You are on page 1of 28

KORELASI ANTARA KADAR IgA SALIVA DENGAN

LAJU ALIRAN SALIVA PADA PASIEN HIV/AIDS

Oleh :

Drg. IRNA SUFIAWATI, Sp.PM

NIP. 132206501

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2008
ABSTRAK

Latar belakang: Kelainan kelenjar saliva merupakan salah satu manifestasi oral dari
infeksi HIV, yang dapat mempengaruhi kualitas dan kuantitas saliva yaitu komposisi dan
sekresi saliva. Sekresi antibodi, khususnya IgA saliva, merupakan indikator fungsi imun
mukosa mulut yang berperan sebagai pertahanan utama terhadap patogen yang
berkolonisasi dan menginvasi permukaan mukosa di dalam rongga mulut. Oleh karena itu,
jika terjadi perubahan sistem imun ini, maka akan mempengaruhi integritas kesehatan gigi
dan mulut.
Tujuan: Untuk mengetahui korelasi antara kadar IgA saliva dengan laju aliran saliva pada
pasien yang terinfeksi HIV di Rumah Sakit Cipto Mangunkusomo Jakarta.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan desain potong lintang.
Saliva keseluruhan dengan stimulasi paraffin-wax dikumpulkan dari 103 pasien HIV/AIDS
dan 30 individu individu sehat. Saliva dikumpulkan dengan menggunakan metode spitting.
Kadar IgA saliva ditentukan dengan metode imunoturbidimetri menggunakan alat
turbitimer produk Behring.
Hasil: Kadar IgA saliva adalah 141,55 ± 83,23 (kelompok HIV) dan 97,24 ± 38,25
(individu sehat). Hasil uji Mann-Whitney U menunjukkan bahwa kadar IgA saliva pada
pasien HIV/AIDS tersebut lebih tinggi daripada nilai rujukan (p<0,1). Hasil Uji Korelasi
Spearman menunjukkan hubungan yang bermakna antara kadar IgA saliva dengan laju
aliran saliva (p < 0,0001 dan r = -0,552).
Kesimpulan: Penelitian ini membuktikan terdapat korelasi yang kuat dan bermakna antara
kadar IgA saliva dengan laju aliran saliva pada subyek HIV/AIDS.

Kata kunci: IgA saliva, laju aliran saliva, HIV/AIDS.


ABSTRACT

Background: Salivary gland disesase id a common oral manifestation of HIV infection that
can affect quality and quantity of saliva such as saliva composition and secretion. Antibody
secretion, especially salivary immunoglobulin A (IgA), is a useful indicator of mucosal
immune function. This immune system component is recognized as an important first-line of
defense against pathogens which colonize and invade mucosal surfaces in the oral cavity.
Objectives: The purpose of this study was to investigate salivary IgA levels and to
determine its correlation with salivary flow rates among HIV-infected Patients in Pokdisus
AIDS Cipto Mangunkusomo Hospital Jakarta.
Methods: The design study was using a cross-sectional study. Whole paraffin-wax-
stimulated saliva was collected from 103 HIV-infected patients and 30 healthy individuals.
Saliva was collected using the spitting method. Salivary IgA levels were determined by the
immunoturbidimetry method using the Behring Turbitimer Analyser.
Results : Salivary IgA levels were 141.55 ± 83.23 (HIV group) and 97.24 ± 38.25 (healthy
individuals). The Mann-Whitney U test showed salivary IgA levels were significantly higher
in HIV/AIDS subjects compared with healthy individuals (p<0.1). Spearman's correlation
test between salivary IgA levels and salivary flow rates showed an inverse correlation (p <
0,0001 and r = -0,552).
Conclusion: This study indicates that total salivary IgA levels were significantly related to
salivary flow rates among HIV/AIDS subjects in Cipto Mangunkusumo Hospital .

Key words: Salivary IgA, salivary flow rates, HIV infection.


KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim.
Alhamdulillahirrobbil’alamiin, segala puji syukur saya panjatkan ke hadirat Allah
SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahNya. Berkat ridha-Nyalah saya dapat
menyelesaikan makalah ini yang merupakan hasil penelitian yang berjudul “Korelasi antara
Kadar IgA saliva dengan Laju Aliran Saliva pada Pasien HIV/AIDS”
Penulis banyak mendapat kesulitan dalam melaksanakan penelitian ini, namun
berkat bimbingan dan arahan berbagai pihak maka penulis dapat menyelesaikannya. Oleh
karena itu dengan segenap ketulusan hati perkenankanlah saya menyampaikan rasa
terimakasih yang setulus-tulusnya dan perhargaan kepada:
1. Dr. drg. Harum Sasanti, Sp.PM
2. Prof. Dr. dr. Samsuridjal Djauzi,
3. Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Unpad
4. Kepala Bagian Ilmu Penyakit Mulut FKG Unpad
5. Staf Akademik Bagian Ilmu Penyakit Mulut FKG Unpad
6. Semua pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini.
Semoga Allah SWT senantiasa memberikan limpahan berkat dan rahmatNya. Amin.
Untuk penyempurnaan makalah ini penulis selalu menerima kritik dan saran dengan
tangan terbuka. Akhir kata semoga makalah ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu
kedokteran gigi dan bagi para pembaca.

