You are on page 1of 17

TEXT BOOK READING

MASALAH MASALAH SPESIFIK ANESTESI

Bab ini mendiskusikan evaluasi preoperatif dan manajemen pasien dengan


defisiensi pseudocholinesterase, hipertermi maligna, mual dan muntah pasca operasi,
dan suatu kemungkinan kesulitan jalan napas. Pembahasan umum dari masalah
masalah ini adalah mereka hanya memposisikan masalah pada individu individu
yang memiliki kondisi ini ketika anestesi diberikan kepada mereka. Bab ini termasuk
dengan sebuah studi kasus dari preoperative
DEFISIENSI PSEUDOCHOLINESTERASE
Succinyldicholine merupakan pelumpuh otot depolarisasi yang paling sering
digunakan pada anestesi umum dan dimetabolisme oleh plasma cholinesterase
(pseudocholinesterase) atau secara spesifik oleh butyryl cholinesterase dan oleh hati.
Acetycholinesterase atau cholinesterase tidak mempunyai peranan pada metabolisme
succinyldicholine. Apneu yang berkepanjangan dan paralysis mungkin terjadi setelah
pemberian succinylcholine chloride (succinyldicholine) jika pasien mempunyai
kelainan kuantitatif dan kualitatif pada pseudocholinesterase. Pulihnya dari
mivacurium chloride dan anestesi lokal yang berikatan dengan ester, yang mana
dimetabolisme oleh pseudocholinesterase, mungkin menjadi masalah pada pasien
dengan kelainan pseudocholinesterase. Aktivitas pseudocholinesterase mungkin
berkurang secara permanen oleh ekspresi dari genotipe yang abnormal atau sementara
oleh penyakit, efek obat, dan pada ibu hamil, neonatus, dan bayi (Tabel 1).
Analisa genetik menunjukkan adanya 3 varian alel dalam penambahan ke tipe
yang berbeda. Fenotipe ini berhubungan dengan 4 alel yang diberi nama secara
berbeda oleh pemeriksa dan dapat dibedakan menggunakan penghambat plasma
cholinesterase misalnya klorida, flour, dan dibucaine in vitro. Namanya adalah
atypical, dibucaine sensitive, fluoride sensitive, silent gene. Keempat alel ini
berkembang menjadi sepuluh genotipe. Studi farmakogenetik berpendapat bahwa alel
yang berbeda predominan terhadap etnik. Tabel 2 menyimpulkan informasi variasi
pseudocholinesterase pada sebagian besar orang Amerika Utara.
Davies et al. menunjukkan pseudocholinesterase normal dan berbagai macam
variasi pseudocholinesterase paling tidak dalam 2 cara yang penting. Enzim normal
W-W mempunyai afinitas yang lebih besar untuk substrat kolin dan aktivitas

kolinesterase di dalam plasma normal dihambat oleh cholinesterase inhibitor lebih


banyak dibandingkan dengan enzim yang abnormal. Penelitian-penelitian ini
dipublikasikan dengan sebuah metode untuk mendeteksi individu-individu dengan
atypical plasma cholinesterase menggunakan anestesi lokal dibucaine. Dibucaine
menghambat metabolisme dari substrat kolin dengan plasma kolinesterase in vitro.
Persentase penghambat plasma kolinesterase oleh dibucaine disebut dibucaine
number. Individu-individu normal homozigot untuk wild type, dan dibucaine
menyebabkan penghambatan metabolisme substrat sekitar 80%, menghasilkan
dibucaine number 80.
Tabel 1. Penyebab menurunnya aktivitas plasma kolinesterase
Penyakit

Gagal hepar
Uremia
Malnutrisi
Myxedema
Penyakit kolagen vaskuler
Infark miokard akut
Infeksi akut
Karsinoma
Tuberkulosis

Terapi obat

Echothiophate iodide
Neostigmine
Chlorpromazine
Kontrasepsi oral
Cyclophosphamide
Pancuronium bromide
Phenylzine
Trimethaphan camsylate

Data dari Whittaker M. Plasma cholinesterase variants and the anaesthetist. Anaesthesia.
1980;35:175; dan Morgan GE, Mikhil MS. Clinical Anesthesiology. 2nd ed. Norwalk, CT: Appleton &
Lange; 1996:190.

Tabel 2. Klasifikasi genetik, frekuensi kejadian, dan respon terhadap


succinylcholine chloride
Genotipe

Fenotipe

Frekuensi
96 dalam 100

Nomor
Dibucaine
80

Waktu
(min)
10

W-W

Typical
homozigot

W-A
A-A

apneu

Heterozigot

1 dalam 40

60

20-30

Atypical
homozigot

1 dalam 2000

20

480 (8 jam)

A, gen atypical; W, gen wild-type


Data dari Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anesthesia. 2nd ed. Philadelphia: JB
Lippincott CO.; 1992:605; Morgan GE, Mikhail MS. Clinical Anesthesiology. 2nd ed. Norwalk, CT:
Appleton & Lange; 1996:152, 154; Whittaker M. Plasma cholinesterase variants and the anaesthetist.
Anaesthesia. 1980;35:178; dan Thompson JS, Thompson MW. Genetics in Medicine. 4th ed.
Philadelphia: WB Saunders; 1980:104.

