You are on page 1of 28

SERUAN MENUJU ISLAM

Menyerukan Islam ke tengah-tengah masyarakat merupakan salah satu tugas


utama yang dibebankan ke pundak umat Islam sebagai satu kesatuan. Kaum Muslim
diperintahkan untuk menyebarluaskan Islam dan meninggikan Islam di antara agamaagama dan ideologi lainnya. Aktivitas dakwah ini bukanlah pekerjaan misionaris yang
bersifat individual; tujuan dakwah yakni kemuliaan Islam juga tidak akan dapat diraih
bila dilakukan hanya melalui upaya-upaya individual, tanpa melibatkan peran serta
negara. Sunnah Rasulullah saw ketika berada di Madinah memperlihatkan suatu
gambaran yang menyeluruh tentang metode dakwah untuk meraih tujuan tersebut.
Allah Swt berfirman dalam al-Quran:
Dialah yang telah mengutus RasulNya (yang membawa) petunjuk dan agama
yang benar untuk dimenangkanNya atas segala agama, walaupun orang-orang
musyrikin tidak menyukai. (TQS. at-Taubah [9]: 33)
Dalam salah satu haditsnya, Rasulullah saw bersabda:
Allah akan menghimpun seluruh dunia hingga aku bisa melihat bagian
Timurnya dan bagian Baratnya. Dan Allah akan menjadikan kekuasaan umatku
atas seluruh dunia. (HR. Muslim)
Din al-Islam diturunkan ke dunia untuk mengungguli semua pandangan hidup
yang ada serta untuk menguasai seluruh dunia. Rasulullah saw telah menyelesaikan
perintah Allah Swt untuk menyebarluaskan Islam dan menyampaikannya ke seluruh
penjuru dunia dengan metode dan cara yang paling baik menurut ukuran manusia.
Teladan yang diberikan oleh beliau saw teramat jelas. Dalam tiga belas tahun pertama
masa ke-Nabiannya, beliau saw memperoleh keberhasilan dalam berdakwah secara
individual dari satu individu kepada individu lainnya dan kemudian secara
berjamaah dari satu kelompok kepada masyarakat yang lebih luas. Namun
keberhasilan utama dakwah Islam kepada umat manusia terjadi ketika beliau saw
menyerukan Islam dari sebuah negara kepada negara-negara lainnya.
Tahapan dakwah Rasulullah saw pada periode Madinah dicirikan dengan adanya
keinginan Daulah Islamiyah untuk meraih kekuasaan yang lebih besar. Kita akan
melihat, bagaimana Rasulullah saw berupaya mencapai tujuan ini melalui serangkaian
tindakan yang konsisten. Rangkaian aktivitas tersebut beliau saw lakukan dalam
kapasitas beliau sebagai pemimpin Daulah Islamiyah. Beberapa aktivitas yang menjadi
kunci keberhasilan dakwah Rasulullah saw dalam periode ini adalah pengiriman
pasukan bersenjata, perundingan damai, dan pengiriman misi-misi diplomatik ke
negara-negara lain.
Ketika Rasulullah saw berhijrah ke Madinah, setelah tiga belas tahun berdakwah
di Makkah, beliau saw mengajak serta sekitar seratus orang Muslim. Tetapi ketika
beliau saw kembali untuk membebaskan kota Makkah, delapan tahun kemudian,
Rasulullah saw mengajak serta sepuluh ribu orang Muslim; dan kemudian seluruh
penduduk Makkah pun masuk Islam. Demikianlah contoh penyebarluasan Islam melalui
dakwah, diplomasi, dan jihad. Ketiga metode inilah yang menjadi landasan bagi kita,

kaum Muslimin, untuk melanjutkan tugas menyebarluaskan rahmat Islam kepada


seluruh umat manusia, serta untuk mengakhiri segala bentuk kezhaliman di muka bumi.
Allah Swt berfirman:
Dan tiadalah Kami mengutus engkau, melainkan sebagai rahmat bagi semesta
alam. (TQS. al-Anbiya [21]: 107)
Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga)
agama itu semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi
agama kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orangorang yang zalim. (TQS. al-Baqarah [2]: 193)
Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu
semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka
sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan. (TQS. al-Anfal
[8]: 39)
Ayat-ayat al-Quran di atas, dan masih banyak ayat-ayat lain yang senada,
ditujukan tidak hanya kepada Rasulullah dan para sahabat, tetapi kepada seluruh kaum
Muslim hingga zaman sekarang, bahkan hingga akhir zaman. Dengan ayat-ayat
tersebut, Allah Swt mewajibkan seluruh kaum Muslim untuk berjuang menyampaikan
risalah ini. Hanya dengan penerapan sistem Islam di tengah-tengah umat manusia,
mereka akan dapat melihat dengan mata kepala mereka sendiri rahmat dan keadilan
yang dibawa Islam; dan dengan demikian umat manusia diarahkan untuk menyaksikan
kebenaran.
Meski idtak seorang pun boleh dipaksa untuk masuk Islam, tetapi penggunaan
kekuatan fisik, peperangan, maupun konflik bersenjata memang diperintahkan Allah
Swt untuk menegakkan hukum-hukum Islam, sampai umat manusia mau menerima
Islam secara sukarela atau bersedia membayar jizyah yaitu pungutan dalam jumlah
tertentu bagi kaum non-Muslim yang berkemampuan. Dengan demikian mereka
menjadi warganegara non-Muslim dalam Daulah Islamiyah. Berikut ini adalah sejumlah
dalil yang menjadi landasan pemikiran tersebut:
Sesungguhnya aku diperintahkan (Allah) untuk memerangi manusia sampai
mereka mengucapkan L ilha illa Allah wa anna Muhammadur Rasulullah,
melaksanakan shalat, dan membayar zakat. Apabila mereka telah
melakukannya (masuk Islam atau tunduk kepada aturan Islam) maka
terpelihara dariku darah-darah mereka, harta-harta mereka kecuali dengan
jalan yang hak. Dan hisabnya terserah kepada Allah. (HR. Bukhari)
Tidak ada paksaan untuk (masuk) agama (Islam). (TQS. al-Baqarah [2]: 256)
Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula
beriman) kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang
diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang
benar (agama Allah), (yaitu agama orang-orang) yang diberikan al-Kitab
kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka
dalam keadaan tunduk. (TQS. at-Taubah [9]: 29)

Kebijakan Luar Negeri Daulah Rasulullah saw


Dari riwayat kehidupan Rasulullah saw, kita bisa mengetahui sejauh mana upaya
Rasulullah saw beserta para sahabat dalam melaksanakan kewajibannya. Ibnu Katsir
dalam kitabnya, Ghazwat ar-Rasul, meriwayatkan bahwa Rasulullah saw terlibat dalam
sembilan belas kali peperangan, sebelas di antaranya peperangan yang dipimpin sendiri
oleh beliau saw. Jumlah ini belum termasuk berbagai peperangan yang dilancarkan
Rasulullah saw di bawah komando para sahabat.
Pertempuran fisik, penyebarluasan Islam, serta upaya-upaya pertahanan diri
yang dilakukan oleh kaum Muslim dimulai sejak abad pertama hijriah. Beliau saw
mengirim paling sedikit delapan misi intelejen dan ekspedisi militer sebelum perang
Badar al-Kubra. Beliau saw memimpin sendiri beberapa di antaranya. Tujuan masingmasing misi tersebut berbeda-beda, seperti melakukan pengintaian, menjalin aliansi,
memberi ancaman, atau melakukan serangkaian penyergapan terhadap kafilah-kafilah
dagang suku Quraisy. Kelompok Saif al-Bahr (pada bulan Ramadhan 1 H) pernah
menyaksikan persiapan perang pasukan Quraisy, namun tidak ada konflik yang terjadi.
Demikian pula yang terjadi di Bathnu Rabigh (Syawwal 1 H) dan Saffan (Rabiul
Awwal 2 H). Semasa Perang al-Abwa, delegasi yang dipimpin sendiri oleh Rasulullah
saw menyepakati perjanjian damai dengan suku Bani Dhamrah. Namun perjanjian
damai ini tidak banyak berarti pada saat Perang Badar, karena tidak dapat digunakan
untuk mencegah niat suku-suku yang memiliki potensi untuk bersekutu dengan kaum
musyrik Makkah. Kelompok Nakhlah (pada bulan Rajab 2 M) menjadi kelompok
pertama dari kalangan kaum Muslim yang membunuh musuh mereka di jalan Allah
Swt di bawah kepemimpinan Abdullah bin Jahsy ra.
Kaum Muslim dari kalangan Muhajirin lebih banyak mengepalai misi-misi
tersebut. Pergumulan politik yang keras dan dahsyat telah mereka alami pada saat di
Makkah, namun pada waktu itu tidak ada izin bagi mereka untuk melakukan
perlawanan. Dan sekarang mereka melakukan persiapan perang untuk pertama kalinya.
Persiapan tersebut segera dilakukan begitu turun izin dari Allah Swt kepada kaum
Muslim untuk berperang.
Dari gambaran mengenai misi-misi militer yang dilakukan kaum Muslim di atas,
harus dapat dipahami bahwa sejak awal mula sejarah Negara Madinah yang kecil dan
lemah tersebut, Rasulullah saw tidak pernah bermaksud untuk sekedar mencari
perlindungan di Madinah. Beliau saw melakukan aktivitas thalabun nushrah sematamata untuk menegakkan agama ini. Maka sejak saat itu, tindakan-tindakan yang beliau
saw lakukan bersifat ofensif dan progresif. Kaum Quraisy berhasil mendominasi Hijaz
dalam bidang perdagangan dan pengaruh politik. Oleh sebab itu, aksi-aksi penyerangan
terhadap iring-iringan kafilah dagang mereka memperlihatkan adanya keinginan kaum
Muslim untuk menentang dominasi tersebut.
Segala bentuk manuver dan misi intelejen tersebut pada akhirnya bermuara pada
Perang Badar al-Kubra. Telah sampai informasi ke telinga penduduk Madinah tentang
kafilah dagang Quraisy yang membawa harta kekayaan yang sangat banyak. Sektor
perdagangan merupakan mata pencaharian utama orang-orang Quraisy. Oleh sebab itu
mereka merasa kepentingannya terancam oleh provokasi yang terus menerus dilakukan
oleh kaum Muslim. Tahun sebelumnya, Rasulullah saw juga memerintahkan alUshairah untuk melakukan penyergapan terhadap kafilah dagang yang sama; dan
hampir saja kafilah dagang Quraisy itu berhasil dilumpuhkan. Kali ini, Rasulullah saw
berusaha melakukan penyergapan kafilah ini bersama sekitar 300 orang pengikutnya.