Bandung, Juni 2007

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK I

ABSTRACT Ii

KATA PENGANTAR Iii

DAFTAR ISI Iv

Bab 1. PENDAHULUAN 1

Bab 2. TINJAUAN PUSTAKA 3

Bab 3. METODA PENELITIAN 7

Bab 4. HASIL PENELITIAN 10

Bab 5. PEMBAHASAN 13

Bab 6. KESIMPULAN DAN SARAN 19

DAFTAR PUSTAKA 20
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Hipofungsi kelenjar saliva merupakan salah satu manifestasi oral terkait HIV, yang
dapat mempengaruhi kualitas dan kuantitas saliva yaitu komposisi dan sekresi saliva.1
Komponen saliva terdiri dari beberapa macam elektrolit seperti kalsium, bikarbonat, fosfat
dan magnesium. Selain itu saliva mengandung komponen protein atau organik seperti
immunoglobulin, enzim, musin, serta produk yang mengandung nitrogen seperti ammonia
dan urea.2 Fungsi saliva adalah lubrikasi dan proteksi, buffering action dan clearance,
perlindungan integritas gigi, antibakteri, serta berperan dalam proses pengecapan dan
pencernaan. Dengan demikian bila terjadi perubahan kualitas dan kuantitas saliva, maka
akan mempengaruhi integritas kesehatan gigi dan mulut.2 Salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi komposisi saliva adalah laju aliran saliva. Sekresi saliva yang menurun juga
akan menyebabkan mulut terasa kering, sukar bicara, mengunyah dan menelan. Penurunan
sekresi saliva dapat diatasi dengan bahan perangsang produksi saliva atau saliva pengganti.3
Berbagai studi melaporkan prevalensi kelainan kelenjar saliva pada pasien
HIV/AIDS, antara lain Navazesh M. et al (2003) melaporkan prevalensi hipofungsi kelenjar
saliva dan xerostomia secara signifikan lebih tinggi pada wanita HIV-positif dibanding
kelompok wanita HIV-negatif.4 Mulligan dkk (2000) juga menyatakan pasien HIV-positif
mempunyai kelainan kelenjar saliva yang lebih tinggi daripada kelompok HIV-negatif.3 Lin
dkk (2003) menyatakan bahwa kecepatan aliran saliva menurun pada tahap awal infeksi
HIV, dan tidak hanya fungsi sekresi kelenjar saliva yang menurun tetapi komposisi saliva
juga berubah.5 Grimoud (1998) melaporkan prevalensi lesi mukosa oral yang tinggi pada
pasien HIV positif dengan jumlah sel T CD4 yang rendah, ditemukan adanya hubungan
antara perbedaan kadar protein saliva dan kadar IgA, ada/tidaknya manifestasi oral, dan
parameter sistemik (CD4) penanda tingkat imunosupresi.6
Hasil berbagai studi juga menyatakan komposisi saliva pada kelompok HIV positif
berbeda dibanding individu sehat.20 Infeksi HIV mempunyai efek baik secara langsung
maupun tidak langsung pada imunitas mukosa oral antara lain Imunoglobulin A (IgA).7,8
Studi-studi terdahulu melaporkan adanya abnormalitas kadar IgA saliva pada pasien
HIV/AIDS.9,10 Immunoglobulin A mempunyai peran penting sebagai proteksi terhadap
mikroorganisme melalui berbagai mekanisme pada jaringan mukosa mulut, yaitu
membunuh secara langsung, aglutinasi, menghambat perlekatan dan penetrasi
mikroorganisme, inaktivasi enzim bakterial dan toksin, opsonisasi dan cell-mediated
killing.11-15
Berdasarkan informasi kepustakaan yang telah diuraikan, penulis tertarik untuk
melakukan penelitian mengenai komposisi saliva (khususnya IgA) dan hubungannya
dengan laju aliran saliva pada pasien HIV/AIDS. Jika terjadi penurunan laju aliran saliva
maka saliva tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik dimana jaringan rongga mulut
mudah mengalami ulserasi dan infeksi, sehingga timbul kelainan gigi dan mulut yang
selanjutnya akan mempengaruhi kualitas hidup penderita.

1.2 Tujuan dan Manfaat Penelitian


Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara kadar IgA saliva dengan
laju aliran saliva pada pasien HIV/AIDS di Pokdisus AIDS RSUPN-CM Jakarta.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi dan pemahaman mengenai
salah satu manifestasi oral dari infeksi HIV, khususnya hipofungsi kelenjar
saliva/serostomia dengan melihat aspek imunologinya. Akhirnya diharapkan dapat
mencegah timbulnya kelainan tersebut sebagai upaya meningkatkan kualitas hidup pasien
HIV/AIDS melalui peningkatan kondisi kesehatan gigi dan mulutnya.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Saliva dan Infeksi HIV


Saliva adalah sekresi eksokrin mukoserous berwarna bening dengan sifat sedikit
asam yang dihasilkan dan disekresikan oleh tiga pasang kelenjar besar saliva yaitu kelenjar
parotis, submandibularis, dan sublingualis, serta beberapa kelenjar saliva kecil.2 Komposisi
saliva terdiri dari komponen-komponen anorganik dan (bio)organik. Komponen anorganik
terutama adalah elektrolit dalam bentuk ion, seperti Na+, K+, CA2+, Mg2+, CL-, HCO3- dan
fosfat. Komponen (bio)organik terutama adalah protein dan musin, disamping itu terdapat
komponen lain seperti lipida, asam lemak, glukosa, ureum dan amoniak.2,16 Protein yang
secara kuantitatif penting adalah α-amilase, protein kaya-prolin, musin dan
immunoglobulin.2,17 Saliva sangat penting berperan dalam mempertahankan kesehatan gigi
dan mulut.16,18 Fungsi saliva adalah lubrikasi dan proteksi, buffering action dan clearance,
perlindungan integritas gigi, antibakteri, serta berperan dalam proses pengecapan dan
pencernaan.2,16,18
Bila ditinjau dari sudut patologi mulut, maka saliva sangat penting terkait dengan
proses biologis yang terjadi di dalam rongga mulut. Bila terjadi perubahan kualitas maupun
kuantitas saliva, maka akan mempengaruhi integritas kesehatan gigi dan mulut. Rongga
mulut berisi bakteri patogen yang dengan mudah dapat merusak jaringan dan menimbulkan
berbagai penyakit gigi dan mulut.3 Saliva membantu mencegah proses kerusakan jaringan
melalui tiga cara. Pertama, aliran saliva membantu membuang bakteri patogen juga partikel
makanan yang memberi dukungan metabolik bagi bakteri. Kedua, saliva mengandung
faktor yang menghancurkan bakteri, misalnya enzim proteolitik terutama lisozim. Ketiga,
saliva mengandung sejumlah besar antibodi protein yang dapat menghancurkan bakteri
rongga mulut. Oleh karena itu pada keadaan hipofungsi kelenjar saliva, jaringan rongga
mulut mudah mengalami ulserasi dan infeksi, sehingga timbul kelainan gigi dan mulut yang
selanjutnya akan mempengaruhi kualitas hidup penderita.2
Hipofungsi kelenjar saliva (berkurangnya sekresi saliva secara objektif) dan
serostomia (keluhan mulut kering secara subjektif) sering dikaitkan dengan infeksi HIV.19
Berbagai studi baik longitudinal maupun potong lintang telah melaporkan pengaruh infeksi
HIV terhadap fungsi kelenjar saliva berhubungan dengan progresi penyakitnya.
Penggunaan obat-obatan anti retrovirus dapat mempengaruhi laju aliran saliva, sehingga
dapat mempengaruhi komposisi saliva yang dapat memicu perkembangan manifestasi oral
dari infeksi HIV/AIDS.19,20 Obat-obatan antiretrovirus tersebut antara lain didanosine dan
protease inhibitor.20,21 Disamping itu serostomia dapat terjadi akibat proliferasi dari sel
CD8+ pada kelenjar saliva mayor.21
Challacombe & Naglik (2006) menegaskan bahwa infeksi HIV mempunyai efek
baik secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi imunitas mukosa oral pada
saliva,8 dimana HIV menginduksi perubahan sel epitel oral, bersama-sama dengan
kegagalan limfosit CD4 mukosa dan perubahan sekresi sitokin, dapat menyebabkan
berkembangnya infeksi sekunder pada mukosa oral.7

