You are on page 1of 77

Filsafat Hukum oleh Drs.

Joke Punuhsingon, SH, MH

BAB I
PENGERTIAN, OBJEK, TEMPAT DAN MANFAAT
FILSAFAT HUKUM
A. Pengertian Filsafat
Kata bahasa Indonesia filsafat merupakan terjemahan dari kata
bahasa Latin philosophia dan bahasa Inggris philosophy. Kata-kata
bahasa Latin dan Inggris tersebut mempunyai akar kata pada kata bahasa
Yunani philosophia dan philosophos; philo berarti pencari atau pencinta dan
sophos yang berarti hikmat, kebijaksanaan, pengetahuan. Filsafat
(philosophia) lantas berarti cinta akan kebijaksanaan atau pengetahuan.
Jadi, secara harafiah, filsafat menunjuk kepada kegiatan mencintai atau
mencari kebijaksanaan atau pengetahuan. Seorang filsuf adalah seorang
pencinta kebijaksanaan. Ia merasa diri tidak atau belum memiliki
kebijaksanaan, karena itu ia mencarinya. Dan, pencariannya itu dituntun
oleh keterbukaannya untuk bertanya terus menerus. Ia bertanya karena rasa
heran dan kagum, rasa ingin tahu lebih untuk memuaskan dahaga
intelektual. Bertanya memang merupakan ciri khas suatu pengembaraan
dalam rangka mencari kebenaran atau kebijaksanaan.
Pythagoras (580-500 SM), dijuluki sebagai orang yang
pintar/bijaksana, dengan ucapannya yang terkenal sebagai berikut :
consisted in knowing that he was ignorant and that he should therefore
not be colled wise, but a lover of wisdom (yang ia tahu ialah, bahwa ia
tidak tahu, oleh sebab itu janganlah disebut ia berilmu, tetapi seorang
pencinta ilmu).
Dalam arti praktis, filsafat mengandung makna alam berpikir/alam
pikir. Namun filsafat ialah berpikir secara mendalam atau radikal. Radikal
berasal dari kata radix, yang artinya akar. Maka berpikir secara radikal
berarti berpikir sampai keakar-akarnya, dan sungguh-sungguh terhadap
hakikat sesuatu. Hakikat artinya, kebenaran atau kenyataan yang
sebenarnya. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia karangan W.J.S.
Poerwadarminta, mengartikan filsafat sebagai pengetahuan dan
penyelidikan dengan akal budi mengenai sebab-sebab, asas-asas, hukum
dan sebagainya daripada segala yang ada di alam semesta ataupun
mengenai kebenaran dan arti adanya sesuatu.
Pengertian menurut beberapa sarjana dan filsuf, seperti :
1. Para filsuf Yunani dan Romawi, antara lain :
a.
Plato (427-348 SM), filsafat ialah ilmu pengetahuan yang
bersifat untuk mencapai kebenaran yang asli.
b.
Aristoteles (382-322 SM), filsafat ialah ilmu pengetahuan yang
meliputi kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu
metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik dan sostetika.
1

Filsafat Hukum oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

c.

Cicero (106-[043 SM), filsafat ialah ibu dari semua ilmu


pengetahuan lainnya. Filsafat ialah ilmu pengetahuan terluhur dan
keinginan untuk mendapatkannya.
2. Para filsuf abad pertengahan, seperti :
a.
Descartes (1596-1650), filsafat ialah kumpulan segala
pengetahuan di mana Tuhan, alam, dan manusia menjadi pokok
penyelidikannya.
b.
Immanuel Kant (1724-1804), filsafat ialah ilmu pengetahuan
yang menjadi pokok dan pangkal segala pengetahuan yang tercakup
di dalamnya 4 persoalan :
(1)
Apakah yang dapat kita ketahui ?
Jawabannya termasuk dalam bidang Metafisika.
(2)
Apakah yang seharusnya kita kerjakan ?
Jawabannya termasuk pada bidang Etika.
(3)
Sampai di manakah harapan kita ?
Jawabannya termasuk pada bidang Agama.
(4)
Apakah yang dinamakan manusia itu ?
Jawabannya termasuk pada bidang Antropologie.
B. Pengertian Filsafat Hukum
Untuk membahas mengenai pengertian daripada filsafat hukum, ada
baiknya kita tahu lebih dahulu sekelumit tentang apa yang dimaksud dengan
fisafat itu sendiri dan apa pula pengertian daripada hukum.
Filsafat adalah merupakan suatu perenungan atau pemikiran secara
mendalam terhadap sesuatu hal yang telah kita lihat dengan indera
penglihatan, kita rasakan dengan indera perasa, kita cium dengan indera
penciuman ataupun kita dengar dengan indera pendengaran samapai pada
dasar atau hakikat daripada sesuatu hal tersebut. Louis O Kattsoff
mengatakan di dalam bukunya, bahwa filsafat bertujuan untuk
mengumpulkan pengetahuan manusia sebanyak mungkin, mengajukan
kritik dan menilai pengetahuan ini, menemukan hakikatnya, dan
menerbitkan serta mengatur semuanya itu di dalam bentuk yang sistematis.
Katanya lebih lanjut, filsafat membawa kita pada pemahaman dan
pemahaman membawa kita kepada tindakan yang lebih layak. Filsafat dapat
kita jadikan sebagai pisau analisis dalam menganalisa suatu masalah dan
menyususn secara sistematis suatu sudut pandang ataupun beberapa sudut
pandang, yang kemudian dapat menjadi dasar untuk melakukan suatu
tindakan.
Sedangkan hukum sendiri, menurut seorang ahli hukum Indonesia
Wirjono Prodjodikoro, adalah rangkaian peraturan mengenai tingkah laku
orang orang sebagai anggota suatu masyarakat, sedangkan satu-satunya
tujuan dari hokum ialah menjamin keselamatan, kebahagiaan, dan tata tertib
2

