You are on page 1of 36

PRESENTASI KASUS

GENERAL ANESTHESIA PADA OPERASI CALDWELL LUC DENGAN PENYULIT


HIPERTENSI

Disusun oleh:
MONIKA TATYANA YUSUF
20100310057
Pembimbing: dr. Tinon Anindita, Sp.An
RSUD Kota Salatiga
KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESIA DAN REANIMASI
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2016

HALAMAN PENGESAHAN

Telah disetujui dan disahkan presentasi kasus dengan judul


GENERAL ANESTHESIA PADA OPERASI CALDWELL LUC
DENGAN PENYULIT HIPERTENSI

Disusun oleh:
Nama: Monika Tatyana Yusuf
No. Mahasiswa: 20100310057

Telah dipresentasikan
Hari/Tanggal:

Disahkan oleh:
Dosen Pembimbing,

dr. Tinon Anindita, Sp. An

BAB I
STATUS PASIEN

a. Identitas Pasien
Nama
: Ny. S
Umur
: 60 tahun
Jenis Kelamin : Wanita
b. Anamnesa
Keluhan Utama
Pasien datang ke Poli THT dengan keluhan hidung sebelah kiri berbau, tersumbat,
terdapat daging tumbuh yang menutupi lubang hidung dan mengeluarkan ingus kental.
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien merasakan hidung berbau dan tersumbat sudah lebih dari 3 bulan, selain
itu terdapat rasa ada dahak yang berjalan di belakang tenggorokan, ingus kental. Pasien
merasa daerah mata kiri dan dekat pipi kiri terasa nyeri, serta penciuman berkurang.
Riwayat Penyakit Dahulu:
Pasien mengatakan bahwa tidak ada penyakit yang membuatnya hingga rawat
inap. Namun pasien memiliki keluhan gigi berlubang dari dulu di gigi geraham atas kiri
dan pasien mengeluhkan sering sakit gigi. Riwayat Diabetes Mellitus (-), hipertensi (+),
jantung (-), asma (-), alergi (+), pasien sering bersin-bersin ketika dingin dan berada di
ruangan berdebu.
Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada riwayat penyakit dan keluhan yang sama dalam keluarga, riwayat DM
(-), Hipertensi (+), jantung (-), asma (-), alergi (-).
Tinjauan Sistem:
Kepala leher

: Nyeri di daerah mata dan pipi kiri, pada hidung kiri terdapat polip
yang menutup lubang hidung kiri.

Kulit

: Tidak ada keluhan

THT

: Hidung berbau, tersumbat, terdapat polip yang menutup lubang


hidung kiri dan terasa ada dahak yang berjalan atau

mengalir di

belakang tenggorokan, penciuman berkurang.

Respirasi

: Tidak ada keluhan

Gastrointestinal

: Tidak ada keluhan

Kardiovaskular

: Tidak ada keluhan

Perkemihan

: Tidak ada keluhan

Sistem Reproduksi

: Tidak ada keluhan

Ekstremitas

: Tidak ada keluhan, edema (-)

c. Riwayat Perjalanan Penyakit Pasien


O (Obyektif) :
o Keadaan Umum : CM, baik.
TD
: 160/90 mmHg
Nadi
: 72 x/menit
RR
: 28 x/menit
Suhu
: 370C
o Kepala dan Leher :
Conjungtiva anemis :-/ Sklera Ikterik: -/ Pembesaran Limfonodi: o Status THT :
Telinga

Dekstra

Sinistra

Auricula

Normotia

Normotia

Liang Telinga

Lapang

Lapang

Serumen

(+)

(+) sedikit

Discharge

(-)

(-)

Membran Timpani

Tertutup serumen

Utuh

Hidung

Dekstra

Sinistra

Deformitas

(-)

(-)

Cavum nasi

Lapang

Polip nasi (+)

Concha nasalis inferior

Eutrofi

Sulit dinilai

Darah

(-)

(-)

Crusta

(-)

(-)

Septum nasi

Lurus

Lurus

Tenggorokan

Dekstra

Tonsil

T1

DPP (Dinding Faring Tenang

Sinistra
T1
Tenang

Posterior)
Uvula

Di tengah

o Cor
Suara S1 dan S2 terdengar regular dan tidak ditemukan bising atau suara
tambahan jantung
o Pulmo
Bentuk paru simetris, tidak terdapat jejas dan kelainan bentuk.
Tidak ada ketinggalan gerak, vocal fremitus tidak ada peningkatan
maupun penurunan.
Tidak ada nyeri tekan pada lapang paru.
Perkusi : sonor
Suara dasar vesikuler : +/+ (positif di lapang paru kanan dan kiri)
Suara rokhi : -/ Suara wheezing : -/o Abdomen
Bentuk distended, spider nevi (-)
Peristaltik usus (+) normal
Nyeri tekan (-)
Undulasi (-)
Pekak beralih (-)
o Ekstremitas
Udem : (-) baik di ekstremitas atas maupun bawah
Akral dingin: (-) baik di ekstremitas atas maupun bawah
o Pemeriksaan penunjang
Darah Rutin :
Leukosit
: 7,13
(N: 4.5-11)
Eritrosit
: 4,72
(N: 4.5-5.5)
Hemoglobin
: 14,4
(N: 14-18)
Hematokrit
: 42,8
(N: 40-54)
Trombosit
: 248
(N: 150-450)
Kimia Darah
Ureum
: 10
(N: 10-50)
Creatinin
: 0,8
(N: 0,6-1,1)
GDS
: 97
(N: 80-144)
SGOT
: 23
(N: < 31)

SGPT
: 16
(N: < 32)
Imunoserologi:
HBsAg
: Negative
A (Assessment)
:
o Sinusitis Kronis Maxilaris Sinistra dengan polip nasi sinistra
o Hipertensi Stage II

P (Planning)
Dilakukan terapi bedah CWL (Caldwell Luc) pada 18 April 2016

Obat/non Obat yang


digunakan
Infus Ringer Lactat
Ceftriaxone Injeksi
Metilprednisolone
Injeksi
As Tranexamat Injeksi
Ketorolac Injeksi
Tramadol Injeksi
Dicynon Injeksi
Bisoprolol (Concor)
Irbesartan

Dosis
20 tetes/ menit
2 x 1 amp (1 gram)
2 x 1 amp (125 mg)
3 x 1 amp (500mg)
3 x 1 amp
3 x 1 amp
2 x 1 amp
1 x 1 tab (2,5 mg)
1x tab (150 mg)