Jumlah pasukan Rasulullah saw ini terhitung cukup banyak dibandingkan


dengan pasukan yang dikirim pada misi-misi sebelumnya. Mendengar informasi bahwa
Rasulullah saw mengirimkan pasukan untuk menghadang kafilah dagang mereka,
orang-orang Quraisy pun segera menyiapkan kekuatan. Sekalipun kekuatan pasukan
Quraisy mencapai jumlah 1000 orang tiga kali lipat jumlah pasukan Muslim tetapi
Rasulullah saw dan pasukan Muslim tidak merasa gentar. Demikianlah, kekuatan kedua
kubu itu tidaklah seimbang, namun wahyu yang sampai kepada Rasulullah saw sudah
sangat gamblang; yaitu bahwa pasukan Islam akan melawan dominasi kaum musyrik
Quraisy, apa pun taruhannya. Tanpa sedikit pun keraguan, kaum Muslim berperang.
Mereka berpegang pada satu pedoman, yaitu bahwa Allah Swt adalah satu-satunya
pihak yang akan memberikan kemenangan.
Peristiwa Perang Badar al-Kubra menyajikan contoh sejauh mana keteguhan
tekad Rasulullah saw dan para sahabat untuk menunjukkan Islam sebagai kekuatan
tandingan. Kaum Muslim keluar untuk menghadang kafilah dagang Quraisy. Ketika
sampai di lembah Dafran, mereka mendengar informasi bahwa pasukan Quraisy datang
untuk mempertahankan kafilah dagang mereka.
Mendengar informasi tersebut, Rasulullah saw meminta pendapat para
sahabatnya mengenai langkah yang sebaiknya diambil. Pertama-tama beliau saw
meminta pendapat kalangan Muhajirin tentang kemungkinan terjadinya konfrontasi
dengan orang-orang Quraisy. Para sahabat dari kalangan Muhajirin menjawab bahwa
mereka siap mendukung Rasulullah saw apabila beliau saw menghendaki. Kemudian
Rasulullah saw meminta pendapat para sahabat dari kalangan Anshar, dan ternyata
mereka pun siap memberikan dukungan terhadap apa pun keputusan Rasulullah saw,
termasuk bila beliau saw menghendaki peperangan. Tanggapan ini menyenangkan hati
Rasulullah saw.
Manakala mereka menyadari bahwa pasukan kafir Quraisy unggul dalam segi
jumlah hingga mencapai rasio tiga banding satu, maka Nabi saw hanya memperingatkan
pasukan Muslim agar memperkuat tekad mereka. Tidak ada di antara pasukan Muslim
yang ingin mengundurkan diri. Setelah sampai di sumur Badar, mereka menempatkan
diri di tempat-tempat tertentu untuk membuat pasukan musuh kekurangan air.
Peperangan dimulai oleh Hamzah ra ketika berusaha menghalangi Aswad bin
Abdul Asad yang mencoba merusak kolam-kolam air yang dibuat oleh tentara Islam.
Hamzah ra menyerang dengan pukulan yang kuat hingga menyebabkan putus kedua
kaki Aswad, dan pukulah Hamzah berikutnya membuat nyawa Aswad melayang.
Terbunuhnya Aswad bin Abdul Asad membuat Utbah bin Rabiah marah. Kemudian
Utbah bersama saudaranya, Syaibah dan anaknya, Walid maju ke depan barisan untuk
menantang pasukan Muslim. Tantangan itu dilayani oleh Hamzah ra, Ali ra, dan
Ubaidah ra, hingga pada akhirnya ketiga jawara Quraisy tersebut mati. Setelah perang
tanding itu selesai, maka kedua pasukan itu pun bertempur habis-habisan. Rasulullah
saw memungut segenggam pasir kemudian ditaburkan di hadapan pasukan musuh
sembari mengucapkan, Hancurlah wajah-wajah mereka!! Peperangan pun dimulai,
hingga banyak pemuka Quraisy yang mati terbunuh. Akhirnya Allah Swt
menganugerahkan kemenangan kepada kaum Muslim.
Langkah Berikutnya untuk Menentang Dominasi Quraisy di Hijaz
Kemenangan kaum Muslim dalam Perang Badar membuat orang-orang Quraisy
semakin menyadari besarnya tantangan dari Daulah Islamiyah yang baru berdiri ini.
Mimpi buruk yang selama ini mereka bayangkan mulai menampakkan wujudnya.

Sebelum hijrah pun mereka sudah merasakan ancaman itu, sehingga mereka berupaya
keras menghalangi langkah-langkah Rasulullah saw untuk mendapatkan dukungan
kekuatan. Kekuasaan mereka di wilayah tersebut telah terancam; kepentingan
perdagangan mereka pun terancam. Maka mereka pun melancarkan Perang Uhud dan
Perang Ahzab terhadap kaum Muslim. Di antara saat-saat perang besar itu, orang-orang
Quraisy, kaum Yahudi, dan suku-suku lainnya, seperti Bani Tsalabah dan Bani Muharib
terus-menerus berupaya menentang munculnya pengaruh Daulah Islamiyah.
Di medan perang Uhud, kaum Muslim sebenarnya telah menguasai
pertempuran, sedangkan pasukan Quraisy mulai menarik mundur pasukannya.
Sekelompok pemanah ditempatkan secara strategis di lereng-lereng bukit untuk
melindungi sayap pasukan Muslim. Tetapi kemudian pasukan panah itu meninggalkan
posnya dan melanggar perintah Rasulullah saw untuk bertahan di lereng perbukitan.
Pelanggaran ini membuat pertahanan belakang pasukan Muslim menjadi longgar,
sehingga pasukan kavaleri orang-orang Quraisy di bawah pimpinan Khalid bin Walid
yang ketika itu masih kafir berkesempatan menusuk pasukan Muslim dari belakang.
Mereka berusaha keras menyerang Rasulullah saw, sehingga sebagian pasukan Muslim
mengira bahwa Nabi saw telah wafat. Mushab bin Umair ra terus berusaha merapatkan
barisan pasukan Muslim yang kacau balau sampai akhirnya beliau syahid. Hamzah ra
pun syahid. Kaum Muslim telah kehilangan pembawa ryah (panji-panji kaum Muslim)
dan Singa Allah. Namun demikian, Rasulullah saw tidak membiarkan orang-orang
Quraisy memenangkan peperangan. Pasukan Muslim dengan gagah berani terus
memberikan perlawanan, hingga akhirnya dengan pertolongan Allah Swt mereka
berhasil membuat pasukan musyrik mundur. Dalam sejumlah riwayat bahkan
disebutkan bahwa pasukan Muslim mampu mengusir pasukan Quraisy hingga delapan
mil dari Uhud, yaitu sampai daerah Hamra al-Asad.
Akibat dari upaya perlawanan yang gagah berani dan penyusunan kembali
pasukan yang telah tercerai-berai itu adalah kembalinya semangat kaum Muslim untuk
berjaya, keengganan mereka terperosok dalam kesulitan yang sama, serta kewaspadaan
mereka agar tidak lagi terjadi kekeliruan dalam perjuangan.
Orang-orang Quraisy, yang semakin merasa khawatir akan kehilangan
kekuasaan, mulai menjalin aliansi dengan suku-suku lainnya untuk bersama-sama
memerangi kaum Muslim pada Perang Ahzab. Salah satu sekutu mereka adalah kabilah
Yahudi Bani Quraizhah, yang juga juga ikut serta menandatangani Piagam Shahifah di
Madinah. Sebelum pecah perang, Rasulullah saw pernah mengutus Saad bin Muadz ra
untuk memperoleh jaminan dukungan dari mereka. Karena, sebelum peristiwa hijrah,
kabilah tersebut mempunyai hubungan yang sangat baik dengan orang-orang Aus.
Dalam rangka mempersiapkan pertempuran, Rasulullah saw berusaha
membangun parit pertahanan yang merupakan suatu bentuk strategi militer baru di
kawasan Hijaz. Beliau saw juga mengirimkan mata-mata ke tengah-tengah perkemahan
musuh dan melakukan penyesatan opini di tengah-tengah musuh untuk melemahkan
semangat mereka. Sementara itu, orang-orang Quraisy mendapati kenyataan bahwa
parit yang dibangun kaum Muslim itu sulit untuk dilalui. Ketika mereka tengah berpikir
tentang bagaimana cara menyeberangi parit tersebut, Allah Swt mendatangkan angin
topan yang amat hebat ke arah perkemahan musuh, sehingga orang-orang Quraisy
meninggalkan kemah-kemah mereka; sedangkan para sekutu mereka pun tercerai-berai.
Tidak lama setelah Perang Ahzab, kaum Muslim mendapat perintah dari
Rasulullah saw untuk mendatangi perkampungan Bani Quraizhah, dalam rangka
menindak tegas kabilah pengkhianat yang telah melanggar perjanjian mereka dengan

Daulah Islamiyah. Sikap ini pun menunjukkan bahwa Rasulullah saw tidak mau
melanjutkan kerjasama dengan musuh, yang merencanakan dan melakukan makar
bersama musuh-musuh yang lain untuk menusuk kaum Muslim dari belakang. Bani
Quraizhah pun dihukum dan mendapatkan vonis hukuman. Para laki-laki dari kalangan
mereka dihukum penggal, harta bendanya dibagi-bagi di kalangan kaum Muslim,
sedangkan para wanita dan anak-anak dijadikan sabaya. Vonis tersebut dijatuhkan oleh
Saad bin Muadz sesuai ketentuan Allah Swt. Demikianlah, tidak ada satu pun
kekuatan yang dibiarkan berkembang menjadi ancaman bagi Daulah Islamiyah.
Hukuman berat yang dijatuhkan kepada Bani Quraizhah merupakan peringatan keras
bagi pihak-pihak lain yang hendak mengancam Daulah Islamiyah.
Diplomasi dan Jihad: Dua Mata Pedang untuk Menyebarluaskan Islam
Pengiriman pasukan dan berbagai penyerangan terus berlanjut; demikian pula
misi-misi diplomatik yang diperintahkan Rasulullah saw. Pada bulan Syaban 6 Hijriah,
Rasulullah saw mengutus sekelompok Muslim di bawah kepemimpinan Abdurrahman
bin Auf dengan perintah untuk menikahi anak pimpinan Bani Kalb apabila mereka mau
memeluk Islam; tetapi andaikata mereka tidak mau memeluk Islam, maka kelompok
tersebut bertugas melaksanakan beberapa hal tertentu yang merupakan aturan Islam
sebelum melakukan penyerangan, yaitu mengajak mereka untuk masuk Islam, atau (bila
tidak mau) tetap dibiarkan sebagai non-Muslim yang tunduk pada aturan Daulah
Islamiyah (ahlu dzimmah). Dan jika mereka tetap menolak kedua tawaran tersebut, dan
memilih terus istiqamah dalam pandangan hidup yang jahiliyah, kufur, dan zhalim,
maka harus digunakan kekuatan militer untuk menghilangkan berbagai rintangan,
sehingga keadilan Islam dapat diimplementasikan kepada mereka. Kekuatan militer
tersebut diatur secara ketat oleh aturan-aturan syariat, seperti larangan melukai wanita,
anak-anak, dan orang-orang yang sudah tua. Bahkan pasukan Muslim tidak
diperkenankan memotong pohon-pohonan. Mereka juga tidak diperkenankan
memotong-motong mayat musuh, atau bertindak zhalim terhadap tawanan perang.
Langkah-langkah diplomatik dengan tujuan untuk memperluas kekuasaan juga
pernah dilakukan Rasulullah saw pada saat menjelang perjanjian Hudaibiyah di tahun
ke-6 Hijriyah. Pada waktu itu, orang-orang Quraisy tengah berencana untuk menjalin
aliansi dengan kabilah Yahudi di Khaibar. Atas petunjuk wahyu, Rasulullah saw beserta
para sahabat hendak berkunjung ke Makkah. Mereka mempersiapkan diri pada bulan
Dzulqaidah untuk melakukan ibadah haji. Rasulullah saw sengaja membiarkan kegiatan
persiapan haji kaum Muslim tersebut diketahui orang-orang dari suku-suku yang netral,
seperti Budail bin Warqa dari Bani Khuzaah, dan Urwah bin Masud dari Bani Tsaqif.
Upaya orang-orang Quraisy untuk menghalang-halangi kedatangan Rasulullah
saw justru membuat kredibilitas mereka di mata orang-orang Arab jatuh. Karena di mata
orang-orang awam, rombongan kaum Muslim itu hanya merupakan sekelompok
peziarah yang bermaksud menjalankan umrah. Oleh karena itu orang-orang Quraisy itu
terpaksa maju ke meja perundingan untuk membuat sebuah perjanjian yang sebetulnya
tidak mereka kehendaki.
Maka, Rasulullah saw dan para pemuka Quraisy kemudian menyusun sebuah
perjanjian yang berisi kesepakatan gencatan senjata terbatas. Dengan perjanjian itu
yang dikenal dengan perjanjian Hudaibiyah orang-orang Quraisy tidak diperbolehkan
menyerang Daulah Islamiyah, tidak boleh menjalin aliansi dengan kabilah lain untuk
menyerang Daulah Islamiyah, serta mengizinkan kaum Muslim untuk melakukan
ibadah haji pada tahun depan. Klausul terakhir ini sama saja memberi kesempatan kaum

