You are on page 1of 34

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit jantung koroner adalah suatu penyakit jantung yang
disebabkan karena kelainan pembuluh darah koroner. Terminologi sindrom
koroner akut berkembang selama 10 tahun terakhir dan telah digunakan secara
luas. Hal ini berkaitan dengan patofisiologi secara umum yang diketahui
berhubungan dengan kebanyakan kasus angina tidak stabil dan infark miokard.
Sebagai respon terhadap injury dinding pembuluh, terjadi agregasi platelet dan
pelepasan isi granuler yang menyebabkan agregasi platelet lebih lanjut,
vasokonstriksi dan akhirnya pembentukan trombus. 1,2
Pada infark miokard Ustable Angina Pektoris (UAP)/Non ST Elevation
Myocardial Infarction (NSTEMI) disamping nyeri dada dan perubahan EKG
(ST elevasi pada STEMI dan ST depresi,T inversi atau normal pada NSTEMI)
disertai tes cardiac status (kualitatif) atau tes cardiac reader (kuantitatif). Pada
angina biasa tidak ada perubahan dengan EKG dan tidak terdapat kenaikan
enzim jantung.1
Menurut data Badan Kesehatan Dunia (WHO) tercatat bahwa lebih dari
7 juta orang meninggal akibat PJK di seluruh dunia pada tahun 2002, angka ini
diperkirakan meningkat hingga 11 juta orang pada tahun 2020. Di Indonesia,
berdasarkan data survei dari Badan Kesehatan Nasional tahun 2001
menunjukkan tiga dari 1000 penduduk Indonesia menderita PJK, pada tahun
2007 terdapat sekitar 400 ribu penderita PJK dan pada saat ini penyakit jantung
koroner menjadi pembunuh nomor satu di dalam negeri dengan tingkat
kematian mencapai 26%.3
American Heart Association pada tahun 2004 memperkirakan
prevalensi PJK di Amerika Serikat sekitar 13.200.000. Angka kematian karena
PJK di seluruh dunia tiap tahun didapatkan 50 juta, sedangkan di negara
berkembang terdapat 39 juta.4
Menurut ESC (European Society Of Cardiology), sekurang-kurangnya
15 juta penderita gagal jantung di 51 negara Eropa. Prevalensi gagal jantung
asimptomatik sekitar 4% dari jumlah populasi. Prevalensi gagal jantung pada
1

usia lebih tua (70-80 tahun ) juga lebih tinggi sekitar 10-20%. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan diberbagai tempat di Indonesia, penyakit jantung
koroner merupakan penyebab utama dari gagal jantung.4
B. Tujuan penulisan
Penulisan laporan kasus ini bertujuan untuk mempelajari dan
mengetahui definisi, faktor resiko, pathofisiologi, gejala klinis, diagnosis,
pemeriksaan penunjang, pengobatan dan prognosis Ustable Angina Pektoris
(UAP) / Non ST Elevation Myocardial Infarction (NSTEMI).

BAB II
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama

: Tn. M

Umur

: 71 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki


Pekerjaan

: Sudah tidak bekerja

Agama

: Islam

Alamat

: Sukoharjo

Tanggal Masuk : 17 November 2012


No RM

: 1975xx

II. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Nyeri dada
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Sukoharjo pada tanggal 17 November 2012
jam 12.17 WIB dengan keluhan sesak nafas sejak 1 minggu. Sesak nafas
dirasakan tidak berkurang dengan perubahan posisi. 1 hari pasien
mengeluh nyeri dada sebelah kiri. Nyeri dada yang menjalar kebagian
leher seperti ditekan dan diremes-remes. Hal seperti ini sudah dirasakan
sejak lama namun kali ini sangat parah. Pasien juga mengakui sudah
minum obat namun sakit tidak berkurang.
Pasien mengatakan bahwa sesak napas dan nyeri dada biasanya timbul saat
beraktivitas dan hilang saat beristirahat. Keluhan sesak napas dan nyeri
dada tidak disertai mual dan muntah.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat penyakit serupa : diakui
Riwayat hipertensi
: disangkal
Riwayat DM
: disangkal
Riwayat asma
: disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit serupa : disangkal
Riwayat Hipertensi
: diakui, ibu pasien memiliki riwayat hipertensi
Riwayat DM
: disangkal
Riwayat asma
: disangkal
5. Riwayat Kebiasaan
Riwayat merokok
: diakui
Riwayat minum alcohol
: disangkal

III.

PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Compos mentis, lemas
Vital Sign
: TD : 120/80 mmHg
N : 104x/menit
Rr : 36x/menit
T : 36 C
Kepala
: Normocephale
Mata
: Conjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-)
Thorax
: Cor : Inspeksi : iktus cordis tak tampak, dinding
Palpasi

dada simetris kanan dan kiri


: iktus cordis di SIC V linea

Perkusi

midclavicularis
: Batas atas jantung SIC III linea
parasternalis sinistra, batas jantung
bawah

SIC

linea

midclavicularis.
Auskultasi : Bunyi jantung I-II reguler, bising
Pulmo : Inspeksi
Palpasi

(-)
: Pengembangan dada kanan = kiri,
ketinggalan gerak (-), retraksi (-)
: Fremitus raba kanan = kiri,

ketinggalan gerak (-)


Perkusi
: Sonor diseluruh lapang paru
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+),
Abdomen

IV.

: Inspeksi
Auskultasi
Perkusi
Palpasi

:
:
:
:

Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)


Dinding perut sejajar dengan dinding dada
Peristaltik (+) normal
Tympani, nyeri ketok kostovertebral (-)
Supel, nyeri tekan (-), turgor elastisitas kulit

normal
Ekstremitas
: Akral hangat, oedem (-)
PEMERIKSAAN PENUNJANG

Gambar 1. EKG tanggal 17 November 2012


Hasil EKG: QRS rate 97x/menit, Aksis Normal, Gelombang P morfologi
normal, durasi 0,12 detik, PR interval 0,2, Kompleks QRS durasi 0,12,
Q patologis II,III dan aVf, T inverted I, aVL
Kesimpulan : EKG : NSR, OMI inferior dan Ischemic high lateral
Hasil pemeriksaan laboratorium darah rutin (17 Desember 2012)
Dari hasil pemeriksaan laboratorium darah rutin pada tanggal 17
Desember 2012 ditemukan Hb 12,4 gr/dL, eritrosit 5,07 mL, hematokrit
37,2%, MCV 73,4 fL, MCH 24,5 pg, MCHC 33,3%, Leukosit 9.500,
Trombosit 26.700 dan golongan Darah pasien B
V. DIAGNOSIS
- Obs. Dypsneu
- dd UAP/NSTEMI
VI.
TERAPI
O2

Infuse RL 16 tpm
Furosemid 1A/12 jam
Ranitidine 1A/12 jam
Antalgin 1A/8 jam
Enoksaparin 0,6/12 jam
ISDN 3x1
Clopidogrel 1x1
Antasid 3xC1
Alprazolam 0,5 1-0-1
Cek EKG
Lapor Sp.PD

VII.