Pada tipe homozigot untuk gen yang atypical, inhibisi hanya 20%,
menghasilkan nomor dibucaine 20. Pada individu-individu yang heterozigot untuk
gen-gen atypical, inhibisi kurang lebih 60%, menghasilkan nomor dibucaine 60.
Evaluasi dari seseorang yang diperkirakan mempunyai sebuah variasi genetik
dari enzim ini seharusnya dimulai dengan penentuan nomor dibucaine.
Konsekuensinya menghasilkan informasi penting mengenai kualitas plasma
kolinesterase seseorang. Inhibisi dari enzim in vitro oleh florida dan klorida lebih
lanjut menunjukkan batas fenotipe.
Selain evaluasi kualitatif diperoleh menggunakan dibucaine, evaluasi
kuantitatif dari enzim ini dapat diperoleh dengan menentukan aktivitas plasma
kolinesterase. Ini penting untuk mengukur aktivitas plasma kolinesterase (dengan
nama
lain
butyrylcholinesterase/pseudocholinesterase)
daripada
aktivitas
kolinesterase, yang mana juga dikenal sebagai aktivitas kolinesterase sel darah merah
(RBC) atau eritrosit. Kombinasi dari nomor dibucaine dan aktivitas
pseudocholinesterase membantu membedakan genetik dari non-genetik penyebab
untuk apneu yang berlangsung lama setelah pemberian succinylcholine/mivacurium
klorida. Beberapa pasien menderita paralisis yang berlangsung lama setelah
pemberian mivacurium/succinylcholine mempunyai penurunan sementara dari
aktivitas pseudocholinesterase disebabkan oleh interaksi obat atau penyebab yang
tidak teridentifikasi lainnya. Karena itu, ini penting untuk tidak mengambil sampel
aktivitas pseudocholinesterase sampai setelah kejadian selesai. Tidak ada urgensi

untuk hasil tes ini, seseorang mungkin perlu menunggu beberapa hari dalam kasus
interaksi obat/racun lain yang menyebabkan kejadian.
HIPERTERMI MALIGNA
Hipertermi maligna (HM) adalah suatu keadaan hipermetabolik fulminan
yang dicirikan dengan takikardi, hipertensi, hiperkarbia, hipoksemia arterial,
desaturasi oksigen vena yang tercampur, asidosis metabolik, hiperkalemi, kekakuan
otot, hipertemi, gagal ginjal, disseminated intravascular coagulation, dan kematian
jika kondisi tidak ditangani. Individu-individu secara genetik merupakan predisposisi
untuk berkembang menjadi hipertermi maligna dan tanpa gejala sampai mereka
diberikan succinylcholine atau anestesi volatil yang kuat misalnya desflurane,
sevoflurane, atau isoflurane. Insiden dari HM tiga kali lebih tinggi pada populasi
anak-anak daripada dewasa. Hipertensi maligna terjadi pada 1 dari setiap 12.000
kasus anestesi anak. Sejumlah penyakit neuromuskular telah dihubungkan dengan
berkembangnya HM. Enam puluh persen individu mudah terserang manifestasi HM
ketika diberikan obat yang mencetus untuk pertama kalinya, terutama ketika
succinylcholine dikombinasi dengan anestesi volatil yang poten. Mereka yang tidak
berespon pada mula dicetuskan mungkin menghasilkan HM dengan pemberian
anestesi yang akan datang.
Hipertermi maligna merupakan hasil dari aktivasi otot rangka karena
penambahan konsentrasi kalsium di dalam sarkoplasma intraseluler disebabkan oleh
pencetus-pencetus yang telah disebutkan sebelumnya. Penelitian mikroelektroda
kalsium selektif menunjukkan bahwa individu-individu yang mudah terserang HM
mengalami peningkatan kadar istirahat dari kalsium sarkoplasma dan menghasilkan
kadar yang berlebihan ketika terkena pencetus yang spesifik.
Eksitasi-kontraksi yang berhubungan dengan kontraksi otot membutuhkan
pelepasan kalsium yang cepat dari retikulum sarkoplasma. Dengan paparan ke
ryanodine, sebuah racun, sebuah tanda perubahan terjadi dalam eksitasi-kontraksi otot
lurik, yang mana mengarah ke kontraksi otot rangka. Penelitian genetik yang
mendalam menunjukkan pada anggota keluarga yang rentan terhadap HM. Meskipun
mutasi di dalam gen yang mengkode reseptor ryanodine telah diidentifikasi dalam
keluarga tertentu, tidak ada satupun mutasi memisahkan dengan semua pasien yang
rentan. Penurunan pola pada manusia kelihatannya menjadi autosomal dominan.
Penelitian in vitro menunjukkan bahwa arus natrium yang lambat pada sel-sel
otot manusia diubah di dalam sel-sel pasien dengan HM; penemuan ini
mengindikasikan bahwa saluran natrium mengalami kecacatan di dalam penambahan

reseptor ryanodine. Data ini berpendapat bahwa kerentanan terhadap HM dipengaruhi


banyak faktor.
Tes untuk HM biasanya dilakukan pada individu-individu yang mempunyai
pengalaman sebuah episode HM, mempunyai riwayat keluarga HM, mempunyai
riwayat anestesi yang terjadi HM atau mempunyai kelainan yang menempatkan
mereka pada risiko tinggi untuk menghasilkan HM (Tabel 3).
Tabel 3. Kondisi yang mungkin berhubungan dengan faktor risiko hipertermi
maligna
Distrofi otot Duchene
Distrofi otot Becker
Sindroma King-Denborough
Penyakit Central Core
Defisiensi Carnitine palmityl transferase
Paralysis periodik
Myotonia kongenital
Osteogenesis imperfecta
Sindroma Schwartz-Jampel
Distrofi otot kongenital tipe Fukuyama
Miopati mitokondria
Mungkin berhubungan:
Strabismus
Scoliosis
Limfoma Burkitt
Sindroma neuroleptic maligna
Myelomeningocele
Dislokasi hip kongenital
Berdasarkan data dari Kaplan R. Malignant hyperthermia. Dalam: Refresher Courses in
Anesthesiology. Vol. 22. Philadelphia: JB Lippincott Co.; 1994:177; dan Stoelting RK, Dierdorf SF.
Anesthesia and Co-existing Disease. 3rd ed. New York: Churchill Livingstone; 1993:613.

