You are on page 1of 25

MODUL I

SESAK NAPAS
BLOK EMERGENCY DAN TRAUMATOLOGI

TUTOR : dr. ARINA F ARIFIN


KELOMPOK 1
PRATIWI AMIRUDDIN

1102060060

USMAN UMAR

1102070083

NAHLAZAIMAH JAINUDDIN

1102100001

NURINDAH SARI TOATUBUN

1102100026

FITRIANI

1102100027

ULIMA RAHMA

1102100048

SARTIKA STIEFANY PUTRI

1102100067

NUR ZULZILATUN M.

1102100075

A. AYU ANDJANI
SUMARDIN
MUKHRAENI
MUHAMMAD JAYADI H.

1102100093
1102100094
1102100111
1102100112

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2013

Sesak Napas
A.

Kasus
Skenario
Seorang laki-laki usia 25 tahun dibawa ke puskesmas dengan keluhan sesak nafas,
penderita terlihat pucat dan kebiruan. Nadi teraba cepat dan lemah.

B.

Kata Kunci
1. Laki-laki, 25 tahun
2. Sesak napas
3. Pucat dan kebiruan (sianosis)
4. Nadi cepat dan lemah

C.

Pertanyaan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Bagaimana penanganan awal pada scenario ?


Sebutkan penyebab sesak napas ?
Jelaskan patomekanisme gejala yang terdapat dalam scenario ?
Secondary survey ?
Komplikasi yang terjadi saat tindakan primary survey tidak berhasil ?
Obat-obat darurat yang diberikan ?
Syarat- syarat transportasi dan rujukan pasien ?

D. Jawaban
1. Apa penanganan awal pada pasien?
Proses penanganan awal ini bertujuan untuk mengenali keadaaan yang mengancam nyawa
terlebih dahulu, dengan menilai berdasarkan tindakan berikut:

A.

AIRWAY: dengan menjaga airway dengan control servikal (cervical spine control).
Look :
a. melihat adanya obstruksi jalan napas oleh benda asing/cairan.
b. melihat adanya kelainan servikalis didasarkan pada riwayat perlukaan.
c. Menilai GCS (Glasgow Coma Scale)
Listen : mendengar ada tidaknya suara pernapasan.
Feel : merasakan adanya hembusan napas pasien

Gambar 1.1 Look-Listen-Feel (LLF) dilakukan secara simultan.1


Gangguan pada Airway
a.

Obstruksi total akibat benda asing


1. Bila pasien masih sadar
Pada penderita yang dapat berbicara, dapat dianggap bawah jalan napas bersih,
walaupun demikian penilaian ulang terhadap airway harus tetap dilakukan.
Kemungkinan pasien datang dengan keadaan sadar tetapi korban memegang leher
dan dalam keadaan sangat gelisah, ini menunjukkan kesan masih bernapas walaupun
tidak ada ventilasi. Penanganan pada pasien seperti ini dengan melakukan heimlich
maneuver/Abdominal Trust, penanganan ini tidak dilakukan pada pasien bayi, ibu
hamil dan pasien gemuk.
2. Bila pasien mengalami gangguan kesadaran
Menentukan dengan cepat adanya obstruksi total dengan sapuan jari (finger sweep)
ke dalam faring sampai belakang epiglottis. Jika tidak berhasil, lakukan Heimlich

b.

maneuver/Abdominal Trust dalam keadaan penderita berbaring.


Obstruksi Parsial
Obstruksi parsial bisa disebabkan berbagai hal. Biasanya pasien masih bisa bernapas
sehingga timbul berbagai macam suara pada pemeriksaan listen, tergantung penyebabnya:
1. Cairan (Darah/secret)
Terdengar suara seperti berkumur (Gargling), kondisi ini terjadi karena ada
kebuntuan yang disebabkan oleh cairan, Pada pasien ini dilakukan cross-finger, lalu
lakukan finger-sweep dengan menggunakan 2 jari yang sudah dibalut dengan kain
untuk menyapu rongga mulut dari cairan-cairan. Pada pasien seperti ini bisa juga

dilakukan pengambilan cairan menggunakan alat Suction (orofaring atau nasofaring)


atau melakukan pemasangan ETT (endotracheal tube). 1

Gambar 1.2. tindakan finger sweep.1


2. Lidah jatuh kebelakang
Pada pasien yang mengalami lidah jatuh kebelakang terdengar suara seperti ngorok
(snoring), kondisi ini menandakan adanya kebuntuan jalan napas bagian atas oleh
benda padat. Penanganan awal yang dapat dilakukan adalah melakukan head tilt,
chin lift ataupun jaw trust, kemudian lakukan pengecekan langsung dengan cara
cross-finger untuk membuka mulut (menggunakan 2 jari, yaitu ibu jari dan jari
telunjuk tangan yang digunakan untuk chin lift tadi, ibu jari mendorong rahang atas
ke atas, telunjuk menekan rahang bawah ke bawah).metode pembebasan jalan napas
Setelah jalan napas bersih dan tidak ada lagi obstruksi, dilakukan pemasangan pipa
oropharing untuk mempertahankan patensi jalan napas. 1
3. Penyempitan di laring/trakea
Penyempitan ini bisa terjadi akibat edema pita suara yang biasanya disebabkan oleh
keracunan ataupun luka bakar. Pada keadaan ini terdengar suara dengan nada tinggi
(crowing) atau terdengar stridor suara yang kontinu (tidak terputus-putus), bernada
tinggi yang terjadi baik pada saat inspirasi maupun pada saat ekspirasi. untuk
pertolongan pertama tetap lakukan maneuver head tilt and chin lift atau jaw thrust.
Kemudian lakukan trakheostomi. 1
BREATHING: Menjaga pernapasan dengan ventilasi. 1
Airway (jalan napas) yang baik tidak menjamin breathing (ventilasi) yang baik. Breathing

B.

artinya pernapasan atau proses pertukaran oksigen dan karbon dioksida. Airway yang
baik tidak menjamin ventiasi yang baik. Ventilasi yang baik menggambarkan fungsi baik
dari paru, dinding toraks dan diafragma. Pada saat pemeriksaan breathing dada korban
harus dibebaskan dari pakean untuk melihat pernapasaan yang baik. Dalam pemerikasaan
a.

berpedoman pada:
Inspeksi
Inspeksi breathing berupa observasi dada, yang dinilai:

1. Mehitung frekwensi napas dan irama pernapasaan pasien.


2. Keadaan umum pasien tampak sesak dengan tangan menopang pada tempat tidur
dengan maksud supaya otot-otot bantu pernapasan dapat membantu ekspirasi,
pernapasan cuping hidung takipneu dan sianosis. Selain itu juga mungkin dapat
didengar wheezing (ekspirasi yang memanjang) dan bentuk dada barrel chest
(terjadi pemanjangan diameter antero-posterior disertai sela iga yang melebar dan
sudut epigastrium yang tumpul). Keadaan ini bisa dijumpai pada keadaan saluran
napas yang menyempit seperti asma. Yang dapat dilakukan memposisikan pasien
pada posisi senyaman mungkin, biasanya posisi setengah duduk dan diberi
oksigen pada asma ringan. Sedangkan asma berat diberi bronchodilator. Pada
kasus trauma stabilisasi penderita dilakukan pada posisi stabil dengan
menggunakan bantuan oksigen baik itu dengan endotracheal tube ataupun dengan
bentilator. Indikasi pemberian oksigen pada saat RJP, trauma berat, nyeri
prekardial, gangguan asma dan sebagainya. 1
3. Pergerakan dada apakah simetris antara dinding thoraks kiri dan kanan pada saat
inspirasi dan ekspirasi. saat terlihat retraksi otot-otot pernapasan tapi kedua gerak
dada simetris, penanganan yang dapat kita berikan adalah pemberiab terapi
oksigen . Namun apabila terlihat gerak dada yang tidak simetris, dapat kita curigai
terjadi pneumothorax, untuk itu dapat kita lakukan thoracotomi agar udara yang
terjebak dalam rongga pleura dapat dikeluarkan. 1
b.

Palpasi
Palpasi dilakukan untuk memperlihatkan kelainan dinding dada yang mungkin
mengganggu ventilasi berupa adanya ekspansi dada dan posisi apex jantung. Apex
jantung berubah dapat disebabkan dorongan oleh kelainan mediastinum, efusi pleura
1.

dan lain-lain yang dinilai pada palpasi:


Nyeri tekan dan krepitasi: hal ini mungkin terjadi pada fraktur kosta. Nyeri timbul
akibat penekanan kosta ke pleura parieralis sedang krepitasi adalah bunyi tulang

2.

kosta yang patah.


Vocal fremitus: ini dilakukan untuk mengetahui permbatan suara ke dinding dada
yang dirasakan oleh kedua tangan yang dirapatkan. Interpretasi:
a) Peningkatan : adanya konsolidasi paru misalnya pneumonia (akibat kelainan
infiltrat).

b) Penurunan : disebabkan oleh kelainan non infiltrat (peneumothorax).


Deviasi trakea: terjadi penyimpangan trakea akibat pendorongan di dalam

3.

mediastinum. Pada pneumothorax misalnya: deviasi trakea akan mengarah kea rah
4.
c.

sehat hal ini akan membantu dalam melakukan NTS (needle thoracocintesis).
Desakan vena sentralis: biasa disebabkan oleh kelainan jantung.
Perkusi
Perkusi dilakukan untuk menilai adanya udara atau darah dalam rongga pleura. Suara
perkusi normalnya adalah sonor, suara perkusi hipersonor ditemukan pada
pneumotoraks karena berisi udara, sedangkan hemotoraks hasil perkusinya didengar
pekak. Dalam keadaan emergensi yang di fokuskan dalam perkusi adalah suara
pekak untuk mengeluarkan cairan yang ada di dalamnya dan mengeluarkannya
dengan segera.
Sebaiknya dalam melakukan perkusi hendaknya selalu membandingkan tempat yang
sehat dan lesi (dari atas ke bawah/ dari medial ke lateral).
Auskultasi
Auskultasi dilakukan untuk memastikan masuknya udara ke dalam paru. Pada

d.

keadaan normal didapatkan napas bronchial pada tracheam napas bronchovasikyler


di daerah intraclaviculer, suprasternal dan interscapular. Sedangkan suara vesikuler di
luar lokasi diatas. Bila didapatkan suara napas bronchial/ bronchovesikuler pada
lokasi yang seharusnya vesikuer, menandakan adanya suatu kelainan pada tempat
1.

tersebut.
Suara napas vesikuler yang melemah menandakan adanya halangan hantaran

2.
3.

suara ke dinding dada misalnya efusi pleura, pneumotoraks dan hematoraks.


Suara wheezing pada penderita asma
Ronchi halus dan sedang menunjukkan adanya cairan misalnya pneumonia dan

4.

edema paru.
Bunyi berkurang-menghilang menunjukkan adanya cairan/ udara dalam rongga

pleura/ kolaps paru.


5.
Bunyi napas bernada tinggi misalnya di tension pneumothoraks
Setelah evaluasi breathing dan hasilnya baik, harus periksa kembali airway sebelum
melanjutkan ke circulation. Bila tiba-tiba pasien henti napas maka pernaoasan buatan bisa
dengan:
Jenis peralatan dan konsentrasi oksigen
JENIS ALAT
Nasal kanula

KONSENTRASI OKSIGEN
24-32%

ALIRAN OKSIGEN
2-4 LPM

Simple Face Mask

35-60%

6-8 LPM

Partial Rebreather

35-80%

8-12 LPM

Non Rebrether

50-95/100%

8-12 LPM

Venturi

24-50%

4-10 LPM

Bag-Valve-Mask (Ambubag)
Tanpa oksigen

21% (udara)

Dengan oksigen

40-60%

8-10 LPM

Dengan reservoir

100%

8-10 LPM

Gambar 1.3 Bag-valve-mask ventilation dan Mouth to mask .1


C.

CIRCULATION: dengan kontrol pendarahan. 2


Yang dinilai pada pemeriksaan sirkulasi adalah status hemodinamik dari pasien.
Pemeriksaan tersebut dilakukan dengan melihat ada tidak perdarahan, pemeriksaan
tekanan dan nadi (tanda vital). Juga memperhatikan ada tidaknya tanda syok seperti
hipotermi, pucat, berkeringat, akral dingin, dan perubahan status mental.
Bila ada tanda syok tersebut maka segera posisikan pasien dengan posisi Trendelenberg
untuk menjamin sirkulasi ke otak. Kemudian segera pasang infus untuk memasukkan
cairan intravena sesuai dengan indikasi. Bila ada perdarahan eksterna yang nyata maka
segera hentikan pendarahan tersebut dengan menekan langsung tempat pendarahan atau

bebat tekan. Kontrol penderahan ini diperlukan agar status hemodinamik pasien tidak
semakin memburuk. 2
Setelah tindakan tersebut dilakukan maka evaluasi kembali keadaan pasien mulai dari
tindakan yang pertama yaitu airway, breathing, dan circulation. Selalu melakukan
evaluasi setiap tindakan yang telah kita lakukan.
Pada scenario kasus tampak nadi pasien melemah dan pucat, keadaa ini menunjukkan
bahwa pasien mengalami gejala awal dari syok. Untuk itu tindakan sirkulasi perlu kita
D.

lakukan, yaitu dengan trendelenberg kemudian masukkan cairan infus kristalloid.