FOLLOW-UP
Tanggal 18 November 2012
S/ sesak napas (+), nyeri dada (+), pusing (+), mual (-), muntah (-), BAB (+),
BAK (+), nafsu makan
O/ Vital sign : TD : 100/70 mmHg
N : 80x/menit
Rr : 20x/menit
T : 36,40C
KU
: CM, lemas
Kepala
: CA(-/-), SI (-/-)
Thorax
: Cor : BJ I-II regular, bising (-)
Pulmo : SDV (+/+), Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
Abdomen : Supel, Peristaltik (+), nyeri tekan (-)
Extremitas : Akral hangat, oedema (-)
A/ dd UAP/NSTEMI
P/ Rawat ICU
Diet jantung
O2
Infuse RL 16 tpm
Furosemid 1A/12 jam

Ranitidine 1A/12 jam


Antalgin 1A/8 jam
Enoksaparin 0,6/12 jam
ISDN 3x1
Clopidogrel 1x1
Antasid 3xC1
Alprazolam 0,5 1-0-1
Tanggal 19 November 2012
S/ sedikit sesak nafas, nyeri dada (+) namun sudah berkurang, pusing
berputar (+), nafsu makan
O/Vital sign : TD : 110/70 mmHg
N : 80x/menit
Rr : 20x/menit
T : 36,30C
KU
: CM, lemas
Kepala
: CA(-/-), SI (-/-)
Thorax
: Cor : BJ I-II regular, bising (-)
Pulmo : SDV (+/+), Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
Abdomen : Supel, Peristaltik (+), nyeri tekan (-)
Extremitas : Akral hangat, oedema (-)
A/ dd UAP/NSTEMI
P/ Diet jantung
O2
Infuse RL 16 tpm
Furosemid 1A/12 jam
Ranitidine 1A/12 jam
Antalgin 1A/8 jam
Enoksaparin 0,6/12 jam
ISDN 3x1
Clopidogrel 1x1
Antasid 3xC1
Alprazolam 0,5 1-0-1
Tanggal 20 November 2012
S/ sesak berkurang, nyeri dada (+) namun sudah berkurang, pusing (+), mual
(+), nafsu makan , BAB (-), BAK (+)
O/ Vital sign : TD : 110/70 mmHg
7

N : 76x/menit
Rr : 20x/menit
T : 360C
KU
: CM, sedang
Kepala
: CA(-/-), SI (-/-)
Thorax
: Cor : BJ I-II regular, bising (-)
Pulmo : SDV (+/+), Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
Abdomen : Supel, Peristaltik (+), nyeri tekan (-)
Extremitas : Akral hangat, oedema (-)
A/ dd UAP/NSTEMI
P/ Diet jantung
O2
Infuse RL 16 tpm
Furosemid 1A/12 jam
Ranitidine 1A/12 jam
Antalgin 1A/8 jam
Enoksaparin 0,6/12 jam
ISDN 3x
Clopidogrel 1x1
Antasid 3xC1
Alprazolam 0,5 1-0-1
Tanggal 21 November 2012
Vital sign : TD : 110/70 mmHg
N
: 84x/menit
Rr : 20x/menit
T
: 36,10C
S/ sesak (-), nyeri dada (-), pusing (+) sudah berkurang, mual (-), muntah (-),
sudah mau makan, BAB (+), BAK (+)
O/ KU
: CM, sedang
Kepala
: CA(-/-), SI (-/-)
Thorax
: Cor : BJ I-II regular, bising (-)
Pulmo : SDV (+/+), Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
Abdomen : Supel, Peristaltik (+), nyeri tekan (-)
Extremitas : Akral hangat, oedema (-)
A/ dd UAP/NSTEMI
P/ ISDN 3x
Clopidogrel 1x1
Antasid 3xC1

Alprazolam 0,5 0-0-1


Rawat jalan

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA
A. Sindroma Koroner Akut
Sindrom koroner akut merupakan suatu istilah yang menggambarkan
kumpulan gejala klinik yang ditandai dengan nyeri dada dan gejala lain yang
disebabkan oleh penurunan aliran darah ke jantung, sindrom ini meliputi
unstable angina pectoris sampai perkembangan menjadi miokard infark akut.
Lebih dari 90% ACS disebabkan oleh gangguan plak aterosklerosis dengan
diikuti agregasi trombosit dan pembentukan thrombus intrakoroner.5
SKA merupakan salah satu bentuk manifestasi klinis dari penyakit
jantung koroner (PJK), salah satu akibat dari proses aterotrombosis selain strok
iskemik serta peripheral arterial disease (PAD). Aterotrombosis merupakan
suatu penyakit kronik dengan proses yang sangat kompleks dan multifaktor
serta saling terkait.6
Infark miokard adalah nekrosis miokard yang berkembang cepat oleh
karena ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen otot-otot
jantung (Fenton, 2009). Hal ini biasanya disebabkan oleh ruptur plak yang
kemudian diikuti oleh pembentukan trombus oleh trombosit. Lokasi dan
luasnya miokard infark bergantung pada lokasi oklusi dan aliran darah
kolateral.7
Diagnosis infark miokard didasarkan atas diperolehnya dua atau lebih
dari 3 kriteria, yaitu adanya nyeri dada, perubahan gambaran elektrokardiografi
(EKG) dan peningkatan pertanda biokimia. Sakit dada terjadi lebih dari 20
menit dan tak ada hubungan dengan aktifitas atau latihan. Gambaran EKG
yang khas yaitu timbulnya gelombang Q yang besar, elevasi segmen ST dan
inversi gelombang T (Irmalita, 1996). Pada nekrosis otot jantung, protein
intraseluler akan masuk dalam ruang interstitial dan masuk ke sirkulasi
sistemik melalui mikrovaskuler lokal dan aliran limfatik.8

B. ST Elevation Myocardial Infarction (STEMI)

10

1. Definisi
ST Elevation Myocardial Infarction (STEMI) merupakan sebagian
dari spektrum sindrom koroner akut (SKA) yang terdiri dari angina pectoris
tak stabil, IMA tanpa elevasi ST dan IMA dengan elevasi ST.9
Ketika aliran darah menurun tiba-tiba akibat oklusi trombus di arteri
koroner, maka terjadi infark miokard tipe elevasi segmen ST (STEMI).
Perkembangan perlahan dari stenosis koroner tidak menimbulkan STEMI karena
dalam rentang waktu tersebut dapat terbentuk pembuluh darah kolateral. Dengan
kata lain STEMI hanya terjadi jika arteri koroner tersumbat cepat. 10

STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara


mendadak setelah oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada
sebelumnya. Stenosis arteri koroner berat yang berkembang secara lambat
biasanya tidak memicu STEMI karena berkembangnya banyak kolateral
sepanjang waktu. STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara
cepat pada lesi vaskuler, di mana lesi ini dicetuskan oleh faktor-faktor
seperti merokok, hipertensi dan akumulasi lipid.11
Oklusi koroner akut dengan iskemia miokard berkepanjangan yang
pada akhirnya akan menyebabkan kematian miosit kardiak. Kerusakan
miokard yang terjadi bergantung pada letak dan lamanya sumbatan aliran
darah, ada atau tidaknya kolateral dan luas wilayah miokard yang
diperdarahi pembuluh darah yang tersumbat.12
2. Diagnosis
a. Anamnesis
Pasien yang dating dengan keluhan nyeri dada perlu dilakukan
anamnesis secara cermat apakah nyeri dadanya berasal dari jantung atau
dari luar jantung. Jika dicurigai nyeri dadanya berasal dari jantung perlu
dibedakan apakah nyerinya berasal dari koroner atau bukan. Perlu
dianamnesis pula apakah ada riwayat infark mokard sebelumnya serta
factor-faktor resiko antara lain hipertensi, diabetes mellitus, dislipidemia,
merokok stres serta riwayat sakit jantung koroner pada keluarga.9
Pada hampir setengah kasus, terdapat factor pencetus sebelum
terjadi STEMI, seperti aktivitas fisik berat, stres emosi atau penyakit
medis atau bedah. Walaupun STEMI bisa terjadi sepanjang hari atau

