You are on page 1of 9

Bait-Bait Aku, Ayah, dan Dudayev

Dipublikasi pada Kamis, 26 Februari 2004 oleh aharis


Kuraba pinggangku. Tambang untuk mendaki erat berada di sana. Ups, beban
yang kubawa berat juga. Gandum masak, air minum dan beberapa potong
pakaian dalam ransel. Kubuka jilbab yang kupakai. Entah mengapa aku merasa
kurang leluasa dengan jilbab ini.
---------Bait-Bait Aku, Ayah, dan Dudayev
Oleh: Helvy Tiana Rosa
Kuraba pinggangku. Tambang untuk mendaki erat berada di sana. Ups, beban
yang kubawa berat juga. Gandum masak, air minum dan beberapa potong
pakaian dalam ransel. Kubuka jilbab yang kupakai. Entah mengapa aku merasa
kurang leluasa dengan jilbab ini.
Uh, susah payah aku mendaki. Beberapa kali hampir terpeleset. Sempat
kusaksikan pula pesawat pembom SU-24 milik Rusia
melayang-layang di atas desa-desa, membombardir, memusnahkan semua!
Sejenak kupejamkan mata..., ba**ngan! Gigi-gigiku beradu keras! Baru saja
kepalaku muncul dari bawah tebing....
Vakha!
Assalaamu'alaikum, ayah!
Ayah menjawab salamku dengan keras.
Mengapa kau lagi yang mengantar perbekalan ke mari? Aku kan sudah
melarangmu! Mengapa bukan orang yang kukirim untuk turun gunung?! Mana
Abbas?! berondong beliau.
Kita sudah sepakat, Vakha Bolsov, tidak ada naik gunung lagi! Jaga ibumu di
rumah! Hei, mana jilbabmu??
Ayah membiarkanku naik ke atas sendiri. Yakin tak ada yang mengikutimu?
Aku menggeleng. Abbas syahid, ayah! Bom jarum Rusia mengenainya. Aku
mengenali mayatnya tergeletak tak jauh dari rumah
kita.

Ayah tersentak sejenak. Innalillahi..., lirihnya.


Tetapi...,Tidak ada naik gunung lagi, Vakha! Ini yang terakhir! Apa kau tak
malu, tak ada wanita di sini! kata ayah dengan nada gemas.
Pakai jilbabmu! bentak beliau. Beberapa anggota pasukan melihat ke arah
kami. Aku menunduk sambil memasang jilbab kusamku.
Ada apa, Zakaria? suara yang penuh kesejukan menyapa ayah.
Bapak Presiden, maafkan saya! Ini makanannya sudah datang!
Presiden? Jendral Dudayev? Ah, sudah lama aku ingin berbincang-bincang
dengannya! Pak Presiden yang tegar dan gagah, aku sangat mengaguminya!
Dan..., ya ampun, ia juga cuma makan gandum?
Istirahat sebentar di ujung sana, setelah itu pulang! tegas ayah.
Tapi...ayah ...,
Masya Allah, anakmu seorang muslimah! Jendral Dudayev tertawa.
Setelah menjaga jarak ia menegurku dengan santun, Siapa namamu?
Vakha Bolsov, Jendral!
Kau pandai mendaki tebing. Kau sangat berani!
Ayahku yang mengajari sejak aku kecil. Aku adalah anak satu-satunya. Aku
suka bila ikut bertempur dan tidak hanya
memasak....
Vakha!
Biarkan, Zakaria, Jendral Dudayev membetulkan letak papakha yang
dipakainya.
Berapa umurmu?
Delapan belas tahun!
Insya Allah kita akan bentuk pasukan khusus wanita. Ada Bano Halimova,
Khadijah dan Alleva istriku..., mau bergabung?

Aku mengangguk cepat dengan mata berbinar.


