You are on page 1of 18

BAB 1 PENDAHULUAN 1.

1 Latar Belakang Saat ini, penyakit muskuloskeletal telah


menjadi masalah yang banyak dijumpai di pusat-pusat pelayanan kesehatan di
seluruh dunia. Bahkan WHO telah menetapkan decade ini (2005-2010) menjadi
dekade tulangdan persendian. Penyebab fraktur terbanyak adalah karena
kecelakaan lalulintas. Kecelakaan lalulintas ini, selain menyebabkan fraktur,
menurut WHO, juga menyebabkan kematian 1,25 juta orang setiap tahunnya,
dimana sebagian besar korbannya adalah remaja atau dewasa muda. Indonesia
merupakan Negara berkembang dan menuju industrilisasi tentunya akan
mempengaruhi peningkatan mobilisasi masyarakat yang meningkat otomatis terjadi
peningkatan penggunaan alat transportasi / kendaraan bermotor khususnya bagi
masyarakat yang tinggal di perkotaan. Sehingga menambah kesemerautan
arus lalulintas. Arus lalulintas yang tidak teratur dapat meningkatkan kecendrungan
terjadinya kecelakaan kendaraan bermotor. Fraktur atau sering disebut patah tulang
adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan yang
penyebabnya dapat dikarenakan penyakit pengeroposan tulang diantaranya
penyakit yang sering disebut osteoporosis, biasanya dialami pada usia dewasa. Dan
dapat juga disebabkan karena kecelakaan yang tidak terduga (Masjoer, 2005).
Fraktur adalah suatu patahan pada kontinuitas struktur tulang. Patahan tadi
mungkin taklebih dari suatu retakan, suatu pengisutan atau primpilan korteks;
biasanya patahan lengkap dan fragmen tulang bergeser. Kalau kulit diatasnya
masih utuh, keadaan ini disebut fraktur tetutup (atau sederhana) kalau kulit atau
salah satu dari rongga tubuh tertembus keadaan ini disebut fraktur terbuka (atau
compound) yang cendrung untuk mengalami kontaminasi dan infeksi (Graham &
Louis, 2005). Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau
tenaga fisik kekuatan dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang itu sendiridan
jaringan lunak disekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu
lengkap atau tidak lengkap (Price dan Wilson, 2005) Berdasarkan hasil Riset
Kesehatan Dasar (RISKESDAS) oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Depkes RI
tahun 2008 - 2010 di Indonesia terjadi kasus fraktur yang disebabkan oleh cedera
antara lain karena jatuh, kecelakaan lalu lintas dan trauma benda tajam/tumpul.
Dari 45.987 peristiwa terjatuh yang mengalami fraktur sebanyak 1.775 orang
(3,8%), dari 20.829 kasus kecelakaan lalu lintas, yang mengalami fraktur sebanyak
1.770 orang (8,5%), dari 14.127 trauma benda tajam/tumpul, yang mengalami
fraktur sebanyak 236 orang (1,7%). (Depkes RI, 2008 - 2010). Dari jenis-jenis fraktur
yang sering terjadi adalah fraktur femur, fraktur femur mempunyai insiden yang
cukup tinggi diantara jenis-jenis patah tulang. Umumnya fraktur femur terjadi pada
batang femur 1/3 tengah. Fraktur femur lebih sering terjadi pada laki-laki dari pada
perempuan dengan umur dibawah 45 tahun dan sering berhubungan dengan
olahraga, pekerjaan atau kecelakaan (Masjoer, 2005). Penderita fraktur dengan
tingkat pendidikan rendah cendrung menunjukan adanya respon cemas yang
berlebihan mengingat keterbatasan mereka dalam memahami proses
penyembuhan dari kondisi fraktur yang dialaminya tetapi sebagian besar penelitian
tidak menunjukan adanya korelasi kuat antara tingkat pendidikan dengan
kecemasan penderita fraktur. Respon cemas yang terjadi pada penderita fraktur
sangat berkaitan sekali dengan mekanisme koping yang dimilikinya, mekasnisme
koping yang baik akan membentuk respon psikologis yang baik, respon psikologis
yang baik yang berperan dalam menunjang proses kesembuhan (Depkes RI, 2008).

Penyebab dari fraktur femur terbagi menjadi dua bagian yaitu fraktur fisiologis dan
patologis. Fraktur fisiologis ini terjadi akibat kecelakaan, olahraga, benturan benda
dan trauma. Kejadian ini banyak ditemukan pada dewasa muda terutama pada lakilaki umur 45 tahun kebawah sedangkan fraktur patologis terjadi pada daerah tulang
yang lemah oleh karena tumor, osteoporosis, osteomielitis,osteomalasia dan
rakhitis. Kejadian ini banyak ditemukan pada orang tua terutama perempuan umur
60 tahun keatas (Rasjad, 2007). 1.2 Rumusan Masalah 1.2.1 Bagaimana Konsep dari
fraktur femur? 1.2.2 Bagaimana asuhan keperawatan pada klien dengan fraktur
femur? 1.3 Tujuan 1.3.1 Tujuan umum 1. Menyusun asuhan keperawatan pada klien
dengan fraktur femur 1.3.2 Tujuan Khusus 1. Menjelaskan tentang definisi dari
fraktur femur 2. Menjelaskan klasifikasi dari fraktur femur 3. Menjelaskan etiologi
dari fraktur femur 4. Menjelaskan patofisiologi dari fraktur femur 5. Menjelaskan
manifestasi klinis dari fraktur femur 6. Menjelaskan pemeriksaan diagnostic dari
fraktur femur 7. Menjelaskan penatalaksanaan dari fraktur femur 8. Menjelaskan
kompliksai dari fraktur femur 9. Menjelaskan WOC fraktur femur 10. Menjelaskan
tentang asuhan keperawatan pada klien dengan fraktur femur BAB 2 TINJAUAN
PUSTAKA 1.1 Anatomi Femur pada ujung bagian atasnya memiliki caput, collum,
trochanter major dan trochanter minor. Bagian caput merupakan lebih kurang dua
pertiga bola dan berartikulasi dengan acetabulum dari os coxae membentuk
articulatio coxae. Pada pusat caput terdapat lekukan kecil yang disebut fovea
capitis, yaitu tempat perlekatan ligamentum dari caput. Sebagian suplai darah
untuk caput femoris dihantarkan sepanjang ligamen ini dan memasuki tulang pada
fovea. Bagian collum, yang menghubungkan kepala pada batang femur, berjalan ke
bawah, belakang, lateral dan membentuk sudut lebih kurang 125 derajat (pada
wanita sedikit lebih kecil) dengan sumbu panjang batang femur. Besarnya sudut ini
perlu diingat karena dapat dirubah oleh penyakit. Trochanter major dan minor
merupakan tonjolan besar pada batas leher dan batang. Yang menghubungkan dua
trochanter ini adalah linea intertrochanterica di depan dan crista intertrochanterica
yang mencolok di bagian belakang, dan padanya terdapat tuberculum quadratum.
Bagian batang femur umumnya menampakkan kecembungan ke depan. Ia licin dan
bulat pada permukaan anteriornya, namun pada bagian posteriornya terdapat
rabung, linea aspera. Tepian linea aspera melebar ke atas dan ke bawah.Tepian
medial berlanjut ke bawah sebagai crista supracondylaris medialis menuju
tuberculum adductorum pada condylus medialis.Tepian lateral menyatu ke bawah
dengan crista supracondylaris lateralis. Pada permukaan posterior batang femur, di
bawah trochanter major terdapat tuberositas glutealis, yang ke bawah berhubungan
dengan linea aspera. Bagian batang melebar ke arah ujung distal dan membentuk
daerah segitiga datar pada permukaan posteriornya, disebut fascia poplitea. Ujung
bawah femur memiliki condylus medialis dan lateralis, yang di bagian posterior
dipisahkan oleh incisura intercondylaris. Permukaan anterior condylus dihubungkan
oleh permukaan sendi untuk patella. Kedua condylus ikut membentuk articulatio
genu. Di atas condylus terdapat epicondylus lateralis dan medialis. Tuberculum
adductorium berhubungan langsung dengan epicondylus medialis. Femur, tulang
terpanjang dan terberat dalam tubuh meneruskan berat tubuh dari os coxae kepada
tibia sewaktu kita berdiri. Femur ke proksimal membentuk articulatio coxae, dimana
caput femur akan berhubungan dengan acetabulum, gerakan yang akan terjadi
adalah fleksi, ekstensi, abduksi, adduksi, rotasi internal dan rotasi eksternal.

