You are on page 1of 19

BAB I

PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Neonatus berasal dari bahasa latin yang berarti baru saja dilahirkan.Dalam dunia

kedokteran,neonatus didefinisikan sebagai masa kehidupan pertama ekstrauteri sampai


dengan usia 28 hari atau 4 minggu pertama setelah kelahiran.
Kejang adalah suatu manifestasi klinis sebagai akibat dari cetusan yang berlebihan
dan abnormal dari sel-sel neuron di otak. Manifestasi klinis dapat berupa fenomena abnormal
yang sementara dan mendadak, antara lain berupa gangguan kesadaran, motorik, sensorik,
otonom, ataupun psikis. Kejang merupakan salah satu gejala gangguan susunan saraf pusat
dan kedaruratan paling sering pada masa neonatus.Kejang pada neonatus adalah kejang yang
terjadi pada bayi baru lahir sampai usia 28 hari.
Angka kejadian kejang pada neonatus terjadi lebih tinggi pada bayi kurang bulan (3,9
%) pada bayi dengan usia kehamilan < 30 minggu. Di Amerika Serikat,angka kejadian kejang
pada neonatus belum jelas terdeteksi, diperkirakan sekitar 80-120 per 100.000 neonatus per
tahun. Perbandingannya antara 1-5 :1000 angka kelahiran. Angka kematian pada neonatus di
Indonesia menduduki angka 57 % dari angka kematian bayi (AKB) sedangkan kematian
neonatus yang diakibatkan oleh kejang sekitar 10 % .
Kejang pada neonatus sulit untuk dideteksi, dicegah, serta berkaitan erat dengan
mortalitas dan morbiditas.Beberapa tahun belakangan, dipercaya bahwa otak yang immatur
akan lebih banyak terjadi kejang ketika menerima suatu rudapaksa daripada otak yang sudah
matur. Hal ini diperkuat oleh beberapa penelitian yang dilakukan bahwa kejang di awal
kehidupan dapat menghasilkan perubahan perilaku yang permanen meskipun mekanisme dari
kejang yang menimbulkan kerusakan fungsi ini belum tergambar jelas .
Banyak penelitian mengenai faktor resiko kejang pada neonatus, hasil penelitian
menyebutkan bahwa bayi prematur dengan berat lahir rendah. Kehamilan nulipara dengan
persalinan spontan memiliki resiko 1,3 kali lebih besar dibandingkan kehamilan multipara
untuk terjadinya kejang pada neonatus. Adanya masalah dalam persalinan seperti ruptur
uterin menyumbang resiko sebesar 6,9 kali lebih besar mengakibatkan bayi lahir dengan

kejang. 2,7% kehamilan dengan penyakit diabetes melitus beresiko mengakibatkan terjadinya
kejang pada neonatus .
Hingga saat ini belum ada teori pasti yang dapat menjawab etiologi dari kejang pada
neonatus secara jelas. Peneliti hanya sepakat bahwa kejadian kejang pada neonatus
dikarenakan multifaktor yang berhubungan dengan faktor dari ibu dan janin. Faktor dari ibu
yang berpengaruh terhadap kejadian kejang pada neonatus antara lain status paritas ibu,
infeksi intrauterin, dan cara persalinan. Sedangkan faktor bayi yang berpengaruh terhadap
kejadian kejang pada neonatus antara lain adalah tindakan resusitasi pasca lahir, riwayat
gawat janin, serta masa gestasi.

1.2

Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan karya tulis ilmiah ini :
1.2.1 Untuk mengetahui defenisi kejang pada neonatus
1.2.2 Untuk mengetahui etiologi kejang yang terjadi pada neonatus
1.2.3 Untuk mengetahui jenis-jenis kejang yang terjadi pada neonatus
1.2.4 Untuk mengetahui patofisiologi kejang pada neonatus
1.2.5 Untuk mengetahui manifestasi klinik kejang pada neonatus
1.2.6 Untuk mengetahui diagnosis kejang pada neonatus
1.2.7 Untuk mengetahui diagnosis banding kejang pada neonatus
1.2.8 Untuk mengetahui penatalaksanaan kejang pada neonatus

1.3

Manfaat Penulisan

1.3.1 Bagi Penulis


Penulis mampu memahami kejang pada Neonatus serta penatalaksanaannya sehingga
dapat menambah wawasan yang dapat bermanfaat dalam melaksanakan pelayanan
kelak.
1.3.2

Bagi Pembaca
Diharapkan dengan adanya makalah ini dapat menjadi sumber referensi yang dapat
digunakan sebagai penunjang kegiatan serta sebagai bekal pengetahuan yang
bermanfaat dalam melaksanakan pelayanan kelak.