11

malam, variasi sirkadian dilaporkan pada pagi hari dalam beberapa jam
setelah bangun tidur.9
b. Nyeri dada
Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala kardinal pasien
SKA. Nyeri dada atau rasa tidak nyaman di dada merupakan keluhan dari
sebagian besar pasien dengan SKA. Seorang dokter harus mampu
mengenal nyeri dada angina dan mampu membedakan dengan nyeri dada
lainnya karena gejala ini merupakan petanda awal dalam pengelolaan
pasien SKA.9
Sifat nyeri dada yang spesifik angina sebagai berikut :
1) Lokasi : substermal, retrostermal, dan prekordial
2) Sifat nyeri : rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda
berat, seperti ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir.
3) Penjalaran ke: leher, lengan kiri, mandibula, gigi, punggung/
interskapula, dan dapat juga ke lengan kanan.
4) Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat atau obat nitrat
5) Faktor pencetus : latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan sesudah
makan
6) Gejala yang menyertai : mual, muntah, sulit bernafas, keringat dingin,
dan lemas.10
c. Elektrokardiografi (EKG)
Pemeriksaan EKG

di

IGD

merupakan

landasan

dalam

menentukan terapi karena bukti kuat menunjukkan gambaran elevasi ST


dapat mengidentifikasi pasien yang bermanfaat untuk dilakukan terapi
reperfusi. Jika EKG awal tidak diagnostik untuk STEMI tapi pasien tetap
simtomatik dan terdapat kecurigaan kuat STEMI, EKG serial dengan
interval 5-10 menit atau pemantauan EKG 12 sandapan secara kontinu
harus dilakukan untuk mendeteksi potensi perkembangan elevasi segmen
ST. Pada pasien dengan STEMI inferior, EKG sisi kanan harus diambil
untuk mendeteksi kemungkinan infark pada ventrikel kanan.13
Sebagian besar pasien dengan presentasi awal STEMI mengalami
evolusi menjadi gelombang Q pada EKG yang akhirnya didiagnosis
sebagai infark miokard gelombang Q. sebagian kecil menetap menjadi

12

infark miokard non-gelombang Q. jika obstruksi trombus tidak total,


obstruksi bersifat sementara atau ditemukan banyak kolateral, biasanya
tidak ditemukan elevasi segmen ST. pasien tersebut biasanya mengalami
angina tidak stabil atau non-STEMI.13
d. Laboratorium
Petanda (biomarker) kerusakan jantung. Pemeriksaan yang
dianjurkan adalah creatinine kinase (CK)MB dan cardiac specific
troponin (cTn) T atau cTn I dan dilakukan secara serial. cTn harus
digunakan sebagai penanda optimal untuk pasien STEMI yang disertai
kerusakan otot skeletal, karena pada keadaan ini juga akan diikuti
peningkatan CKMB. Pada pasien dengan elevasi ST dan gejala IMA,
terapi reperfusi diberikan sesegera mungkin dan tidak tergantung
pemeriksaan biomarker.
Peningkatan enzim dua kali di atas nilai batas atas normal
menunjukkan ada nekrosis jantung (infark miokard).
1) CKMB: meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan
mencapai puncak dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4
hari. Operasi jantung, miokarditis dan kardioversi elektrik dapat
meningkatkan CKMB
2) cTn: ada 2 jenis yaitu cTn T dan cTn I. enzim ini meningkat setelah 2
jam bila infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan
cTn T masih dapat dideteksi setelah 5-14 hari, sedangkan cTn I setelah
5-10 hari
3) Pemeriksaan lainnya: mioglobin, creatinine kinase (CK) dan lactic
dehidrogenase (LDH), reaksi nonspesifik terhadap lesi miokard adalah
leukositosis PMN yang dapat terjadi dalam beberapa jam setelah onset
nyeri dan menetap selama 3-7 hari. Leukosit dapat mencapai 12.00015.000/uL.10
3. Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan IMA adalah diagnosis cepat,
menghilangkan nyeri dada, penilaian dan implementasi strategi reperfusi
yang mungkin dilakukan, pemberian antitrombotik dan terapi antiplatelet,
pemberian obat penunjang dan tatalaksana komplikasi IMA.14
13

Penanganan kegawat daruratan.


a. Tatalaksana awal:
Pasien perlu perawatan di rumah sakit, sebaiknya di unit intensif koroner,
pasien perlu diistirahatkan (bed rest), diberi penenang dan oksigen 4L/
menit (saturasi dipertahankan > 90%), Nitrat diberikan 5mg SL (dapat
diulang 3x) lalu drip bila masih nyeri, Aspirin 160mg (dikunyah), Morfin
iv bila nyeri tidak teratasi dengan nitrat.13
b. Tatalaksana lanjut sesuai indikasi dan kontraindikasi (jangan menunda
reperfusi).
1) Anti iskemik: nitrat, B-bloker, Ca antagonis.
2) Anti platelet oral: aspirin, clopidogrel.
3) Anti koagulan: heparin (UFH, LMWH).
4) Terapi tambahan: Ace inhibitor/ ARB, Statin.
Dosis heparin (UFH) sebagai co-terapi: Bolus iv 60 u/ kg BB
maksimum 4000u, dosis maintenance drip 12u/ kg BB selama 24 48
jam dengan maksimum 1000 u/ jam dengan target aPTT 50 70s.
Monitoring aPTT 3, 6, 12, 24 jam setelah terapi dimulai. LMWH
dapat digunakan sebagai alternative UFH pada pasien-pasien berusia <
75 tahun dengan fungsi ginjal baik (kreatinin < 2,5 mg/dl pada lakilaki atau < 2 mg/ dl pada wanita).13
4. Komplikasi
1. Disfungsi ventrikuler
Setelah STEMI, ventrikel kiri mengalami perubahan serial dalam
bentuk, ukuran dan ketebalan pada segmen yang mengalami infark dan
non infark. Proses ini disebut remodeling ventrikuler dan umumnya
mendahului berkembangnya gagal jantung secara klinis dalam hitungan
bulan atau tahun pasca infark. Segera setelah infark ventrikel kiri
mengalami dilatasi. Secara akut, hasil ini berasal dari ekspansi infark al;
slippage serat otot, disrupsi sel miokardial normal dan hilangnya jaringan
dalam zona nekrotik. Selanjutnya terjadi pula pemanjangan segmen
noninfark, mengakibatkan penipisan yang disproporsional dan elongasi
zona infark. Pembesaran ruang jantung secara keseluruhan yang terjadi
dikaitkan ukuran dan lokasi infark, dengan dilatasi terbesar pasca infark
pada apeks ventrikel kiri yang mengakibatkan penurunan hemodinamik
yang nyata, lebih sering terjadi gagal jantung dan prognosis lebih buruk.
14

Progresivitas dilatasi dan konsekuensi klinisnya dapat dihambat dengan


terapi inhibitor ACE dan vasodilator lain. Pada pasien dengan fraksi
ejeksi <40%, tanpa melihat ada tidaknya gagal jantung, inhibitor ACE
harus diberikan.9
2. Gangguan hemodinamik
Gagal pemompaan (pump failure) merupakan penyebab utama
kematian dirumah sakit pada STEMI. Perluasan nekrosis iskemia
mempunyai korelasi yang baik dengan tingkat gagal pompa dan
mortalitas, baik pada awal (10 hari infark) dan sesudahnya. Tanda klinis
yang tersering dijumpai adalah ronki basah di paru dan bunyi jantung S3
dan S4 gallop. Pada pemeriksaan rontgen sering jumpai kongersi paru.9
5. Prognosis
Terdapat beberapa sistem untuk menentukan prognosis pasca IMA :
Tabel 1. Klasifikasi Killip pada Infark Miokard Akut
Klas
Definisi
Mortalitas (%)
I
Tak ada gagal jantung kongestif
6
II
+ S3 dan/atau ronki basah
17
III
Edema paru
30-40
IV
Syok kardiogenik
60-80
Klasifikasi Killip berdasarkan pemeriksaan fisik bedside sederhana; S3
gallop, kongesti paru dan syok kardiogenik.9
Tabel 2. Klasifikasi forrester untuk Infark Miokard Akut
Klas
Indeks Kardiak
PCWP (mmHg)
Mortalitas (%)
I
II
III
IV