Muslimin untuk berdakwah. Perjanjian tersebut juga memperbolehkan kaum Muslim


untuk mengamankan perbatasan. Perjanjian itu juga mencegah terjadinya aliansi antara
kabilah Yahudi di Khaibar dengan orang-orang Quraisy. Dengan demikian, tidak akan
terulang lagi serangan orang-orang kafir seperti pada Perang Ahzab.
Tidak benar pendapat yang menyatakan bahwa Perjanjian Hudaibiyah
merupakan bentuk kompromi yang dilakukan kaum Muslim. Faktanya, perjanjian ini
tidak saja menghalangi orang-orang Quraisy untuk menjalin aliansi dengan kabilah
Yahudi di Khaibar, tetapi juga merupakan jalan utama menuju penaklukan kota Makkah.
Perjanjian ini tanpa disadari orang-orang Quraisy telah menjebak mereka dengan
larangan untuk menyerang kaum Muslim, dan membolehkan kaum Muslim untuk
memperkokoh kedudukan mereka di tengah-tengah kabilah Arab lainnya. Secara
implisit, perjanjian tersebut juga menunjukkan pengakuan orang-orang Quraisy atas
kepemimpinan dan kekuasaan seseorang yang mereka kejar-kejar selama ini, sebagai
seorang kepala negara yang memiliki pengaruh yang sebanding.
Ketika dalam perjalanan menuju Makkah, kaum Muslim sempat berhadapan
dengan sekelompok pasukan yang dipimpin Khalid bin Walid. Ketika Rasulullah saw
mendengar informasi ini, maka beliau saw bersabda:
Celakalah kaum Quraisy. Mereka telah dihancurkan dengan peperangan. Apa
ruginya mereka bila mereka membiarkan masalah antara aku dan suku bangsa
Arab lainnya? Jika mereka (bangsa Arab) membunuhku, memang itu yang
mereka inginkan Dan apabila Allah memberikan kemenangan atas mereka
kepadaku, mereka akan dapat masuk Islam secara bergelombang. Dan apabila
mereka tidak mau (masuk Islam) mereka akan memerangiku selagi mereka kuat.
Apa yang mereka (Quraisy) pikirkan? Demi Allah aku akan meneruskan jihad
untuk apa yang Allah sampaikan kepadaku sampai Allah memberi kemenangan
atau leherku ini terpisah.
Nampak jelas bahwa perjanjian ini dilatarbelakangi oleh suatu tujuan satusatunya tujuan yaitu untuk meraih kemenangan Islam. Dan perjuangan ini akan
mencapai klimaksnya ketika kaum musyrikin masuk Islam secara berbondong-bondong.
Akibat langsung dari perjanjian ini ada dua perkara, yaitu terjadinya
penaklukkan militer terhadap musuh-musuh kaum Muslim lainnya, serta pengiriman
berbagai misi diplomatik ke sejumlah kepala negara asing.
Lima belas hari setelah penandatanganan Perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah saw
memberangkatkan satu resimen pasukan ke perkampungan kabilah Yahudi di Khaibar
untuk memberikan serangan mendadak. Pasukan tersebut terdiri dari 1700 mujahidin
yang berbaris menuju Khaibar, dan Ali bin Abi Thalib mendapat kehormatan sebagai
pembawa panji-panji Islam. Imam Bukhari meriwayatkan bahwa Ali ra bersumpah akan
memerangi musuh sampai mereka memeluk Islam. Rasulullah saw memberikan
tanggapan dengan sabdanya:
Mudahkanlah, ajaklah mereka untuk menerima Islam, dan sampaikan kepada
mereka kewajiban mereka kepada Allah. Aku bersumpah demi Allah, bila ada
seorang (saja) yang mengikuti petunjukmu, maka itu lebih baik dari unta yang
paling bagus.

Apa yang disampaikan Rasulullah saw ini menunjukkan dengan jelas bahwa
peperangan yang akan mereka lakukan itu semata-mata bertujuan untuk memenangkan
agama Allah atas agama-agama yang lain; dengan kata lain, tujuan utamanya adalah
agar umat manusia bersedia memeluk agama Islam.
Kaum Muslim mengepung Khaibar sebelum mereka menggempur bentengbenteng kaum Yahudi satu demi satu dengan kekuatan penuh. Pada saat benteng terakhir
berhasil direbut olah kaum Muslim, kaum Yahudi di Khaibar mengajukan permohonan
damai agar diri mereka tidak dihukum bunuh oleh Rasulullah saw. Permohonan ini
diluluskan oleh Rasulullah saw. Bahkan akhirnya mereka tetap diperkenankan tinggal di
negeri mereka, yang kini telah jatuh ke dalam kekuasaan Daulah Islamiyah. Mereka
juga mendapatkan separuh bagian dari hasil panen yang dihasilkan tanah-tanah Khaibar,
sedangkan separuh lainnya menjadi milik negara. Akibat penaklukan Khaibar ini turut
menyerah pula kabilah Yahudi Bani Fadak.
Setelah berhasil menaklukkan Khaibar, Rasulullah saw mulai mempersiapkan
penaklukkan kabilah-kabilah Arab yang tinggal di wilayah Nejed, yang pernah
bersekutu menentang Daulah Islamiyah, termasuk di antaranya kabilah Bani Ghathfan.
Dengan penaklukan kabilah Yahudi di Khaibar dan kabilah Bani Ghathfan, serta
keberadaan Perjanjian Hudaibiyah, maka Daulah Islamiyah berada dalam situasi yang
aman dari ancaman musuh-musuhnya yang paling besar. Dengan demikian, tercipta
suasana yang sempurna untuk menyebarluaskan Islam. Rasulullah saw berhasil
menyingkirkan dominasi dan pengaruh kaum Yahudi di seluruh Jazirah Arab, dan
kemudian dilanjutkan dengan membangun kekuasaan Islam.
Kekuasaan atas Wilayah Hijaz
Penaklukan kota Makkah terjadi pada bulan Ramadhan tahun 8 Hijriyah.
Peristiwa ini diawali dengan pelanggaran Perjanjian Hudaibiyah yang dilakukan oleh
kaum musyrik Quraisy. Pelanggaran itu membuat Daulah Islamiyah, yang saat itu telah
memiliki kekuatan yang lebih besar dan berada dalam situasi yang lebih aman,
mempunyai alasan mengirimkan pasukan untuk menyerang orang-orang Quraisy. Maka
Nabi saw bersama pasukan Muslim yang berjumlah sepuluh ribu orang berbaris menuju
Makkah, dan berhasil mengambil alih kota Makkah dengan mudah. Sebagian besar
penduduk Makkah pun berbondong-bondong masuk Islam, meski delapan tahun yang
lalu mereka adalah musuh yang paling besar, bahkan pernah berencana membunuh
Rasulullah saw.
Allah Swt berfirman:
Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu lihat
manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah
dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia
adalah Maha Penerima taubat. (TQS. an-Nashr [110]: 1-3)
Dengan ayat di atas, Allah Swt memberikan gambaran kepada kita bagaimana
metode yang harus ditempuh agar umat manusia berbondong-bondong masuk Islam.
Metode yang membuat hal ini bisa terjadi adalah adanya langkah-langkah politik yang
brilian melalui Perjanjian Hudaibiyah, serta kekuatan militer Daulah Islamiyah yang
senantiasa melakukan ekspansi.
Penaklukan kota Makkah merupakan suatu langkah besar dalam sejarah Daulah
Islamiyah. Dengan langkah ini maka perimbangan kekuatan di wilayah Hijaz perlahan

namun pasti beralih ke dalam kekuasaan Daulah Islamiyah. Daulah Islamiyah menjadi
kekuatan utama di Hijaz. Tidak lama setelah penaklukan Makkah, pasukan Muslim
terus memperluas kekuasaan, di antaranya melalui Perang Hunain, sehingga dominasi
Daulah Islamiyah mulai merambah ke seluruh wilayah Jazirah Arab.
Ekspansi ke luar Hijaz hingga ke Seluruh Dunia
Misi-misi diplomatik dikirimkan ke berbagai pimpinan negara, dengan tujuan
untuk mengajak mereka kepada Islam. Misi diplomatik ini dikirimkan baik kepada
kabilah-kabilah yang kecil maupun negara-negara superpower pada masa itu, yaitu
kerajaan Romawi dan Persia. Ada pula utusan-utusan untuk menghadap Raja Najasy
dari Habsyah; Muqauqis, Gubernur Mesir; Mundzir, penguasa Bahrain; Haudzah,
penguasa Yaman; al-Harits, raja Damaskus; Jafar, raja Oman dan saudaranya, Abdul
Jalandi.
Maksud dari seruan Nabi saw kepada para penguasa itu dapat dilihat dari isi
sejumlah surat yang beliau saw kirimkan. Kepada Raja Najasy, Rasulullah saw menulis:
Aku menyeru kepadamu dan bangsamu, agar menyembah Allah, yang Maha
Besar dan Maha Perkasa.
Kepada Muqauqis, Nabi saw menulis:
Jika engkau menerima Islam, maka Allah yang Maha Mulia akan memberimu
pahala dua kali lipat. Tetapi kalau engkau menolak, maka sesungguhnya bagi
engkaulah dosa segenap rakyat Qibthi.
Kepada Kisra, Rasulullah saw menulis:
Islamlah engkau, agar engkau selamat. Jika engkau menolak, sesungguhnya
atas pundakmu dosa orang-orang Majusi.
Kepada Heraklius, kaisar Romawi, Rasulullah saw menulis:
jika engkau berpaling (tidak mau mengikuti Islam) maka sesungguhnya atas
engkaulah dosa-dosa segenap rakyat.
Raja Bahrain, Mundzir, menulis surat kepada Rasulullah saw, mengatakan
bahwa ia telah masuk Islam; dan bahwa ia telah mengajak rakyatnya untuk masuk
Islam, namun hanya sebagian di antara mereka yang menerima Islam. Maka Rasulullah
saw memberikan surat balasan, yang menyatakan:
Wahai rakyat Bahrain, barangsiapa tetap dalam ke-yahudiannya atau kemajusiannya, maka atas mereka wajib membayar jizyah.
Kepada Raja Oman, Rasulullah saw menulis:
Apabila engkau menerima Islam, maka engkau tetap dalam kedudukanmu atas
negerimu. Tetapi jika engkau menolak seruanku, maka engkau harus ingat