Cara
Pemberian
I.V
I.V
I.V
I.V
I.V
I.V
I.V
Oral
Oral

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. SINUSITIS
1. Definisi dan Klasifikasi Sinusitis
Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal.
Umumnya disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut rinosinusitis.
Namun ada pula sinusitis yang dipicu secara odontogen atau dentogen karena adanya
infeksi pada akar gigi yang menembus sinus paranasal terutama sinus maxillaries.
Konsensus tahun 2004 membagi rinosinusitis menjadi akut dengan batas sampai
empat minggu, subakut antara empat minggu sampai tiga bulan dan kronik jika lebih
dari tiga bulan atau berdasarkan jenis atau tipe inflamasinya yaitu infectious atau
non-infectious.
Klasifikasi secara klinis untuk sinusitis dibagi atas sinusitis akut, subakut
dan kronis. Sedangkan berdasarkan penyebabnya sinusitis dibagi kepada sinusitis
tipe rinogen dan sinusitis tipe dentogen. Sinusitis tipe rinogen terjadi disebabkan
kelainan atau masalah di hidung dimana segala sesuatu yang menyebabkan sumbatan
pada hidung dapat menyebabkan sinusitis. Sinusitis tipe dentogen pula terjadi
disebabkan kelainan gigi serta yang sering menyebabkan sinusitis adalah infeksi pada
gigi geraham atas yaitu gigi pre molar dan molar.
2. Etiologi Sinusitis
Sinusitis maksilaris disebabkan oleh beberapa faktor pejamu yaitu genetik,
kondisi kongenital, alergi dan imun, abnormalitas anatomi. Faktor lingkungan yaitu
infeksi bakteri, trauma, medikamentosa, tindakan bedah. Terjadinya sinusitis dapat
merupakan perluasan infeksi dari hidung (rinogen), gigi dan gusi (dentogen), faring,
tonsil serta penyebaran hematogen walaupun jarang. Sinusitis juga dapat terjadi
akibat trauma langsung, barotrauma, berenang atau menyelam. Faktor predisposisi
yang mempermudah terjadinya sinusitis adalah kelainan anatomi hidung, hipertrofi
konka, polip hidung, dan rinitis alergi.

3. Patofisiologi

Patofisiologi Sinusitis Dentogen


Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium sinus dan lancarnya
klirens mukosiliar (mucociliary clearance) didalam kompleks osteo-meatal. Sinus
dilapisi oleh sel epitel respiratorius. Lapisan mukosa yang melapisi sinus dapat
dibagi menjadi dua yaitu lapisan viscous superficial dan lapisan serous profunda.
Cairan mukus dilepaskan oleh sel epitel untuk membunuh bakteri maka bersifat
sebagai antimikroba serta mengandung zat- zat yang berfungsi sebagai mekanisme
pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara pernafasan.
Cairan mukus secara alami menuju ke ostium untuk dikeluarkan jika
jumlahnya berlebihan. Faktor yang paling penting yang mempengaruhi patogenesis
terjadinya sinusitis yaitu apakah terjadi obstruksi dari ostium. Jika terjadi obstruksi
ostium sinus akan menyebabkan terjadinya hipooksigenasi yang menyebabkan fungsi
silia berkurang dan epitel sel mensekresikan cairan mukus dengan kualitas yang
kurang baik. Disfungsi silia ini akan menyebabkan retensi mukus yang kurang baik
pada sinus.
Kejadian sinusitis maksila akibat infeksi gigi rahang atas terjadi karena
infeksi bakteri (anaerob) menyebabkan terjadinya karies profunda sehingga jaringan
lunak gigi dan sekitarnya rusak. Pada pulpa yang terbuka, kuman akan masuk dan
mengadakan pembusukan pada pulpa sehingga membentuk gangren pulpa. Infeksi ini
meluas dan mengenai selaput periodontium menyebabkan periodontitis dan iritasi
akan berlangsung lama sehingga terbentuk pus. Abses periodontal ini kemudian
dapat meluas dan mencapai tulang alveolar menyebabkan abses alveolar. Tulang
alveolar membentuk dasar sinus maksila sehingga memicu inflamasi mukosa sinus.
Disfungsi silia, obstruksi ostium sinus serta abnormalitas sekresi mukus
menyebabkan akumulasi cairan dalam sinus sehingga terjadinya sinusitis maksila.
Dengan ini dapat disimpulkan bahwa patofisiologi sinusitis ini
berhubungan dengan tiga faktor, yaitu patensi ostium, fungsi silia, dan kualitas
sekresi hidung. Perubahan salah satu dari faktor ini akan merubah sistem fisiologis
dan menyebabkan sinusitis.

Patofisiologi Sinusitis Rhinogen


Pada umumnya penyebab rinosinusitis adalah rinogenik, yang merupakan perluasan
infeksi dari hidung. Kompleks ostiomeatal (KOM) atau celah sempit di etmoid
anterior yang merupakan serambi muka bagi sinus maksila dan frontal memegang
peranan penting dalam terjadinya sinusitis. Bila terdapat gangguan didaerah KOM
seperti peradangan, udema atau polip maka hal itu akan menyebabkan gangguan
drainase sehingga terjadi sinusitis.
Bila ada kelainan anatomi seperti deviasi atau spina septum, konka bulosa
atau hipertrofi konka media, maka celah yang sempit itu akan bertambah sempit
sehingga memperberat gangguan yang ditimbulkannya. Infundibulum etmoid dan
resesus frontal yang termasuk bagian dari KOM, berperan penting pada patofisiologi
sinusitis. Permukaan mukosa ditempat ini berdekatan satu sama lain dan transportasi
lendir pada celah yang sempit ini dapat lebih efektif karena silia bekerja dari dua sisi
atau lebih.
Apabila terjadi udema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu
sehingga silia tidak dapat bergerak dan lendir tidak dapat dialirkan, maka akan terjadi
gangguan drainase dan ventilasi sinus maksila dan frontal. Karena gangguan
ventilasi, maka akan terjadi penurunan pH dalam sinus, silia menjadi kurang aktif

dan lendir yang diproduksi menjadi lebih kental sehingga merupakan media yang
baik untuk tumbuh kuman pathogen.
Patogenesis dari rinosinusitis kronis berawal dari adanya suatu inflamasi
dan infeksi yang menyebabkan dilepasnya mediator diantaranya vasoactive amine,
proteases, arachidonic acid metabolit, imune complek, lipolisaccharide dan lainlain. Hal tersebut menyebabkan terjadinya kerusakan mukosa hidung dan akhirnya
menyebabkan disfungsi mukosiliar yang mengakibatkan stagnasi mukos dan
menyebabkan bakteri semakin mudah untuk berkolonisasi dan infeksi inflamasi akan
kembali terjadi. Bakteri dapat berkembang menjadi kuman patogen bila
lingkungannya sesuai. Bila sumbatan berlangsung terus akan terjadi hipoksia dan
retensi lendir, sehingga bakteri anaerob akan berkembang baik.
Bakteri juga akan memproduksi toksin yang akan merusak silia.
Selanjutnya dapat terjadi perubahan jaringan menjadi hipertropi, polipoid atau
terbentuk polip dan kista. Kuman didalam sinus dapat berasal dari rongga hidung
sebelum ostium tertutup ataupun merupakan kuman komensal didalam rongga sinus.
Virus dan bakteri yang masuk kedalam mukosa akan menembus kedalam
submukosa, yang diikuti adanya infiltrasi sel polimorfonuklear, sel mast dan limfosit,
kemudian akan diikuti lepasnya zat-zat kimia seperti histamin dan prostaglandin.
Zat-zat kimia ini akan menyebabkan vasodilatasi kapiler, sehingga permeabilitas
pembuluh darah meningkat dan terjadilah udema di submukosa.
4. Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang Sinusitis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan dengan palpasi turut membantu menemukan
nyeri tekan pada daerah sinus yang terkena. Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi
anterior dan posterior, nasoendoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih
tepat dan dini. Rinoskopi anterior memberi gambaran anatomi dan mukosa yang
edema, eritema, dan sekret yang mukopurulen. Lokasi sekret dapat menentukan sinus
mana yang terkena. Rinoskopi posterior dapat melihat koana dengan baik, mukosa
hipertrofi atau hyperplasia.

