Menurut Simons, strafbaar feit sebagai suatu tindakan melanggar
hukum yang telah dilakukan dengan sengaja oleh seseorang yang
dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh Undangundang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat
dihukum. 5
Dalam tesis ini, penulis sependapat dengan Endro Didik Purwoleksono
menggunakan istilah tindak pidana dengan beberapa alasan sebagai berikut
yaitu:6
1. Semua undang-undang sudah menggunakan istilah Tindak
Pidana, misalnya Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang, Undang-Undang Kesehatan-pun dengan tegas
dalam Pasal 85 menyebutkan tindak pidana.
2. RUU KUHP, manakala menjadi KUHP, ternyata menggunakan
istilah Tindak Pidana dalam Buku II.
2

P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997.
Hal. 181.
3
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, PT Bina Aksara, Jakarta, 1985. Hal. 1
4
Erdianto Effendi, Hukum Pidana Indonesia (suatu pengantar), Refika Aditama, Bandung, 2011.
Hal. 97.
5
Ibid. Hal. 98
6
Didik Endro Purwoleksono, Hukum Pidana, Airlangga University Press, Surabaya, 2014. Hal. 43

10

Dalam hal Pertanggungjawaban pidana yang akan dibahas yaitu mengenai


dapat atau tidak dapatnya seseorang dipidana sebagain pelaku tindak pidana yang
memiliki asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan (Geen Straf Zonder Schuld).
Pertang-gungjawaban pidana menurut konsep terdapat beberapa hal yang perlu
dicatat yaitu unsur kesalahan dan bentuk atau corak kesalahan. Unsur kesalahan
terdiri dari beberapa hal yaitu melakukan tindak pidana, kemampuan untuk
bertanggung jawab, dan tidak adanya alasan pemaaf, sedangkan bentuk atau
corak kesalahan meliputi kesengajaan atau kelalaian.
Salah

satu

bentuk

kesalahan selain

kesengajaan

yaitu

kelalaian

(Culpa/schuld). Kelalaian dilihat dari akibatnya dapat dibedakan menjadi dua


yaitu Culpa Levis artinya adalah kealpaan yang ringan dan Culpa Lata artinya
adalah kealpaan yang berat. Culpa Levis karena sifatnya yang ringan oleh
undang-undang tidak diancam dengan pidana dan dapat dilihat dalam hal
pelanggaran pada Buku III KUHP. Culpa Lata dilarang oleh KUHP karena
berdasarkan M.v.T (Memori van Tolechting) menyatakan bahwa keadaan yang
sedemikian

rupa

membahayakan

keamanan

orang

atau

barang,

atau

mendatangkan kerugian terhadap seseorang yang sedemikian besar dan tidak


dapat diperbaiki lagi. Sehingga undang-undang juga betindak terhadap kekurang
hati-hatian, sikap sembrono (teledor) tersebut.
Pandangan beberapa ahli hukum pidana tentang kelalaian yaitu:7
1. Hazawinkel Suringa:
a. kurang penduga-duga atau;
b. kurang penghati-hati
2. Van Hamel
7

Ibid. Hal. 74

11

Kelalaian mengandung dua syarat:


a. tidak melakukan penduga-duga sebagaimana dilakukan oleh
hukum;
b. tidak melakukan penghati-hati sebagaimana dilakukan oleh
hukum
3. Simons:
Pada umumnya kealpaan mempunyai unsur:
a. tidak adanya penghati-hati, disamping
b. dapat diduganya akibat.
Berdasarkan pendapat-pendapat ahli hukum pidana tersebut, maka dapat
disimpulkan bahwa kelalaian terdiri dari dua unsur yaitu:8
1. Kurang hati-hati
Makna kurang hati-hati yaitu pelaku tindak pidana tidak mengadakan
penelitian, kemahiran, atau usaha pencegahan yang nyata dalam
keadaan keadaan tertentu atau dalam caranya melakukan perbuatan.
2. Kurang penduga-duga, terdapat dua kemungkinan:
a. Bewuste Culpa (kealpaan yang disadari) maknanya pelaku
sehaarusnya menyadari atas akibat dari tindakan yang dia lakukan.
b. Onbewuste Culpa (kealpaan yang tidak disadari) artinya pada
awalnya pelaku tidak menyadari bahwa akibat akan terjadi, namun
ternyata dalam perkembangannya justru akibat telah terjadi.
Pengertian tentang kelalaian yang dilakukan oleh dokter dapat juga
dikatakan sebagai kesalahan dokter yang karena tidak menggunakan ilmu
pengetahuan dan tingkat ketrampilan sesuai dengan standar profesinya yang
akhirnya mengakibatkan pasien terluka atau cacat bahkan meninggal.
Setiap tindakan medis harus dapat dipertanggungjawabkan, baik secara etik
maupun secara hukum, Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) memberikan
pedoman kepada dokter di dalam memutuskan untuk melakukan tindakan
medisnya tidak boleh bertentangan dengan :
a. Kode Etik Kedokteran Indonesia ( KODEKI )
b. Asas asas Etika kedokteran Indonesia yaitu :9
8

