You are on page 1of 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Salah satu persoalan pendidikan yang sedang dihadapi bangsa kita
adalah persoalan mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan
pendidikan. Berbagai usaha telah dilakukan untuk meningkatkan mutu
pendidikan nasional, antara lain melalui berbagai pelatihan dan peningkatan
kompetensi guru, pengadaan buku dan alat pelajaran, perbaikan sarana dan
prasarana pendidikan, dan meningkatkan mutu manajemen sekolah. Namun
demikian, indikator mutu pendidikan belum menunjukkan peningkatan yang
berarti.
Berdasarkan masalah di atas, maka berbagai pihak mempertayakan apa
yang salah dalam penyelenggaraan pendidikan kita? Dan berbagai pengamat dan
analisis, ada berbagai faktor yang menyebabkan mutu pendidikan kita mengelami
peningkatan secara merata.
Pertama, kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional
menggunakan pendekatan input-output analisis yang tidak dilaksanakan secara
konsekwen. Pendekatan ini melihat bahwa lembaga pendididjkan berfungsi
sebagai pusat produksi yang apabila dipenuhi semua input yang diperlukan
dalam kegiatan produksi tersebut, maka lembaga akan menghasilkan output yang
dikehendaki. Kedua, penyelenggaraan pendidikan nasional dilakukan secara
birokratis-sentralistik, sehingga sekolah sebagai penyelenggaraan pendidikan
yang tergantung pada keputusan birokrasi-birokrasi. Ketiga, minimnya
peranan masyarakat khususnya orang tua sisiwa dalam penyelenggaraan
pendidikan, pratisipasi orang tua selama ini dengan sebatas pendukung dana,
tapi tidak dilibatkan dalam proses pendidikan seperti mengambil keputusan.
Munculnya paradigma guru tentang manajemen berbasis sekolah
yang bertumpu pada penciptaan iklim yang demokratisasi dan pemberian
kepercayaan yang lebih luas kepada sekolah untuk menyelenggarakan
pendidikan secara efisien dan berkualitas.

1
Kepemimpinan adalah cara seseorang pemimpin mempengaruhi
perilaku bawahan agar mau bekerja sama dan bekerja secara produktif untuk
mencapai tujuan organisasi. Gaya kepemimpinan yang kurang melibatkan
bawahan dalam mengambil kepurusan maka akan mengakibatkan adanya
disharmonisasi hubungan anatara pemimpin dan yang dipimpin.
Kepemimpinan merupakan salah satu faktor yang menentukan
kesuksesan implementasi (penerapan) MBS. Setidaknya ada dua alasan kenapa
diperlukan figur pemimpin, yaitu ; 1) banyak orang memerlukan figur pemimpin,
2) dalam beberapa situasi seorang pemimpin perlu tampil mewakili.
Gaya kepemimpinan adalah sikap, gerak-gerik atau lagak yang
dipilih oleh seseorang pemimpin dalam menjalankan tugas kepemimpinannya.
Gaya yang dipakai oleh seorang pemimpin satu dengan yang lain berlainan
tergantung situasi dan kondisi kepemimpinannya. Gaya kepemimpinan
merupakan norma perilaku yang dipergunakan seseorang pada saat orang
tersebut mencoba mempengaruhi perilaku orang lain. Gaya kepemimpinan
adalah suatu pola perilaku yang konsisten yang ditinjukan oleh pemimpin
dan diketahui pihak lain ketika pemimpin berusaha mempengaruhi kegiatan-
kegiatan orang lain.
Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk menulis
makalah tentang Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah Dalam Penerapan
Manajemen Berbasis Sekolah

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalahnya adalah bagaimana gaya kepemimpinan kepala
sekolah dalam penerapan MBS?

C. Tujuan Penulisan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gaya kepemimpian kepala
sekolah dalam penerapan MBS di Sekolah .