2.3 Immunoglobulin A (IgA) dan Infeksi HIV


Immunoglobulin A pada manusia hanya sekitar 13% (2,1 mg/ml) dari seluruh
antibodi didalam serum manusia, tetapi dominan pada sekresi ekstravaskular.
Immunoglobulin A dalam bentuk secretory Immunoglobulin A (sIgA) adalah isotype
imunoglobulin utama yang ditemukan di saliva dan sekresi lainnya,22-24 (air mata, sekresi
nasal, mukus saluran pencernaan dan bronkial, dan sekresi kelenjar payudara).25
Pada manusia, terdapat 2 subklas IgA, IgA1 dan IgA2, yang hadir dalam jumlah
yang sama banyak di saliva dan sekresi lainnya. Rantai berat IgA1 dan IgA2 berbeda hanya
dalam hal 22 asam amino, terutama karena adanya penghilangan 13 asam amino pada
bagian hinge (pertemuan 2 rantai) IgA2; asam amino tersebut ada pada IgA1.14 Dua subklas
IgA (IgA1 dan IgA2) didistribusikan berlainan di dalam cairan tubuh,9 IgA1 predominan di
dalam serum, sedangkan IgA2 ditemukan dalam konsentrasi tinggi di dalam sekresi
eksternal termasuk saliva sampai mencapai 50%.26
IgA saliva dihasilkan oleh sel plasma yang terletak berdekatan dengan duktus dan
asini kelenjar saliva. Sel plasma yang mensekresi IgA mendominasi pada kelenjar saliva
mayor dan minor dibandingkan sel plasma yang menghasilkan isotipe Ig lainnya. Respon
Saliva IgA terhadap antigen oral dapat diinduksi oleh 2 mekanisme. Pertama, antigen oral
dapat menstimulasi proliferasi dan diferensiasi sel limfoid secara lokal di kelenjar saliva.
Kelenjar saliva mengandung jaringan limfoid yang terdiri dari makrofag, sel T, dan sel B,
yang dapat berkontak langsung dengan antigen oral. Antigen oral masuk ke duktus kelenjar
melalui flow retrogade alami dan masuk ke sel sistem imun dibawahnya melalui
endositosis pada epitel duktus. Antigen ditangkap oleh makrofag, dibawa ke sel T dan sel
B.14
Mekanisme kedua melibatkan migrasi antigen-sensitized IgA prekursor sel B dari
GALT (gut-associated lymphoid tissue) ke kelenjar saliva. GALT, termasuk beberapa
nodul limfoid soliter dan Peyer’s patches, adalah sumber yang kaya akan prekursor IgA sel
B yang memiliki potensi untuk mengumpulkan jaringan limfoid yang berjauhan. Folikula
limfoid ini ditutupi oleh epitel khusus yang dinamai follicle-associated epithelial cell (sel
FAE) atau sel microfold (sel M) yang mengambil dan mentransportasikan antigen dari
lumen intestinal kedalam jaringan limfoid dibawahnya. Setelah antigen dipresentasikan
oleh sel aksesori, maka sel B prekursor IgA dan sel T meninggalkan GALT lewat limfatik
eferen dan mencapai darah perifer melalui thoracic duct. Sel B dan T yang bersirkulasi
kemudian bermigrasi ke lamina propria intestinal, paru-paru, traktus genital, dan kelenjar
sekretorik dimana mereka akan dipertahankan secara selektif. Pada kelenjar mukosa dan
glandular tersebut sel B prekursor IgA akan berkembang dan menjadi IgA plasma dibawah
pengaruh sel T. Jalur distribusi sel dari jaringan induktif seperti GALT ke jaringan mukosa
dan glandular yang berjauhan disebut sebagai sistem imun mukosa umum.14
Imunoglobulin A berfungsi sebagai garis kedua pertahanan dengan cara
menghilangkan patogen yang telah memasuki permukaan mukosa. Immunoglobulin A
berperan sebagai proteksi terhadap mikroorganisme dan benda asing pada jaringan mukosa
mulut melalui berbagai mekanisme, yaitu Membunuh mikroorganisme secara langsung
(direct killing), aglutinasi, inhibisi perlekatan dan penetrasi mikroorganisme, inaktivasi
enzim bakteri dan toksin, netralisasi virus, aktivasi komplemen, fungsi IgA-dependent cell-
mediated.14
Infeksi HIV mempunyai efek baik secara langsung maupun tidak langsung pada
imunitas mukosa oral, termasuk IgA saliva.7,8 Hal ini dibuktikan oleh berbagai studi
terdahulu yang menyatakan adanya abnormalitas kadar IgA saliva pada pasien
HIV/AIDS.7,8,14,15 Sel T, makrofag dan sel dendritik di dalam mukosa merupakan pintu
masuk HIV. Transitosis HIV dapat terjadi dari permukaan mukosa ke submukosa, dan
menghambat imunoglobulin dan menetralisir IgA di dalam sel epitel.7
Challacombe (2006) menyatakan bahwa respon antibodi mukosa tampak normal pada
awal infeksi HIV tetapi menurun pada tahap AIDS.8 Sedangkan Grimoud (1998)
melaporkan terdapat peningkatan kadar IgA saliva yang signifikan pada pasien HIV dengan
CD4 <200.6 Studi-studi terdahulu mengenai kadar IgA saliva pada pasien HIV/AIDS
menunjukkan hasil studi yang kontradiktif. Hal ini juga disampaikan oleh Lin dkk (2003)
bahwa konsentrasi animikroba saliva mungkin dapat menurun, meningkat, atau tidak
berubah. Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh beberapa faktor seperti perbedaan desain
penelitian, tahapan infeksi HIV pada subyek penelitian, jumlah subyek yang dievaluasi,
serta metode pengambilan dan analisis saliva.19
BAB 3
METODE PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian


Penelitian analitik observasional potong lintang (cross sectional study).

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian bertempat di Klinik Pokdisus AIDS FK UI RSUPN-CM Jakarta dan
Klinik Penyakit Mulut FKG UI Jakarta. Waktu penelitian dilakukan mulai tanggal 12
Desember sampai dengan 3 Maret 2007, mulai pukul 08.00 sampai dengan 14.00.

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian


Populasi penelitian adalah pasien HIV/AIDS yang berobat ke Pokdisus AIDS FK
UI Jakarta pada saat dilakukan penelitian. Penegakkan diagnosis HIV positif ditetapkan
oleh Departemen Ilmu Penyakit Dalam. Untuk mengetahui nilai rujukan status IgA saliva
pada penelitian ini, dilakukan pemeriksaan saliva pada 30 orang mahasiswa FKG UI tanpa
kelainan gigi-mulut dan kelainan sistemik, dengan kisaran usia mendekati usia subyek
penelitian.
Subyek penelitian adalah pasien HIV/AIDS yang sesuai dengan kriteria inklusi
penelitian yang diperlukan. Sampel diambil dengan cara consecutive sampling. Setiap
pasien yang memenuhi kriteria pemilihan (kriteria inklusi dan eksklusi) dalam kurun waktu
tertentu, hingga jumlah pasien yang diperlukan memenuhi syarat jumlah minimal sampel.

4.4 Kriteria pemilihan subyek penelitian :


Kriteria inklusi meliputi pria dan wanita, usia > 14 tahun, bersedia berpartisipasi
(menjadi subyek) dalam penelitian dengan menandatangani informed consent.
Kriteria eksklusi meliputi kesadaran pasien menurun sehingga tidak memungkinkan
untuk dilakukan pemeriksaan klinis, pasien tidak komunikatif dan tidak dapat bekerja sama
menurut peneliti, menolak ikut serta dalam penelitian.
4.5 Besar sampel
Jumlah sample dihitung dengan menggunakan rumus sample tunggal untuk estimasi
proporsi suatu populasi, dengan menggunakan ketepatan absolut :
n = Zα 2PQ
d2
Dengan nilai P (proporsi penyakit atau keadaan yang dicari) = 0,50 (didapatkan dari
pustaka), tingkat kepercayaan 95% (Zα = 1,960), Q = (1-P), d (tingkat ketepatan absolut
yang dikehendaki) = 0,10. Besar sampel untuk penelitian ini ditetapkan sebanyak minimal
97 orang.

