You are on page 1of 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anestesi Pada Pembedahan Ortopedi
Pembedahan ortopedi merupakan sebuah tantangan tersendiri bagi para
anestesiologis. Pasien dapat datang dengan beragam komorbiditas dan dan dalam
kelompok usia yang sangat bervariasi, mulai dari neonatus dengan deformitas
tungkai kongenital, remaja dengan cidera karena olahraga, hingga orang dewasa
dengan eksisi soft tissue mass sampai arthroplasty.1,2 Pemeriksaan yang dilakukan
juga harus bersifat holistik karena mungkin saja terdapat penyakit jaringan ikat
kronis yang dapat mempengaruhi perencanaan anestesi.2
Komplikasi yang terjadi pun dapat beragam. Pasien dengan fraktur tulang
panjang dapat mengalami sindrom emboli lemak. Pasien yang menjalani operasi
pelvis, panggul, dan lutut mengalami peningkatan risiko terjadinya venous
thromboembolism.

Penggunaan

bone

cement

pada

arthroplasty

dapat

menyebabkan instabilitas hemodinamik.1


Teknik anestesi neuraxial dan teknik anestesi regional lainnya memainkan
peranan penting dalam penurunan insiden komplikasi thromboemboli post
operatif, memberikan analgesia post operatif, dan memfasilitasi rehabilitasi lebih
dini dan pemulihan hingga pemulangan pasien lebih cepat. Kecanggihan teknik
bedah seperti pendekatan invasive yang minimal pada knee dan hip replacement,
memerlukan modifikasi dalam manajemen anestesi, bila pasien ingin dipulangkan
segera (overnight atau same-day service/ one day care). 1,2
2.2 Anestesi Pada Operasi Panggul
Pembedahan panggul yang biasa dilakukan pada pasien dewasa antara lain, kasus
fraktur panggul, total hip arthroplasty, dan reduksi tertutup pada dislokasi
panggul
2.2.1 Fraktur Pada Panggul

Fraktur panggul sering terjadi pada pasien usia lanjut (1 dari 50 pada usia
lebih dari 50 tahun) dengan morbiditas dan mortalitas yang bermakna. Tingginya
komplikasi perioperatif dihubungkan dengan banyak faktor, termasuk kondisi
jantung, paru, DVT dan delirium. Delirium dan rasa pusing post op adalah hal
yang umum terjadi, dilaporkan pada 50% pasien usia lanjut setelah pembedahan,
dan berhubungan dengan peningkatan mortalitas.1,2
Pertimbangan Preoperatif
Sebagian besar pasien yang menjalani operasi ini adalah pasien dengan
kondisi lemah dan usia lanjut. Namun, kadangkala terdapat juga pasien pada usia
muda dengan trauma mayor pada tulang femur atau pelvis. Beberapa penelitian
melaporkan angka mortalitas fraktur panggul 10% selama awal perawatan dan
lebih 25% dalam 1 tahun. Banyak dari pasien ini mempunyai penyakit penyerta
seperti penyakit arteri koroner, penyakit serebrovaskuler,penyakit paru obstruktif
kronis atau diabetes.1
Pasien dengan fraktur panggul seringkali mengalami dehidrasi karena
intake oral yang tidak adekuat. Tergantung pada lokasi fraktur panggul,
perdarahan terselubung dapat terjadi secara signifikan dan selanjutnya dapat
menurunkan volume intra vascular. Pada umumnya fraktur intrakapsular
(subkapsular,

transcervical)

mengalami

perdarahan

yang

lebih

sedikit

dibandingkan dengan fraktur ekstrakapsular ( dasar kolum femur, intertrokanter,


subtrokanter ). Pada perdarahan terselubung, kadar hematokrit preoperatif dapat
terlihat normal atau dalam batas bawah.1
Pasien dapat datang ke rumah sakit dengan rasa nyeri hebat dan stres berat
yang dapat menjadi tanda dan gejala dari iskemik miokard. Meskipun persiapan
pre op itu penting, namun penundaah pembedahan dapat menimbulka
permasalahan ini dan meningkatkan angka kejadian komplikasi. Pembedahan
yang lebih cepat (<12jam) terbukti menurunkan tingkat nyeri (VAS), mengurangi
lama perawatan, dan mengurangi komlikasi perioperatif.2
Karakteristik lain pada pasien fraktur panggul adalah sering terjadinya
hipoksia preoperatif, yang dapat sebagai akibat dari emboli lemak, atau akibat