DISABILITY & DRUGS: status neurologis
Cara pemakaian obat-obtan darurat adalah dengan kanulasi vena perifer, yaitu melakukan
penusukan pada vena yang terletak pada superfisial di lengan, tungkai, leher atau kepala
dengan infus. Selain untuk media masuknya obat-obatan darurar, infus juga diindikasikan
untuk pemberia cairan dan elektrolit, sebagai bagian dari resusitasi, sebelum dilakukan
tindakan operasi dan untuk pemberian nutrisi perenteral perifer. Contoh obat-obatan
resusitasi antara lain: adrenalin/efineprin, naloxon, Na bikarbonat, dsb.
Disability adalah penilaian status neurologis meliputi:
a. GCS (glasglow coma scale)
b. refleks pupil yang dinilai yaitu apakah pupil bisa miosis dan midriasis secara normal.
Anosokor adalah jika perbedaan diameter kedua pupil lebih dari 1mm, sedangkan
isokor adalah jika perbedaan diameterkedua pupil kurang dari 1 mm.
c. Lateralisasi adalah ketidak mampuan sebagian fungsi sensorik dan motorik
berdasrkan ada tidaknya jejas atau massa pada intrakranial.
d. Tetapi penggunaan GCS pada kasus trauma dianggap membutuhkan waktu yang
banyak, sehingga ditetapkan menggunakan AVPU. 2
Penilaian Cepat : AVPU
-

A: Alert = sadar penuh

V: Verbal = memberikan respon hanya dengan rangsangan suara

P: Pain = memberikan respon hanya dengan ransangan nyeri

U: unresponsive = tidak memberikan respon dengan rangsangan nyeri

2. Penyebab sesak napas

a. diakibatkan oleh trauma


1. Hematoraks
Hemothorax adalah kumpulan darah di dalam ruang antara dinding dada dan paruparu (rongga pleura). Penyebab paling umum dari hemothorax adalah trauma
dada.Trauma misalnya :
a. Luka tembus paru-paru, jantung, pembuluh darah besar, atau dinding dada.
b. Trauma tumpul dada kadang-kadang dapat mengakibatkan lecet hemothorax
oleh pembuluh internal.
Diathesis perdarahan seperti penyakit hemoragik bayi baru lahir atau purpura
Henoch-Schnlein dapat menyebabkan spontan hemotoraks. Adenomatoid
malformasi kongenital kistik: malformasi ini kadang-kadang mengalami
komplikasi, seperti hemothorax. 3
Etiologi
1. Traumatik
a. Trauma tumpul.
b. Trauma tembus (termasuk iatrogenik)
2. Nontraumatik / spontan
a. Neoplasma.
b. komplikasi antikoagulan.
c. emboli paru dengan infark
d. robekan adesi pleura yang berhubungan dengan pneumotoraks spontan.
e. Bullous emphysema.
f. Nekrosis akibat infeksi.
g. Tuberculosis.
h. fistula arteri atau vena pulmonal.
i. telangiectasia hemoragik herediter.
j. kelainan vaskular intratoraks nonpulmoner (aneurisma aorta pars
thoraxica, aneurisma arteri mamaria interna).
k. sekuestrasi intralobar dan ekstralobar.
l. patologi abdomen ( pancreatic pseudocyst, splenic artery aneurysm,
hemoperitoneum).
m. Catamenial
Tanda dan gejala Hemotoraks
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.

Denyut jantung yang cepat


Kecemasan
Kegelisahan
Kelelahan
Kulit yang dingin dan berkeringat
Kulit yang pucat
Rasa sakit di dada
Sesak nafas

1.

Penanganan
Resusitasi cairan. Terapi awal hemotoraks adalah dengan penggantian volume
darah yang dilakukan bersamaan dengan dekompresi rongga pleura.
Dimulai dengan infus cairan kristaloid secara cepat dengan jarum besar dan
kemudian pemnberian darah dengan golongan spesifik secepatnya. Darah
dari rongga pleura dapat dikumpulkan dalam penampungan yang cocok
untuk autotranfusi bersamaan dengan pemberian infus dipasang pula chest

2.

tube ( WSD ).
Pemasangan chest tube ( WSD ) ukuran besar agar darah pada toraks tersebut
dapat cepat keluar sehingga tidak membeku didalam pleura. Hemotoraks
akut yang cukup banyak sehingga terlihat pada foto toraks sebaiknya di
terapi dengan chest tube kaliber besar. Chest tube tersebut akan
mengeluarkan darah dari rongga pleura mengurangi resiko terbentuknya
bekuan darah di dalam rongga pleura, dan dapat dipakai dalam memonitor
kehilangan darah selanjutnya. Evakuasi darah / cairan juga memungkinkan
dilakukannya penilaian terhadap kemungkinan terjadinya ruptur diafragma
traumatik. WSD adalah suatu sistem drainase yang menggunakan air. Fungsi
WSD sendiri adalah untuk mempertahankan tekanan negatif intrapleural /

cavum pleura.
2.Flail chest. 3
Flail chest adalah gerakan abnormal dari dinding dada yang terjadi akibat fraktur dari
dua costa atau lebih dari costa yang berurutan dan tiap-tiap costa terdapat fraktur
segmental . atau fraktur pada 2 tempat atau lebih pada 1 iga dimana terjadi pada 3 iga
atau lebih, baik anterio maupun posterior.
Gejala gejala :
1. Sesak nafas, sianosis
2. Takhikardi
Penanganan
1. Nafas paradoksal. Intubasi dan ventilator
2. Penggunaan WSD
3. Pemasangan Fiksasi Interna
3. Pneumothoraks. 3
Adalah keadaan terdapatnya udara atau gas dalam rongga pleura, dalam keadaan
normal rongga pleura tidak berisi udara.