Filsafat Hukum oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

dalam masyarakat itu. Kemudian, Notohamidjojo berpendapat, bahwa


hokum adalah keseluruhan peraturan yang tertulis dan tidak tertulis yang
biasanya bersifat memaksa untuk kelakuan manusia dalam masyarakat
Negara serta antarnegara, yang berorientasi pada dua asas yaitu keadilan
dan dayaguna, demi tata tertib dan damai dalam masyarakat. Secara umum
hukum dapat dipandang sebagai norma, yaitu norma yang mengandung
nilai-nilai tertentu.
Selanjutnya filsafat hukum dapat disebut juga sebagai filsafat
tingkah laku atau nilai-nilai etika, yang mempelajari hakikat hukum.
Filsafat hokum ialah merupakan ilmu yang mengkaji tentang hukum secara
mendalam sampa kepada inti atau dasarnya yang disebut dengan hakikat.
Seorang filsuf hukum pasti akan mencari apa inti atau hakikat daripada
hukum, ingin mengetahui apa yang ada di belakang hukum, mencari apa
yang tersembunyi di dalam hukum, menyelidiki kaidah-kaidah hokum
sebagai pertimbangan nilai, memberi penjelasan tentang nilai-nilai,
postulat-postulat (dasar-dasar) hokum sampai pada dasar-dasarnya filsafat
yang terakhir, dan berusaha mencapai akar dari hokum. Jadi, filsafat hokum
adalah suatu perenungan atau pemikiran secara ketat, secara mendalam
tentang pertimbangan nilai-nilai di balik gejala-gejala hokum sebagaimana
dapat diamati oleh pancaindera manusia mengenai perbuatan-perbuatan
manusia dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat.
C. Objek Pengkajian Filsafat Hukum
Ada pendapat yang mengatakan bahwa karena filsafat hukum
merupakan bagian khusus dari filsafat pada umumnya, maka berarti filsafat
hukum hanya mempelajari hukum secara khusus.Sehingga, hal-hal non
hukum menjadi tidak relevan dalam pengkajian filsafat hukum. Penarikan
kesimpulan seperti ini sebetulnya tidak begitu tepat. Filsafat hukum sebagai
suatu filsafat yang khusus mempelajari hukum hanyalah suatu pembatasan
akademik dan intelektual saja dalam usaha studi dan bukan menunjukkan
hakekat dari filsafat hukum itu sendiri.
Sebagai filsafat, filsafat hukum tunduk pada sifat-sifat, cara-cara
dan tujuan-tujuan dari filsafat pada umumnya. Di samping itu, hukum
sebagai obyek dari filsafat hukum akan mempengaruhi filsafat hukum.
Dengan demikian secara timbal balik antara filsafat hukum dan filsafat
saling berhubungan.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa filsafat hukum adalah
cabang filsafat, yaitu filsafat tingkah laku atau etika, yang mempelajari
hakikat hukum. Dengan perkataan lain, filsafat hukum adalah ilmu yang
mempelajari hukum secara filosofis. Jadi objek filsafat hukum adalah
hukum, dan obyek tersebut dikaji secara mendalam sampai kepada inti atau
dasarnya, yang disebut hakikat.
3

Filsafat Hukum oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

Pertanyaan tentang apa apa hakikat hukum itu sekaligus


merupakan pertanyaan filsafat hukum juga. Pertanyaan tersebut mungkin
saja dapat dijawab oleh ilmu hukum, tetapi jawaban yang diberikan ternyata
serba tidak memuaskan. Menurut Apeldorn , hal tersebut tidak lain karena
ilmu hukum hanya memberikan jawaban yang sepihak. Ilmu hukum hanya
melihat gejala-gejala hukum sebagaimana dapat diamati oleh pancaindra
manusia mengenai perbuatan-perbuatan manusia dan kebiasaan-kebiasaan
masyarakat. Sementara itu pertimbangan nilai di balik gejala-gejala hukum,
luput dari pengamatan ilmu hukum. Norma atau kaidah hukum, tidak
termasuk dunia kenyataan (sein), tetapi berada pada dunia nilai (sollen),
sehingga norma hukum bukan dunia penyelelidikan ilmu hukum.
Hakikat hukum dapat dijelaskan dengan cara memberikan suatu
definisi tentang hukum. Sampai saat ini menurut Apeldorn, sebagaimana
dikutip dari Immanuel Kant, para ahli hukum masih mencari tentang apa
definisi hukum. Definisi (batasan) tentang hukum yang dikemukakan para
ahli hukum sangat beragam, tergantung dari sudut mana mereka melihatnya.
Ahli hukum Belanda J. van Kan , mendefinisikan hukum sebagai
keseluruhan ketentuan-ketentuan kehidupan yang bersifat memaksa, yang
melindungi kepentingan-kepentingan orang dalam mayarakat. Pendapat
tersebut mirip dengan definisi dari Rudolf von Ihering, yang menyatakan
bahwa hukum bahwa hukum adalah keseluruhan norma-norma yang
memaksa yang berlaku dalam suatu negara. Hans Kelsen menyatakan
hukum terdiri dari norma-norma bagaimana orang harus berperilaku.
Pendapat ini di dukung oleh ahli hukum Indonesia, Wiryono Prodjodikoro ,
yang menyatakan hukum adalah rangkaian peraturan mengenai tingkah lau
orang-orangsebgai anggota suatu masyarakat, sedangkan satu-satunya
tujuan dari hukum ialah menjamin keselamatan, kebahagiaan, dan tata tertib
dalam masyarakat itu. Selanjutnya Notohamidjoyo berpendapat bahwa
hukum adalah keseluruhan peraturan yang tertulis dan tidak tertulisyang
biasanya bersifat memaksa untuk kelakuan manusia dalam masyarakat
negara serta antar negara, yang berorientasi pada dua asas, yaitu keadilan
dan daya guna, demi tata tertib dan kedamaian dalam masyarakat.
Definisi-definisi tersebut menunjukkan betapa luas sesungguhnya
hukum itu. Keluasan bidang hukum itu dilukiskan oleh Purnadi Purbacaraka
dan Soerjono Soekanto dengan menyebutkan sembilan arti hukum. Menurut
mereka, hukum dapat diartikan sebagai : (1) ilmu pengetahuan, yakni
pengetahuan yang tersusun secara sistematis atas dasar kekuatan pemikiran;
(2) disiplin, yakni suatu sistem ajaran tentang kenyataan atau gejala-gejala
yang dihadapi ; (3) norma, yakni pedoman atau patokan siakap tindak atau
perikelakuan yang pantas atau diharapkan; (4) tata hukum, yakni struktur
dan proses perangkat norma-norma hukum yang berlaku pada suatu waktu
4

Filsafat Hukum oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

dan tempat tertentu serta berbentuk tertulis; (5) petugas, yakni pribadipribadi yang merupakan kalangan yang berhubungan erat dengan
penegakan hukum (law enforcement officer) ; (6) keputusan penguasa,
yakni hasil proses diskresi ; (7) proses pemerintahan, yaitu proses hubungan
timbal balik antara unsur-unsur pokok dari sistem kenegaraan; (8) sikap
tindak ajeg atau perikelakuan yang teratur, yakni perikelakuan yang
diulang-ulang dengan cara yang sama, yang bertujuan untuk untuk
mencapai kedamaian; (9) jalinan nilai-nilai, yaitu jalinan dari konsepsikonsepsi abstrak tentang apa yang dianggap baik dan buruk.
Dengan demikian, apabila kita ingin mendefinisikan hukum secara
memuaskan, kita harus dapat merumuskannya dalam suatu kalimat yang
cukup panjang yang meliputi paling tidak sembilan arti hukum di atas.
Mengingat objek filsafat hukum adalah hukum, maka masalah atau
pertanyaan yang dibahas oleh filsafat hukum itupun antara lain berkaitan
dengan hukum itu sendiri, seperti hubungan hukum dengan kekuasaan,
hubungan hukum kodrat dengan hukum positif, apa sebab orang menaati
hukum, apa tujuan hukum, sampai pada masalah-masalah kontemporer
seperti masalah hak asasi manusia, keadilan dan etika profesi hukum.
Selanjutnya Apeldorn , menyebutkan tiga pertanyaan penting yang
dibahas oleh filsafat hukum, yaitu : (1) adakah pengertian hukum yang
berlaku umum ; (2) apakah dasar kekuatan mengikat dari hukum ; dan (3)
adakah sesuatau hukum kodrat. Lili Rasyidi menyebutkan pertanyaan yang
menjadi masalah filsafat hukum, antara lain : (1) hubungan hukum dengan
kekuasaan ; (2) hubungan hukum dengan nilai-nilai sosial budaya ; (3) apa
sebabnya negara berhak menghukum seseorang ; (4) apa sebab orang
menaati hukum ; (5) masalah pertanggungjawaban ; (6) masalah hak milik ;
(7) masalah kontrak ; (8) dan masalah peranan hukum sebagai sarana
pembaharuan masyarakat.
Apabila kita perbandingkan antara apa yang dikemukakan oleh
Apeldorn dan Lili Rasyidi tersebut, tampak bahwa masalah-masalah yang
dianggap penting dalam pembahasan filsafat hukum terus bertambah dan
berkembang, seiring dengan perkembangan zaman. Demikian pula karena
semakin banyaknya para ahli hukum yang menekuni dunian filsafat hukum.
D. Filsafat Hukum Dalam Kerangka Filsafat Pada Umumnya
Yang dilakukan para ahli filsafat ialah berusaha menjelaskan apa
sesungguhnya arti filsafat itu. Pada dasarnya inti berbagai perumusan itu
menyatakan bahwa filsafat adalah karya manusia tentang hakikat sesuatu.
Karya berupa apa? Tuhan Yang Maha Esa menciptakan manusia disertai
alat-alat kelengkapan yang lengkap dan sempurna yang dapat digunakan
sepanjang hayatnya. Alat-alat kelengklapan itu terdiri dari raga, rasa dan
rasio. Dalam berkarya, ketiga alat itu digunakan secara serentak karena
5