BAB II
TINJAUAN TEORI
2

2.1 Definisi Kejang pada Neonatus


Kejang adalah suatu kondisi dimana otot tubuh berkontraksi dan berelaksasi
secara cepat dan berulang, oleh karena abnormalitas sementara dari aktivitas elektrik
di otak,yaitu terjadi loncatan-loncatan listrik karena bersinggungannya ion (+) dan
ion(-) di dalam sel otak.
Kejang merupakan pergerakan abnormal atau perubahan tonus badan dan
tungkai. Kejang yang terjadi pada neonatus adalah kejang yang terjadi pada bayi baru
lahir sampai dengan usia 28 hari.
Kejang pada neonatus merupakan keadaan darurat karena kejang merupakan
suatu tanda adanya penyakit sistem saraf pusat (SSP), kelainan metabolik atau
penyakit lain. Kejang pada neonatus sering tidak dikenali karena berbeda dengan
kejang pada anak dan dewasa. Hal ini disebabkan karena ketidak matangan organisasi
korteks pada bayi baru lahir. Kejang umum tonik-klonik jarang pada neonatus. Pada
prinsipnya, setiap gerakan yang tidak biasa apabila berlangsung berulang-ulang dan
periodik harus difikirkan manifestasi kejang. Kejang yang berulang menyebabkan
berkurangnya oksigenisasi, ventilasi dan nutrisi otak.

2.2 Etiologi kejang pada neonatus


Etiologi dari kejang neonatus yaitu:
a. Asfiksia
Asfiksia perinatal menyebabkan terjadinya ensefalopati hipoksik-iskemik dan
merupakan masalah neurologis yang penting pada masa neonatal, dan menimbulkan
gejala sisa neurologis di kemudian hari. Asfiksia intrauterin adalah penyebab
terbanyak ensefalopati hipoksik-iskemik. Hal ini karena terjadi hipoksemia,
kurangnya kadar oksigen ke jaringan otak. Kedua keadaan tersebut dapat terjadi
secara bersama-sama, yang satu dapat lebih dominan tetapi faktor iskemia merupaka
faktor yang paling penting dibandingkan hipoksemia.
b. Trauma dan Perdarahan Intrakranial
Trauma dan perdarahan intrakranial biasanya terjadi pada bayi yang besar
yang dilahirkan oleh ibu dengan kehamilan primipara. Hal ini terjadi pada partus
lama, persalinan yang sulit disebabkan oleh kelainan kedudukan janin dalam rahim
atau kelahiran presipitatus sebelum serviks uteri membuka cukup lebar. Pada bayi
3

berat lahir rendah dengan berat badan < 1500 gram biasanya perdarahan terjadi
didahului oleh keadaan asfiksia. Perdarahan intrakranial dapat terjadi di ruang
subarachnoid,subdural, dan intraventrikular atau parenkim otak.
c. Infeksi
Pada bayi baru lahir infeksi dapat terjadi di dalam rahim, selama persalinan,
atau segera sesudah lahir. Infeksi dalam rahim terjadi karena infeksi primer dari ibu
seperti toxoplasmosis, rubella, sitomegalovirus, dan herpes. Selama persalinan atau
segera sesudah lahir, bayi dapat terinfeksi oleh virus herpes simpleks, virus
Coxsackie, E. Colli, dan Streptococcus B yang dapat menyebabkan ensefalitis dan
meningitis.
d. Gangguan Metabolik
Gangguan metabolik yang menyebabkan kejang pada bayi baru lahir adalah
gangguan metabolisme glukosa, kalsium, magnenisum, elektrolit, dan asam amino.
Gangguan metabolik ini terdapat pada 73% bayi baru lahir dengan kerusakan otak.
Berkurangnya level glukosa dari nilai normal merupakan keadaan tersering penyebab
gangguan metabolik pada bayi baru lahir.
Berbagai keadaan gangguan metabolik yang berhubungan dengan kejang pada
neonatus adalah:
1. Hipoglikemia
Hipoglikemia pada bayi baru lahir adalah bila dalam tiga hari pertama
sesudah lahir, kadar gula darah kurang dari 20mg% pada bayi kurang bulan atau
kurang dari 30mg% pada bayi cukup bulan pada pemeriksaan kadar gula darah 2 kali
berturut-turut, dan kurang dari 40mg% pada bayi berumur lebih dari 3 hari.
Hipoglikemia sering terjadi pada bayi kecil masa kehamilan, bayi dari ibu penderita
diabetes, atau bayi dengan penyakit berat seperti asfiksia dan sepsis.
2. Hipokalsemia
Hipokalsemia jarang menjadi penyebab tunggal kejang pada neonatus.
biasanya hipokalsemia disertai dengan gangguan lain, misalnya hipoglikemia,
hipomagnesemia, atau hipofosfatemia. Diagnosis hipokalsemia adalah bila kadar
kalsium dalam darah kurang dari 7 mg%. Hipokalsemia terjadi pada masa dini
dijumpai pada bayi berat lahir rendah, ensefalopati hipoksik-iskemik, bayi dari ibu
dengan diabetes melitus, bayi yang lahir akibat komplikasi berat terutama karena
asfiksia. Gejala : tangis dengan nada tinggi,tonus berkurang, kejang dan diantara dua
serangan bayi dalam keadaan baik.
3. Hipomagnesemia
Yaitu kadar magnesium dalam darah kurang dari 1,2 mEq/L. Biasanya
terdapat bersama-sama dengan hipokalsemia, hipoglikemia dan lain-lain.
4

Gejala kejang yang tidak dapat di atasi atau hipokalsemia yang tidak dapat sembuh
dengan pengibatan alternatif.
4. Hiponatremia dan hipernatremia
Hiponatremia adalah kadar Na dalam serum kurang dari 130 mEq/L, gejalanya
adalah kejang, tremor. Hipernatremi, kadar Na dalam darah lebih dari 145 mEq/L.
Kejang yang biasanya disebabkan oleh karena trombosis vena atau adanya petekie
dalam otak.
5. Defisiensi pirodiksin dan depensi piridoksin
Merupakan akibat kekurangan vitamin B6. Gejalanya adalah kejang yang
hebat dan tidak hilang dengan pemberian obat kejang, kalsium, glukosa, dan lain-lain.
Pengobatan dengan memberikan 50 mg pirodiksin.
e. Gangguan Elektrolit
Gangguan keseimbangan

elektrolit

terutama

natrium menyebabkan

hiponatremia ataupun hipernatremia yang kedua-duanya merupakan penyebab kejang.