(L/min/m2)
>2,2
>2,2
<2,2
<2,2

<18

3
9
23
51

>18
<18
>18
Klasifikasi forrester berdasarkan monitoring hemodinamik indeks jantung
dan pulmonary capillary wedge pressure (PCWP).9
Tabel 3. Risk score untuk Infark Miokard dengan Elevasi STEMI
Factor resiko (Bobot)
Skor
resiko/mortalitas
30 hari (%)
Usia 65-74 tahun (2 poin)
0 (0,8)
Usia >75 tahun (3 poin)
1 (1,6)

15

Diabetes mellitus/ hipertensi atau angina (1 poin)


Tekanan darah sistolik <100 mmHg (3 poin)
Frekuensi jantung >100 mmHg (2 poin)
Klasifikasi Killip II-IV (2 poin)
Berat <67 kg (1 poin)
Elevasi ST anterior atau LBBB (1 poin)
Waktu ke reperfusi > 4 jam (1 poin)
Skor resiko = total poin (0-14)
TIMI Risk score adalah system prosnostik

2 (2,2)
3 (4,4)
4 (7,3)
5 (12,4)
6 (16,1)
7 (23,4)
8 (26,8)
>8 (35,9)
paling akhir

yang

menggabungkan anamnesis sederhana dan pemeriksaaan fisis yang dinilai


pada pasien STEMI yang mendapat terapi trombolitik.9
C. Ustable Angina Pektoris (UAP) / Non ST Elevation Myocardial Infarction
(NSTEMI)
1. Definisi
Angina pektoris tidak stabil (UAP) dan infark miokard akut tanpa
elevasi ST (NSTEMI) diketahui merupakan suatu kesinambungan dengan
kemiripan patofisiologi dan gejala klinis sehingga pada prinsipnya
penatalaksanaan keduanya tidak berbeda. Diagnosis NSTEMI ditegakkan
jika pasien dengan manifestasi klinis UAP menunjukkan bukti adanya
nekrosis miokard berupa peningkatan biomarker jantung.15
Troponin T atau troponin I merupakan petanda nekrosis miokard
yang lebih disukai karena lebih spesifik daripada enzim jantung tradisional
seperti CK dan CKMB. Pada pasien dengan IMA, peningkatan awal
troponin pada darah perifer setelah 3-4 jam dan dapat menetap sampai 2
minggu.15
Menurut pedoman American College of Cardiology

(ACC) dan

American Heart Association (AHA) perbedaan angina tak stabil dan infark
tanpa elevasi segmen ST ( NSTEMI) ialah apakah iskemi yang timbul
cukup berat sehingga dapat menimbulkan kerusakan pada miokardium,
sehingga adanya petanda kerusakan miokardium dapat diperiksa. Diagnosis
angina tak stabil bila pasien mempunyai keluhan iskemi sedangkan tak ada
kenaikan troponin maupun CK-MB, dengan ataupun tanpa perubahan ECG
untuk iskemi, seperti adanya depresi segmen ST ataupun elevasi sebentar
atau adannya gelombang T yang negatif.12
2. Etiologi

16

Ustable Angina Pektoris (UAP) / Non ST Elevation Myocardial


Infarction (NSTEMI) dapat disebabkan oleh adanya aterioklerosis, spasme
arteri koroner, anemia berat, artritis, dan aorta Insufisiensi.16
Patofisiologi lainnya yang dapat menyebabkan terjadinya angina
pektoris tidak stabil :
a. Ruptur Plak
Ruptur plak aterosklerotik dianggap penyebab terpenting penyebab
angina pektoris tidak stabil, sehingga tiba-tiba terjadi oklusi subtotal atau
total dari pembuluh koroner yang sebelumnya mempunyai penyempitan
yang minimal. Plak aterosklerotik terdiri dari inti yang mengandung
banyak lemak dan pelindung jaringan fibrotik (fibrotic cap). Plak yang
tidak stabil terdiri dari inti banyak mengandung lemak dan adanya
infiltrasi sel makrofag. Biasanya ruptur terjadi pada tepi plak yang
berdekatan dengan intima yang normal atau pada bahu dari timbunan
lemak. Terjadinya ruptur menyebabkan aktivasi, adhesi dan agregasi
platelet dan menyebabkan aktivasi terbentuknya trombus. Bila trombus
menutup pembuluh darah 100% akan terjadi infark dengan elevasi
segmen ST, sedangkan bila trombus tidak menyumbat 100% dan hanya
menimbulkan stenosis yang berat akan terjadi angin tak stabil.
b. Trombosis dan Agregasi Trombosit
Agregasi platelet dan pembentukan trombus merupakan salah satu dasar
terjadinya angina tak stabil. Terjadinya trombosis setelah plak terganggu
disebabkan karena interaksi yang terjadi antara lemak, sel otot polos,
makrofag dan kolagen. Inti lemak merupakan bahan terpenting dalam
pembentukan trombus yang kaya trombosit, sedangkan sel otot polos dan
sel busa (foam cell) yang ada dalam plak berhubungan dengan ekspresi
faktor jaringan dalam plak tak stabil. Setelah berhubungan dengan darah,
faktor jaringan berinteraksi dengan faktor VIIa untuk memulai kaskade
reaksi enzimatik yang menghasilkan pembentukan trombin dan fibrin.
Sebagai reaksi terhadap gangguan faal endotel, terjadi agregasi platelet
dan platelet melepaskan isi granulasi sehingga memicu agregasi yang
lebih luas, vasokonstriksi dan pembentukkan trombus. Faktor sistemik
17

dan inflamasi ikut berperan dalam perubahan terjadinya hemostase dan


koagulasi dan berperan dalam memulai trombosis yang intermiten, pada
angina tak stabil.
c. Vasospasme
Terjadinya vasokonstriksi juga mempunyai peran penting pada angina tak
stabil. Diperkirakan adanya disfungsi endotel dan bahan vasoaktif yang
diproduksi oleh platelet berperan pada perubahan dalam tonus pembuluh
darah dan menyebabkan spasme. Spasme yang terlokalisir seperti pada
angina prinzmetal juga dapat menyebabkan angina tak stabil, dan
mempunyai peran dalam pembentukan trombus.
d. Erosi pada plak tanpa ruptur
Terjadinya penyempitan juga dapat disebabkan karena terjadinya
poliferasi dan migrasi dari otot polos sebagai reaksi terhadap kerusakan
endotel; adanya perubahan bentuk dan lesi karena bertambahnya sel otot
polos dapat menimbulkan penyempitan pembuluh dengan cepat dan
keluhan iskemia.
e. Kadang bisa karena : emboli, kelainan kongenital, penyakit inflamasi
sistemik.16

Gambar 1. Perjalanan Proses Aterosklerosis (Initiation, Progression dan


Complication) Pada Plak Aterosklerosis.16
3. Patofisiologi

18

Mekanisme

timbulnya

angina

pektoris

didasarkan

pada

ketidakadekuatan suplay oksigen ke sel-sel miokardium yang diakibatkan


karena

kekakuan

arteri

dan

penyempitan

lumen

arteri

koroner

(arteriosklerosis koroner). Tidak diketahui secara pasti apa penyebab


arteriosklerosis, namun jelas bahwa tidak ada faktoer tunggal yang
bertanggung jawab atas perkembangan arteriosklerosis. Pada saat beban
kerja suatu jaringan meningkat, kebutuhan oksigennya juga meningkat.
Apabila kebutuhan oksigen meningkat pada jantung yang sehat, arteri-arteri
koroner akan berdilatasi dan akan mengalirkan banyak darah dan oksigen ke
otot jantung. Akan tetapi apabila arteri koroner mengalami kekakuan atau
menyempit akibat aterosklerosis dan tidak dapat berdilatasi sebagai respon
terhadap peningkatan kebutuhan oksigen dan kemudian akan terjadi iskemia
(kekurangan suplai darah) miokardium. Adanya endotel yang cedera
mengakibatkan hilangnya produksi NO (nitrat oksid) yang berfungsi untuk
menghambat berbagai zat yang reaktif. Dengan tidak adanya fungsi ini
dapat menyebabkan otot polos berkontraksi dan timbul spasmus koroner
yang memperberat penyempitan lumen karena suplai oksigen ke miokard
berkurang. Penyempitan atau blok ini belum menimbulkan gejala yang
begitu nampak bila belum mencapai 75%. Bila penyempitan lebih dari 75%
serta dipicu dengan aktifitas berlebihan maka suplai darah ke koroner akan
berkurang. Oleh karena itu, sel-sel miokardium mulai menggunakan
glikolisis

anaerob

untuk

memenuhi

kebutuhan

eneginya.

