You are on page 1of 6

The Emerging of Post Fordism and Its Theoretical Debate

Oleh Silsila Asri


Paper ini menguraikan mengenai kemunculan era Post-Fordism dan perdebatan teorit
is yang menyertainya serta deskripsi mengenai kecendrungan system produksi yang
muncul pada era post fordism. Era sebelumnya disebut dengan era fordism atau jug
a dikenal dengan mass production era. Sejak akhir tahun 1940-an sampai akhir tah
un 1960-an Negara-negara industri menikmati pertumbuhan ekonomi yang berkelanjut
an dengan upah dan keuntungan yang meningkat secara stabil. Kondisi ini mulai b
erubah pada awal tahun 1970-an, dimana tingkat pertumbuhan tiba-tiba mengalami p
enurunan. Pada saat yang sama, terjadi peningkatan harga minyak dan material pok
ok industri lainnya yang secara substansial meningkatkan biaya produksi. Pada sa
at itu, ekonomi dunia sedang menuju suatu periode inflasi yang berkepanjangan, i
nstabilitas mata uang dan peningkatan jumlah pengangguran. Kebijakan ekonomi pem
erintah yang pada umumnya berpedoman pada prinsip-prinsp fordism tidak bekerja,
sehinggal muncul berbagai pemikiran dan perdebatan mengenai fordism.
Kemunculan Era Post Fordism
Kegagalan kebijakan ekonomi diindikasikan sebagai akibat dari globalisasi produk
si. Selama lebih kurang 30 tahun perusahaan-perusahaan Amerika, Eropa dan Jepang
telah melakukan ekspansi untuk meraih skala ekonomi level internasional. Diluar
kontrol pemerintahan nasional, sistem perdagangan global dikendalikan oleh akto
r multinasional yang diregulasi oleh pasar finansial dunia. Dalam kondisi ini pe
merintahan Negara industri kehilangan kontrolnya terhadap ekonomi nasional merek
a sendiri, siklus peningaktan produksi dan konsumsi menjadi hancur dan ini berar
ti bahwa Fordism mengalami krisis. . Misalnya ketika pemerintah mengambil kebij
akan Reflationary untuk mencegah krisis balance of payment, kekuatan-kekuatan ek
onomi eksternal akan dengan sendirinya akan kembali memaksa pemerintah untuk kem
bali pada kebijakan deflationary. Kemunduran ekonomi ini menuntun terjadinya se
buah transisi, yang kemudian memunculkan sebuah era baru yang disebut dengan pos
t fordism.
Menurut Bob Jessop, seorang pemikir dari Departemen Sosiologi Lancaster Universi
ty, UK, ada tiga kekuatan utama yang mengendalikan kemunculan post fordism yakni
kemjuan teknologi, internasionalisasi dan peralihan paradigm fordism menuju pos
t fordism itu sendiri. Dengan demikian dapat dipahami bahwa kemunculan post for
dism atau krisis fordism tersebut terutama disebabkan oleh globalisasi dan kemaj
uan teknologi. Permasalahan berikutnya yang menjadi pertanyaan adalah mengapa pr
oses globalisasi dan kemajuan teknologi itu berimplikasi terhadap krisis ekonomi
dunia tahun awal tahun 1970-an. Untuk menjawab pertanyaan ini diperlukan sebua
h pemahaman teoritis. Seiring dnegan terjadinya krisis fordism, diantara para pe
mikir ekonomi politik terutama sosiologis telah terjadi perdebatan.
Menurut Mitchell Bernard Post fordism diasosiasikan dengan sejumlah perubahan st
ructural menuju organisasi produksi dan khususnya hubungan-hubungan sosialnya.