Filsafat Hukum oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

ketiganya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Hanya terdapat
perbedaan unsur, mana yang paling menonjol digunakan dalam karyakaryanya.
Mereka yang berkarya mencapai tujuan hidupnya seperti para
petani yang mencangkul tanah sawah atau kebun, dan mereka yang bekerja
mengangkat barang-barang penumpang, dan lain-lain, jelas di sini lebih
menonjolkan penggunaan unsur raganya. Sedangkan mereka yang bekerja
di bidang seni akan menonjolkan unsur rasanya.
Dalam hal orang berkarya filsafat, pada mulanya yang tampil ke
hadapan adalah unsur rasaya. Rasa heran dan kagum manusia atas alam
semesta dengan segala isinya yang dilihatnya menyebabkan manusia itu
kemudian mengajukan berbagai pertanyaan yang berkaitan dengan cara
bagaimana terjadinya alam semesta itu beserta segala isinya.
Kesemua pertanyaan itu memerlukan jawaban. Dalam usaha
menjawab pertanyaan-pertanyaan itulah tampil ke hadapan unsur rasionya.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam orang berfilsafat, maka ia
berkarya menggunakan pemikirannya. Jadi, filsafat adalah hasil pemikiran
manusia tentang hakikat sesuatu. Lalu apa yang dimaksud dengan hakikat
sesuatu itu?
Ada yang mengatakan bahwa hakikat sesuatu itu adalah tempat
sesuatu di alam semesta dan hubungan sesuatu tadi dengan isi alam semesta
yang lain. Kata sesuatu dapat berarti alam semesta itu sendiri atau segala
isinya. Jika yang menjadi sesuatu tadi adalah manusia sebagai salah satu
isi alam semesta, maka berfilsafat tentang manusia berarti mengkaji secara
mendalam tempat manusia itu di alam semesta dan bagaimana hubungan
manusia tadi dengan segala isi alam semesta lainnya. Atau ada juga yang
mengatakan dengan yang lebih sederhana, mengkaji manusia dari segi inti
dan dasar yang sedalam-dalamnya.
Pada mula orang berfilsafat, perhatian para filsuf lebih lanjut
kepada alam semesta itu sendiri. Pada zaman purbakala, filsuf-filsuf
kenamaan pada zaman ini (pra-Socrates) seperti Thales, Anaximandros,
Anaximenes, Phitagoras, dan lain-lain, mencoba mencari inti alam
semesta. Thales yang hidup pada tahun 624-548 SM berpendapat bahwa
inti alam semesta itu adalah air. Anaximandros mengatakan teapeiron yang
menjadi inti alam, yaitu suatu zat yang tidak tentu sifat-sifatnya. Sedangkan
Anaximenes (590-528 SM) menyebutkan udara. Yang sangat berbeda
sekali pendapatnya ialah Phitagoras. Menurutnya, yang menjadi dasar dari
segala sesuatunya adalah bilangan.
Dengan mengambil obyek filsafat yang bukan manusia, sudah
barang tentu tidak akan sampai pada uraian mengenai hukum dari segi
filsafatnya. Baru setelah masa Socrates, yang juga dimulai oleh filsuf besar
6

Filsafat Hukum oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

ini, perhatian para filsuf tertuju pada manusia sebagai obyek filsafat
mereka. Segala segi dari mahluk manusia ini dicoba dikaji. Cara
berpikirnya menghasilkan filsafat logika, karya seninya melahirkan filsafat
estetika, tingkah lakunya diselidiki oleh filsafat etika. Segala upaya manusia
dalam upaya mencapai tujuan hidupnya menghasilkan cabang-cabang
filsafat lainnya seperti filsafat negara, filsafat politik, filsafat ekonomi,
filsafat hukum, dan lain-lain.
Hukum adalah sesuatu yang berkenaan dengan manusia. Hanya ada
hukum jika ada manusia, yaitu manusia dalam pergaulannya dengan yang
lain. Akibat kebergantungan hukum pada manusia ini, maka hanya mungkin
orang berfilsafat tentang hukum apabila terlebih dahulu berfilsafat tentang
manusia. Sebab, salah satu aspek dari manusia yang sangat erat kaitannya
adalah tingkah lakunya. Melalui filsafat tingkah laku ini, atau filsafat etika,
lalu orang berfilsafat tentang hukum. Dengan demikian, dalam pohon
filsafat manusia, maka filsafat etika merupakan salah satu cabangnya,
sedangkan filsafat hukum lebih lanjut merupakan cabang dari filsafat etika
ini atau merupakan salah satu ranting dari filsafat manusia tadi.
Sering kali juga orang mengatakan bahwa filsafat manusia itu
merupakan genus filsafat, sedangkan filsafat etika adalah species filsafat
yang memiliki filsafat hukum sebagai sub species-nya. Filsafat hukum
mempelajari sebagian dari tingkah laku manusia, yaitu tingkah laku (atau
perbuatan) yang akibatnya diatur oleh hukum.
E. Manfaat Filsafat Hukum
Berfilsafat adalah berfikir. Hal ini tidak berarti setiap berfikir
adalah berfilsafat, karena berfilsafat itu berfikir dengan ciri-ciri tertentu.
Ada beberapa ciri berpikir secara kefilsafatan, yaitu:
1. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara radikal. Radikal berasal dari
kata Yunani, radix yang berarti akar. Berfikir secara radikal adalah
berfikir sampai ke akar-akarnya. Berfikir sampai ke hakikat, essensi,
atau samapai ke substansi yang dipikirkan. manusia yang berfilsafat
tidak puas hanya memperoleh pengetahuan lewat indera yang selalu
berubah dan tidak tetap. Manusia yang berfilsafat dengan akalnya
berusaha untuk dapat menangkap pengetahuan hakiki, yaitu
pengetahuan yang mendasari segala pengetahuan inderawi.
2. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara universal (umum). Berfikir
secara universal adalah berfikir tentang hal-hal serta proses-proses yang
bersifat umum. Filsafat bersangkutan dengan pengalaman umum dari
ummat manusia (common experience of mankind). Dengan jalan
penjajakan yang radikal, filsafat berusaha untuk sampai pada
kesimpulan-kesimpulan yang universal. Bagaimana cara atau jalan yang
ditempuh untuk mencapai sasaran pemikirannya dapat berbeda-beda.
7

Filsafat Hukum oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

3.