Pemeriksaan penunjang lain adalah transiluminasi. Hanya sinus frontal


dan maksila yang dapat dilakukan transiluminasi. Pada sinus yang sakit akan menjadi
suram atau gelap. Dengan nasal endoskopi dapat diketahui sinus mana yang terkena
dan dapat melihat adanya faktor etiologi lokal. Tanda khas ialah adanya pus di
meatus media pada sinusitis maksila, etmoidalis anterior dan frontal atau pus di
meatus superior pada sinusitis etmoidalis posterior dan sfenoidalis. Selain itu, nasal
endoskopi dilakukan untuk menegakkan diagnosis sinusitis akut dimana pus
mengalir ke bawah konka media dan akan jatuh ke posterior membentuk post nasal
drip.
Pemeriksaan pembantu yang penting adalah foto polos posisi atau CTscan. Foto polos posisi Waters, posteroanterior, dan lateral umumnya hanya mampu
menilai kondisi sinus-sinus besar seperti sinus maksila dan frontal. Kelainan yang
akan terlihat adalah perselubungan, batas udara-cairan (air-fluid level) pada sinusitis
maksila atau penebalan mukosa. CT-scan sinus merupakan gold standard karena
mampu menilai anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan sinus
secara keseluruhan dan perluasannya. Namun karena mahal hanya dikerjakan sebagai
penunjang diagnosis sinusitis kronik yang tidak membaik dengan pengobatan atau
pra-operasi sebagai panduan operator saat melakukan operasi sinus.
Pemeriksaan

mikrobiologik

dan

tes

resistensi

dilakukan

dengan

mengambil sekret dari meatus media atau superior, untuk mendapat antibiotik yang
tepat guna. Lebih baik lagi bila diambil sekret yang keluar dari pungsi sinus maksila.
Kebanyakan

sinusitis

disebabkan

infeksi

oleh

Streptococcus

pneumoniae,

Haemophilus influenzae, Moraxella catarrhalis. Gambaran bakteriologik dari


sinusitis yang berasal dari gigi geligi didominasi oleh infeksi gram negatif sehingga
menyebabkan pus berbau busuk dan akibatnya timbul bau busuk dari hidung.
Di samping itu, sinuskopi dilakukan dengan pungsi menembus dinding
medial sinus maksila melalui meatus inferior, dengan alat endoskopi dapat dilihat
kondisi sinus maksila yang sebenarnya, selanjutnya dapat dilakukan irigasi sinus
untuk terapi.

Manifestasi Klinis Sinusitis

Gejala sinusitis akut berupa demam, malaise, nyeri kepala, wajah terasa
bengkak dan penuh.
Sinusitis Maksila; pasien merasa nyeri pada daerah rahang atas, kadang menyebar
ke gigi dan gusi, nyeri dapat dipicu oleh batuk atau mengunyah. Nyeri juga dapat
menjalar ke region supraorbital ipsilateral, dan dapat menstimulasi terjadinya infeksi
sinus frontalis. Nyeri tekan region maksilaris, bengkak dan hiperemis pada pipi.
Nyeri pipi khas yang tumpul dan menusuk, sekret mukopurulen dapat keluar dari
hidung dan berbau busuk. Jika sudah kronik berupa hidung tersumbat, sekret kental,
cairan mengalir di belakang hidung, hidung berbau, indra pembau berkurang, dan
batuk.
Sinusitis Frontalis; Sakit kepala region frontal, terlokalisasi pada daerah sinus, nyeri
tekan pada dahi, dan bengkak pada kelopak mata atas.
Sinusitis Ethmoidal; nyeri pada pangkal hidung dan kantus medius, diperberat
dengan pergerakan bola mata. Biasanya sinusitis ethmoid juga disertai dengan infeksi
pada sinus lainnya.
Sinusitis Sphenoid; sakit kepala, terutama pada verteks, oksipital, belakang bola
mata, dan post nasal discharge.
Kriteria Task Force Sinusitis
Gejala Mayor :
Nyeri Sinus
Hidung tersumbat
Ingus Purulen
Post nasal drip
Gangguan penghidu (penciuman berkurang)
Gejala Minor :
Nyeri kepala
Nyeri geraham
Nyeri telinga
Batuk
Demam
Nafas dan mulut berbau (halitosis)
Kriteria diagnosis untuk sinusitis adalah 2 gejala mayor atau 1 gejola mayor dan 2
gejala minor.
5. Terapi Sinusitis
Tujuan terapi sinusitis ialah mempercepat penyembuhan, mencegah
komplikasi dan mencegah perubahan menjadi kronik. Prinsip pengobatan ialah

membuka sumbatan di Kompleks Osteo Meatal sehingga drainase dan ventilasi sinussinus pulih secara alami.
Antibiotik
Antibiotik ini merupakan terapi pilihan pada sinusitis akut bacterial untuk
menghilangkan infeksi dan pembengkakan mukosa serta membuka sumbatan ostium
sinus. Antibiotik yang dipilih adalah golongan Penisillin seperti Amoksisilin. Jika
diperkirakan kuman telah resisten atau memproduksi beta laktamase, maka dapat
diberikan amoksisilin-klavulanat atau jenis sefalosporin generasi ke-2 (sefaklor,
sefamandol, sefmetazol, dan sefuroksim). Antibiotik ini diberikan 10-14 hari.
meskipun gejala klinik sudah hilang. Pada sinusitis kronik diberikan antibiotic yang
sesuai untuk kuman gram negative dan anaerob seperti golongan sefalosporin generasi
ke-3 seperti cefoperazon, ceftriaxone, cefotaxime, ceftizoxime, ceftazidime.
Selain antibiotic dapat pula diberikan dekongestan oral untuk mengurangi
gejala hidung tersumbat, analgetik untuk mengurangi nyeri pada wajah, mukolitik,
atau steroid oral jika diperlukan. Selain itu juga bisa diberikan NaCl untuk pencucian
rongga hidung.
Tindakan Operasi
Pada dasarnya tindakan pembedahan ini ada 2 macam yaitu pembedahan radikal
yaitu dengan Caldwell-Luc (CWL) dan pembedahan tidak radikal atau dengan Bedah
Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF).
Caldwell-Luc adalah operasi membuka salah satu dinding sinus dengan membuka
fossa canina. Setelah dibuka dan diperlebar dengan bor, kemudian diambil massa yang
ada di dalam sinus maksilaris tersebut serta dibersihkan cairan yang ada di dalam sinus
tersebut.