Sedikitnya ada tiga cara untuk untuk menginterpretasikan post fordism ini. Pert
ama dengan pendekatan liberal yang lebih berkosentrasi pada restrukturisasi peru
sahaan dan pemahaman terhadap fleksibelitas sebagai suatu strategi managerial. K
edua pendekatan sosiologis dan yang ketiga adalah dengan pendekan politik. Tulis
an ini lebih mengacu kepada pendekatan-pendekatan sosiologis, karena perdebatan
teoritis yang terjadi dalam kajian sosiologis dianggap lebih mampu menjelsakan k
risis fordism dari sudut pandang ekonomi atau liberal, sosial dan politik. Hall
mengartikulasikan masa post fordism sebagai :
A shift to the new ‘information technologies’; more flexible, decentralized form
s of labor process and work organization; decline of old manufacturing base and
the growth of the ‘sunrise’, computer based industries; the hiving off or contra
cting out of functions and services; a greater emphasis on choice and product d
ifferentiation, on marketing, packaging and design, on the targeting of consumer
s by lifestyle, taste, and culture rather than by categories of social class; a
decline in the proportion of the skilled, male, manual working class, the rise o
f the service and white-collar classes and the feminization of work force; an ec
onomy dominated by multinationals with their new international division of labou
r and their greater autonomy from nation state control; and the globalization of
the new financial markets, linked by communication revolution.
Post fordism tidak hanya melulu dengan term –term transformasi ekonomi, tetapi s
ecara luas juga diasosiasikan dengan perubahan-perubahan social dan budaya. Misa
lnya fragmentasi dan pluralism, melemahnya solidaritas sosial kolektif dan kelom
pok-kelompok indentitas, munculnya indentitas baru yang diasosiasikan dengan fle
ksibelitas kerja, maksimalisasi pilihan individu melalui konsumsi yang sifatnya
personal. Dalam banyak literature dan pemahaman, perselisihan dalam politik juga
menjadi inti dari perdebatan post fordism.
Perdebatan Teori Seputar Post Fordism
Perdebatan post fordism memusatkan perhatian pada hakikat dan arah dari perubaha
n atau transisi yang sedang berjalan. Teori-teori ini memperdebatkan mengenai t
ransisi dari satu fase dominan perkembangan kapitalis periode pasca perang menuj
u siklus tiga puluh atau lima puluh tahun pembangunan yang berdasarkan pada norm
a-norma ekonomi, politik dan social yang berbeda. Perdebatan ini juga untuk men
gidentifikasi kekuatan-kekuatan yang mengendalikan masing-masing fase sejarah da
n melalui proses ini dielaborasi bagaimana kekuatan-kekuatan tersebut menetapkan
paradigm atau system yang mampu menyelamatkan stabilitas ekonomi dalam jangka w
aktu relative panjang. Posisi-posisi yang berbeda dalam perdebatan tersebut masi
ng-maisng menerima bahwa sejarah mengalami periodesasi menjadi fase-fase yang be
rbeda, dipandu oleh suatu kerangka prinsip dominan yang koheren, namun memberika
n jalan menuju suatu periode ketidakpastian dan transisi dimana elemen-elemen da
ri suatu paradigm baru bisa berkembang dan matang.
Secara umum terdapat tiga posisi teoritis dalam inti perdebatan post fordism yak
ni, regulation approach yang dikembangkan berdasarkan persfektif neo marxist, fl
exible specialization approach yang dikembangkan berdasarkan persfektif neo-Smit
hian, dan neo-Schumpeterian approach. Ketiga pendekatan ini mengembangkan kerang
ka teoritis untuk menyokong dan menjelaskan klaim bahwa mass production (fordis
m) telah mendapat tantangan atau mengalami krisis. Masing-masing pendekatan juga
berupaya untuk meramalkan cara menuju serangkaian prinsip-prinsip organisasiona
l baru untuk menyelamatkan pertumbuhan ekonomi dalam jangka waktu yang relative
panjang dan berkelanjutan. Selain dari tiga di atas, juga muncul perdebatan-perd
ebatan lain yang pada dasarnya berupaya untuk menjelaskan kekuatan-kekuatan yang
mengendalikan transisi dari fordism menuju post fordism.