Sedangkan femur ke distal berhubungan dengan patella membentuk articulatio


genu, dimana gerakan yang mungkin terjadi adalah fleksi dan ekstensi lutut. Caput
femoris menganjur ke arah craniomedial dan agak ke ventral sewaktu bersendi
dengan acetabulum. Ujung proksimal femur terdiri dari sebuah caput femoris,
collum femoris dan dua trochanter (trochanter mayor dan trochanter minor). Caput
femoris dan collum femoris membentuk sudut (115-140) terhadap poros
panjang corpus femoris, sudut ini bervariasi dengan umur dan jenis kelamin. Meski
demikian memungkinkan daya gerak femur pada articulatio coxae yang lebih besar,
keadaan ini juga melimpahkan beban yang cukup besar pada collum femoris.
Corpus femoris berbentuk lengkung, yakni cembung ke arah anterior. Ujung distal
femur berakhir menjadi dua condylus yaitu condylus medialis dan condylus lateralis
yang melengkung bagaikan ulir (Moore,2002). Femur mengadakan persendian
dengan tiga tulang, yaitu tulang coxae, tulang tibia dan patella (Pearce,2006). 2.2
Definisi Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga
fisik dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan dari tulang itu sendiri dan jaringan
lunak di sekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap,
tidak lengkap. (Arice, 1995 : 1183) Fraktur femur atau patah tulang paha adalah
rusaknya kontiunitas tulang pangkal paha yang di sebabkan oleh trauma langsung,
kelemahan otot, kondisi-kondisi tertentu seperti degenerasi tulang atau
osteoporosis ( Muttakin, 2005: 98 ) Fraktur femur adalah rusaknya kontinuitas
tulang pangkal paha yang dapat disebabkan oleh trauma langsung (kecelakaan lalu
lintas, jatuh dari ketinggian), kelelahan otot, kondisi-kondisi tertentu seperti
degenerasi tulang/osteoporosis. Ada 2 tipe dari fraktur femur, yaitu : 1. Fraktur
Intrakapsuler; femur yang terjadi di dalam tulang sendi, panggul dan kapsula. a.
Melalui kepala femur (capital fraktur) b. Hanya di bawah kepala femur c. Melalui
leher dari femur 2. Fraktur Ekstrakapsuler a. Terjadi di luar sendi dan kapsul,
melalui trokhanter femur yang lebih besar/yang lebih kecil /pada daerah
intertrokhanter. b. Terjadi di bagian distal menuju leher femur tetapi tidak
lebih dari 2 inci di bawah trokhanter kecil. Fraktur femur adalah terputusnya
kontinuitas batang femur yang bisa terjadi akibat trauma langsung (kecelakaan lalu
lintas, jatuh dari ketinggian), dan biasanya lebih banyak dialami oleh laki-laki
dewasa. Patah pada daerah ini dapat menimbulkan perdarahan yang cukup banyak,
mengakibatkan pendertia jatuh dalam syok (FKUI, 2006:543) Fraktur adalah
putusnya hubungan normal suatu tulang atau tulang rawan yang disebabkan oleh
kekerasan. (E. Oerswari, 2007:144). Fraktur adalah patah tulang, biasanya
disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik kekuatan dan sudut dari tenaga tersebut,
kedaan tulang itu sendiri dan jaringan lunak disekitar tulang akan menentukan
apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap (Price, A dan L.Wilson,
2003). Fraktur adalah putusnya hubungan normal suatu tulang atau tulang rawan
yang disebabkan oleh kekerasan (E. Oerswari, 1989:144). Fraktur atau patah tulang
adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang rawan yang umumnya
disebabkan oleh rudapaksa. Fraktur tertutup adalah suatu fraktur dimana tidak ada
hubungan antara patah tulang dengan dunia luar. Fraktur terbuka adalah fragmen
tulang meluas melewati otot dan kulit, dimana potensial untuk terjadi infeksi
(Sjamsuhidajat, 1999:1138). 2.3 Etiologi Menurut Sachdeva (1996), penyebab
fraktur dapat dibagi menjadi tiga, yaitu: 1. Cedera traumatic a) cedera langsung,
berarti pukulan langsung pada tulang sehingga tulang patah secara spontan b)

cedera tidak langsung, berarti pukulan langsung berada jauh dari benturan,
misalnya jatuh dengan tangan menjulur dan menyebabkan fraktur klavikula. c)
Fraktur yang disebabkan kontraksi keras dari otot yang kuat. 2. Fraktur patologik
Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit, diman dengan trauma minor
dapat mengakibatkan fraktur, dapat juga terjadi pada keadaan : a) Tumor tulang
(jinak atau ganas) b) Infeksi seperti osteomielitis c) Rakhitis, suatu
penyakti tulang yang disebabkan oleh devisiensi vitamin D yang mempengaruhi
semua jaringan skelet lain. 3. Secara spontan, disebabkan oleh stress tulang yang
terus menerus misalnya pada penyakit polio dan orang yang bertugas di kemiliteran
Penyebab fraktur diantaranya : a. Fraktur Fisiologis Suatu kerusakan jaringan tulang
yang diakibatkan dari kecelakaan, tenaga fisik, olahraga, dan trauma
dapat disebabkan oleh: 1. Cedera langsung berarti pukulan lansung terhadap
tulang sehingga tulang patah secara spontan. 2. Cedera tidak langsung berarti
pukulan langsung berada jauh dari lokasi benturan,misalnya jatuh dengan tangan
terjulur menyebabkan fraktur klavikula, atau orang tua yang terjatuh mengenai
bokong dan berakibat fraktur kolom femur. b. Fraktur Patologis Dalam hal ini
kerusakan tulang terjadi akibat proses penyakit dimana dengan trauma minor dapat
mengakibatkan fraktur. Dapat terjadi pada berbagai keadaan berikut : 1.
Tumor tulang Terbagi menjadi jinak dan ganas 2. Infeksi seperti Osteomielitis 3.
Scurvy (penyakit gusi berdarah) 4. Osteomalasia 5. Rakhitis 6. Osteoporosis
( Rasjad, 2007) Umumya fraktur disebabkan oleh trauma dimana terdapat tekanan
yang berlebihan pada tulang. Fraktur cendrung terjadi pada laki-laki, biasanya
fraktur terjadi pada umur dibawah 45 tahun dan sering berhubungan dengan
olahraga, pekerjaan, atau luka yang disebabkan oleh kecelakaan kendaraan
bermotor. Sedangkan pada orang tua, perempuan lebih sering mengalami fraktur
dari pada laki-laki yang berhubungan dengan meningkatnya insiden osteoporosis
yang terkait dengan perubahan hormone pada menopause. Fraktur patologis :
fraktur yang diakibatkan oleh trauma minimal atau tanpa trauma berupa
yangdisebabkan oleh suatu proses, yaitu : a. Osteoporosis Imperfekta b.
Osteoporosis c. Penyakit metabolik Fraktur femur juga disebabkan oleh trauma,
trauma dibagi menjadi dua, yaitu : a. Trauma langsung, yaitu benturan pada tulang.
Biasanya penderita terjatuh dengan posisi miring dimana daerah trokhanter mayor
langsung terbentur dengan benda keras (jalanan) b. Trauma tak langsung, yaitu titik
tumpuan benturan dan fraktur berjauhan, misalnya jatuhterpeleset di kamar mandi
pada orangtua. Sedangkan menurut Lewis (2000) berpendapat bahwa tulang relatif
rapuh namun mempunyai cukup kekuatan dan gaya pegas menahan tekanan,
fraktur dapat diakibatkan oleh : a. Fraktur akibat peristiwa trauma sebagian fraktur
disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba berlebihan yang dapat berupa pemukulan,
penghancuran, perubahan pemuntiran atau penarikan. Bila tekanan kekuatan
langsung tulang dapat patah pada tempat yang terkena dan jaringan lunak juga
pasti akan ikut rusak. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur melintang dan
kerusakan pada kulit di atasnya. Penghancuran kemungkinan akan menyebabkan
fraktur komunitif disertai kerusakan jaringan lunak yang luas. b. Fraktur akibat
peristiwa kelelahan atau tekanan retak dapat terjadi pada tulang seperti halnya
pada logam dan benda lain akibat tekanan berulang-ulang. Keadaan ini paling
sering dikemukakan pada tibia, fibula atau metatarsal terutama pada atlet, penari
atau calon tentara yang berjalan baris berbaris dalam jarak jauh. c. Fraktur