Klasifikasi dan Etiology


Pneumothoraks spontan adalah pneumothoraks yang terjadi secara tiba-tiba tanpa
diketahui penyebabnya
Pneumothoraks spontan primer Terjadi tanpa adanya suatu riwayat penyakit paru
yang mendasarinya
Pneumothoraks spontan sekunder karena ada penyakit paru yang mendasarinya
Pneumothoraks traumatik adalah pneumothoraks yang terjadi akibat trauma, baik
trauma penetrasi (luka tusuk, tembak) maupun bukan yang mnyebabkan robeknya
rongga pleura.
Pneumothoraks traumatik Iatrogenik terjadi akibat komplikasi tindakan medis
Pneumothoraks traumatik Iatrogenik aksidental karena tindakan medis kesalahan
atau komplikasi tindakan tersebut
Pneumothoraks traumatik Iatrogenik artifisial karena tindakan medis itu sengaja
dilakukan dengan cara mnegisi udara ke dalam rongga pleura melalui jarum
Pneumothoraks traumatik bukan Iatrogenik terjadi karena jejas kecelakaan,
misalnya jejas pada dinding dada baik terbuka maupun tertutup
Pneumothoraks tertutup adalah pneumothoraks yang tekanan udara d rongga pleura
lebih tinggi dibandingkan pada sisi hemithoraks kontralateral tetapi tekanannya masih
lebih rendah dari tekanan atmosfer
Pneumothoraks terbuka disebabkan karena luka terbuka pada dinding dada sehingga
saat inspirasi udara dapat keluar melalui luka tersebut
Pneumothoraks tension karena mekanisme check valve yaitu saat inspirasi udara
masuk ke dalam rongga pleura namun saat ekspirasi udara tidak dapat keluar . dapat
menimbulkan gagal nafas.
Manifestasi klinis
Keluhan subyektif
a) Sesak nafas
b) Nyeri dada
c) Batuk-batuk
d) Tidak menunjukkan gejala-5-10%
Pemeriksaan fisis
a) Suara nafas melemah sampai menghilang
b) Fremitus melemah sampai menghilang
c) Resonansi perkusi dapat normal atau meningkat/hipersonor
d) tachykardi

Penanganan
1. Observasi dan pemberian tambahan oksigen
a)Tindakan ini dilakukan apabila luas pneumothoraks < 15% dari hemithoraks.
b)Apabila fistula dari alveoli ke rongga pleura teah menutup, udara dalam rongga
pleura perlahan lahan di resorbsi,laju resorbsi kira-kira 1,25%dari sisi
pneumothoraks perhari, laju resorbsi akan meningkat jika diberi tambahan
oksigen .
c)Pemberian oksigen 100% pada kelinci percobaan yang mengalami pneumothoraks
ternyata meningkatkankan laju resorbsi 6x lipat.
2.Aspirasi dengan jarum dan tube thoracostomi
Tindakan inidilakukan seawalmungkin pada pasien pneumothoraks > 15%.
Tindakan ini dilakukan untuk mengeluarkan udara dari rongga pleura (dekompresi).
3.Thoracoscopy
Adalah suatu tindakan untuk melihat langsung ke dalam rongga thoraks dengan
alat bantu thoracoscop.

SESAK NAPAS AKIBAT NONTRAUMA.


1. ARD
ARDS terjadi jika paru-paru terkena cedera baik secara langsung maupun tidak
langsung.Berdasarkan mekanisme patogenesisnya maka penyakit dasar yang menyebabkan
sindrom ini dapat dibagi menjadi 2 kelompok : 4
1. Penyakit yang langsung mengenai paru-paru
a) Aspirasi asam lambung
b) Tenggelam
c) Kontusio paru
d) Infeksi paru yang difus
e) Inhalasi gas toksik
f) Keracunan oksigen
2. Penyakit yang tidak langsung mengenai paru-paru
a) Sepsis

b)
c)
d)
e)
f)
g)
h)

Pankreatitis akut
Trauma multipel
Penyalahgunaan obat
Renjatan hipovolemik
Transfusi berlebihan
Pasca transplantasi paru
Pasca operasi pintas jantung-paru.

3. Patomekanisme gejala pada scenario


A. Patomekanisme sesak napas (dispneu)
Terdapat beberapa patofisiologi daripada dispneu :
1) Kekurangan oksigen ( O2 )
a. Gangguan konduksi maupun difusi gas keparu-paru
1. Obstruksi dari jalan nafas, misalnya pada bronchospasme & adanya benda asing
2. Berkurangnya alveoli ventilasi, misalnya pada edema paru, radang paru, emfisema
dsb
3. Fungsi restriksi yang berkurang, misalnya pada. pneumotoraks, efusi pleura dan
barrel chest.
4. Penekanan pada pusat respirasi
b. Gangguan pertukaran gas dan hipoventilasi
c. Gangguan neuro muskular
1. Gangguan pusat respirasi, misal karena pengaruh sedatif
2. Gangguan medulla spinalis misalnya sindrom guillain-barre
3. Gangguan saraf prenikus, misalnya pada poliomielitis
4. Gangguan diafragma, misalnya tetanus
5. Gangguan rongga dada, misalnya kifiskoliosis
d. Gangguan obstruksi jalan nafas
1.Obstruksi jalan nafas atas, misal laringitis/udem laring
2.Obstruksi jalan nafas bawah, misal asma brochiale dalam hal ini status asmatikus
sebagai kasus emergency
e. Gangguan pada parenkim paru, misalnya emfisema dan pneumonia
f. Gangguan yang sirkulasi oksigen dalam darah, misalnya pada keadaan ARDS dan
keadaan kurang darah.
2) Pertukaran gas di paru-paru normal tapi kadar oksigen di dalam paru-paru berkurang.
Kejadian ini oleh karena 3 hal, yaitu :
a. Kadar Hb yang berkura
b. Kadar Hb yang tinggi, tapi mengikat gas yang afinitasnya lebih tinggi misalnya
CO ( pada kasus keracunan ketika inhalasi gas)
c. Perubahan pada inti Hb, misalnya terbentuknya met-Hb yang mempunyai inti Fe
3+.
1) Stagnasi dari aliran darah, dapat dibagi atas :
b. Sentral, yang disebabkan oleh karena kelemahan jantung.

