Professional Documents
Culture Documents
Disusun oleh:
MONIKA TATYANA YUSUF
20100310057
Pembimbing: dr. Tinon Anindita, Sp.An
RSUD Kota Salatiga
KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESIA DAN REANIMASI
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2016
HALAMAN PENGESAHAN
Disusun oleh:
Nama: Monika Tatyana Yusuf
No. Mahasiswa: 20100310057
Telah dipresentasikan
Hari/Tanggal:
Disahkan oleh:
Dosen Pembimbing,
BAB I
STATUS PASIEN
a. Identitas Pasien
Nama
: Ny. S
Umur
: 60 tahun
Jenis Kelamin : Wanita
b. Anamnesa
Keluhan Utama
Pasien datang ke Poli THT dengan keluhan hidung sebelah kiri berbau, tersumbat,
terdapat daging tumbuh yang menutupi lubang hidung dan mengeluarkan ingus kental.
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien merasakan hidung berbau dan tersumbat sudah lebih dari 3 bulan, selain
itu terdapat rasa ada dahak yang berjalan di belakang tenggorokan, ingus kental. Pasien
merasa daerah mata kiri dan dekat pipi kiri terasa nyeri, serta penciuman berkurang.
Riwayat Penyakit Dahulu:
Pasien mengatakan bahwa tidak ada penyakit yang membuatnya hingga rawat
inap. Namun pasien memiliki keluhan gigi berlubang dari dulu di gigi geraham atas kiri
dan pasien mengeluhkan sering sakit gigi. Riwayat Diabetes Mellitus (-), hipertensi (+),
jantung (-), asma (-), alergi (+), pasien sering bersin-bersin ketika dingin dan berada di
ruangan berdebu.
Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada riwayat penyakit dan keluhan yang sama dalam keluarga, riwayat DM
(-), Hipertensi (+), jantung (-), asma (-), alergi (-).
Tinjauan Sistem:
Kepala leher
: Nyeri di daerah mata dan pipi kiri, pada hidung kiri terdapat polip
yang menutup lubang hidung kiri.
Kulit
THT
mengalir di
Respirasi
Gastrointestinal
Kardiovaskular
Perkemihan
Sistem Reproduksi
Ekstremitas
Dekstra
Sinistra
Auricula
Normotia
Normotia
Liang Telinga
Lapang
Lapang
Serumen
(+)
(+) sedikit
Discharge
(-)
(-)
Membran Timpani
Tertutup serumen
Utuh
Hidung
Dekstra
Sinistra
Deformitas
(-)
(-)
Cavum nasi
Lapang
Eutrofi
Sulit dinilai
Darah
(-)
(-)
Crusta
(-)
(-)
Septum nasi
Lurus
Lurus
Tenggorokan
Dekstra
Tonsil
T1
Sinistra
T1
Tenang
Posterior)
Uvula
Di tengah
o Cor
Suara S1 dan S2 terdengar regular dan tidak ditemukan bising atau suara
tambahan jantung
o Pulmo
Bentuk paru simetris, tidak terdapat jejas dan kelainan bentuk.
Tidak ada ketinggalan gerak, vocal fremitus tidak ada peningkatan
maupun penurunan.
Tidak ada nyeri tekan pada lapang paru.