patologik karena kelemahan pada tulang fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang
normal kalau tulang tersebut lunak (misalnya oleh tumor) atau tulang-tulang
tersebut sangat rapuh. Penyebab fraktur secara umum dapat dibagi menjadi tiga
yaitu: a. Cedera traumatik Sebagian besar fraktur disebabkan oleh kekuatan yang
tiba tiba dan berlebihan, yang dapat berupa benturan, pemukulan,
penghancuran, penekukan atau terjatuh dengan posisi miring, pemuntiran, atau
penarikan. Cedera traumatik pada tulang dapat dibedakan dalam hal berikut, yakni:
1) Cedera langsung, berarti pukulan langsung terhadap tulang sehingga tulang
patah secara spontan. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur melintang dan
kerusakan pada kulit diatasnya. 2) Cedera tidak langsung, berarti pukulan langsung
berada jauh dari lokasi benturan. b. Fraktur Patologik Dalam hal ini, kerusakan
tulang terjadi akibat proses penyakit akibat berbagai keadaan berikut, yakni: 1)
Tumor tulang (jinak atau ganas), dimana berupa pertumbuhan jaringan baru yang
tidak terkendali dan progresif. 2) Infeksi, misalnya osteomielitis, yang dapat terjadi
sebagai akibat infeksi akut atau dapat timbul sebagai salah satu proses yang
progresif, 3) Rakhitis, merupakan suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh
defisiensi vitamin D yang mempengaruhi semua jaringan skelet, biasanya
disebabkan oleh defisiensi diet, tetapi kadang-kadang dapat disebabkan kegagalan
absorbsi vitamin D atau oleh karena asupan kalsium atau fosfat yang rendah. c.
Secara spontan, dimana disebabkan oleh stress atau tegangan atau tekanan pada
tulang yang terus menerus misalnya pada penyakit polio dan orang yang bertugas
di bidang kemiliteran. 2.4 Klasifikasi Secara umum, fraktur dapat diklasifikasikan
menjadi beberapa bagian, yakni: 1) Berdasarkan keutuhan kulit a. Fraktur tertutup
(closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. b.
Fraktur terbuka (open/compound), bila terdapat hubungan antara fragmen tulang
dengan dunia luar. Fraktur terbuka sendiri dibagi menjadi tiga derajat, yaitu: 1)
Derajat I a. luka kurang dari 1 cm; b. kerusakan jaringan lunak dan sedikit/tidak ada
tanda luka remuk; c. fraktur sederhana, tranversal, obliq atau kumulatif ringan; dan
d. kontaminasi ringan. 2) Derajat II a. laserasi 1-10 cm; b. kerusakan jaringan lunak,
tidak luas, avulse; dan c. fraktur komuniti sedang. 3) Derajat III Pada derajat ini, luka
lebih dari 10 cm dan terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas meliputi struktur
kulit, otot dan neurovaskuler serta kontaminasi derajat tinggi. Gambar 1: Fraktur
Terbuka Gambar 2: Fraktur Tertutup Gambar 3: Pembagian tipe fraktur terbuka 2.
Berdasarkan keutuhan tulang a. Fraktur complete Fraktur dikatakan komplet apabila
patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya mengalami pergeseran
(bergeser dari posisi normal). b. Fraktur incomplete Fraktur dikatakan inkomplet
apabila patah hanya terjadi pada sebagian dari garis tengah tulang. Gambar 4:
Fraktur Komplit Gambar 5: Fraktur Inkomplit 3. Berdasarkan lokasi patah Pada
tulang panjang, seperti femur, maka dibedakan menjadi: a. 1/3 proksimal b. 1/3
tengah c. 1/3 distal Pada tulang melintang, dibedakan menjadi: a. medial b.
tengah/mid c. lateral 4. Jenis khusus fraktur a) Bentuk garis patah 1) Garis patah
melintang 2) Garis patah obliq 3) Garis patah spiral 4) Fraktur kompresi 5) Fraktur
avulse b) Jumlah garis patah 1) Fraktur komunitif, dimana garis patah lebih dari satu
dan saling berhubungan 2) Fraktur segmental, dimana garis patah lebih dari satu
tetapi saling berhubungan 3) Fraktur multiple, dimana garis patah lebih dari satu
tetapi pada tulang yang berlainan. c) Bergeser-tidak bergeser Fraktur tidak bergeser
apabila garis patah komplit tetapi kedua fragmen tidak bergeser. Fraktur bergeser

apabila terjadi pergeseran fragmen-fragmen fraktur (Smeltzer, 2001:2357).


Sementara itu, klasifikasi fraktur femur sendiri dapat dibagi menjadi beberapa
bagian, tergantung pada letak fraktur yang terjadi, yaitu: a) Fraktur Collum Femur
Fraktur collum femur sering terjadi pada usia di atas 60 tahun dan lebih sering pada
wanita yang disebabkan oleh kerapuhan tulang akibat kombinasi proses penuaan
dan osteoporosis pasca menopause. Fraktur collum femur dapat disebabkan oleh
trauma langsung, yaitu misalnya penderita jatuh dengan posisi miring dimana
daerah trochanter mayor langsung terbentur dengan benda keras (jalanan) ataupun
disebabkan oleh trauma tidak langsung, yaitu karena gerakan exorotasi yang
mendadak dari tungkai bawah. Fraktur collum femur sendiri dibagi dalam dua tipe,
yaitu: 1. Fraktur intrakapsuler 2. IntrakapsulerFraktur extrakapsuler Ekstrakapsuler
Gambar 6: Fraktur intrakapsuler dan ekstrakapsuler b) Fraktur Subtrochanter Femur
Fraktur subtrochanter femur merupakan fraktur dimana garis patahnya berada 5 cm
distal dari trochanter minor. Fraktur ini dapat diklasifikasikan kembali berdasarkan
posisi garis patahnya, yaitu: 1. tipe 1 : garis fraktur satu level dengan trochanter
minor 2. tipe 2 : garis patah berada 1-2 inch di bawah dari batas atas trochanter
minor 3. tipe 3 : garis patah berada 2-3 inch di bawah dari batas atas trochanter
minor c) Fraktur Batang Femur Fraktur batang femur biasanya terjadi karena trauma
langsung akibat kecelakaan lalu lintas atau jatuh dari ketinggian. Patah tulang yang
terjadi pada daerah ini dapat menimbulkan perdarahan yang cukup banyak dan
dapat mengakibatkan penderita jatuh dalam kondisi syok. salah satu klasifikasi
fraktur batang femur dibagi berdasarkan adanya luka yang berhubungan dengan
daerah yang patah. d) Fraktur Femur Supracondyler Fraktur ini relatif lebih jarang
dibandingkan fraktur batang femur. Seperti halnya fraktur batang femur, fraktur
suprakondiler dapat dikelola secara konservatif dengan traksi skeletal dengan lutut
dalam posisi fleksi 90O. Fraktur supracondyler pada fragmen bagian distal selalu
terjadi dislokasi ke arah posterior. Hal ini biasanya disebabkan karena adanya
tarikan dari otototot gastroknemius. Biasanya fraktur supracondyler ini
disebabkan oleh trauma langsung karena kecepatan tinggi sehingga terjadi gaya
axial dan stress valgus atau varus dan disertai gaya rotasi. e) Fraktur Femur
Intercondyler Fraktur ini juga relatif jarang dan biasanya terjadi sebagai akibat jatuh
dengan lutut dalam keadaaan fleksi dari ketinggian. Permukaan belakang patella
yang berbentuk baji , melesak ke dalam sendi lutut dan mengganjal di antara kedua
kondilus dan salah satu atau keduanya retak. Pada bagian proksimal kemungkinan
terdapat komponen melintang sehingga didapati fraktur dengan garis fraktur
berbentuk seperti huruf T atau Y. 2.5 Patofisiologi Patofisiologi fraktur adalah jika
tulang mengalami fraktur, maka periosteum, pembuluh darah di korteks, marrow
dan jaringan disekitarnya rusak. Terjadi pendarahan dan kerusakan jaringan di ujung
tulang. Terbentuklah hematoma di canal medulla. Pembuluh-pembuluh kapiler dan
jaringan ikat tumbuh ke dalamnya., menyerap hematoma tersebut, dan
menggantikannya. Jaringan ikat berisi sel-sel tulang (osteoblast) yang berasal dari
periosteum. Sel ini menghasilkan endapan garam kalsium dalam jaringan ikat yang
di sebut callus. Callus kemudian secara bertahap dibentuk menjadi profil tulang
melalui pengeluaran kelebihannya oleh osteoclast yaitu sel yang melarutkan tulang
(Smeltzer & Bare, 2001). Pada kondisi trauma, diperlukan gaya yang besar untuk
mematahkan batang femor individu dewasa. Kebanyakan fraktur ini terjadi pada
pria muda yang mengalami kecelakaan keendaraan bermotor atau jatuh dari

ketinggian. Biasanya, klien ini mengami trauma multipel yang menyertainya. Secara
klinis, fraktur femur terbuka serinh menyebabkan kerusakan neurovaskuler yang
menimbulkan manifestasi peningkatan resiko syok, baik syok hipovolemik karena
kehilngan darah (pada siap patah satu tulang femur, diperdiksi hilangnya darah 500
cc dari sistem vaskuler) maupun syok neorogenik karna nyeri yang sangat hebat
akibat kompresi atau kerusakan saraf yang berjalan dibawah tulang femur. Respon
terhadap pembengkakan yang hebat adalah sidrom kompartemen. Sindrom
konpartemen adalah suatu keadaan otot, pembuluh darah, jaringan saraf akibat
pembengkakan lokal yang melebihi kemampuan suatu kopar temen / ruang lokal
dengan manisfestasi gejala yang has, meliputi keluhan nyeri hebat pada area
pembengkakan, penurunan perfusi perifer secara unilateral pada sisi distal
pembengkakan, CRT ( capillary refill time ) lebih dari 3 detik pada sisi distal
pembengkakan, penuruna denyut nadi pada sisi distal pembengkakan. Konplikasi
yang terjadi akibat situasi ini adalah kematian jaringan bagian distal dan
memberikan implikasi pada peran perawat dalam kontrol yang optimal terhadap
pembengkakan yang hebat ada klien fraktur femur. Kerusakan fragmen tulang
femur menyebabkan mebilitas fisik dan diikuti dengan spasme otot paha yang
menimbulkan defomitas khas pada paha, yaitu pemendekan tungkai bawah. Apabila
kondisi ini berlanjut tanpa dilakukan intervensi yang optimal, akan menimbulkan
resiko terjadinya malunion pada tulang femor. Kondisi klinis fraktur femur terbuka
pada fase awal menyababkan berbagai masalah keperawatan pada klien, meliputi
respon nyeri hebat akibat kerusakan veskuler dengan pembengkakan lokal yang
menyebabkan sindrom kopartemen yang sering terjadi pada fraktur suprakondilus,
kondisi syok hopovolemik sekunder akibat cereda vaskuler dengan pendarahan
yang hebat, hambatan mobilitas fisik sekunder akibat kerusakan fragmen tulang,
dan resiko tinggi infeksi sekunder akibat port de entree luka terbuka. Pada fase
lanjut, fraktur femur terbuka menyebabkan kondisi malunion, non-union, dan
delayed union akibat cara mobilisasi yang salah. Intervensi medis dengan
penatalaksanaan pemasangan fiksasi interna dan fikasi eksterna memberikan
implikasi pada masalah resiko tinggi infeksi.( Arif Muttaqin, S. Kep, Ns : 2011) Ada 2
patofisiologi pada fraktur femur : 1. Fraktur femur terbuka Pada kondisi trauma , di
perlukan gaya yang besar untuk mematahkan batang femur individu
dewasa.Kebanyakan fraktur ini terjadi pada pria muda yang mengalami kecelakaan
kendaraan bermotor atau jatuh dari ketinggian.Biasanya , klien ini mengalami
trauma multiple yang menyertainya. Secara klinis,fraktur femur terbuka sering
menyebabkan kerusakan neurovaskular yang menimbulkan manifestasi
peningkatan resiko syok , baik syok hipovolemik karena kehilangan banyak darah
(pada setiap patah satu tulang femur , di prediksi hilangnya darah 500 cc dari
system vaskular) maupun syok neurogenik karena nyeri yang sangat hebat akibat
kompresi atau kerusakan syaraf yang berjalan dibawah tulang femur. Respon
terhadap pembengkakan yang hebat adalah sindrom kompartemen.sindrom
kompartemen adalah suatu keadaan terjebaknya otot , pembuluh darah , jaringan
saraf akibat pembengkakan local yang melebihi kemampuan suatu
kompartemen/ruang lokal dengan manifestasi gejala khas meliputi keluhan nyeri
hebat pada area pembengkakan , penurunan perfusi perifer secara unilateral pada
sisi distal pembengkakan , CRT lebih dari 3 detik pada sisi distal pembengkakan ,
penurunan denyut nadi pada sisi distal pembengkakan.Komplikasi yang terjadi