a. Regulation approach
Regulation approach pertamakali berkembang di Perancis pada tahun 1970-an, diman
a para pemikir ekonomi politik berupaya untuk menjelaskan dinamika siklus jangka
panjang dari perubahan dan stabilitas ekonomi. Pendekatan ini telah berdampak
sangat besar terhadap perkembangan dunia internasional dan juga telah muncul seb
agai suatu teorisasi mayor mengenai pola pertumbuhan ekonomi paska perang sampa
i tahun 1970-an dan krisis yang terjadi sesuadah itu. Tujuan awal dari para regu
lasionis Perancis ini adalah untuk mengembangkan suatu kerangka teoritis yang ma
mpu menjelaskan paradox yang terdapat dalam kapitalisme antara kecendrungannya y
ang inheren terhadap instabilitas, krisis dan perubahan dan kemampuannya untuk m
enyatukan dan menstabilkan institusi, aturan-aturan dan norma-norma yang digunak
an untuk menyelamatkan stabilitas ekonomi dalam periode yang relative lama. Upay
a konseptual ini didukung oleh suatu observasi terhadap stagnasi pertumbuhan eko
nomi dunia setelah pertengahan tahun 1970-an
Dalam rangka untuk menjelaskan dan mengartikulasikan koherensi sistemik masing-m
asing fase perkembangan kapitalis , teori regulasi mengemukakan dua konsep kunci
yakni ‘regime of accumulation’ and ‘mode of regulation’. Regime of accumulation
mengacu pada serangakaian peraturan-peraturan pada seluruh level ekonomi yang k
urang lebih memungkinkan terjadinya capital accumulation (akumulasi capital) (Ni
elsen, 1991). Dalam hal ini termasuk norma-norma organisasi produksi dan kerja
(proses tenaga kerja), hubungan-hubungan dan bentuk-bentuk perubahan antara caba
ng-cabang ekonomi, aturan umum industry dan managemen komersial, prinsip-prinsip
pendapatan yang terbagi atas upah, laba dan pajak, norma-norma komsumsi dan pol
a permintaan dalam pasar serta aspek-aspek makro ekonomi lainya yang kompleks
untuk menyelamatkan reproduksi kapitalis. Regulasi-regulasi tersebut terdiri da
ri aturan-aturan formal dan informal.
Pertumbuhan ekonomi yang cendrung menurun dan resesi yang berulang terjadi sejak
pertengahan tahun 1970-an dilihat dari sudut pandang regulation approach sebaga
i gejala-gejala krisis Fordism, didukung oleh ketidaksebandingan dan ketidakseim
bangan antara level-level organisasinya yang berbeda. Nielsen mengidentifikasi e
mpat faktor yang berkontribusi dengan signifikansi yang beragam dalam masing-mas
ing konteks nasional terhadap krisis struktural fordism yaitu :
• Pertama, produktivitas mengalami penuruanan sebagai hasil dari batas-bat
as sosial dan teknis fordism (para pekerja resisten terhadap organisasi kerja fo
rdism dan meningkatnya kesulitan-kesulitan dalam menyeimbangkan garis produksi y
ang lebih lama dan lebih kokoh)
• Kedua, ekspansi mass production menuntun peningkatan aliran globalisasi
ekonomi yang mana membuat managemen ekonomi nasional semakin sulit.
• Ketiga, Fordism menuntun peningkatan pengeluaran sosial ( biaya relatif
konsumsi kolektif meningkat, karena metode mass production tidak bisa diterapka
n di area ini, menuntun terjadinya inflasi dan konflik distribusi)
• Keempat, pola konsumsi secara bertahap berubah menuju suatu variasi peng
gunaan nilai yang lebih besar (permintaan-permintaan baru dihalangi oleh standar
disasi, skala ekonomi dasar, dan tidak bisa dengan mudah dipuaskan dengan metode
mass production) .