4.6 Identifikasi Variavel dan Definisi Operasional Penelitian


Tabel 4.1 Identifikasi variabel, definisi operasional penelitian, dan skala pengukuran.
Variabel Nama Definisi Operasional Skala Skor/nilai
Variabel bebas:
1. Kadar IgA saliva IgA Merupakan kadar IgA (mg) yang Interval Kriteria IgA saliva :
terdapat di dalam tiap desiliter (dl) Skor 1 : dibawah nilai rujukan
saliva keseluruhan (whole saliva). Skor 2 : sesuai nilai rujukan
Skor 3 : diatas nilai rujukan

2. Laju aliran SFR Adalah kecepatan aliran saliva Ordinal Kriteria SFR:
saliva (salivary yang dinyatakan dalam ml/menit. Skor 1 : hiposalivasi (<0,7 ml/mnt)
flow rate) Pengukuran meliputi saliva Skor 2 : rendah ( 0,7-<1ml/mnt)
keseluruhan dengan stimulasi Skor 3 : normal (1-3 ml/mnt)
(stimulated salivary flow rate). Skor 4 : tinggi (> 3 ml/mnt)

4.7 Cara Kerja


4.7.4 Data riwayat medis.
Diperoleh dari data rekam medik poliklinik Pokdisus AIDS FKUI, kemudian
dikonfirmasikan kembali oleh peneliti dengan wawancara langsung kepada subyek
penelitian atau keluarganya. Wawancara dilakukan di ruang periksa pasien poliklinik
Pokdisus AIDS FKUI sebelum pemeriksaan klinis dimulai.

4.7.6 Pengambilan sampel saliva dan pengukuran laju aliran saliva.


Pengumpulan saliva menggunakan metode spitting (metode standar dari Navazesh
1993).106,107 Sebelum dan selama pengumpulan saliva, subyek penelitian tidak
diperkenankan makan, minum maupun membersihkan rongga mulutnya, selama
kurun waktu 90 menit sebelum pengumpulan saliva. Selama pengumpulan saliva,
subyek tidak diperkenankan bicara, menggerakan lidah, atau melakukan gerakan
penelanan. Subyek duduk nyaman dengan sandaran tegak, kepala ditundukkan dan
tangan kanan memegang tabung penampung saliva. Saliva yang dikumpulkan adalah
saliva keseluruhan dengan stimulasi. Pengumpulan saliva dilakukan selama 5 menit,
didahului dengan stimulasi paravin wax. Subyek diinstruksikan untuk mengunyah
paravin wax, kemudian setiap interval 1 menit subyek diminta untuk mengeluarkan
saliva yang terkumpul dalam mulut ke dalam tabung pengukur melalui corong gelas.
Laju aliran saliva dengan stimulasi ditentukan. Saliva segera disimpan ke dalam
termos es, kemudian disimpan pada lemari pendingin dengan suhu -700C untuk
dilakukan pengukuran kadar IgA.106

4.7.9 Data status IgA saliva.


Pemeriksaan saliva untuk mengukur kadar IgA dan pengambilan data dilakukan di
laboratorium Multilab Jakarta. Cara pengukuran kadar IgA dengan turbitimer meliputi
:
Saliva di-centrifuge 10’/3000 RPM

Supernatan diambil dan dipisahkan

Dilakukan analisa dengan alat turbitimer


Ambil 50 mikro supernatant
Tambahkan 500 mikro reagent IgA
Catat hasil yang keluar

Gambar 4.1 Tahapan pengukuran kadar IgA saliva.

4.10 Masalah Etika


Permohonan izin penelitian (ethical clearence) telah diberikan oleh Komisi Etik
Penelitian Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia. Subyek penelitian dimotivasi
untuk ikut bersedia dalam penelitian secara sukarela, dengan menjelaskan tujuan, manfaat
maupun ketidaknyamanan yang mungkin akan dirasakan. Bila subyek bersedia mengikuti
penelitian tanpa paksaan maka selanjutnya diberikan informed consent untuk
ditandatangani, dan subyek penelitian berhak menolak dan mengundurkan diri selama
penelitian.
BAB 5

HASIL PENELITIAN

5.1 Bagian Deskriptif.


5.1.1 Karateristik subyek penelitian
Karateristik dari 103 subyek penelitian meliputi usia, jenis kelamin, latar belakang
pendidikan, serta pemberian antri retrovirus terapi, seperti terlihat pada tabel 5.1 di bawah
ini.

Tabel 5.1 Karaterisitk subyek penelitian (n=103).


Karateristik Jumlah Pesentase (%)
Usia
20-29 tahun 71 68,93
30-39 tahun 29 28.15
40-49 tahun 3 2.92
Rata-rata usia 28,19 + 4,89
Rentang usia 20-46
Jenis Kelamin
Laki-laki 89 86.41
Perempuan 14 13.59
Pendidikan
SD 1 0.97
SMP/sederajat 7 6.80
SMU/sederajat 70 67.96
Perguruan Tinggi 25 24.27
Terapi Anti Retrovirus
ARV 82 79.61
Non ARV 21 20.39

Hasil penelitian menunjukkan usia subyek penelitian berkisar antara 20 tahun sampai
dengan 46 tahun, dengan usia rata-rata 28,19 + 4,89. Jumlah terbanyak terdapat pada
kelompok usia 20-39 tahun yaitu sebesar 61 (59,22%) subyek, dan jenis kelamin terbanyak
adalah laki-laki sebanyak 89 (86,41%) subyek. Berdasarkan tingkat pendidikan formal,
jumlah terbanyak sebesar 70 (67,96%) subyek berpendidikan SMA atau sederajat. Sebagian
besar yaitu 82 (79.61%) subyek telah diberikan terapi ARV, sedangkan 21 (21,36%)
subyek lainnya belum memakai ARV.
5.1.2 Kadar IgA saliva
Sebelum menentukan kadar IgA saliva pada pasien HIV/AIDS, ditentukan terlebih
dahulu nilai rujukan yang didapatkan dari 30 orang mahasiswa (tabel 5.2).

Tabel 5.2 Nilai rujukan kadar IgA saliva (n = 30)


Jenis Kelamin Kadar IgA
Laki-laki 96,30 + 38,47
Perempuan 97,96 + 39,25

Hasil uji perbedaan mean Mann-Whitney pada nilai rujukan kadar IgA saliva menunjukkan
p=0,851. Dengan demikian tidak terdapat perbedaan bermakan antara nilai rujukan IgA
saliva pada laki-laki dan perempuan.
Kriteria dari nilai status IgA saliva pada pasien HIV/AIDS dapat dilihat pada tabel
5.3.

Tabel 5.3 Kadar IgA saliva pada pasien HIV/AIDS (n = 103)


Jenis Kelamin Status IgA saliva
< Nilai rujukan Sesuai nilai rujukan > nilai rujukan
Laki-laki 13 (14,60 %) 35 (39,33 %) 41 (46,07 %)
Perempuan 1 (7,14 %) 7 (50,00 %) 6 (42,86 %)
Jumlah 14 (13,59 %) 42 (40,78 %) 47 (45,63 %)

Tabel di atas menunjukkan bahwa sebagian besar yaitu 47 (45,63%) subyek penelitian
memiliki status IgA saliva lebih tinggi dari kisaran nilai rujukan, disusul oleh 42 (40,78%)
subyek dengan status IgA saliva berada dalam kisaran nilai rujukan, dan 14 (13,59%)
subyek penelitian memperlihatkan status IgA yang lebih rendah dari kisaran nilai rujukan.
Bila dilihat berdasarkan jenis kelamin, sebagian besar yaitu 47 (45,63%) subyek
memiliki status IgA saliva lebih tinggi dari nilai rujukan, 42 (40,78%) subyek masih dalam
kisaran nilai rujukan, dan 14 (13,59%) subyek memiliki status IgA saliva lebih rendah dari
nilai rujukan. Setelah menggunakan analisis Mann-Whitney, tidak didapatkan perbedaan
proporsi yang bermakna antara kadar IgA saliva pada pasien HIV/AIDS laki-laki dan
perempuan (p=0,965).