Hiponatremia dapat terjadi bila ada gangguan sekresi dari anti diuretik hormon (ADH)
yang tidak sempurna. Hal ini sering terjadi bersamaan dengan meningitis,
meningoensefalitis, sepsis, dan perdarahan intrakranial. Hiponatremia dapat terjadi
pada diare akibat pengeluaran natrium berlebihan, kesalahan pemberian cairan pada
bayi, dan akibat pengeluaran keringat berlebihan. Hipernatremia terjadi bila
pemberian natrium bikarbonat berlebihan pada koreksi asidosis dengan dehidrasi.

2.3 Tipe Kejang pada Neonatus dan Manifestasi klinis


Banyak klasifikasi mengenai kejang pada neonatus, tapi sebagian besar
literatur menggunakan klasifikasi Volpe sebagai acuan. Volpe mengklasifikasikan
kejang sesuai dengan gejala klinisnya, yaitu:
a. Subtle
Merupakan tipe kejang tersering yang terjadi pada bayi kurang bulan. Bentuk
kejang ini hampir tidak terlihat, biasanya berupa pergerakan muka, mulut, atau
lidah berupa menyeringai, terkejat-kejat, mengisap, menguyanh, menelan, atau
menguap. Manifestasi kejang subtle pada mata adalah pergerakan bola mata
berkedip-kedip, deviasi bola mata horizontal, dan pergerakan bola mata yang cepat
(nystagmus jerk). Pada anggota gerak didapatkan pergerakan mengayuh atau
seperti berenang. Manifestasi pada pernafasan berbentuk serangan apnea yang
biasanya didahului atau disertai gejala subtle misalnya gerakan kelopak mata yang
berkedip-kedip. Gerakan apnea saja terutama pada bayi berat lahir rendah sering
5

disebabkan oleh mekanisme yang lain. Kadang bentuk kejang dapat berupa
hiperapnea atau pernafasan seperti mengorok. Mengetahui gerakan subtle termasuk
serangan kejang dapat dibuktikan dengan pemeriksaan EEG dengan kelainan
berbentuk aktivitas epileptik yang menyebar.
b. Klonik
Bentuk klinis kejang klonik fokal berlangsung 1-3 detik, terlokalisasi dengan
baik, tidak disertai gangguan kesadaran, dan biasanya tidak diikuti oleh fase tonik.
Bentuk kejang ini sebagai manifestasi akibat trauma fokal pada kontusio cerebri
pada bayi besar atau bayi cukup bulan, atau pada kelainan ensefalopati metabolik.
Kejang klonik multifokal adalah bentuk kejang yang sering di dapat pada bayi baru
lahir, terutama pada bayi cukup bulan dengan berat badan lebih dari 2500 gram.
Bentuk kejang merupakan gerakan klonik dari salah satu atau lebih anggota gerak
yang berpindah-pindah atau terpisah secara teratur. Kadang-kadang karena kejang
yang satu dan yang lain sering berkesinambungan, seolah-olah memberi kesan
sebagai kejang umum. Biasanya bentuk kejang ini terdapat pada gangguan
metabolik.
c. Tonik
Kejang tonik biasa didapatkan pada bayi berat lahir rendah dengan masa
kehamilan kurang dari 34 minggu dan bayi-bayi dengan komplikasi perinatal berat
seperti perdarahan intraventrikuler. Bentuk klinis kejang ini yaitu pergerakan
tungkai yang menyerupai sikap deserberasi atau ekstensi tungkai dan fleksi lengan
bawah dengan bentuk dekortikasi. Bentuk kejang tonik yang menyerupai
deserebrasi harus dibedakan dengan sikap opisitotonus yang disebabkan oleh
rangsang meningeal karena infeksi selaput otak atau kernikterus.
d. Mioklonik
Manifestasi klinisk kejang mioklonik yang terlihat adalah gerakan ekstensi
dan fleksi dari lengan atau keempat anggota gerak yang berulang dan terjadi
dengan cepat. Gerakan tersebut seperti gerak refleks Moro. Kejang ini merupakan
pertanda kerusakan susunan saraf pusat yang luas dan hebat, seperti pada bayi baru
lahir yang dilahirkan dari ibu kecanduan obat. Gambaran EEG kejang mioklonik
pada bayi baru lahir tidak spesifik.
Gerakan yang menyerupai kejang pada bayi baru lahir :
a)Apnea