Ibid.

12

1. Tidak merugikan ( Non Maleficence );


2. Membawa kebaikan ( Benevicence );
3. Menjaga kerahasiaan (Confidencsialitas );
4. Otonomi pasien ( Informed Consent );
5. Berkata benar ( Veracity );
6. Berlaku adil ( Justice );
7. Menghormati ( privacy).
Agar seorang dokter tidak dipandang melakukan praktik yang buruk
menurut Danny Wiradharma, maka setiap tindakan medis yang dilakukan harus
memenuhi tiga syarat :
1. Memiliki indikasi medis ke arah suatu tujuan perawatan yang kongkrit;
2. Dilakukan menurut ketentuan yang berlaku di dalam ilmu kedokteran;
3. Telah mendapat persetujuan tindakan pasien. 10
1.5. Alasan Pemilihan Judul
Penulis memilih judul ANALISIS YURIDIS TINDAK PIDANA DAN
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP KELALAIAN YANG
DILAKUKAN DOKTER karena dewasa ini marak terjadi kasus kelalaian atau
malpraktik oleh dokter yang tak jarang selalu kandas dalam proses persidangan.
Hal tersebut dikarenakan sulitnya pembuktian dan dokter lain yang dijadikan
sebagai saksi cenderung melindungi teman seprofesinya, padahal hanya teman
seprofesinyalah yang dapat menilai tindakan medik yang dilakukan oleh seorang
9

Ngesti Lestari, Masalah Malpraktek Etik Dalam Praktek Dokter , Kumpulan Makalah Seminar
tentang Etika dan Hukum Kedokteran diselenggarakan oleh RSUD Dr. Saiful Anwar , Malang,
2001. Hal. 3
10
Danny Wiradharmairadharma, Penuntun Kuliah Kedokteran dan Hukum Kesehatan, Penerbit
Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1999. Hal.87-88.

13

dokter benar atau salah. Sedangkan JPU dan Hakim hanya dapat menilai dari
adanya keterangan saksi-saksi, keterangan ahli, bukti surat, petunjuk, dan
keterangan terdakwa. Selain itu juga penulis ingin mengetahui dan mengkaji
peraturan perundang-undangan di bidang kesehatan yang dapat memberikan
perlindungan terhadap konsumen/pasien dari pelayanan kesehatan yang tidak
bermutu, terkesan praktik coba-coba, dan membahayakan.
Demikian juga dalam penerapannya, penulis ingin mengkaji lebih mendalam tentang bagaimana peraturan-peraturan yang ada di bidang kesehatan
diterapkan dalam kasus kelalaian yang dilakukan oleh dokter yang terjadi di
wilayah hukum Pengadilan Negeri Manado yang telah Inkracht Van Gewijsde
hingga memperoleh Putusan Peninjauan Kembali oleh Mahkamah Agung
Republik Indonesia. Serta bagaimana pertimbangan Majelis Hakim dalam
mengkualifikasikan unsur perbuatan malpraktik kedokteran sehingga terjadi
perbedaan pendapat dalam tingkat Pengadilan Negeri Manado hingga Mahkamah
Agung. Penulis ingin menganalisis kembali putusan-putusan Majelis Hakim
tersebut dengan menggunakan prinsip-prinsip hukum pidana.
1.6. Metode Penulisan
Metode penulisan merupakan faktor penting dalam penulisan atau
penyusunan karya tulis yang bersifat ilmiah agar pengkajian dan penganalisisan
terhadap objek studi dapat dilakukan dengan benar dan optimal. Penelitian
dibutuhkan suatu metode yang tepat, sehingga dapat memberikan hasil ilmiah.
Menentukan metode penulisan yang tepat, sangat dibutuhkan pemahaman oleh
penulisnya. Metode yang diterapkan bertujuan untuk memberikan hasil penelitian