bahwa seluruh milikmu tidaklah kekal. Pasukanku akan merebut wilayahmu,


dan ke-Nabianku akan menguasai kerajaanmu.
Surat-surat di atas semuanya menunjukkan metode Islam dalam
menyebarluaskan agama Islam, sekaligus tujuannya. Tujuannya adalah untuk
menyerukan Islam kepada para penguasa dan rakyatnya. Rasulullah saw akan merasa
puas jika penguasa tersebut mau menerima Islam, sekalipun rakyat mereka tetap dalam
agamanya semula. Bagi mereka yang tetap dalam agamanya diwajibkan membayar
jizyah. Beliau saw juga memberikan penjelasan, bahwa bila mereka menolak kedua
pilihan tersebut yakni masuk Islam atau membayar jizyah maka negeri mereka akan
ditaklukkan.
Di antara penguasa-penguasa tersebut, ada yang bersedia masuk Islam seperti
Raja Najasy dan Raja Oman. Ada pula yang menolak, seperti Heraklius Kaisar Romawi.
Kepada mereka yang menolak, Rasulullah saw pun melancarkan peperangan, seperti
pada Perang Mutah dan Perang Tabuk. Metodenya sudah gamblang, yaitu pendekatan
diplomatik yang didukung penuh oleh kekuatan militer.
Perlawanan yang ditunjukkan Daulah Islamiyah kepada Kerajaan Romawi pada
saat Perang Mutah merupakan peristiwa yang sangat monumental, melihat kenyataan
bahwa kaum Muslim melawan kekuatan superpower pada masa itu. Perlawanan yang
kurang lebih sama pernah ditunjukkan oleh kaum Muslim pada saat perang melawan
orang-orang Quraisy di Badar. Kedua peristiwa ini memberikan pelajaran kepada kita
semua, bahwa Daulah Islamiyah bertekad mengokohkan kekuasaannya di dunia, hingga
tidak ada satu pun kekuatan lain yang mampu menandinginya.
Rasulullah saw mulai melakukan pengamatan terhadap aktivitas politik dan
militer Kerajaan Romawi tidak lama setelah kembalinya utusan beliau saw dari sana.
Pertama-tama beliau saw melakukan operasi intelejen dalam rangka mengumpulkan
informasi, kemudian mengirimkan sebuah pasukan yang berkekuatan 3000 mujahidin
menuju Syam. Pasukan tersebut dipersiapkan untuk melakukan serangan ofensif, dan
mendapat perintah khusus untuk tidak melukai para wanita, anak-anak, dan bahkan
dilarang memotong pepohonan. Ini menunjukkan bahwa pasukan itu tidak dikirim untuk
menghancurkan, tetapi untuk menyebarluaskan Islam.
Sekalipun kekuatan kedua belah pasukan sama sekali tidak seimbang 3000
pasukan Muslim berhadapan dengan 100.000 pasukan Romawi di Mutah namun hal
ini tidak menghalangi niat pasukan Muslim dari misi mereka. Meskipun mereka harus
berperang dengan dahsyat, hingga mengakibatkan ketiga panglima mereka Zaid bin
Haritsah ra, Jafar bin Abi Thalib ra, dan Abdullah bin Rawahah ra syahid, namun
mereka tidak surut ke belakang. Di bawah kepemimpinan panglima yang keempat
Khalid bin Walid ra pasukan Muslim berhasil merapatkan barisan dan melakukan
manuver-manuver khusus, sehingga berhasil memaksa pasukan musuh mundur. Khalid
bin Walid memanfaatkan peluang ini untuk menarik mundur pasukan Muslim. Perang
Mutah antara pasukan Muslim yang tidak seberapa besar jumlahnya melawan pasukan
negara superpower Romawi yang berlipat-lipat banyaknya, namun kemudian diakhiri
dengan mundurnya pasukan Romawi dari medan pertempuran ini, membuat reputasi
pasukan Daulah Islamiyah menjadi sangat terkenal. Reputasi ini semakin menguat di
masa-masa setelah itu.
Tatkala Rasulullah saw mengirimkan pasukan ke Tabuk, yaitu suatu tempat di
perbatasan Kerajaan Romawi, beberapa tahun kemudian, beliau saw sengaja
mempersiapkan pasukan yang sangat besar dan bersenjata lengkap. Dengan reputasi

sebagai pasukan yang tak terkalahkan dan memiliki tujuan tunggal yang jelas, pasukan
yang didukung penuh oleh seluruh kekuatan Daulah Islamiyah tersebut berhasil
memaksa mundur pasukan Romawi tanpa peperangan. Dengan peristiwa Perang Tabuk
ini, jelas sudah alternatif yang diberikan Islam kepada seluruh penguasa di dunia, yakni
masuk Islam atau bersiap menghadapi ekspansi pasukan Islam.
Begitu Islam tersebar luas ke seluruh penjuru Jazirah Arab, dan rintanganrintangan fisik terhadap dakwah Islam berhasil disingkirkan, maka secara bergelombang
orang-orang bersedia menerima seruan Islam. Kejadian ini menjadi muara dari dominasi
Islam atas seluruh wilayah Jazirah Arab.
Untuk tahap berikutnya, Rasulullah saw melihat pentingnya menyebarkan Islam
ke luar perbatasan Jazirah Arab. Bahkan perintah terakhir yang diberikan Rasulullah
saw, sebelum beliau saw menghembuskan nafas terakhirnya, adalah pengangkatan
Usamah bin Zaid ra sebagai Amir al-Jihad melawan pasukan Romawi. Perintah jihad ini
pula yang menjadi perintah pertama Khalifah Abu Bakar ra, karena pasukan tidak bisa
diberangkatkan tanpa adanya perintah seorang penguasa. Misi pasukan itu tidak lain
adalah melanjutkan penyerangan terhadap Romawi, hingga berhasil meraih dominasi
global.
Para Khulafa ar-Rasyidin terus melanjutkan ekspansi Daulah Islamiyah ke
seluruh penjuru dunia, tanpa memandang batas-batas wilayah, hingga ke Persia, Eropa,
dan Afrika.
Demikianlah kita dapat melihat bahwa jihad untuk menyebarluaskan Islam ke
seluruh dunia merupakan tugas sebuah negara. Dengan kata lain, jihad bisa
dilaksanakan bila ada perintah dari pemimpin Daulah, dimulai dari Rasulullah saw dan
dilanjutkan oleh para Khalifah (pengganti) Rasulullah saw.
Tidak ada keraguan lagi bagi kaum Muslim bahwa semasa periode Madinah,
Rasulullah saw telah memberikan suatu metode (thariqah) yang jelas untuk
menyebarluaskan dan melindungi Islam. Metode itu sesuai dengan perintah Allah Swt;
dan sunnah Rasulullah saw menjadi satu-satunya landasan yang harus kita ikuti. Sebagai
kesimpulan, Islam harus disebarluaskan oleh Daulah Islamiyah; yakni melalui berbagai
seruan menuju Islam; seruan untuk hidup di bawah naungan Islam dengan kewajiban
membayar jizyah; dan penggunaan kekuatan militer untuk menyingkirkan segala bentuk
rintangan yang boleh jadi menghalangi pemberlakuan sistem pemerintahan Islam atas
wilayah dan penduduk yang tinggal di wilayah tersebut.
Para Khulafa ar-Rasyidin pun melanjutkan misi tersebut, hingga mereka berhasil
meraih keberhasilan yang sangat besar. Pada akhirnya, dunia melihat bagaimana Islam
tersebar semakin luas dan semakin jauh. Namun, ekspansi tersebut harus terus berlanjut,
hingga terpenuhi hadits Rasulullah saw:
Allah akan menghimpun seluruh dunia hingga aku bisa melihat bagian
Timurnya dan bagian Baratnya. Dan Allah akan menjadikan kekuasaan umatku
atas seluruh dunia. (HR. Muslim)
Maksudnya adalah bahwa dakwah dan jihad harus terus berlangsung hingga kekuasaan
Islam meliputi seluruh dunia.

PERISTIWA DI SAQIFAH BANI SAIDAH


Kaum Muslim sekarang ini tengah berada pada titik kritis dalam sejarah mereka,
dimana berbagai macam peristiwa genting berurat dan berakar di tengah-tengah umat.
Dalam keadaan seperti ini, kaum Muslim harus dapat menentukan urutan prioritas yang
mesti diselesaikan terlebih dahulu. Permasalahan apa yang harus menjadi fokus
perhatian kaum Muslim? Perkara apa yang mesti dihadapi umat Islam dengan sepenuh
kekuatan? Yang lebih penting lagi, perkara apa yang paling penting, yang dituntut Allah
Swt dari diri kita?
Aturan-aturan syariat yang berlandaskan pada akidah Islam telah memberikan
jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas. Dengan landasan pemikiran inilah, kaum
Muslim harus memusatkan perhatian dan memahami berbagai peristiwa yang terjadi
pada saat-saat penting setelah meninggalnya Rasulullah saw. Diskusi yang terjadi di
kalangan generasi Muslim yang paling baik, yaitu para sahabat, serta keputusan yang
mereka hasilkan akan memberikan jawaban terhadap berbagai permasalahan yang kita
hadapi sekarang ini.
Wafatnya Rasulullah Muhammad saw
Rasulullah saw wafat pada hari Senin, 12 Rabiul Awwal. Berita wafatnya
Rasulullah saw tidak pelak lagi menyebabkan kegemparan di kalangan kaum Muslim.
Anas meriwayatkan, Aku belum pernah menyaksikan suatu hari yang lebih baik atau
lebih cerah dibandingkan dengan hari dimana Rasulullah saw datang kepada kami;
dan aku juga belum pernah menyaksikan hari yang lebih buruk atau lebih kelabu
daripada hari dimana Rasulullah saw wafat.
Setelah Rasulullah saw wafat, masalah genting yang dihadapi umat Islam adalah
siapa yang akan dipilih untuk menggantikan kedudukan beliau saw sebagai pimpinan
pemerintahan. Kaum Anshar mengadakan sebuah pertemuan di antara mereka di
Saqifah Bani Saidah untuk mendiskusikan siapa yang akan menggantikan kedudukan
Rasulullah saw sebagai kepala negara. Mendengar informasi bahwa tidak ada
perwakilan kaum Muhajirin yang ikut serta, maka Abu Bakar ra, Umar ra, dan Abu
Ubaidah ra bergegas mendatangi pertemuan tersebut. Terjadi perdebatan yang sengit di
antara mereka dan kalangan Anshar. Kaum Anshar berpendapat bahwa mereka adalah
bagian terbesar penduduk Madinah dan kaum yang menolong agama Allah, sehingga
lebih berhak atas kepemimpinan tersebut. Kemudian Abu Bakar ra memberikan
tanggapan atas pernyataan kaum Anshar tersebut. Beliau mengatakan bahwa masalah
pemilihan seorang Khalifah pengganti Rasulullah saw dan pemimpin umat merupakan
masalah yang genting, yang bisa jadi mendatangkan kemudharatan, khususnya bagi
bangsa-bangsa Arab yang belum terbiasa tunduk kepada kabilah lain, selain kepada
suku Quraisy yang menjadi penguasa di Makkah. Oleh karena itu kaum Muhajirin
berpendapat bahwa pemimpin yang dipilih sebaiknya berasal dari orang Quraisy.
Kaum Muhajirin berusaha mengakhiri pertemuan sebelum dicapai kesepakatan,
dengan maksud agar masalah ini diserahkan sepenuhnya kepada seluruh kaum Muslim.
Tetapi, salah seorang pemuka Anshar, Hubab bin Mundzir bin al-Jamuh, ketika melihat
bahwa semua orang sepakat dengan usulan Abu Bakar dan bahwa pertemuan itu akan
diakhiri tanpa proses baiat kepada seorang Khalifah dari kalangan Anshar, segera
berdiri dan berkata, Wahai kaum Anshar, kalian harus memegang urusan kalian
dengan orang-orang yang ada dalam kabilah kalian. Sebab, tak seorang pun yang
berani menentang kalian. Orang-orang tidak akan sekali-kali mengeluarkan pendapat