faktor lain, termasuk atelektasis bibasilar akibat bedrest, bendungan paru (dan
efusi), gagal jantung kongestif, atau akibat infeksi.1
Manajemen intra operatif
Menurut Association of Anaesthetist in Great Britain and Ireland (2012),
anestesi pada pembedahan fraktur panggul harus dapat memblok nervus kutaneus
lateralis pada paha, nervus obturator, ischiadika, dan lower subcostal nerve, dan
hanya bisa dicapai pada pasien yang sadar dengan blok neuraxial.3
Pilihan antara anestesi regional (spinal atau epidural) dan anestesi umum
pada pembedahan kasus fraktur panggul telah dievaluasi secara luas. Sebuah studi
meta-analisis dari 15 randomized clinical trials menunjukkan penurunan kejadian
DVT postoperatif dan angka mortalitas bulan pertama yang lebih rendah pada
anestesi regional, namun setelah bulan ketiga tidak tidak ada perbedaan bermakna
antara anestesi regional dan anestesi umum. Sebuah studi metaanalisis lain
terhadap pasien dengan fraktur neck of femur menyatakan bahwa insiden DVT 4
kali lebih besar pada pasien dengan anestesi umum, dibandingkan anestesi
regional. (miller, morgan). Selain itu, sebuah studi sistematik terhadap
penggunaan anestesi pada pembedahan fraktur panggul menemukan bahwa
anestesi regional dapat mengurangi insiden pusing post operatif. 1,2,3
Teknik anestesi neuraxial dengan atau tanpa disertai anestesia umum,
memberikan keuntungan tambahan untuk kontrol nyeri post op. Jika anestesi
spinal direncanakan, penggunaan anestesi lokal hipobarik mempermudah
positioning karena pasien dapat tetap pada posisi yang sama saat anestesi maupun
pembedahan. Opioid intra thecal seperti morfin juga dapat digunakan analgesia
post op tetapi berpotensi untuk terjadinya peningkatan resiko depresi pernapasan
sehingga memerlukan pengawasan ketat post op.1
Pertimbangan harus juga diberikan terkait dengan tipe reduksi dan fiksasi
yang digunakan. Hal ini tergantung pada lokasi fraktur, derajat displacement,
status fungsional pasien preop, dan pilihan dokter bedah. Fraktur femur proksimal
undisplaced biasanya ditatalaksana dengan dengan percutaneous pinning atau
cannulated screw fixation dengan pasien pada posisi supinasi. Hip compression

screw dan side plate paling sering dikerjakan untuk fraktur intertrochanter. Fraktur
intrakapsular

displaced

hemiarthroplasty, atau

terkadang

membutuhkan

fiksasi

internal,

total hip replacement. Operasi fraktur panggul

ekstrakapsular dilakukan dengan implant ekstramedula ( seperti sliding screw and


plate ) atau intramedula (seperti Gamma nail ).1,2
Hemiarthroplasty dan total hip replacement membutuhkan waktu yang
lebih lama, dan bersifat lebih invasif dibanding prosedur lainnya. Biasanya
dikerjakan dalam posisi lateral decubitus. Pada prosedur ini dapat terjadi
kehilangan darah dengan jumlah lebih banyak dan berpotensi menimbulkan
gangguan hemodimik yang lebih hebat, terutama jika semen digunakan. Oleh
karena itu, harus dipastikan adanya akses vena yang memadai untuk persiapan
transfusi cepat.1,2
2.2.2 Total Hip Arthroplasty / Total Hip Replacement
Dengan bertambahnya usia populasi dengan keinginan untuk tetap aktif
secara fisik, maka prosedur joint replacement menjadi lebih sering dilakukan.1 Di
Amerika Utara, lebih dari 200.000 prosedur THR dilakukan setiap tahunnya. 4
Pada tahun 2002, di Amerika terdapat 345.000 operasi THR. 5 Bahkan Opperer et
al mengemukakan estimasi bahwa pada tahun 2030, kebutuhan THR di amerika
akan tumbuh 174% menjadi 572.000 prosedur.6
Komplikasi yang umum terjadi adalah serangan jantung, emboli paru,
pneumonia dan gagal nafas, serta infeksi. Pasien-pasien usia lanjut dengan faktor
komorbid berat seperti penyakit jantung, paru, dan diabetes harus diperiksa secara
menyeluruh saat pre op.2
Pertimbangan preoperative
Sebagian besar pasien yang menjalani total hip replacement menderita
penyakit osteoartritis, rheumatoid arthritis, atau nekrosis avaskular. Osteoartritis
merupakan penyakit degeneratif yang dapat melibatkan satu atau banyak sendi,
termasuk dapat juga melibatkan tulang belakang, sehingga manipulasi leher pada

intubasi harus diminimalisir untuk menghindari kompresi radiks saraf atau


protrusi diskus.1
Rheumatoid arthritis (RA) dicirikan dengan destruksi sendi yang dimediasi
oleh respon imun dengan inflamasi kronik dan progesif pada membrane synovial.
Selain itu, RA juga merupakan penyakit sistemik yang dapat melibatkan berbagai
sistem organ lain. Lebih lanjut lagi, RA seringkali melibatkan sendi kecil pada
tangan, pergelangan tangan, dan kaki dan menimbulkan deformitas berat. Hal ini
dapat mempersulit kanulasi intravena atau arteri radialis.1,2
Kasus ekstrem rheumatoid arthritis dapat melibatkan sebagian besar
membran

synovial,

termasuk

sendi

vertebra

servikal

dan

sendi

temporomandibular. Subluksasi atlantoaxial yang dapat didiagnose secara


radiologi, dapat menyebabkan protrusi prosesus odontoid ke dalam foramen
magnum selama intubasi, melemahkan aliran darah vertebra dan menekan
medulla spinalis atau batang otak. Jika terdapat instabilitas atlantoaxial, intubasi
harus dikerjakan dengan inline stabilization dan menggunakan laringoskop
fiberoptik atau video. Keterlibatan sendi temporomandibular dapat membatasi
mobilitas