Meskipun banyak tes untuk HM dikembangkan, hanya caffeine-halothane


contracture test (CHCT) yang merupakan standar baku di Amerika Utara. Ini
dilakukan pada enam institusi di Amerika Utara dan satu di Kanada. Sebuah hasil
positif terjadi ketika dilakukan biopsi jaringan otot, biasanya diambil dari otot
quadriceps femoris, menghasilkan paling tidak 200 mg tegangan ketika diberikan
dengan 0,2 mmol kafein atau 3% halotan. Di bawah kondisi yang baik tes ini
mempunyai sensitifitas 97% dan spesifitas 78%. Kerugian dari tes ini adalah pasien
harus berkunjung ke pusat tes untuk menjalani biopsi otot; biayanya $6.000, yang

mana mungkin tidak ditanggung oleh asuransi pihak ketiga; dan tes ini membutuhkan
anestesi. Ini khususnya bermasalah dengan pasien-pasien anak sebagai mana biopsi
sendiri hampir pasti membutuhkan anestesi umum.
Pengujian gen untuk mutasi di dalam reseptor ryanodine (RYR1) bisa menjadi
sebuah tambahan atau pengganti CHCT. Karena mutasi RYR1 ditemukan hanya 25%
sampai 30% dari individu-individu yang rentan terhadap HM, tes ini mempunyai
sensitifitas relatif rendah. Bagaimanapun juga, tes ini mempunyai nilai prediksi
positif yang sangat tinggi. Satu keuntungan dari pengujian genetik bahwa tes ini dapat
dilakukan pada sampel darah yang dikirimkan ke satu dari dua laboratorium di
Amerika. Harganya bervariasi dari $740 sampai $1690 bergantung pada jumlah exonexon yang perlu dirangkai. Jika pasien yang ditemukan mempunyai mutasi RYR1
yang berhubungan dengan HM, kemudian pasien ini rentan terhadap HM tidak perlu
di tes lebih lanjut. Kerabat dapat diuji untuk mutasi yang sama sebagai pasien kirakira $200. Jika pasien mempunyai risiko klinis yang tinggi untuk HM (seperti episode
sebelumnya atau keluarga dengan HM) dan mempunyai tes genetik negatif, kemudian
pasien mungkin masih rentan terjadi HM dan CHCT seharusnya dipertimbangkan.
Pada tahun 2005 Litman menulis sebuah tinjauan yang bagus mengenai pengujian
kerentanan HM menjelaskan tentang peran CHCT dan tes genetik.
Karena tidak ada tes sekarang yang mempunyai sensitifitas 100%, beberapa
pasien yang berisiko boleh memilih untuk tidak menjalani tes. Selain itu, banyak ahli
anestesi mungkin memilih untuk memberi teknik anestesi yang tidak mencetus pasien
dengan riwayat personal atau keluarga HM tanpa memperhatikan hasil tes pasien.
Idealnya, pasien yang rentan terhadap HM seharusnya dijadwalkan untuk kasus
pertama kali di hari itu untuk meminimalkan sisa obat anestesi di dalam ruang operasi
dan pemulihan. Mesin anestesi seharusnya disiapkan dengan baik dan agen pencetus
dicegah. Ini penting untuk mengkomunikasikan sebelum tanggal pembedahan dengan
dokter bedah dan dokter anestesi jika seorang pasien yang rentan HM dijadwalkan.
Ini dapat memberikan penjadwalan yang tepat, persiapan mesin anestesi, dan rencana
obat anestesi dan fase pemulihan segera (Tabel 4).
Standarnya fasilitas harus mempunyai 36 vial natrium dantrolene di semua
fasilitas dimana agen pencetus (contohnya, agen inhalasi poten atau succinylcholine)
tersedia. Selain itu, fasilitas direkomendasikan mempunyai dantrolene untuk pasien
yang berisiko HM bahkan jika ada rencana untuk memberikan obat anestesi yang
tidak mencetus (Tabel 5). The Malignant Hyperthermia Association of the United
States (MHAUS) merekomendasikan pasien pembedahan rawat jalan untuk dimonitor
dalam fase 1 pemulihan (termasuk tanda-tanda vital paling tidak setiap 15 menit)

selama minimal 1 jam. Pasien kemudian seharusnya dimonitor dalam fase 2


pemulihan selama minimal 1,5 jam sebelum dipulangkan.
Tabel 4. Persiapan mesin anestesi untuk pasien-pasien yang rentan terhadap
hipertermi maligna
Ganti karet penghubung
Ganti penyerap karbondioksida
Gunakan sirkuit napas yang baru
Pertimbangkan merubah aliran gas segar
Cuci sistem baru dengan oksigen 10L/menit selama 15 sampai 20 menit
Pertimbangkan melepas vaporizer anestesi inhalasi dari mesin
Tabel 5. Agen yang TIDAK mencetus hipertermi maligna
Semua anestesi lokal
Antikolinergik
Antikolinesterase
Barbiturat
Benzodiazepines
Kalsium
Digoxin
Droperidol
Epinefrin
Etomidate
Ketamin
Nitrous oxide
Pelumpuh otot non-depolarizing
Opioids
Kalium
Procainamide hydrochloride
Propofol
Simpatomimetik
Manajemen pasien-pasien yang memiliki rigiditas otot masseter pada induksi
anestesi menimbulkan kontroversi karena ini mungkin menjadi faktor risiko untuk
terjadi HM selama obat anestesi berikutnya. Pada umumnya, rigiditas ini terjadi pada
anak-anak yang dianestesi adalah imbas kombinasi halotan dan succinylcholine. Akan
tetapi, rigiditas otot masseter pernah dilaporkan hanya dengan succinylcholine. Aspek