Kritikan-kritikan terhadap regulation approach ini bermunculan khususnya mengena
i penggunaan metode sejarah sistem untuk menjelaskan perkembangan ekonomi kapi
talis. ada level yang sangat sederhana pendekatan ini dianggap kurang konsiste
n dimana menggambarkan bahwa Fordism telah mengalami krisis, melalui pengakuan p
entingnya dalam ekonomi non-taylorist bentuk-bentuk organisasi kerja, proses pro
duksi non fordist dan kebijakan Negara non Keynesian. Banyak para pemikir yang m
e pertanyakan hubungan antara tipe ideal atau bentuk dominan fordism dan fordism
nasional yang berbeda-beda, dengan kritikan bahwa pengakuan terhadap keberagama
n nasional pada hakikatnya mendukung logika fordism dominan.
b. The Neo-Schumpeterian Approach
Pendekatan neo-schumpeterian ini sebenarnya memiliki banyak kesamaan dengan regu
lation approach. Pendekatan ini lebih banyak diasosiasikan dengan inovasi yang
dikembangkan oleh Freeman dan Perez pada tahun 1980-an. Perbedaan mendasar denga
n regulation approach adalah standar teknis dan teknologi yang mengawali dan men
dasari pembangunan ekonomi di masing-masing fase. Pendekatan ini mengacu pada pe
nelitian Kondrative pada tahun 1920-an mengenai periode panjang 50 tahun ‘boom
and bust’ dalam pembangunan ekonomi kapitalis dan kemudian hasil kerja Kondrati
ve ini lebih jauh dikembangkan oleh Schumpeter apada kahir tahun 1930-an melalui
penelitiannya mengenai peran pengusaha yang inovatif dalam melahirkan suatu pa
radigm teknis baru untuk pertumbuhan di masa depan. Selanjutnya berdasarkan hasi
l kerja kedua pemikir tersebut, Freeman dan Perez mengembangkan konsep-konsep m
engenai transisi, dimana kesuksesan transisi bergantung pada dua hal, pertama ‘q
uantum leap’ (lompatan quantum) dalam produktivitas industry yang akan dicapai
oleh yang pertama kali mengalami kemajuan dalam teknologi . Kedua, bergantung pa
da kesepadanan inovasi yang dibutuhkan dalam kerangka regulasi dan norma-norma s
ocial institusional, dengan tujuan untuk memfasilitasi penyebaran teknologi dan
inovasi tersebut.
Defenisi Inovasi dalam pendekatan ini tidak hanya secara sempit mengacu pada pro
ses industri baru atau produk-produk baru, melainkan juga meliputi bentuk-bentuk
organisasi dan managmen kerja baru, transpotasi baru, teknologi komunikasi baru
, lokasi geografi baru, dimana semua inovasi tersebut dikembangkan untuk mencapa
i kepuasan dan efesiensi. Dalam hal ini, Freeman dan Perez menekankan peran sen
tral dari carrier product or industrial sector’ yang bertindak sebagai input uta
ma system atau teknologi universal yang memperkuat efisiensi.
Neo Schumpeterian berargumen bahwa penurunan produktivitas merupakan konsekuensi
dari peningkatan upah, harga dan korporasi-korporasi besar yang tidak efisien.
Krisis juga disebabkan oleh ketidaksepadanan antara kemunculan paradigma techno-
economic yang mampu memperbaharui pertumbuhan, dan kerangka sosial institusional
. Menurut Freeman dan Perez, institusional legal dari paradigm yang terdahulu b
erubah sangat pelan, sehingga mencegah penyebarluasan diffuse keuntungan dari in
ovasi lintas ekonomi. Kelembaman ini tidak hanya diikuti oleh kegagalan kebijaka
n-kebijakan pemerintah neo liberal kontemporer untuk menyediakan suatu tindakan
kebijakan industri yang langsung dan terkoordinasi tetapi juga menimbulkan kesul
itan-kesulitan dan ketertinggalan dalam mengikuti perubahan radikal kebiasaan da
n norma sosial budaya institusi-institusi yang lebih luas. Misalnya, perilaku ma
nagemen dan tenaga kerja, hubungan-hubungan industry, harapan-harapan industry,
prioritas legislative dan politis, dan lain-lain.