rahang

dan

rentang

gerakan

sehingga

tidak

memungkinkan

dilakukannya teknik intubasi konvensional.1,2


Suara serak atau stridor inspirasi dapat menjadi tanda penyempitan
pembukaan glottis yang disebabkan arthritis krikoarytenoid. Kondisi ini
menyebabkan obstruksi jalan napas post ekstubasi, walaupun sudah menggunakan
tube dengan ukuran yang lebih kecil.1,2
Pasien

dengan

rheumatoid

arthritis

atau

osteoarthritis

umumnya

mengkonsumsi OAINS untuk meredakan nyeri nyerinya. Obat-obatan ini dapat


mempunyai efek samping yang serius seperti perdarahan saluran cerna, toksisitas
pada ginjal, dan disfungsi platelet.1,2
Manajemen intra operatif
Total hip replacement (THR) melibatkan beberapa tahapan pembedahan
termasuk mengatur posisi pasien (biasanya pada posisi lateral dekubitus ),
dislokasi dan pemindahan kaput femoris, melebarkan asetabulum dan insersi

prostetik kap acetabulum (dengan atau tanpa semen) dan membuka femur dan
insersi komponen femur (kaput femur dan stem) ke dalam femoral shaft (dengan
atau tanpa semen), seperti pada gambar 1. 1,2
THR juga dikaitkan dengan tiga komplikasi yang mengancam kehidupan :
bone cement implantation syndrome, peradarahan intra dan post op, dan
thromboemboli vena. Jadi terdapat banyak alasan mengapa monitoring arteri
invasif pada umumnya direkomendasikan untuk prosedur-prosedur ini. Pemberian
opioid, seperti morfin, secara neuraxial pada periode perioperatif dapat
memperlama durasi analgesia postoperatif.1,2

Gambar 1. Total Hip Arthroplasty / Total Hip Replacement (THR) 1

THR dapat dilakukan dengan pendekatan anterior maupun lateral.


Kelebihan pendekatan anterior antara lain, memberikan akses tanpa mengganggu
otot, namun akses yang didapatkan terbatas, dengan risiko cidera nervus kutaneus
femoral lateralis. Sedangkan pendekatan lateral posterior memberikan akses yang
lebih baik untuk femur dan asetabulum dengan kerusakan otot minimal namun
dengan peningkatan risiko dislokasi posterior. Kebanyakan ahli bedah memilih
pendekatan lateral posterior, sehingga pasien diposisikan secara lateral dekubitus,
dimana posisi ini dapat mengurangi oksigenasi.2

A. Hip Resurfacing Arthroplasty


Dibandingkan

dengan

implant

tradisional,

teknik

ini

dapat

mempertahankan tulang asli pasien dengan lebih baik. Pendekatan bedah dapat
secara anterolateral atau posterior, dengan teori bahwa pendekatan posterior dapat
memberikan ketersedian suplai darah yang lebih baik ke kaput femur. Dengan
pemilihan pendekatan posterior, pasien diposisikan secara lateral dekubitus, sama
dengan posisi pasien pada hip arthroplasty tradisional. Studi metaanalisis terbaru
menggambarkan bahwa hip resurfacing arthroplasty lebih dipilih bila memandang
faktor hasil fungsional dan persentase perdarahan, walaupun berdasarkan faktor
kepuasan pasien dan nilai VAS post op memiliki hasil yang sama dengan metode
tradisional.1
B. Bilateral Arthroplasty
Bilateral hip arthroplasty dapat secara aman dikerjakan pada pasien yang sehat
sebagai prosedur kombinasi, dengan asumsi tidak ada embolisasi pulmonal yang
signifikan setelah insersi komponen femur yang pertama. Echocardiography dapat
digunakan untuk mmonitoring. Pada prosedur ini, komunikasi efektif antara
anestesiologis dan dokter bedah sangatlah penting. Bila terdapat gangguan
hemodinamik yang besar saat prosedur pertama, maka prosedur arthroplasty
kedua harus ditunda.1,2
C. Revisi Arthroplasty
Revisi dari hip arthroplasty sebelumnya dapat menimbulkan kehilangan darah
yang lebih banyak dibandingkan prosedur awal. Hilangnya darah bergantung pada
banyak faktor, termasuk pengalaman dan ketrampilan operator. Beberapa
penelitian menyatakan bahwa penggunaan teknik anestesi regional (spinal atau
epidural) dapat mengurangi besarnya perdarahan bila dibandingkan anestesi
umum, meskipun pada MAP yang sama. Karena kecenderungan pasien
memerlukan transfusi darah perioperatif, persiapan darah autolog preoperatif dan
ketersediaan darah intraoperatif harus dipertimbangkan. Pemberian vitamin (B12

dan K) serta zat besi pada pre op dapat mengatasi anemia kronik yang ringan.
Administrasi preop recombinant human erythropoietin (600 IU/kg subkutan tiap
minggu mulai 21 hari sebelum pembedahan sampai hari pembedahan ) dapat
menjadi alternatif untuk menurunkan kebutuhan transfusi darah allogenik
perioperatif. Erythropoietin meningkatkan produksi sel darah merah dengan
menstimulasi

diferensiasi

progenitor

erythroid

dalam

sumsum

tulang.