14

yang bersifat ilmiah agar analisis yang dilakukan terhadap studi dapat
dipertanggungjawabkan. Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menentukan
aturan hukum, prinsip-prinsip hukum maupun doktrin-doktrin hukum guna
menjawab isu hukum yang dihadapi. 11 Penelitian untuk penulisan ini
menggunakan tipe penelitian yuridis normatif (legal research). Tipe penelitian
Yuridis Normatif dilakukan dengan cara mengkaji berbagai aturan hukum yang
bersifat formil seperti undang-undang, peraturan-peraturan yang terkait dengan
permasalahan yang dibahas.
1.6.1. Pendekatan Masalah
Metode pendekatan masalah yang digunakan dalam penyusunan tesis ini
yaitu pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual
(conceptual approach), dan pendekatan kasus (case approach)
Pendekatan perundang-undangan (statute approach) merupakan pendekatan
yang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang
bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. 12 Pendekatan undangundang ini akan membuka kesempatan bagi peneliti untuk mempelajari adakah
konsekuensi dan kesesuaian antara undang-undang yang satu dengan undangundang yang lainnya untuk memperoleh argumen yang sesuai. Pendekatan
konseptual (conceptual approach) adalah pendekatan yang beranjak dari
pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu
hukum, 13 sehingga menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian

11

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2011. Hal. 35.
Ibid. Hal. 93.
13
Ibid.
12

15

hukum, konsep, dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu hukum yang
dihadapi. Pendekatan kasus (case approach), beberapa kasus ditelaah untuk
referensi bagi suatu isu hukum. 14 Dalam tesis ini mengkaji suatu kasus yang
tertuang

dalam

Putusan

Pengadilan

Negeri

Manado

Nomor:

90/Pid.B/2011/PN.Mdo, Putusan Kasasi Mahkamah Agung Republik Indonesia


Nomor: 365/K/Pid/2012, dan Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor: 79/PK/Pid/2013.
1.6.2. Bahan Hukum
Bahan hukum merupakan alat dari suatu penelitian yang dipergunakan
untuk memecahkan suatu permasalahan yang ada. Sumber bahan hukum yang
diperguna-kan dalam penulisan ini, yaitu:
1.6.2.1 Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif,
artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundangundangan dan putusan-putusan hakim. 15 Bahan Hukum Primer yang digunakan
dalam penelitian ini terdiri dari :
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan
Hukum Pidana;
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana;
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran;

14
15

Ibid.
Ibid. Hal. 141.

16

4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang


Kesehatan;
5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2014 tentang Tenaga
Kesehatan;
6. Putusan Mahkamah Konstitusi No 4/PUU/ - V/2007 tentang Judicial Review
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004;
7. Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor:
79/PK/Pid/2013;
8. Putusan Kasasi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor:
365/K/Pid/2012;
9. Putusan Pengadilan Negeri Manado Nomor: 90/Pid.B/2011/PN.Mdo.
1.6.2.2. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yang dipergunakan antara lain adalah buku, teks,
atau pendapat para ahli hukum yang dituangkan dalam laporan penilitian, jurnal,
majalah, artikel-artikel di media massa, kamus hukum, dan sumber-sumber lain
yang terkait.
1.6.3. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Bahan Hukum
Pengumpulan dan pengolahan bahan hukum dilakukan dengan mendasar
pada bahan hukum yang diperoleh dari sumber hukum primer maupun sekunder.
Selanjutnya, sumber bahan hukum tersebut diseleksi dan diklasifikasikan
berdasarkan permasalahan yang tercantum dalam penelitian ini.
Data bahan hukum sekunder digabungkan satu dengan yang lainnya,
sehingga diperoleh gambaran spesifik mengenai permasalahan dalam bahasan
penelitian ini. Setelah proses seleksi dan klasifikasi terselesaikan, kemudian
dilakukan penajaman analisis terhadap bahan-bahan hukum yang ada. Dengan