c. Gangguan aliran darah perifer yang disebabkan oleh renjatan (shock), contoh syok
hipovolemik akibat hemototaks.
d. Lokal, disebabkan oleh karena terdapat vasokontriksi lokal
e. Dapat pula disebabkan oleh karena jaringan tidak dapat mengikat O2 , terdapat
contohnya pada intoksikasi sianida.
3) Kelebihan carbon dioksida ( CO2 )
Karena terdapatnya shunting pada COPD sehingga menyebabkan terjadinya aliran dari
kanan ke kiri ( right to the left ).
4) Hiperaktivasi refleks pernafasan
Pada beberapa keadaan refleks Hearing-Breuer dapat menjadi aktif. Hal ini disebabkan
olek karena refleks pulmonary stretch.
5) Emosi
6) Asidosis
Banyak hubungannya dengan kadar CO2 dalam darah dan juga karena kompensasi
metabolik.
7) Penambahan kecepatan metabolisme
Pada umumnya tidak menyebabkan dispneu kecuali bila terdapat penyakit penyerta
seperti COPD dan payah jantung (dekomensasi kordis). 4
B. Patomekanisme sianosis
Sianosis merupakan indikasi dari kurangnya oksigen di aliran darah yang disebabkan oleh
kelainan jantung kongenital atau racun (seperti CO). Penyebab sianosis adalah Hb yang
tidak mengandung O2 , jumlahnya berlebihan dalam dalam pembuluh darah kulit,
terutama dalam kapiler. Hb yang tidak mengandung O2 memiliki warna biru gelap yang
terlihat melalui kulit. Pada umumnya sianosis muncul apabila darah arteri berisi lebih dari
5 gram Hb yang tidak mengandung O2 dalam setiap desiliter darah. 5
C. Patomekanisme takikardi. 5
Takikardi : nadi > 100 x/menit.
Penyebab umum :
1) Sistem saraf otonom & endokrin
a. Stress (Fight or flight)
b. Stimulant (caffeine)
c. Penyakit endokrin (pneucromocytoma)
2) Haemodinamik
a.
b.
c.
d.

Dehidrasi
Perdarahan
Hipotensi ortostatik
Postural ortostatic tachycardia syndrome (POTS)

3) Cardiac Aritmia

a. Supraventrikular takikardi
b. Ventrikular takikardiai

4.Secondary survey2
A. Anamnesis
Anamnesis yang harus diingat :
A : Alergi
M : Mekanisme dan sebab trauma
M : Medikasi ( obat yang sedang diminum saat ini)
P : Past illness
L : Last meal (makan minum terakhir)
E : Event/Environtment yang berhubungan dengan kejadian perlukaan.
B.

PemeriksaanFisik
1. Kepala dan Maksilofasial
A. Penilaian
1. Inspeksi dan palpasi seluruh kepala dan wajah untuk adanya laserasi, kontusi,
fraktur dan luka termal
Re-evaluasi pupil
2. Re-evaluasi tingkat kesadaran dengan skor GCS
3. Penilaian mata untuk perdarahan, luka tembus, ketajaman penglihatan, dislokasi
lensa, dan adanya lensa kontak
4. Evaluasi syaraf kranial
5. Periksa telinga dan hidung akan adanya kebocoran cairan serebro-spinal
6. Periksa mulut untuk adanya perdarahan dan kebocoran cairan serebro-spinal,
perlukaan jaringan lunak dan gigi goyang.
B. Pengelolaan
1. Jaga airway, pernafasan dan oksigenasi
2. Cegah kerusakan otak sekunder
3. Vertebra servikalis dan leher
A. Penilaian
1. Periksa adanya cedera tumpul atau tajam, deviasi trakea, dan pemakaian otot
pernafasan tambahan

2. Palpasi untuk adanya nyeri, deformitas, pembengkakan, emfisema subkutan,


deviasi trakea, simetri pulsasi.
4. Toraks
A. Penilaian
1. Penilaian dinding dada bagian depan, samping dan belakang untuk adanya trauma
tumpul ataupun tajam, pemakaian otot pernafasan tambahan dan ekspansi toraks
bilateral.
2. Auskultasi pada bagian depan dan basal untuk bising nafas (bilateral) dan bising
jantung.
3. Palpasi seluruh dinding dada untuk adanya trauma tajam/tumpul, emfisema
subkutan, nyeri tekan dan krepitasi.
4. Perkusi untuk adanya hipersonor atau keredupan.
5. Abdomen
Penilaian :
a. Inspeksi abdomen bagian depan dan belakang untuk adanya trauma tajam/tumpul
dan adanya perdarahan internal.
b. Auskultasi bising usus
c. Perkusi abdomen untuk menemukan nyeri lepas (ringan)
d. Palpasi abdomen untuk nyeri tekan.
6. Perineum/rectum/penis
Penilaian :
a. Penilaian perineum : perdarahan uretra, laserasi, dsb
b. Penilaian rektum : perdarahan rektum
7. Tonus sfinkter ani
8. Utuhnya dinding rectum
9. Fragmen tulang
10. Posisi prostat
11. Muskuloskeletal
Penilaian :
a. Inspeksi lengan dan tungkai akan adanya trauma tumpul/tajam, termasuk adanya
laserasi kontusio dan deformitas
b. Palpasi lengan dan tungkai akan adanya nyeri tekan, krepitasi, pergerakan abnormal,
dan sensorik
c. Palpasi semua arteri perifer untuk kuatnya pulsasi dan ekualitas
d. Nilai pelvis untuk adanya fraktur dan perdarahan
e. Inspeksi dan palpasi vertebra torakalis dan lumbalis untuk adanya trauma tajam/ tumpul,
termasuk adanya kontusio, laserasi, nyeri tekan, deformitas, dan sensorik
12. Neurologis
Penilaian :
a. Re-evaluasi pupil dan tingkat kesadaran
b. Tentukan skor GCS
c. Evaluasi motoric dan sensorik dari keempat ekstremitas

d. Tentukan adanya tanda lateralisasi


Tambahan pada secondary survey
Dalam melakukan secondary survey, mungkin akan dilakukan pemeriksaan diagnostik yang
lebih spesifik yaitu pemeriksaan radiologi dan laboratorium.Seringkali ini membutuhkan
transportasi penderita ke ruangan yang lain harus tersedia perlengkapan untuk resusitasi.Dengan
demikian semua prosedur di atas jangan dilakukan sebelum hemodinamik penderita stabil dan
telah diperiksa secara teliti. 6
5.