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kepemimpinan
1. Pengertian
Pemimpin memiliki peranan yang dominan dalam sebuah organisasi.
Peranan yang dominan tersebut dapat mempengaruhi moral kepuasan
kerja keamanan, kualitas kehidupan kerja dan terutama tingkat prestasi
suatu organisasi.
Kepemimpinan adalah bagian penting manajemen, tetapi tidak
sama dengan manajemen. Kepemimpinan merupakan kemampuan yang
dipunyai seseorang untuk mempengaruhi orang lain agar bekerja
mencapai tujuan dan sasaran.
Manajemen tidak hanya mencakup kepemimpinan tetapi juga
mencakup fungsi-fungsi lainnya seperti perencanaan, penorganisasian,
pengawasan dan evaluasi. Kepemimpinan atau leadership dalam
pengertian umum menunjukkan suatu proses kegiatan dalam hal memimpin,
membimbing, mengontrol perilaku, perasaan serta tingkah laku terhadap
orang lain yang ada dibawah pengawasannya.
Disinilah peranan kepemimpinan berpengaruh besar dalam
pembentukan perilaku bawahan.
2. Pendekatan Kepemimpinan
Menurut Handoko (1999:55), ada beberapa pendekatan
kepemimpinan yang diklasifikasikan sebagai pendekatan-pendekatan
kesifatan, perilaku, dan situasional. Pendekatan pertama memandang
kepemimpinan sebagai suatu kombinasi sifat-sifat yang tampak.
Pendekatan kedua bermaksud mengidentifikasikan perilaku-perilaku
(behaviours) pribadi yang berhubungan dengan kepemimpinan yang
efektif. Kedua pendekatan ini mempunyai anggapan bahwa seorang
individu yang memiliki sifat-sifat tertentu atau memperagakan perilaku-
perilaku tertentu akan muncul sebagai pemimpin dalam situasi kelompok

3
apapun dimana ia berada. Pendekatan ketiga yaitu pandangan situasional
tentang kepemimpinan. Pandangan ini menganggap bahwa kondisi yang
menentukan efektifitas kepempimpinan bervariasi dengan situasi yakni
tugas-tugas yang dilakukan, keterampilan dan pengharapan bawahan,
lingkungan organisasi, pengalaman masa lalu pemimpin dan bawahan
dan sebagainya. Pandangan ini telah menimbulkan pendekatan
contingency pada kepemimpinan yang bermaksud untuk menetapkan
faktor-faktor situasional yang menentukan seberapa besar efektifitas
situasi gaya kepemimpinan tertentu. Ketiga pendekatan tersebut dapat
digambarkan secara kronologis sebagai berikut:
Sifat-sifat ⇒ Perilaku ⇒ Situasional ⇒ Contingency
3. Gaya Kepemimpinan
Gaya kepemimpinan yang dimaksud adalah teori kepemimpinan
dari pendekatan perilaku pemimpin. Dari satu segi pendekatan ini masih
difokuskan lagi pada gaya kepemimpinan (leadership style), sebab gaya
kepemimpinan bagian dari pendekatan perilaku pemimpin yang
memusatkan perhatian pada proses dinamika kepemimpinan dalam usaha
mempengaruhi aktivitas individu untuk mencapai suatu tujuan dalam suatu
situasi tertentu.
Para ahli telah mengidentifikasi dua gaya kepemimpinan yaitu
gaya dengan orientasi tugas (Task Oriented) dan gaya dengan orientasi
karyawan (Employee Oriented). Manajer berorientasi tugas mengarahkan
dan mengawasi bawahan secara tertutup untuk menjamin bahwa tugas
dilaksanakan sesuai yang diinginkannya. Manajer dengan gaya
kepemimpinan ini lebih memperhatikan pelaksanaan pekerjaan daripada
pengembangan dan pertumbuhan karyawan.
Gaya kepemimpinan digunakan dalam berinteraksi dengan
bawahannya, melalui berinteraksi ini antara atasan dan bawahan masing-
masing memilki status yang berbeda. Berinteraksinya dua status yang
berbeda terjadi, apabila status pemimpin dapat mengerti keadaan
bawahannya. Pada umumnya bawahan merasa dilindungi oleh pimpinan

