You are on page 1of 17

Rhinitis Atrofi (Ozaena)

BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Rinitis atrofi adalah penyakit infeksi hidung kronik, yang ditandai adanya
atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka dan pembentukan krusta. Disebut juga
rhinitis chronica atrophicanscum foetida, sebab ada rhinitis chronica atrophican non
foetida. Secara klinis, mukosa hidung menghasilkan sekret yang kental dan cepat
mengering, sehingga terbentuk krusta yang berbau busuk.
Etiologi dan patogenesis rinitis atrofi sampai sekarang belum dapat
diterangkan dengan memuaskan. Oleh karena etiologinya belum pasti, maka
pengobatannya belum ada yang baku. Pengobatan ditujukan untuk menghilangkan
faktor penyebab dan untuk menghilangkan gejala. Pengobatan dapat diberikan secara
konservatif atau jika tidak menolong, dilakukan operasi. Menurut pengalaman, untuk
kepentingan klinis perlu ditetapkan derajat ozaena sebelum diobati, yaitu ringan,
sedang atau berat, oleh karena ini sangat menentukan terapi dan prognosisnya.
Biasanya diagnosis ozaena secara klinis tidak sulit. Biasanya discharge berbau,
bilateral, terdapat crustae kuning kehijau-hijauan. Keluhan subjektif yang sering
ditemukan pada pasien biasanya napas berbau (sementara pasien sendiri menderita
anosmia).(1,2,10,11)
Menurut Boies frekwensi penderita rhinitis atrofi wanita : laki adalah 3 : 1.
Penyakit ini lebih sering mengenai wanita, usia 1-35 tahun terutama pada usia
pubertas. Sering ditemukan pada masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi rendah
dan di lingkungan yang buruk dan di negara sedang berkembang.(1,2)
Ozaena lebih umum di negara-negara sekitar Laut Tengah daripada di
Amerika Serikat. Menurunnya insidens campak, scarlet fever, dan difteria di Eropa
Selatan sejak perang dunia ke II tampaknya timbul bersaman dengan suatu penurunan
tajam dalam insidens ozaena.(3)
Salma Yanti FK-UNAYA
Halaman
KKS SMF THT-KL RSU Kabanjahe 2012

Rhinitis Atrofi (Ozaena)

Rhinitis alergi merupakan penyakit yang mempengaruhi masyarakat dengan


persentase yang besar, dengan perkiraan prevalensi sebesar 9-42%. Penyakit ini dapat
diklasifikasikan menjadi seasonal atau perennial tergantung apakah gejala yang
muncul terjadi dengan interval tahunan yang tetap atau terjadi sepanjang tahun.
Japanese cedar pollinosis (JCPsis) merupakan alergi tipe I yang diperantarai oleh
imunoglobulin E (IgE), yang disebabkan oleh paparan terhadap Japanese cedar
(Crptomeria japonica) pollen (JCP), yang normalnya ada dari awal Februari-akhir
April. Beberapa dekade terakhir terjadi peningkatan prevalensi alergi ini dan
mengenai >16% masyarakat Jepang. Penjelasan mengenai peningkatan prevalensi
tersebut adalah dengan hipotesis hygiene, yang mendalilkan bahwa penurunan
kesempatan terpapar dengan patogen immunostimulating pada masa kanak-kanak
awal dapat menyebabkan peningkatan prevalensi penyakit alergi (9)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Salma Yanti FK-UNAYA
Halaman
KKS SMF THT-KL RSU Kabanjahe 2012

Rhinitis Atrofi (Ozaena)

II.1 ANATOMI
Untuk mengetahui penyakit dan kelainan hidung perlu diketahui dulu tentang
anatomi hidung. Hidung terdiri dari hidung bagian luar dan rongga hidung dengan
perdarahan serta persarafannya, serta fisiologi hidung.
Hidung luar berbentuk pyramid dengan bagian-bagiannya :
1. Pangkal hidung (bridge).
2. Dorsum nasi.
3. Puncak hidung.
4. Ala nasi.
5. Kolumela.
6. Lubang hidung.
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau
menyempitkan lubang hidung.
Rongga hidung atau cavum nasi berbentuk terowongan dari depan
kebelakang, dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya menjadi cavum nasi
kanan dan kiri dan lubang belakang disebut nares posterior atau koana yang
menghubungkan cavum nasi dengan nasofaring

