Professional Documents
Culture Documents
Durameter adalah membran luas yang kuat, semi translusen, tidak elastis
menempel ketat pada bagian tengkorak. Bila durameter robek, tidak dapat diperbaiki
dengan sempurna. Fungsi durameter :
1.
Melindungi otak
2.
Menutupi sinus-sinus vena ( yang terdiri dari durameter dan lapisan endotekal
saja tanpa jaringan vaskuler ).
3.
Membentuk periosteum tabula interna.
Asachnoid adalah membrane halus, vibrosa dan elastis, tidak menempel pada
dura. Diantara durameter dan arachnoid terdaptr ruang subdural yang merupakan
ruangan potensial. Pendarahan sundural dapat menyebar dengan bebas. Dan hanya
terbatas untuk seluas valks serebri dan tentorium. Vena-vena otak yang melewati
Diameter adalah membran halus yang sangat kaya dengan pembuluh darah
halus, masuk kedalam semua sulkus dan membungkus semua girus, kedua lapisan
yang lain hanya menjembatani sulkus. Pada beberapa fisura dan sulkus di sisi medial
homisfer otak. Prametar membentuk sawan antar ventrikel dan sulkus atau vernia.
Sawar ini merupakan struktur penyokong dari pleksus foroideus pada setiap
ventrikel.
Diantara arachnoid dan parameter terdapat ruang subarachnoid, ruang ini melebar
dan mendalam pada tempat tertentu. Dan memungkinkan sirkulasi cairan
4.
cranial).
5.
Tekanan Intra Kranial (TIK).
Tekanan intra cranial (TIK) adalah hasil dari sejumlah jaringan otak, volume darah
intracranial dan cairan cerebrospiral di dalam tengkorak pada 1 satuan waktu.
Keadaan normal dari TIK bergantung pada posisi pasien dan berkisar 15 mmHg.
Ruang cranial yang kalau berisi jaringan otak (1400 gr), Darah (75 ml), cairan
cerebrospiral (75 ml), terhadap 2 tekanan pada 3 komponen ini selalu berhubungan
dengan keadaan keseimbangan Hipotesa Monro Kellie menyatakan : Karena
keterbatasan ruang ini untuk ekspansi di dalam tengkorak, adanya peningkatan salah
1 dari komponen ini menyebabkan perubnahan pada volume darah cerebral tanpa
adanya perubahan, TIK akan naik.
Peningkatan TIK yang cukup tinggi, menyebabkan turunnya batang ptak
(Herniasi batang otak) yang berakibat kematian.
B. Pengertian
Cedera kepala adalah cedera yang meliputi trauma kulit kepala, tengkorak dan
otak. Cedera kepala paling sering dan penyakit neurologik yang serius diantara penyakit
neurologik dan merupakan proporsi epidemic sebagai hasil kecelakaan jalan raya
(Smeltzer & Bare 2001).
Resiko utama pasien yang mengalami cidera kepala adalah kerusakan otak akibat
atau pembekakan otak sebagai respons terhadap cidera dan menyebabkan peningkatan
tekanan inbakranial, berdasarkan standar asuhan keperawatan penyakit bedah ( bidang
keperawatan Bp. RSUD Djojonegoro Temanggung, 2005), cidera kepala sendiri
didefinisikan dengan suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa
disertai pendarahan interslities dalam rubstansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas
otak.
Klasifikasi
b)
c)
d)
c. Berdasarkan morfologi
1)
Fraktur tengkorak
Kranium : linear/ stelatum ; depresi/ nondepresi ; terbuka/ tertutup
Basis
2)
Lesi intrakranial
Fokal : epidural, subdural, intracerebral
Difus : konkusi ringan, konkusi klasik, cedera aksonal difus.
C. Etiologi
Penyebab dari cedera kepala adalah adanya trauma pada kepala meliputi trauma
oleh benda/ serpihan tulang yang menembus jaringan otak, efek dari kekuatan/energi
yang diteruskan ke otak dan efek percepatan dan perlambatan (akselerasi-deselerasi) pada
otak, selain itu dapat disebabkan oleh Kecelakaan, Jatuh, Trauma akibat persalinan.