4.

5.

6.

7.

8.

Akan tetapi yang dituju adalah keumuman yang diperoleh dari hal-hal
khusus yang ada dalam kenyataan.
Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara konseptual. Yang dimaksud
dengan konsep di sini adala hasil generalisasi dan abstraksi dari
pengalaman tentang hal-hal sertya proses-proses individual. Berfilsafat
tidak berfikir tentang manusia tertentu atau manusia khusus, tetap[i
berfikir tentang manusia secara umum. Dengan ciri yang konseptual ini,
berfikir secara kefilsafatan melampoi batas pengalaman hidup seharihari.
Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara koheren dan konsisten.
Koheren artinya sesuai dengan kaidah-kaidah berfikir (logis). Konsisten
artinya tidak mengandung kontradiksi. Baik koheren maupun konsisten,
keduanya dapat diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, yaitu runtut.
Adapun yang dimaksud runtut adalah bagan konseptual yang disusun
tidak terdiri atas pendapat-pendapat yang saling berkontradiksi di
dalamnya.
Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara sistematik. Sistematik
berasal dari kata sistem yang artinya kebulatan dari sejumlah unsur
yang saling berhubungan menurut tata pengaturan untuk mencapai
sesuatu maksud atau menunaikan sesuatu peranan tertentu. Dalam
mengemukakan jawaban terhadap sesuatu masalah, digunakan pendapat
atau argumen yang merupakan uraian kefilsafatan yang saling
berhubungan secara teratur dan terkandung adanya maksud atau tujuan
tertentu.
Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara komprehensif.
Komprehensif adalah mencakup secara menyeluruh. Berfikir secara
kefilsafatan berusaha untuk menjelaskan fenomena yang ada di alam
semesta secara keseluruhan sebagai suatu sistem.
Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara bebas. Sampai batas-batas
yang luas, setiap filsafat boleh dikatakan merupakan suatu hasil dari
pemikiran yang bebas. Bebas dari prasangka-prasangka sosial, historis,
kultural, atau religius. Sikap-sikap bebas demikian ini banyak
dilukiskan oleh filsuf-filsuf dari segala zaman. Socrates memilih minum
racun dan menatap maut daripada harus mengorbankan kebebasannya
untuk berpikir menurut keyakinannya. Baruch de Spinoza yang
terkenal adalah ajaran mengenai Substansi tunggal Allah atau alam,
karena khawatir kehilangan kebebasannya untuk berfikir, menolak
pengangkatannya sebagai guru besar filsafat pada Universitas
Heidelberg.
Berfikir secara kefilsafatan dicirikan dengan pemikiran yang
bertanggungjawab. Pertangungjawaban yang pertama adalah terhadap
8

Filsafat Hukum oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

hati nuraninya. Di sini tampak hubungan antara kebebasan berfikir


dalam filsafat dengan etika yang melandasinya.
Sebagaimana berfikir secara kefilsafatan, maka pemikiran filsafat
hukum juga memiliki beberapa sifat atau karakteritik khusus yang
membedakannya dengan ilmu-ilmu lain. Pertama, filsafat hukum memiliki
karakteristik yang bersifat menyeluruh dan universal. Dengan cara berfikir
holistik tersebut, maka siapa saja yang mempelajari filsafat hukum diajak
untuk berwawasan luas dan terbuka. Mereka diajak untuk menghargai
pemikiran, pendapat dan pendirian orang lain. Itulah sebabnya dalam
filsafat hukumpun dikenal pula berbagai aliran pemikiran tentang hukum,
dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Dengan demikian diharapkan
para cendekiawan hukum, tidak bersikap arogan dan apriori, bahwa disiplin
ilmu yang dimilikinya lebih tinggi dengan disiplin ilmu yang lainnya.
Kemudian filsafat hukum dengan sifat universalitasnya,
memandang kehidupan secara menyeluruh, tidak memandang hanya
bagian-bagian dari gejala kehidupan saja atau secara partikular. Dengan
demikian filsafat hukum dapat menukik pada persoalan lain yang relevan
atau menerawang pada keseluruhan dalam perjalanan reflektifnya, tidak
sekedar hanya memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya. Dalam
filsafat hukum, pertimbangan-pertimbangan di luar obyek adalah salah satu
ciri khasnya. Filsafat hukum tidak bersifat bebas nilai. Justru filsafat hukum
menimba nilai yang berasal dari hidup dan pemikiran.
Ciri yang kedua, filsafat hukum juga memiliki sifat yang mendasar
atau memusatkan diri pada pertanyaan-pertanyaan mendasar (basic or
fundamental questions). Artinya dalam menganalisis suatu masalah,
seseorang diajak untuk berpikir kritis dan radikal. Dengan mempelajari dan
memahami filsafat hukum berarti diajak untuk memahami hukum tidak
dalam arti hukum positif belaka. Orang yang mempelajari hukum dalam arti
positif belaka, tidak akan mampu memanfaatkan dan mengembangkan
hukum secara baik. Apabila orang itu menjadi hakim misalnya,
dikhawatirkan ia akan menjadi hakim yang bertindak selaku corong
undang-undang semata.
Ciri berikutnya yang tidak kalah pentingnya adalah sifat filsafat
yang spekulatif. Sifat ini tidak boleh diartikan secara negatif sebagai sifat
gambling. Sebagai dinyatakan oleh Suriasumantri , bahwa semua ilmu yang
berkembang saat ini bermula dari sifat spekulatif tersebut. Sifat ini
mengajak mereka yang mempelajari filsafat hukum untuk berpikir inovatif,
selalu mencari sesuatu yang baru. Memang, salah satu ciri orang yang
berpikir radikal adalah senang kepada hal-hal yang baru. Tentu saja
tindakan spekulatif yang dimaksud di sini adalah tindakan yang terarah,
yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Dengan berpikir
9