akibat situasi ini adalah kematian jaringan bagian distal dan member implikasi pada
peran perawat dalam control yang optimal terhadap pembengkakan yang hebat
pada klien fraktur femur. Kerusakan fragmen tulang femur menyebabkan hambatan
mobilitas fisik dan diikuti dengan spaseme otot paha yang menimbulkan deformitas
khas pada paha , yaitu pemendekan tungkai bawah.Apabila kondisi ini berlanjut
tanpa dilakukan intervensi yang optimal , akan menimbulkan resiko terjadinya
malunion pada tulang femur. Kondisi klinis fraktur femur terbuka pada fase awal
menyebabkan berbagai masalah keperawatan pada klien , meliputi respon nyeri
hebat akibat kerusakan jaringan lunak dan kompresi saraf , risiko tinggi trauma
jaringan akibat kerusakan vaskular dengan pembengkakan local yang menyebabkan
sindrom kompartemen yang sering terjadi pada fraktur suprakondilus,risiko syok
hipovolemik sekunder akibat cedera vaskuler dengan pendarahan hebat , hambatan
mobilitas fisik sekunder akibat kerusakan fragmen tulang , dan resiko tinggi
sekunder akibat port de entre luka terbuka.Pada fase lanjut , fraktur femur
terbuka menyebabkan kondisi malunion , non-union , dan delayed union akibat cara
mobilisasi yang salah. Intervensi medis dengan penatalaksanaan pemasangan
fiksasi interna dan fiksasi eksterna memberikan implikasi pada masalah risiko tinggi
infeksi pasca bedah , nyeri akibat trauma jarinag lunak , risiko tinggi trauma
sekunder akibat pemasangan fiksasi eksterna , dampak psikologis ansietas
sekunder akibat rencana bedah dan prognosis penyakit dan pemenuhan informasi.
2. Fraktur femur tertutup Pada kondisi trauma, diperlukan gaya yang besar untuk
mematahkan batang femur individu dewasa. Kebanyakan frakture ini terjadi pada
pria muda yang mengalami kecelakaan kendaraan bermotor atau jatuh dari
ketinggian. Biasanya, klien ini mengalami trauma multiple yang menyertainya.
Kondisi degenerasi tulang (ostreoporosis) atau keganasan tulang paha yang
menyebabkan fraktur patologis tanpa riwayat trauma, memadai untuk mematahkan
tulang femur. Kerusakan neurovaskuler menimbulkan manifestasi peningkatan
resiko syok, baik syok hipovolemik karena nyeri kehilangan darah banyak ke dalam
jaringan maupun syok neurogenik karena nyeri yang sangat hebat yang dialami
klien. Respons terhadap pembengkakan yang hebat adalah sindrome kompartemen.
Sindrom kompartemen adalah suatu keadaan terjebaknya otot, pembuluh darah,
jaringan syaraf akibat pembengkakan lokal yang melebihi kemampuan suatu
kompertemen /ruang lokal dengan manifestasi gejala yang khas, meliputi keluhan
nyeri hebat pada daerah pembengkakan, penurunan penurunan perfusi perifer
secara unilateral pada sisi distal pembengkakan, CRT ()capillary refill time) lebih
dari 3 detik pada sisi distal pembengkakan, penurunan denyut nadi pada sisi distal
pembengkakan. Komplikasi yang terjadi akibat situasi ini adalah kematian jaringan
bagian distal dan memberikan implikasi pada peran perawat dalam kontrol yang
optimal terhadap pembengkakan yang hebat pada klien fraktur femur. Kerusakan
fragmen tulang femur diikuti dengan spasme otot paha yang menimbulkan
deformitas khas pada paha, yaitu pemendekan tungkai bawah. Apabila kondisi ini
berlanjut tanpa dilakukan intervensi yang optimal, akan menimbulkan resiko
terjadinya malunion pada tulang femur. Intervensi medis dengan penatalaksanaan
pemasangan fiksasi interna dan fiksasi eksterna memberikan implikasi pada
masalah resiko tinggi infeksi pasca-bedah, nyeri akibat trauma jaringan lunak,
resiko tinggi trauma sekunder akibat pemasangan fiksasi eksterna, dampak
psikologis ansietas sekunder akibat rencana bedah dan prognosis penyakit dan

pemenuhan informasi. 2.6 WOC Terlampir 2.7 Manifestasi Klinis Manifestasi klinis
fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi defornitas, pemendekan ekstremitas,
krepitus, pembekakan lokal, dan perubahhan warna. 1) Nyeri terus menerus dan
bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi. Spasme otot yang
menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk
memininalkan gerakan antar fragmen tulang. 2) Setelah terjadi fraktur, bagianbagian tak dapat digunakan dan cenderung bergerak secara tidak alamiah (gerakan
luar biasa) buakannya tetap rigid seperti nomalnya. Pergeseran fragmen pada
fraktur lengan atau tungkai menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba)
ekstremitas yang bisa biketahui dangan membandingkan dengan ekstremitas
normal. Ekstremitas tak dapat berfungsi dengan baik karna fungsi normal otot
bergantung pada integritas tulang tempat melengketnya otot. 3) Pada fraktur
panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karna kontraksi otot yang
melekat diatas dan bawah tempat fraktur. Fragmen sering saling melingkapi satu
sama lain 2,5 5 cm ( 1 2 inci ). 4) Saat eksremitas diperiksa dengan tangan,
teraba adanya derik tulang dinamakan krepitus yang gteraba akibat gesekan antara
fragmen satu dengan yang lainnya ( uji krepitus dapat mengakibatkan kerusakan
jaringan lunak yang lebih berat. 5) Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada
kulit terjadi sebagai akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini
bisa baru terjadi setelah bebrapa jam atau hari setelah cedera.( Brunner & suddarth
: 2002 ) 2.8 Pemeriksaan Penunjang a. Pemeriksaan rontgen : menetukan lokasi,
luasnya fraktur, trauma, dan jenis fraktur. b. Scan tulang, temogram, CT
scan/MRI :memperlihatkan tingkat keparahan fraktur, juga dan mengidentifikasi
kerusakan jaringan linak. c. Arteriogram : dilakukan bila dicurigai adanya kerusakan
vaskuler. d. Hitung darah lengkap : Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau
menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada multipel
trauma) peningkatan jumlah SDP adalah proses stres normal setelah trauma. e.
Kretinin : trauma otot meningkatkan beban tratinin untuk klien ginjal. f. Profil
koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilingan darah, tranfusi mulpel atau
cedera hati.(Lukman & nurna ningsih, 2009) 2.9 Penatalaksanaan 1. Pertolongan
Pertama Perdarahan dari fraktur femur, terbuka atau tertutup, adalah antara 2
sampai 4 unit (1-2 liter). Jalur intravena perlu dipasang dari darah dikirim ke
laboratorium untuk pemeriksaan hemoglobin dan reaksi silang. Jika tidak terjadi
fraktur lainnya, kemungkinan transfusi dapat dihindari, tetapi bila timbul trauma
lainnya, 2 unit darah perlu diberikan segera setelah tersedia. Fraktur terbuka
biasanya terbuka dan dalam/luar dengan luka di sisi lateral atau depan paha.
Debridemen luka perlu dilakukan dengan cermat dalam ruang operasi dan semua
benda asing diangkat. Jika luka telah dibersihkan secara menyeluruh setelah
debridemen luka dapat ditutup tetapi bila terkontaminasi, luka lebih baik dibalut
dan dirawat dengan jahitan primer yang ditunda (delayed primary suture).
Antibiotika dan anti-tetanus sebaiknya diberikan, seperti pada setiap fraktur
terbuka. 2. Penatalaksanaan Fraktur Penatalaksanaan fraktur ini mengalami banyak
perubahan dalam waktu sepuluh tahun terakhir ini. Traksi dan spica casting atau
cast bracing mempunyai banyak kerugian dalam hal memerlukan masa berbaring
dan rehabilitasi yang lama, meskipun merupakan penatalaksanaan non-invasif
pilihan untuk anak-anak. Oleh karena itu, tindakan ini tidak banyak dilakukan pada
orang dewasa. Bila keadaan penderita stabil dan luka telah diatasi, fraktur dapat