D. Tanda dan gejala
Hilangnya kesadaran kurang dari 30 menit atau lebih
Kebingungan
Iritabel
Pucat
Mual dan muntah
Pusing kepala
Terdapat hematoma
Kecemasan
Sukar untuk dibangunkan
Bila fraktur, mungkin adanya cairan serebrospinal yang keluar dari hidung (rhinorrohea)
dan telinga (otorrhea) bila fraktur tulang tempora.
E. Patofisiologi
Kranium merupakan struktur kuat yang berisi darah,jaringan otak dan jaringan
serebrospinal. Fungsi cerebral tergantung pada adekuatnya nutrisi seperti oksigen,
glukosa. Berat ringannya cedera kepala tergantung pada trauma kranium atau otak.
Cedera yang dialami dapat gegar otak, memar otak atau laserasi, fraktur dan atau
hematoma (injury vaskuler, epudural ; epidural atau subdural hematoma).
Cedera kepala yang terjadi dapat berupa percepatan (aselerasi) atau perlambatan
(deselerasi). Trauma dapat primer atau sekunder.
Trauma primer adalah trauma yang langsung mengenai kepala saat kejadian. Sedangkan
trauma sekunder merupakan kelanjutan dari trauma primer. Trauma sekunder dapat
terjadi meningkatnya tekanan intrakranial, kerusakan otak, infeksi dan edema cerebral.
Epidural hematoma merupakan injury pada kepala dengan adanya fraktur pada tulang
tengkorak dan terdapat lesi antara tulang tengkorak dan dura. Perdarahan ini dapat
meluas hingga menekan cerebral oleh karena adanya tekanan arteri yang tinggi.
Gejalanya akan tampak seperti kebingungan atau kesadaran delirium, letargi, sukar untuk
dibangunkan dan akhirnya bisa koma. Nadi dan nafas menjadi lambat, pupil dilatasi dan
adanya hemiparese.
Subdural hematoma adalah cedera kepala dimana adanya ruptur pembuluh vena dan
perdarahan terjadi antara dura dan serebrum atau antara duramater dan lapisan arakhnoid.
Terdapat dua tipe yaitu subdural hematoma akut dan kronik. Bila akut dapat dikaitkan
dengan kontusio atau laserasi yang berkembang beberapa menit atau jam. Manifestasi
tergantung pada besarnya kerusakan pada otak dan usia anak, dapat berupa kejang, sakit
kepala, muntah, meningkatnya lingkar kepala, iritabel dan perasaan mengantuk.
Cerebral hematoma adalah merupakan perdarahan yang terjadi akibat adanya memar
dan robekan pada cerebral yang akan berdampak pada perubahan vaskularisasi, anoxia
dan dilatasi dan edema. Kemudian proses tersebut akan terjadilah herniasi otak yang
mendesak ruang disekitarnya dan menyebabkan meningkatnya tekanan intrakranial.
Dalam jangka waktu 24 72 jam akan tampak perubahan status neurologi.
Fraktur yang terjadi pada cedera kepala dapat berupa fraktur linear, farktur depresi,
fraktur basiler, fraktur compound (laserasi kulit dan fraktur tulang). Perubahan
oksigenisasi akibat trauma otak dapat dilihat pada bagan berikut :
Gangguan oksigenisasi
Gangguan metabolisme
Edema jaringan otak
Meningkatnya volume dan tekanan intracranial
Tekanan intrakranial meningkat
Sumber: Suriadi&Yuliani, (2001)
F. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan diagnostik yang diperlukan pada klien dengan cedera kepala meliputi :
1.
CT scan (dengan / tanpa kontras)
Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan, ventrikuler, dan
perubahan jaringan otak.
2.
MRI
Digunakan sama dengan CT scan dengan / tanpa kontras radioaktif.
3.
Cerebral Angiography
Menunjukkan anomali sirkulasi serebral seperti perubahan jaringan otak
sekunder menjadi edema, perdarahan, dan trauma.