Terapi yang lain adalah Bedah Sinus Endoskopik Fungsional yaitu teknik operasi
pada sinus paranasal dengan menggunakan endoskop yang bertujuan memulihkan
mucociliary clearance dalam sinus. Prinsipnya adalah membuka dan membersihkan
daerah kompleks osteomeatal yang menjadi sumber penyumbatan dan infeksi sehingga
ventilasi dan drainase sinus dapat lancar kembali melalui ostium alami.

B. HIPERTENSI
1. Pengertian Hipertensi
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik > 140 mmHg dan
peningkatan tekanan darah diastolic > 90 mmHg. Hipertensi dapat disebabkan oleh
multifaktorial. Hipertensi dibagi menjadi 2 kelompok berdasarkan etiologinya yaitu
hipertensi essensial dan hipertensi sekunder.
2. Klasifikasi Hipertensi

Gambar 1. Klasifikasi Hipertensi menurut JNC 8


3. Etiologi Hipertensi
a) Hipertensi esensial / Hipertensi Primer
Hipertensi esensial yaitu hipertensi yang belum diketahui penyebabnya (terdapat
lebih kurang 90% dari seluruh hipertensi) kemungkinan disebabkan oleh
perubahan pada jantung dan pembuluh darah, dimana curah jantung meningkat,
tapi volume darah masih relatif tetap. Kemudian diikuti dengan tahanan perifer
yang meningkat dan kecenderungan volume darah yang bertambah.
b) Hipertensi Sekunder
Hipertensi sekunder yaitu hipertensi yang disebabkan atau sebagai akibat dari
adanya penyakit lain. Penyakit ginjal contohnya adalah glomerulonefritis, tumor
ginjal, stenosis arteri renalis, dll. Sedangkan kelainan hormonal misalnya pada
feokromositoma, yaitu tumor pada kelenjar adrenal yang menghasilkan hormon
adrenalin. Obat-obat tertentu seperti; Pil KB, kortikosteroid, eritropoetin, kokain,
dll. Stres juga cenderung menyebabkan kenaikan tekanan darah untuk sementara
waktu, jika stres berlalu, maka tekanan darah biasanya akan kembali normal. Pola
makan berlebihan, konumsi garam berlebih di dalam makanan dapat
menyebabkan obesitas dan merupakan gaya hidup yang kurang baik yang akan
menuju pada hipertensi.
4. Patofisiologi Hipertensi

5. Krisis Hipertensi
Merupakan keadaan yang ditandai oleh tekanan darah yang sangat tinggi
dengan kemungkinan akan timbulnya atau telah terjadi kelainan organ target
Meliputi 2 kelompok
:
a. Hipertensi emergency, selain tekanan darah yang sangat tinggi terdapat kelainan /
kerusakan target organ yang progresif, sehingga tekanan harus diturunkan dengan
segera agar dapat mencegah. Peningkatan BP (>180/120mmHg) Disertai disfungsi
organ target yang progresive maka diperlukan segera penurunan tekanan darah.
Contoh: Peningkatan BP disertai: Hypertensive encephalopathy, Acute left
ventricular failure with pulmonary edema, Acute MI or unstable angina pectoris,
Dissecting aortic aneurysm.
b. Hipertensi Urgency
Peningkatan BP diatas range dari hipertensi derajat II tanpa disertai disfungsi
organ yang progressive. Contoh: Peningkatan BP yg tinggi tanpa keluhan sakit
kepala, sesak nafas atau nyeri dada. Biasanya disebabkan karena hipertensi yang
tidak terkontrol.

6. Terapi Hipertensi
Obat untuk antihipertensi terdapat 5 kelompok yaitu :

Diuretics

ACE Inhibitor

Angiotensin Receptor Blocker (ARB)

Calcium Channel Blocker (CCB)

Blocker

Mekanisme Kerja Obat Hipertensi


Diuretics
Thiazide
Thiazide memblok sistem co transport ikatan Cl menghambat reabsorbsi
ion Na & meningkatkan ekskresi Na, air, K, dan ion H.
Bekerja di tubulus distal renal. Obat ini dipakai ketika diastole < 90mmHg
Contoh Thiazide :
Hidrochlortiazide, Chlorothiazide, Chlorthalidone, Indapamide.
Kalium Sparing Diuretics
Bekerja dengan berkompetisi dengan aldosteron terhadap reseptor aldosteron di
tubulus distal ginjal. Mem blok channel Na di tubulus distal dan meningkatkan
ekskresi Na dan ditukar dengan masuknya ion K dan ion H.
Contoh : Spironolactone, Amiloride, Triamterene.
Loop diuretics
Bekerja dengan meningkatkan eksresi air dengan mem-blok sistem co tranport
ikatan Cl menghambat reabsorbsi Na dan Cl Bekerja terutama di ansa Henle
ascending. Obat ini dipakai ketika diastole > 90mmHg Contoh : Furosemide
(Lasix), Torsemide (Demadex), Bumetanide.

ACE Inhibitors dan Angiotensin Reseptor Blocker

Mekanisme Aksi ACE Inhibitor dan ARB


Calcium Channel Blocker (CCB)

Gambar Mekanisme Aksi Calcium Channel Blocker


CCB bekerja dengan menghambat Channel ion Ca, sehingga Ca dari luar tidak dapat
masuk ke dalam sitosol sel. Ca di dalam sel otot berfungsi untuk mengaktifkan sliding
antara aktin dan myosin melalui ikatan Ca dengan Troponin C, sehingga jika ion Ca
tidak ada, maka kontraksi dari otot jantung dan pembuluh darah akan berkurang
penurunan tahanan perifer penurunan tekanan darah.
Beta Blocker

Mekanisme Aksi Beta Blocker


Beta Blocker bekerja mengeblok reseptor Beta yang ada di otot jantung dan pembuluh
darah. Ketika diblok maka noradrenalin maupun adrenalin tidak akan terproduksi dan
vasokonstriksi serta peningkatan heart rate juga tidak akan terjadi sehingga
menghasilkan penurunan tekanan darah.