Filsafat Hukum oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

spekulatif dalam arti positif itulah hukum dapat dikembangkan ke arah yang
dicita-citakan bersama.
Secara spekulatif, filsafat hukum terjadi dengan pengajuan
pertanyaan-pertanyaan mengenai hakekat hukum. Pertanyaan-pertanyaan
itu menimbulkan rasa sangsi dan rasa terpesona atas suatu kebenaran yang
dikandung dalam suatu persoalan. Apabila jawaban-jawabannya diperoleh
maka jawaban-jawaban itu disusun dalam suatu sistem pemikiran yang
universal dan radikal.
Kemudian ciri yang lain lagi adalah sifat filsafat yang reflektif
kritis. Melalui sifat ini, filsafat hukum berguna untuk membimbing kita
menganalisis masalah-masalah hukum secara rasional dan kemudian
mempertanyakan jawaban itu secara terus menerus. Jawaban tersebut
seharusnya tidak sekedar diangkat dari gejala-gejala yang tampak, tetapi
sudah sampai kepada nilai-nilai yang ada dibalik gejala-gejala itu. Analisis
nilai inilah yang membantu kita untuk menentukan sikap secara bijaksana
dalam menghadapi suatu masalah kongkret. Secara kritis, filsafat hukum
berusaha untuk memeriksa gagasan-gagasan tentang hukum yang sudah
ada, melihat koherensi, korespodensi dan fungsinya. Filsafat hukum
berusaha untuk memeriksa nilai dari pernyataan-pernyataan yang dapat
dikategorikan sebagai hukum.
Filsafat itu juga bersifat introspektif atau mempergunakan daya
upaya introspektif. Artinya, filsafat tidak hanya menjangkau kedalaman dan
keluasan dari permasalahan yang dihadapi tetapi juga mempertanyakan
peranan dari dirinya dan dari permasalahan tersebut. Filsafat
mempertanyakan tentang struktur yang ada dalam dirinya dan permasalahan
yang dihadapinya. Sifat introspektif dari filsafat sesuai dengan sifat manusia
yang memiliki hakekat dapat mengambil jarak (distansi) tidak hanya pada
hal-hal yang berada di luarnya tetapi juga pada dirinya sendiri.
Sebagai bahan perbandingan, Radhakrisnan dalam bukunya The
History of Philosophy, mengemukakan pula tentang arti penting
mempelajari filsafat, termasuk dalam hal ini mempelajari filsafat hukum,
bukanlah sekedar mencerminkan semangat masa ketika kita hidup,
melainkan membimbing kita untuk maju. Fungsi filsafat adalah kreatif,
menetapkan nilai, menetapkan tujuan, menentukan arah, dan menuntun
pada jalan baru. Filsafat hendaknya mengilhamkan keyakinan kepada kita
untuk menopang dunia baru, mencetak manusia-manusia yang tergolong ke
dalam berbagai bangsa, ras dan agama itu mengabdi kepada cita-cita mulia
kemanusiaan. Filsafat tidak ada artinya sama sekali apabila tidak universal,
baik dalam ruang lingkupnya maupun dalam semangatnya.
Adanya karakteristik khusus dari pemikiran filsafat hukum di atas
sekaligus juga menunjukkan arti pentingnya. Dengan mengetahui dan
10

Filsafat Hukum oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

memahami filsafat hukum dengan berbagai sifat dan karakternya tersebut,


maka sebenarnya filsafat hukum dapat dijadikan salah satu alternatif untuk
ikut membantu memberikan jalan keluar atau pemecahan terhadap berbagai
krisis permasalahan yang menimpa bangsa Indonesia dalam proses
reformasi ini. Tentu saja kontribusi yang dapat diberikan oleh filsafat
hukum dalam bentuk konsepsi dan persepsi terhadap pendekatan yang
hendak dipakai dalam penyelesaian masalah-masalah yang terjadi.
Pendekatan mana didasarkan pada sifat-sifat dan karakter yang melekat
pada filsafat hukum itu sendiri.
Dengan pendekatan dan analisis filsafat hukum, maka para para
pejabat, tokoh masyarakat, pemuka agama dan kalangan cendekiawan atau
siapapun juga dapat bersikap lebih arif dan bijaksana serta mempunyai
ruang lingkup pandangan yang lebih luas dan tidak terkotak-kotak yang
memungkinkan dapat menemukan akar masalahnya. Tahap selanjutnya
diharapkan dapat memberikan solusi yang tepat. Karena penyelesaian krisis
yang terjadi di negara kita itu tidak mungkin dapat dilakukan sepotongpotong atau hanya melalui satu bidang tertentu saja, tapi harus meninjau
melalui beberapa pendekatan lain sekaligus (interdisipliner.atau
multidisipliner).
Tidak ada lagi pihak-pihak yang merasa dirinya paling benar atau
paling jago dengan pendapatnya sendiri dan menafikan pendapat yang lain.
Atau dengan kata lain hanya ingin menangnya sendiri tanpa mau
menghargai pendapat orang lain. Karena masing-masing bidang atau cara
pandang tertentu, mempunyai kelebihan dan keterbatasannya masingmasing. Justru pandangan-pandangan yang berbeda kalau dapat dikelola
dengan baik, dapat dijadikan alternatif penyelesaian masalah yang saling
menopang satu sama lain.
Apalagi krisis permasalahan yang melanda bangsa Indonesia
sesungguhnya amat kompleks dan multidimensional sifatnya, mulai krisis
ekonomi, politik, hukum, pemerintahan serta krisis moral dan budaya, yang
satu sama lain berkaitan sehingga diperlukan cara penyelesaian yang
terpadu dan menyeluruh yang melibatkan berbagai komponen bangsa yang
ada.
Dalam konteks ini diperlukan adanya kerjasama dan sinergi yang
erat dari berbagai komponen tersebut. Maka pejabat pemerintah harus
mendengar aspirasi dari rakyat, para pakar mau mendengar pendapat pakar
lainnya, tokoh masyarakat harus saling menghormati terhadap dengan tokoh
masyarakat yang lain. Semua bekerja bahu membahu dan menghindarkan
diri dari rasa curiga, kebencian dan permusuhan. Dengan pendekatan dan
kerangka berfikir filsafati seperti di atas, diharapkan dapat membantu ke
arah penyelesaian krisis yang sedang menerpa bangsa Indonesia saat ini.
11