Pendekatan ini juga menuai kritikan karena dianggap terlalu dideterminasi oleh t
eknologi. Teknologi lebih menginduksi perubahan (dalam produk, proses, system k
omunikasi) daripada perubahan sosial, organisasional atau pasar yang mungkin le
bih mempengaruhi efisiensi dan pertumbuhan.
c. The Flexible Specialization Approach
Pendekatan ini dikenal juga dengan ‘industrial divides’ yang merupakan hasil pem
ikiran Sosilog Amerika Charles Sabel dan Michael Piore. Pendekatan ini dikembang
kan dari konsep-konsep dasar pemikiran Adam Smith mengenai kekuatan-kekuatan unt
uk mengembangkan produktivitas yakni pertama “Productivity is an function of the
division of labor” ; dan kedua “the division of labor is limited by the extent
of the market” . Postulate Smith ini kemudian dikembangkan oleh Piore dan Sabel
dengan asumsi bahwa progress ekonomi merupakan persoalan ‘expanding market and d
ividing labour’. Perluasan pasar dan pembagian tenaga kerja akan menuntun kelah
iran inovasi-inovasi dalam industry kapitalis. Pendekatan ini memang memiliki ke
miripan dengan pendekatan neo Schumpeterian namun Piore dan Sabel menganalisis k
iris ekonomi tahun 1970-an yang kemudian menuntun terjadinya transisi dari fordi
sm menuju post fordism berhubungan dengan kecendrungan berkembangnya dua hal, pe
rtama perubahan dalam pasar. Perubahan pasar yang ditandai dengan stagnasi permi
ntaan karena resesi yang panjang, pertumbuhan ketidakpastian permintaan sampai p
ada kemunculan mekanisme regulasi internasional seperti Bretton Woods. Kecendrun
gan perubahan pasar ini menuntut adanya spesialisasi yang flexible dalam proses
produksi. Kedua adalah perkembangan teknologi dan praktek-praktek kerja yang fle
ksibel. Implikasi dari kecedrungan ini adalah peralihan paradigm industry untuk
menghasilkan produksi yang lebih spesifik.
Secara sederhana hubungan antara kecendrungan pasar dengan pembagian tenaga kerj
asa sebagai berikut; pembagian tenaga kerja (division of labor) merupakan gambar
an dari jumlah item-item yang akan diproduksi dan yang akan dijual. Jika pasar u
ntuk suatu item yang diproduksi kecil, kesempatan untuk memperluas pembagian ker
ja semakin berkurang; jika pasar luas maka kesempatan untuk melakukan pembagian
kerja semakin besar. Ukuran pasar yang optimal akan memungkinkan masing-masing p
ekerja untuk menjadi karyawan penuh dengan menjalankan satu tigas tunggal. Pada
potulat yang kedua, dimana pembagian tenaga kerja dibatasi oleh luasnya pasar, m
aka Piore berupaya untuk membangun gambaran yang mempengaruhi pasar pada pembagi
an tenaga kerja dengan menambahkan factor-faktor yang mempengaruhi perluasan ter
sebut yakni :
1. Standardisasi Output
2. Stabilitas permintaan pasar
3. Ketidakpastian permintaan pasar
Untuk menciptakan output produksi yang standar serta memenuhi permintaan pasar,
diperlukan suatu spesialisasi produksi. Piore dan Sabel selanjutnya melihat bahw
a diperlukanya suatu konstelasi pembentukan basis paradigm teknologi produksi ba
ru yang mengacu pada ‘ flexible spesialization’ dengan tujuan untuk menciptkan d
unia kerja yang lebih efisien dan humanis. Hanya dengan suatu periode yang penuh
kompetisi teknologi mampu memutuskan paradigm mana yang akan membentuk masa dep
an produksi kapitalis. Lintasan teknologi ini pada mulanya merupakan investasi-i
nvestasi infrastructural yang kemudian terus dn terus berkembang membangun efis
iensi.