Perkusi : sonor
Suara dasar vesikuler : +/+ (positif di lapang paru kanan dan kiri)
Suara rokhi : -/ Suara wheezing : -/o Abdomen
Bentuk distended, spider nevi (-)
Peristaltik usus (+) normal
Nyeri tekan (-)
Undulasi (-)
Pekak beralih (-)
o Ekstremitas
Udem : (-) baik di ekstremitas atas maupun bawah
Akral dingin: (-) baik di ekstremitas atas maupun bawah
o Pemeriksaan penunjang
Darah Rutin :
Leukosit
: 7,13
(N: 4.5-11)
Eritrosit
: 4,72
(N: 4.5-5.5)
Hemoglobin
: 14,4
(N: 14-18)
Hematokrit
: 42,8
(N: 40-54)
Trombosit
: 248
(N: 150-450)
Kimia Darah
Ureum
: 10
(N: 10-50)
Creatinin
: 0,8
(N: 0,6-1,1)
GDS
: 97
(N: 80-144)
SGOT
: 23
(N: < 31)
SGPT
: 16
(N: < 32)
Imunoserologi:
HBsAg
: Negative
A (Assessment)
:
o Sinusitis Kronis Maxilaris Sinistra dengan polip nasi sinistra
o Hipertensi Stage II
P (Planning)
Dilakukan terapi bedah CWL (Caldwell Luc) pada 18 April 2016
Dosis
20 tetes/ menit
2 x 1 amp (1 gram)
2 x 1 amp (125 mg)
3 x 1 amp (500mg)
3 x 1 amp
3 x 1 amp
2 x 1 amp
1 x 1 tab (2,5 mg)
1x tab (150 mg)
Cara
Pemberian
I.V
I.V
I.V
I.V
I.V
I.V
I.V
Oral
Oral
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. SINUSITIS
1. Definisi dan Klasifikasi Sinusitis
Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal.
Umumnya disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut rinosinusitis.
Namun ada pula sinusitis yang dipicu secara odontogen atau dentogen karena adanya
infeksi pada akar gigi yang menembus sinus paranasal terutama sinus maxillaries.
Konsensus tahun 2004 membagi rinosinusitis menjadi akut dengan batas sampai
empat minggu, subakut antara empat minggu sampai tiga bulan dan kronik jika lebih
dari tiga bulan atau berdasarkan jenis atau tipe inflamasinya yaitu infectious atau
non-infectious.
Klasifikasi secara klinis untuk sinusitis dibagi atas sinusitis akut, subakut
dan kronis. Sedangkan berdasarkan penyebabnya sinusitis dibagi kepada sinusitis
tipe rinogen dan sinusitis tipe dentogen. Sinusitis tipe rinogen terjadi disebabkan
kelainan atau masalah di hidung dimana segala sesuatu yang menyebabkan sumbatan
pada hidung dapat menyebabkan sinusitis. Sinusitis tipe dentogen pula terjadi
disebabkan kelainan gigi serta yang sering menyebabkan sinusitis adalah infeksi pada
gigi geraham atas yaitu gigi pre molar dan molar.
2. Etiologi Sinusitis
Sinusitis maksilaris disebabkan oleh beberapa faktor pejamu yaitu genetik,
kondisi kongenital, alergi dan imun, abnormalitas anatomi. Faktor lingkungan yaitu
infeksi bakteri, trauma, medikamentosa, tindakan bedah. Terjadinya sinusitis dapat
merupakan perluasan infeksi dari hidung (rinogen), gigi dan gusi (dentogen), faring,
tonsil serta penyebaran hematogen walaupun jarang. Sinusitis juga dapat terjadi
akibat trauma langsung, barotrauma, berenang atau menyelam. Faktor predisposisi
yang mempermudah terjadinya sinusitis adalah kelainan anatomi hidung, hipertrofi
konka, polip hidung, dan rinitis alergi.
3. Patofisiologi
dan lendir yang diproduksi menjadi lebih kental sehingga merupakan media yang
baik untuk tumbuh kuman pathogen.
Patogenesis dari rinosinusitis kronis berawal dari adanya suatu inflamasi
dan infeksi yang menyebabkan dilepasnya mediator diantaranya vasoactive amine,
proteases, arachidonic acid metabolit, imune complek, lipolisaccharide dan lainlain. Hal tersebut menyebabkan terjadinya kerusakan mukosa hidung dan akhirnya
menyebabkan disfungsi mukosiliar yang mengakibatkan stagnasi mukos dan
menyebabkan bakteri semakin mudah untuk berkolonisasi dan infeksi inflamasi akan
kembali terjadi. Bakteri dapat berkembang menjadi kuman patogen bila
lingkungannya sesuai. Bila sumbatan berlangsung terus akan terjadi hipoksia dan
retensi lendir, sehingga bakteri anaerob akan berkembang baik.
