Sistem Politik Menurut UUD 1945 Amandemen
Membicarakan system politik menurut UUD45 yang diamandemen fokusnya terutama
kepartaian, bentuk pemerintahan pusat dan daerah dan lainnya yang berkaitan,
Bentuk pemerintahan yang dianut dalam UUD 1945 (sebelum amandemen) tidak tergolong
Parlementer ataupun presidensial, dan tidak pula tergotong semi-presidensial yang umum
dikenal. Presiden tidak dipilih secara langsung dan tidak ada jabatan perdana menteri. Tetapi
UUD 1945 (sebelum amandemen) tetap menetapkan semacam eksekutif tunggal dengan masa
jabatan tetap, yang disebut presiden, dan melekatkan aspek parlemen pada jabatan itu. Jadi,
bentuk ini juga sejenis system hibrida atau dapat disebut sebagai system campuran antara
presidensial dan parlementer.
Dengan campuran seperti itu timbul masalah, Bagaimanakah sistem ini bekerja dipandang
dari segi eksekutiflegislatif? Saling tergantung atau tidak tergantung? Adanya aspek
arlementer itu, yaitu presiden dipilih dengan suara terbanyak oleh MPR, berarti presiden
tergantung pada suatu mayoritas di lembaga itu. Apakah ketergantungan itu terbatas pada waktu
‘Pemitihan atau bertaku teras sepanjang presiden menghabiskan masa jabatannya? Konstitasi,
Khususnya batang tubuh, tidak menjawab pertanyaan itu secara jelas. Kelemahan ini belakangan
dicoba diatasi melalui ketetapan MPR, tetapi cara ini pada gilirannya dipersoalkan sebagai
tindakan inkonstitusional.
Konflik Konstitusional ini meledak pada masa jabatan Presiden Abdurrahman Wahid.
Timbulnya situasi ini dapat dipahami karena baru sesudah Reformasi rakyat Indonesia
berkesempatan melaksanakan UUD 1945 secara demokratis dan muri, Pada revolusi
kemerdekaan, dengan menggunakan pasal-pasal peralihan, UUD 1945 diubah menjadi
parlementer. Setelah pemberlakuan kembali konstitusi ini melalui Dekrit 5 Juli 1959, dalam
eriode demokrasi terpimpin maupun dalam periode Orde Baru, pelaksanaannya dilakukan
secare etoriter.
Sebenamya system mana yang lebih effektif antara presidensial dan parlementer. Analisis
statistik memberikan bukti-bukti yang menyokong parlementarisme. Pengharapan hidup sistem
presidensial tergantung pada tingkat perkembangan pada pertumbumbuhan ekonomi dan pada
Kehadiran mayoritas legislatif. Sebaliknya, bagi sistem parlementer, distribusi kursi ataupun
pertumbuhan ekonomi tidak penting secara statistik sebagai penentu daya tahan demokrasi,
Singkat kata, kelangsungan hidup demokrasi memang tergantung pada sistem
kelembagaannya. Rezim parlementer bertahan lebih lama, jauh lebih lama dari rezim
residensial. Institusi-institusi pemilihan yang menghasilkan mayoritas adalah kondusif bagi
kelangsungan hidup sistem presidensial: sistem presidensial yang menghadapi kemacetan
‘egistatif yang Stusus rapuh. Kedua sistem rawan tethadap kinerja ekonomi yang buruk, tetapi
1demokrasi presidensial lebih sedikit kemungkinan untuk bertahan sungguhpun ekonomi tumbuh
dibandingkan dengan sistem parlementer ketika ekonomi merosot.
Pongataman indonesia pada periods Orde Baru dalam mengimplentasikan system
presidensial sangat dipengaruhi oleh perkembangan politik pada saat itu khususnya posisi militer
yang duduk secara resmi di legislative baik DPR maupun MPR. Ini yang menyebabkan posisi
legislates menjadi sub-ordinasi eksekutif. Isu yang berkembang adalah kemudian tentang
Temahnya kedudukan DPR dalam menghadapi pemerintah. Lemahnya kedudukan DPR
dihubungkan dengan faktor intemal maupun ekstemal. Faktor internal antara lain misalnya
dikaitkan dengan tingkat pendidikan formal anggota DPR pada saat itu yang relatif lebih rendah
-dibandingkan dengan tingkat pendidilan anggota cabinet tekmoksatik ; urangaya informasi dan
data yang dimiliki oleh DPR; adanya tata-tertib DPR yang membelenggu dirinya sendiri;
kketidakseimbangan perbandingan jumlah wakil dari parpol, Golkar serta ABRI; adanya lembaga
recall dan lain-lain semacamnya, Sedangkan faktor ekstemal adalah misalnya beberapa hal yang
berkaitan dengan makro politik, yaitu berkembangnya mekanisme dan institusi yang bersifat
“korporatis” serta peranan militer dalam politik di Indonesia.
Semenjak demokrasi menjadi atribut utama negara modern, maka perwakilan merupakan
‘mekanisme untuk merealisasikan gagasan normatif bahwa pemerintahan harus dijalankan dengan
kehendak rakyat (will of the people). Otoritas suatu pemerintahan akan tergantung pada
kemampuannya untuk mentransformasikan kehendak rakyat ini sebagai nilai tertinggi di atas
‘kehondak negara (wil of the state), Atas dasar prinsip-prinsip normatif yang demikian itu, daiam
praktek-praktek kehidupan demokrasi yang awal, lembaga legislatif memiliki posisi sentral yang
biasanya tercermin dalam doktrin tentang kedaulatan rakyat serta kedaulatan Dewan Perwakilan
Rakyat. Hal ini didasarkan pada satu pandangan bahwa hanya DPR saja yang mewakili rakyat
dan memiliki kompetensi untuk mengungkapkan kehendak rakyat dalam bentuk undang-undang.
