Professional Documents
Culture Documents
Gagal hepar
Uremia
Malnutrisi
Myxedema
Penyakit kolagen vaskuler
Infark miokard akut
Infeksi akut
Karsinoma
Tuberkulosis
Terapi obat
Echothiophate iodide
Neostigmine
Chlorpromazine
Kontrasepsi oral
Cyclophosphamide
Pancuronium bromide
Phenylzine
Trimethaphan camsylate
Data dari Whittaker M. Plasma cholinesterase variants and the anaesthetist. Anaesthesia.
1980;35:175; dan Morgan GE, Mikhil MS. Clinical Anesthesiology. 2nd ed. Norwalk, CT: Appleton &
Lange; 1996:190.
Fenotipe
Frekuensi
96 dalam 100
Nomor
Dibucaine
80
Waktu
(min)
10
W-W
Typical
homozigot
W-A
A-A
apneu
Heterozigot
1 dalam 40
60
20-30
Atypical
homozigot
1 dalam 2000
20
480 (8 jam)
Pada tipe homozigot untuk gen yang atypical, inhibisi hanya 20%,
menghasilkan nomor dibucaine 20. Pada individu-individu yang heterozigot untuk
gen-gen atypical, inhibisi kurang lebih 60%, menghasilkan nomor dibucaine 60.
Evaluasi dari seseorang yang diperkirakan mempunyai sebuah variasi genetik
dari enzim ini seharusnya dimulai dengan penentuan nomor dibucaine.
Konsekuensinya menghasilkan informasi penting mengenai kualitas plasma
kolinesterase seseorang. Inhibisi dari enzim in vitro oleh florida dan klorida lebih
lanjut menunjukkan batas fenotipe.
Selain evaluasi kualitatif diperoleh menggunakan dibucaine, evaluasi
kuantitatif dari enzim ini dapat diperoleh dengan menentukan aktivitas plasma
kolinesterase. Ini penting untuk mengukur aktivitas plasma kolinesterase (dengan
nama
lain
butyrylcholinesterase/pseudocholinesterase)
daripada
aktivitas
kolinesterase, yang mana juga dikenal sebagai aktivitas kolinesterase sel darah merah
(RBC) atau eritrosit. Kombinasi dari nomor dibucaine dan aktivitas
pseudocholinesterase membantu membedakan genetik dari non-genetik penyebab
untuk apneu yang berlangsung lama setelah pemberian succinylcholine/mivacurium
klorida. Beberapa pasien menderita paralisis yang berlangsung lama setelah
pemberian mivacurium/succinylcholine mempunyai penurunan sementara dari
aktivitas pseudocholinesterase disebabkan oleh interaksi obat atau penyebab yang
tidak teridentifikasi lainnya. Karena itu, ini penting untuk tidak mengambil sampel
aktivitas pseudocholinesterase sampai setelah kejadian selesai. Tidak ada urgensi
untuk hasil tes ini, seseorang mungkin perlu menunggu beberapa hari dalam kasus
interaksi obat/racun lain yang menyebabkan kejadian.
HIPERTERMI MALIGNA
Hipertermi maligna (HM) adalah suatu keadaan hipermetabolik fulminan
yang dicirikan dengan takikardi, hipertensi, hiperkarbia, hipoksemia arterial,
desaturasi oksigen vena yang tercampur, asidosis metabolik, hiperkalemi, kekakuan
otot, hipertemi, gagal ginjal, disseminated intravascular coagulation, dan kematian
jika kondisi tidak ditangani. Individu-individu secara genetik merupakan predisposisi
untuk berkembang menjadi hipertermi maligna dan tanpa gejala sampai mereka
diberikan succinylcholine atau anestesi volatil yang kuat misalnya desflurane,
sevoflurane, atau isoflurane. Insiden dari HM tiga kali lebih tinggi pada populasi
anak-anak daripada dewasa. Hipertensi maligna terjadi pada 1 dari setiap 12.000
kasus anestesi anak. Sejumlah penyakit neuromuskular telah dihubungkan dengan
berkembangnya HM. Enam puluh persen individu mudah terserang manifestasi HM
ketika diberikan obat yang mencetus untuk pertama kalinya, terutama ketika
succinylcholine dikombinasi dengan anestesi volatil yang poten. Mereka yang tidak
berespon pada mula dicetuskan mungkin menghasilkan HM dengan pemberian
anestesi yang akan datang.
