You are on page 1of 10

BAB 1

PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG
Gangguan jiwa merupakan masalah yang serius dan penting, karena
menyangkut individu dan dapat merugikan baik untuk klien itu sendiri, keluarga,
masyarakat, bahkan bisa sampai pemerintah. Fenomena yang terjadi dan berkembang
di Indonesia diantaranya adalah tingginya atau semakin bertambahnya klien dengan
gangguan jiwa. Hal ini terjadi karena dampak dari krisis ekonomi yang
berkepanjangan. Pada tahun 1955 di Indonesia didapatkan banyak yang mengalami
gangguan jiwa, jumlahnya yaitu dari 1000 anggota rumah tangga terdapat 246
anggota rumah tangga yang mengalami gangguan jiwa. Menurut Prof. Dr. Azrul
Anwar

masalah

kesehatan

mental

yang

dialami

meliputi

depresi,

stress,

penyalahgunaan obat, sampai skizofrenia.


Kesehatan jiwa merupakan salah satu dari empat masalah kesehatan utama di
negara-negara maju. Meskipun masalah kesehatan jiwa tidak dianggap sebagai
gangguan yang menyebabkan kematian secara langsung, namun gangguan tersebut
dapat menimbulkan ketidakmampuan individu dalam berkarya serta ketidaktepatan
individu dalam berperilaku yang dapat mengganggu kelompok dan masyarakat serta
dapat menghambat pembangunan karena mereka tidak produktif.
Halusinasi adalah perasaan dimana seseorang memprosesikan sesuatu yang
sebenarnya tidak ada. Halusinasi bisa terjadi pada kelima panca indra manusia, namun
yang paling sering ditemui dan yang sering muncul adalah halusinasi pendengaran.
Gejala yang bisa muncul pada halusinasi yaitu: berbicara sendiri, sibuk dengan
dirinya sendiri, menarik diri, perawatan diri kurang, dan bisa terjadi marah-marah.
Dengan adanya tanda-tanda diatas dapat memberikan dampak gangguan jiwa lebih
lanjut, seperti perilaku kekerasan, resiko mencederai diri sendiri dan orang lain.
Pada penderita gangguan persepsi halusinasi, apabila tidak mendapatkan
pengawasan dan perawatan secara kontinyu akan membahayakan diri ataupun orang
lain, misalnya membenturkan diri ketembok, mengamuk karena yang berhalusinasi itu
dianggap realita oleh pasien, sehingga tidak jarang ia menolak kenyataannya realitas
yang ada disekitarnya.

Salah satu masalah kesehatan jiwa yang sering terjadi dan menimbulkan
hendaya yang cukup adalah skizofrenia. Skizofrenia merupakan salah satu gangguan
jiwa yang sering ditunjukkan oleh adanya gejala positif, diantaranya halusinasi.
Halusinasi merupakan persepsi klien terhadap lingkungan tanpa adanya stimulus yang
nyata atau klien menginterpretasikan sesuatu yang nyata tanpa adanya stimulus atau
rangsangan dari luar. Penanganan atau perawatan intensif perlu diberikan agar klien
skizofrenia dengan halusinasi tidak melakukan tindakan yang dapat membahayakan
dirinya sendiri, orang lain dan lingkungan.
Halusinasi merupakan gejala yang paling sering muncul pada klien
skizofrenia, dimana sekitar 70% dari penderita skizofrenia mengalami halusinasi.
Perilaku individu yang mengekspresikan adanya halusinasi adalah tidak
akuratnya interpretasi stimulus lingkungan atau perubahan negatif dalam jumlah atau
pola stimulus yang datang, disorientasi waktu dan tempat, disorientasi mengenai
orang, perubahan kemampuan kemampuan memecahkan masalah, perubahan perilaku
atau pola komunikasi, kegelisahan, ketakutan, ansietas dan peka rangsang. Menurut
Stuart dan Sundeen (1998, p.328) seseorang dengan halusinasi mengalami kecemasan
dari kecemasan sedang sampai panik tergantung dari tahap halusinasi yang dalaminya.
Hal inilah yang dapat menyebabkan dampak negatif dari halusinasi yaitu dapat
mencederai diri, orang lain dan dapat merusak lingkungan.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Defenisi
2