paling sulit dari tampilan klinis ini adalah kurangnya definisi yang sama untuk
rigiditas. Oleh karena itu, sulit untuk mengevaluasi pasien yang dilaporkan memiliki
riwayat tight jaw dengan anestesi. Mendapatkan rekaman anestesi sebelumnya
untuk perincian adalah kunci dalam menentukan apa yang mungkin terjadi. Hanya
pasien-pasien yang mulutnya tidak dapat membuka setelah tubuh direlaksasi
seharusnya dideskripsikan sebagai rigiditas otot masseter. Lima puluh persen anakanak dan 25% dewasa masuk ke dalam grup yang rentan terjadi HM. Walaupun
banyak pendapat berbeda bagaimana cara terbaik untuk membius pasien ini,
pendekatan yang paling konservatif adalah menggunakan teknik yang tidak mencetus.
Manajemen dari pusat-pusat HM mendorong pengenalan sindroma dan
pemberian natrium dantrolene intravena. Pendinginan yang aktif dan perawatan
penunjang berperan jika pasien menjadi hipertermi, oliguri, koagulopati, atau
menunjukkan kelainan metabolik lain. Masing-masing vial natrium dantrolene
(sebuah campuran lipofilik) terdiri dari 20 mg dantrolene dan 3 g manitol. Dosis
efektif pada 90% pasien adalah injeksi intravena bolus 2,5 mg/kg, tetapi dapat
dinaikkan menjadi 10 mg/kg natrium dantrolene mungkin dibutuhkan untuk
mengobati secara total episode HM. Obat bereaksi dengan menghambat pelepasan
kalsium dari retikulum sarkoplasma dan ini adalah terapi spesifik untuk HM. Obat ini
tidak dianjurkan sebagai profilaksis untuk pasien yang rentan HM yang berencana
untuk dilakukan anestesi.
MHAUS menyediakan 24 jam telepon (di 1-209-634-4917) untuk bertanya
tentang manajemen HM. Website www.mhaus.org adalah sumber yang baik untuk
pasien dan dokter.
POSTOPERATIVE NAUSEA AND VOMITING (PONV)
Postoperative nausea and vomiting (PONV) meninggalkan sebuah masalah
penting untuk pasien yang menerima anestesi umum dan pemberi perawatannya. Ini
terjadi hampir pada 30% pasien yang menerima anestesi umum dan meningkat 70%
pada pasien risiko tinggi. Mual dan muntah pasca operasi adalah ketidakpuasan yang
utama dan meningkatkan lama perawatan pasca operasi. Hal ini juga menjadi
penyebab utama dokter anestesi untuk merawat pasien bedah rawat jalan. Selain itu,
perilaku memuntahkan atau muntah-muntah dapat meningkatkan tekanan
intrakranial, intraokuler, intraabdomen, intrathoraks, dan vena sentral. Banyak
anggapan muntah pasca operasi menjadi faktor risiko untuk perdarahan atau hematom
pada pembedahan kepala dan leher.
Faktor risiko untuk PONV dapat berhubungan dengan pasien, prosedur, dan
obat anestesi (Tabel 6). Perhatian cukup besar diberikan pada subjek yang

dikelompokkan risiko PONV. Faktor risiko pasien termasuk wanita, riwayat PONV
sebelumnya atau mabuk, menjadi seorang yang tidak merokok, antisipasi penggunaan
opioid pasca operasi untuk kontrol nyeri. Risiko PONV meningkat dengan jumlah
faktor risiko. Sekitar 10% risiko PONV dengan orang yang tidak ada faktor risiko,
21% dengan satu faktor risiko, 39% dengan dua faktor risiko, 61% dengan tiga faktor
risiko, 79% dengan 4 faktor risiko. Risiko PONV juga dipengaruhi oleh faktor
pembedahan dan teknik anestesi serta obat-obatan. Tidak ada penemuan fisik yang
spesifik atau penelitian laboratorium yang membantu dalam pengelompokkan risiko
PONV.
Tabel 6. Faktor risiko untuk postoperative nausea and vomiting (PONV)
Hubungan dengan pasien

Hubungan dengan bedah:


Faktor yang menguatkan
Hubungan dengan bedah:
Faktor-faktor risiko yang mungkin

Hubungan dengan anestesi

Wanita (pasca menstruasi)


Bukan perokok
Riwayat PONV
Riwayat mabuk
Umur: Anak sampai dewasa muda
Meningkatnya durasi prosedur operasi
Tempat
pembedahan:
Payudara;
Laparaskopi; telinga, hidung, dan
tenggorokan; bedah strabismus; dan lainlain
Obat anestesi volatil
Nitrous oxide
Balanced anesthetic (daripada obat total
intravenous anesthetic)
Dosis neostigmine yang besar (>2,5 mg)
Opioid intraoperatif atau pasca operasi
(risiko meningkat dengan dosis yang
lebih besar)

Data dari Gan TJ. Risk factor for postoperative nausea and vomiting. Anesth Analg. 2006;102:18841898.