4
apabila pimpinan dapat menyejukkan hati bawahan terhadap tugas yang
dibebankan kepadanya. Cara berinteraksi oleh pimpinan akan mempengaruhi
tujuan organisasi. Bawahan umumnya lebih senang menerima atasan
yang mengayomi bawahan sehingga perasaan senang akan tugas timbul,
yang pada akhirnya meningkatkan kinerja karyawan.
Pemimpin yang bijaksana umumnya lebih memperhatikan kondisi
bawahan guna pencapaian tujuan organisasi. Gaya yang akan digunakan
mendapat sambutan hangat oleh bawahan sehingga proses mempengaruhi
bawahan berjalan baik dan disatu sisi timbul kesadaran untuk bekerja sama
dan bekerja produktif. Bermacam-macam cara mempengaruhi bawahan
tersebut guna kepentingan pemimpin yaitu tujuan organisasi.
Pimpinan dalam pencapaian tujuan yang telah ditetapkan pada
tugas dan fungsi, melalui proses komunikasi dengan bawahannya sebagai
dimensi dalam kepemimpinan dan teknik-teknik untuk memaksimalkan
pengambilan keputusan.
a. Pendekatan Perilaku Kepemimpinan
Prilaku kepemimpinan cenderung diekspreikan dalam dua
gaya kepemimpinan yang berbeda. Gaya kepemimpinan yang
berorientasi pada tugas dan gaya kepemimpinan yang berorientasi
pada karyawan. Gaya kepemimpinan yang berorientasi pada tugas
menekankan pada pengawasan yang ketat. Sedangakan gaya
kepemimpinan yang berorientasi pada karyawan, mengutamakan untuk
memotivasi dari mengontrol bawahan, dan bahkan dalam beberapa
hal bawahan ikut berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang
terkait dengan bawahan.
b. Teori Kepemimpinan Situasional
Dalam mengembangkan teori kepemimpinan situasional Hersey
dan Blanchard mengatakan bahwa gaya kepemimpinan yang paling
efektif berbeda-beda sesuai dengan kematangan bawahan.
Kematangan atau kedewasaan bukan sebagai sebatas usia atau
emosional melainkan sebagai keinginan untuk menerima tanggungjawab,

5
dan kemampuan serta pengalaman yang berhubungan dengan tugas.
Hubungan antara pimpinan dan bawahan bergerak melalui empat tahap
yaitu: (a) hubungan tinggi dan tugas rendah, (b) tugas rendah dan
hubungan rendah, (c) tugas tinggi dan hubungan tinggi, dan (d) tugas
tinggi dan hubungan rendah.
Pelaksanaan gaya kepemimpinan situasional sangat tergantung
dengan kematangan bawahan, sehingga perlakuan terhadap bawahan
tidak akan sama baik dilihat dari umur atau masa kerja.
4. Kepemimpinan Transformasional Dalam MBS
Kepemimpinan transformasional dapat dicirikan dengan adanya
proses untuk membangun komitmen bersama terhadap sasaran organisasi
dan memberikan kepercayaan kepada para pengikut untuk mencapai
sasaran.
Kepemimpinan transformational mampu mentransformasi dan
memotivasi para pengikutnya dengan cara : (1) membuat mereka sadar
mengenai pentingnya suatu pekerjaan,(2) mendorong mereka untuk lebih
mementingkan organisasi daripada kepentingan diri sendiri, dan (3)
mengaktifkan kebutuhan-kebutuhan pengikut pada tarap yang lebih
tinggi. Tipe kepemimpinan transformasional dapat sejalan dengan fungsi
manajemen model MBS.
Pertama, adanya kesamaan yang paling utama, yaitu jalannya
organisasi yang tidak digerakkan oleh birokrasi, tetapi oleh kesadaran
bersama. Kedua, para pelaku mengutamakan kepentingan organisasi bukan
kepentingan pribadi. Ketiga, adanya partisipasi aktif dari pengikut atau
orang yang dipimpin.