diimobilisasi dengan salah satu dan empat cara berikut ini: 1) Traksi Penyembuhan
fraktur bertujuan mengembalikan fungsi tulang yang patah dalam jangka waktu
sesingkat mungkin. a) Metode Pemasangan traksi: 1. Traksi Manual Tujuan :
Perbaikan dislokasi, Mengurangi fraktur, Pada keadaan Emergency. Dilakukan
dengan menarik bagian tubuh. 2. Traksi Mekanik Ada dua macam, yaitu : 3. Traksi
Kulit Dipasang pada dasar sistem skeletal untuk struktur yang lain, misalnya:
otot. Traksi kulit terbatasuntuk 4 minggu dan beban < 5 kg. Untuk anak-anak waktu
beban tersebut mencukupi untuk dipakai sebagai fraksi definitif, bila tidak
diteruskan dengan pemasangan gips. 4. Traksi Skeletal Merupakan traksi
definitif pada orang dewasa yang merupakan balanced traction. Dilakukanuntuk
menyempurnakan luka operasi dengan kawat metal atau penjepit melalui
tulang/jaringanmetal. b) Kegunaan Pemasangan Traksi Traksi yang dipasang pada
leher, di tungkai, lengan atau panggul, kegunaannya : 1) Mengurangi nyeri akibat
spasme otot 2) Memperbaiki dan mencegah deformitas 3) Immobilisasi 4) Difraksi
penyakit (dengan penekanan untuk nyeri tulang sendi). 5) Mengencangkan pada
perlekatannya. Comminuted fracture dan fraktur yang tidak sesuai untuk
intramedullary nailing paling baik diatasi dengan manipulasi di bawah anestesi
dan balanced sliding skeletal traction yang dipasangmelalui tibial pin. Traksi
longitudinal yang memadai diperlukan selama 24 jam untuk mengatasispasme otot
dan mencegah pemendekan, dan fragmen harus ditopang di posterior
untuk mencegah peleng-kungan.Enam belas pon biasanya cukup, tetapi penderita
yang gemuk memerlukan beban yang lebih besar dari penderita yang kurus
membutuhkan beban yang lebih kecil. Lakukan pemeriksaanradiologis setelah 24
jam untuk mengetahui apakah berat beban tepat; bila terdapatoverdistraction,
berat beban dikurangi, tetapi jika terdapat tumpang tindih, berat
ditambah.Pemeriksaan radiologi selanjutnya perlu dilakukan dua kali seminggu
selama dua minggu yang pertama dan setiap minggu sesudahnya untuk
memastikan apakah posisi dipertahankan. Jika halini tidak dilakukan, fraktur dapat
terselip perlahan-lahan dan menyatu dengan posisi yang buruk. c) Prinsip Dasar
Penanganan Fraktur 1. Revive Yaitu penilaian cepat untuk mencegah kematian,
apabila pernafasan ada hambatan perlu dilakukan therapi ABC (Airway, Breathing,
Circulation) agar pernafasan lancar. 2. Review Yaitu berupa pemeriksaan fisik yang
meliputi : look feel, novemert dan pemeriksaan fisik ini dilengkapi dengan foto
rontgent untuk memastikan adanya fraktur. 3. Repair Yaitu tindakan
pembedahan berupa tindakan operatif dan konservatif. Tindakan operatif
meliputi : Orif, Oref, menjahit luka dan menjahit pembuluh darah yang robek,
sedangkan tindakan konservatif berupa pemasangan gips dan traksi. 4.
Refer Yaitu berupa pemindahan pasien ke tempat lain, yang dilakukan
dengan hati-hati, sehingga tidak memperparah luka yang diderita. 5. Rehabilitation
Yaitu memperbaiki fungsi secara optimal untuk bisa produktif. d) Macam-Macam
Traksi 1. Traksi Panggul Disempurnakan dengan pemasangan sebuah ikat
pinggang di atas untuk mengikat puncak iliaka. 2. Traksi Ekstension (Bucks
Extention) Lebih sederhana dari traksi kulit dengan menekan lurussatu kaki ke dua
kaki. Digunakan untuk immibilisasi tungkai lengan untuk waktu yang singkatatau
untuk mengurangi spasme otot. 3. Traksi Cervikal Digunakan untuk menahan
kepala extensi pada keseleo, kejang dan spasme.Traksi ini biasa dipasang dengan
halter kepala. 4. Traksi Russels Traksi ini digunakan untuk frakstur batang femur.

Kadang-kadang jugadigunakan untuk terapi nyeri punggung bagian bawah. Traksi


kulit untuk skeletal yang biasa digunakan. Traksi ini dibuat sebuah bagian depan
dan atas untuk menekan kaki dengan pemasangan vertikal pada lutut secara
horisontal pada tibia atau fibula. 5. Traksi khusus untuk anak-anak Penderita tidur
terlentang 1-2 jam, di bawah tuberositas tibiadibor dengan steinman pen, dipasang
staples pada steiman pen. Paha ditopang dengan thomassplint, sedang tungkai
bawah ditopang atau Pearson attachment. Tarikan dipertahankan sampai 2minggu
atau lebih, sampai tulangnya membentuk callus yang cukup. Sementara itu otototot paha dapat dilatih secara aktif. 2) Fiksasi interna. a. Intramedullary nail Ideal
untuk fraktur transversal, tetapi untuk fraktur lainnya kurang cocok.Fraktur dapat
dipertahankan lurus dan terhadap panjangnya dengan nail , tetapi fiksasi
mungkintidak cukup kuat untuk mengontrol rotasi. Keuntungan intramedullary
nailing adalah dapat memberikan stabilitas longitudinal sertakesejajaran
(alignment) serta membuat penderita dpat dimobilisasi cukup cepat
untuk meninggalkan rumah sakit dalam waktu 2 minggu setelah fraktur. Kerugian
meliput anestesi,trauma bedah tambahan dan risiko infeksi. a. Nailing
Diindikasikan jika hasil pemeriksaan radiologimemberi kesan bahwa jaringan lunak
mengalami interposisi di antara ujung tulang karena hal inihampir selalu
menyebabkan non-union Closed nailing memungkinkan mobilisasi yang tercepat
dengan trauma yang minimal, tetapi paling sesuai untuk fraktur transversal tanpa
pemendekan. Comminuted fracture paling baik dirawat dengan locking nail yang
dapat mempertahankan panjang dan rotasi. 3) Fiksasi eksterna. Bila fraktur yang
dirawat dengan traksi stabil dan massa kalus terlihat pada pemeriksaan radiologis,
yang biasanya pada minggu ke enam, cast brace dapat dipasang. Fraktur dengan
intramedullary nail yang tidak memberi fiksasi yang rigid juga cocok untuk
tindakan ini. Penatalaksanaan konservatif, yang dilakukan pada fraktur yaitu : a.
Proteksi semata-mata (tanpa reduksi atau imobilisasi) Proteksi fraktur terutama
untuk mencegah trauma lebih lanjut dengan cara memberikan sling (mitela) pada
anggota gerak atau tongkat pada anggota gerak bawah. b. Immobilisasi dengan
bidai eksterba (tanpa reduksi) Immobilisasi pada fraktur dengan bidai ekterna
hanya memberikan sedikit immobilisasi biasanya hanya mengunakan plester of
paris (gips) atau dengan bermacam-macam bidai atau plastic atau metal c. Reduksi
tertutup dengan manipulasi dan immobilisasi ekterna menggunakan gips. Reduksi
tertutup yang diartikan manipulasi, dilakukan baik dengan pembiusan umum
ataupun local. Reposisi yang dilakukan melawan kekuatan terjadi fraktur.
Penggunaan gips untk immobilisasi merupakan alat utama untuk teknik ini. d.
Reduksi tertutup dengan traksi berlanjut di ikuti dengan traksi berlanjut dapat
dilakukan dengan beberapa cara yaitu traksi kulit dan traksi tulang. ( Muttaqin,
2005 : 45 ). Proses penyembuhan tulang terdiri dari beberapa fase yaitu: 1. Fase
Inflamasi Dengan adanya patah tulang, tubuh akan mengalami respons yang sama
seperti pada cedera dibagian tubuh lainnya. Perdarahan akan terjadi dalam jaringan
yang cedera dan terjadi pula pembentukan hematoma di tempat atau area patah
tulang. Ujung fragmen tulang mengalami devitalisasi karena terputusnya pasokan
darah. Tempat cedera kemudian akan diinvasi oleh makrofag yang berfungsi
membersihkan daerah tersebut. Pada tahap ini, terjadi inflamasi, pembengkakan
dan nyeri. Tahap ini berlangsung selama beberapa hari dan hilang perlahan ditandai
dengan berkurangnya pembengkakan dan nyeri. 2. Fase Proliferasi Sel Dalam waktu