Salma Yanti FK-UNAYA


Halaman
KKS SMF THT-KL RSU Kabanjahe 2012

Rhinitis Atrofi (Ozaena)

Gambar 1. Anatomi Rongga Hidung


Bagian dari cavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat dibelakang
nares anterior disebut vestibulum. Vestibulum mempunyai banyak kelenjar sebasea
dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise.
Tipa cavum nasi yang mempunyai 4 (empat) buah dinding, yaitu dinding
lateral, medial, inferior dan superior.
Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan
tulang rawan. Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os etmoid, vomer, Krista
nasalis os maksila dan Krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah
kartilago septum tampak kolumela.
Bagian depan dinding lateral hidung licin, yang disebut ager nasi dan
dibelakangnya terdapat konka-konka yang mengisi sebahagian besar dinding lateral
hidung.
Pada dinding lateral terdapat 4 (empat) buah konka. Yang terbesar dan
letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang paling kecil ialah konka
media, lebih kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka
suprema ini biasanya rudimenter.
Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang
disebut meatus. Tergantung dari letak meatus ada 3 meatus yaitu superior, inferior,
Salma Yanti FK-UNAYA
Halaman
KKS SMF THT-KL RSU Kabanjahe 2012

Rhinitis Atrofi (Ozaena)

media.(1)
Pendarahan Hidung
Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a.etmoid anterior dan
posterior yang merupakan cabang dari a.oftalmikus, sedangkan a.oftalmikus berasal
dari a.karotis interna.
Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a.maksila
interna. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari a.fasialis. Pada bagian depan
septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.sfenopalatina, a.etmoidalis
anterior, a.labialis superior dan a.palatina mayor, yang disebut pleksus kiesselbach.
Pleksus kiesselbach letaknya superficial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga
sering menjadi sumber epistaksis.(1)

Gambar 2 . Perdarahan Hidung

Persarafan Hidung.
Salma Yanti FK-UNAYA
Halaman
KKS SMF THT-KL RSU Kabanjahe 2012

Rhinitis Atrofi (Ozaena)

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari
n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris yang berasal dari
N.oftalmikus (N.V-I).
Rongga hidung lainnya sebahagian besar mendapat persarafan sensoris dari
n.maksila melalui ganglion sfenopalatinum.(1)
Fisiologi Hidung.
Fungsi hidung ialah :
1. Sebagai jalan nafas, untuk mengatur keluar masuknya udara.
2. Pengatur kondisi udara (Air Conditioning), perlu untuk mempersiapkan udara
yang akan masuk kedalam alveolus paru. Fungsi ini dilakukan dengan cara
mengatur kelembaban udara dan mengatur suhu.
3. Sebagai penyaring dan pelindung, ini berguna untuk membersihkan udara
yang masuk dari debu dan bakteri.
4. Indera pencium dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung,
konka superior dan sepertiga atas septum.
5. Resonansi suara, penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi.
6. Proses bicara, hidung membantu proses pembentukan kata-kata.
7. Reflek nasal, mukosa hidung merupakan reseptor reflek yang berhubungan
dengan saluran cerna, kardiovaskuler, pernafasan.(1)

II.2 DEFENISI
Rhinitis atrofi adalah suatu penyakit infeksi hidung dengan tanda adanya
atrofi progresif tulang dan mukosa konka. Secara klinis mukosa hidung menghasilkan
secret kental dan cepat mongering sehingga terbentuk krusta berbau busuk, sering
mengenai tingkat social ekonomi rendah dan lingkungan yang buruk.
Lebih sering mengenai wanita pada usia antara 1-35 tahun, terbanyak pada
usia pubertas. Secara histopatologik tampak mukosa hidung menjadi tipis, silia
Salma Yanti FK-UNAYA
Halaman
KKS SMF THT-KL RSU Kabanjahe 2012