Mempertahankan suhu badan normal selama hip replacement surgery juga dapat
mengurangi perdarahan.1,2
D. Arthroplasty Minimal Invasif
Computer-assisted surgery (CAS) dapat meningkatkan keberhasilan
pembedahan dan mendukung rehabilitasi dini dengan memfasilitasi teknik
minimal invasif untuk hip replacement tanpa semen. Software computer dapat
secara akurat merekonstruksi gambar tiga dimensi untuk tulang dan jaringan lunak
yang didasarkan pada radiografi, fluoroskopi, computed tomography atau MRI.
Sistem komputer dapat mempertimbangkan gambaran preoperatif dan informasi
rencana pembedahan untuk menentukan posisi pasien di meja operasi.
Jadi CAS dapat meningkatkan akurasi penempatan implant melalui insisi
yang sangat kecil, hal ini sangat mengurangi kerusakan otot dan jaringan yang
berakibat pada berkurangnya nyeri, keluar dari rumah sakit lebih awal, dan
pemulihan yang lebih cepat. Pendekatan lateral dengan mengunakan single 3-in.
incision pada pasien dengan posisi lateral dekubitus, sedangkan pendekatan
anterior

Gambar 2. Minimally Invasive Hip Arthroplasty1

menggunakan dua 2-in incisions yang terpisah ( satu untuk komponen asetabulum
dan yang lain untuk komponen femur ) dengan pasien posisi supine. Teknik
invasif minimal dapat mengurangi lama perawatan hingga 24 jam atau kurang.
Teknik anestesi yang digunakan harus mampu mendukung pemulihan yang cepat,
yang dapat termasuk didalamnya anestesi regional neuraxial atau anestesi umum
intravena1,2
E. Hip Arhtroscopy
Pada beberapa tahun terakhir, prosedur hip arthroscopy menjadi sama populernya
dengan teknik invasif minimal untuk beberapa indikasi pembedahan seperti
femoroaceabular impingement (FAI), acetabular labral tears, loose bodies, dan
osteoartritis. Selain itu hip arthroscopy juga menjadi umum digunakan sebagai
prosedur diagnostik dan tatalaksana pada pasien-pasien rawat jalan.1
Pasien dapat dalam posisi supinasi atau lateral dengan diberikan traksi
pada tungkai yang akan dioperasi untuk mendapatkan akses kedalam sendi dengan
arthroscope. Saat memposisikan pasien, anestesiologis harus memastikan bahwa
alas perineum yang terpasang cukup empuk dan tidak menekan nervus pudendus
dan memastikan tidak adanya traksi berlebihan. Karena prosedur ini memerlukan
relaksasi otot yang total, maka dapat digunakan anestesi umum atau blok
neuraxial.2
2.2.3 Reduksi Tertutup Pada Dislokasi Panggul
Terdapat 3% insiden dislokasi panggul setelah arthroplasti panggul primer
dan 20% insiden setelah total hip revision. Insiden ini tampaknya secara
signifikan diturunkan dengan CAS. Karena hanya butuh daya / kekuatan kecil
untuk membuat dislokasi prosthetic hip, pasien dengan hip implants memerlukan
perhatian khusus selama mengatur posisi setelah prosedur bedah. Fleksi panggul
yang ekstrem, rotasi internal, dan aduksi dapat meningkatkan resiko dislokasi.

Dislokasi panggul biasanya dapat dikoreksi dengan reduksi tertutup dengan


anestesi umum yang singkat. Paralisis temporer dapat dihasilkan dengan
pemberian suksinilkolin, atau bila diperlukan, untuk memfasilitasi manipulasi
operator dengan merelaksasi otot-otot panggul. Reduksi yang berhasil perlu
dikonfirmasi secara radologis sebelum pasien bangun.1

2.4 Penggunaan Bone Cement pada THR


Bone cement, yaitu senyawa polimetilmetakrilat (PMMA), merupakan
bahan yang dibutuhkan pada operasi artroplasti untuk menempelkan implan dan
untuk remodelling tulang yang hilang. Semen ini mengisi ruang kosong pada
tulang cancellous dan secara kuat menempelkan prostese dengan tulang pasien.1,7
Penggunaan

bone

cement

menimbulkan

hipertensi

intrameduler

(>500mmHg) dan dapat memicu embolisasi dari lemak, sumsung tulang, semen,
dan udara ke pembuluh darah vena. Absorpsi sistemik dari monomer
metilmetakrilat dapat menimbulkan vasodilatasi dan mengurangi resistensi
vaksuler sistemik. Pengeluaran tromblopastin dari jaringan dapat memicu agregasi
trombosit,

pembentukan

mikrotrombus

di

paru-paru,

dan

instabilitas

kardiovaskuler sebagai hasil dari sirkulasi bahan-bahan vasoaktif. Emboli dapat


terbentuk dari debris-debris medula tulang dan dapat berjalan ke paru, jantung,
otak, dan sirklasi koroner.1,8
Gejala klinis yang muncul pada implantasi bone cement antara lain
hipoksia, hipotensi, aritmia (termasuk blok jantung dan henti jantung), hipertensi
pulmoner, dan menurunnya cardiac output. Emboli paling sering terjadi pada
insersi dari prostetik bagian femur pada prosedur THR. 1,7,8
Gejala-gejala tersebut biasa disebut sebagai Bone Cement Implantation
Syndrome (BCIS) dan dapat menjadi penyebab mortalitas dan morbiditas
intraoperatif.7,8 Terdapat klasifikasi BCIS berdasarkan derajat keparahannya
yaitu:7,8