5.1.3 Laju aliran saliva/Salivary Flow Rate (SFR)


Pengukuran laju aliran saliva keseluruhan dengan stimulasi dilakukan dengan
menggunakan stimulasi mekanik yaitu paraffin wax, hasilnya seperti terlihat pada tabel 5.4.
Tabel 5.4 Distribusi frekuensi laju aliran saliva keseluruhan (n=103).
SFR (ml/menit) Jumlah Persentase (%)
Hiposalivasi 7 6,80
Rendah 14 13.59
Normal 69 66,99
Tinggi 13 12.62
Rata-rata 1,82 + 0,98
Rentang SFR = 0,3 – 4,6ml/menit

Rata-rata laju aliran saliva dengan stimulasi dijumpai masih berada pada kisaran
normal. Pengukuran laju aliran saliva keseluruhan dengan stimulasi menunjukkan nilai
rata-rata sebesar 1,82 + 0,98 ml/menit, dengan rentang 0,3 sampai 4,6 ml/menit. Sebagian
besar yaitu 69 (66,99%) subyek mempunyai laju aliran saliva keseluruhan dengan stimulasi
yang masih termasuk dalam kategori normal, sedangkan 7 (6,80 %) subyek mengalami
hiposalivasi dan 14 (13,59 %) subyek dijumpai laju aliran saliva yang rendah. Disamping
itu sebanyak 13 (12,62%) subyek dijumpai laju aliran saliva yang tinggi.

5.2 Bagian Analitik


Setelah dilakukan uji korelasi Spearman untuk melihat ada/tidaknya pengaruh
perubahan laju aliran saliva terhadap kadar IgA saliva, maka didapatkan p< 0,0001, r = -
0,552. Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat korelasi negatif yang kuat dan bermakna,
dimana semakin tinggi laju aliran saliva semakin rendah kadar IgA saliva (gambar 5.1).

5.00

4.00
SFR (ml/mnt)

3.00

2.00

1.00

0.00

0 100 200 300 400

IgA (mg/dl)