selain mengikuti pandangan kalian. Kalian adalah kaum yang terhormat dan
berpengaruh. Jumlah kalian banyak dan memiliki keteguhan, pengalaman, keuletan,
dan suka menolong kaum lain. Bangsa-bangsa lain selalu memperhatikan apa yang
kalian lakukan. Janganlah saling berselisih pendapat sehingga suara kalian terpecah,
lalu urusan kalian ini menjadi lemah. Jangan hiraukan mereka, selain dari apa yang
telah kalian dengarkan ini. Kitalah yang berhak menjadi pemimpin dan bukan dari
kalangan mereka.
Begitu Hubab bin Mundzir selesai berbicara, Umar bin Khaththab berdiri dan
berkata, Tidak mungkin ada dua pemimpin dalam satu kurun waktu. Demi Allah,
orang-orang Arab tidak akan ridha untuk menyerahkan kepemimpinan kepada kalian,
padahal sudah jelas bahwa Nabi saw tidak berasal dari kalangan kalian. Namun
orang-orang Arab tidak berkeberatan menyerahkan urusan mereka kepada orangorang yang sukunya menurunkan kenabian. Maka kami berhak untuk mengurusi urusan
ini atas orang-orang yang mengabaikan argumentasi yang jelas, serta bukti yang nyata
dari orang-orang Arab. Siapakah yang dapat berselisih dengan kami tentang
kekuasaan dan kepemimpinan Muhammad; dan kami adalah kaumnya dan
pengikutnya, kecuali jika ada orang yang hendak melontarkan kebatilan, atau
memperturutkan hawa nafsu, atau ingin mendapatkan kebinasaan.
Ketika Hubab mendengar pernyataan ini, ia berdiri dan berkata, Wahai kaum
Anshar, kuasailah diri kalian dan jangan dengarkan perkataan orang ini dan kaumnya,
karena mereka hendak menghilangkan peran kalian dalam masalah ini. Bila mereka
tidak menghiraukan tuntutan kalian, maka usirlah mereka dari negeri ini, kemudian
kalian memimpin urusan ini atas diri mereka. Karena demi Allah, kalian lebih berhak
dalam urusan ini daripada mereka, karena pedang-pedang kalianlah yang membuat
orang-orang bersedia masuk Islam. Akulah yang menjadi tempat berlindungnya, dan
tempat melindungi kemuliaannya. Demi Allah, kalau kalian mau, pasti kita akan
mengembalikannya dengan utuh.
Mendengar pernyataan ini, Umar menjadi marah, dan berkata, Jika demikian,
semoga Allah membinasakanmu. Hubab pun menjawab, Tidak, justru engkau yang
akan dibinasakan (oleh Allah), sembari menarik pedangnya. Akan tetapi Umar lebih
dulu memukul tangannya, sehingga membuat pedang Hubab terjatuh, dan kemudian
Umar berhasil merebut pedang tersebut. Pada saat yang genting tersebut, Abu Ubaidah
bin Jarrah memintai kedua belah pihak saling menahan diri. Setelah keduanya diam,
beliau berdiri dan kemudian berkata kepada kaum Anshar, Wahai kaum Anshar, kalian
adalah orang-orang yang pertama kali menjadi pelindung dan penolong (Nabi dan
agamanya), maka janganlah kalian menjadi kaum yang pertama kali berubah dan
berpaling.
Kata-kata bijak dari Abu Ubaidah ini membuat kaum Anshar tergerak hatinya,
kemudian Basyir bin Saad salah seorang pemuka Khazraj berdiri dan berkata, Demi
Allah, sekalipun kita adalah kaum yang paling berjasa dalam jihad melawan kaum
musyrikin, dan termasuk golongan yang paling dahulu memeluk agama ini, namun kita
tidak mempunyai kepentingan apa pun selain ridha Allah, dan ketaatan kepada Nabi
kita, serta berusaha menekan kepentingan diri pribadi kita. Maka kita tidak bermaksud
mempersulit perkara ini terhadap seluruh manusia, dan kita tidak menghendaki sesuatu
pun dari dunia ini. Karena, Allah adalah Maha Pemberi segala kenikmatan kepada
kita. Muhammad adalah berasal dari Quraisy, dan dalam hal ini kaumnya lebih berhak
dan lebih utama (dalam perkara ini). Dan aku tidak tidak ingin Allah melihatku
berselisih dengan mereka (kaum Muhajirin) dalam hal ini sekalipun. Maka bertakwalah

kalian kepada Allah, dan janganlah kalian menentang dan mengambil kepemimpinan
dari tangan mereka.
Kata-kata Basyir ini berhasil menenangkan suasana, dan orang-orang Khazraj
pun sepakat dengan pernyataan ini. Pada kesempatan itu Abu Bakar memegang tangan
Umar dan Abu Ubaidah, kemudian berkata kepada orang-orang Anshar, Ini Umar dan
ini Abu Ubaidah. Kalian bisa membaiat salah seorang di antara mereka yang kalian
kehendaki. Kemudian beliau menyeru kepada mereka untuk tetap bersatu dan
mengingatkan agar jangan berpecah belah.
Melihat suasana yang rawan konflik, Umar khawatir terjadi perselisihan lagi.
Oleh karena itu beliau meninggikan suaranya dan menyeru, Ulurkan tanganmu wahai
Abu Bakar. Abu Bakar pun mengulurkan tangannya; Umar memegang tangan Abu
Bakar, kemudian membaiat beliau seraya berkata, Wahai Abu Bakar, bukankah
Rasulullah saw selalu menyuruh engkau memimpin kaum Muslim dalam shalat? Maka
engkau adalah Khalifah (pengganti) Rasulullah saw. Kami semua berbaiat kepadamu
karena mengikuti sebaik-baik orang yang lebih dicintai Rasulullah saw daripada kami
semua. Kemudian Abu Ubaidah mengulurkan tangannya, dan membaiat Abu Bakar
sambil berkata, Engkau adalah orang yang terbaik dari kalangan Muhajirin, dan
menjadi orang kedua ketika menemani Rasulullah saw di dalam gua; engkau adalah
Khalifah (pengganti) Rasulullah saw (untuk menjadi imam) dalam shalat; dan
engkaulah orang yang paling baik agamanya. Lalu siapa lagi yang lebih berhak untuk
melebihi engkau, atau yang lebih berhak memimpin urusan ini daripada engkau?
Segera Basyir bin Saad bangkit dan berbaiat kepada Abu Bakar. Usaid bin
Hudhair pemuka suku Aus memandangi kaumnya yang menyaksikan tindakan Basyir
bin Saad, kemudian berkata kepada mereka, Demi Allah, meskipun suku Khazraj telah
memutuskan, namun mereka masih menaruh harapan kepada kalian. Mereka sama
sekali tidak bertindak atas nama kalian. Maka, bangkitlah dan berbaiatlah kepada Abu
Bakar. Kemudian orang-orang Aus pun berdiri dan berbaiat kepada Abu Bakar.
Akhirnya, semua orang bangkit berdiri dan memberikan baiat kepada Abu Bakar,
sehingga Saqifah Bani Saidah penuh dengan kerumunan orang.
Demikianlah, baiat di Saqifah Bani Saidah pun berhasil diselesaikan,
sementara jenazah Rasulullah saw tetap berada di atas pembaringan, belum dikuburkan.
Begitu baiat selesai dilakukan, orang-orang keluar dari tempat pertemuan. Pada hari
berikutnya, Abu Bakar duduk di masjid bersama kaum Muslim. Umar bangkit berdiri
dan berkata kepada para jamaah. Pertama-tama beliau memohon maaf atas
perbuatannya beberapa hari sebelumnya, ketika beliau bersikeras menolak berita
wafatnya Rasulullah saw. Kemudian Umar kembali memberikan baiat kepada Abu
Bakar dan menyeru kepada para jamaah untuk berbaiat kepada beliau. Lalu seluruh
jamaah berbaiat kepada Abu Bakar, sampai seluruh prosesi baiat itu selesai.
Setelah itu Abu Bakar bangkit berdiri dan berpidato di depan kaum Muslim;
inilah khutbah pertama Abu Bakar dalam kedudukan beliau sebagai Khalifah:
Wahai manusia, aku telah diserahi amanat untuk memimpin kalian, padahal aku
bukanlah yang terbaik di antara kalian. Untuk itu, jika aku berbuat baik maka
bantulah aku; dan bila aku berbuat buruk, maka luruskanlah aku. Jujur itu
adalah amanat, sedangkan dusta itu khianat. Orang yang lemah di antara
kalian itu (di depanku adalah) kuat hingga aku berikan haknya sebagaimana
yang Allah kehendaki; sedangkan orang yang kuat di antara kalian (di depanku)
adalah lemah hingga aku mengambil hak darinya, insya Allah. Tidaklah suatu