Pada bayi berat lahir rendah biasanya pernapasan tidak teratur, diselingi dengan
berhentinya pernapasan 3-6 detik dan sering diikuti hiperpnea selama 10-15 detik.
Berhentinya pernapasan tidak disertai dengan perubahan denyut jantung, tekanan
darah, suhu badan atau warna kulit. Bentuk pernapasan ini disebut pernapasan
periodik yang disebabkan belum sempurnanya pusat pernapasan di batang otak dan
berhubungan dengan derajat prematuritas. Serangan apnea yang termasuk gejala
kejang yang disertai dengan bentuk serangan kejang yang lain dan tidak disertai
bradikardia. Serangan apnea tiba-tiba disertai dengan kesadaran menurun pada bayi
berat lahir rendah perlu dicurigai adanya perdarahan intrakranial dengan penekanan
pada batang otak. Pada keadaan ini USG perlu segera dikerjakan.
b) Jitterness
Jitterness adalah gerakan tremor cepat dengan irama dan amplitudo teratur dan
sama serta kadang-kadang bentuk klonus. Jitterness lebih sering terjadi pada bayi
yang lahir dari ibu yang menggunakan marrijuana.

Manifestasi klinis
Gerakan abnoramal mata
Peka terhadap rangsangan
Bentuk gerakan dominan
Gerakan dapat dihentikan dengan fleksi
pasif
Perubahan fungsi autonom
Perubahan pada tanda vital dan penurunan
saturasi oksigen

Jitterness
+
tremor
+

Kejang
+
klonik
-

+
-

c) Hiperekpleksia
Hiperekpleksia merupakan kelainan yang ditandai dengan hipertoni. Kelainan ini
dapat diturunkan secara autosomal dominan, meskipun pada beberapa bentuk berupa
autosomal resesif. Hiperekpleksia dapat menyebabkan diagnosis kejang yang keliru.
d) Spasme
Spasme pada tetanus neonatorum hampir mirip dengan kejang tetapi kedua hal
tersebut harus dibedakan karena manajemen keduanya berbeda.
Perbedaan Kejang dan Spasme
Masalah
Temuan khusus
Kejang
Gerakan wajah dan ekstremitas yang teratur dan
berulang
Ekstensi atau fleksi tonik lengan atau tungkai, baik
sinkron maupun tidak sinkron
Perubahan status kesadaran (bayi mungkin tidak
sadar, atau tetap bangun tetapi tidak responsif/apatis)
7

Spasme

Apnea (napas spontan berhaenti lebih 20 detik)


Kontraksi otot tidak terkendali paling tidak bebepara
detik sampai beberpa menit
Dipicu oleh sentuhan, suara maupun cahaya
Bayi tetap sadar, sering menangis kesakitan
Trismus (rahang kaku, mulut tidak dapat dibuka, bibir
mencucu seperti mulut ikan)
Opistotonus
Gerakan tangan seperti meninju dan mengepal

2.4 Patofisiologi Kejang Pada Neonatus


Konsep epileptogenesis pada otak imatur sangat kompleks dan cepat
berkembang. Terdapat faktor khusus dalam perkembangan otak yang membuat
otak imatur lebih sensitif dalam menghasilkan kejang. Faktor tersebut meliputi
karakteristik dari neuron, neurotransmitter, sinaps, reseptor, mielinisasi, glia, dan
sirkuit neuron seluler maupun regional. Fungsi dasar neuron adalah depolarisasi
dan hiperpolarisasi membran yang menghasilkan aliran ion yang melintasi
membran melalui voltage dependent and transmitter-gated channel.
Depolarisasi membran mengawali potensial aksi yang menyebabkan lepasnya
neurotransmitter dari regio presinaps di akson terminal. Transmitter berkaitan
dengan reseptor post-sinap untuk mengawali eksitasi potensial post-sinap atau
inhibisi potensial post-sinaps. Fungsi otak secara normal didasarkan pada
keseimbangan antara eksitasi dan inhibisi. Kejang timbul akibat timbulnya muatan
listrik (depolarisasi) berlebihan pada susunan saraf pusat sehingga terbentuk
gelombang listrik yang berlebihan. Neuron dalam sistem saraf pusat mengalami
depolarisasi sebagai hasil dari perpindahan natrium ke arah dalam, sedangkan
repolarisasi terjadi akibat keluarnya kalium. Untuk mempertahankan potensial
membran memerlukan energi yang berasal dari ATP dan bergantung pada
mekanisme pompa yaitu keluarnya natrium dan masuknya kalium. Meskipun
mekanisme dasar kejang pada neonatus tidak sepenuhnya dipahami, data terbaru
menunjukkan bahwa depolarisasi berlebihan dapat diakibatkan oleh:
a. Gangguan dalam produksi energi dapat mengakibatkan kegagalan pompa
natrium dan kalium
b. Rangsang berlebihan dari neurotransmitter di susunan saraf pusat
c. Adanya kekurangan relatif dari inhibitor neurotransmitter dibanding eksitatorik
dapat menyebabkan depolarisasi berlebihan
d. Perubahan membran neuron menyebabkan inhibisi dari pergerakan natrium.
Perubahan fisiologis pada saat kejang berupa penurunan kadar glukosa otak yang
8