Proses

pembentukan energi ini sangat tidak efisien dan menyebabkan terbentuknya


asam laktat. Asam laktat menurunkan pH miokardium dan menyebabkan
nyeri yang berkaitan dengan angina pektoris. Apabila kebutuhan energi selsel jantung berkurang, suplai oksigen menjadi adekuat dan sel-sel otot
kembali ke proses fosforilasi oksidatif untuk membentuk energi. Proses ini
tidak menghasilkan asam laktat. Dengan menghilangnya penimbunan asam
laktat, nyeri angina pektoris mereda. Dengan demikian, angina pektoris
adalah suatu keadaan yang berlangsung singkat.17
4. Klasifikasi
19

Pada tahun 1989 Brauwald menganjurkan dibuat klasifikasi supaya


ada keseragaman. Klasifikasi berdasarkan beratnya serangan angina dan
keadaan klinik.18
a. Berdasarkan angina :
1) Kelas I: angina yang berat untuk pertama kali, atau makin bertambah
beratnya nyeri dada
2) Kelas II: angina pada waktu istirahat dan terjadinya subakut dalam I
bulan, tapi tidak ada serangan angina dalam 48 jam terakhir
3) Kelas III: adanya serangan angina waktu istirajat dan terjadinya secara
akut baik sekali atau lebih, dalam waktu 48 jam terakhir.18
b. Keadaan klinis:
1) Kelas A: angina tak stabil sekunder, karena adanya anemia, infeksi
lain atau febris
2) Kelas B: angina tak stabil primer, tak ada faktor ekstrakasdiak
3) Kelas C: angina yang timbul setelah serangan infark jantung.18
c. Intensitas pengobatan:
1) tak ada pengobatan atau hanya mendapatkan pengobatan minimal
2) timbul keluhan walaupun telah mendapat terapi yang standar
3) masih timbul serangan angina walaupun telah diberikan pengobatan
yang maksimum, dengan penyekat beta, nitrat dan antagonis
kalsium.18
5. Diagnosis
a. Anamnesis
Keluhan pasien umumnya berupa angina untuk pertama kali atau keluhan
angina yang bertambah dari biasa. Nyeri dada seperti pada angina biasa
tapi lebih berat dan lebih lama, mungkin timbul pada waktu istirahat, atau
timbul karena aktivitas yang minimal. Nyeri dada dapat disertai keluhan
sesak napas, mual, sampai muntah, kadang-kadang disertai keringat
dingin. Pada pemeriksaan jasmani seringkali tidak ada yang khas.19
b. Pemeriksaan Fisik
Sewaktu angina dapat tidak menunjukkan kelainan. Pada auskultasi dapat
terdengar derap atrial atau ventrikel dan murmur sistolik di daerah apeks.
Frekuensi denyut jantung dapat menurun, menetap, atau meningkat pada
waktu serangan angina.20
c. Pemeriksaan Penunjang
1) EKG

20

EKG perlu dilakukan pada waktu serangan angina, bila EKG


istirahat normal, stress test harus dilakukan dengan treadmill ataupun
sepeda ergometer. Tujuan dari stress test adalah:
a) menilai nyeri dada apakah berasal dari jantung atau tidak
b) menilai beratnya penyakit seperti bila kelainan terjadi pada
pembuluh darah utama akan
c) memberi hasil positif kuat.20
Gambaran EKG penderita ATS dapat berupa depresi segmen
ST, depresi segmen ST disertai inversi gelombang T, elevasi segmen
ST, hambatan cabang ikatan His dan tanpa perubahan segmen ST dan
gelombang T. perubahan EKG pada ATS berdifat sementara dan
masing-masing dapat terjadi sendiri-sendiri ataupun bersamaan.
Perubahan tersebut imbul di saat serangan angina dan kembali ke
gambaran normal atau awal setelah keluhan angina hilang dalam
waktu 24 jam. Bila perubahan tersebut menetap setelah 24 jam atau
terjadi elevasi gelombang Q, maka disebut sebagai IMA.20
2) Enzim LDH, CPK, dan CK-MB
Pada ATS kadar enzim LDH dan CPK dapat normal atau
meningkat tetapi tidak melebihi 50% di atas normal. CK-MB
merupakan enzim yang paling sensitive untuk nekrosis otot miokard,
tetapi kadar dapat terjadi positif palsu. Hal ini menunjukkan
pentingnya

pemeriksaan

kadar

enzim

secara

serial

untung

menyingkirkan adanya IMA.20


6.

Skor Risiko TIMI


Skor resiko merupakan suatu metode untuk stratifikasi resiko, dan
angka faktor resiko. Insidens outcome yang buruk (kematian, (re) infark
miokard, atau iskemia berat rekuren) pada 14 hari sekitar antara 5% dengan
skor resiko 0-1, sampai 41% dengan skor resiko 6-7.skor resiko ini berasal
dari analisis pasien-pasien pada penelitian TIMI 11B dan telah divalidasi
pada empat penelitian tambahan dan satu registry. Dengan meningkatnya
skor resiko, telah diobservasi manfaat yang lebih besar secara progresif pada

21

terapi dengan LMWH versus UFH, dengan platelet GP IIb/IIIa receptor


blocker tirofiban versus placebo, dan strategi invasif versus konservatif.16
Pada pasien untuk semua level skor resiko TIMI, penggunaan
clopidogrel menunjukkan penurunan outcome yang buruk relatif sama. Skor
resiko juga efektif dalam memprediksi outcome yang buruk pada pasien
setelah pulang.16
Tabel 4. Skor Resiko TIMI untuk UAP/NSTEMI
- Usia > 65 tahun
- > 3 faktor risiko PJK
- Stenosis sebelumnya > 50%
- Deviasi ST
- > 2 kejadian angina < 24 jam
- Aspirin dalam 7 hari terakhir
- Peningkatan petanda jantung
Skor Resiko TIMI untuk UAP/NSTEMI.16
7. Penatalaksanaan
a. Tindakan Umum
Pasien perlu perawatan di rumah sakit,sebaiknya di unit intensif
koroner, pasien perlu diistirahatkan (bed rest), diberi penenang dan
oksigen. Pemberian morfin atau petidin perlu pada pasien yang masih
merasakan sakit dada walaupun sudah mendapat nitrogliserin.21
b. Terapi Medika Mentosa
1) Obat anti-iskemia
a) Nitrat : dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh vena dan
arteriol perifer, dengan efek mengurangi preload dan afterload
sehingga dapat mengurangi wall stress dan kebutuhan oksigen
(Oxygen demand). Nitrat juga menambah oksigen suplay dengan
vasodilatsai pembuluh koroner dan memperbaiki aliran darah
kolateral. Dalam keadaan akut nitrogliserin atau isosorbid dinitrat
diberikan secara sublingual atau infus intravena. Dosis pemberian
intravena : 1-4 mg/jam. Bila keluhan sudah terkendali maka dapat
diganti dengan per oral.
Preparat :
Nitrogliserin
: Nitromock 2,5 - 5 mg tablet sublingual
Nitrodisc 5- 10 mg tempelkan di kulit
Nitroderm 5-10 mg tempelkan di kulit
Isosorbid dinitrat : Isobit 5-10 mg tablet sublingual
22