Halusinasi adalah persepsi sensorik palsu yang tidak dikaitkan dengan


stimulus eksternal yang nyata, mungkin terdapat interpretasi berupa waham atas
pengalaman halusinasi tersebut namun mungkin pula tidak.1
Halusinasi adalah persepsi sensorik yang salah tanpa adanya rangsang
eksternal yang nyata.4
Masalah halusinasi dianggap terkait dengan ruang objektif dan mempunyai
kualitas realistik yang sama dengan persepsi normal. Halusinasi tidak dipengaruhi
manipulasi sadar dan hanya menunjukkan gangguan psikotik bila disertai juga oleh
gangguan uji realitas.4
2.2 Jenis-jenis
1. Halusinasi hipnagogik: persepsi palsu yang terjadi saat akan jatuh tertidur,
umumnya dianggap sebagai fenomena yang tidak patologis.
2. Halusinasi hipnopompik: persepsi palsu yang terjadi saat bangun dari tidur,
biasanya dianggap tidak patologis.
3. Halusinasi auditorik: persepsi palsu akan bunyi, biasanya berupa suara-suara
namun dapat pula berupa bunyi-bunyian lain, contohnya musik, merupakan halusinasi
yang paling sering ditemukan pada gangguan psikiatrik.
4. Halusinasi visual: persepsi palsu yang melibatkan penglihatan baik suatu citra yang
berbentuk (misalnya, orang) dan citra yang tak berbentuk (misalnya, cahaya),
paling sering ditemukan pada gangguan berupa gangguan medis.
5. Halusinasi olfaktorik: persepsi palsu akan bau, paling sering ditemukan pada
gangguan medis.
6. Halusinasi gustatorik: persepsi palsu akan rasa, misalnya rasa yang tidak enak,
disebabkan oleh kejang unsinatus, paling sering terjadi pada gangguan medis.
7. Halusinasi taktil (haptik): persepsi palsu akan sentuhan atau sensai permukaan,
contohnya pada ekstremitas yang diamputasi )phantomlimb), sensasi merayap pada
atau di bawah kulit.
8. Halusinasi somatik: sensasi palsu akan adanya sesuatu yang terjadi pada atau
ditujukan ke tubuhnya, paling sering berasal dari visea ( disebut juga halusinasi
senestetik ).
9. Halusinasi liliput: persepsi palsu bahwa ukuran obyek terlihat mengecil ( disebut
juga mikropsia ).
10. Halusinasi yang kongruen-mood: halusinasi yang isinya konsisten dengan mood
depresif atau manik (contohnya, pasien mendengar suara yang mengatakan bahwa
dirinya adalah orang jahat, seorang pasien manik mendengar suara yang
mengatakan dirinya amat berharga, berkuasa, dan berpengetahuan tinggi).
11. Halusinasi yang tidak kongruen-mood: halusinasi yang isinya tidak konsisten
dengan mood depresif maupun manik (misalnya, pada depresi, halusinasi tidak
3