Rhinitis Atrofi (Ozaena)

menghilang. Metaplasia epitel torak bersilia menjadi epitel kubik atau gepeng
berlapis, kelenjar-kelenjar bergenerasi dan atrofi serta jumlahnya berkurang dan
berbentuk menjadi kecil.(5,7,11)
II.3 EPIDEMIOLOGI
Beberapa kepustakaan menuliskan bahwa rinitis atrofi lebih sering mengenai
wanita, terutama pada usia pubertas. Baser dkk mendapatkan 10 wanita dan 5 pria,
dan Jiang dkk mendapatkan 15 wanita dan 12 pria. Samiadi mendapatkan 4 penderita
wanita dan 3 pria. Menurut Boies frekwensi penderita rhinitis atrofi wanita : laki
adalah 3 : 1. Tetapi dari segi umur, beberapa penulis mendapatkan hasil yang berbeda.
Baser dkk mendapatkan umur antara 26-50 tahun, Jiang dkk berkisar 13-68 tahun,
Samiadi mendapatkan umur antara 15-49 tahun. Penyakit ini sering ditemukan di
kalangan masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi rendah dan lingkungan yang
buruk dan di negara sedang berkembang.(1,2)
Ozaena lebih umum di negara-negara sekitar Laut Tengah daripada di
Amerika Serikat. Menurunnya insidens campak, scarlet fever, dan difteria di Eropa
Selatan sejak perang dunia ke II tampaknya timbul bersaman dengan suatu penurunan
tajam dalam insidens ozaena.(3,5)
II.4 ETIOLOGI
Penyebab rinitis atrofi (Ozaena) belum diketahui sampai sekarang.
Terdapat berbagai teori mengenai penyebab rinitis atrofik dan penyakit degeneratif
sejenis. Beberapa penulis menekankan faktor herediter. Namun ada beberapa keadaan
yang dianggap berhubungan dengan terjadinya rinitis atrofi (Ozaena), yaitu : (4,5,7,8)
1. Infeksi kuman spesifik, yang tersering ditemukan adalah spesies Klebsiela,
terutama klebsiela ozaena. Kuman lainnya antara lain staphylokokus,
streptokokus dan pseudomonas aeruginosa.
2. Beberapa factor yang mungkin menimbulkan penyakit ini adalah sinusitis
kronis, trauma yang luas pada mukosa, sifilis.
Salma Yanti FK-UNAYA
Halaman
KKS SMF THT-KL RSU Kabanjahe 2012

Rhinitis Atrofi (Ozaena)

3. Oleh karena penyakit ini mulai timbul pada usia remaja (pubertas) dan lebih
banyak ditemukan pada wanita, maka diduga ketidakseimbangan endokrin
juga berperan sebagai penyebab penyakit ini.
4. Gizi buruk, biasanya karena defisiensi vitamin A, vitamin C dan zat besi.
5. Penyakit kolagen, yang termasuk penyakit autoimun.
6. Herediter.
7. Berhubungan dengan trauma atau terapi radiasi. Trauma dapat terjadi karena
kecelakaan ataupun iatrogenik, yaitu efek lanjut pembedahan, sedangkan
terapi radiasi pada hidung segera merusak pembuluh darah dan kelenjar
penghasil mucus.
Selain faktor-faktor di atas, rinitis atrofi juga bisa digolongkan atas : rinitis
atrofi primer yang penyebabnya tidak diketahui dan rinitis atrofi sekunder, akibat
trauma hidung (operasi besar pada hidung atau radioterapi) dan infeksi hidung kronik
yang disebabkan oleh sifilis, lepra, midline granuloma, rinoskleroma dan tbc. Radiasi
pada hidung umumnya segera merusak pembuluh darah dan kelenjar penghasil
mukus dan hampir selalu menyebabkan rinitis atrofik. Berbagai infeksi seperti
eksantema akut, scarlet fever, difteri dan infeksi kronik telah diimplikasikan sebagai
penyebab cedera pembuluh darah submukosa. Penyebab dari lingkungan juga telah
diajukan karena angka insiden yang lebih tinggi pada masyarakat sosio ekonomi
rendah.1,5
II.5 PATOLOGI DAN PATOGENESIS (4,7,8)
Adanya metaplasi epitel kolumnar bersilia menjadi epitel skuamous atau
atrofik dan fibrosis dari tunika propria. Terdapat pengurangan kelenjar alveolar baik
dalam jumlah dan ukuran dan adanya endarteritis dan periarteritis pada arteriole
terminal. Oleh karena itu secara patologi, rinitis atrofi bisa dibagi menjadi dua:
1) Tipe I : adanya endarteritis dan periarteritis pada arteriole terminal akibat
infeksi kronik; membaik dengan efek vasodilator dari terapi estrogen.
Salma Yanti FK-UNAYA
Halaman
KKS SMF THT-KL RSU Kabanjahe 2012