Pasien yang menerima anestesi regional atau sedasi lebih rendah risiko PONV
daripada pasien-pasien yang menerima anestesi umum. Ini seharusnya diingat ketika
konseling dengan pasien mengenai risiko-risiko dan keuntungan-keuntungan teknik
anestesi alternatif. Ini berguna untuk mengidentifikasi pasien risiko tinggi sehingga
rencana obat anestesi yang tepat dapat diterapkan dan obat profilaksis anti muntah
dapat diberikan secara rasional.

Penyedia layanan kesehatan yang bekerja di klinik preoperatif seharusnya


mengetahui scopolamine patch transdermal. Patch ini efektif mengurangi risiko
PONV tetapi mempunyai onset yang sangat lambat dan efek samping yang relatif
tinggi. Jika seorang pasien meningkat risiko PONV, seseorang boleh meresep patch
ini (1,5 mg, digunakan di area tidak berambut di belakang telinga), dapat dipakai
untuk tiga hari. Setelah patch digunakan, ada 4 jam penundaan sebelum level plasma
scopolamin terdeteksi dan level puncak terjadi 24 jam setelah penggunaan. Patch ini
direkomendasikan digunakan malam sebelum pembedahan, dengan minimal 4 jam
sebelum akhir dari pembedahan. Pasien seharusnya diinstruksikan untuk melepas
patch jika mereka kesulitan miksi. Scopolamin seharusnya tidak diresepkan pada
pasien glaukoma sudut sempit dan digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan
glaukoma sudut luas.
KESULITAN JALAN NAPAS
Kejadian kesulitan pernapasan merupakan penyebab utama cedera dan
penyebab paling sering malpraktek di praktek anestesi. Di dalam Caplan 1990,
ventilasi yang tidak adekuat adalah kelompok terbesar dari kejadian yang merugikan.
Pengenalan dan penyebaran algoritma kesulitan jalan napas yang disetujui oleh
American Society of Anesthesiologists (ASA), dimenangkan oleh Benumoff, telah
mengurangi perbandingan kecelakaan jalan napas yang berhubungan dengan saat
induksi anestesi dibandingkan dengan periode intraoperatif dan pasca operasi.
Meskipun kekurangan penelitian definitif, evaluasi preoperatif, persiapan
intraoperatif, dan ketaatan mengikuti pedoman layak dianggap untuk memastikan
peningkatan hasil.
Tujuan dari bab ini adalah menyediakan sebuah pendekatan yang sistematis
untuk mengevaluasi jalan napas berdasarkan riwayat, pemeriksaan fisik, sistem
klasifikasi jalan napas yang biasa digunakan. Selain itu, rencana untuk manajemen
pasien dengan jalan napas yang dicurigai sulit dapat didiskusikan.
Pengenalan potensi sulit jalan napas dimulai dengan memahami anatomi jalan
napas normal. Deskripsi dari struktur anatomi dari jalan napas manusia di luar
kesempatan bab ini tetapi telah ditinjau dengan luar biasa oleh Roberts dan Moore.
Sejumlah gambar khusus mempunyai peranan dalam mengidentifikasi pasien dengan
risiko gagal intubasi, yang mana akan ditinjau di bawah.
Jalan napas manusia dapat dibagi menjadi segmen atas dan bawah. Kelainan
anatomi pada masing-masing segmen memberikan masalah-masalah yang berbeda
untuk ahli anestesi. Komponen anatomi jalan napas bagian atas berdasarkan
klasifikasi Mallampati faring dari modifikasi Samsoon-Young dijadikan referensi

sebagai Mallampati class (Tabel 7), dan sistem klasifikasi laring Cormack-Lehane
(Tabel 8).
Tabel 7. Modifikasi klasifikasi Mallampati
Kelas
1
2
3
4

Tampilan komponen-komponen orofaring


Palatum molle, uvula, pilar-pilar tonsil
Dasar lidah mengaburkan pilar tonsil, tetapi dinding faring posterior terlihat
di bawah palatum molle
Palatum molle
Pada intinya tidak ada yang terlihat, termasuk palatum molle

The original Mallampati system had only three classes. Modifikasi Samsoon dan Young termasuk
empat kelas.

Tabel 8. Sistem klasifikasi glotis Cormack-Lehane selama laringoskopi direct


Kelas
I
II
III
IV

Tampilan struktur glotis


Glotis membuka seluruhnya
Struktur glotis posterior
Epiglotis
Hanya palatum molle

Dicetak dengan ijin dari Cormack RS, Lehane J. Difficult tracheal intubation in obstetrics.
Anaesthesia. 1984;39:1105-1111.