Uji Korelasi Spearman p < 0,0001 dan r = -0,552


Gambar 5.1 Korelasi antara kadar IgA saliva dan SFR.
BAB 6
PEMBAHASAN

Penelitian ini adalah penelitian epidemiologi klinis dan laboratoris dengan desain
potong lintang yang dilakukan untuk melihat ada/tidaknya perubahan sistem imun mukosa
mulut (terbatas pada kadar IgA saliva) dikaitkan dengan laju aliran saliva pada pasien
HIV/AIDS.
Pada penelitian ini, subyek penelitian sebagian besar ditemukan pada kelompok usia
20-29 tahun (68,93 %). Data tersebut sesuai dengan data statistik kasus HIV/AIDS di
Indonesia terbaru berdasarkan laporan Dirjen PPM dan PL Depkes RI, dimana populasi
terbesar kasus AIDS dijumpai pada kisaran usia 20-29 tahun (4884 dari 8988 orang). Hal
ini mungkin terkait dengan transmisi (mode of transmission) HIV, dimana intravena drug
users (IDU) pada kelompok usia tersebut merupakan faktor risiko terbanyak dibanding
faktor risiko lainnya seperti heteroseksual, homo-biseksual, transfusi darah, dan faktor
lainnya. Dahulu, kasus HIV/AIDS banyak terkait dengan perilaku bebas seksual, tetapi
akhir-akhir ini kasus HIV/AIDS banyak terjadi berkaitan dengan narkoba yang korbannya
kebanyakan anak muda dengan rentang usia seperti pada penelitian ini.27
Hasil penelitian ini menunjukkan subyek laki-laki (87.37 %) jauh lebih banyak
daripada perempuan (12.63 %). Dilihat secara global dari rasio jenis kelamin, kasus
HIV/AIDS di Indonesia menunjukkan bahwa dari 8988 kasus AIDS dijumpai laki-laki
(7207 orang) lebih banyak daripada perempuan (1720 orang). Selain penggunaan jarum
suntik bergantian di kalangan IDU, penularan HIV akibat hubungan seks bebas merupakan
penyebab utama kenaikan angka penderita HIV/AIDS adalah laki-laki.27
Berdasarkan tingkat pendidikan formal, data penelitian menunjukkan segmentasi
subyek penelitian sebagian besar adalah berpendidikan cukup tinggi yaitu 67,96 % subyek
berpendidikan Sekolah Menengah Atas dan 24,27 % subyek berpendidikan sampai jenjang
Perguruan Tinggi. Data penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan yang tinggi
pada pasien HIV/AIDS, tidak berarti bahwa mereka mempunyai cukup pengetahuan
tentang cara penularan dan penanggulangan HIV/AIDS. Walaupun tingkat pendidikan akan
mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang dalam pergaulan atau melakukan hubungan
seksual, tetapi tanpa pengetahuan yang cukup tentang infeksi HIV maka transmisi HIV
tidak dapat dicegah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar yaitu 78.64 % subyek telah
diberikan terapi ARV. Penggunaan ARV di Indonesia semakin meningkat setelah tersedia
obat generik yang semakin terjangkau harganya. Penggunaan ARV paten di Indonesia
sudah mulai sejak tahun 1990, tetapi kemudian sejak Nopember 2001 masyarakat Indonesia
mulai mendapatkan ARV generik. Tetapi untuk memulai/memilih terapi ARV terdapat
beberapa faktor yang menentukan. Menurut pedoman WHO, untuk negara yang
mempunyai sumber daya terbatas (negara berkembang) dianjurkan ARV digunakan pada
pasien HIV yang sudah ada gejala atau jika belum ada gejala dengan jumlah sel T CD4 <
200 sel/mm3. Kebijakan ini diambil dengan pertimbangan manfaat dan biaya. Tetapi
indikasi ARV perorangan dapat digunakan lebih dini, yaitu jika viral load >55.000 meski
jumlah sel T CD4 masih tinggi telah boleh menggunakan ARV.28 Data penelitian
menunjukkan sebagian besar (71,85%) subyek mempunyai jumlah sel T CD4 < 200
sell/mm3, oleh karena itu mereka sudah mendapat terapi ARV.
Subyek penelitian yang belum mendapat terapi ARV dijumpai sebanyak 21.36 %.
Berdasarkan diskusi secara pribadi dengan pengelola (para praktisi) di Pokdisus, hal ini
mungkin disebabkan oleh adanya beberapa pertimbangan. Faktor-faktor yang menentukan
dalam pemberian terapi ARV selain status imunologi pasien, juga dipertimbangkan
kemampuan dan motivasi pasien untuk memulai terapi, efektivitas dari kombinasi obat,
toksisitas obat, dosis dan waktu penggunaan obat, resistensi obat, dan interaksi obat-obatan.
Beberapa laporan penelitian di Pokdisus, menunjukkan berbagai efek samping yang terjadi
selama terapi ARV, antara lain anemia, alergi, dan neuropati perifer.29
Dalam terapi ARV, kepatuhan berobat merupakan kunci suksesnya suatu terapi.
Kepatuhan berobat adalah kemampuan pasien untuk melakukan pengobatan sesuai
petunjuk medik, yang menentukan efektivitas suatu pengobatan. Bagi pasien, ketidak
patuhan berobat mengakibatkan kegagalan ARV melawan virus, sehingga virus resisten
dan terjadi kegagalan imunologik dan keadaan klinis memburuk. Dari sudut pandang
ekonomi kesehatan, ketidak patuhan berobat meningkatkan biaya berobat dengan mahalnya
harga obat pengganti dan lamanya perawatan di rumah sakit atau hospitalisasi.28
Kadar IgA saliva pasien HIV/AIDS pada penelitian ini menunjukkan sebagian besar
subyek didapatkan lebih tinggi dari nilai rujukan. Tidak ada perbedaan proporsi yang
signifikan antara laki-laki dan perempuan. Hasil penelitian ini sesuai dengan beberapa
penelitian terdahulu. Coogan dkk (1994) dan Lin AL dkk (2003), menyatakan adanya
peningkatan konsentrasi IgA saliva yang signifikan pada pasien HIV.11,19 Mellanen dkk
(2001) juga melaporkan bahwa kadar IgA saliva secara signifikan lebih tinggi pada semua
fase dari infeksi HIV, kecuali fase asimtomatik.30 Literatur menyebutkan bahwa
peningkatan kadar IgA pada pasien terinfeksi HIV menggambarkan adanya aktivasi
poliklonal sel B yang terlihat pada tahap awal infeksi HIV.31 Meningkatnya muatan
antigenik juga dapat menginduksi peningkatan kadar IgA saliva.12 Antibodi pada saliva
dapat diinduksi oleh stimulasi dari jaringan limfoid intestinal oleh masuknya (ingestion)
antigen. Hal ini dapat menyebabkan pelepasan IgA prekursor sel plasma dari Peyer’s
patches yang bermigrasi melalui jaringan vaskular ke jaringan mukosa seperti kelenjar
saliva.11 Secara teoritis, setidaknya implikasi dari tingginya konsentrasi IgA saliva adalah
perannya dalam mekanisme pertahanan membran mukosa oral.32
Disamping itu, data penelitian juga menunjukkan 13,59 % subyek yang mempunyai
kadar IgA saliva dibawah nilai rujukan. Hasil penelitian Sistig dkk (2003) dan Sweet dkk
(1995) menunjukkan bahwa kadar IgA pada pasien HIV/AIDS lebih rendah dibandingkan
dengan kelompok HIV negatif.9,33 Lu dan Jacobson (2007) juga menyebutkan bahwa pada
tahap awal infeksi HIV, fungsi imun humoral dan selular pada mukosa oral dapat
dipertahankan, tetapi respon imun tersebut terganggu akibat dari infeksi HIV yang kronis.34
Tahapan klinis infeksi HIV dimana imunitas mukosa oral mengalami kegagalan (menurun)
adalah ketika terjadi infeksi oportunistik (progresi klinis pada tahap IV dari penyakit ini,
yang disebut AIDS).34 Challacombe & Sweet (2002) juga melaporkan konsentrasi IgA
saliva keseluruhan lebih rendah baik pada pasien HIV maupun AIDS, dan lebih nyata
terlihat pada tahap lanjut dari infeksi HIV.7 Penurunan kadar IgA saliva pada pasien HIV
menggambarkan terjadinya penurunan sistem imun (imunosupresi) yang semakin nyata.8
Perubahan kadar IgA saliva pada pasien HIV/AIDS yang kontradiktif pada berbagai
hasil penelitian ini mungkin disebabkan oleh beberapa faktor seperti perbedaan tehnik
pengambilan saliva, variasi waktu saat pengambilan saliva, perbedaan jenis kelenjar pada
pengambilan saliva, laju aliran saliva, tahapan infeksi HIV populasi penelitian, jumlah
subyek studi yang kecil, dan/atau berbagai obat-obatan yang digunakan subyek.35 Selain itu
perubahan kadar IgA saliva juga dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor lain, seperti usia,