Rhinitis Atrofi (Ozaena)

2) Tipe II : terdapat vasodilatasi kapiler, yang bertambah jelek dengan terapi


estrogen.
Sebagian besar kasus merupakan tipe I. Endarteritis di arteriole akan
menyebabkan berkurangnya aliran darah ke mukosa. Juga akan ditemui infiltrasi sel
bulat di submukosa. Taylor dan Young mendapatkan sel endotel berreaksi positif
dengan fosfatase alkali yang menunjukkan adanya absorbsi tulang yang aktif.
Atrofi epitel bersilia dan kelenjar seromusinus menyebabkan pembentukan
krusta tebal yang melekat. Atrofi konka menyebabkan saluran nafas jadi lapang. Ini
juga dihubungkan dengan teori proses autoimun; Dobbie mendeteksi adanya antibodi
yang berlawanan dengan surfaktan protein A. Defisiensi surfaktan merupakan
penyebab utama menurunnya resistensi hidung terhadap infeksi
Fungsi surfaktan yang abnormal menyebabkan pengurangan efisiensi mucus
clearance dan mempunyai pengaruh kurang baik terhadap frekuensi gerakan silia. Ini
akan menyebabkan bertumpuknya lendir dan juga diperberat dengan keringnya
mukosa hidung dan hilangnya silia. Mukus akan mengering bersamaan dengan
terkelupasnya sel epitel, membentuk krusta yang merupakan medium yang sangat
baik untuk pertumbuhan kuman
Perubahan histopatologi dalam hidung pada rinitis atrofi (Ozaena), yaitu : (5)

Mukosa hidung. Berubah menjadi lebih tipis.

Silia hidung. Silia akan menghilang.

Epitel hidung. Terjadi perubahan metaplasia dari epitel torak bersilia


menjadi epitel kubik atau epitel gepeng berlapis.

Kelenjar hidung. Mengalami degenerasi, atrofi (bentuknya mengecil), atau


jumlahnya berkurang.

II.6 GEJALA KLINIS


Atrofi sedang tidak hanya mempengaruhi daerah mukosa hidung yang lebih
besar, namun terutama melibatkan suplai darah epitel hidung, secara berlahan
memperbesar rongga hidung ke segala jurusan dengan semakin tipisnya epitel.
Salma Yanti FK-UNAYA
9
Halaman
KKS SMF THT-KL RSU Kabanjahe 2012

Rhinitis Atrofi (Ozaena)

Kelenjar mukosa atrofi dan menghilang sementara fibrosis jaringan subepitel


berlahan-lahan menyeluruh. Jaringan disekitar mukosa juga ikut terlibat termasuk
kartilago, otot dan kerangka tulang hidung. Akhirnya kekeringan, pembentukan
krusta dan iritasi mukosa hidung dapat meluas ke epitel nasofaring dan laring.
Keadaan ini dapat mempengaruhi potensi tuba eustachius, berakibat efusi
telinga kronik, dan dapat menimbulkan perubahan yang tidak diharapkan pada
apparatus lakrimalis, termasuk keratitis sikka.(2)
Pada perubahan lanjut rhinitis atrofi, dikenal sebagai ozaena atau krusta yang
banyak dapat disertai bau busuk mamualkan. Sementara orang disekeliling penderita
tidak tahan terhadap bau busuk tersebut, pasien sendiri tidak merasakannya karena
anosmia. Ia mengeluh kehilangan indera pengecap dan tidak bisa tidur nyenyak
ataupun tidak tahan udara dingin. Meskipun jalan menjadi semakin lebar, pasien
merasakan sumbatan yang makin progresif saat bernafas lewat hidung, terutama
karena katup udara yang mengatur perubahan tekanan hidung, dan menghantarkan
impuls sensoris dari mukosa hidung ke sistem saraf pusat telah bergerak semakin
jauh. Keluhan yang lain pada rhinitis atrofi adalah nyeri kepala dan epistaksis.(1,3,4,7,8)
Sutomo dan Samsudin membagi ozaena secara klinik dalam tiga tingkat : (4,7,8)
a) Tingkat I : Atrofi mukosa hidung, mukosa tampak kemerahan dan berlendir,
krusta sedikit.
b) Tingkat II : Atrofi mukosa hidung makin jelas, mukosa makin kering, warna
makin pudar, krusta banyak, keluhan anosmia belum jelas.
c) Tingkat III : Atrofi berat mukosa dan tulang sehingga konka tampak sebagai garis,
rongga hidung tampak lebar sekali, dapat ditemukan krusta di nasofaring, terdapat
anosmia yang jelas.
Pemeriksaan THT pada kasus rinitis atrofi (Ozaena) dapat kita temukan : (5)

Rongga hidung. Rongga hidung sangat lapang.