Hipertermi maligna merupakan hasil dari aktivasi otot rangka karena
penambahan konsentrasi kalsium di dalam sarkoplasma intraseluler disebabkan oleh
pencetus-pencetus yang telah disebutkan sebelumnya. Penelitian mikroelektroda
kalsium selektif menunjukkan bahwa individu-individu yang mudah terserang HM
mengalami peningkatan kadar istirahat dari kalsium sarkoplasma dan menghasilkan
kadar yang berlebihan ketika terkena pencetus yang spesifik.
Eksitasi-kontraksi yang berhubungan dengan kontraksi otot membutuhkan
pelepasan kalsium yang cepat dari retikulum sarkoplasma. Dengan paparan ke
ryanodine, sebuah racun, sebuah tanda perubahan terjadi dalam eksitasi-kontraksi otot
lurik, yang mana mengarah ke kontraksi otot rangka. Penelitian genetik yang
mendalam menunjukkan pada anggota keluarga yang rentan terhadap HM. Meskipun
mutasi di dalam gen yang mengkode reseptor ryanodine telah diidentifikasi dalam
keluarga tertentu, tidak ada satupun mutasi memisahkan dengan semua pasien yang
rentan. Penurunan pola pada manusia kelihatannya menjadi autosomal dominan.
Penelitian in vitro menunjukkan bahwa arus natrium yang lambat pada sel-sel
otot manusia diubah di dalam sel-sel pasien dengan HM; penemuan ini
mengindikasikan bahwa saluran natrium mengalami kecacatan di dalam penambahan
mana mungkin tidak ditanggung oleh asuransi pihak ketiga; dan tes ini membutuhkan
anestesi. Ini khususnya bermasalah dengan pasien-pasien anak sebagai mana biopsi
sendiri hampir pasti membutuhkan anestesi umum.
Pengujian gen untuk mutasi di dalam reseptor ryanodine (RYR1) bisa menjadi
sebuah tambahan atau pengganti CHCT. Karena mutasi RYR1 ditemukan hanya 25%
sampai 30% dari individu-individu yang rentan terhadap HM, tes ini mempunyai
sensitifitas relatif rendah. Bagaimanapun juga, tes ini mempunyai nilai prediksi
positif yang sangat tinggi. Satu keuntungan dari pengujian genetik bahwa tes ini dapat
dilakukan pada sampel darah yang dikirimkan ke satu dari dua laboratorium di
Amerika. Harganya bervariasi dari $740 sampai $1690 bergantung pada jumlah exonexon yang perlu dirangkai. Jika pasien yang ditemukan mempunyai mutasi RYR1
yang berhubungan dengan HM, kemudian pasien ini rentan terhadap HM tidak perlu
di tes lebih lanjut. Kerabat dapat diuji untuk mutasi yang sama sebagai pasien kirakira $200. Jika pasien mempunyai risiko klinis yang tinggi untuk HM (seperti episode
sebelumnya atau keluarga dengan HM) dan mempunyai tes genetik negatif, kemudian
pasien mungkin masih rentan terjadi HM dan CHCT seharusnya dipertimbangkan.
Pada tahun 2005 Litman menulis sebuah tinjauan yang bagus mengenai pengujian
kerentanan HM menjelaskan tentang peran CHCT dan tes genetik.
Karena tidak ada tes sekarang yang mempunyai sensitifitas 100%, beberapa
pasien yang berisiko boleh memilih untuk tidak menjalani tes. Selain itu, banyak ahli
anestesi mungkin memilih untuk memberi teknik anestesi yang tidak mencetus pasien
dengan riwayat personal atau keluarga HM tanpa memperhatikan hasil tes pasien.
Idealnya, pasien yang rentan terhadap HM seharusnya dijadwalkan untuk kasus
pertama kali di hari itu untuk meminimalkan sisa obat anestesi di dalam ruang operasi
dan pemulihan. Mesin anestesi seharusnya disiapkan dengan baik dan agen pencetus
dicegah. Ini penting untuk mengkomunikasikan sebelum tanggal pembedahan dengan
dokter bedah dan dokter anestesi jika seorang pasien yang rentan HM dijadwalkan.
Ini dapat memberikan penjadwalan yang tepat, persiapan mesin anestesi, dan rencana
obat anestesi dan fase pemulihan segera (Tabel 4).