Isodil 5-10 mg tablet sublingual


Cedocard 5-10 mg tablet sublingual
b) -blocker : dapat menurunkan kebutuhan oksigen miokardium
melalui efek penurunan denyut jantung dan daya kontraksi
miokardium. Berbagai macam beta-blocker seperti propanolol,
metoprolol, dan atenolol. Kontra indikasi pemberian penyekat beta
antra lain dengan asma bronkial, bradiaritmia.
c) Antagonis kalsium : dapat menyebabkan vasodilatasi koroner dan
menurunkan tekanan darah. Ada 2 golongan besar pada antagonis
kalsium :
- golongan dihidropiridin : efeknya sebagai vasodilatasi lebih kuat
dan penghambatan nodus sinus maupun nodus AV lebih sedikit
-

dan efek inotropik negatif juga kecil (Contoh: nifedipin)


golongan nondihidropiridin : golongan ini dapat memperbaiki
survival dan mengurangi infark pada pasien dengan sindrom
koroner akut dan fraksi ejeksi normal. Denyut jantung yang
berkurang, pengurangan afterload memberikan keutungan pada
golongan nondihidropiridin pada sindrom koroner akut dengan

faal jantung normal (Contoh : verapamil dan diltiazem). 21


2) Obat anti-agregasi trombosit
Obat antiplatelet merupakan salah satu dasar dalam
pengobatan angina tidak stabil maupun infark tanpa elevasi ST
segmen. Tiga gologan obat anti platelet yang terbukti bermanfaat
seperti aspirin, tienopiridin dan inhibitor GP Iib/IIIa.
a) Aspirin : banyak studi telah membuktikan bahwa aspirin dapat
mengurangi kematian jantung dan mengurangi infark fatal maupun
non fatal dari 51% sampai 72% pada pasien dengan angina tidak
stabil. Oleh karena itu aspirin dianjurkan untuk diberikan seumur
hidup dengan dosis awal 160mg/ hari dan dosis selanjutnya 80
sampai 325 mg/hari.
b) Tiklopidin : obat ini merupakan suatu derivat tienopiridin yang
merupakan obat kedua dalam pengobatan angina tidak stabil bila
pasien tidak tahan aspirin. Dalam pemberian tiklopidin harus
diperhatikan efek samping granulositopenia.

23

c) Klopidogrel : obat ini juga merupakan derivat tienopiridin yang


dapat menghambat agregasi platelet. Efek samping lebih kecil dari
tiklopidin . Klopidogrel terbukti juga dapat mengurangi strok,
infark dan kematian kardiovaskular. Dosis klopidogrel dimulai 300
mg/hari dan selanjutnya75 mg/hari.
d) Inhibitor glikoprotein IIb/IIIa
Ikatan fibrinogen dengan reseptor GP IIb/IIIa pada platelet ialah
ikatan terakhir pada proses agregasi platelet. Karena inhibitor GP
IIb/IIIa menduduki reseptor tadi maka ikatan platelet dengan
fibrinogen dapat dihalangi dan agregasi platelet tidak terjadi. Pada
saat ini ada 3 macam obat golongan ini yang telah disetujui :
- absiksimab suatu antibodi mooklonal
- eptifibatid suatu siklik heptapeptid
- tirofiban suatu nonpeptid mimetik
Obat-obat ini telah dipakai untuk pengobatan angina tak
stabil maupun untuk obata tambahan dalam tindakan PCI terutama
pada kasus-kasus angina tak stabil. 21
3) Obat anti-trombin
a) Unfractionated Heparin
Heparin ialah suatu glikosaminoglikan yang terdiri dari pelbagi
rantai polisakarida yang berbeda panjangnya dengan aktivitas
antikoagulan yang berbeda-beda. Antitrombin III, bila terikat
dengan heparin akan bekerja menghambat trombin dan dan faktor
Xa. Heparin juga mengikat protein plasma, sel darah, sel endotel
yang mempengaruhi bioavaibilitas. Pada penggunaan obat ini juga
diperlukan pemeriksaan trombosit untuk mendeteksi adanya
kemungkinan heparin induced thrombocytopenia (HIT).
b) Low Molecular Weight Heparin (LMWH)
LMWH dibuat dengan melakukan depolimerisasi rantai plisakarida
heparin. Dibandingkan dengan unfractionated heparin, LMWH
mempuyai ikatan terhadap protein plasma kurang, bioavaibilitas
lebih besar. LMWH yang ada di Indonesia ialah dalteparin,
nadroparin, enoksaparin dan fondaparinux. Keuntungan pemberian
LMWH karena cara pemberian mudah yaitu dapat disuntikkan

24

secara

subkutan

dan

tidak

membutuhkan

pemeriksaan

laboratorium.
c) Direct Thrombin Inhibitors
Direct Thrombin Inhibitors secara teoritis mempunyai kelebihan
karena bekerja langsung mencegah pembentukan bekuan darah,
tanpa dihambat oleh plasma protein maupun platelet factor 4.
Hirudin dapat menurunkan angka kematian dan infark miokard,
tetapi komplikasi perdarahan bertambah. Bivalirudin telah disetujui
untuk menggantikan heparin pada pasien angina tak stabil yang
menjalani PCI. Hirudin maupun bivalirudin dapat menggantikan
heparin bila ada efek samping trombositopenia akibat heparin
(HIT). 21
4) Tindakan revaskularisasi pembuluh koroner
Tindakan revaskularisasi perlu dipertimbangkan pada pasien
dengan iskemi berat dan refakter dengan terapi medikamentosa. Pada
pasien dengan penyempitan di left main atau penyempitan pada 3
pembuluh darah, bila disertai faal ventrikel kiri yang kurang tindakan
operasi bypass (CABG) mengurangi masuknya kembali ke rumah
sakit. Pada pasien dengan faal jantung yang masih baik dengan
penyempitan pada satu pembuluh darah atau dua pembuluh darah atau
bila ada kontraindikasi tindakan pembedahan PCI merupakan pilihan
utama.17
Teknik-teknik invasif misalnya percutaneous transluminal
coronary angioplasty (PTCA) dan bedah pintas arteri koroner dapat
menurunkan serangan angina klasik. Dengan PTCA,lesi aterosklerotik
didilatasi oleh sebuah kateter yang dimasukkan melalui kulit ke dalam
arteri femoralis atau brakialis dan di dorong ke jantung. Setelah
berada di pembuluh yag sakit, balon yang ada di kateter
digembungkan. Hal ini akan memecahkan plak dan meregangkan
arteri. Dengan bedah pintas, potongan arteri koroner yang sakit diikat,
dan diambil arteri atau vena dari tempat lain untuk dihubungkan ke
bagian yang tidak sakit. Aliran darah dipulihkan melalui pembuluh
baru ini. Pembuluh yang paling sering ditransplantasikan adalah vena
25

safena atau arteri mamaria interna. Pemasangan selang artificial atau


stent ke dalam arteri agar tatap terbuka kadang-kadang dilakukan
dengan

keberhasilan

yang

bervariasi.