jenis kelamin, faktor hormonal, dan ras/latar belakang genetik, status emosional, faktor
sosial ekonomi, aktivitas fisik, status nutrisi, dan gaya hidup (kebiasaan merokok).14
Pada studi-studi terdahulu, berbagai metode pengumpulan saliva digunakan untuk
melihat kadar IgA saliva pada pasien HIV positif. Myent dkk (1997) dan Lin dkk (2001)
menggunakan saliva dengan stimulasi, sedangkan Sweet (1995) dkk dan Grimoud dkk
(1998) menggunakan saliva tanpa stimulasi.6,33,35 Selain itu jenis kelenjar saliva yang
digunakan sebagai sumber pengambilan saliva juga bervariasi. Smith (1991) melaporkan
distribusi imunoglobulin saliva pada kelenjar saliva minor berbeda secara signifikan dari
kelenjar saliva mayor.36 Kelenjar mayor parotis merupakan sumber utama dari IgA, tetapi
kelenjar saliva minor juga ikut berperan penting karena mempunyai sel yang memproduksi
IgA yang lebih padat daripada kelenjar parotis dan kelenjar submandibula. Dapat
disimpulkan bahwa kelenjar saliva minor juga merupakan sumber utama dari IgA saliva.35
Lu dan Jacobson (2007) menyatakan IgA predominan di dalam saliva keseluruhan dan
kelenjar parotis.34 Oleh karena itu beberapa studi menggunakan saliva keseluruhan untuk
melihat kadar IgA saliva.
Pengambilan saliva dilakukan dengan menggunakan stimulasi mekanik yaitu paraffin
wax, yang umum digunakan pada berbagai penelitian.17 Pemilihan tehnik stimulasi ini
untuk meminimalkan terjadinya bias. Stimulasi kimiawi dengan asam sitrat perlu
pengaplikasian beberapa kali yang dapat menginterupsi laju aliran saliva sehingga tidak
konstan. Keuntungan menggunakan paraffin wax adalah stimulasi tersebut bersifat inert,
tidak mempunyai rasa dan tidak merubah komposisi saliva.17 Pengambilan saliva
berlangsung antara pukul 08.00-11.00. Hal ini mempertimbangkan kemungkinan efek ritme
biologis mempengaruhi hasil pengukuran laju aliran saliva keseluruhan dengan stimulasi.35
Laju aliran saliva pada pasien HIV/AIDS pada penelitian ini menunjukkan sebagian
besar subyek (66,99%) mempunyai laju aliran saliva keseluruhan dengan stimulasi yang
masih termasuk dalam kategori normal. Hasil penelitian ini sama dengan beberapa studi
sebelumnya, Smith dkk (1991), Mandel dkk (1992), Challacombe (1992), dan Grimoud
(1998) melaporkan rata-rata laju aliran saliva dengan stimulasi pada pasien HIV positif
tidak berbeda secara signifikan dengan individu HIV negatif.32,36,37
Disamping itu, diijumpai 6,80 % subyek mengalami hiposalivasi dan 13,59 % subyek
dengan laju aliran saliva yang rendah. Telah banyak dilaporkan bahwa pasien HIV/AIDS
dapat mengalami penurunan laju aliran saliva. Sistig dkk (2003), Lin dkk (2003), Coates
dkk (1998), Sweet dkk (1995), serta Mandel dkk (1992), Mulligan (2000) menyatakan laju
aliran saliva keseluruhan pada pasien HIV positif lebih rendah dibanding dengan kelompok
individu HIV negatif.32,33,38 Gangguan fungsi kelenjar saliva menyebabkan reduksi sekresi
saliva pada pasien HIV/AIDS. Sekresi kelenjar saliva dan komposisi saliva dilaporkan
berubah akibat dari infeksi HIV.19 Walaupun patofisiologi masih belum jelas, tetapi
terdapat dugaan bahwa kelainan kelenjar saliva antara lain karena adanya lesi limfoepitelial
dan infiltrasi inflamatori seperti yang terlihat pada Sjogren’s syndrome.39 Literatur lain juga
menyatakan bahwa infeksi HIV berhubungan dengan infiltrasi limfositik pada kelenjar
saliva mayor.4 Selain itu, Lu (2007) menyebutkan bahwa replikasi HIV dapat
mempengaruhi sel endotelial dan menyebabkan obstruksi saluran kapiler yang menyuplai
darah kepada sel sekresi kelenjar saliva. Akibatnya, terjadi sekresi saliva yang rendah,
serostomia, dan meningkatkan kerentanan terhadap lesi atau ko-infeksi oral.34
Prevalensi serostomia dan hipofungsi kelenjar saliva berhubungan dengan tingkat
imunosupresi yang ditentukan dengan jumlah sel T CD4.34 Tetapi literatur lain
menyebutkan bahwa penurunan laju aliran saliva secara signifikan terjadi pada tahap awal
infeksi HIV (>200 sel/mm3),19,34 dikatakan bahwa fungsi kelenjar saliva dipengaruhi pada
tahap tersebut.19 Navazesh dkk (2003) melaporkan bahwa terdapat hubungan antara
progresi infeksi HIV dengan perubahan fungsi kelenjar submandibula dan sublingual
selama 4 tahun penelitian dilakukan. Dan jumlah sel T CD4 <200 sel/mm3 telah
diidentifikasi merupakan faktor risiko terhadap penurunan laju aliran saliva.4 Selain
progresi penyakit, HAART juga mempunyai efek samping pada fungsi kelenjar saliva.
Pengaruh HAART berhubungan dengan efek antisekretori pada sel asinar yang disebabkan
oleh bahan kimia obat-obatan atau refleksi dari kemungkinan perubahan jaringan lipotrofik
pada struktur kelenjar saliva.4 Faktor lain yang berhubungan dengan penurunan laju aliran
saliva adalah usia lanjut, jenis kelamin, penyakit sistemik (diabetes, hipertensi), obat-
obatan, kebiasaan merokok dan komsumsi alkohol. Disimpulkan bahwa secara garis besar
penurunan laju aliran saliva dapat dipengaruhi oleh faktor lokal, sistemik, dan
farmakoterapeutik.40
Data penelitian menunjukkan sebanyak 12.62 % subyek dijumpai laju aliran saliva
yang meningkat. Hal ini diduga karena ada perbedaan waktu pengukuran laju aliran saliva
atau diduga subyek tersebut mengalami hipersalivasi. Literatur menyebutkan bahwa
hipersalivasi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti faktor psikologis yang kerap
terjadi pada pasien HIV/AIDS dan obat antipsikotik (misalnya clozapine) yang mungkin
digunakan pada subyek tetapi tidak diperhatikan pada penelitian ini.41
Analisis bivariat dilakukan dengan tujuan untuk melihat ada/tidaknya pengaruh laju
aliran saliva terhadap perubahan kadar IgA saliva. Peran dari laju aliran saliva terhadap
perubahan kadar IgA saliva dapat terbukti pada penelitian ini. Hasil analisis uji korelasi
Spearman menunjukkan adanya korelasi negatif yang kuat dan bermakna antara kadar IgA
saliva dan laju aliran saliva, yang berarti semakin tinggi laju aliran saliva semakin banyak
subyek dengan kadar IgA dibawah kisaran nilai rujukan. Hal ini membuktikan bahwa laju
aliran saliva memberikan kontribusi terhadap perubahan kadar IgA saliva. Hasil penelitian
ini sesuai dengan penelitian terdahulu yang menyatakan adanya hubungan berbanding
terbalik antara sekresi IgA saliva dan laju aliran saliva.32 Literatur mengatakan bahwa kadar
immunglobulin di dalam saliva sangat tergantung pada laju aliran saliva, termasuk
konsentrasi IgA juga dipengaruh oleh laju aliran saliva.35
Literatur menyebutkan bahwa pada situasi klinis dimana dilakukan perbandingan
kuantitatif komponen saliva, maka efek laju aliran saliva (flow rate) harus
dipertimbangkan, terutama bila perubahan laju aliran saliva adalah bagian dari karakteristik
penyakit.32 Tomasi dkk dan Tourville dkk menyatakan bahwa IgA saliva dihasilkan oleh
sel plasma di jaringan interstitial kelenjar. Selama periode aliran saliva aktif maka masih
ada efek pembilasan mekanis dan keberadaan faktor antibakterial (menjaga hitung bakteri
dalam jumlah terbatas).32
BAB 7
KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan
. Pasien HIV/AIDS dapat mengalami penurunan laju aliran saliva dan terdapat
hubungan yang bermakna antara kadar IgA saliva dengan laju aliran saliva. Jika terjadi
penurunan laju aliran saliva maka komposisi saliva (khususnya total IgA) berubah, dan
saliva tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik dimana jaringan rongga mulut
mudah mengalami ulserasi dan infeksi, sehingga timbul kelainan gigi dan mulut yang
selanjutnya akan mempengaruhi kualitas hidup penderita.