Standarnya fasilitas harus mempunyai 36 vial natrium dantrolene di semua
fasilitas dimana agen pencetus (contohnya, agen inhalasi poten atau succinylcholine)
tersedia. Selain itu, fasilitas direkomendasikan mempunyai dantrolene untuk pasien
yang berisiko HM bahkan jika ada rencana untuk memberikan obat anestesi yang
tidak mencetus (Tabel 5). The Malignant Hyperthermia Association of the United
States (MHAUS) merekomendasikan pasien pembedahan rawat jalan untuk dimonitor
dalam fase 1 pemulihan (termasuk tanda-tanda vital paling tidak setiap 15 menit)
paling sulit dari tampilan klinis ini adalah kurangnya definisi yang sama untuk
rigiditas. Oleh karena itu, sulit untuk mengevaluasi pasien yang dilaporkan memiliki
riwayat tight jaw dengan anestesi. Mendapatkan rekaman anestesi sebelumnya
untuk perincian adalah kunci dalam menentukan apa yang mungkin terjadi. Hanya
pasien-pasien yang mulutnya tidak dapat membuka setelah tubuh direlaksasi
seharusnya dideskripsikan sebagai rigiditas otot masseter. Lima puluh persen anakanak dan 25% dewasa masuk ke dalam grup yang rentan terjadi HM. Walaupun
banyak pendapat berbeda bagaimana cara terbaik untuk membius pasien ini,
pendekatan yang paling konservatif adalah menggunakan teknik yang tidak mencetus.
Manajemen dari pusat-pusat HM mendorong pengenalan sindroma dan
pemberian natrium dantrolene intravena. Pendinginan yang aktif dan perawatan
penunjang berperan jika pasien menjadi hipertermi, oliguri, koagulopati, atau
menunjukkan kelainan metabolik lain. Masing-masing vial natrium dantrolene
(sebuah campuran lipofilik) terdiri dari 20 mg dantrolene dan 3 g manitol. Dosis
efektif pada 90% pasien adalah injeksi intravena bolus 2,5 mg/kg, tetapi dapat
dinaikkan menjadi 10 mg/kg natrium dantrolene mungkin dibutuhkan untuk
mengobati secara total episode HM. Obat bereaksi dengan menghambat pelepasan
kalsium dari retikulum sarkoplasma dan ini adalah terapi spesifik untuk HM. Obat ini
tidak dianjurkan sebagai profilaksis untuk pasien yang rentan HM yang berencana
untuk dilakukan anestesi.
MHAUS menyediakan 24 jam telepon (di 1-209-634-4917) untuk bertanya
tentang manajemen HM. Website www.mhaus.org adalah sumber yang baik untuk
pasien dan dokter.
POSTOPERATIVE NAUSEA AND VOMITING (PONV)
Postoperative nausea and vomiting (PONV) meninggalkan sebuah masalah
penting untuk pasien yang menerima anestesi umum dan pemberi perawatannya. Ini
terjadi hampir pada 30% pasien yang menerima anestesi umum dan meningkat 70%
pada pasien risiko tinggi. Mual dan muntah pasca operasi adalah ketidakpuasan yang
utama dan meningkatkan lama perawatan pasca operasi. Hal ini juga menjadi
penyebab utama dokter anestesi untuk merawat pasien bedah rawat jalan. Selain itu,
perilaku memuntahkan atau muntah-muntah dapat meningkatkan tekanan
intrakranial, intraokuler, intraabdomen, intrathoraks, dan vena sentral. Banyak
anggapan muntah pasca operasi menjadi faktor risiko untuk perdarahan atau hematom
pada pembedahan kepala dan leher.
Faktor risiko untuk PONV dapat berhubungan dengan pasien, prosedur, dan
obat anestesi (Tabel 6). Perhatian cukup besar diberikan pada subjek yang
dikelompokkan risiko PONV. Faktor risiko pasien termasuk wanita, riwayat PONV
sebelumnya atau mabuk, menjadi seorang yang tidak merokok, antisipasi penggunaan
opioid pasca operasi untuk kontrol nyeri. Risiko PONV meningkat dengan jumlah
faktor risiko. Sekitar 10% risiko PONV dengan orang yang tidak ada faktor risiko,
21% dengan satu faktor risiko, 39% dengan dua faktor risiko, 61% dengan tiga faktor
risiko, 79% dengan 4 faktor risiko. Risiko PONV juga dipengaruhi oleh faktor
pembedahan dan teknik anestesi serta obat-obatan. Tidak ada penemuan fisik yang
spesifik atau penelitian laboratorium yang membantu dalam pengelompokkan risiko
PONV.
Tabel 6. Faktor risiko untuk postoperative nausea and vomiting (PONV)
Hubungan dengan pasien
Data dari Gan TJ. Risk factor for postoperative nausea and vomiting. Anesth Analg. 2006;102:18841898.