tajam dibandingkan kadar glukosa darah yang tetap normal atau meningkat disertai
peningkatan laktat. Hal ini merupakan refleksi dari kebutuhan otak yang tidak
dapat dipenuhi secara adekuat. Kebutuhan oksigen dan aliran darah ke otak sangat
esensial untuk mencukup kebutuhan oksigen dan glukosa otak. Laktat terkumpul
dan berakumulasi selama terjadi kejang, sehingga PH arteri menurun dengan cepat.
Hal inimenyebabkan tekanan darah sistemik meningkat dan aliran darah ke otak
naik. Perkembangan otak anak terjadi sangat cepat mulai dari sejak lahir hingga
usia dua tahun yang disebut sebagai periode emas dan pembentukan sinaps serta
kepadatan dendrit pada sumsum tulang belakang terjadi sangat aktif pada sekitar
kehamilan sampai bulan pertama setelah kelahiran. Pada saat bayi baru lahir,
merupakan periode tertinggi dari aktifitas eksitasi sinaps fisiologis.
Menurut penelitian, pada periode ini keseimbangan antara eksitasi dan inhibisi
pada sinaps cenderung mengarah pada eksitasi untuk memberi jalan pada
pembentukan sinaps yang bergantung pada aktivitasnya.
Otak manusia memiliki neurotransmitter seperti glutamat, -amino-3hydroxy-5-methyl-isoxazolepropionic acid (AMPA) dan N-methyl-D-aspartate
(NMDA). Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap tikus yang memiliki
otak homolog dengan otak manusia, didapatkan bahwa reseptor NMDA meningkat
tajam pada dua minggu awal kelahiran untuk membantu sinaps yang bergantung
pada aktivitasnya. Selain itu, pada periode ini merupakan saat dimana sensitivitas
terhadap magnesium berada di titik terendah. Magnesium merupakan penghalang
reseptor endogen alamiah, sehingga berdampak pada meningkatnya eksitabilitas
neuronal.
Literatur lain menjelaskan mengenai mekanisme penting sehubungan dengan
terjadinya kejang pada neonatus adalah:
a. Penurunan efektifitas inhibisi neurotransmitter pada otak imatur Fungsi inhibisi
dari reseptor GABA agonis terbentuk dan berkembang secara perlahan-lahan.
Penelitian terhadap tikus menunjukkan fungsi pengikatan reseptor GABA,
pembentukan enzim dan ekspresi dari reseptor lebih rendah pada masa-masa awal
kehidupan. Hal ini mendukung terjadinya kejang sehubungannya dengan aktivitas
sel saraf pada neonatus yang lebih mengakomodasi aktivitas eksitabilitas.
b. Konfigurasi kanal ion lebih mengarah ke depolarisasi pada fase awal kehidupan
Regulasi kanal ion mengatur eksitabilitas neuron dan seperti reseptor
neurotransmiter, regulasinya terbentuk serta berkembang perlahan seperti yang
terjadi pada mutasi kanal ion kalium (KCNQ2 dan KCNQ3) yang berhubungan
9

dengan terjadinya kejang neonatus familial, menyebabkan proses hiperpolarisasi


kalium yang berakibat terjadinya penembakan potensial aksi yang berulang secara
cepat. Otak imatur memiliki ekspresi yang relatif lebih rendah terhadap HCN1
isoform yang berfungsi untuk menurunkan eksitabilitas dendritik pada otak
dewasa. Mutasi kanal ion dapat juga berkontribusi dalam hipereksitabilitas pada
otak imatur dan dapat memiliki efek kumulatif.
c. Peranan neuropeptida dalam terjadinya hipereksitabilitas pada otak imatur
Sistem neuropeptida berfluktuasi secara dinamis pada periode perinatal seperti
yang terjadi pada Corticotropin Releasing Hormone (CRH) yang memicu
terjadinya potensi eksitasi pada neuron. Jika dibandingkan dengan fase kehidupan
selanjutnya, CRH dikeluarkan lebih tinggi pada dua minggu awal kehidupan
seperti yang terlihat pada tikus percobaan. CRH juga meningkat pada keadaan
stres seperti halnya saat terjadi kejang pada otak yang imatur akan memicu
kejadian kejang yang berulang.
2.5 Diagnosis kejang pada neonatus
1. Anamnesa
a. Anemnesa lengkap mengenai keadaan ibu pada saat hamil
b. Obat yang di minum oleh ibu saat hamil
c. Obat yang diberikan dan yang diperlukan sewaktu persalinan
d. Apakah ada anak dan keluarga yang sebelumnya menderita kejang dan lain-lain.
e. Riwayat persalinan: bayi lahir prematur, lahir dengan tindakan, penolong
persalinan, asfiksia neontorum
f. Riwayat imunisasi tetanus ibu, penolong persalinan bukan tenaga kesehatan
g. Riwayat perawatan tali pusat dengan obat tradisional
h. Riwayat kejang, penurunan kesadaran, ada gerakan abnormal pada mata, mulut,
lidah, ekstremitas
i. Riwayat spasme atau kekakukan pada ekstremitas, otot mulut dan perut
j. Kejang dipicu oleh kebisingan atau prosedur atau tindakan pengobatan
k. Riwayat bayi malas minum sesudah dapat minum normal
l. Adanya faktor resiko infeksi
m. Riwayat ibu mendapatkan obat, misal: heroin, metadon, propoxypen, alkohol
n. Riwayat perubahan warna kulit (kuning)
o. Saat timbulnya dan lama terjadinya kejang
2. Pemeriksaan Fisik

10

Pemeriksaan lengkap meliputi pemeriksaan pediatrik dan neurologis, dilakukan secara


sistematik dan berurutan:
i.