Gambar Efek Beta Blocker


Beta Blocker Classification
Non Selective
Propanolol
Sotalol
Pindolol
Timolol
Cardioselective
Bisoprolol
Acebutolol
Atenolol
Metaprolol

7. Algoritma Penatalaksanaan Hipertensi menurut JNC 8

C. ANESTESI PADA HIPERTENSI


1. Penilaian Preopertaif dan Persiapan Preoperative Pasien Hipertensi

Penilaian preoperatif penderita-penderita hipertensi esensial yang akan


menjalani prosedur pembedahan, harus mencakup 4 hal dasar yang harus dicari, yaitu:

Jenis pendekatan medikal yang diterapkan dalam terapi hipertensi


Penilaian ada tidaknya kerusakan atau komplikasi target organ yang telah terjadi
Penilaian yang akurat tentang status volume cairan tubuh penderita
Penentuan kelayakan penderita untuk dilakukan tindakan teknik hipotensi, untuk
prosedur pembedahan yang memerlukan teknik hipotensi.
Semua data-data di atas bisa didapat dengan melakukan anamnesis riwayat

perjalanan penyakitnya, pemeriksaan fisik, tes laboratorium rutin dan prosedur


diagnostik lainnya. Penilaian status volume cairan tubuh adalah menyangkut apakah
status hidrasi yang dinilai merupakan yang sebenarnya ataukah suatu relative
hipovolemia (berkaitan dengan penggunaan diuretika dan vasodilator). Disamping itu
penggunaan

diuretika

yang

rutin,

sering

menyebabkan

hipokalemia

dan

hipomagnesemia yang dapat menyebabkan peningkatan risiko terjadinya aritmia.


Untuk evaluasi jantung, EKG dan x-ray toraks akan sangat membantu.
Adanya LVH dapat menyebabkan meningkatnya risiko iskemia miokardial akibat
ketidak seimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen.Untuk evaluasi ginjal,
urinalisis, serum kreatinin dan BUN sebaiknya diperiksa untuk memperkirakan
seberapa tingkat kerusakan parenkim ginjal.Jika ditemukan ternyata gagal ginjal
kronis, maka adanya hiperkalemia dan peningkatan volume plasma perlu
diperhatikan.Untuk evaluasi serebrovaskuler, riwayat adanya stroke atau TIA dan
adanya retinopati hipertensi perlu dicatat.Tujuan pengobatan hipertensi adalah
mencegah komplikasi kardiovaskuler akibat tingginya TD, termasuk penyakit arteri
koroner, stroke, CHF, aneurisme arteri dan penyakit ginjal.
Sementara itu pasien yang harus menjalani operasi elektif idealnya hanya
bisa dilakukan ketika tekanan darah dalam batas normal, pendekatan ini tidak selalu
layak atau selalu diinginkan karena gangguan autoregulasi serebral.Penurunan tekanan
darah yang berlebihan dapat mengganggu perfusi serebral. Selain itu, keputusan
apakah akan menunda atau melanjutkan dengan intervensi bedah harus bersifat
individual, tergantung pada beratnya elevasi tekanan darah sebelum operasi,

kemungkinan iskemi miokard, disfungsiventrikel atau komplikasi vaskularisasi


serebral atau ginjal, dan pembedahan (jika perubahan besar yang disebabkan operasi di
awal jantung atau afterload yang diperbolehkan).
Dalam banyak kasus, hipertensi saat preoperative terjadi karena
ketidakpatuhan pasien dengan pola obat yang diberikan.Dengan sedikit pengecualian,
antihipertensi harus dilanjutkan sampai operasi. Beberapa dokter mempertahankan
pemberian ACE inhibitor di pagi hari sebelum operasi karena hubungannya dengan
peningkatan insiden hipotensi intraoperatif.ACE inhibitor diketahui dapat mencegah
terjadinya

risiko hipertensi perioperatif dan mampu mencukupi kebutuhan

antihipertensi parenteral. Operasi pada pasien dengan tekanan diastolik preoperatif


lebih besar dari 110 mmHg, terutama pada pasien yang telah diketahui pasti
mengalami kerusakan organ akhir maka operasi harus ditunda sampai tekanan darah
lebih terkontrol selama beberapa hari.
2. Pertimbangan Anestesia Penderita Hipertensi
Sampai saat ini belum ada protocol untuk penentuan TD berapa sebaiknya
yang paling tinggi yang sudah tidak bisa ditoleransi untuk dilakukannya penundaan
anesthesia dan operasi. Namun banyak literature yang menulis bahwa TD diastolic
110 atau 115 adalah cut-off point untuk mengambil keputusan penundaan anesthesia
atau operasi kecuali operasi emergensi. TD diastolic dijadikan tolak ukur karena
peningkatan TD sistolik akan meningkat seiring dengan pertambahan umur, dimana
perubahan ini lebih dianggap sebagai perubahan fisiologik dibandingkan patologik.
Namun beberapa ahli menganggap bahwa hipertensi sistolik lebih besar risikonya
untuk terjadinya morbiditas kardiovaskular dibandingkan hipertensi diastolic.
Pendapat ini muncul karena dari hasil studi menunjukkan bahwa terapi yang
dilakukan pada hipertensi sistolik dapat menurunkan risiko terjadinya stroke dan
MCI pada populasi yang berumur tua.
Dalam banyak uji klinik, terapi antihipertensi pada penderita hipertensi
akan menurunkan angka kejadian stroke sampai 35%-40% , infark jantung sampai
20-25% dan angka kegagalan jantung diturunkan sampai lebih dari 50%. Menunda
operasi hanya untuk tujuan mengontrol TD mungkin tidak diperlukan lagi khususnya
pada pasien dengan kasus hipertensi yang ringan sampai sedang. Namun pengawasan
yang ketat perlu dilakukan untuk menjaga kestabilan hemodinamik, karena

hemodinamik yang labil mempunyai efek samping yang lebih besar

terhadap

kardiovaskular dibandingkan dengan penyakit hipertensinya itu sendiri. Penundaan


operasi dilakukan apabila ditemukan atau diduga adanya kerusakan target organ
sehingga evaluasi lebih lanjut perlu dilakukan sebelum operasi.
The American Heart Association / American College of Cardiology
(AHA/ACC) mengeluarkan acuan bahwa TD sistolik 180 mmHg dan/atau TD
diastolic 110mmHg sebaiknya dikontrol sebelum dilakukan operasi, terkecuali
operasi bersifat urgensi. Pada keadaan operasi yang sifatnya urgensi, TD dapat
dikontrol dalam beberapa menit sampai beberapa jam dengan pemberian obat
antihipertensi yang bersifat rapid acting. Perlu dipahami bahwa penderita hipertensi
cenderung mempunyai respon TD yang berlebihan pada periode perioperatif. Ada 2
fase yang harus menjadi pertimbangan yaitu saat tindakan anesthesia dan
postoperasi. Contoh yang sering terjadi adalah hipertensi akibat laringoskopi dan
respon hipotensi akibat pemeliharaan anesthesia. Pada pasien hipertensi preoperative
yang sudah dikontrol tekanan darahnya dengan baik akan mempunyai hemodinamik
yang lebih stabil dibandingkan yang tidak dikontrol dengan baik.
3. Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anesthesia dengan tujuan
untuk:

Meredakan kecemasan dan ketakutan


Memperlancar induksi anesthesia
Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
Meminimalkan jumlah obat anestesi
Mengurangi mual-muntah pasca bedah
Menciptakan amnesia
Mengurangi isi cairan lambung
Mengurangi reflek yang membahayakan
Premedikasi bertujuan mengurangi kecemasan pra operasi dan sangat
dibutuhkan pada pasien hipertensi. Preoperatif hipertensi ringan hingga menengah
sering sembuh setelah pemberian agen anxiolytic, seperti midazolam.pemberian
antihipertensi preoperatif harus dilanjutkan sesuai jadwal dan dapat diberikan dengan
sedikit tegukan air. Seperti disebutkan sebelumnya, beberapa dokter melanjutkan

pemberian ACE inhibitor karena diketahui dapat mencegah menurunkan tekanan


darah intraoperatif.
4. Manajemen Intraoperatif
a. Objektif
Secara keseluruhan tujuan anestesi untuk pasien dengan hipertensi adalah
menjaga kestabilan tekanan darah pasien.Pasien batas akhir hipertensi dapat diobati
seperti pasien dengan tekanan darah normal. Pada pasien usia lanjut atau pasien
dengan hipertensi yang tidak terkontrol telah terjadi perubahan autoregulasi aliran
darah serebral dimana tekanan darah yang tinggi mempertahankankan aliran darah
otak yang memadai. Pada sebagian besar pasien dengan hipertensi yang lama harus
dipikirkan

kemungkinan

terjadinya

penyakit

arteri

koroner

dan

hipertrofi

jantung,sehingga peningkatan tekanan darah yang berlebihan dapat dihindari.


Hipertensi, terutama dalam kaitannya dengan takikardia, dapat memicu terjadinya
iskemia miokard, disfungsi ventrikel bahkan keduanya.Tekanan darah arteri umumnya
harus dijaga dalam 10-20% dari tingkat pra operasi. Jika hipertensi terjadi sebelum
operasi dimana tekanan darah lebih dari 180/120 mmHg, maka tekanan darah arteri
harus dipertahankan dalam batas normal, yaitu 150-140/90-80 mm Hg.
b. Pemantauan
Sebagian besar pasien hipertensi tidak memerlukan pemantauan
intraoperatif khusus. Pemantauan tekanan darah harus terus menerus dilakukan pada
pasien dengan tekanan darah yang tidak stabil dan pasien dengan prosedur
pembedahan utama yang terkait dengan perubahan yang cepat atau ditandai dengan
preload jantung atau afterload. Pemantauan elektrokardiografi bertujuan untuk
mengetahui dengan cepat tanda-tanda iskemia.Produksi urin harus dipantau melalui
kateter urin terutama pada pasien gangguan ginjal yang sedang menjalani tindakan dan
diharapkan dapat bertahan lebih dari 2 jam.Selama pemantauan hemodinamik invasive
dilakukan, pemenuhan kebutuhan ventrikel sering berkurang terutama pada pasien
dengan hipertrofi ventrikel.
Tujuan pencapaian hemodinamik yang diinginkan selama pemeliharaan
anestesia adalah meminimalkan terjadinya fluktuasi tekanan darah yang terlalu tinggi.
Mempertahankan kestabilan hemodinamik selama periode intraoperatif adalah sama

pentingnya dengan pengontrolan hipertensi pada periode preoperative. Pada hipertensi


kronis akan menyebabkan pergeseran tekanan autoregulasi dari serebral dan ginjal.
Sehingga pada penderita hipertensi ini akan mudah terjadi penurunan aliran darah
serebral dan iskemia serebral jika tekanan darah diturunkan secara tiba-tiba. Terapi
jangka panjang dengan obat antihipertensi akan mengubah kembali kurva autregulasi
kekiri kembali ke normal. Dalam mengukur autoregulasi serebral dapat digunakan
beberapa acuan yang sebaiknya diperhatikan, yaitu:

Penurunan MAP sampai dengan 25% adalah batas bawah yang maksimal yang

dianjurkan untuk penderita hipertensi.


Penurunan MAP sebesar 55% akan menyebabkan timbulnya gejala hipoperfusi

otak.
Terapi dengan antihipertensi secara signifikan menurunkan angka kejadian stroke.
Pengaruh hipertensi kronis terhadap autoregulasi ginjal kurang lebih sama dengan
yang terjadi pada serebral.
Anestesia akan aman jika dipertahankan dengan berbagai teknik tapi

dengan memperhatikan kestabilan hemodinamik yang kita inginkan. Anestesia dengan


volatile (tunggal atau dikombinasikan dengan N2O), anestesia imbang (balance
anesthesia) dengan opioid + N2O + pelumpuh otot, atau anestesia total intravena bisa
digunakan untuk pemeliharaan anestesia. Anestesia regional dapat dipilih sebagai
teknik anestesia, namun perlu diingat bahwa anestesia regional sering menyebabkan
hipotensi akibat blok simpatis dan ini sering dikaitkan pada pasien dengan keadaan
hipovolemia. Jika hipertensi tidak berespon terhadap obat-obatan yang diberikan,
maka

penyebab

yang

lain

harus

dipertimbangkan

seperti

phaeochromacytoma,carcinoid syndrome dan tyroid storm.


c. Induksi Anestesi
Induksi anestesia dan intubasi endotrakea sering menyebabkan gangguan
hemodinamik pada pasien hipertensi.Saat induksi sering terjadi hipotensi namun saat
intubasi sering menimbulkan hipertensi.Hipotensi terjadi akibat vasodilatasi perifer
terutama pada keadaan kekurangan volume intravaskuler sehingga pemberian cairan
sebelumnya penting dilakukan untuk tercapainya normovolemia sebelum induksi. Di

samping itu hipotensi juga sering terjadi akibat depresi sirkulasi karena efek dari obat
anestesi dan efek dari obat antihipertensi yang sedang dikonsumsi oleh penderita,
seperti ACE inhibitor dan angiotensin receptor blocker.
Hipertensi yang terjadi biasanya

diakibatkan stimulus

nyeri karena

laringoskopi dan intubasi endotrakea yang bisa menyebabkan takikardia dan iskemia
miokard.Angka kejadian hipertensi akibat tindakan laringoskopi-intubasi endotrakea
bisa mencapai 25%. Durasi laringoskopi dibawah 15 detik dapat membantu
meminimalisir terjadinya fluktuasi hemodinamik Beberapa teknik dibawah ini bisa
dilakukan sebelum tindakan laringoskopi-intubasi untuk menghindari terjadinya
hipertensi.

Dalamkan anestesia dengan menggunakan gas volatile yang poten selama 5-10

menit.
Pemberian

opioid

(fentanil

2,5-5

mikrogram/kgbb,

alfentanil

15-25

mikrogram/kgbb, sufentanil 0,25- 0,5 mikrogram/kgbb, atau ramifentanil 0,5-1

mikrogram/ kgbb).
Pemberian lidokain 1,5 mg/kgbb secara intravena atau intratrakea.
Penggunakan beta-adrenergik blockade dengan esmolol 0,3-1,5 mg/kgbb,

propanolol 1-3 mg, atau labetatol 5-20 mg).


Penggunakan anestesia topikal pada jalan napas.