Salma Yanti FK-UNAYA


Halaman
KKS SMF THT-KL RSU Kabanjahe 2012

10

Rhinitis Atrofi (Ozaena)

Konka hidung. Konka nasi media dan konka nasi inferior mengalami hipotrofi
atau atrofi.

Sekret. Sekret purulen dan berwarna hijau.

Krusta. Berwarna hijau.

II.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG (5,6,12)


Pemeriksaan penunjang pada kasus rinitis atrofi (Ozaena) yang dapat kita
lakukan antara lain :

Transiluminasi.

Foto Rontgen. Foto sinus paranasalis.

CT scan sinus paranasalis.

Pemeriksaan mikroorganisme.

Uji resistensi kuman.

Pemeriksaan darah tepi.

Pemeriksaan Fe serum.

Pemeriksaan histopatologi. Pemeriksaan histopatologi yang berasal dari biopsi


konka media. Dari pemeriksaan histopatologi terlihat mukosa hidung menjadi
tipis, silia hilang, metaplasia torak bersilia menjadi epitel kubik atau gepeng
berlapis, kelenjar berdegenerasi atau atrofi, jumlahnya berkurang dan
bentuknya mengecil.

II.8 DIAGNOSIS(4,7,8)
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan darah rutin,
rontgen foto sinus paranasal, pemeriksaan Fe serum, Mantoux test, pemeriksaan
histopatologi dan test serologi (VDRL test dan Wasserman test) untuk menyingkirkan
sifilis. Diagnosis Banding: Rinitis kronik tbc, rinitis kronik lepra, rinitis kronik sifilis
dan rinitis sika.
Salma Yanti FK-UNAYA
Halaman
KKS SMF THT-KL RSU Kabanjahe 2012

11

Rhinitis Atrofi (Ozaena)

II.9 DIAGNOSIS BANDING(4,8)


Diagnosis rinitis atrofi (ozaena) antara lain :
1.

Rinitis kronik TBC


Secara klinis rinitis aropi dan rhinitis kronik TBC sama,dapat dibedakan
dengan pemeriksaan Foto Rontgen Thorak.

2.

rinitis kronik lepra


penderita rinitis kronik lepra mempunyai riwayat atau sedang menderita
penyakit Lepra

3.

rinitis kronik sifilis


Rinitis kronik sifilis terjadi pada penderita yang sedang atau sudah pernah
menderita penyakit sifilis sebelumnya

4.

rinitis sika

II.10 PENATALAKSANAAN
Hingga kini pengobatan medis terbaik rinitis atrofik hanya bersifat paliatif.
Termasuk dengan irigasi dan membersihkan krusta yang terbentuk, terapi sistemik
dan lokal dengan endokrin; steroid; dan antibiotik; vasodilator; pemakaian iritan
jaringan lokal ringan seperti alkohol; dan salep pelumas. Penekanan terapi utama
adalah pembedahan, yaitu usaha-usaha langsung mengecilkan rongga hidung, dan
dengan demikian juga memperbaiki suplai darah mukosa hidung. 5 Tujuan pengobatan
adalah menghilangkan faktor etiologi/ penyebab dan menghilangkan gejala.
Pengobatan dapat diberikan secara konservatif atau kalau tidak menolong dilakukan
operasi.(1)
II.10.1 Konservatif(1,3,4,6,7,8,10)
Pengobatan konservatif ozaena meliputi pemberian antibiotik, obat cuci
hidung, dan simptomatik

Salma Yanti FK-UNAYA


Halaman
KKS SMF THT-KL RSU Kabanjahe 2012

12

Rhinitis Atrofi (Ozaena)