B. Manajemen Berbasis Sekolah


1. Pengertian
Secara bahasa, Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) berasal dari
tiga kata, yaitu manajemen, berbasis, dan sekolah. Manajemen adalah proses
menggunakan sumber daya secara efektif untuk mencapai sasaran. Berbasis

6
memiliki kata dasar basis yang berarti dasar atau asas. Sekolah adalah
lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat untuk menerima dan
memberikan pelajaran. Berdasarkan makna tersebut maka MBS dapat
diartikan sebagai penggunaan sumber daya yang berasaskan pada sekolah
itu sendiri dalam proses pengajaran atau pembelajaran.
2. Alasan dan Tujuan
MBS di Indonesia yang menggunakan model Manajemen
Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) muncul karena beberapa
alasan sebagaimana diungkapkan oleh Nurkolis antara lain pertama,
sekolah lebih mengetahi kekeuatan, kelemahan, peluang dan ancaman bagi
dirinya sehingga sekolah dapat mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya
yang tersedia untuk memajukan sekolahnya. Kedua, sekolah lebih
mengetahui kebutuhannya. Ketiga, keterlibatan warga sekolah dan
masyarakat dalam pengmabilan keputusan dapat menciptakan transparansi
dan demokrasi yang sehat.
Tujuan penerapan MBS adalah untuk meningkatkan kualitas
pendidikan secara umum baik itu menyangkut kualitas pembelajaran,
kualitas kurikulum, kualitas sumber daya manusia baik guru maupun
tenaga kependidikan lainnya, dan kualitas pelayanan pendidikan secara
umum.
Bagi sumber daya manusia, peningkatan kualitas bukan hanya
meningkatnya pengetahuan dan ketrampilannya, melainkan meningkatkan
kesejahteraanya pula.
Keuntungan-keuntungan penerapan MBS adalah:
Pertama, secara formal MBS dapat memahami keahlian dan
kemampuan orang-orang yang bekerja di sekolah. Kedua, meningkatkan
moral guru. Ketiga, keputusan yang diambil sekolah mengalami
akuntabilitas. Hal ini terjadi karena konstituen seklah mengalami andil yang
cukup dalam setiap pengambilan kepurusan. Keempat, menyesuaikan
sumber keuangan terhadap tujuan instruksioanal yang dikembangkan di
sekolah. Kelima, menstimulasi munculnya pemimpin baru di sekolah.

7
Keputusan yang diambil pada tingkat sekolah tidak akan berjalan dengan
baik tanpa adanya peran seorang pemimpin. Keenam, meningkatkan
kualitas, kuantitas, dan fleksibilitas komunikasi tiap komunitas sekolah
dalam rangka mencapai kebutuhan sekolah.
3. Strategi Implementasi MBS
MBS merupakan strategi peningkatan kualitas pendidikan melalui
otoritas pengambilan keputusan dari pemerintah daerah ke sekolah. Dalam
hal ini sekolah dipandang sebagai unit dasar pengembangan yang
bergantung pada redistribusi otoritas pengambilan keputusan di dalamnya
terkandung desentralisasi kewenangan yang diberikan kepada sekolah
untuk membuat keputusan.
Aspek-aspek yang menjadi bidang garapan Sekolah meliputi:
a. Perencanaan dan evaluasi program Sekolah,
b. Pengelolaan kurikulum yang bersifat inklusif,
c. Pengelolaan proses belajar mengajar,
d. Pengelolaan ketenagaan
e. Pengelolaan perlengkapan dan peralatan,
f. Pengelolaan keuangan
g. Pelayanan siswa
h. Hubungan Sekolah-masyarakat
i. Pengelolaan iklim Sekolah.
Kewenangan yang penuh dan luas bagi Sekolah untuk
mengembangkan lembaga menjadi sebuah pendidikan yang mandiri maju
dan mandiri serta bertanggungjawab terimplementasikan dalam bentuk
manajemen yang berbasis Sekolah. Kepala Sekolah perlu memiliki
pengetahuan kepemimpinan, perencanaan dan pandangan yang luas
tentang kependidikan. Wibawa Kepala Sekolah harus ditumbuhkembangkan
dengan meningkatkan sikap kepedulian, semangat belajar, disiplin kerja
keteladanan dan hubungan manusiawi sebagai modal perwujudan iklim kerja
yang kondusif.