Filsafat Hukum oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

BAB II
SEJARAH PERKEMBANGAN FILSAFAT HUKUM
A. Sejarah Perkembangan Filsafat Hukum
Di salam kepustakaan filsafat (hukum), terdapat berbagai periodisasi
atau pembabakan perkembangan filsafat (hukum) dari dahulu hingga saat ini.
Pada umumnya pembabakan itu terdiri dari:
1.
Zaman purbakala
a. Masa Yunani
1) Masa pra-Socrates ( 500 SM)
Pada masa ini diperkirakan belum ada filsafat hukum karena
perhatian para filsuf lebih ditujukan kepada alam semesta, yaitu apa
sesungguhnya yang menjadi inti alam semesta itu. Jawaban terhadapnya
berbeda-beda. Filsuf Thales mengatakan air, Anaximandros to
apeiron, yaitu suatu zat yang tak tertentu sifat-sifatnya, Anaximenes
mengatakan udara, sedangkan Phitagoras menjawab bilangan. Filsuf
lainnya seperti Heraklitos berpendapat bahwa apilah yang menjadi inti
alam semesta. Perihal manusia, tingkah laku (etika), dan hukum, belum
memperoleh perhatian. Manusia dianggap oleh mereka sebagai bagian
dari alam semesta. Kalaupun berbicara tentang hukum, maka hukum
yang dimaksud adalah hukum dalam arti keharusan alamiah. Jadi,
hukum tidak terbatas pada masyarakat manusia, tetapi meliputi semesta
alam. Hukum yang dikenal adalah hukum alam. Di antara para filsuf
alam tersebut di atas, Phitagoraslah yang mulai menyinggung tentang
manusia. Menurutnya, tiap manuai memiliki jiwa yang selalu berada
dalam proses katarsis, yaitu pembersihan diri. Setiap kali jiwa
memasuki tubuh manusia, manusia harus membersihkan diri agar jiwa
tadi dapat masuk ke dalam kebahagiaan. Jika dinilai tidak cukup
melakukan katarsis, jiwa tadi akan memasuki lagi tubuh manusia yang
lain.
2) Masa Socrates, Plato dan Aristoteles.
Beberapa penulis sejarah filsafat hukum mengungkapkan
bahwa Socrates-lah yang mula pertama berfilsafat tentang manusia.
Segala aspek tentang manusia menjadi obyek pembicaraannya.
Diperkirakan filsafat hukum lahir pada masa ini dan berkembang
mencapai puncak kegemilangannya melalui filsuf-filsuf besar setelah
Socrates, yaitu Plato, Aristoteles, dan filsuf-filsuf lainnya di zaman
Yunani dan Romawi.
Di antara kedua masa tersebut, masa Yunani merupakan masa
yang amat subur bagi pertumbuhan filsafat hukum. Alasannya ialah:
kecenderungan-kecenderungan untuk berpikir spekulatif serta persepsi
intelektualnya untuk menyadari adanya tragedi kehidupan manusia serta
12

Filsafat Hukum oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

konflik-konflik dalam kehidupan dunia ini, seperti telihat pada karyakarya filsafat dan kesusasteraannya, Yunani memberi saham yang besar
ke arah pemikiran tentang hukum yang bersifat teoretis. Dengan
kecenderungan berpikir yang demikian itu, orang Yunani melihat
bagaimana timbul dan berkembangnya polis, yaitu negara kota di masa
itu.
Kekacauan-kekacauan sosial, konflik-konflik di dalamnya,
bergantian pemerintah yang begitu sering, masa-masa tiranik dan
kesewenang-wenangan, yang semua terjadi pada masa itu, memberikan
bahan yang banyak sekali bagi pemikiran yang bersifat spekulatif
mengenai persoalan-persoalan hukum dalam masyarakat. Dengan
demikian orang pun didorong dengan kuat untuk memikirkan problem
yang abadi mengenai hubungan antara hukum positif dengan keadilan
yang abadi itu, sehingga memberikan sumbangan pemikiran Yunani di
dalam dunia teori hukum.
3) Masa Stoa
Masa ini ditandai dengan adanya mazhab Stoa, yaitu suatu
mazhab yang mempunyai kebiasaan memberi pelajaran di loronglorong tonggak (stoa). Pemikir utamanya yang juga bertindak sebagai
pemimpin mazhab adalah filsuf Zeno.
Dengan mengambil sebagian ajaran Aristoteles, yaitu bahwa
akal manusia itu merupakan bagian dari rasio alam, dikembangkan
suatu pemikiran hukum alam yang bersumber dari akal ketuhanan
(logos di mana manusia dimungkin hidup menyesuaikan diri padanya).
Hukum alam itu merupakan dasar segala hukum positif. Pandangan
Stoa kemudian amat berpengaruh pada filsuf Romawi seperti Seneca,
Marcus Aurelius, dan juga Cicero.
b. Masa Romawi
Pada masa ini perkembangan filsafat hukum tidak segemilang
pada masa Yunani. Para ahli filsafat Romawi lebih memusatkan
perhatiannya pada masalah bagaimana hendak mempertahankan
ketertiban di seluruh kawasan Kekaisaran Romawi yang sangat luas itu.
Mereka menuntut untuk lebih banyak menyumbangkan konsep-konsep
dan teknik-teknik yang berkaitan dengan hukum positif, seperti bidangbidang kontrak, kebendaan, dan ajaran-ajaran tentang kesalahan.
Namun sumbangan pemikiran para filsuf masa ini, seperti Polybius,
Cicero, Seneca, Marcus Aurelius, dan lain-lain, masih banyak
pengaruhnya hingga saat ini.
2.
Abad Pertengahan
a. Masa gelap
13

Filsafat Hukum oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

Masa ini dimulai dengan runtuhnya Kekaisaran Romawi akibat


serangan bangsa lain yang dianggap terbelakang, yang datang dari utara,
yaitu yang disebut suku-suku Germania. Tingkatan peradaban bangsa
Romawi yang tinggi hanyalah tinggal puing-puing semata. Karena tiadanya
peninggalan apa pun dari suku bangsa yang berkuasa, para ahli masa ini
sukar untuk secara pasti menentukan apa yang terjadi di masa gelap ini.
Yang pasti dapat diketahui ialah bahwa pengaruh agama Kristen mulai
berkembang pesat disebabkan oleh suasana kehidupan suku-suku waktu itu
yang selalu tidak tentram akibat peperangan yang terus-menerus terjadi di
kalangan mereka sendiri atau di antara suku-suku. Manusia dalam keadaan
serupa itu memerlukan adanya ketentraman dan kedamaian, memerlukan
adanya suatu pegangan hidup yang akan mengakhiri ketidaktentraman.
Agama Kristen memenuhi tuntutan tersebut.
b. Masa Skolastik
Corak pemikiran hukum pada masa Skolastik didasari oleh ajaran
Kristen. Ajaran ini dimulai setelah lahirnya mazhab baru yang disebut NeoPlatonisme, dengan Platinus sebagai tokoh yang utama. Platinus inilah
yang mulai membangun suatu tata filsafat yang bersifat ketuhanan. Menurut
pendapatnya, Tuhan itu merupakan hakikat satu-satunya yang paling utama
dan paling luhur, yang merupakan sumber dari segala-galanya. Bertolak
dari pendapat Plato bahwa orang harus berusaha mencapai pengetahuan
yang sejati., Platinus mengemukakan bahwa kita harus berusaha melihat
Tuhan. Caranya, selain berpikir, juga harus beribadah. Pangkal tolak
pemikiran ini membuka jalan bagi pengembangan agama Kristen dalam
dunia filsafat. Neo-Platonisme lahir di Alexandria sebagai tempat
pertemuan antara filsafat Yunani dan agama Kristen. Para ahli filsafat
menganggap St. Augustinus yang menjembatani filsafat Yunani dan alam
pikiran Kristen. Tokoh lainnya yang amat terkenal di masa ini antara lain
ialah Thomas Aquino, Marsilius Padua, William Occam.
3.
Zaman Renaissance dan zaman Baru
Ciri utama zaman ini ialah manusia menemukan kembali
kepribadiannya (renaissance berasal dari kata re, kembali dan nasci, lahir
lahir kembali). Artinya alam pikiran manusia tidak terikat lagi oleh ikatanikatan keagamaan. Ikatan-ikatan ini demikian kuatnya mempengaruhi
segala aspek kehidupan manusia pada abad sebelumnya, yaitu abad
pertengahan bagian kedua (masa Skolastik). Demikian besarnya kekuasaan
Gereja sehingga manusia merasa dirinya tidak berarti tanpa Tuhan.
Lahirnya renaissance mengakibat perubahan yang tajam dalam
berbagai segi kehidupan manusia. Teknologi berkembang dengan pesat,
benua-benua baru ditemukan, negara-negara baru didirikan, tumbuh
berbagai disiplin ilmu baru, dan lain-lain.
14