kaum yang meninggalkan jihad di jalan Allah, kecuali pasti Allah akan
menimpakan kehinaan kepada mereka; dan tidak ada kekejian yang menyebar
di suatu kaum, kecuali Allah akan menimpakan bencana yang dirasakan oleh
semuanya. Taatilah aku selama aku menaati Allah dan Rasul-Nya. Jika aku
bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka kalian tidak perlu menaatiku.
Tegakkanlah shalat kalian, niscaya Allah akan mengasihi kalian.
Demikianlah secara singkat riwayat pengangkatan Abu Bakar ra sebagai
Khalifah serta pemberian baiat kaum Muslim kepadanya. Perselisihan yang terjadi di
antara kalangan Muhajirin dan Anshar seputar masalah Khalifah hanya tentang kandidat
atau calon Khalifah; bukan tentang perlu tidaknya seorang Khalifah. Baiat pertama
yang terjadi di Saqifah merupakan baiat iniqad atau baiat pengangkatan Khalifah,
sedangkan baiat yang dilakukan di masjid pada hari berikutnya adalah baiat taat.
Pelajaran dari Peristiwa di Saqifah Bani Saidah
Konsep ijma sahabat khususnya dalam masalah Khalifah telah ditunjukkan di
Saqifah Bani Saidah. Para ulama Islam telah menjadikan ijma atau kesepakatan para
sahabat Nabi Muhammad saw sebagai sumber hukum yang mengikat. Oleh karena itu,
bila suatu hukum atau aturan tidak ditemukan di dalam sumber hukum yang primer,
yaitu al-Quran dan al-Hadits, maka bisa ijma sahabat bisa digunakan untuk
menggalinya.
Mengenai peristiwa yang terjadi di Saqifah Bani Saidah, sesungguhnya kaum
Muslim mempunyai kewajiban untuk segera menguburkan jenazah Rasulullah saw.
Urusan kenegaraan juga perlu diatur dan dilaksanakan. Pasukan Usamah bin Zaid ra
telah diberangkatkan dan tengah bersiap-siap menunggu perintah selanjutnya. Ternyata,
di tengah berbagai permasalahan yang rumit tersebut, para sahabat dari kalangan
Muhajirin dan Anshar justru mengadakan diskusi untuk memilih pemimpin (amir) bagi
seluruh kaum Muslim. Para sahabat itu tentu memiliki pengetahuan dan kompetensi
untuk melakukan koreksi jika mereka merasakan atau melihat adanya suatu
kemunkaran. Ternyata tidak seorang pun di antara mereka yang bertindak demikian,
namun mereka justru melakukan diskusi yang hangat bahkan cenderung panas untuk
memilih Khalifah. Ini menunjukkan bahwa memilih seorang Khalifah merupakan suatu
perkara yang wajib. Proses pemilihan sampai dengan pembaiatan yang memakan
waktu sampai tiga hari dua malam menunjukkan indikasi bahwa pengangkatan seorang
amir merupakan masalah krusial yang harus bisa diselesaikan dalam jangka waktu
tersebut.
Perlu dicatat pula bahwa perselisihan yang terjadi di antara kedua kelompok itu
bukan berkenaan dengan perlu tidaknya mengangkat seorang Khalifah, tetapi berkenaan
dengan siapa yang akan diangkat menjadi Khalifah. Kalangan Anshar sebenarnya sudah
memilih Saad bin Ubadah sebagai Khalifah sebelum perwakilan Muhajirin ikut serta
dalam diskusi tersebut. Perdebatan yang terjadi kemudian berkaitan dengan kepantasan
dan kelayakan kandidat Khalifah yang terpilih dari kalangan Anshar. Abu Bakar
memandang bahwa kabilah-kabilah Quraisy akan sulit menerima kepemimpinan
seorang Khalifah dari kalangan di luar Quraisy. Dengan demikian perdebatan yang
berlangsung hangat itu hanya berkenaan dengan pertimbangan-pertimbangan politis
mengenai karakteristik pengganti Nabi saw.
Pragmatisme, pertimbangan-pertimbang jangka pendek, serta hal-hal seperti itu
bukan merupakan faktor dalam proses penyelesaian masalah. Niat yang kuat untuk

membahas dan menyelesaikan masalah vital, yang menentukan hidup dan matinya umat
Islam, adalah mentalitas yang dimiliki kaum Muslim pada masa itu; dan mentalitas
inilah yang sangat dibutuhkan kaum Muslimin pada saat ini. Keputusan hukum dalam
perkara pengangkatan Khalifah bersumber pada ijma sahabat. Batas waktu yang amat
singkat untuk memilih seorang Khalifah, yakni tiga hari dua malam, menunjukkan
pentingnya perkara ini. Pada dasarnya hukum pengangkatan Khalifah adalah fardhu
kifayah, namun berubah menjadi fardhu ain karena tugas ini belum bisa terwujud
hingga lebih 70 tahun.

KESIMPULAN
Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang
benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama meskipun orang
musyrik membenci. (TQS. ash-Shaff [61]: 9)
Abu Hurairah ra meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda:
Dahulu para Nabilah yang mengurus Bani Israil. Apabila wafat seorang Nabi,
diutuslah Nabi berikutnya. Tetapi tidak ada lagi Nabi sesudahku. Akan ada para
Khalifah, dan jumlahnya akan banyak.
Para sahabat kemudian bertanya, Apa yang engkau perintahkan kepada kami?
Maka Rasulullah saw pun menjawab:
Penuhilah baiat yang pertama dan yang pertama itu saja. Berikanlah kepada
mereka haknya, karena Allah nanti akan menuntut pertanggungjawaban mereka
terhadap rakyat yang dibebankan urusannya kepada mereka. (HR. Muslim)
Rasulullah saw adalah seorang kepala negara. Ketika menyampaikan risalah
Islam, beliau saw bebas dari kesalahan. Islam adalah din yang sempurna, dan wahyu
yang diberikan kepada beliau saw terjaga kemurniannya. Ke-Rasulan telah berakhir,
seiring dengan wafatnya beliau saw. Namun Islam tidak berakhir pada saat itu juga.
Cahaya Islam terus berlanjut melalui cahaya Negara Islam Madinah yang dipimpin oleh
para Khulafa ar-Rasyidin.
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, seluruh kaum Muslim telah
mendapatkan wahyu yang datang kepada Rasulullah saw. Tugas menyampaikan wahyu
kepada generasi-generasi yang akan datang kini berada di pundak seluruh kaum
Muslim. Kini, al-Quran telah dibukukan, dan hadits-hadits pun telah dikumpulkan.
Ucapan dan pendapat para sahabat pun telah berhasil dikumpulkan. Gambaran tentang
bagaimana mereka memerintah dan bagaimana mereka menyelesaikan permasalahan
telah juga telah berhasil dibukukan. Seluruh bagian dari Islam telah disampaikan,
disebarluaskan, dan dijelaskan kepada kita semua oleh kelompok yang unik ini, yaitu
para sahabat.
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari
golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka
dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah.
(TQS. at-Taubah [9]: 100)
Allah Swt memuji secara kolektif para sahabat. Allah Swt menyebut mereka
sebagai pejuang Islam di garda yang paling depan. Allah Swt juga berjanji bahwa Dia
Swt akan melindungi dan menjaga (kemurnian) al-Quran. Allah Swt berfirman:
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur'an, dan sesungguhnya Kami
benar-benar memeliharanya. (TQS. al-Hijr [15]: 9)
Para sahabat merupakan salah satu wahana yang dipilih Allah Swt untuk
memelihara Kitabullah. Merekalah yang menjadi tumpuan harapan dakwah Islam pada
masa Rasulullah saw. Mereka pula yang mengikatkan diri dengan al-Quran sepeninggal

Rasulullah saw. Merekalah yang mengajarkan al-Quran kepada umat manusia; mereka
yang menjadikan al-Quran sebagai pedoman hidup; mereka pula yang menunjukkan
kepada kita contoh yang gamblang dalam mengamalkan al-Quran. Mereka merupakan
contoh hidup yang menjadi pedoman bagi kita dalam mengatur kehidupan pribadi dan
bermasyarakat.
Allah Swt menggambarkan para sahabat dengan pujian yang sangat mulia di
dalam al-Quran. Sementara itu, Rasulullah saw memuji mereka dalam berbagai
haditsnya. Abdullah Ibn Mughfal meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda:
Allah! Allah! Di kalangan sahabatku tidak terjadi pertentangan. Barangsiapa
mencintai mereka, maka sama saja mencintaiku; barangsiapa membenci mereka
maka sama saja membenci diriku; dan barangsiapa menghina mereka, maka
sama saja mereka menghina diriku; dan barangsiapa menghina diriku sama
saja menghina Allah, dan semoga Allah menghukumnya.
Abdullah bin Masud meriwayatkan bahwa Rasulullah saw juga bersabda:
Yang terbaik dari kalangan umatku adalah mereka yang saat ini bersama diriku.
Allah Swt mengajari para sahabat, sebagaimana Dia Swt juga mengajari diri kita. Dalam
al-Quran Allah Swt berfirman:
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah
ia kepada Allah dan Rasul-Nya, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah
dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya.
(TQS. an-Nisaa [4]: 59)
Pada dasarnya, para sahabat adalah suatu generasi yang berpegang teguh pada
prinsip yang tercantum pada ayat di atas. Dalam melakukan setiap perbuatannya, para
sahabat selalu merujuk pada ketentuan Allah Swt dan keputusan Rasulullah saw.
Mereka bertanya tentang berbagai perkara kepada Rasulullah saw. Kemudian Rasulullah
saw akan menunggu turunnya wahyu sebelum memberikan jawaban kepada mereka,
karena Rasulullah saw bukanlah seorang yang bertindak sesuai dengan kehendak dan
keinginannya. Setelah Rasulullah saw wafat, satu-satunya jalan untuk mengembalikan
urusan kepada Allah dan Rasul-Nya adalah dengan kembali kepada dalil-dalil, yaitu
ayat-ayat al-Quran maupun teks-teks Sunnah. Pada masa-masa akhir kehidupan beliau,
Rasulullah saw memberi wasiat kepada kaum Muslim tentang bagaimana caranya
menyelesaikan berbagai pertentangan dan permasalahan.
Irbad bin Sariya ra berkata, Rasulullah saw seringkali memberikan nasihatnasihat yang membuat hati kami penuh rasa takut, sehingga air mata kami meleleh.
Maka kami berkata, Ya Rasulullah, ini seakan-akan khutbah yang terakhir, maka
berilah kami wasiat. Maka kemudian Rasulullah saw bersabda:
Aku berwasiat kepadamu agar bertakwa kepada Allah azza wa jalla, agar
mendengar, taat, dan patuh meskipun pemimpinmu seorang (mantan) budak.
Barangsiapa di antara kamu hidup panjang umur, maka dia akan melihat
banyak silang sengketa. Berpeganglah pada sunnahku dan sunnah-sunnah
khulafa yang mendapat petunjuk dan hidayah (sesudahku). Gigitlah kuat-kuat

dengan gigi gerahammu. Waspadalah terhadap berbagai ciptaan persoalanpersoalan baru. Sesungguhnya tiap-tiap bidah mengandung kesesatan, dan tiap
kesesatan (menjurus) ke neraka. (HR. Tirmidzi)
Wasiat yang diberikan Rasulullah saw pada kesempatan tersebut ternyata sangat
menyentuh, sehingga menyebabkan berlinangnya air mata para pengikutnya. Gambaran
yang diberikan Rasulullah saw dalam wasiat itu sangat menyentuh, sehingga wasiat
tersebut memberikan kesan yang sangat mendalam di hati para pengikutnya. Muatan
yang terkandung dalam wasiat itu adalah peringatan kepada para sahabat agar
berpegang teguh kepada Islam pada saat terjadi perselisihan.
Pesan yang terkandung dalam wasiat tersebut sangat penting kita pelajari saat
ini. Melihat keadaan kaum Muslim saat ini, amat wajar kiranya bila air mata kita
mengalir tiada henti. Maka penyelesaiannya pun menggunakan metode yang sama, yaitu
menggigit kuat-kuat alias berpegang teguh pada Sunnah Nabi dan sunnah-sunnah para
Khulafa ar-Rasyidin.
Teks-teks Islam itu sangat banyak. Terbuka ruang yang sangat luas bagi
terjadinya perbedaan penafsiran. Namun demikian, penafsiran yang tepat semestinya
berlandaskan pada kaidah yang disusun oleh para sahabat. Apalagi dalam bidang politik,
penafsiran yang tepat merupakan suatu perkara yang sangat penting. Banyak hal dalam
masalah ibadah yang telah ditetapkan secara eksplisit di dalam hadits-hadits Rasulullah
saw. Namun perkara bagaimana memimpin umat setelah wafatnya Rasulullah saw
hanya dapat diketahui dari peristiwa-peristiwa yang terjadi semasa Khulafa ar-Rasyidin.
Bagi kita sekarang ini, agar bisa hidup sesuai ketentuan Islam, maka tidak ada pilihan
lain kecuali memahami model Khilafah ar Rasyidah.
Rasulullah saw bersabda:
Setiap dari kalian adalah pemimpin, dan akan dimintai pertanggungjawaban
atas kepemimpinan itu. Seorang imam adalah pemimpin atas rakyat, dan akan
dimintai pertanggungjawabannya atas rakyatnya. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam hadits ini, kata rin digunakan untuk menyebut istilah pemimpin dalam
hubungannya dengan pemeliharaan urusan umat. Sekali lagi ini adalah konsep yang
dipegang teguh oleh para sahabat. Mereka tidak pernah mengabaikan tugas mereka
sebagai pemimpin. Seluruh Khulafa ar-Rasyidin benar-benar menyadari pentingnya
kedudukan mereka. Mereka sadar sepenuhnya dengan tanggung jawab yang diberikan
Allah Swt kepadanya, yakni untuk memimpin secara adil. Lebih dari itu, mereka juga
paham bahwa tatacara kepemimpinan mereka akan menjadi rujukan generasi-generasi
berikutnya. Kita merupakan salah satu generasi yang menjadikan mereka sebagai
teladan.
Para sahabat dipandang sebagai generasi yang unggul karena kefaqihan mereka
dalam Islam, lebih dari generasi-generasi sesudahnya. Mereka menganggap Islam
sebagai agama yang praktis. Islam juga bersifat dinamis, karena selalu dapat
memberikan penyelesaian atas segala permasalahan dalam seluruh aspek kehidupan,
sekalipun Rasulullah saw telah wafat.
Ketika Rasulullah saw wafat, terjadi kegoncangan di jalan-jalan kota Madinah.
Beberapa orang tidak percaya bahwa Rasulullah saw telah wafat. Bahkan Umar bin
Khaththab ra sendiri pada awalnya tidak dapat menerima wafatnya Rasulullah, hingga
Abu Bakar ra membacakan ayat yang berbunyi:

Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang Rasul, sungguh telah berlalu
sebelumnya beberapa orang Rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu
berbalik di atas tumit-tumit kamu (murtad)? (TQS. Ali Imran [3]: 144)
Abu Bakar ra memang berhasil mengatasi kegoncangan itu, namun masih ada
masalah yang belum dapat diselesaikan. Pasukan Muslim di bawah kepemimpinan
Usamah bin Zaid yang dikirimkan untuk berjuang melawan pasukan Romawi di Syam
tengah menunggu perintah berikutnya. Menjelang wafatnya, Rasulullah saw bersabda:
Wahai manusia, teruskanlah pengiriman pasukan perang Usamah. Demi
umurku, andaikata kalian mengkhawatirkan kepemimpinannya, sesungguhnya
dulu kalian juga telah mengkhawatirkan kepemimpinan ayahnya. Sesungguhnya
ia dan ayahnya pantas memimpin pasukan perang.
Selain itu, ada beberapa orang yang menyebut diri mereka sebagai nabi. Aswad
al-Ansi dari Yaman, Thulaiha dari Bani Asad, Sajaah binti al Harits dari Bani Tamim,
serta Musailamah al-Kadzdzab dari suatu kabilah di pedalaman Arab, menganggap diri
mereka adalah nabi. Masing-masing nabi palsu tersebut membentuk pasukan dan mulai
memerangi Daulah Islamiyah. Ada pula beberapa kabilah yang menolak membayar
zakat.
Gubernur Bahrain meninggal dunia, dan kabilah Bani Bakar mulai
memberontak. Maka meletuslah kekacauan di wilayah tersebut. Pemberontakan serupa
juga terjadi di Oman, Mahra, dan Yaman. Demikianlah, kekacauan-kekacauan melanda
sejumlah wilayah Daulah Islamiyah, sedangkan pasukan Romawi memberikan ancaman
tersendiri dari luar negeri. Para sahabat, di tengah berbagai permasalahan yang
menggelayuti pundak mereka, ternyata tetap berupaya mengembalikan segala
permasalahan itu kepada Islam. Mereka bersepakat untuk memilih seorang kepala
negara.
Ummul mukminan, Aisyah ra memberikan gambaran kondisi kaum Muslim
setelah wafatnya Nabi saw sebagai berikut, Ketika Rasulullah saw wafat, banyak
orang Arab yang murtad, orang-orang Yahudi dan Nasrani pun mulai berani bersikap
arogan, dan tumbuh benih-benih kebencian. Kaum Muslim menjadi layaknya seekor
domba yang tersiram hujan di tengah malam pada saat musim dingin, karena
kehilangan nabinya. Sampai kemudian Allah Swt menyatukan mereka di bawah
kepemimpinan Abu Bakar.
Para sahabat berhasil mengatasi masa-masa sulit itu memilih seorang pemimpin
dari kalangan mereka. Di bawah kepemimpinannya dan para Khulafa ar-Rasyidin
berikutnya kaum Muslim mampu menyebarluaskan Islam ke berbagai penjuru dunia. Di
bawah kepemimpinan para Khulafa ar-Rasyidin, bangsa-bangsa di Timur Tengah dan
Afrika Utara berhasil dibimbing keluar dari kegelapan menuju terang benderang,
sebagaimana dinyatakan Allah Swt dalam al-Quran min azh-zhulumt ila an-nr.
Sebelum kedatangan Islam, bangsa-bangsa tersebut terpuruk dalam penyembahan
berhala dan kejahiliyahan lainnya.
Pada saat-saat seperti sekarang inilah kita perlu melakukan refleksi atas berbagai
kesulitan dan kehinaan yang tengah kita hadapi. Dunia hampir-hampir putus asa
menanti datangnya petunjuk. Apa pun informasi yang dapat kita peroleh dari sirah
Rasulullah saw, kita akan jumpai pesan utama yang harus kita pelajari lebih jauh, yaitu

bahwa beliau saw hadir laksana sebuah cahaya yang menerangi atau sirjan munr.
Satu-satunya jalan untuk mengubah keadaan gelap gulita yang kini dialami umat
manusia adalah dengan mengikuti segala sesuatu yang ditinggalkan Rasulullah saw
kepada kita. Itulah Kitabullah, as-Sunnah, dan keputusan para Khulafa ar-Rasyidin.
Cara ini hanya bisa ditempuh dengan menegakkan kembali negara Khilafah Islamiyah.
Setelah kaum Muslim mengalami masa-masa sulit sepeninggal Rasulullah saw,
maka Allah Swt menganugerahi mereka kemuliaan dan kekuasaan atas seluruh Jazirah
Arab. Kemuliaan dan kekuasaan ini diperoleh melalui tangan-tangan para sahabat. Islam
adalah jalan orang-orang Arab untuk menyelamatkan diri mereka dan bangsa-bangsa
lainnya. Teladan dalam diri seorang Umar bin Khaththab menunjukkan kekuatan
karakter yang dapat menggantikan kesesatan. Sebelum menemukan Islam, beliau
merupakan seorang musuh Islam yang sangat kejam. Demikian besar rasa permusuhan
Umar terhadap Islam, sehingga salah seorang sahabat pernah berucap, Seandainya
keledai milik Umar masuk Islam, Umar tetap tidak akan bersedia (masuk Islam).
Tetapi, ketika Umar mendengar ayat-ayat al-Quran dibacakan, memahami artinya, dan
menyadari mukjizat yang terkandung di dalamnya, beliau ra berubah menjadi manusia
yang sama sekali berbeda. Sebelumnya, Umar adalah orang yang sangat kejam, yang
biasa membunuh bayi-bayi perempuan yang baru lahir; tetapi kemudian berubah
menjadi seorang pemimpin Muslim yang besar lagi penuh kasih sayang. Begitu beliau
ra mendengar firman Allah Swt:
Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena
dosa apakah dia dibunuh. (TQS. at-Takwir [81]: 8-9)
Dan menyadari kebenaran yang terkandung dalam ayat tersebut, maka beliau segera
menghentikan perbuatan buruknya. Ketika beliau mendengar bahwa Rasulullah saw
bersabda:
Seorang imam adalah pemimpin atas rakyat,
pertanggungjawaban atas (urusan) rakyatnya.

dan

akan

dimintai

Maka beliau pun kemudian berpandangan bahwa kepemimpinan bukan merupakan


suatu kehormatan, tetapi tanggung jawab. Oleh sebab itulah beliau berkata, Andaikata
ada seekor keledai yang terpeleset di sebuah jalan, aku khawatir Allah akan
menanyaiku, mengapa engkau tidak meratakan jalan tersebut? Demikian pula ketika
beliau mendengar bahwa al-Quran menyatakan:
Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk menjadi rahmat bagi
semesta alam. (TQS. al-Anbiya [21]: 107)
Maka beliau pun berupaya sebaik-baiknya untuk menyampaikan Islam dengan buktibukti yang jelas kepada orang-orang kafir. Jika ada penguasa tiran yang berupaya
mencegah dakwah yang disampaikan, tanpa ragu beliau akan segera memeranginya.
Agar dengan demikian, orang-orang kafir dapat menyaksikan dengan jelas keunggulan
dan keadilan Islam yang dibawakan oleh para penganutnya. Sehingga diharapkan orangorang kafir itu tanpa ragu-ragu lagi bersedia masuk Islam, sebagaimana diri beliau
sebelumnya.

Islam merupakan sebuah kekuatan yang luar biasa, yang mampu memberikan
dorongan yang amat besar bagi orang-orang yang meyakininya, karena Islam adalah din
yang berasal dari Sang Maha Pencipta. Allah Swt mengutus Rasulullah saw untuk
menyampaikan risalah Islam kepada umat manusia, agar mereka mampu keluar dari
kegelapan sistem jahiliyah menuju cahaya Islam yang terang benderang; dari
penyembahan kepada makhluk menuju penyembahan kepada Sang Khalik semata; dari
kezhaliman hukum-hukum buatan manusia menuju keadilan dan keunggulan hukumhukum Allah Swt.
Islam menunjukkan jalan kepada manusia untuk memahami persoalan yang
mereka hadapi, sekaligus jalan untuk menyelesaikan persoalan tersebut, berikut cara
untuk menerapkan solusi itu. Karena, Islam adalah din dari Yang Maha Agung untuk
seluruh umat manusia, yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya,
dengan dirinya sendiri, dan dengan orang lain. Penerapan Islam secara paripurna akan
bermuara pada kebahagiaan umat manusia. Allah Swt telah mengubah kondisi orangorang yang tinggal di Jazirah Arab, dan Allah Swt juga dapat mengubah keadaan yang
kita alami sekarang ini. Akhirnya semua terpulang kepada kita, apakah kita akan
kembali kepada Islam sebagai pandangan hidup, dan memiliki keyakinan bahwa Allah
Swt akan menganugerahkan kebaikan di dunia maupun di akhirat.
Demikianlah, kami menyeru kepada anda untuk menuju cahaya yang terang
benderang, yakni cahaya Islam. Kami menyeru kepada anda untuk berjuang
menegakkan negara Khilafah Islamiyah, karena kegelapan yang melanda umat manusia
saat ini telah tersebar luas, menembus segala aspek kehidupan, sehingga tidak dapat
dihitung lagi jumlah kemaksiatan yang telah terjadi dan dosa-dosa yang telah
menggunung. Maka berjuanglah, dan Allah Swt dan Rasul-Nya akan menyaksikan
perjuangan anda.
Dan Katakanlah: Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orangorang mu'min akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan
kepada Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya
kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan. (TQS. at-Taubah [9]: 105)