Pemilihan obat anestesi


A. Obat induksi
Keunggulan dari setiap obat induksi dan teknik yang dilakukan belum
jelas bagi agen hipertensi.Meskipun dengan anestesi regional, penurunan tekanan
darah yang tajam justru lebih sering terjadi pada pasien hipertensi dibandingkan
dengan pasien normotensi.Barbiturat, benzodiazepin, propofol, dan etomidare
adalah

induksi

anestesi

yang

paling

aman

diberikan

pada

pasien

hipertensi.Pemberian ketamin merupakan kontraindikasi untuk tindakan operasi


karena dapat memicu terjadinya hipertensi namun hal ini dapat dihilangkan

dengan pemberian dosis kecil bersama dengan agen lainnya, terutama


benzodiazepin atau propofol.
B. Rumatan
Anestesi bisa aman dilanjutkan dengan agen volatile (tunggal atau
dengan oksida nitrous), suatu teknik seimbang (oksida opioid + nitrous + relaksan
otot), atau sama sekali teknik intravena. Terlepas dari teknik pengobatan primer,
penambahan agen volatile atau vasodilator intravena umumnya memungkinkan
kontrol lebih memuaskan tekanan darah intraoperatif.vasodilatasi Depresi dan
miokard yang relatif cepat dan reversibel yang diberikan oleh agen volatile dapat
berpengaruhterhadap tekanan darah arteri. Oleh sebab itu, beberapa dokter
percaya bahwa pemberian opioid dan sufentanil dapat menekansaraf otonom serta
mengontrol tekanan darah.
C. Pelumpuh otot
Dengan beberapa pengecualian seperti pankuronium, setiap
pelumpuh otot dapat digunakan secara rutin.Pankuronium memiliki efek
memblokade syaraf vagal dan melepaskan katekolamin sehingga dapat
memperburuk

keadaan

pasien

hipertensi

yang

tidak

terkontrol.Ketika

pankuronium diberikan perlahan-lahan dan sedikit demi sedikit akan terjadi


peningkatan detak jantung serta naiknya tekanan darah. Tetapi pankuronium
berguna untuk mengimbangi kekuatan vagal berlebihan yang disebabkan oleh
manipulasi opioid atau bedah. Pemberian obat hipotensi seperti tubocurarine,
merocurine, acracurium, atau mungkin mivacurium dapat dijadikan pilihan untuk
pasien hipertensi.
D. Vasopressors
Penderita hipertensi dapat menampilkan respon berlebihan untuk
kedua ranjau-catechola endogen (dari inkubasi atau stimulasi bedah) dan agonis
simpatik eksogen diberikan.Jika seorang vasopresor diperlukan untuk mengobati
hipotensi berlebihan, dosis kecil agen langsung penuaan seperti fenilefrin (25-50
g) mungkin lebih baik untuk agen langsung.Namun demikian, dosis kecil
efedrin (5-10 mg) lebih tepat bila tinggi nada vagal. Kesabaran sympatholytics

diambil sebelum operasi mungkin menunjukkan respon jatuh ke vasopressors,


terutama efedrin.
5. Hipertensi Intraoperatif
Hipertensi pada periode perioperatif mempunyai resiko hipertensi juga
pada periode anesthesia maupun saat pasca bedah. Hipertensi intraoperatif yang tidak
berespon dengan didalamkannya anesthesia (terutama dengan agen volatile dapat
diatasi dengan antihipertensi secara agen parenteral. Namun faktor penyebab bersifat
reversible atau bisa diatasi seperti anestesia yang kurang dalam, hipoksemia, atau
hypercapnia harus selalu dikecualikan atau disingkirkan terlebih dahulu sebelum
memulai terapi antihipertensi.

Pemilihan agen antihipertensi tergantung pada berat akut atau kronik,


penyebab hipertensi, fungsi dasar ventrikel, heart rate, dan adanya penyakit paru-paru

bronchospastic dan juga tergantung dari tujuan pengobatannya atau efek yang
diinginkan dari pemberian obat tersebut.
o -adrenergik blockade : digunakan tunggal atau tambahan pada pasien dengan
fungsi ventrikuler yang masih baik dan dikontraindikasikan pada bronkospastik
o Nicardipine : digunakan pada pasien dengan penyakit bronkospastik
o Nifedipine : reflex takikardia setelah pemberian sublingual sering dihubungkan
dengan iskemia miokard dan antihipertensi yang mempunyai onset yang
lambat.
o Nitroprusside : onset cepat dan efektif untuk terapi intraoperatif pada hipertensi
sedang sampai berat.
o Nitrogliserin : mungkin kurang efektif nambun bisa digunakan sebagai terapi
untuk pencegahan iskemia miokard.
o Fenoldopam : dapat digunkan untuk mempertahankan atau menjaga fungsi
ginjal.
o Hydralazine : bisa menjaga kestabilan TD, namun obat ini juga punya onset
yang lambat sehingga menyebabkan timbulnya respon takikardia.
6. Krisis Hipertensi
Dikatakan krisis hipertensi jika TD lebih tinggi dari 180/120 mmHg dan
dapat dikategorikan dalam hipertensi urgensi atau hipertensi emergensi, berdasarkan
ada tidaknya ancaman kerusakan target organ atau kerusakan target organ yang
progresif. Pasien dengan hipertensi sistemik kronis dapat mentoleransi TDS yang lebih
tinggi dibandingkan individu yang sebelumnya normotensif dan lebih mungkin
mengalami hipertensi yang sifatnya urgensi dibandingkan emergensi. Hal yang paling
sering menimbulkan krisis hipertensi adalah antara lain karena penggunaan obat
antihipertensi seperti clonidine, hiperaktivitas autonom, obat-obat penyakit kolagenvaskuler, glomerulonefritis akut, cedera kepala, neoplasia seperti pheokromasitoma,
preeclampsia dan eklampsia. Manifestasi klinis yang timbul adalah sesuai dengan
target organ yang rusak akibat hipertensi ini.
Krisis hipertensi terbagi atas hipertensi emergensi dan hipertensi urgensi.
Hipertensi emergensi adalah pasien dengan bukti adanya kerusakan target organ yang
sedang terjadi atau akut (ensefalopati, perdarahan intra serebral, kegagalan ventrikel