8
Impelementasi MBS di Indonesia perlu didukung oleh perubahan
mendasar dalam kebijakan pengelolaan Sekolah, dengan memperhatikan
iklim lembaga yang kondusif, otonomi Sekolah, kewajiban Sekolah,
kepemimpinan kepala Sekolah yang demokratis dan professional, serta
partisipasi masyarakat dan orangtua peserta didik dalam perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan pendidikan di Sekolah.
4. Komponen MBS
a. Pelimpahan dan Pembagian Wewenang
Desentralisasi kewenangan dilakukan dengan cara pelimpahan
wewenang kepada aktor tingkat Sekolah (kepala Sekolah, guru, dan
orang tua) untuk mengambil keputusan. Untuk mengoperasikan
pelimpahan wewenang tersebut dibutuhkan adanya pembagian
kewenangan yang jelas antara dewan Sekolah, pemerintah maupun
para pelaksana pendidikan di Sekolah.
b. Informasi Dua Arah dan Tanggung Jawab Untuk Kemajuan
Informasi bersifat dua arah, yaitu top down (dari atas ke bawah)
dan botom up (dari bawah ke atas) yang berisi tentang ide, isu-isu dan
gagasan pelaksanaan pelaksanaan tugas serta kinerja, produktivitas
sikap pegawai.
Informasi yang dua arah akan memungkinkan terjadinya proses
komunikasi yang dialogis dan efektif sehingga semua pihak yang
terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan dapat berbagi informasi
dalam upaya pengambilan keputusan atau perbaikan-perbaikan
penyelenggaraan pendidika.
c. Penetapan Standar Pengetahuan dan Keterampilan
Desentralisasi pengetahuan dan keterampilan berkaitan erat
dengan pentapan standar kompetensi yang variatif sesuai dengan tuntutan
yang ada serta memberikan peluang kepada pihak-pihak pelaksana
pendidikan untuk senantiasa meningkatkan kompetensinya secara
mandiri dengan penuh kesadaran dan bertanggung jawab terhadap
kinerja yang dihasilkannya.

9
Kondisi tersebut diharapkan akan menghilangkan sikap saling
melemparkan tanggung jawab atas hasil pendidikan.
5. Faktor Pendukung Keberhasilan Implementasi MBS
Beberapa faktor pendukung tersebut pada garis besarnya mencakup
sosialisasi peningkatan kualitas pendidikan, gerakan peningkatan kualitas
pendidikan dan gotongroyong kekeluargaan, potensi sumber daya manusia,
organisasi formal dan internal, organisasi profesi serta dukungan dunia usaha
dan dunia industri.
a. Sosialisasi peningkatan kualitas pendidikan
Pemerintah dan seluruh stake halder pendidikan perlu terus
melakukan sosialisasi peningkatan kualitas pendidikan di berbagai
wilayah kerjanya, baik dalam pertemuan-pertemuan resmi maupun
melalui orientasi dan workshop.
b. Gerakan Peningkatan Kualitas Pendidikan Yang Dicanangkan
Pemerintah
Upaya meningkatkan kualitas pendidikan terus menerus
dilakukan, baik secara konvensional maupun movatif. Hal tersebut lebih
terfokus lagi setelah diamanatkan dalam Undang-undang Sisdiknas
bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa melalui peningkatan kualitas pendidikan kepada setiap
jenis dan jenjang pendidikan
c. Gotong Royong Dalam Kekeluargaan
Gotong royong dan kekeluagaan dapat menghasilkan dampak
positif dalam berbagai aktifitas. Gotongroyong dan kekeluargaan yang
membudaya dalam kehidupan masyarakat Indonesia masih dapat
dikembangkan dalam mewujudkan Kepala Sekolah yang profesional,
menuju terwujudnya visi pendidikan menjadi aksi nyata di Sekolah.
Kondisi ini dapat ditumbuhkembangkan melalui jalinan kerjasama
dan keeratan hubungan dengan msyarakat dan dunia kerja, terutama
yang berada di lingkungan Sekolah.
d. Potensi Kepala Sekolah.