Sementara eksekutif atau pemerintah hanya mengikuti dan mengimplementasikan bukum dan
prinsip-prinsip dasar yang ditetapkan DPR.
Supremasi DPR atau parlemen semacam itu di banyak negara demokrasi konstitusional
mencapai puncaknya pada abad XIX dan abad ini dikenal sebagai “abad parlementarisme”.
Walter Bagehot, seorang filosof kenegaraan terkemuka inggris dan penulis The English
Constitution (1867), misainya menggambarkan supremasi tersebut dengan menyatakan bahwa
Jembaga perwakilan rakyat menjalankan berbagai fungsi penting negara, seperti menominasikan
orang-orang yang akan duduk di lembaga eksekutif, menetapkan undang-undang, dan
menetapkan anggaran, mengawasi kabinet, menyampaikan keluhan masyarakat, dan
‘memasyarakatkan berbagai isu yang dihadapi negara.
Dalam suasana semacam ini, lembaga perwakilan sulit memberikan kontribusi yang
berarti. Kekosongan yang timbul oleh erosi ideologi hanya diisi dengan diskusi tentang teknik
administratif dan manajemen yang tidak atau kurang dikuasai oleh anggota lembaga perwakilan,
2Dengan demikian, bidang keahlian semacam itu akan jatuh ke tangan birokrat atan profesional
yang bekerja secara khusus menangani hal itu (Poggi,1978:142-3)
‘Scbagai akibat dari perubahan-perubahan dalam ‘wvh partai, proses pemilihan, dan proses
legislasi, maka secara bertahap lembaga perwakilan kehilangan berbagai kemampuan dan
kekuasaan yang sebelumnya telah dimiliki. Kalangan eksekutif dan birokrasi pemerintahan
mengontrol volume dan kandungan legislasi yang berasal dari mereka sendiri. Para menteri dan
pejabat tinggi negara memandang legislasi sudah terlalu penting untuk diserahkan pada Dewan
Perwakilan, Undang-undang disusun di luar lembaga perwakilan sehingga fungsi lembaga
tesebut hanya sekedar melolosannya, Prinsipprnsip Webjakan umum yang menjadi cit
porlemen zamon dele yang >,
hilang dan diganti dengan legislasi yang bersifat ad-hoc di bidang administrasi pemerintahan,
Di banyak negara yang berkembang yang ditandai dengan sistem politik yang kurang
stabil, kekuasaan iegistatif-- yang biasanya Konstitusi— sangat Kurang berperan. Ini terutama
disebabkan oleh dua hal. Pertama, karena konstitusi di negara-negara tersebut seringkali bukan
‘merupakan patokan hukum yang tertinggi, dalam arti terdapat kondisi di mana justra konstitusi
selalu “terancam” untuk diubah, baik substansi materinya maupun interpretasinya menurut
konfigurasi pilitik yang ada. Kedua, karena terdapat kecenderungan terjadi perbedaan yang
substansial antara yang tertulis dalam konstitusi dengan apa yang terjadi dalam praktek
kehidupan politik sehari-hari
Pada sistem politik yang demikian itu, terdapat tarik menarik yang kuat antara legislatif
dan eksekutif dalam menangani masalah-masalah “mendasar” yang menyangkut kewenangan
serta fungsi dari dua lembaga tersebut. Dengan kata lain, selain harus berurusan dengan berbagai
fungsi “perwakilan”, DPR di negara-negara sedang berkembang juga masih harus berurusan
dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang menyangkut “nasibnya” sendiri.
UUD 1945 dari semua pasal-pasalnya secara jelas menunjukkan dominasi eksekutif dan
memang dimaksudkan demikian sejak kelahirannya. Dalam era Orde Baru, dominasi eksekutif
ini semakin menonjol disebabkan beberapa faktor, antara lain berkembangnya birokrasi
pemerintahan yang - didukung oleh kekuatan militer, hampir menguasai semua aspek
kehidupan; tidak adanya kekuatan pengimbang (countervailing force) masyarakat (termasuk
partai) yang memadai; sistem pemerintahan dan ekonomi yang sangat sentralistik, dan yang
terpenting adalah prestis politik yang dimiliki oleh kepala eksekutif, Presiden.
Hubungan eksekutif dan legislative setelah reformasi berubah secara drastic. Sebelum
reformasi system poliknya disebut sebagai executive heavy dan sesudahnya dikenal dengan
legislative heavy. Prinsip check and balance tidak lagi benar benar seimbang melainkan DPR
Jauh lebih kuat dari pemerintah terutama dalam hal menentukan APBN. Ini sebagai cerminan
‘dari system kepartaian dan system pemilihan yang diatur dalam undang undang yang selatu
3berubah setiap lima tahun. Kedua system ini mendorong terbentuknya koalisi di DPR maupun di
cabinet. Sistem koalisi ini lebih cocok untuk system parlementer daripada presidensial yang
posisi presiden telah dijamin tidak bisa mendapat mosi tidak percaya yang mengarah pada
pergantian pemerintahan dalam periode jabatannya. Dalam system ini juga diatur dua cara
pemilihan yaitu pemilihan secara langsung untuk anggota DPR dan pemilihan presiden. Sistem
pemilihan secara langsung ini juga berlaku untuk pemilihan gubernur dan bupati/walikota. Inilah
system politic dalam UUD4S Amendemen saat ini yang kemungkinan aken banyak berubal
menjelang pemilu 2014 sesuai dengan kondisi politik saat itu.
Ichlasul Amal
15 Desember 2009