Bakteri juga akan memproduksi toksin yang akan merusak silia.
Selanjutnya dapat terjadi perubahan jaringan menjadi hipertropi, polipoid atau
terbentuk polip dan kista. Kuman didalam sinus dapat berasal dari rongga hidung
sebelum ostium tertutup ataupun merupakan kuman komensal didalam rongga sinus.
Virus dan bakteri yang masuk kedalam mukosa akan menembus kedalam
submukosa, yang diikuti adanya infiltrasi sel polimorfonuklear, sel mast dan limfosit,
kemudian akan diikuti lepasnya zat-zat kimia seperti histamin dan prostaglandin.
Zat-zat kimia ini akan menyebabkan vasodilatasi kapiler, sehingga permeabilitas
pembuluh darah meningkat dan terjadilah udema di submukosa.
4. Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang Sinusitis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan dengan palpasi turut membantu menemukan
nyeri tekan pada daerah sinus yang terkena. Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi
anterior dan posterior, nasoendoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih
tepat dan dini. Rinoskopi anterior memberi gambaran anatomi dan mukosa yang
edema, eritema, dan sekret yang mukopurulen. Lokasi sekret dapat menentukan sinus
mana yang terkena. Rinoskopi posterior dapat melihat koana dengan baik, mukosa
hipertrofi atau hyperplasia.
mikrobiologik
dan
tes
resistensi
dilakukan
dengan
mengambil sekret dari meatus media atau superior, untuk mendapat antibiotik yang
tepat guna. Lebih baik lagi bila diambil sekret yang keluar dari pungsi sinus maksila.
Kebanyakan
sinusitis
disebabkan
infeksi
oleh
Streptococcus
pneumoniae,
Gejala sinusitis akut berupa demam, malaise, nyeri kepala, wajah terasa
bengkak dan penuh.
Sinusitis Maksila; pasien merasa nyeri pada daerah rahang atas, kadang menyebar
ke gigi dan gusi, nyeri dapat dipicu oleh batuk atau mengunyah. Nyeri juga dapat
menjalar ke region supraorbital ipsilateral, dan dapat menstimulasi terjadinya infeksi
sinus frontalis. Nyeri tekan region maksilaris, bengkak dan hiperemis pada pipi.
Nyeri pipi khas yang tumpul dan menusuk, sekret mukopurulen dapat keluar dari
hidung dan berbau busuk. Jika sudah kronik berupa hidung tersumbat, sekret kental,
cairan mengalir di belakang hidung, hidung berbau, indra pembau berkurang, dan
batuk.
Sinusitis Frontalis; Sakit kepala region frontal, terlokalisasi pada daerah sinus, nyeri
tekan pada dahi, dan bengkak pada kelopak mata atas.
Sinusitis Ethmoidal; nyeri pada pangkal hidung dan kantus medius, diperberat
dengan pergerakan bola mata. Biasanya sinusitis ethmoid juga disertai dengan infeksi
pada sinus lainnya.
Sinusitis Sphenoid; sakit kepala, terutama pada verteks, oksipital, belakang bola
mata, dan post nasal discharge.
Kriteria Task Force Sinusitis
Gejala Mayor :
Nyeri Sinus
Hidung tersumbat
Ingus Purulen
Post nasal drip
Gangguan penghidu (penciuman berkurang)
Gejala Minor :
Nyeri kepala
Nyeri geraham
Nyeri telinga
Batuk
Demam
Nafas dan mulut berbau (halitosis)
Kriteria diagnosis untuk sinusitis adalah 2 gejala mayor atau 1 gejola mayor dan 2
gejala minor.
5. Terapi Sinusitis
Tujuan terapi sinusitis ialah mempercepat penyembuhan, mencegah
komplikasi dan mencegah perubahan menjadi kronik. Prinsip pengobatan ialah
membuka sumbatan di Kompleks Osteo Meatal sehingga drainase dan ventilasi sinussinus pulih secara alami.