***
Itulah awal pertemuanku dengan Presiden Dudayev, Juni 1994. Tak lama setelah
itu situasi kian genting hingga ayah ditarik menjadi komandan tempur di
Grozny. Hampir bersamaan dengan itu, ibu meninggal terkena bom jarum Rusia.
Bom jenis ini meledak di udara dan menebarkan besi-besi kecil runcing
semacam paku, dengan radiasi beberapa ratus meter. Paku-paku bersuhu panas
itu turun dengan kecepatan tinggi. Bahkan atap rumah kami dapat
ditembusnya! Saat itu aku menangis melihat tubuh beliau yang tampak
mengenaskan karena tersayat-sayat dan tercerai berai.
Aku akan mengenangmu dengan terus berjuang, bu..., mataku membengkak
dan aku menggigil sepanjang malam sejak kematian ibu. Tetapi tiap pagi, aku
naik ke atas bukit, berlatih melempar pisau ke sebuah batang pohon dan
membayangkan wajah-wajah pasukan Rusia yang selalu tertawa dan
menyeringai seram itu, menjadi sepucat lilin di musim dingin, saat pisaupisauku melukai mereka.
Beberapa hari dalam duka, sebuah helikopter menjemputku untuk menemui
ayah.
Presiden memintamu menghadap ke istana kepresidenan, ujar ayah sambil
memelukku.
Aku terkejut!
Pasukan khusus wanita akan dibentuk, beliau membutuhkan bantuanmu. Ayah
sudah menceritakan semua. Bahwa kau mahir memanjat, bela diri, bergerilya
hit and run dan berpisau. Beliau sangat menghargainya.
Ayah sudah tahu tentang... ibu? tanyaku hati-hati.
Ayah mengangguk sambil menarik napas panjang. Syahidah, gumamnya pelan
dengan suara bergetar.
Bidadariku dalam jannah,
Matahari membuat air yang jatuh satu-satu di pipinya bercahaya. Aku dan ayah
berpelukan erat sekali lagi dan memberi ruang untuk ibu di antara dekapan
kami. Semangat perempuan tabah itu tak pernah meninggalkan kami dan
Chechnya.
***

Tiada kusangka aku bisa masuk ke istana kepresidenan. Dan ketika aku
ditemani ayah masuk ke ruangan presiden, yang pertama kali tertangkap oleh
mataku adalah suasana keislaman yang kental. Hampir di tiap dinding terdapat
kaligrafi, bahkan di atas foto Dudayev terdapat ayat Al Quran.
Ternyata langkah awal yang diinstruksikan Presiden Dudayev adalah agar aku
melatih para muslimah sekitar Grozny untuk menghadapi serangan besarbesaran Rusia. Sementara Bano Halimova dan Ukhti Khadijah, tokoh muslimah
Chechnya yang juga kukagumi karena kehebatannya tersebut ditugaskan ke
daerah lain.
Bentuk pasukan khusus wanita setelah kau melihat kemampuan para muslimah
Grozny. Tidak usah terlalu banyak orang, yang penting handal.
Aku mengangguk.
Ingatkan juga mereka, di atas segalanya, iman adalah senjata sekaligus
kekuatan utama kita! kata beliau tegas.
Selamat berjuang, Vakha!
***
November 1994, pasukan pemberontak dukungan Moskwa menyerbu Grozny dan
beberapa wilayah lain. Rupanya Rusia berupaya memecah belah. Tetapi
skenario yang disusun untuk menggulingkan Dudayev ini gagal. Rusia lupa,
rakyat Chechnya hanya berjumlah 1,2 juta jiwa dan 700.000 di antaranya
mengangkat senjata bersama Dudayev, termasuk aku!
Desember, 1994, Rusia kian menggila. Tank-tank, pesawat dan jet tempur serta
bom-bom pembunuh Rusia kian mendekati Grozny. Ayah dan aku terlibat
pertempuran panas di perbatasan Grozny. Kini tak jauh di hadapanku kulihat
tubuh ayah telah bersimbah darah. Tetapi ia tetap kokoh berdiri, bergerak ke
sana-ke mari menghajar musuh.
Vakhaaaaa! Habisi mereka!! seru beliau.
Ayah, bertahanlah! Aku akan melindungimu! teriakku.
Allaaaahu akbarr!!
Ayah tertawa. Orang-orang Kaukasus telah muslim sejak masa Umar bin
Khatab! Vakha, sekali lagi...takbiiiir!!
Allaaaahu Akbar! Allaaahu Akbar!! teriakku sekuat tenaga.

Ayah tertawa-tawa. Vakha, hit and run!


Aku melemparkan dua granat tangan ke arah tank Rusia, ayah juga. Kemudian
kami berlari sekencang-kencangnya! Tetapi ayah mulai tampak lemah...,
semakin melemah....
Ayaaaah!
Sebuah bom menuju ke arah kami. Di tengah hingar-bingar peperangan dan
pecahan-pecahan tubuh manusia, kudengar ayah berteriak parau,
Va...kha..., ayah melepaskan tanganku. Lari! La...ri..., nak...,
Airmataku berderai. Samar-samar kulihat senyum tipis ayah sebelum bom bom
itu meledak di dekat kami! Aku melompat beberapa kali di udara! Tanah di
sekitar amblas! Bom penetrasi! Allah, jasad ayahku kini amblas ke bawah
tanah!
Seperti saat ibu pergi, pedih sekali lagi mencabik-cabik diri ini. Bumiku pecah
terburai. Aku terhuyung, serasa melayang. Di mana bumi? Tubuhku mengawang.
Srigala Hitam! Ayah! Sekelebat kutangkap tatap mata ayah setajam belati. Lalu
bau wangi.
To...long....
Aku terperangah. Masih dengan linangan air mata kuseret kakiku satu-satu ke
arah datangnya suara.
Aku Ovald..., sampaikan apda...ayah...ku...aku per...gi ke...la...ngit...,
seorang pemuda berwajah pias dengan luka tembakan di sekujur tubuh,
memohon padaku.
Siapa ayahmu? Siapa?
Du...da...yev....
***
Semakin mengenalnya, aku semakin salut pada Presiden Dudayev.
Hal yang paling saya sedihkan adalah meninggalnya ribuan penduduk sipil,
meski saya terpukul dengan kematian Ovald. Maka perjuangan fisabilillah tak
akan berhenti sampai kita merdeka atau syahid, katanya suatu ketika di
hadapan para anggota pasukan.
Kenyataan sejarah menunjukkan bahwa kemerdekaan tak pernah dihadiahkan
oleh penjajah, tetapi harus direbut! tegasnya lagi.