SERUAN HIZBUT TAHRIR INGGRIS


Allah Swt, dengan rahmat dan kasih-Nya, telah menjadikan umat Islam sebagai
umat yang paling unggul di antara umat-umat yang lain di dunia. Allah Swt telah
menganugerahkan kemurahan-Nya kepada kita, dengan memberikan sebuah din yang
lengkap dan jelas. Allah Swt telah mengutus seorang Rasul, yang kebenaran dan
kedudukannya telah dikenal semua orang. Maka, tanpa sebersit keraguan sedikit pun,
kita akan yakin dengan berita yang disampaikan oleh beliau:
Roda penggilingan Islam tengah berputar, maka berputarlah kemana pun ia
berputar.
Wahai kaum Muslim! Roda penggilingan Islam tengah berputar semakin cepat
dari hari ke hari. Pihak-pihak yang hendak menyimpangkan seruan yang mulia ini akan
menggunakan seluruh cara dan memanfaatkan setiap kesempatan untuk mencapai
tujuan mereka. Oleh sebab itulah menjadi tugas kita untuk menyatukan kekuatan di
pihak yang haq untuk melawan kemunkaran yang melanda seluruh dunia.
Allah Swt berfirman:
Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut
mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya,
walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai. (TQS. at-Taubah [9]: 32)
Wahai kaum Muslim! Sejak Inggris dan negara-negara Barat menghancurkan
negara Khilafah Islamiyah pada tanggal 3 Maret 1924, umat ini tidak lagi pernah
menikmati masa-masa yang membahagiakan. Wilayah kita dikerat-kerat, leluhur kita
dihinakan, saudara-saudara kita dipatahkan harapannya, dan ibu-ibu serta saudarisaudari kita dilecehkan kehormatannya. Mereka semua menanti penuh harap datangnya
imam mereka; seorang Khalifah, yang telah lama tidak mereka miliki, sebagai
pelindung dan pemelihara kehidupan mereka.
Rasulullah saw bersabda:
Imam itu bagaikan perisai; dari belakangnya umat berperang dan dengannya
umat berlindung. (HR. Muslim)
Belum pernah kaum Muslim mengalami keadaan yang demikian parah. Belum
pernah mereka terpecah belah seperti sekarang ini. Belum pernah mereka membiarkan
orang-orang kafir mengambil alih kedudukan mereka dan menyebarkan kerusakan
(fasad) di atas permukaan bumi. Padahal Allah Swt menggambarkan umat Islam sebagai
saksi atas seluruh umat manusia, sebagaimana firman-Nya:
Dan demikian Kami telah menjadikan kamu sebagai umat yang adil dan pilihan,
agar kamu menjadi saksi atas manusia dan agar Rasul menjadi saksi atas kamu.
Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu melainkan agar
Kami mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan
sungguh itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi
petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu.

Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.


(TQS. al-Baqarah [2]: 143)
Oleh karena itu, kami menyeru anda semua wahai kaum Muslim, kepada suatu
perjuangan yang paling mulia, yaitu perjuangan untuk menegakkan kembali Khilafah
Islamiyah. Kami menyeru anda pada suatu kewajiban yang paling besar; yaitu
kewajiban untuk mengembalikan lagi hukum-hukum Islam dalam kehidupan umat
manusia; kewajiban untuk melanjutkan kehidupan Islam di dunia. Kami menyeru anda,
dengan seruan yang penuh kehangatan, untuk berjuang sekuat tenaga mengembalikan
lagi negara kita melalui satu-satunya metode yang diterima dari Allah Swt, yaitu metode
Rasulullah Muhammad saw.
Sungguh, kedudukan yang paling mulia saat ini adalah kedudukan sebagai
pengemban dakwah Islam yang sejati; yaitu pengemban dakwah yang kata-katanya
mampu menggetarkan hati pemuka-pemuka suku Quraisy di Makkah dan dapat
membangkitkan harapan orang-orang mukmin yang tulus.
Wahai kaum Muslim! Sebagai bagian dari makar untuk membuat umat ini
terpecah belah dan tak berdaya, orang-orang kafir telah membuat batas-batas palsu di
antara saudara se-akidah dan menciptakan identitas-identitas semu di kalangan kaum
Muslim. Alih-alih menyatukan diri sebagai satu umat di bawah satu bendera, yang
muncul malah negara-negara bangsa dan identitas-identitas golongan. Kita dibiasakan
untuk menyebut diri kita sebagai orang Yordania, orang Mesir, orang Pakistan, atau
orang Inggris. Dengan demikian, mereka telah menjebak kita dalam perjuanganperjuangan yang murahan dengan tujuan-tujuan yang terbatas, sehingga justru
menjauhkan diri kita dari permasalahan yang mendasar, yang menentukan hidup dan
matinya Islam. Padahal Rasulullah saw bersabda:
Perumpamaan kaum mukmin dalam hal kasih sayang dan rahmat adalah
bagaikan satu tubuh. Jika satu bagian (tubuh) menderita, maka menjalarlah
penderitaan itu ke seluruh bagian (tubuh) lainnya, hingga tidak dapat tidur dan
demam. (HR. Bukhari Muslim)
Bukankah telah sampai waktunya bagi kita untuk menyingkirkan sekat-sekat di
antara kita kaum Muslim? Bukankah kita harus mulai berjuang bersama-sama untuk
meraih tujuan yang mulia ini? Hari ini kami menyampaikan kepada anda semua, bahwa
Khilafah akan kembali sesuai janji Allah Swt kepada kita semua. Putra-putri umat ini
telah banyak berkorban untuk mengembalikannya. Kami, para syabb (pemuda) Hizbut
Tahrir berani menyatakan bahwa kembalinya (negara) Khilafah merupakan suatu
keniscayaan. Ketika saat itu tiba, maka kaum Mukminin akan menyaksikan hari-hari
yang penuh kebahagiaan dan kesejahteraan. Mereka akan memuliakan Islam dan
mencemooh kekufuran. Sehingga kalimat-kalimat Allah Swt akan mendapatkan
kedudukan yang tinggi, sedangkan orang-orang kafir akan dihinakan.
Rasulullah saw bersabda:
Perkara ini (sangat jelas) seperti malam dan siang. Allah tidak akan
meninggalkan satu pun rumah yang terbuat dari batu (perkotaan) atau kulit
binatang (pedesaan), kecuali Allah akan menjadikan Islam masuk ke dalam
rumah-rumah tersebut dengan (cara) yang mulia atau hina. Kemuliaan yang
dijadikan Allah untuk mengokohkan Islam, dan kehinaan yang akan

merendahkan kekufuran. (HR. Ibnu Hibban, dishahihkan oleh al-Miqdad bin


al-Aswad)
Kita harus menegakkan kembali (negara) Khilafah, apa pun yang terjadi, karena
kita senantiasa berharap agar Allah Swt berkenan memandang kita dengan penuh ridla
dan kasih sayang. Oleh karena kami mencintai anda sekalian sebagaimana kami
mencintai diri kami sendiri, maka kami mengajak anda dan seluruh kaum Muslim untuk
berjuang secara ikhlas dan bersungguh-sungguh, mendayagunakan segala kemampuan
yang kita miliki; bersama-sama dengan para pejuang yang ikhlas dan serius, yang
bertujuan menegakkan kembali Khilafah, dan mengembalikan mutiara yang hilang,
sehingga kita bisa meraih kembali kedudukan yang layak di antara umat-umat yang lain,
yaitu sebagai pembawa kebahagiaan, sebagai pembawa petunjuk, dan sebagai saksi atas
seluruh umat manusia. Inilah kehormatan di dunia dan di akhirat. Hendaknya tidak ada
seorang pun di antara anda yang mengabaikan kewajiban ini, dan jadilah pewaris
terbaik dari kaum pendahulu yang terbaik. Maka bulatkan tekad anda, dan bangkitkan
rasa hormat anda terhadap agama dan umat anda. Jangan biarkan tumpukan kepalsuan
berikut pengaruh buruk yang ditimbulkan membuat anda cemas, karena tahap
perjuangan ini hampir berakhir. Barisan orang-orang yang berjuang untuk menegakkan
Khilafah semakin hari semakin bertambah, dengan tingkat pertumbuhan yang luar biasa,
dan langkah-langkah mereka dalam menuju kemenangan semakin hari semakin dekat.
Kita sungguh-sungguh yakin kepada Allah Swt; dan harapan kita kepada kemenangan
yang Dia janjikan sama sekali tidak dicemari meski hanya oleh setitik keraguan. Dan
Allah Swt berkuasa penuh atas urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui. Dan Maha Besar Allah, yang berfirman:
Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan
mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan
menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan
orang-orang sebelum mereka berkuasa; dan sungguh Dia akan meneguhkan
bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benarbenar akan menukar mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman
sentausa. (TQS. an-Nur [24]: 55)
Dan terakhir, kami ingin menutup buku ini dengan seuntai doa yang kami
haturkan kepada Allah Swt:
Ya Allah! Kami memohon kepadamu iman yang tak tergoyahkan; dan
keberanian yang tak bisa dimundurkan; dan hasrat yang tak bisa dikalahkan; dan tekad
yang tak bisa patahkan; serta keteguhan yang tak bisa diganggu-gugat.
Ya Allah! Tetapkanlah diri kami dalam agama-Mu dan dalam aktivitas dakwah
hingga saat dimana kami bertemu dengan Mu.
Ya Allah! Tolonglah kami dengan orang-orang mukmin yang memiliki kekuatan.
Tolonglah kami dengan orang-orang mukmin yang budiman.
Ya Allah! Tolonglah kami dengan orang-orang yang bersedia berdakwah
bersama kami, serta menanggung kesusahan, kecemasan, dan tanggung jawab bersama
kami.
Ya Allah! Berilah kami pertolongan dan perlindungan. Siapkanlah orang-orang
yang akan menolong kami menerima kekuasaan di Yordania, Suriah, Irak, Mesir, Turki,

dan negeri-negeri Muslim lainnya. Bukalah hati mereka agar dapat menerima seruan
kami.
Ya Allah! Berilah kemampuan kepada kami untuk menegakkan Khilafah
Islamiyah; untuk mengibarkan ryah (panji-panji kaum Muslim); serta untuk
menerapkan syariat Islam.
Ya Allah! Berilah kami kekuatan untuk menyingkirkan hukum-hukum dan
sistem kufur dari negeri-negeri kaum Muslim. Dan berilah kekuatan untuk
menghancurkan Israel dan negara-negera kafir yang menjajah negeri-negeri kaum
Muslim.
Ya Allah! Berilah kami kekuatan untuk menyatukan seluruh wilayah kaum
Muslim ke dalam Daulah Khilafah.
Ya Rabb al-lamn. Allahumma amn.

DAFTAR PUSTAKA
As-Sirah al-Nabawiyyah, Imam Abu al-Fida Ismail ibnu Katsir
As-Sirah al-Rasulullah, Muhammad ibnu Ishaq
At-Tarikh al-Rusul wa al-Muluk, Abu Jafar Muhammad bin Jarir al-Thabari
Ar-Rahiq al-Makhtum, Safi ur-Rahman Mubarakpuri
Ad-Daulah al-Islamiyyah, Taqiyuddin an-Nabhani
An-Nizham al-Hukmiy, Taqiyuddin an-Nabhani

You might also like