Pasien yang menerima anestesi regional atau sedasi lebih rendah risiko PONV
daripada pasien-pasien yang menerima anestesi umum. Ini seharusnya diingat ketika
konseling dengan pasien mengenai risiko-risiko dan keuntungan-keuntungan teknik
anestesi alternatif. Ini berguna untuk mengidentifikasi pasien risiko tinggi sehingga
rencana obat anestesi yang tepat dapat diterapkan dan obat profilaksis anti muntah
dapat diberikan secara rasional.
sebagai Mallampati class (Tabel 7), dan sistem klasifikasi laring Cormack-Lehane
(Tabel 8).
Tabel 7. Modifikasi klasifikasi Mallampati
Kelas
1
2
3
4
The original Mallampati system had only three classes. Modifikasi Samsoon dan Young termasuk
empat kelas.
Dicetak dengan ijin dari Cormack RS, Lehane J. Difficult tracheal intubation in obstetrics.
Anaesthesia. 1984;39:1105-1111.
kesulitan ventilasi: umur >55 tahun, indeks massa tubuh >26, adanya janggut,
kurangnya gigi, dan riwayat mendengkur. Adanya dua faktor risiko sangat dicurigai
DMV (sensitifitas 72%, spesifitas 78%). Tambahan faktor risiko univariat termasuk
Mallampati kelas 2 atau lebih besar, makroglosia, dan jarak thyromental yang lebih
kecil.
Tabel 9. Komponen anatomi jalan napas dewasa dan anak
Komponen
Gambaran
Laring
Pita suara
Cincin krikoid
Membran krikoid
Trakea
Karina
Data dari Desoto H. Difficult airway recognition and management in childhood. Dalam:Refresher
Courses in Anesthesiology. Vol. 25. Philadelphia: JB Lippincott Co.; 1997:31-33; dan Gaiser R.
Airway evaluation and management. Dalam: Clinical Anesthesia Procedures of the Massachusetts
General Hospital. 4th ed. Boston: Little, Brown dan Company; 1993:171
Gambar 1. Perbandingan perbedaan anatomi jalan napas dewasa dan bayi. (Dicetak dengan ijin dari
Ho M. The pediatric airway. Dalam: Bell C, Hughes C, Oh T, eds. The Pediatric Anesthesia
Handbook. St. Louis: Mosby-Year Book; 1991:130.)
Pada 1984, Cormack dan Lehane mendeskripsikan empat kelas glotis dengan
laringoskopi direct (Tabel 8). Insiden kesulitan intubasi trakea bervariasi dengan
derajat laring Cormack-Lehane. Keduanya Mallampati dan Samsoon telah
mempublikasikan sebuah korelasi antara kelas Mallampati dan kemudahan
laringoskopi serta intubasi trakea. Kesimpulannya, pasien yang pada pemeriksaan
ditemukan jalan napas Mallampati faring kelas 1 mempunyai tampilan 99% sampai
100% laringoskopi Cormack-Lehane derajat I pada waktu yang sama. Jadi dengan
jalan napas Mallampati faring kelas 4 mempunyai laringoskopi Cormack-Lehane
derajat III dan IV sampai dengan 100% pada waktu yang sama. Sayangnya,
kebanyakan pasien dengan Mallampati kelas 2 atau 3, ditemukan dengan derajat
laring Cormack-Lehane berkisar dari I sampai IV. Demikian, kemampuan untuk
mengandalkan hanya pada sistem klasifikasi Mallampati sebagai bantuan untuk
memprediksi kesulitan laringoskopi dan intubasi trakea adalah suatu kesalahan,
paling tidak untuk sebagian besar pasien yang jalan napasnya Mallampati kelas 2
atau 3.
Penjelasan yang paling mungkin untuk derajat laring Cormack-Lehane yang
bermacam-macam dibandingkan dengan kelas Mallampati faring, paling tidak untuk
kelas Mallampati 2 dan 3, tidak hanya terletak pada variabilitas antar pengamat, tetapi
juga pada gambaran anatomi khusus dari jalan napas yang tidak termasuk dalam
modifikasi klasifikasi Mallampati, termasuk ekstensi atlanto-occipital, jarak
thyromental, dan sejumlah gambaran lainnya (Table 10). Frerk mempelajari apakah
sebuah kombinasi modifikasi kelas Mallampati dan penilaian jarak thyromental dapat
digunakan untuk memprediksi kesulitan laringoskopi dan intubasi trakea. Secara
rinci, dia mendemonstasikan individu dan sensitifitas dan spesifitas kombinasi dari
dua tes ini yang dengan mudah dilakukan di samping tempat tidur. Dia menemukan
bahwa kategori dalam modifikasi Mallampati kelas 3 atau 4 mempunyai sensitifitas
dan spesifitas 81% untuk memprediksi kesulitan intubasi trakea. Penemuan jarak
thyromental <7 cm menunjukkan 91% sensitifitas dan 81,5% spesifitas. Penggunaan
2 tes bersamaan mempunyai 81,2% sensitifitas dan 97,8% spesifitas. Kesimpulannya,
dia menemukan bahwa pasien yang jalan napasnya dikategorikan sebagai modifikasi
Mallampati kelas 3 atau 4 dan mempunyai jarak thyromental <7 cm dapat
diperkirakan akan mengalami kesulitan laringoskopi dan intubasi trakea. Sebagai
catatan, jarak thyromental dinilai dengan kepala pasien pada ekstensi maksimum.