Jendral Dudayev membaca sebuah ayat Al Quranul Karim tentang jihad. Fasih
dan langsung diartikannya. Aku ingat, ayah pernah mengatakan bahwa Presiden
Jauhar Dudayev memang pandai berbahasa Arab dan pernah ke Al Azhar
sebelum masuk dinas militer Uni Sovyet. Aku juga melihat kebanyakan yang
dekat dengannya adalah ulama-ulama Chechnya!
***
15 Februari, 1996, pagi itu pecah pertempuran besar. Pasukan muslimin yang
langsung di bawah komando Jendral Dudayev terdesak mundur.
Vakha, bawa keluar segera wanita dan anak-anak dari Grozny!
Siap, Jendral! sahutku.
Aku berusaha memobilisir wanita, anak-anak dan lansia bergerak melalui jalan
lain yang lebih aman. Tetapi seluruh Grozny tampaknya telah terkepung!
Maka terjadi pertempuran di jalan-jalan. Penduduk sipil akhirnya menjadi
bulan-bulanan mortir dan bom Rusia! Tetapi banyak juga di antara mereka yang
bangkit melawan dengan gagah. Bahkan aku melihat anak-anak dan para lansia
tak mau ketinggalan!
Sasaran utama Rusia di antaranya sumur-sumur, kilang minyak, pabrik-pabrik
kimia dan rumah sakit. Juga...istana presiden! Suara bom, mortir, tembakan
dan roket berbalur jerit tangis dan pekik ribuan manusia! Aku sangat
mengkhawatirkan keselamatan Jendral Dudayev!
Sementara kulihat Grozny nyaris rata dengan tanah! Mayat-mayat
bergelimpangan tanpa bentuk di sepanjang jalan. Jilbab pendekku penuh
cipratan darah!
Istana kepresidenan di tangan Rusia!
***
Aku selalu memikirkan keadaan Jendral. Komandan tempur Shamil Basayev
mengatakan beliau baik-baik saja. Aku tetap cemas. Begitulah, hingga tiba
tanggal 5 Maret. Menurut rencana esok hari kami akan memasuki Grozny.
Semua pasukan terlibat, termasuk pasukan khusus wanitaku yang disamping
turut bertempur, juga bertanggung jawab untuk masalah perbekalan makanan
dan minuman.
Komandan Vakha!

Aku menoleh. Komandan Aslan Maskadov masuk dan memberikan sepucuk surat
untukku tanpa bicara apa pun. Tergesa-gesa kubuka surat itu dan seperti tak
percaya aku mulai membacanya....
Kepada Saudaraku fillah Vakha Bolsov di bumi jihad, segala puji hanya pada
Allah dan shalawat bagi Rasulullah. Pupuk terus semangat perjuangan. Dengan
iman di dada dan perencanaan yang matang, segala senjata Rusia tak kan
berarti apa-apa. Dan masa depan hanyalah milik kaum beriman. Teguhlah!
wassalam, Dudayev
***
Keesokan harinya kami menyerang Grozny. Ternyata pasukan Rusia tampak siap
menghadapi serangan. Tetapi tanpa kenal henti berhari-hari kami bertempur di
jalan-jalan Grozny. Ratusan orang tewas. Rusia mengalami kerugian teramat
besar walau pada akhirnya Grozny belum mampu kami rebut kembali! Tak lama
setelah itu Shamil Basayev memerintahkanku untuk pindah ke daerah Ita-kam,
meneruskan latihan dan membantu menegarkan kaum wanita di sana.
***
23 April 1996 memang hari yang tak akan pernah bisa kulupakan.
Bersiap-siaplah Vakha! Kau dan wakilmu Sayyida akan dikawal menuju GekhiChu. Kita akan merundingkan strategi nasional di sana, suara Basayev tegas
terdengar.
Aku segera bersiap-siap. Daerah Gekhi-Chu berada sekitar 30 km sebelah barat
daya Grozny. Jalan ke sana amat berat. Selain itu, bisa jadi senja ini pasukan
Rusia berjaga-jaga di sekitar daerah itu. Tetapi dugaanku keliru. Tak ada
rintangan di jalan. Bahkan jalan-jalan yang kami lewati begitu lengang bagai
mati. Hanya terdengar hembusan angin kencang dan lolongan anjing-anjing liar.
Assalaamu'alaikum, sebuah suara sejuk menyapa rombongan kami.
Jendral! aku terkejut sekaligus gembira.
Vakha! Dan...Sayyida, bukan? Anak Komandan Vladimir? Mari masuk, tempat
wanita di sebelah sana, ujar beliau ramah pada kami semua.
Subhanallah, inilah presiden kami. Begitu saleh, merakyat dan sangat
bersahaja! Ba-yangkan, beliau juga tak pernah melupakan nama siapa pun yang
pernah dikenalnya. Luar biasa.
Usai maghrib, sekitar dua jam beliau memberi pengarahan untuk strategi
nasional Chechnya. Memang kuakui, mantan panglima divisi pembom strategis