Pendekatan ini kemudian dikritik oleh sejumlah argumen yang salah satuny
a menyatakan bahwa teori ini dikonstruksi oleh dua hal yang saling berlawanan ya
kni mass production versus flexible specialization yang lebih mempersempit parad
igma industry yang telah berkembang secara luas. Kritikan lain berargumen pendek
atan ini memiliki kecendrungan mudah tergelincir antara logika voluntarism dan h
istorical dalam menjelaskan perbedaan-perbedaan paradigm industry. Flexible Spec
ialization selanjutnya hanya akan dianggap sebagai salah satu dari banyak kemung
kinan dunia-dunia produktif yang mampu mendukung mass production fordism. Disamp
ing itu, Piore dan Sabel sendiri menyadari bahwa kekuatan-kekuatan politik dan p
raktek-praktek kekuatan ekonomi yang menyatakan bahwa teknologi harus diikuti; b
ukan lahir dari kompetisi-kompetisi paradigm teknologi. Kekuatan politik yang pa
ling kuat sekalipun dalam analisis mereka dalam periode tyransisi cendrung akan
dierosi oleh kekuatan-kekuatan pasardan praktek kekuatan ekonomi yang plaiang me
nentukan adalah kekuatan pasar (market power)
Perdebatan pendekatan diatas mengantarkan pada sebuah pemahaman bahwa pr
oses globalisasi dan kemajuan teknologi yang berkembang seiring dengan pertumbuh
an ekonomi yang dibangun oleh pondasi fordism telah mengakibatkan krisis pada fo
rdism itu sendiri. Masyarakat dunia sangat dinamis dan transisi atau pun transfo
rmasi merupakan suatu hal yang niscaya terjadi. Perkembangan post fordism memban
gun terbentuknya suatu design makroekonomi baru, organisasi industry geografis d
an sosial baru, gaya hidup baru masyarakat dunia serta yang paling penting bagi
para penstudi ilmu hubungan internasional adalah post fordism melahirkan tantang
an baru bagi peran Negara. Ketiga perdebatan pendekatan diatas, hanya persfektif
Marxist dengan regulation approach-nya yang masih mengutamakan pengaturan Negar
a dalam proses produksi dan kegiatan ekonomi.
Perkembangan Kapitalis Post Fordism
Krisis ekonomi tahun 1970-an telah menuntun terjadinya transisi dari satu fase
model pembangunan kapitalis yang berbeda menuju fase pembangunan kapitalis baru.
Ernest Strenberg mencatat sedikitnya delapan era baru yang berpontensi untuk b
erkembang. Pertama, the information age, yang akan mengendalikan kekayaan melal
aui praktek-pratek ilmu pengetahuan, perdagangan dalam aktivitas informasi dan p
otensi bagi teknologi informasi. Kedua adalah the age of post modernity, yang ak
an memperluas pola konsumerisme terhadap seluruh area-area kehidupan pribadi dan
sosial, termasuk estetika, seni, rekreasi dan kesenangan. Ketiga, the age of gl
obal interdependence. Era ini berkaitan dengan globalisasi produksi, keuangan, d
istribusi dan perdagangan dalam ekonomi kontemporer. Era yang keempat cendrung d
iidentifikasi sebagai New Mercantilism. Sternberg mendeskripsikannya sebagai sua
tu era dimana koalisi nasional (industry-government-labour) akan berusaha untuk
mengembangkan strategi keunggulan teknologi sebagai basis dari kemakmuran nasion
al. Kelima adalah a new age of corporate control, dimana korporasi global dan ba
nk-bank global akan memperaktekkan kekuasaan systemic terhadap pasar, perusahaan
-perusahaan dan negara. Di samping itu juga akan membentuk ploa konsumsi disetia
p sudut dunia ini dan mengendalikan kehidupan kelas-kelas eksekutif dan para pr
ofessional global dalam suatu lokasi tertentu (in select world cities). Keenam
adalah the age of Flexible specialization, yang dicirikan dengan prinsip-prinsip
baru produksi, termasuk unit-unit produksi khusus, desentralisasi managemen, te
knologi serbaga guna dan angkatan tenaga kerja yang multi skill untuk memuaskan
pasar-pasar yang bersifat volatile (mudah untuk berubah). Ketujuh adalah the age
of social movement. Pergerakan sosial ini bekerja untuk meng-humanize kapitalis
me baru dan untuk menegosiasikan suatu ‘social economy’ yang memungkinkan dipert
imbangkannya ha-hak minoritas dan perempuan dan juga menjamin kelestarian lingk
ungan, kemanan ekonomi dan jaminan terhadap pemenuhuan kebutuhan dasar manusia.