Batasan utama dari penelitian ini adalah jumlah pasien yang terbatas.
Tabel 10. Penemuan fisik yang mencetus kemungkinan kesulitan dengan
intubasi trakea
Trismus
Mobilitas cervical yang buruk
Trauma jalan napas dan maxillofacial
Kelainan kongenital wajah dan jalan napas atas
Tumor dan abses-abses pada wajah dan jalan napas
Fibrosis wajah dan leher (luka bakar, terpajan radiasi)
Deformitas pasca bedah wajah dan leher
Tonsil yang membesar
Mikrognathia
Makroglossia
Pertumbuhan gigi jelek atau gigi maju ke depan
Leher pendek
Payudara yang besar
Kegemukan
Sejumlah penyakit yang mendasari dan kelainan craniofacial serta cervical
berhubungan dengan kesulitan intubasi. Ini dapat diidentifikasi dari riwayat (Tabel
11), pemeriksaan fisik (Tabel 10), dan teknik radiografi (rontgen thorax, CT scan
leher dan dada, rontgen cervical, tomogram trakea).
individu yang memberikan obat anestesi adalah yang terpenting jika pasien ingin
ditatalaksana dengan cara yang optimal.
Pasien yang jalan napasnya sulit untuk dikelola baik karena kesulitan ventilasi
atau kesulitan intubasi trakea seharusnya didukung untuk mendapat gelang
MedicAlert. MedicAlert dapat ditemui di 2323 Colorado Avenue, Turlock, CA 95382,
dan di 1-800-432-5378 atau www.medicalert.org.
Studi Kasus
Seorang wanita 25 tahun dengan bengkak di leher menjalani tiroidektomi
parsial. Dia tidak memiliki riwayat pengobatan atau pembedahan dan tidak dalam
pengobatan. Ketika ditanya apakah ada seseorang di dalam keluarganya mempunyai
masalah dengan anestesi, dia menunjukkan kartu berisi kata succinylcholine. Dia
mengatakan bahwa ayahnya mempunyai alergi dengan obat ini dan sebelumnya
dirawat di intensive care unit (ICU) setelah prosedur pembedahan. Sayangnya dia
tidak punya rekam medisnya.
Apakah ayahnya mengalami HM? Apakah dia menggunakan ventilator karena
defisiensi pseudocholinesterase? Mungkinkah dia terlalu banyak mendapat
succinylcholine dan membutuhkan ventilasi untuk blok fase II? Ketika ditanya,
wanita ini menyatakan bahwa ayahnya menerima dosis tunggal obat ini, dan pada
akhir operasi dia dapat mendengar semuanya tetapi tidak dapat bergerak. Dia
diventilasi di ICU selama beberapa jam dengan tidak ada masalah. Wanita ini tidak
pernah mendengar HM tetapi menyatakan bahwa ahli anestesi ayahnya mengatakan
tidak ada satu orang pun dalam keluarganya boleh menerima succinylcholine.
Dengan riwayat keluarga defisiensi pseudocholinesterase seperti ini, pasien
ini dan anak-anaknya seharusnya di tes untuk menentukan apakah mereka berisiko
untuk apneu yang berkepanjangan dengan penggunaan succinylcholine dan
mivacurium cholride. Level dibucainenya harus ditentukan. Semua kerabat terdekat
seharusnya dievaluasi. Semua orang yang menderita perlu dinasehati untuk mendapat
gelang MedicAlert dan registrasi. Dia seharusnya diterangkan succinylcholine dan
mivacurium cholride tidak diperlukan untuk anestesi dan pembedahan.
Kasus ini menyoroti pentingnya mendapatkan rekam medis sebelum bedah
elektif, karena pasien sering tidak sadar hal-hal yang spesifik berhubungan dengan
pelayanan medis.