kiri akut dengan edema paru, unstable angina, diseksi aneurisme aorta, IMA,
eclampsia, anemia hemolitik mikro angiopati atau insufisiensi renal) yang memerlukan
intervensi farmakologi yang tepat untuk menurunkan TD sistemik. Ensefalopati jarang
terjadi pada pasien dengan hipertensi kronis sampai TDD melebihi 150 mmHg
sedangkan pada wanita hamil yang mengalami hipertensi dapat mengalami tandatanda ensefalopati pada TDD < 100 mmHg. Sehingga walaupun tidak ada gejala,
wanita hamil dengan TDD > 109 mmHg dianggap sebagai hipertensi emergensi dan
memerlukan terapi segera.
Bila TD diturunkan secara cepat akan terjadi iskemia koroner akut,
sehingga MAP diturunkan sekitar 20% dalam 1 jam pertama, selanjutnya pelan-pelan
diturunkan sampai 160/110 selama 2-6 jam. Tanda-tanda penurunan TD ditoleransi
dengan baik adalah selama fase ini tidak ada tanda-tanda hipoperfusi target organ.
Hipertensi urgensi adalah situasi dimana TD meningkat tinggi secara akut, namun
tidak ada bukti adanya kerusakan target organ. Gejala yang timbul dapat berupa sakit
kepala, epitaksis atau ansietas. Penurunan TD yang segera tidak merupakan indikasi
dan pada banyak kasus dapat ditangani dengan kombinasi antihipertensi oral bertahap
dalam beberapa hari.
7. Manajemen Postoperratif
Hipertensi yang terjadi pada periode pasca operasi sering terjadi pada
pasien yang menderita hipertensi esensial. Hipertensi dapat meningkatkan kebutuhan
oksigen miokard sehingga berpotensi menyebabkan iskemia miokard, disritmia
jantung dan CHF. Disamping itu bisa juga menyebabkan stroke dan perdarahan ulang
luka operasi akibat terjadinya disrupsi vaskuler dan dapat berkonstribusi menyebabkan
hematoma pada daerah luka operasi sehingga menghambat penyembuhan luka operasi.
Penyebab terjadinya hipertensi pasca operasi ada banyak faktor, disamping
secara primer karena penyakit hipertensinya yang tidak teratasi dengan baik, penyebab
lainnya adalah gangguan sistem respirasi, nyeri, overload cairan atau distensi dari
kandung kemih. Sebelum diputuskan untuk memberikan obat-obat antihipertensi,
penyebab-penyebab sekunder tersebut harus dikoreksi dulu.
Nyeri

merupakan

salah

satu

faktor

yang

paling

berkonstribusi

menyebabkan hipertensi pasca operasi, sehingga untuk pasien yang berisiko nyeri

sebaiknya ditangani secara adekuat, misalnya dengan morfin epidural secara infus
kontinyu.Apabila hipertensi masih ada meskipun nyeri sudah teratasi, maka intervensi
secara farmakologi harus segera dilakukan dan perlu diingat bahwa meskipun pasca
operasi TD kelihatannya normal, pasien yang prabedahnya sudah mempunyai riwayat
hipertensi, sebaiknya obat antihipertensi pasca bedah tetap diberikan.
Hipertensi pasca operasi sebaiknya diterapi dengan obat antihipertensi
secara parenteral misalnya dengan beta blocker yang terutama digunakan untuk
mengatasi hipertensi dan takikardia yang terjadi. Apabila penyebabnya karena
overload cairan, bisa diberikan diuretika furosemid dan apabila hipertensinya disertai
dengan heart failure sebaiknya diberikan ACE-inhibitor. Pasien dengan iskemia
miokard yang aktif secara langsung maupun tidak langsung dapat diberikan
nitrogliserin dan beta-blocker secara intravena sedangkan untuk hipertensi berat
sebaiknya segera diberikan sodium nitroprusside. Apabila penderita sudah bisa makan
dan minum secara oral sebaiknya antihipertensi secara oral segera dimulai.

BAB III
KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil dari presentasi kasus ini adalah;
1. Hipertensi adalah penyakit yang umum dijumpai, dengan angka penderita yang cukup
tinggi. Hipertensi sendiri merupakan faktor risiko mayor yang bisa menyebabkan
terjadinya komplikasi seperti penyakitpenyakit jantung, serebral, ginjal dan vaskuler.
Mengingat tingginya angka kejadian dan komplikasi yang bisa ditimbulkan oleh penyakit
hipertensi ini, maka perlu adanya pemahaman para ahli anestesia dalam manajemen selama
periode perioperatif. Manajemen perioperatif dimulai sejak evaluasi prabedah, selama
operasi dan dilanjutkan sampai periode pasca bedah. Evaluasi prabedah sekaligus
optimalisasi keadaan penderita sangat penting dilakukan untuk meminimalkan terjadinya
komplikasi, baik yang terjadi selama intraoperatif maupun yang terjadi pada pasca
pembedahan. Goncangan hemodinamik mudah terjadi, baik berupa hipertensi maupun
berupa hipotensi, yang bisa menyebabkan terjadinya berbagai komplikasi.
2. Tatalaksana anesthesia pada pasien dengan penyulit hipertensi meliputi manajemen
perioperatif, intraoperatif, dan postoperatif. Pada manajemen perioperatif sangat diperlukan
mengetahui riwayat tekanan darah sistolik dan diastolic pasien batas atau cut off yang
dianjurkan AHA adalah TD sistolik 180 mmHg dan/atau TD diastolic 110mmHg
sebaiknya dikontrol sebelum dilakukan operasi, terkecuali operasi bersifat urgensi, obatobat yang digunakan oleh pasien, dan komplikasi target organ. Pada manajemen
intraoperatif harus memperhatikan apa saja yang dapat menyebabkan naiknya tekanan
darah diantaranya prosedur pemasangan laringoskop dan anesthesia yang kurang dalam
atau pasien yang tidak berespon dengan anesthesia sekalipun dengan volatile. Persiapkan
agen amhipertensi parenteral jika dibutuhkan. Sedangkan pada manajemen postoperatif
harus diperhatikan jika terjadi hipertensi pasca operatif seperti nyeri, overload cairan, dan
distensi kandung kemih.

DAFTAR PUSTAKA

Alvarez, Daniel. (2014). Hypertension and JNC 8 Guidelines. diakses


http://www.kansasdo.org/download/springconf2014/Presentations/AlvarezHypertension.pdf pada tanggal 10 Januari 2015.

dari

Fajar, Yoke. (2012). Caldwell Luc Prosedur. Semarang : Bagian Bedah FK UNDIP
Fokkens W.J, Lund V.J. (2012). European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps
2012. International Rhinology Society
Fokkens W.J, Lund V.J. (2007). Buku Saku EPOS (European Position Paper on Rhinosinusitis
and Nasal Polyps) 2007. International Rhinology Society
Lawrence, Ashley, Pharm D. (2014). JNC 8: Relaxing The Pressure in The Hypertension
Guidelines : Peninsula Regional Medical Center.
Mangku, Gde & Tjokorda Gde Agung Senapathi. (2010). Buku Ajar Ilmu Anestesia dan
Reanimasi. Jakarta : Indeks Jakarta.
Pakil, Ankit. (2013). Surgical Treatment of Chronic Maxillary Sinusitis : Medscape Reference
Pramono, Ardi. (2015). Buku Kuliah Anestesi. LP3M Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Jakarta : EGC.
Soepardi, Arsyad Efiaty. (2012). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala &
Leher halaman 116-130 : Sinusitis. Jakarta : FK UI.
Wiryana, Made. (2008). Manajemen Perioperatif Pada Hipertensi. Bagian/SMF Ilmu Anestesi
dan Reanimasi FK Unud/RSUP Sanglah Denpasar.
Yoegiantoro, Muhammad. (2010). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Hipertensi Essensial dalam
halaman 1079 Jakarta : Interna Publishing.

You might also like