Komplikasi
1. Oropharyngeal tube : tidak dipakai apabila refleks muntah (+) --> obstruksi. 7
2. Nasopharyngeal tube : hati-hati pada fraktur basis cranii
3. Resiko intubasi :
a.hipoksia
b.
tekanan darah naik
4. Airway : intubasi endotrakeal dapat menyebabkan obstruksi total karean tidak tahu adanya
fraktur laring. 7
5. Breathing :
a. penderita dalam keadaan takipneu dan dispneu berat yang disebabkan tension
pneumothorax --> airway tidak adekuat bila dilakukan intubasi endotrakeal dengan
b.

nafas tambahan memakai bag akan memperburuk keadaan


pada penderita tidak sadar dilakukan intubasi endotrakeal di sertai ventilasi
tambahan --> pneumothorax

6. Komplikasi intubasi endotrakeal :


a.nyeri tenggorok
b. suara sesak
6.Obat-obat pada penanganan sesak
Obat-Obat Bronkodilator
Tipe utama bronkodilator :
1.
Adrenergik
2.
Antikolinergik

3.
Xanthin
1. Adrenergika
Yang digunakan adalah b2-simpatomimetika (singkatnya b2-mimetika) yang berikut :
salbutamol, terbulatin, tretoquinol, fenoterol, rimiterol, prokaterol (Meptin), dan
klenbuterol (Spriropent). Lagi pula, obat long-acting yang agak baru, yaitu salmoterol
dan formoterol (dorudil). Zat-zat ini bekerja lebih kurang selektif terhadap reseptor
b2 adrenergis dan praktis tidak terhadap reseptor- b1 (stimulasi jantung). Obat dengan
efek terhadap kedua reseptor sebaiknya jangan digunakan lagi berhubung efeknya
terhadap jantung, seperti efedrin, inprenalin, orsiprenalin dan heksoprenalin.
Pengecualian adalah adrenalin (reseptor dan b) yang sangat efektif pada keadaan
kemelut.8
a.

Mekanisme kerjanya adalah melalui stimulasi reseptor b 2 di trachea (batang


tenggorok) dan bronchi, yang menyebabkan aktivasi dari adenilsiklase. Enzim ini
memperkuat pengubahan adenosintrifosat (ATP) yang kaya energi menjadi cyclicadenosin monophosphat (cAMP) dengan pembebasan energi yang digunakan untuk
proses-proses dalam sel. Meningkatnya kadar cAMP di dalam sel menghasilkan
beberapa efek bronchodilatasi dan penghambatan pelepasan mediator oleh mast
cells.

b.

Penggunaannya semula sebagai monoterapi kontinu, yang ternyata secara


berangsur meningkatkan HRB dan akhirnya memperburuk fungsi paru, karena tidak
menanggulangi peradangan dan peningkatan kepekaan bagi alergen pada pasien
alergis. Oleh karena itu, sejak beberapa tahun hanya digunakan untuk melawan
serangan atau sebagai pemeliharaan dalam kombinasi dengan obat pencegah,
seperti kortikosteroid dan kromoglikat.

c.

Kehamilan dan laktasi. Salbutamol dan terbutalin dapat digunakan oleh wanita
hamil, begitu pula fenoterol dan heksoprenalin setelah minggu ke-16. salbutamol.
Terbutalin, dan salmeterol mencapai air susu ibu. Dari obat lainnya belum terdapat
cukup data untuk menilai keamanannya; pada binatang percobaan, salmoterol
ternyata merugikan janin.

Obat-obat adrenergik yang sering digunakan sebagai bronchodilator : 8


a. Adrenalin epinefrin Lidonest 2%
Zat adrenergik ini dengan efek alfa + beta adalah bronchodilator terkuat dengan kerja cepat
tetapi singkat dan digunakan untuk serangan asma yang hebat. Sering kali senyawa ini
dikombinasi dengan tranquillizer peroral guna melawan rasa takut dan cemas yang
menyertai serangan. Secara oral, adrenalin tidak aktif. Efek samping berupa efek sentral
(gelisah, tremor, nyeri kepala) dan terhadap jantung palpitasi, aritmia), terutama pada dosis
lebih tinggi. Timbul pula hyperglikemia, karena efek antidiabetika oral diperlemah. Dosis
pada serangan asma i.v. 0,3 ml dari larutan 1 : 1.000 yang dapat diulang dua kali setiap 20
meter (tartrat). 8
b. Efedrin : *Asmadex, * Asmasolon, * Bronchicum
Derivat adrenalin ini memiliki efek sentral lebih kuat dengan efek bronchodilatasi lebih
ringan dan bertahan lebih lama (4 jam). Efedrin dapat diberikan secara oral maka banyak
digunakan sebagai obat asma (bebas berbatas tanpa resep) dalam berbagai sediaan populer,
walaupun efek sampingnya dapat membahayakan. Reasorbsinya baik dan dalam waktu
1 jam sudah terjadi bronchodilatasi. Di dalam hati, sebagian zat dirombak ekskresinya
terutama lewat urin secara utuh. Plasma -nya 3-6 jam. Efek samping, pada orang yang
peka, efedrin dalam dosis rendah sudah dapat menimbulkan kesulitan tidur, tremor, gelisah
dan gangguan berkemih. Pada overdose, timbul efek berbahaya terhadap SSP dan jantung
(palpitasi). 8
c. Isoprenalin : Isuprel Aleudrin
Derivat ini mempunyai efek b1 + b2 adrenergis dan memiliki daya bronchodilatasi baik tetapi
resorpsinya di usus buruk dan tidak teratur. Resorpsinya dari mulut (oromukosal sebagai
tablet atau larutan agak lebih baik dan cepat, dan efeknya sudah timbul setelah beberapa
menit dan bertahan sampai 1 jamn. Penggunaannya sebagai obat asma sudah terdesak oleh
adrenergika dengan khasiat spesifik tanpa efek beta-1 (jantung), sehingga lebih jarang
menimbulkan efek samping. Begitu pula turunnya, seperti yang tersebut di bawah ini,
sebaiknya jangan digunakan lagi. 8
d. Orsiprenalin (Metaproterenol, Alupent, Silomat comp)
Adalah isomer isoprenalin dengan resorpsi lebih baik, yang efeknya dimulai lebih lambat
(oral sesudah 15-20 menit tetapi bertahan lebih lama, sampai 4 jam. Mulai kerjanya melalui
inhalasi atau injeksi adalah setelah 10 menit. Dosis 4 dd 20 mg (sulfat), i.m. atau s.c. 0,5 mg
yang dapat diulang setelah jam, inhalasi 3 4 dd 2 semprotan. 8