Bedah

pintas

koroner

menghilangkan nyeri angina tetapi tampaknya tidak mempengaruhi


mortalitas jangka-panjang.17
c. Terapi Non Medika Mentosa
1) Istirahat memungkinkan jantung memompa lebih sedikit darah
(penurunan volume sekuncup) dengan kecepatan yang lambat
(penurunan kecepatan denyut jantung). Hal ini menurukan kerja
jantung sehingga kebutuhan oksigen juga berkurang. Posisi duduk
adalah postur yang dianjurkan sewaktu beristirahat. Sebaliknya
berbaring, meningkatkan aliran balik darah ke jantung sehingga terjadi
peningkatan volume diastolik akhir, volume sekuncup dan curah
jantung.
2) Terapi oksigen untuk mengurangi kebutuhan oksigen jantung.
8. Pencegahan
a. Perubahan life style (termasuk berhenti merokok dan lain-lain),
penurunan BB, penyesuaian diet, olahraga teratur dan lain-lain.21
b. Mengobati faktor predisposisi dan faktor pencetus : stress, emosi,
hipertensi, penyakit DM, hiperlipidemia, obesitas, anemia.22
c. Menghindari bekerja pada keadaan dingin atau stres lain yang diketahui
mencetuskan serangan angina klasik pada seseorang.17
d. Memberikan penjelasan perlunya melatih aktivitas sehari-hari sehingga
untuk meningkatkan kemampuan jantung agar dapat mengurangi
serangan jantung.21
9. Komplikasi
a. Infark miokardium (IM) adalah kematian sel-sel miokardium yang terjadi
akibat kekurangan oksigen yang berkepanjanga. Hal ini adalah respon
letal terakhir terhadap iskemia miokardium yang tidak teratasi. Sel-sel
miokardium mulai mati setelah sekitar 20 menit mengalami kekurangan
oksigen. Setelah periode ini, kemampuan sel untuk menghasilkan ATP
secara aerobs lenyap dan sel tidak memenuhi kebutuhan energinya.22
b. Aritmia : Karena insidens PJK dan hipertensi tinggi, aritmia lebih sering
didapat dan dapat berpengaruh terhadap hemodinamik. Bila curah

26

jantung dan tekanan darah turun banyak, berpengaruh terhadap aliran


darah ke otak, dapat juga menyebabkan angina, gagal jantung.21
c. Gagal Jantung : Gagal jantung terjadi sewaktu jantung tidak mampu
memompa darah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan
nutrien tubuh. Gagal jantung disebabkan disfungsi diastolik atau sistolik.
Gagal jantung diastolik dapat terjadi dengan atau tanpa gagal jantung
sistolik. Gagal jantung dapat terjadi akibat hipertensi yang lama (kronis).
Disfungsi sistolik sebagai penyebab gagal jantung akibat cedera pada
ventrikel, biasanya berasal dari infark miokard. 21
10. Prognosis
Pada angina tidak stabil bila dapat didiagnosis dengan tepat dan
cepat serta memberikan pengobatan yang tepat dan agresif maka dapat
menghasilkan prognosis yang baik. Namun bila tidak dapat menimbulkan
kematian.

27

BAB IV
PEMBAHASAN
Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik pada pasien ini didapatkan
keluhan sesak nafas sejak 1 minggu. Sesak nafas dirasakan tidak berkurang
dengan perubahan posisi dan pasien juga mengeluh nyeri dada sebelah kiri. Nyeri
dada yang menjalar kebagian leher seperti ditekan dan diremes-remes. Hal seperti
ini sudah dirasakan sejak lama namun kali ini sangat parah. Pasien juga mengakui
sudah minum obat namun sakit tidak berkurang.
Pasien mengatakan bahwa sesak napas dan nyeri dada biasanya timbul saat
beraktivitas dan hilang saat beristirahat. Keluhan sesak napas dan nyeri dada tidak
disertai mual dan muntah.
Rasa nyeri di daerah dada dan perut di pengaruhi oleh saraf intercostales
(T1-12), nervus sympatikus dan nervus parasimpatikus. Rasa nyeri jantung
biasanya dirasakan dari Th1-4, yang dinamakan serabut sensorik atau viseral
averen. Badan sel berada di dalam ganglion posterior yang sama, sehingga bila di
daerah viseral mengalami suatu cidera maka rasa nyeri tersebut akan terasa di
bagian perifer. Nyeri dada memiliki lokasi yang khas yaitu substernal atau
kadangkala diepigastrium dengan ciri seperti diperas, perasaan seperti diikat,
perasaan terbakar, nyeri tumpul, rasa penuh, berat atau tertekan, menjadi
presentasi gejala yang sering ditemukan pada NSTEMI. Walaupun gejala khas
rasa tidak enak didada iskemia pada NSTEMI telah diketahui dengan baik, gejala
tidak khas seperti dispneu, mual, diaphoresis, sinkop atau nyeri dilengan,
epigastrium, bahu atas, atau leher juga terjadi dalam kelompok yang lebih besar
pada pasien-pasien yang berusia lebih dari 65 tahun.
Yang dimasukkan ke dalam angina tidak stabil, yaitu :

28

1. pasien dengan angina yang masih baru dalam 2 bulan, di mana angina cukup
berat dan frekuensi cukup sering, lebih dari 3 kali per hari
2. pasien dengan angina yang semakin bertambah berat, sebelumya angina stabil,
lalu serangan angina timbul lebih sering dan lebih berat sakit dadanya,
sedangkan faktor prespitasi makin ringan
3. pasien dengan serangan angina pada waktu istirahat.
Pada pemeriksaan penunjang EKG ditemukan QRS rate 97x/menit, Aksis
Normal, Gelombang P morfologi normal, durasi 0,12 detik, PR interval 0,2,
Kompleks QRS durasi 0,12, Q patologis II,III dan aVf, T inverted I, aVL, maka
pada pasien ini dapat ditegakkan diagnosis banding UAP/NSTEMI.
Pemeriksaan EKG sangat penting baik untuk diagnosis maupun stratifikasi
resiko pasien angina tak stabil. Adanya depresi segmen ST yang baru
menunjukkan kemungkinan adanya iskemia akut. Gelombang T negatif juga
menunjukkan salah satu tanda iskemia atau NSTEMI. Perubahan gelombang ST
kurang dari 0,5 mm dan gelombang T negatif kurang dari 2 mm, tidak spesifik
untuk iskemia dan dapat disebabkan karena hal lain. Pada angina tak stabil 4%
mempunyai EKG normal, dan pada NSTEMI 1-6% EKG juga normal.
Tindakan dan penanganan dini pada pasien ini adalah pasien dengan
UAP/NSTEMI harus diterapi dengan regimen awal yang sama dengan STEMI
dengan satu pengecualian: tidak ada bukti keuntungan pemberian fibrinolitik.
Anti-iskemik dan analgetik
-

Oksigen
Nitrogliserin
Morfin
Penyekat beta

Anti-platelet
-

Aspirin
Clopidogrel
GP IIb/IIIa inhibitor
Diberikan pada pasien dengan rencana PCI.

Anti-koagulan
Heparin : tiga keuntungan penggunaan low molecular weight (LMW) dibanding
unfractioned heparin (UFH):

29

Insidensi trombositopenia yang lebih rendah


Kemudahan untuk administrasi tanpa monitoring
Derajat aktivasi platelet yang lebih sedikit
Sebelum terapi reperfusi, terapi awal yang diberikan adalah penghilang

nyeri (analgetik) injeksi Antalgin, selain itu diberikan juga isosorbid dinitrat ISDN
disini untuk vasodilatasi perifer, terutama pada vena, dengan bekerja pada otot
polos vascular yang mencakup pembentukan nitrat oksida. Ini penting untuk
menghilangkan nyeri dan menenangkan pasien karena bila pasien kesakitan dan
cemas maka akan terjadi takikardia yang dapat meningkatkan beban kerja jantung.
Terapi awal lain adalah pemberian Oksigen.
Enoxaparin digunakan untuk membatasi perluasan thrombosis koroner.
Enoxaparin diabsorbsi secara cepat setelah pemberian melalui subkutan dengan
ketersedian hayati mencapai 100%. Aktifitas plasma puncak tercapai antara 1-5
jam. Waktu paro eliminasi antara 4-5jam tetapi aktifitas Xa bertahan sampai 24
jam setelah pemberian dosis 40 mg, mempunyai aktivitas antifaktor Xa lebih
besar. Enoxaparin dimetabolisme di hati dan dieksresi dalam urin, sebagai obat
yang tidak berubah dan metabolitnya. Bila usia <75 thn dan kreatinin < 2,5
mg/dL maka diberikan bolus ntravena 30 mg dan dilanjukan 1 mg/kgBB per 12
jam. Bila usia di atas 75 thn dan CCT < 30 ml maka dosis bolus 0,75 mg/kgBB
dan dosis pemeliharaan diberikan satu kali sehari.
Antiplatelet untuk Mengurangi agregasi trombosit, adhesi platelet dan
pembentukan trombus melalui penekanan sintesis tromboksan A2 dalam
trombosit. Mengurangi risiko infark miokard pada stenocardia yang tidak stabil.
Obat ini efektif untuk pencegahan primer penyakit kardiovaskular dan pencegahan
sekunder infark miokard. Obat ini dapat meningkatkan aktivitas fibrinolitik dan
mengurangi plasma konsentrasi vitamin K dalam faktor-faktor koagulasi (II, VII,
IX, X).