Antibiotik
Antibiotik ini merupakan terapi pilihan pada sinusitis akut bacterial untuk
menghilangkan infeksi dan pembengkakan mukosa serta membuka sumbatan ostium
sinus. Antibiotik yang dipilih adalah golongan Penisillin seperti Amoksisilin. Jika
diperkirakan kuman telah resisten atau memproduksi beta laktamase, maka dapat
diberikan amoksisilin-klavulanat atau jenis sefalosporin generasi ke-2 (sefaklor,
sefamandol, sefmetazol, dan sefuroksim). Antibiotik ini diberikan 10-14 hari.
meskipun gejala klinik sudah hilang. Pada sinusitis kronik diberikan antibiotic yang
sesuai untuk kuman gram negative dan anaerob seperti golongan sefalosporin generasi
ke-3 seperti cefoperazon, ceftriaxone, cefotaxime, ceftizoxime, ceftazidime.
Selain antibiotic dapat pula diberikan dekongestan oral untuk mengurangi
gejala hidung tersumbat, analgetik untuk mengurangi nyeri pada wajah, mukolitik,
atau steroid oral jika diperlukan. Selain itu juga bisa diberikan NaCl untuk pencucian
rongga hidung.
Tindakan Operasi
Pada dasarnya tindakan pembedahan ini ada 2 macam yaitu pembedahan radikal
yaitu dengan Caldwell-Luc (CWL) dan pembedahan tidak radikal atau dengan Bedah
Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF).
Caldwell-Luc adalah operasi membuka salah satu dinding sinus dengan membuka
fossa canina. Setelah dibuka dan diperlebar dengan bor, kemudian diambil massa yang
ada di dalam sinus maksilaris tersebut serta dibersihkan cairan yang ada di dalam sinus
tersebut.
Terapi yang lain adalah Bedah Sinus Endoskopik Fungsional yaitu teknik operasi
pada sinus paranasal dengan menggunakan endoskop yang bertujuan memulihkan
mucociliary clearance dalam sinus. Prinsipnya adalah membuka dan membersihkan
daerah kompleks osteomeatal yang menjadi sumber penyumbatan dan infeksi sehingga
ventilasi dan drainase sinus dapat lancar kembali melalui ostium alami.
B. HIPERTENSI
1. Pengertian Hipertensi
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik > 140 mmHg dan
peningkatan tekanan darah diastolic > 90 mmHg. Hipertensi dapat disebabkan oleh
multifaktorial. Hipertensi dibagi menjadi 2 kelompok berdasarkan etiologinya yaitu
hipertensi essensial dan hipertensi sekunder.
2. Klasifikasi Hipertensi
5. Krisis Hipertensi
Merupakan keadaan yang ditandai oleh tekanan darah yang sangat tinggi
dengan kemungkinan akan timbulnya atau telah terjadi kelainan organ target
Meliputi 2 kelompok
:
a. Hipertensi emergency, selain tekanan darah yang sangat tinggi terdapat kelainan /
kerusakan target organ yang progresif, sehingga tekanan harus diturunkan dengan
segera agar dapat mencegah. Peningkatan BP (>180/120mmHg) Disertai disfungsi
organ target yang progresive maka diperlukan segera penurunan tekanan darah.
Contoh: Peningkatan BP disertai: Hypertensive encephalopathy, Acute left
ventricular failure with pulmonary edema, Acute MI or unstable angina pectoris,
Dissecting aortic aneurysm.
b. Hipertensi Urgency
Peningkatan BP diatas range dari hipertensi derajat II tanpa disertai disfungsi
organ yang progressive. Contoh: Peningkatan BP yg tinggi tanpa keluhan sakit
kepala, sesak nafas atau nyeri dada. Biasanya disebabkan karena hipertensi yang
tidak terkontrol.
6. Terapi Hipertensi
Obat untuk antihipertensi terdapat 5 kelompok yaitu :
Diuretics
ACE Inhibitor
Blocker
diuretika
yang
rutin,
sering
menyebabkan
hipokalemia
dan
terhadap
kemungkinan
terjadinya
penyakit
arteri
koroner
dan
hipertrofi
Penurunan MAP sampai dengan 25% adalah batas bawah yang maksimal yang
otak.