e. Salbutamol: ventolin, salbuven


Derivat isoprenalin ini merupakan adrenergikan pertama (1986) yang pada dosis biasa
memiliki daya kerja yang lebih kurang spesifik terhadap reseptor b 2. selain berdaya
bronchodilatasi baik, salbutamol juga memiliki efek lemah terhadap stabilisasi mastcell,
maka sangat efektif mencegah maupun meniadakan serangan asma. Dewasa ini obat ini
sudah lazim digunakan dalam bentuk dosis-aerosol berhubung efeknya pesat dengan efek
samping yang lebih ringan daripada penggunaan per oral. Pada saat inhalasi seruk halsu atau
larutan, kira-kira 80% mencapai trachea, tetapi hanya 7 -8% dari bagian terhalus (1-5
mikron) tiba di bronchioli dan paru-paru. 8
Efek samping jarang terjadi dan biasanya berupa nyeri kepala, pusing-pusing, mual, dan
tremor tangan. Pada overdose dapat terjadi stimulasi reseptor b-1 dengan efek
kardiovaskuler: tachycardia, palpitasi, aritmia, dan hipotensi. Oleh karena itu sangat penting
untuk memberikan instruksi yang cermat agar jangan mengulang inhalasi dalam waktu yang
terlalu singkat, karena dapat terjadi tachyfylaxis (efek obat menurun dengan pesat pada
penggunaan yang terlalu sering). 8
Dosis 3-4 dd 2-4 mg (sulfat) inhalasi 3-4 dd 2 semprotan dari 100 mcg, pada serangan akut 2
puff yang dapat diulang sesudah 15 menit. Pada serangan hebat i.m. atau s.c. 250-500 mcg,
yang dapat diulang sesudah 4 jam.
f. Terbutalin : Bricasma, Bricanyl
Derivat metil dari orsiprenalin (1970) ini juga berkhasiat b 2 selektif. Secara oral, mulai
kerjanya sesudah 1-2 jam, sedangkan lama kerjnya ca 6 jam. Lebih sering mengakibatkan
tachycardia. Dosis 2-3 dd 2,5-5 mg (sulfat) inhalasi 3-4 dd 1-2 semprotan dari 250 mcg,
maksimum 16 puff sehari, s.c. 250 mcg, maksimum 4 kali sehari .
g. Fenoterol (berotec)
Adalah derivat terbutalin dengan daya kerja dan penggunaan yang sama. Efeknya lebih kuat
dan bertahan ca 6 jam, lebih lama daripada salbutamol (ca 4 jam).Dosis : 3 dd 2,5-5 mg
(bromida), suppositoria malam hari 15 mg, dan inhalasi 3-4 dd 1-2 semprotan dari 200 mcg.
2. Antikolinergika
Di dalam sel-sel otot polos terdapat keseimbangan antara sistem adrenergis dan sistem
kolinergis. Bila karena sesuatu sebab reseptor b 2 dari sistem adrenergis terhambat, maka
sistem kolinergis akan berkuasa dengan akibat bronchokonstriksi. Antikolimengika memblok
reseptor muskarin dari saraf-saraf kolinergis di otot polos bronchi, hingga aktivitas saraf
adrenergis menjadi dominan dengan efek bronchodilatasi. Penggunaan terutama untuk terapi

pemeliharaan HRB, tetapi juga berguna untuk meniadakan serangan asma akut (melalui
inhalasi dengan efek pesat). 8
Efek samping yang tidak dikehendaki adalah sifatnya yang mengentalkan dahak dan
tachycardia, yang tidak jarang mengganggu terapi. Yang terkenal pula adalah efek atropin,
seperti mulut kering, obstipasi, sukar berkemih, dan penglihatan buram akibat gangguan
akomodasi. Penggunaanya sebagai inhalasi meringankan efek samping ini. 8
Contoh obat antikolinergik yang sering digunakan sebagai bronchodilator :
Ipratropium : Atrovent
Derivat-N-propil dari atropin ini (1974) berkhasiat bronchodilatasi, karena melawan
pembentukan cGMP yang menimbulkan konstriksi. Ipratropin berdaya mengurangi
hipersekresi di bronchi, yakni efek mengeringkan dari obat antikolinergika, maka amat
efektif pada pasien yang mengeluarkan banyak dahak. Khususnya digunakan sebaga inhalasi,
efeknya dimulai lebih lambat (15 menit) dari pada b 2-mimetika. Efek maksimalnya dicapai
setelah 1-2 jam dan bertahan rata-rata 6 jam. Sangat efektif sebagai obat pencegah dan
pemeliharaan, terutama pada bronchitis kronis. Kini, zat ini tidak digunakan (lagi) sebagai
monoterapi

(pemeliharaan),

melainkan

selalu

bersama

kortikosteroida-inhalasi.

Kombinasinya dengan b2-mimetika memperkuat efeknya (adisi).


Resorpsinya secara oral buruk (seperti semua senyawa amonium kwaterner). Secara tracheal
hanya bekerja setempat dan praktis tidak diserap. Keuntungannya ialah zat ini juga dapat
digunakan oleh pasien jantung yang tidak tahan terhadap adrenergika. Efek sampingnya
jarang terjadi dan biasanya berupa mulut kering, mual, nyeri kepala, dan pusing.
Dosis inhalasi 3-4 dd 2 semprotan dari 20 mcg (bromida).
4.
Derivat Xanthin: teofilin, aminofilin
Daya bronchorelaksasinya diperkirakan berdasarkan blokade reseptor adenosin. Selain itu,
teofilin seperti kromoglikat mencegah meningkatnya hiperektivitas dan berdasarkan ini
bekerja profilaksi. Resorpsi dari turunan teofilin amat berbeda-beda, yang terbaik adalah
teofilin microfine (particle size 1-5 micron) dan garam-garamnya aminofilin dan
kolinteofilinat. Penggunaanya secara terus-menerus pada terapi pemeliharaan ternyata
efektif mengurangi frekuensi serta hebatnya serangan. Pada keadaan akut (infeksi
aminofilin) dapat dikombinasi dengan obat asam lainnya, tetapi kombinasi dengan b 2mimetika hendaknya digunakan dengan hati-hati berhubungan kedua jenis obat saling
memperkuat efek terhadap jantung. Kombinasinya dengan efedrin (Asmadex, Asmasolon)
praktis tidak memperbesar efek bronchodilatasi, sedangkan efeknya terhadap jantung dan