1. Tingkat 1 : hipoksia moderat dengan SpO2 < 94% atau penurunan


tekanan arteri sistolik / systolic arterial pressure (SAP) >20%.
2. Tingkat 2 : hipoksia berat (SpO2 < 88%) atau hipotensi ( penurunan
SAP > 20%) atau penurunan kesadaran.
3. Tingkat 3 : kolaps kardiovaskular yang memerlukan RJP
Manajemen pencegahan untuk komplikasi ini antara lain dengan
meningkatkan konsentrasi oksigen inspirasi sebelum proses implantasi semen,
monitor keadaan sirkulasi untuk mempertahankan keadaan euvolemia, membuat
lubang ventilasi pada bagian distal femur untuk mengurangi tekanan intrameduler,
dengan melakukan pencucian dengan tekanan tinggi untuk membuang debris yang
berpotensi menjadi mikroemboli, atau dengan menggunakan komponen prostese
femur yang tidak memerlukan semen. 1,7,8
Satu hal lagi yang perlu menjadi perhatian dalam penggunaan bone
cement adalah longgarnya prostese seiring dengan waktu. Bahan implan semen
terbaru menggunakan material yang memungkinan komponen alami tulang untuk
tumbuh. Prostese yang tidak memerlukan prostese secara umum dapat bertahan
lebih lama dan lebih baik dipilih pada pasien-pasien muda dan aktif.
Bagaimanapun juga, pembentukan tulang sehat secara aktif dibutuhkan, dan
proses pemulihan pada prosedur tanpa semen dapat lebih lama dibandingkan
dengan prosedur menggunakan semen. Oleh karena pertimbangan-pertimbangan
diatas, prostese dengan semen lebih dipilih pada pasien usia tua dan kurang aktif
yang sering mengalami osteoporosis atau penipisan tulang kortikal. 1,8

2.3 Pemilihan Teknik Anestesi Pada Total Hip Replacement


Secara umum, banyak prosedur ortopedi yang lebih cocok dengan
penggunaan teknik anestesi regional, namun kontroversi mengenai kelebihan
anestesi regional dibandingkan anestesi umum telah diperdebatkan selama
berpuluh-puluh tahun.2,3
Anestesi pada THR maupun TKR harus memberikan kondisi intraoperatif
yang stabil dan memungkinkan pemulihan pasien yang cepat. Teknik analgesik

harus dipilih untuk meredakan nyeri secara optimal dengan juga meminimalisasi
efek samping seperti sedasi, PONV, hipotensi, dan blok motorik. 1,2,5 Saat ini telah
ada bukti bahwa anestesi regional dapat digunakan untuk mencapai tujuan ini. 9
Menurut Opperer et al (2014) penggunaan anestesi regional dibandingkan dengan
general anestesi telah dihubungkan dengan penurunan angka mortalitas,
penurunan jumlah perdarahan, penurunan kejadian tromboemboli, komplikasi
kardiopulmoner, infeksi, dan segi ekonomi.8
2.3.1 Angka Mortalitas
Sebuah studi dari Memtsoudis et al menemukan adanya penurunan angka
mortalitas sampai hari ke 30 post op THR pada penggunaan blok neuraxial
dibandingkan pada anestesia umum.10 Sebuah studi metanalisis lain yang dikutip
oleh Opperer et al menemukan bahwa anestesi spinal dapat menurunkan angka
mortalitas secara signifikan pada pembedahan fraktur di sendi panggul.8

2.3.2 Pertimbangan Waktu Operasi


Penelitian Mauermann et al mengindikasikan adanya sedikit pengurangan
waktu operasi pada anestesi THR elektif dengan blok neuraxial bila dibandingkan
anestesi umum.5 Hal ini juga didukung oleh penellitian Parker et al yang
mengemukakan bahwa pemilihan anesesia hanya mempunyai efek minimal pada
waktu operasai. Meskipun pada penelitian Mauermann didapatkan pengurangan
waktu operasi yang signifikan secara statistik, namun rerata pengurangan waktu
7,1 menit per operasi tidaklah signifikan secara klinis.5,11
2.3.3 Pertimbangan Jumlah Perdarahan
Pada THR dapat terjadi perdarahan yang signifikan, hingga 1-2L darah.
Pemakaian anestesi regional telah diteliti dapat penurunan jumlah perdarahan
yang terjadi intraoperatif. Sejak 1966, telah ada 17 uji klinis pada pasien yang
menjalani THR, dan menunjukkan