Angkatan Udara Uni Sovyet dan bekas direktur intelejen di Estonia ini sangat
cerdas dan cermat dalam mengambil langkah-langkah perjuangan.
Jadi semua jelas. Berangkatlah. Oh ya, Vakha, bagaimana dengan laporan
adanya pembantaian dan perkosaan di desa-desa?
Memprihatinkan, Jendral! Rusia biadab itu tak ada bedanya dengan anjinganjing Serbia! Laporan tertulis telah saya sampaikan pada Komandan Basayev.
Dudayev mengepalkan kedua tangannya. Wajahnya keruh sesaat. Kudengar ia
menyebut-nyebut nama mentri pertahanan Rusia, Pavel Grachev, apa yang kau
arahkan pada pasukanmu? Ya Allah, beri kami semangat jihad dan kesabaran. Ya
Allah, jangan tinggalkan kami. Ya Allah....
Untuk pertamakalinya kulihat Jendral Dudayev menangis. Tetapi pemimpin
pantang menyerah ini kemudian dengan tetap semangat memberikan
pengarahan kembali.
Agar tak menarik perhatian Rusia atau siapa pun, selesai pengarahan kami
semua harus pergi segera dari Gekhi-Chu kembali ke pos masing-masing, begitu
perintah Jendral Dudayev. Sebenarnya berat bagi kami semua berpisah dengan
Jendral. Biar bagaimana pun beliau adalah orang nomor satu yang dicari Rusia!
Bahkan aku pun ingin melindunginya semampuku. Namun kami harus pergi. Dan
ini perintah!
Rombongan kami sudah cukup jauh, ketika tiba-tiba terdengar ledakan yang
sangat keras!! Jantungku nyaris berhenti!
Kulihat roket-roket beterbangan, percikan api dan kepulan asap yang menebal
dari arah persembunyian Jendral Dudayev! Kami semua keluar dari kendaraan,
masuk ke semak-semak dan tiarap!
Gekhi Chu! Presiden! teriakku sambil berusaha menahan airmata.
Kita harus kembali!! Jendral di sana!!! kataku histeris.
Tak ada yang berusaha kembali. Tak ada yang menenangkanku. Tak ada yang
melakukan apa-apa. Semua terperangah. Sekuat tenaga aku berusaha kembali
ke Gekhi-Chu. Kakiku lemas. Aku terjerembab!
Presiden, pe...mim...pin...kami....
***
Innalillahi, beliau telah pergi bersama dua ratus syuhada lainnya. Tetapi ruh
jihad Jendral akan selalu bersama kita, ujar Yandarbiyev. Aku baru kali ini

bertemu dengan wakil presiden ini, karena ia sering sekali ke luar daerah. Dan
kini ia ditunjuk sebagai pejabat presiden.
Dan kita tak akan berhenti berjuang, karena dengan iman segala senjata Rusia
tak berarti apa-apa. Masa depan hanyalah milik orang beriman, ujarku tegas.
Siapa anda? Anda benar! Itu adalah kata yang selalu diucapkan almarhum!
seru Yandarbiyev.
Keningnya berkerut sesaat. Anda...Va...kha?
Aku menangis. Diam-diam. Perjuangan harus terus berlanjut walau orang keras
itu telah pergi selamanya. Tidak ada kekuatan di dunia ini yang bisa
mengalahkan aspek ritual kaum muslimin, suaranya seperti kudengar lagi, di
antara deru angin dan senjata di pegunungan Kaukasus. Islam akan menjadi
landasan negri ini, seakan kutangkap bayangannya di hutan-hutan
Chechnya....
Aku masih menangis diam-diam..., saat mengenangnya.

You might also like