sekitar 5 hari, hematoma akan mengalami organisasi. Terbentuk benang-benang


fibrin dalam gumpalan darah, membentuk jaringan untuk revaskularisasi dan invasi
fibroblast serta osteoblast. Fibroblast dan osteoblast (berkembang dari osteosit, sel
endostel, dan sel periosteum) akan menghasilkan kolagen dan proteoglikan sebagai
matriks kolagen pada patahan tulang. Terbentuk jaringan ikat fibrus dan tulang
rawan (osteoid). Dari periosteum, akan tampak pertumbuhan melingkar. Kalus
tulang rawan tersebut dirangsang oleh gerakan makro minimal pada tempat patah
tulang. Tetapi, gerakan yang berlebihan akan merusak struktur kalus. 3. Fase
Pembentukan Kalus Pertumbuhan jaringan berlanjut dan lingkaran tulang rawan
tumbuh mencapai sisi lain sampai celah sudah terhubung satu sama lain. Fragmen
patahan tulang digabungkan dengan jaringan fibrus, tulang rawan, dan tulang serat
imatur. Bentuk kalus dan volume yang dibutuhkan untuk menghubungkan defek
secara langsung berhubungan dengan jumlah kerusakan dan pergeseran tulang.
Diperlukan waktu 3 sampai 4 minggu agar fragmen tulang bergabung dalam tulang
rawan atau jaringan fibrus. Secara klinis, fragmen tulang tak bisa lagi digerakkan. 4.
Fase Osifikasi Pembentukan kalus mulai mengalami penulangan dalam 2 sampai 3
minggu patah tulang melalui proses penulangan endokondral. Mineral terus
menerus ditimbun sampai tulang benar-benar telah bersatu dengan keras. Pada
fraktur tulang panjang orang dewasa normal, penulangan memerlukan waktu 3
sampai 4 bulan. 5. Fase Remodeling Tahap akhir perbaikan patah tulang meliputi
pengambilan jaringan mati dan reorganisasi tulang baru ke susunan struktur
sebelumnya. Remodelling memerlukan waktu berbulan-bulan hingga bertahuntahun tergantung beratnya modifikasi tulang yang dibutuhkan, fungsi tulang, dan
stress fungsional pada tulang (Brunner dan Suddarth, 2008:2268). Faktor yang
Mempengaruhi Penyembuhan Faktur Femur Faktor yang Mempercepat
Penyembuhan 1. Imobilisasi fragmen tulang 2. Kontak fragmen tulang maksimal 3.
Suplai darah yang memadai 4. Nutrisi yang baik 5. Latihan-pembebanan berat
badan 6. Hormon-hormon pertumbuhan, tiroid, kalsitonin, vitamin D, steroid
anabolik 7. Potensial listrik pada patahan tulang (Brunner dan Suddarth,
2008:2361). Faktor yang Menghambat Penyembuhan 1. Imobilisasi tak memadai 2.
Rongga atau jaringan diantara fragmen tulang 3. Infeksi 4. Keganasan lokal 5.
Penyakit tulang metabolik (misal penyakit Piaget) 6. Nekrosis avaskuler 7. Usia
(lansia akan sembuh lebih lama) 8. Kortikosteroid (menghambat kecepatan
perbaikan) (Brunner dan Suddarth, 2008:2361). 2.3 Komplikasi a. Komplikasi awal
Komplikasi awal setelah fraktur adalah syok yang bisa berakibat fatal dalam
beberapa jam setelah cedera, emboli lemak, yang dapat terjadi dalam 48 jam atau
lebih dan sindrom kopartemen, yang berakibat kehilangan fungsi ekstremitas
permanen jika tidak ditangani segera. Koplikasi awal lainnya yang berhubungan
dengan fraktur adalah infeksi, tromboemboli ( emboli paru ) yang dapat
menyebabkan kematian beberapa minggu setelah cedera dan koagulopati
intravaskuler diseminata ( KID ). b. Komplikasi lambat Penyatuan terlambat atau
tidak ada penyatuan. Penyatuan lambat terjadi bila penyembuhan tidak terjadi
dengan kecepatan normal untuk jenis dan tempat fraktur tertentu. Penyatuan
terlambat mungkin berhubungan dengan infeksi sistemik dan distaksi ( tarikan
jauh ) fragmen tukang. Tidak ada penyatuan terjadi karna kegagalan penyatuan
ujung-ujung patahan tulang. Pasien mengeluh tidak nyaman dan gerkan yang
menetap pada tempat fraktur. Fektor yang ikut berparan dalam masalah penyatuan

meliputi infeksi pada tempat fraktur, interposisi jarungan diantara ujung-ujung


tulang, imobulisasi dan manipulasi yang tidak memadai, yang menghentikan
pembentukan kalus, jarak yang terlalu antara fragmen, kontak tulang yang terbatas
dan gangguan asupan darah yang mengakibatkan nekrosis avaskuler.(Brunner &
suddarth : 2002) c. Perdarahan, dapat menimbulkan kolaps kardiovaskuler.Hal ini
dapat dikoreksi dengan transfusi darah yang memadai. d. Infeksi, terutama jika luka
terkontaminasi dan debridemen tidak memadai. e. Non-union, lazim terjadi pada
fraktur pertengahan batang femur, trauma kecepatan tinggi dan fraktur dengan
interposisi jaringan lunak di antara fragmen. Fraktur yang tidak menyatu
memerlukan bone grafting dan fiksasi interna f. Malunion, disebabkan oleh
abduktor dan aduktor yang bekerja tanpa aksi antagonis pada fragmen atas untuk
abduktor dan fragmen distal untuk aduktor. Deformitas varus diakibatkan oleh
kombinasi gaya ini g. Trauma arteri dan saraf jarang, tetapi mungkin terjadi
(Djuantoro, 1997). 2.4 Prognosis Penyembuhan fraktur merupakan suatu proses
biologis yang menakjubkan. Tidak seperti jaringan lainnya, tulang yang mengalami
fraktur dapat sembuh tanpa jaringan parut. Pengertian tentang reaksi tulang yang
hidup dan periosteum pada penyembuhan fraktur mulai terjadi segera setelah
tulang mengalami kerusakan apabila lingkungan untuk penyembuhan memadai
sampai terjadi konsolidasi. Faktor mekanis yang penting seperti imobilisasi fragmen
tulang secara fisik sangat penting dalam penyembuhan, selain faktor biologis yang
juga merupakan suatu faktor yang sangat esensial dalam penyembuhan fraktur.2
BAB 3 Asuhan Keperawatan Kasus semu Sdr. E berusia 17 tahun dibawa ke RSUA
tanggal 1 April 2013 pada jam 14.23 WIB oleh keluarganya. Pasien mengatakan
pada tanggal 17 Agustus 2012 yang lalu pernah jatuh dari sepeda motor, kemudian
pasien dibawa ke dukun pijat oleh keluarganya. Setelah dibawa ke dukun pijat
pasien tidak kunjung sembuh tetapi tambah parah dan kaki membengkak. Pasien
telah menjalani operasi pada tanggal 2 April 2013. Pada tanggal 11 April 2013
pasien mengatakan nyeri, skala nyeri 7, ekspresi wajah tampak meringis kesakitan,
ekspresi wajah tegang, bingung saat ditanya perawatan luka post operasi. Dari hasil
pemeriksaan tanda-tanda vital didapatkan TD: 110/70 mmHg, N:88 x/menit,
S:36OC. Luka operasi pasien sepanjang 20 cm, jumlah jahitan 20, luka tampak
basah tidak ada PUS, leukosit 8000H/mm3. Pasien mengatakan dalam beraktifitas
tidak bisa mandiri dan membutuhkan bantuan orang lain. Dalam berjalan pasien
masih menggunakan tongkat, personal hygiene kurang, aktifitas pasien di bantu
keluarga. Asuhan Keperawatan 3.1 Pengkajian Pengkajian meliputi : a. Identitas
Pasien Nama : Sdr. E Umur : 17 tahun Jenis kelamin : Laki-laki Suku/Bangsa : Jawa /
Indonesia Status : Belum menikah Pekerjaan : Wiraswasta Pendidikan : SMA Tanggal
MRS : 1 April 2013 Diagnosa Medis : Mal union fraktur femur sinistra post op ke -8 b.
Keluhan Utama : Pasien mengatakan kaki sebelah kirinya yang patah nyeri saat di
gerakkan. c. Riwayat Perawatan Sekarang : Pasien mengatakan pada tanggal 17
Agustus 2012, pasien pernah jatuh dari sepeda motor, kemudian pasien dibawa ke
dukun pijat oleh keluarganya. Setelah dibawa ke dukun pijat kaki pasien tidak
kunjung sembuh tetapi tambah parah, kaki membengkak, maka pada tanggal 1
April 2013 baru pasien dibawa ke RSUA pada jam 14.23 WIB oleh keluarganya.
Kemudian dilakukan operasi pada tanggal 2 April 2013. Pada tanggal 11 April 2013
pasien mengatakan nyeri, skala nyeri 7, ekspresi wajah tampak meringis
kesakitan,ekspresi wajah tegang,bingung saat di tanya perawatan luka post operasi,