pengurangan jumlah perdarahan dengan

anestesi regional, dibandingkan dengan anestesi umum.2,4,6

Modig dalam penelitiannya membandingkan jumlah perdarahan pada


pasien THR dengan anestesi epidural, anestesi umum dengan ventilasi spontan,
dan anestesi umum dengan ventilasi tekanan positif, dan menemukan bahwa
kelompok dengan anestesi epidural memiliki jumlah perdarahan yang palings
sedikit. Ia menyatakan bahwa anestesi epidural mengurangi tekanan darah vena,
yang merupakan faktor penting dalam terjadinya perdarahan saat operasi.12
Hal ini juga dikemukakan oleh Grant et al, bahwa anestesi regional
dihubungkan dengan penurunan jumlah perdarahan intra dan postoperatif karena
dapat menurunkan MAP dan dilatasi vena.9 Mauermann et al pada studi
metanalisisnya juga mengemukakan bahwa ada pengurangan jumlah perdarahan
yang signifikan secara statistik (dengan rerata 275mL) pada pasien dengan
blokade neuraxial.5 Opperer et al juga mengemukakan bahwa ada perbedaan
signifikan pada penurunan kebutuhan transfusi darah sebesar 14% pada
penggunaan blok neuraxial dibandingkan dengan general anestesi.6
Selain itu beberapa penelitian lain juga telah menunjukkan bahwa anestesi
epidural yang dapat memberikan keadaan hipotensi terkontrol dengan MAP 5060 mmHg dapat mengurangi perdarahan intraoperatif hingga 200mL. Pasienpasien usia lanjut (rerata 72 tahun) dapat mentolerir tekanan darah ini tanpa
adanya komplikasi kognitif, kardiak ataupun ginjal. Selain itu, hipotensi terkontrol
juga dapat meningkatkan fiksasi prostese ke tulang dengan membatasi perdarahan
pada kanalis femoralis.2

2.3.4 Pertimbangan Komplikasi yang Dapat Ditimbulkan


Anestesi regional dapat mengurangi insiden komplikasi perioperatif
seperti DVT, emboli paru, perdarahan, komplikasi pernapasan dan kematian bila
dibandingkan anestesi umum, namun masih terdapat beberapa kontroversi. 2,5 Pada
tahun 2000, Rodgers et al melakukan sebuah studi metaanalisis dan menyatakan
bahwa penggunaan teknik neuraxial pada berbagai prosedur bedah dapat
mengurangi mortalitas, tromboemboli vena, infark miokard dan berbagai
komplikasi lainnya.13 Grant et al (2008) menyatakan bahwa kejadian

tromboemboli vena dapat berkurang hingga 50% pada penggunaan blok neuraxial
dibandingkan dengan anestesi umum, pada pasien yang tidak diberikan profilaksis
antitrombotik.9
Studi meta-analisis dari Mauermann et al menemukan bahwa adanya
pengurangan signifikan pada jumlah pasien yang mengalami DVT yaitu 29% pada
blok neuraxial dan 56% pada anestesi umum, juga pada jumlah pasien yang
mengalami emboli paru, yaitu 7% pada blok neuraxial dan 20% pada anestesi
umum.5 Beberapa peneliti menduga bahwa, efek sistemik dari agen anestesi lokal,
seperti yang ditemukan pada anestesi epidural, dapat menurunkan kejadian
hiperkoagulasi akibat pembedahan, yang selanjutnya dapat mengurangi insiden
tormboemboli.6
Dari segi pulmoner, anestesi regional telah menjadi anestesi pilihan pada
pasien fraktur panggul dengan PPOK dan telah dihubungkan dengan penurunan
kejadian komplikasi pulmoner pada seluruh pasien fraktur panggul. Sedangkan
pada pasien THR, penggunaan neuraxial memiliki hasil yang lebih baik dari aspek
komplikasi pada paru dibandingkan dengan anestesi umum.6 Pasien-pasien
ortopedi juga seringkali menghadapi permasalahan manajemen jalan napas.
Anestesi regional dapat menghindarkan adanya manipulasi jalan napas, dan pasien
yang sadar dapat mengatur posisi kepala yang paling nyaman menurut dirinya.1,2
Sebuah penelitian dari Chang et al juga menemukana bahwa terdapat
pengurangan yang signifikan pada tingkat infeksi lokasi pembedahan / Surgical
Site Infection (SSI) dalam 30 hari, yaitu 1,2% pada anestesi epidural atau spinal,
dibandingkan dengan 2,8% pada anestesi umum.14 Kemungkinan mekanisme dari
pengurangan tingkat infeksi ini berhubungan dengan modulsi respon inflamasi,
vasodilatasi dan perbaikan oksigenasi jaringan, serta perbaikan pada analgesia
post op. 6,15
Walaupun memiliki banyak keuntungan, namun risiko terjadinya hematom
epiduran / spinal pada anestesi regional juga perlu dipertimbangkan, meskipun
kejadian ini termasuk langka.6
2.3.5 Pertimbangan Analgesia Post Operatif