Terapi dengan antihipertensi secara signifikan menurunkan angka kejadian stroke.
Pengaruh hipertensi kronis terhadap autoregulasi ginjal kurang lebih sama dengan
yang terjadi pada serebral.
Anestesia akan aman jika dipertahankan dengan berbagai teknik tapi
penyebab
yang
lain
harus
dipertimbangkan
seperti
samping itu hipotensi juga sering terjadi akibat depresi sirkulasi karena efek dari obat
anestesi dan efek dari obat antihipertensi yang sedang dikonsumsi oleh penderita,
seperti ACE inhibitor dan angiotensin receptor blocker.
Hipertensi yang terjadi biasanya
diakibatkan stimulus
nyeri karena
laringoskopi dan intubasi endotrakea yang bisa menyebabkan takikardia dan iskemia
miokard.Angka kejadian hipertensi akibat tindakan laringoskopi-intubasi endotrakea
bisa mencapai 25%. Durasi laringoskopi dibawah 15 detik dapat membantu
meminimalisir terjadinya fluktuasi hemodinamik Beberapa teknik dibawah ini bisa
dilakukan sebelum tindakan laringoskopi-intubasi untuk menghindari terjadinya
hipertensi.
Dalamkan anestesia dengan menggunakan gas volatile yang poten selama 5-10
menit.
Pemberian
opioid
(fentanil
2,5-5
mikrogram/kgbb,
alfentanil
15-25
mikrogram/ kgbb).
Pemberian lidokain 1,5 mg/kgbb secara intravena atau intratrakea.
Penggunakan beta-adrenergik blockade dengan esmolol 0,3-1,5 mg/kgbb,
induksi
anestesi
yang
paling
aman
diberikan
pada
pasien
keadaan
pasien
hipertensi
yang
tidak
terkontrol.Ketika
bronchospastic dan juga tergantung dari tujuan pengobatannya atau efek yang
diinginkan dari pemberian obat tersebut.
o -adrenergik blockade : digunakan tunggal atau tambahan pada pasien dengan
fungsi ventrikuler yang masih baik dan dikontraindikasikan pada bronkospastik
o Nicardipine : digunakan pada pasien dengan penyakit bronkospastik
o Nifedipine : reflex takikardia setelah pemberian sublingual sering dihubungkan
dengan iskemia miokard dan antihipertensi yang mempunyai onset yang
lambat.
o Nitroprusside : onset cepat dan efektif untuk terapi intraoperatif pada hipertensi
sedang sampai berat.
o Nitrogliserin : mungkin kurang efektif nambun bisa digunakan sebagai terapi
untuk pencegahan iskemia miokard.
o Fenoldopam : dapat digunkan untuk mempertahankan atau menjaga fungsi
ginjal.
o Hydralazine : bisa menjaga kestabilan TD, namun obat ini juga punya onset
yang lambat sehingga menyebabkan timbulnya respon takikardia.
6. Krisis Hipertensi
Dikatakan krisis hipertensi jika TD lebih tinggi dari 180/120 mmHg dan
dapat dikategorikan dalam hipertensi urgensi atau hipertensi emergensi, berdasarkan
ada tidaknya ancaman kerusakan target organ atau kerusakan target organ yang
progresif. Pasien dengan hipertensi sistemik kronis dapat mentoleransi TDS yang lebih
tinggi dibandingkan individu yang sebelumnya normotensif dan lebih mungkin
mengalami hipertensi yang sifatnya urgensi dibandingkan emergensi. Hal yang paling
sering menimbulkan krisis hipertensi adalah antara lain karena penggunaan obat
antihipertensi seperti clonidine, hiperaktivitas autonom, obat-obat penyakit kolagenvaskuler, glomerulonefritis akut, cedera kepala, neoplasia seperti pheokromasitoma,
preeclampsia dan eklampsia. Manifestasi klinis yang timbul adalah sesuai dengan
target organ yang rusak akibat hipertensi ini.