TD: 110/70 mmHg, N:88 x/menit, S:36OC. Luka operasi sepanjang 20 cm, jumlah
jahitan 20, luka tampak basah tidak ada PUS, leukosit 8000H/mm3, pasien dalam
mengatakan dalam beraktifitas tidak bisa mandiri dan membutuhkan bantuan
orang lain dan alat. Dalam berjalan pasien masih menggunakan tongkat, personal
hygiene kurang, aktifitas pasien di bantu keluarga. d. Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien sebelumnya tidak pernah mempunyai riwayat penyakit patah tulang seperti
ini dan pasien juga belum pernah dirawat di Rumah Sakit, tidak mempunyai riwayat
penyakit menular dan keturunan seperti DM, Hipertensi, TBC, hepatitis, dll. e.
Riwayat Keperawatan Keluarga : Pasien mengatakan bahwa keluarganya tidak ada
yang mempunyai penyakit seperti pasien dan keluarga pasien tidak ada yang
mempunyai riwayat penyakit menular seperti TBC dan hepatitis, penyakit keturunan
seperti hipertensi dan DM. f. Pola Kebiasaan 1. Pola Persepsi dan Manajemen
Keluarga pasien sangat mementingkan kesehatannya sehingga apabila sakit segera
memeriksakan diri ke Puskesmas/dokter bahkan ke dukun terdekat. a. Sebelum
dirawat : Pasien menggosok gigi sehari (2x setelah mandi dan 1x sebelum tidur).
Mandi 2x dengan sabun dan ganti baju 2x. b. Saat dirawat : klien jarang mandi,
mandi hanya jika ada keluarga yang membantu 2. Pola Nutrisi a. Sebelum dirawat :
A = BB : 63 kg B = Albumin 3,5 dl C = Rambut bersih, tidak rontok, tidak mudah
dicabut D = Pasien makan 3x sehari dengan porsi 1n piring habis (lauk, nasi, sayur)
dan minum air putih + 8 gelas/hari. b. Saat dirawat : A = BB : 60 kg B = Hb : 14,4
gr/dl C = Rambut agak kotor, tidak rontok, tidak mudah dicabut D = - Nutrisi TKTP Pasien makan 3x sehari dengan porsi piring habis (lauk, nasi, sayur) dan minum
air putih + 8 gelas/hari. 3. Pola Eliminasi Sebelum dirawat : Pasien BAB 1-2x sehari
dengan konsistensi lembek warna kuning, bau khas, BAK 4-5x sehari, warna kuning
jernih bau khas. Saat dirawat : Pasien BAB 1x sehari dengan konsistensi lembek
warna kuning, bau khas, BAK 4-5x sehari, warna kuning jernih bau khas. Terakhir
BAB tanggal 10 April 2008 hari Kamis. 4. Pola Istirahat Tidur Sebelum dirawat :
Pasien tidur 7-8 jam sehari kadang-kadang tirud siang - 1 jam sehari. Saat
dirawat : Pasien tidur selama 5-6 jam karena nyeri pada kaki sebelah kiri dan tidak
pernah tidur siang. 5. Pola Aktivitas dan Latihan Sebelum dirawat : Aktivitas 0 1 2 3
4 Makan Minum Berpakaian Toileting Ambulasi - - - - - - - - - - - - - - - - - - - Saat dirawat : Aktivitas 0 1 2 3 4 Makan Minum Berpakaian Toileting
Ambulasi - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - Keterangan : 0 : Mandiri
3 : Bantuan orang lain + alat 1 : Alat Bantu 4 : Bantu dengan bantuan 2 : Bantuan
orang lain Pasien mengatakan bila berubah posisi/beraktivitas kakinya terasa nyeri
dan sakit. 6. Pola Persepsi dan Kognitif Sebelum dirawat : Penglihatan baik Saat
dirawat :Antara telinga kanan dan kiri terdengar suara yang sama Pembau : Normal,
dapat membedakan antara bau busuk dan harum Perasa : Normal, dapat
membedakan rasa manis, asam, asin, pahit Peraba : Normal, dapat membedakan
pemukaan kasar dan halus Kognitif : Pasien dan keluarga beranggapan bahwa
kesehatannya akan membaik setelah mendapatkan perawatan dari RS. Pasien
mengatakan kurang tahu cara perawatan luka operasi dirumah. 7. Pola Persepsi dan
Konsep Diri Gambaran Diri : Pasien menerima keadaan dirinya yang mengalami
patah tulang pada kakinya. Ideal diri : Pasien menginginkan pasien bisa jalan
dengan normal lagi. Peran diri : Pasien seorang wiraswasta, setelah pasien sakit dan
mengalami patah tulang seperti ini pasien tidak bisa melakukan aktivitas. Identitas
diri : Pasien dapat menyebutkan dirinya. Harga Diri : Pasien merasa senang

mendapat perawatan yang baik dari perawat. 8. Pola Reproduksi Sexual Pasien
seorang laki-laki yang belum menikah. 9. Pola koping-toleransi terhadap stress Jika
pasien mempunyai masalah, maka pasien selalu membicarakan dan merundingkan
dengan keluarga. 10. Pola Peran Hubungan Hubungan antara pasien dan keluarga
dengan petugas pelayanan kesehatan baik begitu pula hubungan dengan
tetangganya. 11. Pola kepercayaan dan Keyakinan Pasien beragama Islam, pasien
selama dirawat tidak pernah menjalankan ibadah sholat 5 waktu dan hanya berdoa
agar penyakitnya cepat sembuh. g. Pemeriksaan Fisik 1. Keadaan Umum : Baik 2.
Tingkat Kesadaran : Composmentis 3. Vital Sign : TD : 110/70 mmHg RR : 20x
/menit N : 88x /menit S : 369 C 4. Kepala : Mesochepal Rambut : Kurang bersih,
hitam tidak mudah rontok, tidak mudah dicabut Mata : Simetris, konjungtiva tidak
anemis, sklera tidak ikterik, tidak mengalami gangguan penglihatan Hidung :
Simetris, tidak ada polip Telinga : Simetris, tidak ada serumen, tidak ada gangguan
pendengaran Muka : Ekspresi wajah tampak meringis kesakitan, ekspresi wajah
tampak tegang, ekspresi wajah tampak bingung Leher : Tidak ada pembesaran
kelenjar tiroid, tidak ada peningkatan JVP 5. Paru-paru : I : Ictus simetris ka/ki P :
Vocal fremitus ka/ki sama P : Sonor ka/ki A : Tidak ada wheezing, tidak ada ronchi 6.
Jantung : I : Ictus cordis tidak tampak P : Ictus cordis teraba pada iga 4 dan 5 P :
Pekak A : Teratur, tidak ada murmur (53) 7. Perut : I : Perut datar A : Bunyi
peristaltik 14 x/menit P : Tidak terdapat nyeri tekan pada daerah abdomen P :
Tympani 8. Genetalia : Tidak terpasang DC, bersih 9. Anus : Tidak ada hemoroid 10.
Ekstremitas : Atas : Tidak ada oedema, terpasang infus RL 120 tetes/menit pada
tangan kiri, tidak ada lesi, CRT 2 detik. Bawah : Tidak ada oedema, akral tidak
dingin, CRT 2 detik, terdapat luka post operasi, panjang luka operasi 20 cm,
terdapat 20 jahitan, keadaan lukanya basah, tidak ada PUS, kesemutan Kulit : Turgor
: Baik Warna : Kuning h. Data Penunjang 1. Pemeriksaan laboratorium dilakukan
tanggal 2 April 2013 KIBC : 8.000 H/mm3 (3.500-10.000) HGM : 14,4 g/dl (11,0-16,5)
PLT : 228.000 H/mm3 (150.000-390.000) Pemeriksaan post op tanggal 3 April 2013
Hb : 11,3 g/dl 2. Therapy tanggal 11 April 2013 Cipro 2 x 500 mg diberikan secara
oral Asam mefenamat 2 x 50 mg secara oral Hasil Rongent 1. Hasil rongent sebelum
operasi : mal union fraktur femur sinistra 3.2 ANALISA DATA No Data Etiologi
Masalah keperawatan 1. DS : DO : Pasien mengatakan nyeri P : Nyeri saat
melakukan aktivitas Q : Nyeri seperti dipukul-pukul R : Kaki sebelah kiri S : Skala 7 T
: Saat gerak sewaktu-waktu - Ekspresi wajah tampak meringis jika melakukan
aktivitas. - Ekspresi wajah tampak tegang TD : 110/70 mmHg N : 88 x/menit Fraktur
femur tertutup Malunion, non-union, dan delayed union terapi bedah kerusakan
jaringan pasca operasi nyeri Nyeri 2. DS : DO : Pasien mengatakan bekas luka
operasi masih basah 1. Luka operasi sepanjang 20 cm 2. Luka tampak merah tidak
ada PUS dan darah. S : 360C N : 88 x/menit 3. Leukosit : 8.000 H/mm3 Luka post
operasi Port de entry Resiko infeksi Resti infeksi 3. DS : Pasien mengatakan dalam
beraktivitas pasien tidak bisa mandiri dan membutuhkan bantuan orang lain dan
alat Fraktur femur Terputusnya hubungan tulang Ketidakmampuan melakukan
pergerakan kaki Immobilisasi Hambatan mobilitas fisik 4. DS: DO: Klien jarang
mandi, mandi jika hanya dibantu keluarga. Klien tampak lusuh. Rambut berantakan,
baju tidak ganti fraktur femur Kelemahan fisik ekstrimitas bawah Defisit perawatan
diri Defisit perawatan diri 3.3 Diagnosa Keperawatan 1. Nyeri b.d kompresi saraf,
kerusakan neuromuskuloskeletal, pergerakan fragmen tulang 2. Resiko infeksi b.d