melibatkan tema seperti rasa bersalah, berhak dihukum, atau perasaan rendah diri,
pada mania halusinasi tidak melibatkan tema seperti harga diri dan kekuasaan yang
tinggi ).
12. Halusinosis: halusinasi, paling sering auditorik. Akibat penyalahgunaan alkohol
kronik dan yang terjadi pada kesadaran yang jernih, berlawanan dengan delirium
tremens, yaitu halusinasi yang terjadi pada kesadaran berkabut.
13. Sinestesia: sensasi atau halusinasi yang ditimbulkan oleh sensasi lain (contohnya,
sensasi auditorik yang disertai atau memicu sensasi visual, suara yang dianggap
terlihat atau kejadian visual yang dianggap sebagai sesuatu yang terdengar.
14. fenomena trailing: abnormalitas persepsi terkaitobat halusinigenik berupa obyek
bergerak terlihat sebagai serangkaian citra yang terpisah dan terputus.
15. Halusinasi perintah: persepsi palsu akan perintah yang membuat seseorang merasa
wajib mematuhi atau tak kuasa menolak.1,4,5
Gangguan persepsi seperti halusinasi dan ilusi mengenai dirinya atau
lingkungannya, dapat dialami oleh seseorang. Sistem sensorik yang terlibat
(contohnya auditorik, visual, olfaktorik atau taktil) dan isi ilusi atau halusinasi
tersebut harus dijelaskan. Situas pada saat terjadinya pengalaman halusinasi penting
diketahui, halusinasi hipnagogik (terjadi saat pasien tidur) dan halusinasi
hipnopompik ( terjadi saat pasien terbangun ) merupakan jenis halusinasi yang tidak
begitu penting dibandingkan tipe halusinasi lain. Halusinasi juga dapat terjadi pada
saat stress tertentu oleh pasien secara individual. Perasaan depersonalisasi dan
derealisasi (perasaan terlepas yang ekstrim dari diri atau lingkungannya) merupakan
contoh gangguan persepsi lain. Formikasi, yaitu perasaan adanya serangga yang
merayap pada atau dibawah kulit, dapat ditemukan pada kokainisme.1
Contoh pertanyaan yang digunakan untuk menggali pengalaman halusinasi
meliputi sebagai berikut: Pernahkah anda mendengar suara-suara atau bunyi-bunyian
lain yang tidak didengar orang lain atau saat tidak ada orang di sekitar anda?
Pernahkan anda mengalami sensasi aneh pada tubuh anda yan tampaknya tidak
dirasakan oleh orang lain? Pernahkan anda melihat pemandangan atau hal lain yang
sepertinya tidak dapat dilihat oleh orang lain? 1,5
Halusinasi merupakan salah satu dari gejala psikotik. Yang dimaksud dari
gejala psikotik adalah: halusinasi, perilaku gaduh gelisah, kacau, aktivitas berlebiham,
atau retardasi psikomotor berat, perilaku katatonik, pembicaraan yang kacau atau
waham. tanpa tilikan yang baik (akan tetapi dalam keadaan remisi tilikannya dapat
bertambah baik).5
2.3.
Tahap Halusinasi
4

Halusinasi berkembang melalui lima fase, yaitu sebagai berikut: 2


a. Fase Pertama
Disebut sleep disorder adalah fase awal seseorang sebelum muncul halusinasi.
Klien merasa banyak masalah, ingin menghindar dari lingkungan, takut diketahui
orang lain bahwa dirinya banyak masalah. Masalah semakin terasa sulit karena
berbagai stressor terakumulasi, misalnya kekasih hamil, terlibat narkoba, dihianati
kekasih, utang, drop out, dll.
Masalah terasa menekan karena terakumulasi sedangkan support system kurang
dan persepsi terhadap masalah sangat buruk. Sulit tidur berlangsung secara terusmenerus sehingga terbiasa mengkhayal. Os menganggap lamunan-lamunan awal
tersebut sebagai pemecahan masalah.
b. Fase Kedua
Disebut juga dengan fase comforting yaitu fase menyenangkan. Pada tahap ini
masuk dalam golongan nonpsikotik. Karakteristik: klien mengalami stress, cemas,
perasaan perpisahan, rasa bersalah, kesepian yang memuncak, dan tidak dapat
diselesaikan. Os mulai melamun dan memikirkan hal-hal yang menyenangkan, cara
ini hanya menolong sementara.
Perilaku os: tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai, menggerakan bibir tanpa
suara, pergerakan mata cepat, respon verbal yang lambat jika sedang asyik dengan
halusinasinya, dan suka menyendiri.
c. Fase Ketiga
Disebut juga fase condemming atau ansietas berat yaitu halusinasi menjadi
menjijikan. Termasuk dalam psikotik ringan. Karakteristik: pengalaman sensori
menjijikan dan menakutkan, kecemasan meningkat, melamun, dan berpikir sendiri
menjadi dominan. Mulai dirasakan ada bisikan yang tidak jelas. Klien tidak ingin
orang lain tahu, dan ia tetap dapat mengontrolnya.
Perilaku os: meningkatnya tanda-tanda system syaraf otonom seperti peningkatan
denyut jantung dan tekanan darah. Os asyik dengan halusinasinya dan tidak bias
membedakan realitas.
d. Fase Keempat
Adalah fase controlling atau ansietas berat yaitu pengalaman sensori menjadi
berkuasa. Termasuk dalam gangguan psikotik. Karakteristik: bisiskan, suara, isi
halusinasi semakin menonjol, menguasai dan mengontrol klien. Os menjadi terbiasa
dan tidak berdaya terhadap halusinasinya.