Krisis hipertensi terbagi atas hipertensi emergensi dan hipertensi urgensi.
Hipertensi emergensi adalah pasien dengan bukti adanya kerusakan target organ yang
sedang terjadi atau akut (ensefalopati, perdarahan intra serebral, kegagalan ventrikel
kiri akut dengan edema paru, unstable angina, diseksi aneurisme aorta, IMA,
eclampsia, anemia hemolitik mikro angiopati atau insufisiensi renal) yang memerlukan
intervensi farmakologi yang tepat untuk menurunkan TD sistemik. Ensefalopati jarang
terjadi pada pasien dengan hipertensi kronis sampai TDD melebihi 150 mmHg
sedangkan pada wanita hamil yang mengalami hipertensi dapat mengalami tandatanda ensefalopati pada TDD < 100 mmHg. Sehingga walaupun tidak ada gejala,
wanita hamil dengan TDD > 109 mmHg dianggap sebagai hipertensi emergensi dan
memerlukan terapi segera.
Bila TD diturunkan secara cepat akan terjadi iskemia koroner akut,
sehingga MAP diturunkan sekitar 20% dalam 1 jam pertama, selanjutnya pelan-pelan
diturunkan sampai 160/110 selama 2-6 jam. Tanda-tanda penurunan TD ditoleransi
dengan baik adalah selama fase ini tidak ada tanda-tanda hipoperfusi target organ.
Hipertensi urgensi adalah situasi dimana TD meningkat tinggi secara akut, namun
tidak ada bukti adanya kerusakan target organ. Gejala yang timbul dapat berupa sakit
kepala, epitaksis atau ansietas. Penurunan TD yang segera tidak merupakan indikasi
dan pada banyak kasus dapat ditangani dengan kombinasi antihipertensi oral bertahap
dalam beberapa hari.
7. Manajemen Postoperratif
Hipertensi yang terjadi pada periode pasca operasi sering terjadi pada
pasien yang menderita hipertensi esensial. Hipertensi dapat meningkatkan kebutuhan
oksigen miokard sehingga berpotensi menyebabkan iskemia miokard, disritmia
jantung dan CHF. Disamping itu bisa juga menyebabkan stroke dan perdarahan ulang
luka operasi akibat terjadinya disrupsi vaskuler dan dapat berkonstribusi menyebabkan
hematoma pada daerah luka operasi sehingga menghambat penyembuhan luka operasi.
Penyebab terjadinya hipertensi pasca operasi ada banyak faktor, disamping
secara primer karena penyakit hipertensinya yang tidak teratasi dengan baik, penyebab
lainnya adalah gangguan sistem respirasi, nyeri, overload cairan atau distensi dari
kandung kemih. Sebelum diputuskan untuk memberikan obat-obat antihipertensi,
penyebab-penyebab sekunder tersebut harus dikoreksi dulu.
Nyeri
merupakan
salah
satu
faktor
yang
paling
berkonstribusi
menyebabkan hipertensi pasca operasi, sehingga untuk pasien yang berisiko nyeri
sebaiknya ditangani secara adekuat, misalnya dengan morfin epidural secara infus
kontinyu.Apabila hipertensi masih ada meskipun nyeri sudah teratasi, maka intervensi
secara farmakologi harus segera dilakukan dan perlu diingat bahwa meskipun pasca
operasi TD kelihatannya normal, pasien yang prabedahnya sudah mempunyai riwayat
hipertensi, sebaiknya obat antihipertensi pasca bedah tetap diberikan.
Hipertensi pasca operasi sebaiknya diterapi dengan obat antihipertensi
secara parenteral misalnya dengan beta blocker yang terutama digunakan untuk
mengatasi hipertensi dan takikardia yang terjadi. Apabila penyebabnya karena
overload cairan, bisa diberikan diuretika furosemid dan apabila hipertensinya disertai
dengan heart failure sebaiknya diberikan ACE-inhibitor. Pasien dengan iskemia
miokard yang aktif secara langsung maupun tidak langsung dapat diberikan
nitrogliserin dan beta-blocker secara intravena sedangkan untuk hipertensi berat
sebaiknya segera diberikan sodium nitroprusside. Apabila penderita sudah bisa makan
dan minum secara oral sebaiknya antihipertensi secara oral segera dimulai.