port de entry luka pasca bedah, pemasangan alat fiksasi invasive 3. Hambatan
mobilitas fisik b.d kerusakan muskuloskeletal, pergerakan fragmen tulang 3.4
intervensi Nyeri b.d kompresi saraf, kerusakan neuromuskuloskeletal, pergerakan
fragmen tulang Tujuan : dalam waktu 2x24 jam nyeri berkurang atau teradaptasi 1.
Kriteria Hasil : Pasien menyatakan nyeri berkurang 2. Skala nyeri 0-1 (0-5) 3. Dapat
mengidentifikasikan aktifitas yang dapat menurunkan nyeri 4. Pasien tidak gelisah
Intervensi Rasional Kaji nyeri dengan skala 0-4 Nyeri merupakan respons subyektif
yang dapat dikaji dengan menggunakan skala nyeri. Klien melaporkan nyeri
biasanya di atas tingkat cedera Lakukan manajemen nyeri keperawatan 1. atur
posisi immobilisasi pada paha Immobilisasi yang adekuat dapat mengurangi
pergerakan fragmen tulang yang menjadi unsur utama penyebab nyeri pada paha.
2. manajemen lingkungan: lingkungan tenang, batasi pengunjung, dan istirahatkan
klien Lingkungan tenang akan menurunkan stimulus nyeri eksternal dan
pembatasan pengunjung akan membantu meningkatkan kondisi o2 ruangan 3.
Ajarkan teknik relaksasi pernapasan dalam ketika nyeri muncul. Meningkatkan
asupan O2 sehingga akan menurunkan nyeri sekunder akibat iskemia 4. Ajarkan
teknik distraksi pada saat nyeri Distraksi (pengalihan perhatian) dapat menurunkan
stimulus internal dengan mekanisme peningkatan produksi endorfin dan enkefalin
yang dapat memblok reseptor nyeri agar tidak dikirimkan ke korteks serebri
sehingga menurunkan presepsi nyeri 5. Lakukan manajemen sentuhan Manajemen
sentuhan pa. da saat nyeri berupa sentuhan dukungan psikologis dapat membantu
menurunkan nyeri. Masase ringan dapat meningkatkan aliran darah dan membantu
suplai darah dan oksigen ke area nyeri. 6. Berikan kesempatan waktu istirahat jika
terasa nyeri dan berikan posisi yang nyaman, misalnya waktu tidur, bagian
belakangnya dipasang bantal kecil Istirahat akan merelaksasikan semua jaringan
sehingga meningkatkan kenyamanan Kolaborasi pemberian analgetik Analgesik
memblok lintasan nyeri sehingga nyeri akan berkurang pemasngan traksi tulang
Traksi yang efektif akan memberikan dampak pada penurunan pergeseran fragmen
tulang dan memberikan posisi yang baik untuk penyatuan tulang Operasi untuk
pemasangan fiksasi interna Fiksasi interna dapat membantu imobilisasi fraktur
femur sehingga pergerakan fragmen berkurang. Resiko infeksi b.d port de entry
luka pasca bedah, pemasangan alat fiksasi invasive Tujuan: dalam waktu 12x24 jam
terjadi perbaikan pada intregitas jaringan lunak dan tidak terjadi infeksi Kriteria
hasil: 1. pada hari ke-12 tidak ada tanda-tanda infeksi dan peradangan pada area
luka pembedahan. 2. Leukosit dalam batas normal 3. Ttv dalam batas normal
Intervensi Rasional Kaji faktor-faktor yang memungkinkan terjadinya infeksi yang
masuk ke port de entree Faktor port de entree fraktur femur adalahluka terbuka dari
fraktur, luka pasca-bedah, sisi luka dari traksi tualng, setiap sisi besi pada fiksasi
eksterna. Faktor-faktor ini ini harus dipantau oleh perawat dan dilakukan perawatan
luka steril Lakukan perawatan luka secara steril Teknik perawatan luka secara steril
dapat mengurangi kontaminasi kuman Pantau/ batasi kunjungan Mengurangi resiko
kontak infeksi dari orang lain Tingkatkan asupan nutrisi tinggi kalori dan protein
Meningkatkan imunitas tubuh secara umum dan membantu menurunkan resiko
infeksi Bantu perawatan diri dan keterbatasan aktivitas sesuai toleransi. Bantu
program latihan Menunjukkan kemampuan secara umum dan kekuatan otot dan
meransang pengembalian sistem imun Kolaborasi: Beri antibiotik sesuai indikasi
Satu atau beberapa agens diberikan yang bergantung pada sifat patogen dan

infeksi yang terjadi. Hambatan mobilitas fisik b.d kerusakan muskuloskeletal,


pergerakan fragmen tulang Tujuan : dalam 2 x 24 jam pasien akan menunjukkan
tingkat mobilitas optimal meski degan bantuan. Kriteria hasil : 1. penampilan yang
seimbang. 2. melakukan pergerakkan dan perpindahan. 3. mempertahankan
mobilitas optimal yang dapat di toleransi, dengan karakteristik : 0 = mandiri penuh
1 = memerlukan alat Bantu. 2 = memerlukan bantuan dari orang lain untuk
bantuan, pengawasan, dan pengajaran. 3 = membutuhkan bantuan dari orang lain
dan alat Bantu. 4 = ketergantungan; tidak berpartisipasi dalam aktivitas. Intervensi
Rasional Kaji mobilitas yang ada dan observasi peningkatan kerusakan . kaji secara
teraur fungsi motorik Mengetahui tingkat kemampuan klien dalam melakukan
aktivitas Atur posisi imobilisasi pada paha Imobilisasi yang adekuat dapat
mengurangi pergerakan fragmen tulang yang menjadi unsur utama penyebab nyeri
pada paha Ajarkan klien untuk melakukan latihan gerak aktif pada ekstremitas yang
tidak sakit Gerakan aktif memberikan massa, tonus, dan kekuatan otot serta
memperbaiki fungsi jantung dan pernapasan Bantu klien melakukan latihan rom,
perawatan diri sesuai toleransi Untuk memelihara fleksibilitas sendi sesuai
kemampuan Kolaborasi dengan ahli fisioterapi untuk latihan fisik klien Peningkatan
kemampuan dalam mobilisasi ekstremitas dapat dicapai dengan latihan fisik dari
tim ahli fisioterapi Defisit perawatan diri yang berhubungan dengan kelemahan fisik
ekstremitas bawah Tujuan: dalam waktu 2x24 jam, klien dapat menunjukkan
perubahan gaya hidup untuk kebutuhan merawat diri Kriteria hasil: klien mampu
melakukan aktifitas perawatan diri sesuai dengan tingkat kemampuan,
mengidentifikasi personel yang dapat membantu Intervensi Rasional Kaji
kemampuan dan tingkat penurunan dalam melakukan ADL Membantu dalam
mengantipasi dan merencanakan pertemuan kebutuhan individual Hindari apa yang
tidak bisa dilakukan klien dan bantu jika perlu Klien dalam keadaan cemas dan
bergantung, hal ini dilakukan untuk mencegah frustasi dan meningkatkan harga diri
klien Dekatkan alat dan sarana yang dibutuhkan klien Memudahkan klien dan
meningkatkan kemandirian klien Pertahankan dukungan pola pikir, izinkan klien
melakukan tugas , beri umpan balik positif untuk usahanya Meningkatkan harga diri
klien, memandirikan klien, dan menganjurkan klien terus mencoba Identifikasi
kebiasaan defekasi , anjurkan minum dan tingkatkan aktifitas Meningkatkan latihan
dan menolong mencegah konstipasi BAB 4 PENUTUP 4.1 Kesimpulan Fraktur femur
adalah terputusnya kontinuitas batang femur yang bisa terjadi akibat trauma
langsung (kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian), dan biasanya lebih banyak
dialami oleh laki-laki dewasa. Patah pada daerah ini dapat menimbulkan perdarahan
yang cukup banyak, mengakibatkan pendertia jatuh dalam syok. Tanda Dan Gejala :
1. Deformitas a. Daya terik kekuatan otot menyebabkan fragmen tulang berpindah
dari tempatnya perubahan keseimbangan dan contur terjadi seperti : a. Rotasi
pemendekan tulang b. Penekanan tulang 2. Bengkak : edema muncul secara cepat
dari lokasi dan ekstravaksasi darah dalam jaringan yang berdekatan dengan fraktur
3. Echumosis dari Perdarahan Subculaneous 4. Spasme otot spasme involunters
dekat fraktur 5. Tenderness/keempukan 6. Nyeri mungkin disebabkan oleh spasme
otot berpindah tulang dari tempatnya dan kerusakan struktur di daerah yang
berdekatan. 7. Kehilangan sensasi (mati rasa, mungkin terjadi dari rusaknya
saraf/perdarahan) 8. Pergerakan abnormal 9. Shock hipovolemik hasil dari hilangnya
darah 10. Krepitasi (Black, 1993 : 199). DAFTAR PUSTAKA Barbara, C. B., (1999).

Rencana Asuhan Keperawatan Medikal-Bedah, Volume I, EGC: Jakarta. Doenges,


dkk, (2005). Rencana asuhan keperawatan pedoman untuk perencanaan dan
pendokumentasian perawatan pasien. EGC: Jakarta Djoko Simbardjo. Fraktur Batang
Femur. Dalam: Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah, Bagian Bedah FKUI. Sjamsuhidajat R
dan de Jong, Wim (Editor). Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta: EGC.2005
Smeltzer, Susanne C. (2001). Brunner & suddarth s Textbook of Medical Surgical
Nursing. 8/E Brunner & Suddarth. (2001). Keperawatan medical bedah. Jakarta. EGC
Doenges, M. E. (1999). Rencana asuhan keperawatan. Jakarta: EGC Hinchliff. (2005).
Kamus Keperawatan. Jakarta: EGC Mansjoer.(1999). Kapita selekta kedokeran.
Jakarta: EGC 35

You might also like