Perilaku os : kemauan dikendalikan halusinasi, rentang perhatian hanya beberapa


menit atau detik. Tanda-tanda fisik berupa os berkeringat, tremor, dan tidak mampu
mematuhi perintah
e. Fase Kelima
Adalah fase conquering atau panik yaitu klien lebur dengan halusinasinya.
Termasuk dalam psikotik berat. Karakteristik: halusinasinya berubah menjadi
mengancam, memerintah, dan memarahi klien. Os menjadi takut, tidak berdaya,
hilang control, dan tidak dapat berhubungan secara nyata dengan orang lain di
lingkungan.
Perilaku os: perilaku terror akibat panic, potensi bunuh diri, perilaku kekerasan,
agitasi, menarik diri atau katatonik, tidak mampu merespon terhadap perintah
kompleks, dan tidak mampu berespon lebih dari satu orang.
2.4 Terapi
Anti psikotik
Berdasarkan rumus kimianya, obat-obat antipsikotik dibagi menjadi golongan
fenotiazin misalnya chlorpromazine, dan golongan nonfenotiazine misalnya
haloperidol. Sedangkan menurut cara kerjanya terhadap reseptor dopamin dibagi
menjadi dopamine receptor antagonist (DA) dan serotonine dopamine antagonist
(SDA). Obat-obat DA juga sering disebut sebagai antipsikotik tipikal, dan obat-obat
SDA disebut sebagai antipsikotik atipikal. Golongan fenotiazine disebut juga obatobat berpotensi rendah (low potency), sedangkan golongan non fenotiazine disebut
obat-obat potensi tinggi (high potency) karena hanya memerlukan dosis kecil untuk
memperoleh efek yang setara dengan chlorpromazine 100mg. Obat-obat SDA
semakin berkembang dan makin menjadi pilihan karena efek klinis yang diperoleh
setara dengan obat-obat konvensional disertai efek samping yang jauh lebih ringan.
Obat-obat jenis ini antara lain: risperidon, clozapin, olanzapin, quetapin, ziprazidon
dan aripiprazol. Klasifikasi kemudian dibuat lebih sederhana sengan menbaginya
menjadi antipsikotik generasi I (APG-I) untuk obat-obat golongan antagonis dopamin
(DA) dan antipsikotik generasi II (APG-II) untuk obat-obat golongan serotonin
dopamin antagonis (SDA).3,4,5
Farmakokinetik
Metabolisme obat-obat antipsikotik secara farmakokinetik dipengaruhi oleh
beberapa hal, antara lain pemakaian bersama enzyme inducer seperti carbamazepin,

phenytoin, ethambutol, barbiturate. Kombinasi dengan obat-obat tersebut akan


mempercepat pemecahan antipsikotik sehingga diperlukan dosis yang lebih tinggi.3,5
Farmakodinamik
Obat-obat antipsikotik terutama bekerja sebagai antagonis reseptor dopamin dan
serotonin di otak, dengan target untuk menurunkan gejala-gejala psikotik seperti
halusinasi, waham dan lain-lain.3,5
Metabolisme dan Eliminasi
Sebagian besar metabolisme APG-I dilakukan oleh hepar dan terjadi melalui
konyugasi (dengan asam glukorinat), hidroksilasi, oksidasi, demetilasi, dan
pembentukan sulfoksida. Sebagian besar APG-I dimetabolisme oleh isoenzim P450
(CYP)2D6 dan CYP 3A. Karena isoenzim yang sama juga memetabolisme sejumlah
obat yang sering digunakan dalam kombinasi dengan antipsikotika, sejumlah interaksi
obat dapat terjadi. Pada masing masing pasien terdapat perbedaan yang substansial
dalam kemampuan absorbsi, distribbusi, dan memetabolisme obat dan kondisi ini
dapat mempengaruhi dosis obat. Obat obat yang tidak mengalami perubahan
diekskresikan melalui ginjal.5
Efek samping
Efek samping dapat dikelompokkan menjadi efek samping neurologis dan non
neurologis. Efek sampng neurologis akut berupa akatisia, distonia akut dan
parkinsonism (acute extrapyramidal syndrome). Dapat juga terjadi efek samping akut
berupa SNM (sindrom neuroleptik maligna) yang merupakan kondisi emergensi
karena dapat mengancam kelangsungan hidup pasien. Pada kondisi kronis atau efek
samping pengobatan jangka panjang dapat dilihat kemungkinan terjadinya tardive
dyskinesia.3,4,5
Gejala-gejala parkinson dapat diobati dengan obat obat antimuskarinik, seperti
:4