Identifikasi manifestasi kejang yang terjadi, bila mungkin melihat sendiri


manifestasi kejang yang terjadi. Dengan mengetahui bentuk kejang,

ii.

kemungkinan penyebab kejang dapat dicurigai.


Bayi baru lahir yang mengalami kejang biasanya letargi dan tampak sakit.
Kesadaran yang tiba-tiba menurun berlanjut dengan hipoventilasi dan
berhentinya pernapasan, kejang tonik, reaksi pupil terhadap cahaya negatif dan

iii.

terdapat kuadri paresis flaksid, dicurigai terjadinya iskemia otak.


Pantau perubahan tanda vital (jantung dan pernapasan) . Pemeriksaan kepala
untuk mencari kelainan berupa fraktur, depresi atau moulding yang berlebihan
karena trauma. Ubun-ubun besar yang tegang dan menonjol menunjukkan
adanya peningkatan tekanan intrakranial yang disebabkan oleh perdarahan

iv.

subaraknoid atau subdural serta kemungkinan meningitis.


Pemeriksaan funduskopi dapat menunjukkkan kelainan perdarahan retina atau
subhialoid yang merupakan menifestasi patognomonik untuk hematoma

v.

subdural
Pemeriksaa talipusat, apakah ada infeksi, berbau busuk, atau aplikasi dengan
bahan tidak steril pada kasus yang dicurigai spasme atau tetanus neonatorum.

3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan gula darah, elektrolit (natrium, kalsium, magnesium), amonia dan laktat
Pemeriksaan darah rutin : hemoglobin, hematokrit, trombosit, leukosit, hitung jenis
lekosit. Pemeriksaan darah rutin berkala penting untuk memantau perdarahan

intraventrikular.
Analisa gas darah
Analisa cairan serebrospinal
Kadar bilirubin total/direk dan indirek

b. Elektro Ensefalografi (EEG)


Pemeriksaan EEG pada kejang dapat membantu diagnosis kejang. Pada EEG yang
normal atau latar belakang dengan gelombang paku atau gelombang tajam unifokal dapat
diramalkna bayi akan normal dikemudian hari. Bayi dengan EEG yang menunjukkan latar
belakang abnormal dan terdapat gelombang tajam multifokal atau dengan burts supression
atau bentuk isoelektrik mempunyai prognosis yang tidak baik.
11

c. Pencitraaan
Pemeriksaan pencitraan dilakukan berdasarkan indikasi :

USG kepala
Sonografi kepala dilakukan jika dicurigai adanya perdarahan intrakranial atau
untraventrikuler.

Skintigrafi kepala (CT-scan Cranium)


Pemeriksaan ini lebih sensitif dibanding sonografi untuk mengetahui kelainan parenkim
otak

MRI
Pemeriksaan paling sensitif untuk mengetahui malformasi subtle yang kadang tidak
terdeteksi dengan pemeriksaan CT-scan Cranium.

2.6 Diagnosis banding pada kejang neonatus


1.

Anoksia susunan saraf pusat didapatkan gejala kejang yang disertai kebiruan pada tubuh
bayi dan gagal napas.

2.

Perdarahan otak bila diperoleh kejang dengan riwayat trauma lahir pada kepala bayi.

3.

Cacat bawaan bila pada pemeriksaan didapatkan kejang dengan kelainan mikrosefali.

4.

Sepsis yaitu kejang yang disertai pemeriksaan fisik perut buncit dan hepatosplenomegali

5.

Tetanus neonatorum bila kejang disertai mulut mecucu.

2.7 Penatalaksanaan Kejang Pada Neonatus


a. Penanganan kejang pada neonatus

Bayi diletakkan dalam tempat yang hangat. Pastikan bahwa bayi tidak

kedinginan. Suhu bayi dipertahankan 36,50C-370C.

Jalan nafas bayi dibersihkan dengan tindakan penghisapan lendir

diseputar mulut, hidung sampai nasofaring.

Bila bayi apneu, dilakukan pertolongan agar bayi bernafas lagi dengan

alat bantu balon dan sungkup, diberikan O2 (oksigen) dengan kecepatan 2 liter/menit.

Dilakukan pemasangan infus intravena dipembuluh darah perifer,

ditangan, kaki atau kepala. Bila bayi diduga dilahirkan oleh ibu berpenyakit diabetes
militus, dilakukan pamasangan infus intravena umbilikalis.

Bila infus sudah terpasang diberi obat anti kejang diazepam.

Nilai kondisi bayi selama 15 menit. Perhatikan kelainan fisik yang ada.
12

Bila kejang sudah teratasi diberikan cairan infus dekstrose 10% dengan

kecepatan 60ml/kgbb/hari.

Bila kejang sudah teratasi, diambil bahan untuk pemeriksaan

laboratorium untuk mencari faktor penyebab kejang, misalnya :


-

Darah tepi

Elektrolit darah

Gula darah

Kimia darah (kalsium, magnesium)

Kultur darah

Pemeriksaan TORCH, dan lain-lain

Bila ada kecurigaan kearah sepsis, dilakukan pemeriksaan punksi lumbal.

Obat diberikan sesuai hasil penilaian ulang.


b. Penanganan hipotermi pada neonatus

Bayi yang mengalami hipotermi biasanya mudah sekali meninggal. Tindakan


yang mudah sekali dilakukan adalah segera menghangatkan bayi didalam
inkubator atau melalui penyinaran lampu.