Pergerakan social dalam era ini berbeda dengan pergerakan social di masa yang s
ebelumnya yang bersifat anti kapitalis dan dan lebih di dominasi oleh kelas. Era
kedelapan dididentifikasi oleh Sternberg sebagai kemunculan the age of fundame
ntalist rejection yakni penolakan para kaum fundamentalis terhadap teknorasi dan
konsumerisme dari the new information age dalam mempertahankan indetitas nasion
al dan etnik yang berakar pada nilai-nilai, tradisi dan agama.
Era-era yang dikemukakan oleh Sternberg di atas tengah berlangsung dewasa ini. P
roses globalisasi yang dipercepat dengan kemajuan teknologi informasi tidak dapa
t dihindari. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi melahirkan era digitali
sasi yang akan berpengaruh terhadap kegiatan perdagangan dan aktivitas ekonomi l
intas Negara.Era digitalisasi memungkin terjadinya perluasan pasar secara cepat
dan efisien. Pemasaran produk-produk dewasa ini antar lintas batas Negara bisa d
ilakukan memalui internet, begitu juga dengan lalu lintas perdagangan mata uang.
Kapitalisme telah bertransisi dan mencari model baru untuk terus berkembang.
Dalam era post fordism proses produksi dilakukan berdasarkan flexible machine or
system dan Appropriately Flexible Workforce . Hal ini mengandung pengertian ba
hwa akan terjadi pengurangan tenaga kerja dan spesialisasi, oleh karena itu yang
akan dibutuhkan adalah tenaga kerja yang memiliki keanhlian khusus, bukan semi
skilled sperti hal pada masa fordism. Konsekuensinya adalah munculnya bentuk bar
u dari Negara. Menurut B. Jessop, secara perlahan akam muncul dari proses ini su
atu transformasi structural dan reorientasi strategic yang fundamental dari Nega
ra kapitalis yang dikenal dengan The Schumpeterian workfare state. Berbeda deng
an Keynesian Welfare State, The Schumpeterian workfare state akan melakukan pemo
tongan jumlah tenaga kerja domestic untuk mendorong daya saing internasional.
Kesimpulan
Post fordism merupakan era yang membutuhkan keahlian dan inovasi untuk dapat mem
pertahankan pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Transisi dari fordism menuju pos
t fordism menunjukkan seakan menunjukkan bahwa, pasar yang paling menentukan pe
rtumbuhan eknomi. Kemajuan teknologi informasi mempercepat terjadinya arus globa
lisasi. Dalam proses ini Negara seharusnya merestrukturisasi perannya agar tida
k kehilangan kedaulatan dan tetap mampu mengontrol lalu lintas ekonomi. Proses t
ransisi ini akan terus berlangsung dan mempengaruhi seluruh aspek kehidupan manu
sia termasuk, nilai-nilai dan norma-norma yang dianut.
Referensi
1. Ash Amin (eds), Post fordism ; A Reader, (Oxford UK: Blackwell, 1995)
2. Mitchell Bernard, Post-Fordism and Global Restructuring, dalam Stubbs,
Richard and Geoffrey R.D. UnderHills (eds), Political Economy and The changing G
lobal Order (Second Edition), (Oxford : Oxford University Press, 2000)
3. A. Amsden. Third World Industrialization: ‘Global Fordism or A New Model
’. Dalam Corbridge, Stuart (ed) Development Critical Concept in The Social Scien
ce; The Great Transformation (Part two). (London: Rouledge, 2000)
4. Bob Jessop, Post Fordism And State,
http://www2.cddc.vt.edu/digitalfordism/fordism_materials/jessop.htm
5. Fordism in Crisis, http://www.willamette.edu/~fthompso/MgmtCon/Fordism_i
n_Crisis.html
Mark Rupert. Crisis of Fordism.
http://www2.cddc.vt.edu/digitalfordism/fordism_materials/rupert.htm

You might also like