17

demikian, akan didapatkan sebuah penjelasan yang sistematis dan logis untuk
menyelesaikan permasalahan dalam penelitian ini.
1.6.4. Analisis Bahan Hukum
Proses analisis bahan hukum merupakan suatu proses menemukan jawaban
dari pokok permasalahan yang timbul dari fakta. Metode analisis bahan hukum
yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah menggunakan metode deduktif
yaitu suatu metode berpangkal dari hal yang bersifat umum ke khusus yang
selanjutnya bahan hukum tersebut, yaitu bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder tersebut diolah secara kualitatif yaitu suatu pengolahan bahan-bahan
non statik. Langkah selanjutnya yang digunakan dalam melakukan suatu
penelitian hukum adalah : 16
1. Mengidentifikasi fakta hukum dan mengeliminir hal-hal yang
tidak relevan untuk menetapkan isu hukum yang hendak
dipecahkan;
2. Pengumpulan bahan-bahan hukum dan kiranya dipandang
mempunyai relevansi juga bahan-bahan non hukum;
3. Melakukan telaah atas isi hukum yang diajukan berdasarkan
bahan-bahan yang telah dikumpulkan;
4. Menarik kesimpulan dalam bentuk argumentasi yang menjawab
isu hukum;
5. Memberikan preskripsi berdasarkan argument yang telah
dibangun di dalam kesimpulan.
Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini adalah melalui pengolahan
bahan-bahan hukum yang telah dikumpulkan terlebih dahulu, kemudian disusun
secara sistematis dan terarah dengan menggunakan metode preskriptif, yaitu
setiap analisis tersebut akan dikembalikan pada norma hukum karena alat ujinya
adalah norma hukum yang bersarankan logika deduksi yaitu logika yang

16

Ibid. Hal. 17.

18

berpangkal dari prinsip-prinsip dasar yang kemudian dikaitkan dengan fakta yang
dijumpai. 17
1.7. Sistematika Penulisan
Pertanggungjawaban

sistematika

bertujuan

agar

penelitian

dapat

tersistematisasi dengan baik. Oleh karena itu, penulis membagi penelitian ini ke
dalam 4 (empat) bab yaitu sebagai berikut :
BAB I merupakan pendahuluan yang menjelaskan tentang latar belakang
masalah, serta rumusan masalah yang ingin dibahas dalam penelitian ini.
Rumusan masalah dalam penelitian ini terbagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu :
1. Apakah tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana dalam kasus
kelalaian yang dilakukan oleh dokter ?
2. Bagaimana pertimbangan Majelis Hakim dalam Putusan Pengadilan
Negeri

Manado

Nomor

90/Pid.B/2011/PN.Mdo,

Putusan

Kasasi

Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 365/K/Pid/2012, dan


Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Republik Indonesia
Nomor 79/PK/Pid/2013 ?
Selain itu, BAB I berisi tujuan penelitian serta penjelasan dan alasan
pemilihan judul. Dilanjutkan dengan metode penulisan, dan diakhiri dengan
sistematika penulisan.
BAB II adalah bagian yang menjelaskan konsep-konsep dasar tindak pidana
kelalaian yang dilakukan oleh dokter, baik yang tercantum dalam peraturan
perundang-undangan, maupun pengertiannya menurut pendapat para ahli ilmu
17

Ibid. Hal. 42.

19

hukum. Selain itu, bagian ini juga menjelaskan bentuk dan mekanisme
pertanggungjawab terhadap dokter yang telah melakukan kelalaian terhadap
pasiennya.
BAB III berisi tentang penjelasan dan analisis pertimbangan Majelis Hakim
dalam Putusan Pengadilan Negeri Manado Nomor 90/Pid.B/2011/PN.Mdo,
Putusan Kasasi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 365/K/Pid/2012,
dan Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor
79/PK/Pid/2013. Penulis juga akan melakukan tinjauan yuridis terhadap
pertimbangan Majelis Hakim dalam mengkualifikasikan tindak pidana kelalaian
yang dilakukan oleh dokter.
BAB IV merupakan bab terkahir yang berisikan kesimpulan dan saran dari
peneliti. Kesimpulan menguraikan tentang intisari dari permasalahan yang telah
diuraikan atau dijabarkan pada BAB II dan BAB III. Saran berisi masukan atau
solusi yang dapat diberikan yang nantinya dapat menjadi pandangan yang baik
bagi para pembaca maupun penulis-penulis lain yang ingin mengembangkan
penulisan dalam topik yang berbeda namun masih dengan tema yang sama.

You might also like