1) Antibiotik spektrum luas sesuai uji resistensi kuman, dengan dosis adekuat
sampai tanda-tanda infeksi hilang. Qizilbash dan Darf melaporkan hasil yang baik
pada pengobatan dengan Rifampicin oral 600 mg 1 x sehari selama 12 minggu.
2) Obat cuci hidung, untuk membersihkan rongga hidung dari krusta dan sekret dan
menghilangkan bau. Antara lain :
a. Betadin solution dalam 100 ml air hangat atau
b. Campuran :

NaCl

NH4Cl

NaHCO3 aaa 9

Aqua ad 300 cc 1 sendok makan dicampur 9 sendok makan air hangat

c. Larutan garam dapur


d. Campuran :

Na bikarbonat 28,4 g

Na diborat 28,4 g

NaCl 56,7 g dicampur 280 ml air hangat

Larutan dihirup ke dalam rongga hidung dan dikeluarkan lagi dengan


menghembuskan kuat-kuat, air yang masuk ke nasofaring dikeluarkan melalui mulut,
dilakukan dua kali sehari. Pemberian obat simptomatik pada rinitis atrofi (Ozaena)
biasanya dengan pemberian preparat Fe.
3) Obat tetes hidung , setelah krusta diangkat, diberi antara lain : glukosa 25% dalam
gliserin untuk membasahi mukosa, oestradiol dalam minyak Arachis 10.000 U /
ml, kemisetin anti ozaena solution dan streptomisin 1 g + NaCl 30 ml. diberikan
tiga kali sehari masing-masing tiga tetes.
4) Vitamin A 3 x 10.000 U selama 2 minggu.
5) Preparat Fe.

Salma Yanti FK-UNAYA


Halaman
KKS SMF THT-KL RSU Kabanjahe 2012

13

Rhinitis Atrofi (Ozaena)

6) Selain itu bila ada sinusitis, diobati sampai tuntas. Sinha, Sardana dan Rjvanski
melaporkan ekstrak plasenta manusia secara sistemik memberikan 80% perbaikan
dalam 2 tahun dan injeksi ekstrak plasenta submukosa intranasal memberikan
93,3% perbaikan pada periode waktu yang sama. Ini membantu regenerasi epitel
dan jaringan kelenjar. Samiadi dalam laporannya memberikan : trisulfa 3 x 2
tablet sehari selama 2 minggu, natrium bikarbonat, cuci hidung dengan Na Cl
fisiologis 3 x sehari, kontrol darah dan urine seminggu sekali untuk melihat efek
samping obat, pembersihan hidung di klinik tiap 2 minggu sekali, cuci hidung
diteruskan sampai 2-3 bulan kemudian dan didapatkan hasil yang memuaskan
pada 6 dari 7 penderita.

II.10.2 Operasi (1,4,7,8,11)


Tujuan operasi pada rhinitis atrofi (ozaena) antara lain untuk : menyempitkan
rongga hidung yang lapang, mengurangi pengeringan dan pembentukan krusta dan
mengistirahatkan mukosa sehingga memungkinkan terjadinya regenerasi. Teknik
bedah dibedakan menjadi dua kategori utama :
1) Implan dengan pendekatan intra atau ekstra nasal dan
2) Operasi, seperti penyempitan lobulus hidung atau fraktur tulang hidung ke arah
dalam.
Beberapa teknik operasi yang dilakukan antara lain :
1) Young's operation
Penutupan total rongga hidung dengan flap. Sinha melaporkan hasil yang baik
dengan penutupan lubang hidung sebagian atau seluruhnya dengan menjahit salah
satu hidung bergantian masing-masing selama periode tiga tahun.
2) Modified Young's operation
Penutupan lubang hidung dengan meninggalkan 3 mm yang terbuka.
3) Lautenschlager operation
Salma Yanti FK-UNAYA
Halaman
KKS SMF THT-KL RSU Kabanjahe 2012

14

Rhinitis Atrofi (Ozaena)