10
Kepala Sekolah memiliki berbagai potensi yang dapat
dikembangkan secara optimal. Setiap kepala Sekolah harus memiliki
perhatian yang cukup tinggi terhadap peningkatan kualitas
pendidikan di Sekolah. Perhatian tersebut harus ditunjukan dalam
keamanan dan kemampuan untuk mengembangkan diri dan Sekolahnya
secara optimal.
e. Organisasi Formal dan Optimal
Pada sebagian besar lingkungan pendidikan Sekolah di
berbagai wilayah Indonesia, dari Sabang sampai Merauke umumnya
telah memiliki organisasi formal terutama yang berhubungan dengan
profesi pendidikan seperti Kelompok Kerja Pengawas Sekolah
(Pokjamas), Kelompok Kerja Sekolah (KKM), Musyawarah Kepala
Sekolah (MKM), Dewan Pendidikan, dan Komite Sekolah.
Organisasi-organisasi tersebut sangat mendukung MBS untuk
melakukan berbagai terobosan dalam peningkatan kualitas pendidikan
diwilayah kerjanya.
f. Organisasi Profesi
Organisasi profesi pendidikan sebagai wadah untuk
membantu pemerintah dalam meningkatkan kualitas pendidikan
seperti Pokjawas, KKM, Kelompok Kerja guru (KKG), Musyawarah
Guru Mata Pelajaran (MGMP), Persatuan Guru Republik Indonesia
(PGRI), Forum Peduli Guru (FPG), dan ISPI (Ikatan Sarjana
Pendidikan Indonesia) sudah terbentuk hampir diseluruh Indonesia,
dan telah menyentuh berbagai kecamatan.
Organisasi profesi tersebut sangant mendukung implementasi
MBS dalam peningkatan kinerja dan prestasi belajar peserta didik
menuju peningkatan kualitas pendidikan nasional

11
BAB V
PENUTUP

A. Simpulan
1. Gaya kepemimipinan kategori dalam tipe kepemimipinan
transformasional dengan ciri-ciri antara lain kepala sekolah dalam
berbagai hal membangun komitmen bersama terhadap sasaran organisasi
dam memberikan kewenangan berupa kepercayaan kepada para
pengikutnya yaitu guru, staf dan karyawan untuk mencapai sasaran, jalannya
organisasi bukan digerakan oleh borikrasi tetapi oleh kesadaran bersama hal
ini sejalan dengan MBS dimana kewenangan sekolah dalam pengelolaan
sangat luas, juga adanya partisipasi aktif dari stakeholder misalnya komite
sekolah, dinas/instansi terkait.
2. Peranan kepala sekolah dalam penerapan Manajemen Berbasis Sekolah yang
meliputi : kepala sekolah sebagai pemimpin, manajer, pendidik,
motivator, administrator, supervisor, dan inovator sangat diperlukan
untuk menuju sekolah yang berkualitas.

B. Saran-Saran
Penerapan MBS menuntut semua unsur dalam lembaga sekolah untuk
memahami dan melaksanakan secara utuh dan tidak sepotong-potong sehingga
antara kepala sekolah, guru dan komponen lain dalam pendidikan dapat saling
bersinergi (saling melengkapi dan mendukung)

12
DAFTAR PUSTAKA

Depdiknas.2001. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Jakarta:


Direktorat Pendidikan Menengah Umum

Hadari Nawawi dan M. Martini Hadari. 1995. Kepemimpinan yang Efektif.


Yogjakarta: Gajah Mada University Press

Handoko, T. Hani. 1999. Manajemen edisi 2. Yogyakarta: BPFE

Nurkolis. 2003. Manajemen Berbasis Sekolah. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana


Indonesia

Nurkolis.2005. Manajemen Berbasis Sekolah, Jakarta: PT. Grasindo, cet ke 2,

13

You might also like