Filsafat Hukum oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

Dalam dunia pemikiran hukum, zaman ini ditandai dengan adanya


pendapat bahwa akal manusia tidak lagi dapat dilihat sebagai penjelmaan
dari akal Tuhan. Akal manusia terlepas dari akal ketuhanan. Akal manusia
inilah yang merupakan sumber satu-satunya dari hukum. Pangkal tolak
pemikiran ini nampak pada penganut aliran hukum alam yang rasionalistis
(Hugo de Groot atau Grotius) dan para penganut paham positivisme
hukum (John Austin) bahwa logika manusa memegang peranan penting
dalam pembentukan hukum.
4.
Zaman modern
Gerakan kodifikasi pada zaman baru, sebagai akibat tampilnya
unsur logika manusia, ternayata kemudian menglahirkan masalah yang
berkaitan dengan soal keadilan. Hal ini disebabkan oleh tertinggalnya
kodifikasi itu oleh perkembangan masyarakat. Kepincangan-kepincangan
dalam kodifikasi seringkali tampil disebabkan oleh tidak sesuainya lagi
dengan nilai-nilai keadilan dalam masyarakat. Keadaan ini mendorong
orang untuk mencari keadilan melalui filsafat hukum. Rudolf Stammler
sering disebut oleh para penulis filsafat hukum sebagai pelopor dari
pencarian ini.
Ciri lain dari pemikiran hukum di abad modern ini ialah tumbuhnya
pemikiran-pemikiran hukum yang berasal dari para ahli hukum yang
memiliki reputasi istimewa. Keadaan ini sangat berbeda dengan masa-masa
sebelumnya, ketika filsafat hukum merupakan produk dari para ahli filsafat.
Nama-nama seperti Leon Dugguit (Solidarete Social), Ripert (Regle
Morale), Kohler (Kulturentwicklung), Hans Kelsen (Grundnorm), dan
Roschoe Pound (Social Engineering), merupakan tokoh penting pada abad
ini.
B. Ruang Lingkup Objek Kajian Filsafat Hukum
Setelah abad ke-19, masalah-masalah mendasar yang tadinya
menjadi obyek pembahasan para ahli filsafat, kini beralih ke tangan para
ahli hukum biasa. Masalah-masalah mendasar yang dikaji hanya sekesar
tujuan hukum (terutama masalah ketertiban dan keadilan), dasar-dasar bagi
kekuatan mengikat dari hukum, hubungan hukum alam dan hukum positif,
hubungan hukum dengan kekuasaan, mengapa negara berhak menghukum
seseorang, dan lain-lain sebagainya yang biasa dilahirkan oleh ahli filsafat,
melainkan juga meliputi berbagai hal mendasar yang dihadapi oleh para ahli
hukum dalam tugasnya sehari-hari di masyarakat. Masalah-masalah seperti
penerapan hukum, pertanggungjawaban, hak milik, kontrak, apa sebabnya
orang menaati hukum, hubungan hukum dengan nilai-nilai sosial budaya,
peranan hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat, dan lain-lain,
menjadi obyek pembahasan para ahli hukum.
15

Filsafat Hukum oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

Mengenai masalah ruang lingkup pembahasan filsafat hukum


tersebut, dalam kepustakaan seringkali dikacaukan dengan banyaknya
peristilahan yang digunakan, terutama dibelahan dunia Anglo-Sakson,
seperti di Amerika Serikat, dan Inggris. Selain istilah Philosophy of law
atau legal philosophy, dikenal juga istilah lain seperti jurisprudence dan
legal theory.
Beberapa penulis tidak membedakan arti ketiga istilah tersebut
seperti ternyata dari obyek pembahasan yang sama yang dikajinya. Akan
tetapi ada pula yang membedakannya walaupun sukar untuk memberikan
batas-batasnya yang tegas. Khusus yang berhubungan dengan istilah
jurisprudence ini, yang banyak digunakan oleh para penulis hukum di
Amerika, Inggris dan negara-negara lainnya yang menggunakan bahasa
Inggris sebagai bahasa pengantarnya, dianggap perlu penjelasan lebih lanjut
dari segi pengertian, ruang lingkup, klasifikasi, dan manfaat
mempelajarinya.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa karena filsafat hukum
merupakan bagian khusus dari filsafat pada umumnya, maka berarti filsafat
hukum hanya mempelajari hukum secara khusus. Sehingga, hal-hal non
hukum menjadi tidak relevan dalam pengkajian filsafat hukum. Penarikan
kesimpulan seperti ini sebetulnya tidak begitu tepat. Filsafat hukum sebagai
suatu filsafat yang khusus mempelajari hukum hanyalah suatu pembatasan
akademik dan intelektual saja dalam usaha studi dan bukan menunjukkan
hakekat dari filsafat hukum itu sendiri.
Sebagai filsafat, filsafat hukum tunduk pada sifat-sifat, cara-cara
dan tujuan-tujuan dari filsafat pada umumnya. Di samping itu, hukum
sebagai obyek dari filsafat hukum akan mempengaruhi filsafat hukum.
Dengan demikian secara timbal balik antara filsafat hukum dan filsafat
saling berhubungan.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa filsafat hukum adalah
cabang filsafat, yaitu filsafat tingkah laku atau etika, yang mempelajari
hakikat hukum. Dengan perkataan lain, filsafat hukum adalah ilmu yang
mempelajari hukum secara filosofis. Jadi objek filsafat hukum adalah
hukum, dan obyek tersebut dikaji secara mendalam sampai kepada inti atau
dasarnya, yang disebut hakikat.
Pertanyaan tentang apa apa hakikat hukum itu sekaligus merupakan
pertanyaan filsafat hukum juga. Pertanyaan tersebut mungkin saja dapat
dijawab oleh ilmu hukum, tetapi jawaban yang diberikan ternyata serba
tidak memuaskan. Menurut Apeldorn , hal tersebut tidak lain karena ilmu
hukum hanya memberikan jawaban yang sepihak. Ilmu hukum hanya
melihat gejala-gejala hukum sebagaimana dapat diamati oleh pancaindra
manusia mengenai perbuatan-perbuatan manusia dan kebiasaan-kebiasaan
16