Sebagai catatan di tabel 9 ada perbedaan signifikan antara jalan napas


pediatrik dan dewasa. Gambar 1 membahas ini dan perbedaan lainnya. Manajemen
jalan napas yang tepat untuk neonatus dan bayi membutuhkan pengenalan perbedaan
penting ini.
Ada dua kelas utama dari masalah-masalah jalan napas yang mungkin ditemui
ahli anestesi. Kesulitan ventilasi dan kesulitan laringoskopi direct atau intubasi
trakea. Kesulitan ventilasi bergeser dari mudah ventilasi menjadi tidak mungkin
ventilasi, bahkan dengan dua individu (satu mengerjakan sungkup dan yang lainnya
mengerjakan the bag) dan penggunaan naso dan oropharyngeal airways. Definisi
fungsional dari difficult mask ventilation (DMV) diusulkan oleh Langeron dkk. pada
tahun 2000. Mereka mendefinisikan DMV sebagai ketidakmampuan dari seorang ahli
anestesi yang tidak dibantu untuk mempertahankan saturasi oksigen >92% atau untuk
mencegah atau menghilangkan tanda-tanda ventilasi yang tidak adekuat selama
anestesi umum. Mereka melaporkan insiden kesulitan dengan ventilasi sekitar 5%.
Kemampuan memprediksi kesulitan dengan ventilasi sebelum induksi anestesi sangat
penting, jadi ahli anestesi harus menyediakan alat bantu jalan napas jika dijumpai
masalah. Analisis multivariat menunjukkan lima faktor risiko indipenden untuk

kesulitan ventilasi: umur >55 tahun, indeks massa tubuh >26, adanya janggut,
kurangnya gigi, dan riwayat mendengkur. Adanya dua faktor risiko sangat dicurigai
DMV (sensitifitas 72%, spesifitas 78%). Tambahan faktor risiko univariat termasuk
Mallampati kelas 2 atau lebih besar, makroglosia, dan jarak thyromental yang lebih
kecil.
Tabel 9. Komponen anatomi jalan napas dewasa dan anak
Komponen

Gambaran

Laring

Struktur otot dan kartilago yang menampung alat-alat


vokal
Bagian paling sempit pada jalan napas normal orang
dewasa
Cincin kartilago sempurna hanya pada jalan napas;
tepat di bawah kartilago tiroid; bagian paling sempit
pada jalan napas anak
Membran yang menghubungkan krikoid dengan
kartilago tiroid
Panjang 12 cm pada dewasa; 4,5 cm pada neonatus

Pita suara
Cincin krikoid

Membran krikoid
Trakea
Karina

Percabangan trakea; berlawanan dengan vertebra


thorakal 4

Data dari Desoto H. Difficult airway recognition and management in childhood. Dalam:Refresher
Courses in Anesthesiology. Vol. 25. Philadelphia: JB Lippincott Co.; 1997:31-33; dan Gaiser R.
Airway evaluation and management. Dalam: Clinical Anesthesia Procedures of the Massachusetts
General Hospital. 4th ed. Boston: Little, Brown dan Company; 1993:171

Dari banyak gambar anatomi, tiga telah teridentifikasi sebagai pembantu


dalam memprediksi kemungkinan kesulitan laringoskopi dan intubasi trakea. Ini
termasuk ukuran lidah sampai ke faring, jarak thyromental (jarak antara kartilago
tiroid dan ujung dari mandibula), dan ekstensi atlanto-occipital. Sistem klasifikasi
jalan napas Mallampati berdasarkan pada luasnya struktur orofaring yang dihalangi
oleh lidah pasien. Untuk menentukan kelas Mallampati, pasien diperiksa dalam posisi
duduk dan tegak lurus, mulut terbuka maksimal dengan lidah menjulur secara
maksimal. Struktur orofaring diidentifikasi dengan pasien pada posisi ini adalah dasar
untuk mengklasifikasi faring (Tabel 7). Pasien tidak boleh bersuara selama tes, karena
selama bersuara palatum molle dapat meninggi dan mengubah hubungan palatum
molle dengan lidah.

Gambar 1. Perbandingan perbedaan anatomi jalan napas dewasa dan bayi. (Dicetak dengan ijin dari
Ho M. The pediatric airway. Dalam: Bell C, Hughes C, Oh T, eds. The Pediatric Anesthesia
Handbook. St. Louis: Mosby-Year Book; 1991:130.)

Pada 1984, Cormack dan Lehane mendeskripsikan empat kelas glotis dengan
laringoskopi direct (Tabel 8). Insiden kesulitan intubasi trakea bervariasi dengan
derajat laring Cormack-Lehane. Keduanya Mallampati dan Samsoon telah
mempublikasikan sebuah korelasi antara kelas Mallampati dan kemudahan
laringoskopi serta intubasi trakea. Kesimpulannya, pasien yang pada pemeriksaan
ditemukan jalan napas Mallampati faring kelas 1 mempunyai tampilan 99% sampai
100% laringoskopi Cormack-Lehane derajat I pada waktu yang sama. Jadi dengan
jalan napas Mallampati faring kelas 4 mempunyai laringoskopi Cormack-Lehane
derajat III dan IV sampai dengan 100% pada waktu yang sama. Sayangnya,
kebanyakan pasien dengan Mallampati kelas 2 atau 3, ditemukan dengan derajat
laring Cormack-Lehane berkisar dari I sampai IV. Demikian, kemampuan untuk
mengandalkan hanya pada sistem klasifikasi Mallampati sebagai bantuan untuk
memprediksi kesulitan laringoskopi dan intubasi trakea adalah suatu kesalahan,
paling tidak untuk sebagian besar pasien yang jalan napasnya Mallampati kelas 2
atau 3.
Penjelasan yang paling mungkin untuk derajat laring Cormack-Lehane yang
bermacam-macam dibandingkan dengan kelas Mallampati faring, paling tidak untuk
kelas Mallampati 2 dan 3, tidak hanya terletak pada variabilitas antar pengamat, tetapi