4.
Serial EEG
Dapat melihat perkembangan gelombang patologis.
5.
Sinar-X
Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
6.
7.
8.
9.
intracranial.
10. Screen Toxicology
Untuk mendeteksi pengaruh obat yang dapat menyebabkan penurunan
kesadaran.
11. Rontgen thoraks 2 arah (PA/AP dan lateral)
Rontgen thoraks menyatakan akumulasi udara / cairan pada area pleural.
12. Toraksentesis menyatakan darah / cairan.
13. Analisa Gas Darah (AGD / Astrup)
AGD adalah salah satu tes diagnostic untuk menentukan status respirasi.
Status respirasi yang dapat digambarkan melalui pemeriksaan AGD ini adalah
status oksigenasi dan status asam basa
G. Penatalaksanaan medis dan keperawatan
Penatalaksanaan saat awal trauma pada cedera kepala selain dari factor
mempertahankan fungsi ABC (airway, breathing, circulation) dan menilai status
neurologis (disability, exposure), maka factor yang harus diperhitungkan pula adalah
mengurangi iskemia serebri yang terjadi. Keadaan ini dapat dibantu dengan pemberian
oksigen dan glukosa sekalipun pada otak yang mengalami trauma relative memerlukan
oksigen dan glukosa yang lebih rendah.
Selain itu perlu pula dikontrol kemungkinan tekanan intracranial yang meninggi
disebabkan oleh edema serebri. Sekalipun tidak jarang memerlukan tindakan operasi,
tetapi usaha untuk menurunkan tekanan intracranial ini dapat dilakukan dengan cara
menurunkan PaCO2 dengan hiperventilasi yang mengurangi asidosis intraserebral dan
menambah metabolisme intraserebral. Adapun usaha untuk menurunkan PaCO2 ini yakin
dengan intubasi endotrakeal, hiperventilasi. Tin membuat intermittent iatrogenic paralisis.
Intubasi dilakukan sedini mungkin kepala klien-lkien yang koma untuk mencegah
terjadinya PaCO2 yang meninggi. Prinsip ABC dan ventilasi yang teratur dapat mencegah
peningkatan tekanan intracranial.
Penatalaksanaan konservatif meliputi :
1.
2.
3.
Bedrest total.
Observasi tanda-tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran).
Pemberian obat-obatan
Dexmethason / kalmethason sebagai pengobatan anti-edema serebral, dosis
sesuai dengan berat ringannya trauma.
Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat), untuk mengurangi vasodilatasi.
Pengobatan anti-edema dengan larutan hipertonis, yaitu manitol 20%, atau
glukosa 40%, atau gliserol 10%.
Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (pensilin) atau untuk infeksi
4.
5.
Pada trauma berat. Karena hari-hari pertama didapat klien mengalami penurunan
kesadaran dan cenderung terjadi retensi natrium dan elektrolit maka hari-hari
pertama (2-3 hari) tidak terlalu banyak cairan. Dextosa 5% 8 jam pertama, ringer
dextrosa 8 jam kedua, dan dextrose 5% 8 jam ketiga, pada hari selanjutnya bila
kesadaran rendah maka makanan diberikan melalui nasogastric tube (2500-300
TKTP). Pemberian protein tergantung dari nilai urenitrogennya.
H. Proses keperawatan
Pengkajian
1.
Riwayat kesehatan: waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat kejadian, status
2.
-
hiperventilasi, ataksik).
Kardiovaskuler: pengaruh perdarahan organ atau pengaruh PTIK
Sistem saraf: Kesadaran GCS.
Fungsi saraf kranial ataau trauma yang mengenai/meluas ke batang otak akan
retensi
keluarga.
Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin timbul adalah:
natrium
dan
cairan.
1.
Resiko tidak efektifnya bersihan jalan nafas dan tidak efektifnya pola nafas
7.
tekanan intrakranial.
5.
Nyeri berhubungan dengan trauma kepala
6.