Cara lain yang sangat sederhana dan mudah dikerjakan oleh setiap orang
adalah dengan menghangatkan bayi melalui panas tubuh ibu. Bayi diletakkan
terlungkup didada ibu agar terjadi kontak kulit langsung ibu dan bayi. Untuk
menjaga agar bayi tetap hangat, tubuh ibu dan bayi harus berada didalam satu
pakaian yang disebut metode kanguru. Sebaiknya ibu menggunakan pakaian
longgar berkancing depan.

Bila tubuh bayi masih dingin gunakan selimut atau kain hangat yang disertika
terlebih dahulu, yang digunakan untuk menutupi tubuh bayi dan ibu. Lakukan
berulang kali sampai tubuh bayi hangat.

Biasanya bayi hipotermi menderita hipoglikemi, sehingga bayi harus diberi


ASI sedikit-sedikit sesering mungkin. Bila bayi tidak mengisap diberikan infus
glukosa 10% sebanyak 60-80 ml/kg/hari.

c. Penanganan Hipertermi
1.

Bila suhu diduga karena paparan panas berlebihan :

Bayi dipindah keruangan yang sejuk dengan suhu kamar sekitar 260C-280C

Tubuh bayi diseka dengan kain basah sampai suhu tubuh bayi normal (jangan
menggunakan air es).
13

2.

Berikan cairan dekstrose : NaCl = 1:4 secara intravena sampai teratasi

Antibiotik diberikan bila ada infeksi.

Bila bayi pernah diletakkan dibawah pemancar panas atau inkubator

Turunkan suhu alat penghangat bila bayi didalam inkubator

Lepas sebagian atau seluruh pakaian bayi selama 10 menit kemudian beri
pakaian lagi sesuai dengan yang digunakan

Periksa suhu bayi setiap jam sampai tercapai suhu dalam batas normal

Periksa suhu inkubator atau pemancar panas setiap jam dan sesuaikan pengatur
suhu

d. Penanganan hipoglikemia pada neonatus


1. Monitor:
Pada bayi yang beresiko(BBLR,BMK bayi dengan ibu DM) perlu dimonitor
dalam 3 hari pertama:
-

Periksa kadar gula puasa saat bayi datang/umur 3 jam

Ulangi setiap 6 jam selama 24 atau sampai pemeriksaan glukosa normal dalam 2x
pemeriksaan

Kadar glukosa < 45mg/dlatau gejala positif tangani hipoglikemia

Pemeriksaan kadar glukosa baik,pulangkan setelah 3 hari penanganan


hipoglikemia
2. Penangan hipoglikemi dengan gejala:

Bolus glukosa 10 % 2 ml/kg pelan-pelan dengan kecepatan 1ml/menit

Pasang jalur IV dextrose 10 % sesuai kebutuhan

Bila dipakai dextrose 10% artinya 10 gr/100cc,bila perlu 25920 mg/hari atau 25,9
gr/hari berarti perlu 25,9 gr/10x100 cc = 259 cc dextrose 10 %/hari
3. Bila kadar glukosa 25-45 mg/dl tanpa gejala klinis :

Infus dextrose 10 % diteruskan

Periksa kadar glukosa setiap 3 jam

ASI diberiksan bila bayi dapat minum


4. Kadar glukosa normal :

IV teruskan

Periksa kadar glukosa setiap 12 jam

e. Penangan asfiksia
-

Resusitasi
14

Begitu bayi lahir tidak menangis maka lakukan :


o Hangatkan bayi dibawah pemancar panas
o Posisikan kepala bayi sedikit ekstensi
o Isap lendir dari mulut dan hidung
o Keringkan bayi sambil merangsang taktil dengan menggosok
punggung dan ujung kaki
o Reposisi kepala bayi
Bila bayi tidak bernafas lakukan ventilasi tekanan positif dengan memakai
balon
-

Terapi Medikamentosa :
o Epinefrin
Dosis : 0,1-0,3 ml/kgBB dalam larutan 1 : 10.000 ( 0,01-0,03 ml/kgBB)
Cara : IV atau endotrakel, dapat dihitung 3-5 menit bila perlu
o Bikarbonat
Indikasi : asidosis metabolik
Dosis

: 1-2 mEq/kgBB atau 2 ml/kgBB atau 1 ml/kgBB

Cara

: diencerkan dengan aquabedes atau dextrose 5 % diberikan secara


IV dengan kecepatan 2 menit

f. Penanganan Infeksi Pada Kejang Neonatus


o Antibiotik awal diberikan ampisilin dan gentamycin, bila organisme tidak
dapat ditemukan dan bayi tetap menunjukan tanda infeksi sesudah 48 jam,
ganti ampisilin dan beri cefotaxim disamping tetap memberi gentamicin
o Jika ditemukan penyebab infeksi, digunakan antibiotik sesui uji kepekaan
kuman. Antibiotik diberikan sampai 7 hari setelah ada perbaikan
g. Penanaganan Hipokalasemia
o Diberikan kalsium glukosonas 10 % 1-2 ml/kgBB dengan aquades sama
banyak secara IV dalam 5 menit. Dapat diulang selama 10 detik jika tidak
berhasil
h. Penanganan Hiponatremi
o Diberikan natrium hipertonik yang berupa nacl 3 % atau 5 %. Pada nacl 3
% yang sering dipakai, terdapat 513 mmol dalam 1 L larutan
o Dapat diberikan sediaan oral berupa tablet garam
i. Penanganan Hipomagnesemia
15

o Pada penanganan hipomagnesemia hendaknya bayi diberikan larutan


MgSO4 2% -3% sebanyak 2-6ml perhari intramuskular.
j. Penanganan Defisiensi Piridoksin
o Diberikan piridoksin 25-50 mg intravena. Selama pemberian piridoksin
dimonitor dengan pemeriksaan EEG

2.8 Komplikasi Kejang Pada Neonatus


a.