30

BAB V
KESIMPULAN

Telah dilaporkan pasien laki-laki usia 71 tahun dengan keluhan dengan


keluhan sesak nafas sejak 1 minggu. Sesak nafas dirasakan tidak berkurang
dengan perubahan posisi dan pasien juga mengeluh nyeri dada sebelah kiri. Nyeri
dada yang menjalar kebagian leher seperti ditekan dan diremes-remes. Hal seperti
ini sudah dirasakan sejak lama namun kali ini sangat parah. Pasien juga mengakui
sudah minum obat namun sakit tidak berkurang. Pada pemeriksaan fisik keadaan
umum baik compos mentis, pernapasan 36x/menit, tekanan darah palpasi 120/80,
Nadi 104x/menit.
Telah ditegakkan diagnosa atas pasien ini yaitu UAP/NSTEMI, pasien
diberikan terapi heparin dan antiangina untuk menghilangkan nyeri pada jantung
dan antiplatelet untuk memperbaiki perfusi O2 ke jantung dan tidak terjadi
pembentukan trombus pada pembuluh darah jantung. Setelah dilakukan perawatan
dan pengobatan padanya, keadaan pasien membaik dan diizinkan pulang.
Penatalaksanaan pada pasien ini sudah sesuai dengan

teori

penatalaksanaan UAP/NSTEMI.

31

DAFTAR PUSTAKA
1. Hamm CW, Bertrand M, Braunwald E. Acute coronary syndrome without ST
elevation : implementation of new guidelines. Lancet 2001; 358: 1533-8
2. Patrono C, Renda G. Platelet activation and inhibition in unstable coronary
syndromes. Am J Cardiol 1997; 80(5A): 17E-20E
3. World Health Organization. Deaths from coronary heart disease. Cited 2011
Nov

Available

from

URL

http://www.who.int/cardiovascular_diseases/cvd_14_deathHD.pdf
4. Boedi-Darmojo R, Epidemiology of atherosclerotic disease: Special focus on
cardiovascular disease. Dalam: Tanuwidjojo S, Rifqi S. Atherosklerosis from
theory to clinical practice, Naskah lengkap cardiology-update.Semarang:
Badan Penerbit Undip.2003.p.1-1
5. Lilly, L.S.Pathophysiology of Heart Disease : A Collaborative Project of
Medical

Students

and

Faculty.Edisi

Keempat.Baltimore-Philadelpia.

Lippincott Williams & Wilkins, 2007; 225-243.


6. Anderson, J, Adams, C, Antman, E, et al. ACC/AHA 2007 guidelines for the
management of patients with unstable angina/non-ST-elevation myocardial
infarction: a report of the American College of Cardiology/American Heart
Association Task Force on Practice Guidelines

50:e1. Diunduh dari:

www.acc.org/qualityandscience/ clinical/statements.htm (accessed September


18, 2007).
7. Irmalita, 1996. Infark Miokard. Dalam: Rilantono, L.I., Baraas, F., Karo
Karo, S., Roebiono, P.S., ed., Buku Ajar Kardiologi. Jakart.Gibler, WB.
Evaluation of chest pain in the emergency department. Ann Intern Med 1995;
123:315;.
8. Patel, N.R., Jackson. G., 1999. Serum markers in myocardial infarction. J
Clin

Pathol.

Diambil

dari:

32

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC501424/?page=1.

Di

akses

Desember 20,2012
9. Alwi, I. 2006. Infark miokard akut dengan elevasi ST dalam Aru W.S.,
Bambang S., Idrus A., Marcelius S.K., Siti S.S (Eds). Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. FK UI. Jakarta.
10. Antman, E.M., Braunwald, E., ST-Segment Elevation Myocardial Infarction.
In: Kasper, D.L., Fauci, A.S., Longo, D.L., Braunwald, E., Hauser, S.L.,
Jameson, J. L., (eds). Harrisons Principles of Internal Medicine. 16 th ed.
USA. 2005. pp.1532-44
11. Brown, T.C., Penyakit Aterosklerotik Koroner. Dalam: Price, S.A., William,
L.M., (ed.) Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi 6. EGC.
Jakarta. 2006. Hal : 580-587
12. Barriento, Aida Suarez; Romero, Pedro Lopez; Vivas, David and et al.
Circadian Variations of Infarct Size in Acute Myocardial Infarctionm, 2011.
Accessed

Nov

2011.

Avalaibale

form:

http://www.suc.org.uy/correosuc/correosuc6-51_archivos/Heart-2011CircadianVariations.pdf
13. Chou, T., Electrocardiography in Clinical Practice Adult and Pediatric:
Myocardial Infarction, Myocardial Injury, and Myocardial Ischemia. 4th ed.
Pennsylvania: W. B. Saunders Company. 1996.
14. Irmalita, dkk. Tatalaksana Sindroma Koroner Akut dengan Elevasi Segmen
ST. In: Irmalita, Rilantono, L.I., Baraas, F., Karo Karo, S., Roebiono, P.S.,,
(ed). Standard Pelayanan Medik (SPM) Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh
Darah Harapan Kita Edisi 3.2009; 12-16
15. Aslan, Ahmad. Bathini, Prasantha. Smith, Robert. 2004. ACC/AHA
Guidelines for The Management of Patients with ST Elevation Myocardial
Infarction. Cardiac Cath Conference
16. Haru, Sjaharuddin., Alwi, Idrus. 2006. Infark miokard akut tanpa elevasi ST
dalam Aru W.S., Bambang S., Idrus A., Marcelius S.K., Siti S.S (Eds). Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. FK UI. Jakarta.
17. Elizabeth J. Corwin. Buku saku patofisiologi.Edisi ke-3.Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC;2009.hal.492-504.

33

18. Trisnohadi, Hanafi B,. 2006. Angina Pectoris Tak Stabil dalam Aru W.S.,
Bambang S., Idrus A., Marcelius S.K., Siti S.S (Eds). Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. FK UI. Jakarta.
19. Hamm CW, Braunwald E. A Classification of Unstable Angina revised
Circulation,

2000.

Accssed

Nov

2011.

Avalaible

from:

www.medicalcriteria.com/.../car_angina.htm
20. Hamm, Christian W; Bassand, Jean-Pierre; Agewall, Stefan and et al. ESC
Guidelines for the management of acute coronary syndromes in patients
presenting without persistent ST-segment elevation, 2011. Accessed 9 Nov
2011.

Avalaible

form:

http://www.escardio.org/guidelines-surveys/esc-

guidelines/Pages/ACS-non-ST-segment-elevation.aspx
21. Buku ajar Ilmu penyakit dalam jilid II.Edisi

ke-5.Jakarta:Interna

Publishing;2009.hal.1728-34.
22. Chung E.K. Penuntun Praktis Penyakit Kardiovaskuler.Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC;2000.

34

You might also like