Resiko infeksi berhubungan dengan kondisi penyakit akibat trauma kepala.
Kecemasan orang tua-anak berhubungan dengan kondisi penyakit akibat trauma
8.
kepala
Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi
1.
Intervensi Keperawatan
Resiko tidak efektifnya bersihan jalan nafas dan tidak efektifnya pola nafas
berhubungan dengan gagal nafas, adanya sekresi, gangguan fungsi pergerakan,
kepala ekstensi dan hati-hati dalam mengatur posisi bila ada cedera vertebra.
Pastikan jalan nafas tetap terbuka dan kaji adanya sekret. Bila ada sekret segera
kedalamannya,
usaha
dalam
bernafas.
Bila tidak ada fraktur servikal berikan posisi kepala sedikit ekstensi dan tinggikan
-
15 30 derajat.
Pemberian oksigen sesuai program.
2.
Perfusi jaringan serebral adekuat yang ditandai dengan tidak ada pusing hebat,
kesadaran tidak menurun, dan tidak terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan
intrakranial.
-
Intervensi:
Tinggikan posisi kepala 15 30 derajat dengan posisi midline untuk
menurunkan tekanan vena jugularis.
Hindari
hal-hal
yang
dapat
menyebabkan
terjadinya
suction, perkusi).
Tekanan pada vena leher, pembalikan posisi dari samping ke samping (dapat
program.
Pemberian terapi cairan intravena dan antisipasi kelebihan cairan karena dapat
3.
kesadaran
Tujuan:
Tidak ditemukan tanda-tanda kekurangan volume cayran atau dehidrasi yang ditandai
dengan membran mukosa lembab, integritas kulit baik, dan nilai elektrolit dalam batas
normal.
Intervensi:
Kaji intake dan out put.
Kaji tanda-tanda dehidrasi: turgor kulit, membran mukosa, dan ubun-ubun atau
mata cekung dan out put urine.
4.
Tujuan:
Terbebas dari injuri.
Intervensi:
Kaji status neurologis : perubahan kesadaran, kurangnya respon terhadap nyeri,
5.
Tujuan:
Merasa nyaman yang ditandai dengan tidak mengeluh nyeri, dan tanda-tanda vital dalam
batas normal.
Intervensi:
Kaji keluhan nyeri dengan menggunakan skala nyeri, catat lokasi nyeri, lamanya,
-
6.
Resiko infeksi berhubungan dengan kondisi penyakit akibat trauma kepala.
Tujuan:
Terbebas dari infeksi yang ditandai dengan tidak ditemukan tanda-tanda infeksi: suhu
tubuh dalam batas normal, tidak ada pus dari luka, leukosit dalam batas normal.
Intervensi:
Kaji adanya drainage pada area luka.
Monitor tanda-tanda vital: suhu tubuh.
Lakukan perawatan luka dengan steril dan hati-hati.
Kaji tanda dan gejala adanya meningitis, termasuk kaku kuduk, iritabel, sakit
kepala, demam, muntah dan kenjang.
7.
Tujuan:
Menunjukkan rasa cemas berkurang yang ditandai dengan tidak gelisah dan dapat
mengekspresikan perasaan tentang kondisi dan aktif dalam perawatan
Intervensi:
Jelaskan tentang prosedur yang akan dilakukan, dan tujuannya.
Anjurkan untuk selalu berada di samping anak.
Ajarkan untuk mengekspresikan perasaan.
Gunakan komunikasi terapeutik.
8.
Tujuan:
Tidak ditemukan tanda-tanda gangguan integritas kulit yang ditandai dengan kulit tetap
utuh.
Intervensi:
Lakukan latihan pergerakan (ROM).
Pertahankan posisi postur tubuh yang sesuai.
Rubah posisi setiap 2 jam sekali atau sesuai dengan kebutuhan dan kondisi
Kaji area kulit: adanya lecet.
Lakukan back rub setelah mandi di area yang potensial menimbulkan lecet dan
pelan-pelan agar tidak menimbulkan nyeri.
I.
Prioritas masalah