Epilepsi
Terjadi akibat adanya kerusakan pada daerah lobus temporalis yang berlangsung lama
dan dapat menjadi matang

b. Retardasi mental
Terjadi pada pasien kejang demam yang sebelumnya telah terdapat gangguan
perkembangan atau kelainan neurologis
c.

Hemiparese
Biasanya terjadi padaa pasien yang mengalemi kejang lama (berlangsung lebih dari 30
menit)

d. Gagal pernapasan
Akibat dari ektivitas kejang yang menyebabkan otot-otot pernapasan menjadi spasme
e.

Kematian

2.9 Prognosis
Penyebab

Meninggal (%)

Cacat (%)

Normal (%)

HIE sedang-berat

50

25

25

Bayi kurang bulan

58

24

18

Meningitis

20

40

40

Malformasi otak

60

40

Hipokalsemi

50-100
16

Hipoglikemi

50

50

Penyebab
Malformasi otak, HIE sedang berat ,bayi kurang bulan: Buruk
Hipokalsemia: Baik
Hipoglikemia,Meningitis: Sedang
Karakteristik kejang
Awitan dini, lama,berulang, intractable : Buruk
Gambaran EEG
Isoelektrik,voltase rendah, burst suppression : Buruk

17

BAB III
PENUTUP
3.1

Kesimpulan
Kejang adalah suatu keadaan dimana bangkitan kejang yang terjadi karena
peningkatan suhu tubuh (suhu rectal > 380 C yang sering di jumpai pada usia anak dibawah
lima tahun.
Kejang merupakan kelainan neurologis yang sering dijumpai pada saat seorang bayi
atau anak mengalami demam tanpa infeksi sistem saraf pusat. Kejang demam biasanya terjadi
pada awal demam. Anak akan terlihat aneh untuk beberapa saat, kemudian kaku, kelojotan
dan memutar matanya. Anak tidak responsif untuk beberapa waktu, napas akan terganggu,
dan kulit akan tampak lebih gelap dari biasanya. Setelah kejang, anak akan segera normal
kembali. Kejang biasanya berakhir kurang dari 1 menit, tetapi walaupun jarang dapat terjadi
selama lebih dari 15 menit.
Oleh karena itu, sangat penting bagi para orang tua untuk melakukan pemeriksaan
sedini mungkin pada anaknya agar hal-hal yang tidak di inginkan dapat diketahui secara dini
sehingga kejang demam dapat dicegah sedini mungkin.

3.2

Saran
Untuk meningkatkan kulaitas pelayanan kesehatan maka penulis memberikan saransaran sebagai berikut;

1. Pada pengkajian tenaga medis perlu melakukan pengkajian dengan teliti melihat kondisi klien
serta senantiasa mengembangkan teknik terapeutik dalam berkomunikasi dengan klien.
2.

Agar dapat memberikan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan serta sikap profesionl
dalam menetapkan diagnosa

3. Diharapkan kerja sama yang baik dari berbagai pihak dari tim kesehatan lainnya khususnya
dari pihak keluarga agar selalu mengunjungi klien dalam menunjang keberhasilan perawatan
dan pengobatan.

DAFTAR PUSTAKA
18

1. Kumala, Poppy, Alexander H, Rubyjanter, Johannes & Reinita Yulia Sari, 1998, Kamus
Saku Kedokteran Dorland , edisi 25, EGC , Jakarta
2. Behrman, Kliegman & Arvin, 2000, Nelson Ilmu Kesehatan Anak,vol 3,edisi 15, EGC,
Jakarta
3. Depkes RI, 2001, Buku bagan MTBM (Manajemen Terpadu Bayi Muda Sakit) Metode
tepat guna untuk para medis,bidan,dokter, Depkes RI, Jakarta
4. Haslam R , 2000 , Ilmu Kesehatan Anak ,Vol 3 ,edisi 15, EGC , Jakarta
5. Manuaba, I.B.G & Manuaba Chandranita,2003,Pengantar Kuliah Obstetri,EGC,Jakarta
6. Khosim S, Indarso F, Irawan G & Hedrarto TW,2006, Buku Acuan Pelatihan Pelayanan
Obstetri Neonatal Emergensi Dasar, Depkes RI, Jakarta
7. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,2007,Ilmu
Kesehatan Anak,vol 3,Infomedika,Jakarta
8. Volpe JJ, 2001, Neurology of the newborn, edisi 4, W B Saunders, Philadelphia
9. Kosim. M. S, Yunanto. A ,Dewi. R , Saroso. G. I & Usman A, 2008, Buku Ajar
Neonatologi, IDAI, Jakarta

19

You might also like