Pada sebuah studi yang dikutip oleh Provenzano dan Viscusi, ditemukan
bahwa pasien yang menjalani THR dan TKR mengaku mengalami nyeri dengan
rerata VAS 7,6 dan 8,1 dari skala 10, yang dapat menganggu pemulihan
fungsional dan pola tidur pada periode post-operatif.15
Selain itu, teknik anestesi regional dengan blok nervus perifer dapat
memberikan anestesi intraoperatif dan analgesia post operatif yang sangat baik.
Bahkan beberapa penelitian menyatakan bahwa anestesi regional dapat
menghentikan perkembangan nyeri akut post operatif menjadi sindrom nyeri
kronis.2,4,9 Meskipun demikian, sebuah studi sistematis Cochrane pada tahun 2003
menemukan bahwa keuntungan anestesi epidural kontinyu bila dibandingkan
dengan patient-controlled analgesia (PCA) menggunakan morfin intravena, hanya
terbatas pada awal periode post operatif (4-6 jam).16
Blok Nervus Perifer
Blok nervus perifer saat ini telah dikembangkan untuk menangani nyeri post
operatif. Pada operasi TKR dapat digunakan blokade nervus femoralis dan nercus
ischiadika, sedangkan pada operasi THR dapat digunakan blok. pleksus lumbalis,
blok fascia iliaka, dan dapat juga disertai blok ischiadika.9,17
A. Blok Pleksus Lumbalis ( Pendeketan Posterior)
Pleksus lumbalis merupakan susunan dari 6 nervus yang menginervasi
bagian bawah perut dap bagian paha anterolateral. Pleksus ini tersusun atas
bagian-bagian dari nervus lumbalis L1-L4, dan nervus subkostalis (T12). Sarafsaraf pada pleksus lumbalis antara lain, nervus iliohypogastric (T12-Ll),
ilioinguinal (L1), genitofemoral (L1-L2), femoral kutaneus lateralis (L2-L3),
femoral (L2-L4) dan nervus obturator (L2-L4), seperti pada gambar 1. 17

Gambar 3. Pleksus Lumbalis.17

Blok pleksus merupakan pilihan yang logis untuk analgesia THR karena
metode inilah yang paling dapat diandalkan untuk memblok nervus kutaneus
lateral femoralis dan nervus obturator. Dapat digunakan dengan metode dosis
tunggal ataupun kontinyu. Penggunaan bolus anestesi lokal sebanyak 15-20ml
dapat memberikan analgesia untuk periode waktu yang cukup singkat setelah
operasi, dengan rata-rata 6-12 jam. Penggunaan morfin intratechal dosis rendah
dapat memberikan analgesia yang lebih baik dan lebih lama, bila dibandingkan
dengan blok pleksus lumbar dengan dosis tunggal.9
Penggunaan blok pleksus lumbalis secara kontinyu dapat memperpanjang
durasi analgesia secara efektif. Tetesan infus anestesi lokal dengan konsentrasi
rendah biasanya diatur pada 10ml/jam. Penggunaan teknik konsentrasi rendah
dengan tetesan cepat telah dianjurkan untuk memperoleh khasiat yang lebih
baik.9,17
Blokade pleksus lumbalis telah dihubungkan pada beberapa efek samping
yang serius seperti, anestesi spinal total, hematom atau abses psoas, penyebaran
epidural, dan trauma renal. Blok ini merupakan blok yang dalam, dan harus

dihindari ada pasien dengan gangguan pembekuan atau disfungsi trombosit, dan
bukan merupakan teknik untuk pemula.9,17
B. Blok Fascia Iliaka
Pendekatan lain untuk blok pleksus lumbalis adalah blok fascia iliaka.
Mekanisme kerja anestesi teknik ini adalah dengan penyebaran anestesi lokal ke
arah proksimal, dibawah fascia iliaka, yang kemudian mengarah pada cabang dari
pleksus lumbalis.9,17
Keuntungan blok ini adalah kemudahannya, yang membuat prosedurnya
menjadi cepat dan aman untuk dilakukan tanpa membutuhkan stimulator saraf.
Bagaimanapun juga, penyebaran blok pleksus lumbalis pada teknik ini bervariasi,
dengan blok nervus femoralis lebih konsisten dibandingkan dengan nervus
obturator dan kutaneus lateralis.9

C. Blok Nervus Ischiadika


Anestesi komplit pada sendi panggul membutuhkan blokade nervus ischiadika.
Pada umumnya, teknik blok pleksus lumbal tidak melibatkan nervus-nervus
sakralis sehingga, penambahan blok nervus ischiadika dapat memberikan
keuntungan tersendiri.

Meskipun faktanya tidak ada bukti publikasi yang

mendukung blok ischiadika untuk analgesia post-operatif pada THR, namun tanpa
adanya blok nervus ischiadika, hilangnya rasa nyeri secara total pada panggul
menjadi tidak mungkin.9
2.4 Komplikasi Anestesi Epidural
2.4.1 Duramater Robek Atau Tertusuk
Kejadian tertusuknya duramater pada waktu dilakukan anestesi epidural
yang dilakukan ahli anestesi 1% - 2,5%. 1,18 Bila duramater robek akan terlihat
keluar cairan likuor serebro spinalis ( LCS ) pada pangkal jarum epidural,
terutama waktu dilakukan aspirasi. Cairan LCS dapat dibedakan dengan obat
anestesi lokal dengan cara :18

dibedakan suhunya

memakai test glukosa dan protein dengan kertas strip yang untuk
pemeriksaan urin.

Dicampur dengan thiopenton bila terjadi pengkabutan berarti obat


anestesi lokal.

Akibat robeknya duramater dapat menyebabkan komplikasi :


A. Blok Total Spinal
Jika tidak diketahui robek, obat anestesi lokal untuk epidural dimasukkan
kedalam ruang sub arakhnoid maka akan terjadi blok total spinal. Angka kejadian
total total blok spinal 1 : 1000 kasus.19

Penderita cepat terjadi penurunan

kesadaran, henti nafas dan hipotensi berat dan bila tidak segera ditolong akan
terjadi henti jantung. Penderita langsung di intubasi, diberi nafas buatan
oksigenasi 100% dan diberikan vasopresor. Bila terapi yang diberikan adekuat
jarang terjadi sequele.20 Untuk mengurangi resiko terjadinya blok total spinal yang
perlu diperhatikan :
-

Hati-hati dalam melakukan tehnik anestesi epidural.