BAB III
KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil dari presentasi kasus ini adalah;
1. Hipertensi adalah penyakit yang umum dijumpai, dengan angka penderita yang cukup
tinggi. Hipertensi sendiri merupakan faktor risiko mayor yang bisa menyebabkan
terjadinya komplikasi seperti penyakitpenyakit jantung, serebral, ginjal dan vaskuler.
Mengingat tingginya angka kejadian dan komplikasi yang bisa ditimbulkan oleh penyakit
hipertensi ini, maka perlu adanya pemahaman para ahli anestesia dalam manajemen selama
periode perioperatif. Manajemen perioperatif dimulai sejak evaluasi prabedah, selama
operasi dan dilanjutkan sampai periode pasca bedah. Evaluasi prabedah sekaligus
optimalisasi keadaan penderita sangat penting dilakukan untuk meminimalkan terjadinya
komplikasi, baik yang terjadi selama intraoperatif maupun yang terjadi pada pasca
pembedahan. Goncangan hemodinamik mudah terjadi, baik berupa hipertensi maupun
berupa hipotensi, yang bisa menyebabkan terjadinya berbagai komplikasi.
2. Tatalaksana anesthesia pada pasien dengan penyulit hipertensi meliputi manajemen
perioperatif, intraoperatif, dan postoperatif. Pada manajemen perioperatif sangat diperlukan
mengetahui riwayat tekanan darah sistolik dan diastolic pasien batas atau cut off yang
dianjurkan AHA adalah TD sistolik 180 mmHg dan/atau TD diastolic 110mmHg
sebaiknya dikontrol sebelum dilakukan operasi, terkecuali operasi bersifat urgensi, obatobat yang digunakan oleh pasien, dan komplikasi target organ. Pada manajemen
intraoperatif harus memperhatikan apa saja yang dapat menyebabkan naiknya tekanan
darah diantaranya prosedur pemasangan laringoskop dan anesthesia yang kurang dalam
atau pasien yang tidak berespon dengan anesthesia sekalipun dengan volatile. Persiapkan
agen amhipertensi parenteral jika dibutuhkan. Sedangkan pada manajemen postoperatif
harus diperhatikan jika terjadi hipertensi pasca operatif seperti nyeri, overload cairan, dan
distensi kandung kemih.
DAFTAR PUSTAKA
dari
Fajar, Yoke. (2012). Caldwell Luc Prosedur. Semarang : Bagian Bedah FK UNDIP
Fokkens W.J, Lund V.J. (2012). European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps
2012. International Rhinology Society
Fokkens W.J, Lund V.J. (2007). Buku Saku EPOS (European Position Paper on Rhinosinusitis
and Nasal Polyps) 2007. International Rhinology Society
Lawrence, Ashley, Pharm D. (2014). JNC 8: Relaxing The Pressure in The Hypertension
Guidelines : Peninsula Regional Medical Center.
Mangku, Gde & Tjokorda Gde Agung Senapathi. (2010). Buku Ajar Ilmu Anestesia dan
Reanimasi. Jakarta : Indeks Jakarta.
Pakil, Ankit. (2013). Surgical Treatment of Chronic Maxillary Sinusitis : Medscape Reference
Pramono, Ardi. (2015). Buku Kuliah Anestesi. LP3M Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Jakarta : EGC.
Soepardi, Arsyad Efiaty. (2012). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala &
Leher halaman 116-130 : Sinusitis. Jakarta : FK UI.
Wiryana, Made. (2008). Manajemen Perioperatif Pada Hipertensi. Bagian/SMF Ilmu Anestesi
dan Reanimasi FK Unud/RSUP Sanglah Denpasar.
Yoegiantoro, Muhammad. (2010). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Hipertensi Essensial dalam
halaman 1079 Jakarta : Interna Publishing.