efek sentralnya amat diperkuat. Oleh karena ini, sediaan kombinasi demikian tidak
dianjurkan, terutama bagi para manula.
Tablet sustanined release (Euphyllin retard 125-250 mg) adalah efketif untuk memperoleh
kadar darah yang konstan, khususnya pada waktu tidur dan dengan demikian mencegah
serangan tengah malam dan morning dip. Untuk kehamilan dan laktasi, Teofilin aman bagi
wanita hamil. Karena dapat mencapai air susu ibu, sebaiknya ibu menyusui bayinya sebelum
menelan obat ini.
Obat-obat golongan xanthin yang sering digunakan sebagai bronchodilator :
Teofilin : 1,3 dimryilkdsnyin, Quibron-T/SR Theobron
Alkaloida ini (1908) terdapat bersama kofein (trimetilksantin) pada daun teh (Yuntheos =
Allah, phykllon = daun) dan memiliki sejumlah khasiat antara lain berdaya spasmolitis
terhadap otot polos, khususnya otot bronchi, menstimulasi jantung (efek inotrop positif) dan
mendilatasinya. Teofilin juga menstimulasi SSP dan pernafasan, serta bekerja diuretis lemah
dan singat. Kofein juga memiliki semua khasiat ini meski lebih lemah, kecuali efek stimulasi
sentralnya yang lebih kuat. Kini, obat ini banyak digunakan sebagai obat prevensi dan terapi
serangan asma.
Efek bronchodilatasinya tidak berkorelasi baik dengan dosis, tetapi memperlihatkan
hubungan jelas dengan kadar darahnya dan kadar di air liur. Luas terapeutisnya sempit,
artinya dosis efektifnya terletak berdekatan dengan dosis toksisnya. Untuk efek optimal
diperlukan kadar dalam darah dari 10-15 mcg/ml, sedangkan pada 20 mcg/ml sudah terjadi
efek toksis. Oleh karena itu, dianjurkan untuk menetapkan dosis secara individual
berdasarkan tuntutan kadar dalam darah. Hal ini terutama perlu pada anak-anak di bawah
usia 2 tahun dan pada manula diatas 60 tahun, yang sangat peka terhadap overdose, juga
pada pasien gangguan hati dan ginjal. Terapi dengan teofilin harus dipandu dengan
penentuan kadar dalam darah. 7
Resorpsinya di usus buruk dan tidak teratur. Itulah sebabnya mengapa bronchodilator tua ini
(1935) dahulu jarang digunakan. Baru pada tahun 1970-an, diketahui bahwa resorpsi dapat
menjadi lengkap bila digunakan dalam bentuk seruk microfine. (besarnya partikel 5-10
mikron) begitu juga pada penggunaan sebagai larutan, yang seperlunya ditambahkan alkohol
20%. Plasma-t nya 3-7 jam, ekskresinya berlangsung sebagai asam metilurat lewat kemih
dan hanya 10% dalam keadaan utuh. Teofilin sebaiknya digunakan sebagai sediaan

sutanined release yang memberikan resorpsi konstan dan kadar dalam darah yang lebih
teratur. 8
Efek sampingnya yang terpenting berupa mual dan muntah, baik pada penggunaan oral
maupun rektal atau parenteral. Pada overdose terjadi efek sentral (gelisah, sukar tidur,
tremor, dan konvulsi) serta gangguan pernafasan, juga efek kardiovaskuler, seperti
tachycardia, aritmia, dan hipotensi. Anak kecil sangat peka terhadap efek samping teofilin.
Dosis 3-4 dd 125 250 mg microfine (retard). 1 mg teofilin 0 aq = 1,1 g teofilin 1 aq = 1,17
g aminofilin 0 aq = 1,23 g aminofilin 1 aq. 8
Aminofilin (teofilin-etilendiamin, Phyllocomtin continus, Euphylllin)
Adalah garam yang dalam darah membebaskan teofilin kembali. Garam ini bersifat basa dan
sangat merangsang selaput lendir, sehingga secara oral sering mengakibatkan gangguan
lambung (mual, muntah), juga pada penggunaan dalam suppositoria dan injeksi
intramuskuler (nyeri). Pada serangan asma, obat ini digunakan sebagai injeksi i.v.
7.TRANSPORTASI DAN STABILISASI
1

Pengertian transportasi dan stabilisasi: Upaya untuk memolisasi paien dengan aman dan

tanpa menimbulkan perlukaan tambahan ataupun syok.7


Tujuan dari penggunaan transportasi gawat darurat adalah pengangkutan penderita gawat

darurat yang sudah distabilkan ke tempat defenitif rumah sakit. 7


Persyaratan
a Syarat transportasi penderita
Seorang penderita gawat darurat di transportasi bila penderita tersebut siap untuk di

transportasi yaitu:
1 Telah di tanggulangi gangguan pernafasan dan kardiovascular
2 Perdarahan sudah di hentikan
3 Luka telah di tutup
4 Patah tulang di fiksasi
Syarat alat transportasi
1 Penderita terlentang
2 Petugas dapat bergerak bebas
3 Cukup tinggi sehingga petugas dapat bersiri dan cairan infuse dapat mengalir
4 Identitas ambulance jelas

Daftar Pustaka
1. American College of Surgeons, 2006, Advanced Trauma Life Support, Ed.8. First
Impression United States of America
2. RSHS, Tim PPGD, 2009. Penanganan Penderita Gawat Darurat (PPGD Basic 2). RSHS
Bandung.
3. Sherwood L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. 2 ed. Pendit BU, editor. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2001.

4. Josep Varon,MD, F.A.C.A, F.A.C.P, Oliver C Wenker,MD, D.E.A.A. 1997, The Acute
Respiratory

Distress

Syndrome

Myths

and

Controversies

.http://www.ispub.com/ostia/index.php?
xmlPrinter=true&xmlFilePath=journals/ijeicm/vol1n1/ards.xml
5. Sylia A. Price dan Lorraine M. Wilson, 1995, Patofisiologi Konsep Klinik Proses-Proses
Penyakit Edisi 4, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Hal : 739-740
6. R. Sjamsuhidajat, Wim de Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah 2. Jakarta : EGC
7. ATLS Advance Trauma Life Support Edisi ke tujuh
8. Farmakologi dan Terapi FK-UI. Edisi 5. 2010. Jakarta. Hal : 77-95

You might also like