7.2 Saran
1. Perlu melanjutkan penelitian ini dengan pendekatan desain penelitian yang berbeda
seperti penelitian kasus kontrol ataupun cohort.
2. Disarankan penelitian lebih lanjut terhadap peran faktor eksternal dan internal yang
dapat mempengaruhi kadar IgA saliva, yang pada penelitian ini belum diperhatikan
karena keterbatasan waktu dan biaya penelitian.
DAFTAR PUSTAKA

1. Fischman SL. Oral Health in HIV Disease. HIV Medical Alert 2004;8(1).
2. Humprey SP, Williamson RT. A Review of Saliva Normal Composition, Flow and
Function. J Prosthet Dent 2001;85(2):162-169.
3. Guyton, A.C.; E.J. Hall. Textbook of Medical Physiology. !0th ed. Jakarta : C.V. EGC.
2000:740-741.
4. Navazesh et al. A 4-year longitudinal evaluation of xerostomia and salivary gland
hypofunction in the women’s interagency HIV study participants.Oral Surg Oral Med
Oral Pathol oral Radiol Endod 2003;95:693-8.
5. Lin AL, et al. Salivary gland function in HIV-infected patients treated with highly
active antiretroviral therapy (HAART). Oral Surg Oral Med Oral Pathol oral Radiol
Endod 2006;102:318-24.
6. Grimoud A-M, Arnaud C, Dellamonica P, Lodter J-P. Salivary defence factor
concentrations in relation to oral and general parameters in HIV positive patients. Eur J
Oral Sci 1998;106:979-985.
7. Challacombe SJ, Sweet SP. Oral mucosal immunity and HIV infection:current status.
Oral Disease 2002;8:55.
8. Challacombe SJ, Naglik JR. The Effects of HIV Infection on Oral Mucosal Immunity.
Adv Dent Res 2006;19:29-35.
9. Sistig S, Vucicevic-Boras V, Lukac J, Kusic Z. Salivary IgA and IgG subclasses in hiv
Positive Patients. EurJ Med Res 2003;8:543-548.
10. Challacombe SJ, Greenspan JS, Greenspan D, Dodd C. Salivary IgA Subclass
Responses in HIV-Associated Salivary Gland Disease (in Oral Manifestations of HIV
Infection). Quistenssence Publishing Co, Inc. Chicago-Warsaw. 1995. Hal. 152-158.
11. Coogan MM, Simon P, Sweet, Challacombe SJ. Immunoglobulin A (IgA), IgA1, and
IgA2 Antibodies to Candida albicans in Whole and Parotid Saliva in Human
Immunodeficiency Virus Infection and AIDS. Infection and Immunity 1994;62:892-
896.
12. Seeman R, Hagewald, Sztankay V, Drews J, Bizhang M, Kage A. Levels of parotid
and submandibular/sublingual salivary immunoglobulin A in response to experimental
gingivitis in humans. Clin Oral Invest 2004;8:233-237.
13. Ogawa T, Kusumoto Y, Hamada S, McGhee JR, Kiyono H. Bacteriodes gingivalis-
specific serum IgG and IgA subclass antibodies in periodontal disease. Clin exp.
Immunol 1990;82:318-325.
14. Marcotte H, Lavoie MC. Oral Microbial Ecology and the Role of Salivary
Immunoglobulin A. Microbiology and Molecular Biology Review 1998:71-109.
15. Ebersole JL, Cappelli D, Steffen MJ. Charateristics and Utilization of Antibody
Measurements in Clinical Studies of Periodontal Disease. J Periodontol 1992;63:1110-
1116.
16. Rantonen P. Salivary Flow and Composition in Healthy and Diseased Adults.
(Academic Disertation). Institut of Dentistry, University of Helsinki, Department of
Oral and Maxillofacial Diseases. Helsinki 2003.
17. Rudney JD. Does Variability in Salivary Protein Concentrations Influence oral
Microbial Ecology and Oral Health? Criv Rev Oral Biol Med 1995;6(4):343-367.
18. Lin AL, et al. Salivary compotition and flow rates are impacted by early HIV disease
irrespective of xerostomic medication. J Evid Base Dent Pract 2004;4:246-8.
19. Lin AL, Johnson DA, Stephan KT, Yeh CK. Alteration in salivary function in early
HIV infection. J Dent Res 2003;82(9):719-724.
20. Scully C, Bagan JV. Adverse Drug Reactions in The Orofacial Region. Criv Rev Oral
Biol Med 2004;15(4):221-239.
21. Reznik. Perepective oral Manifestations of HIV Disease. International AIDS Society-
USA Topics in HIV Medicine 2006;13(5):143-148.
22. Snoeeck V, Peters IR, Cox E. The IgA system:a comparation of structure and function
in different species. Vet.Res. 2006;37:455-467.
23. Hagewald SJ, Fishel DLW, Christan CEB, Bernimoulin J-P, Kage A. Salivary IgA in
response to periodontal treatment. Eur J Oral Sci 2003;111:203-208.
24. Walker DM. Oral Mucosal Immunology:An Overview. Ann Acad Med Singapore
2004;33(Suppl):27S-30S.
25. Antibody Structure and Function. Available at: http://www.wiley.com/legacy/
products/subject/life/ elgert/CH04.pdf. Diakses 20 September 2006.
26. Thomas AHL, Reinholdt J. Subclass Distribution of Salivary Secretory
Immunoglobulin A Antibodies to Oral Streptococci. Infection and Immunity
1991;59:3619-3625.
27. Ditjen PPM & PL Depkes RI. Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia. Dilaporkan s/d
Juni 2006. Edit terakhir: 13 Juli 2006 http://www.spiritia.or.id/StatCurr.htm. Diakses
17 Juli 2006.
28. Djauzi S. Mengenal Terapi Antiretroviral. YPI PRESS. Jakarta. 2003. Hal 7-11.
29. Djauzi S, Kurniati N, Yunihastuti E. Diagnosis, Terapi, dan Pencegahan dalam
Workshop HIV. Symposium and Workshop Jakarta Allergy and Clinical Immunology
Network. 22-24 Juni 2007.
30. Liisa Mellanen, Timo Sorsa, Juhani Lähdevirta, Miia Helenius, Kirsti Kari, Jukka H.
Meurman. Salivary albumin, total protein, IgA, IgG and IgM concentrations and
occurrence of some periodontopathogens in HIV-infected patients: a 2-year follow-up
study. Journal of Oral Pathology & Medicine. 2001;30(9):553–559.
31. Steinsvoll S, Myint M, Odden K, Berild D, Schenk K. Reduced serum IgG reactivities
with bacteria from dental plaque in HIV-infected persons with periodontitis. Vastardis
SA, Yukna RA, Fidel PL Jr, Leigh JE, Mercante DE. Periodontal Disease in HIV-
Positive Individuals: Association of Periodontal Incidens with Stages of HIV Disease. J
Periodontol 2003;74:1336-1341.
32. Mandel ID, Khurana HS. The Relation of Human Salivary IgA and Albumin to Flow
Rate. Archs Oral Biol 1969;14:1433-1435.
33. Sweet SP, Rahman D, Challacombe SJ. IgA subclasses in HIV disease:dichotomy
between raised levels in serum and decreased secretion rates in saliva. Immunology
1995;86:556-559.
34. Lu FX, Jacobson RS. Oral Mucosal Immunity and HIV/SIV Infection. J Dent Res.
2007;86(3):216-226.
35. Mellanen Liisa. The influence of HIV infection to the periodontium; a clinical,
microbiological, and enzymological study (Academic Dissertation). Helsinki 2006. 11
36. Smith DJ, Taubman MA, Ali-Salaam P. Immunoglobulin Isotypes in Human Minor
Gland Saliva. J Dent Res 1991;70(3):167-170.
37. Challacombe S, Sweet S. Mucosal IgA and IgA subclass responses in HIV infection. Int
Conf AIDS. 1992 Jul 19-24; 8: A43 (abstract no. PoA 2243).
38. Coates EA, Wilson DE, Logan RM. The effects of HIV infection on the quality and
flow of saliva. Int Conf AIDS. 1998; 12: 1015-6 (abstract no. 60084).
39. Shetty K. Implications and management of xerostomia in he HIV-infected patient. HIV
Clinician. Special Dental Issue 2005:1-4.
40. Navazeh M, Mulligan R, Komaroff E, Redford M, Greenspan D, Phelan J. The
Prevalence of Xerostomia and Salivary Gland Hypofunction in a Cohort of HIV-
positive and At-risk Women. J Dent Res 2000;79(7):1502-1507.
41. Szasz TS. Psychosomatic Aspects of Salivary Activity. American Psychosomatic
Society 1950;12(5): 320-332.

You might also like