Aspirasi untuk mengetahui tehnik anestesi epidural.

Harus dilakukan tes dose.

B. Post Dural Puncture Headache ( PDPH )


Komplikasi ini akibat adanya kebocoran cairan LCS melalui duramater
yang robek, dengan demikian volume dan tekanan LCS menurun sehingga terjadi
regangan pembuluh darah otak dan meniningen. Jumlah cairan LCS yang keluar
melalui robekan duramater tergantung luasnya duramater yang robek dan juga
status hidrasi penderita.
2.4.2 Kateter Epidural Masuk Kedalam Pembuluh Darah
Sewaktu diaspirasi akan terlihat darah dalam kateter. Bila masuk
pembuluh darah kateter harus dicabut, kemudian dipilih interspace diatas atau
dibawahnya untuk insersi jarum epidural ulang. Tidak boleh menyuntikan obat
local anestesi jika ada darah dalam kateter.21

2.4.3 Intoksikasi Obat Anestesi Lokal


Toksisitas obat anestesi local dapat diklasifikasikan dalam dua katagori yaitu :
a. Reaksi alergi
Reaksi alergi

terhadap

obat

anestesi

local

sangat

jarang.

Manifestasinya berupa dermatitis, urtikaria, pruritus, spasme bronchus


dan anafilaksis. Pengobatan dengan epinefrin dan steroid seperti
Dopomedrol biasanya memberikan hasil yang memuaskan. 22 Pada
penderita dengan riwayat alergi terhadap obat anestesi local dapat
dilakukan test sensitivitas pada kulit, tetapi jarang dilakukan.22,23
b. Toksisitas sistemik
Kerja obat lokal anestesi adalah menghambat konduksi pada saraf
perifer. Bila konsentrasi obat lokal anestesi cukup tinggi dalam plasma
dapat mempengaruhi eksitabilitas membran sel lain seperti jantung dan
otak. Anestesi epidural biasanya tidak mengakibatkan konsentrasi obat
anestesi lokal meningkat diatas nilai ambang toksisitas, tetapi bila bila
tanpa disengaja obat lokal anestesi masuk kedalam pembuluh darah
menyebabkan efek sistemik dan intoksikasi terhadap otak serta
jantung.22
2.4.5 Hematom Epidural
Sangat jarang terjadi, kecuali epidural dilakukan pada penderita yang
mendapat terapi anti koagulan. Sampai saat ini masih menjadi perdebatan diantara
ahli mengenai keamanan tindakan anestesi epidural pada penderita yang sedang
mendapat terapi anti agragrasi trombosit missal aspirin atau persantin, meskipun
belum pernah dijumpai terjadinya hematom epidural pada penderita yang sedang
mendapat terapi antikoagulan yang dilakukan anestesi epidural. 1,4 Pemasangan
kateter epidural pada Pain Control Analgesia sebaiknya dilakukan sebelum
pemberian heparin dan pencabutan kateter dilakukan setelah efek heparin
terkontrol.2,4
2.4.6 Komplikasi Neurologis

Komplikasi neurologis pada anestesi epidural sangat jarang terjadi,


kemungkinannya adalah kompresi pada korda spinalis akibat sekunder hematom
epidural, ischemia korda spinalis, meningitis, araknoiditis, syndrom kauda ekuina.
Selain trauma langsung berupa tertusuknya akar serabut saraf, korda spinalis atau
medulla spinalis oleh jarum epidural atau kateter epidural, penyuntikan obat
anestesi sendiri dapat menyebabkan trauma. Insersi jarum epidural dibawah L 1-L2
dapat mengurangi resiko atau mencegah terjadinya trauma.1,2,4
2.4.7 Menggigil
Kejadian pada penderita dengan anestesi epidural 20 50%. Dengan
menggigil akan meningkatkan konsumsi O2, peningkatan kerja jantung dan
penurunuan PO2.23 Pemberian meperidin 25 50 mg IV atau melalui kateter
epidural biasanya menghasilkan efek yang memuaskan. Diduga narkotik bekerja
pada pusat termoregulator atau efeknya terhadap vasoaktif perifer yang
menghasilkan redistribusi suhu tubuh.1,2
2.4.8. Nyeri Punggung ( Low Back Pain )
Nyeri punggung disebabkan oleh karena teregangnya otot atau
ligamentum. Faktor yang berpengaruh pada terjadinya nyeri punggung adalah :
tempat tidur penderita, meja operasi yang kurang baik, trauma waktu penderita
dipindah dari meja operasi dan adanya riwayat nyeri punggung sebelum operasi.23
2.4.9. Retensi Urin
Retensi urin oleh karena terjadi blok pada S2 S4 terjadi penurunan tonus
kandung kencing serta hilangnya reflek pengosongan kandung kencing.
Menyebabkan peregangan kandung kencing akan menimbulkan perubahan
hemodinamik.21

You might also like