trihexyphenidyl (benzhexol)
benzatropine
orphenadrine
procyclidine

Obat obat ini harus diresepkan hanya pada pasien pasien yang mengalami
gejala gejala parkinson. Hal ini disebabkan karena pada pasien yang tidak mengalami

parkinson, obat obat antimuskarinik mempunyai banyak aksi yang tidak diinginkan,
termasuk memperburuk diskinesia tardif.4
Lama pemberian
Pada umumnya pemberian obat anti-psikosis sebaiknya dipertahankan selama 3
bulan sampai 1 tahun setelah semua gejala psikosis mereda sama sekali. Psikosis
Reaktif Singkat penurunan obat secara bertahap setelah hilangnya gejala dalam
kurun waktu 2 minggu 2 bulan.
Obat anti psikosis tidak menimbulkan gejala lepas obat yang hebat walaupun
diberikan dalam jangka waktu lama, sehingga potensi ketergantungan obat kecil
sekali.
Pada penghentian obat yang mendadak dapat timbul gejala Cholinergic
Rebound : gangguan lambung, mual, muntah, diare, pusing, gemetar, dan lain lain.
Keadaan ini akan mereda dengan pemberian anticholinergic agent (injeksi Sulfas
Atropin 0,23 mg (im), tablet Trihexyphenidyl 3x 2 mg/h).3

BAB III
KESIMPULAN

Halusinasi adalahpersepsi sensorik palsu yang tidak dikaitkan dengan stimulus


eksternal yang nyata, mungkin terdapat interpretasi berupa waham atas
pengalaman halusinasi tersebut namun mungkin pula tidak
Jenis-jenis halusinasi antara lain:
- Halusinasi hipnagogik
- Halusinasi hipnopompik
- Halusinasi auditorik
- Halusinasi visual
- Halusinasi olfaktorik
- Halusinasi gustatorik
- Halusinasi taktil
- Halusinasi somatik
- Halusinasi liliput
- Halusinasi kongruen dengan mood
- Halusinasi tidak kongruen dengan mood
- Halusinasi perintah
Halusinasi yang paling sering dijumpai pada gangguan psikiatrik adalah

halusinasi auditorik
Terapi halusinasi bisa diberi obat antipsikotik generasi I (APG-I) untuk obatobat golongan antagonis dopamin (DA) dan antipsikotik generasi II (APG-II)
untuk obat-obat golongan serotonin dopamin antagonis (SDA).

DAFTAR PUSTAKA
1. Kaplan HI, in Sadock BJ, Sadock VA.Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri
Klinis.Edisike 2. Jakarta: EGC.2O10. (Hal 8, 35-36)
2. Halusinasi
available at
http://digilib.esaunggul.ac.id/public/UEU-Undergraduate-3538-DAFTAR
%20PUSTAKA.pdf
3. Maslim, Rudi. (2001). Penggunaan Klinis Obat Psikotropik. Jakarta: Penerbit
Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya. Halaman 14-22
4. Putri, B.K., Laking, P.J., & Treasaden, I.H., 2011. Buku Ajar Psikiatri Edisi 2.
Jakarta : EGC
5. Wardhani, kusuma dkk. Buku Ajar Psikiatri. Edisi 2. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2013. (Hal 87, 378-379)
9

10

You might also like