juga pada gambaran anatomi khusus dari jalan napas yang tidak termasuk dalam
modifikasi klasifikasi Mallampati, termasuk ekstensi atlanto-occipital, jarak
thyromental, dan sejumlah gambaran lainnya (Table 10). Frerk mempelajari apakah
sebuah kombinasi modifikasi kelas Mallampati dan penilaian jarak thyromental dapat
digunakan untuk memprediksi kesulitan laringoskopi dan intubasi trakea. Secara
rinci, dia mendemonstasikan individu dan sensitifitas dan spesifitas kombinasi dari
dua tes ini yang dengan mudah dilakukan di samping tempat tidur. Dia menemukan
bahwa kategori dalam modifikasi Mallampati kelas 3 atau 4 mempunyai sensitifitas
dan spesifitas 81% untuk memprediksi kesulitan intubasi trakea. Penemuan jarak
thyromental <7 cm menunjukkan 91% sensitifitas dan 81,5% spesifitas. Penggunaan
2 tes bersamaan mempunyai 81,2% sensitifitas dan 97,8% spesifitas. Kesimpulannya,
dia menemukan bahwa pasien yang jalan napasnya dikategorikan sebagai modifikasi
Mallampati kelas 3 atau 4 dan mempunyai jarak thyromental <7 cm dapat
diperkirakan akan mengalami kesulitan laringoskopi dan intubasi trakea. Sebagai
catatan, jarak thyromental dinilai dengan kepala pasien pada ekstensi maksimum.
Batasan utama dari penelitian ini adalah jumlah pasien yang terbatas.
Tabel 10. Penemuan fisik yang mencetus kemungkinan kesulitan dengan
intubasi trakea
Trismus
Mobilitas cervical yang buruk
Trauma jalan napas dan maxillofacial
Kelainan kongenital wajah dan jalan napas atas
Tumor dan abses-abses pada wajah dan jalan napas
Fibrosis wajah dan leher (luka bakar, terpajan radiasi)
Deformitas pasca bedah wajah dan leher
Tonsil yang membesar
Mikrognathia
Makroglossia
Pertumbuhan gigi jelek atau gigi maju ke depan
Leher pendek
Payudara yang besar
Kegemukan
Sejumlah penyakit yang mendasari dan kelainan craniofacial serta cervical
berhubungan dengan kesulitan intubasi. Ini dapat diidentifikasi dari riwayat (Tabel
11), pemeriksaan fisik (Tabel 10), dan teknik radiografi (rontgen thorax, CT scan
leher dan dada, rontgen cervical, tomogram trakea).

Tabel 11. Riwayat yang mencetus kemungkinan kesulitan intubasi trakea


Kelainan kongenital

Sindroma Down, sindroma Treacher


Collins, sindroma Pierre Robin, sindroma
Goldenhar, sindroma Klippel-Feil
Penyakit-penyakit endokrin
Obesitas, akromegali, dwarfism, penyakit
Cushing
Infeksi
Epiglotitis, angina Ludwig
Penyakit imun dan kolagen vaskuler
Scleroderma,
rheumatoid
arthritis,
degenerasi cervical, penyakit diskus
servikalis
Luka bakar, trauma, benda asing, Kanker,
lingual
hemangioma,
neoplasma
mucopolysaccharidoses
Selain itu penting untuk mendapatkan rekam medis operasi sebelumnya.
Pasien sering tidak tahu detil dari kejadian kesulitan jalan napas yang dialaminya,
walaupun mereka mengakui mengetahui semua kejadiannya. Rekam medis anestesi
sebelumnya mungkin membantu terutama untuk pasien-pasien yang memenuhi
kriteria kesulitan intubasi trakea atau ventilasi.
Kesimpulannya, ukuran lidah sampai ke faring, ekstensi atlanto-occipital,
jarak thyromental, craniofacial, deformitas cervical, dan berbagai macam penyakit
yang mendasari mempengaruh prediksi kemungkinan kesulitan intubasi trakea. Tidak
ada satu faktorpun, kecuali riwayat kesulitan intubasi, telah terbukti benar-benar tepat
dalam memprediksi kesulitan laringoskopi direct. Dikatakan bahwa, evaluasi
preoperatif yang tepat adalah kunci untuk meminimalkan risiko kesulitan jalan napas
yang tak terduga. Setelah pasien di dalam ruang operasi, optimalkan posisi kepala dan
miliki akses ke sejumlah alat bantu jalan napas yang dijelaskan dalam algoritma
manajemen kesulitan jalan napas ASA untuk lebih meningkatkan kesuksesan intubasi
trakea.
Banyak pasien mungkin kelihatan berisiko untuk kesulitan laringoskopi direct
tetapi tidak mempunyai faktor risiko untuk DMV atau kontraindikasi ventilasi. Ini
menjadi alasan untuk menginduksi anestesi umum pada pasien ini dan kemudian
mengamankan jalan napas setelah pasien teranestesi. Pasien yang teranestesi mungkin
terintubasi menggunakan fibreoptic bronchoscope, laryngeal mask airway (LMA),
atau banyak alat lainnya. Jalan napas boleh juga dikelola dengan alat supraglotis
misalnya LMA atau kasusnya mungkin selesai dengan anestesi yang diberikan lewat
sungkup muka. Pada kasus ini kesulitan intubasi/ventilasi yang mudah pasien