Dengan memobilisasi dinding medial antrum dan bagian dari etmoid, kemudian
dipindahkan ke lubang hidung.
4) Implantasi submukosa dengan tulang rawan, tulang, dermofit, bahan sintetis
seperti Teflon, campuran Triosite dan Fibrin Glue.
5) Transplantasi duktus parotis ke dalam sinus maksila (Wittmack's operation) dengan
tujuan membasahi mukosa hidung. Mewengkang N melaporkan operasi
penutupan koana menggunakan flap faring pada penderita ozaena anak berhasil
dengan memuaskan.
Bila pengobatan konsevatif adekuat yang cukup lama tidak menunjukkan
perbaikan, pasien dirujuk untuk dilakukan operasi penutupan lubang hidung.
Prinsipnya mengistirahatkan mukosa hidung pada nares anterior atau koana sehingga
menjadi normal kembali selama 2 tahun. Atau dapat dilakukan implantasi untuk
menyempitkan rongga hidung.(3)
II.10 KOMPLIKASI(4,7,8)
Komplikasi rinitis atrofi (ozaena) dapat berupa :
1. Perforasi septum
2. Faringitis
3. Sinusitis
4. Miasis hidung
5. Hidung pelana

Salma Yanti FK-UNAYA


Halaman
KKS SMF THT-KL RSU Kabanjahe 2012

15

Rhinitis Atrofi (Ozaena)

BAB III
KESIMPULAN
Rinitis atrofi merupakan infeksi hidung kronik, yang ditandai oleh adanya
atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka. Secara klinis mukosa hidung
menghasilkan sekret yang kental dan cepat mengering sehingga terbentuk krusta yang
berbau busuk.
Wanita lebih sering terkena terutama usia pubertas. Sering ditemukan pada
masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi yang rendah dan sanitasi lingkungan yang
buruk.
Diagnosis ditegakkan dari gejala dan tanda klinis yang ditemukan. Pada
anamnesis, didapatkan keluhan berupa napas berbau, ada ingus kental yang berwarna
hijau, ada krusta hijau, ada gangguan penghidu, sakit kepala, dan hidung terasa
tersumbat. Pada pemeriksaan hidung didapatkan rongga hidung sangat lapang, konka
inferior dan media menjadi atrofi, ada sekret purulen, dan krusta yang berwarna hijau.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah pemeriksaan histopatologik yang
berasal dari konka media, pemeriksaan mikrobiologi dan uji resistensi kuman dan
tomografi komputer (CT scan) sinus paranasal.
Oleh karena etiologinya multifaktorial, maka pengobatannya belum ada yang
baku. Pengobatan ditujukan untuk mengatasi etiologi dan menghilangkan gejala.
Pengobatan yang diberikan dapat bersifat konservatif, atau kalau tidak dapat
menolong dilakukan pengobatan operatif. Pengobatan konservatif dengan pemberian
antibiotika berspektrum luas atau sesuai dengan uji resistensi kuman, dengan dosis
yang adekuat. Obat cuci hidung juga diberikan untuk menghilangkan bau busuk.
Pengobatan operatif dengan operasi penutupan lubang hidung atau penyempitan
lubang hidung dengan implantasi atau dengan jabir osteoperiosteal.

Salma Yanti FK-UNAYA


Halaman
KKS SMF THT-KL RSU Kabanjahe 2012

16

Rhinitis Atrofi (Ozaena)

DAFTAR PUSTAKA
1. Prof. Dr. H. Nurbaiti Iskandar, Sp.THT, Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga
Hidung Tenggorokan, Edisi III, editor : H. Dr. Efianty Arsyad Soepardi,
Sp.THT, Fak. Kedokteran UI, Jakarta, 1997, Hal : 89-95 ; 113-115.
2. Adams, Boeis higler, Buku Ajar Penyakit THT, Edisi VI, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Hal : 221-222.
3. A. Mansyoer, Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ketiga Jilid Satu, FK UI,
Jakarta, Hal : 100-101.
4. Asnir, A. R. 2004. Rinitis Atrofi. Available from : http://www.kalbe.co.id.
Accessed : 2012, Desember. Sumber : Cermin Dunia Kedokteran No. 144,
2004. Hal 5-7.
5. Http://hennykartika.wordpress.com/
6. Http://www.rachimuddin.com/rhinitis+atopi-file.
7. Http://www.kesimpulan.com/2009/05/rhinitis-atrofi.htm
8. Http://www.netdoctor.co.uk/diseases/facts/cermin dunia kedokteran.htm.
9. http://www.kalbe.co.id/health profesional.
10. Http://www.usupress.usu.ac.id/.../MKN%20Vol_%2039%20No_
%202%20Juni%202006.pdf
11. Http://en.wikipedia.org/wiki/Atrophic_rhinitis#Aetiology

Salma Yanti FK-UNAYA


Halaman
KKS SMF THT-KL RSU Kabanjahe 2012

17

You might also like