biasanya tidak perlu intruksi khusus sebelumnya untuk pembedahan. Bagaimanapun


juga, hal ini sangat penting bahwa kemungkinan kesulitan laringoskopi atau intubasi
didokumentasikan dalam penilaian preoperatif dan kebutuhan untuk peralatan jalan
napas khusus perlu dibicarakan untuk kepentingan pasien.
Pasien lain yang kelihatan berisiko untuk kesulitan laringoskopi direct atau
intubasi dan mempunyai risiko DMV seperti dijelaskan di atas atau kontraindikasi
ventilasi, misalnya gastroesophagea reflux disease (GERD) aktif, abnormal obesitas,
atau kehamilan tatalaksana terbaiknya adalah dengan fibreoptic intubation (FOI)
secara sadar. Banyak pasien mungkin mengalami dispepsia ringan setelah makan
porsi besar atau pedas, yang mana mereka mengkonsumsi H2 blockers atau proton
pump inhibitor. Jika mereka tidak memiliki gejala ketika diobati, banyak ahli anestesi
mempertimbangkan ini aman untuk memberikan ventilasi ke pasien. Pasien yang
melaporkan gejala reflux yang tidak berhubungan dengan makanan atau terbangun
pada malam hari dengan sensasi tercekik atau sensasi cairan di belakang mulut
mempunyai GERD aktif dan seharusnya jalan napas mereka diamankan dengan FOI
secara sadar jika ahli anestesinya tidak percaya diri bahwa usaha pertama
laringoskopi direct dan intubasi akan sukses.
Selain berkomunikasi dengan ahli anestesi untuk keperluan peralatan khusus,
hal ini sangat membantu untuk mempersiapkan psikologis pasien ketika melakukan
intubasi secara sadar. Pasien seharusnya diinformasikan secara rasional untuk intubasi
sadar. Ini seharusnya dijelaskan setelah induksi anestesi umum bahwa ada waktu
yang terbatas untuk mengamankan jalan napas. Pasien harus diinformasikan bahwa
jalan teraman adalah mempersilahkan dia untuk bernapas dan melindungi jalan napas
dari aspirasi. Pasien harus percaya bahwa sedasi yang tepat akan diberikan dan
anestesi lokal atau obat kebas akan digunakan untuk mencegah sensasi tidak
menyenangkan. Pengarang sering menjelaskan ke pasien-pasien bahwa metode
intubasi yang normal menggunakan sebuah spatula yang terbuat dari baja dengan
lampu untuk menekan lidah, sedangkan FOI menggunakan bilah lunak untuk
mengendalikan dengan hati-hati pipa napas di belakang lidah dan ke dalam
tenggorokan. Ketika diperkenalkan dengan penjelasan ini dan jaminan bahwa sedasi
dan obat kebas dapat disediakan jika diminta, kebanyakan pasien merasa nyaman
dengan rencana manajemen jalan napas.
Bab ini menunjukkan bahwa tidak ada cara yang mudah untuk
mengidentifikasi pasien dengan risiko untuk manajemen kesulitan jalan napas.
Mencari riwayat, pemeriksaan fisik, dan meninjau data radiografi, dan rekam medis
anestesi sebelumnya adalah hal-hal yang penting untuk evaluasi preoperatif.
Akhirnya, komunikasi antara individu yang melakukan evaluasi preoperatif dan

individu yang memberikan obat anestesi adalah yang terpenting jika pasien ingin
ditatalaksana dengan cara yang optimal.
Pasien yang jalan napasnya sulit untuk dikelola baik karena kesulitan ventilasi
atau kesulitan intubasi trakea seharusnya didukung untuk mendapat gelang
MedicAlert. MedicAlert dapat ditemui di 2323 Colorado Avenue, Turlock, CA 95382,
dan di 1-800-432-5378 atau www.medicalert.org.
Studi Kasus
Seorang wanita 25 tahun dengan bengkak di leher menjalani tiroidektomi
parsial. Dia tidak memiliki riwayat pengobatan atau pembedahan dan tidak dalam
pengobatan. Ketika ditanya apakah ada seseorang di dalam keluarganya mempunyai
masalah dengan anestesi, dia menunjukkan kartu berisi kata succinylcholine. Dia
mengatakan bahwa ayahnya mempunyai alergi dengan obat ini dan sebelumnya
dirawat di intensive care unit (ICU) setelah prosedur pembedahan. Sayangnya dia
tidak punya rekam medisnya.
Apakah ayahnya mengalami HM? Apakah dia menggunakan ventilator karena
defisiensi pseudocholinesterase? Mungkinkah dia terlalu banyak mendapat
succinylcholine dan membutuhkan ventilasi untuk blok fase II? Ketika ditanya,
wanita ini menyatakan bahwa ayahnya menerima dosis tunggal obat ini, dan pada
akhir operasi dia dapat mendengar semuanya tetapi tidak dapat bergerak. Dia
diventilasi di ICU selama beberapa jam dengan tidak ada masalah. Wanita ini tidak
pernah mendengar HM tetapi menyatakan bahwa ahli anestesi ayahnya mengatakan
tidak ada satu orang pun dalam keluarganya boleh menerima succinylcholine.
Dengan riwayat keluarga defisiensi pseudocholinesterase seperti ini, pasien
ini dan anak-anaknya seharusnya di tes untuk menentukan apakah mereka berisiko
untuk apneu yang berkepanjangan dengan penggunaan succinylcholine dan
mivacurium cholride. Level dibucainenya harus ditentukan. Semua kerabat terdekat
seharusnya dievaluasi. Semua orang yang menderita perlu dinasehati untuk mendapat
gelang MedicAlert dan registrasi. Dia seharusnya diterangkan succinylcholine dan
mivacurium cholride tidak diperlukan untuk anestesi dan pembedahan.
Kasus ini menyoroti pentingnya mendapatkan rekam medis sebelum bedah
elektif, karena pasien sering tidak sadar hal-hal yang spesifik berhubungan dengan
pelayanan medis.

You might also like