Filsafat Hukum oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

masyarakat. Sementara itu pertimbangan nilai di balik gejala-gejala hukum,


luput dari pengamatan ilmu hukum.
Norma atau kaidah hukum, tidak termasuk dunia kenyataan (sein),
tetapi berada pada dunia nilai (sollen), sehingga norma hukum bukan dunia
penyelelidikan ilmu hukum. Hakikat hukum dapat dijelaskan dengan cara
memberikan suatu definisi tentang hukum. Sampai saat ini menurut
Apeldorn, sebagaimana dikutip dari Immanuel Kant, para ahli hukum masih
mencari tentang apa definisi hukum. Definisi (batasan) tentang hukum yang
dikemukakan para ahli hukum sangat beragam, tergantung dari sudut mana
mereka melihatnya.
Ahli hukum Belanda J. van Kan , mendefinisikan hukum sebagai
keseluruhan ketentuan-ketentuan kehidupan yang bersifat memaksa, yang
melindungi kepentingan-kepentingan orang dalam mayarakat. Pendapat
tersebut mirip dengan definisi dari Rudolf von Jhering, yang menyatakan
bahwa hukum bahwa hukum adalah keseluruhan norma-norma yang
memaksa yang berlaku dalam suatu negara.
Hans Kelsen menyatakan hukum terdiri dari norma-norma
bagaimana orang harus berperilaku. Pendapat ini di dukung oleh ahli
hukum Indonesia, Wiryono Prodjodikoro , yang menyatakan hukum adalah
rangkaian peraturan mengenai tingkah lau orang-orangsebgai anggota suatu
masyarakat, sedangkan satu-satunya tujuan dari hukum ialah menjamin
keselamatan, kebahagiaan, dan tata tertib dalam masyarakat itu. Selanjutnya
Notohamidjoyo berpendapat bahwa hukum adalah keseluruhan peraturan
yang tertulis dan tidak tertulisyang biasanya bersifat memaksa untuk
kelakuan manusia dalam masyarakat negara serta antar negara, yang
berorientasi pada dua asas, yaitu keadilan dan daya guna, demi tata tertib
dan kedamaian dalam masyarakat.
Definisi-definisi tersebut menunjukkan betapa luas sesungguhnya
hukum itu. Keluasan bidang hukum itu dilukiskan oleh Purnadi Purbacaraka
dan Soerjono Soekanto dengan menyebutkan sembilan arti hukum. Menurut
mereka, hukum dapat diartikan sebagai:
(1) ilmu pengetahuan, yakni pengetahuan yang tersusun secara sistematis
atas dasar kekuatan pemikiran;
(2) disiplin, yakni suatu sistem ajaran tentang kenyataan atau gejala-gejala
yang dihadapi;
(3) norma, yakni pedoman atau patokan siakap tindak atau perikelakuan
yang pantas atau diharapkan;
(4) tata hukum, yakni struktur dan proses perangkat norma-norma hukum
yang berlaku pada suatu waktu dan tempat tertentu serta berbentuk
tertulis;
17

Filsafat Hukum oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

(5) petugas, yakni pribadi-pribadi yang merupakan kalangan yang


berhubungan erat dengan penegakan hukum (law enforcement officer);
(6) keputusan penguasa, yakni hasil proses diskresi;
(7) proses pemerintahan, yaitu proses hubungan timbal balik antara unsurunsur pokok dari sistem kenegaraan;
(8) sikap tindak ajeg atau perikelakuan yang teratur, yakni perikelakuan
yang diulang-ulang dengan cara yang sama, yang bertujuan untuk untuk
mencapai kedamaian;
(9) jalinan nilai-nilai, yaitu jalinan dari konsepsi-konsepsi abstrak tentang
apa yang dianggap baik dan buruk.
Dengan demikian, apabila kita ingin mendefinisikan hukum secara
memuaskan, kita harus dapat merumuskannya dalam suatu kalimat yang
cukup panjang yang meliputi paling tidak sembilan arti hukum di atas.
Mengingat objek filsafat hukum adalah hukum, maka masalah atau
pertanyaan yang dibahas oleh filsafat hukum itupun antara lain berkaitan
dengan hukum itu sendiri, seperti hubungan hukum dengan kekuasaan,
hubungan hukum kodrat dengan hukum positif, apa sebab orang menaati
hukum, apa tujuan hukum, sampai pada masalah-masalah kontemporer
seperti masalah hak asasi manusia, keadilan dan etika profesi hukum.
Selanjutnya Apeldorn , menyebutkan tiga pertanyaan penting yang
dibahas oleh filsafat hukum, yaitu:
(1) adakah pengertian hukum yang berlaku umum;
(2) apakah dasar kekuatan mengikat dari hukum; dan
(3) adakah sesuatau hukum kodrat.
Lili Rasyidi menyebutkan pertanyaan yang menjadi masalah filsafat
hukum, antara lain: (1) hubungan hukum dengan kekuasaan; (2) hubungan
hukum dengan nilai-nilai sosial budaya; (3) apa sebabnya negara berhak
menghukum seseorang; (4) apa sebab orang menaati hukum; (5) masalah
pertanggungjawaban; (6) masalah hak milik; (7) masalah kontrak; (8) dan
masalah peranan hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat.
Apabila kita perbandingkan antara apa yang dikemukakan oleh
Apeldorn dan Lili Rasyidi tersebut, tampak bahwa masalah-masalah yang
dianggap penting dalam pembahasan filsafat hukum terus bertambah dan
berkembang, seiring dengan perkembangan zaman. Demikian pula karena
semakin banyaknya para ahli hukum yang menekuni dunian filsafat hukum.
BAB III
APAKAH HUKUM ITU
A. Pendefinisian Hukum
Satu masalah yang belum mencapai kata putus di antara para ahli
hukum ialah tentang pendefinisian hukum. Hingga saat ini pendapat tentang
18

Filsafat Hukum oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

perlunya suatu definisi hukum masih dipertentangkan orang. Adanya


definisi akan membantu mereka yang baru mempelajari hukum
menunjukkan jalan (open the way), ke arah mana ia harus berjalan. Karena
bertindak sebagai pembuka jalan inilah, definisi hukum itu dianggap oleh
sebagain para ahli hukum sebagai amat berharga dan perlu. Terlebih-lebih
lagi apabila definisi itu adalah hasil dari pikiran dan penyelidikan sendiri.
Menurut Prof. Mr. DR. L.J. van Apeldoorn dalam bukunya yang
berjudul Inleiding tot de studie van het Nederlands Recht (terjemahan
Oetarid Sadino, SH, dengan nama Pengantar Ilmu Hukum), bahwa
adalah tidak mungkin memberikan suatu definisi tentang apakah yang
disebut Hukum itu.
Apeldoorn pun berpendapat bahwa definisi itu seringkali bersifat
menyamaratakan. Dikemukakan sebuah contoh definisi tentang gunung.
Gunung ialah kenaikan muka bumi, agak curam, dan pada segala penjuru
lebih tinggi daripada sekitarnya. Definisi seperti itu menyamakan Gunung
Sumeru dengan Gunung Tidar. Menurutnya, definisi yang menyamaratakan
dapat mengajarkan calon ahli hukum apa yang disebut dengan hukum.
Namun, kesukaran yang dialami oleh mereka yang ingin mengetahui
hukum terletak pada bahwa, tidak seperti gunung yang dapat dilihat, hukum
tidak dapat dilihat.
Di pihak lain kita masih ingat apa yang dikatakan oleh Immanuel
Kant. Dia berkata, Noch suchen die juristen eine Definition zu ihrem
Begriffe von Recht, yang jika diterjemahkan berbunyi : Tidak seorang ahli
hukum pun yang mampu membuat definisi tentang hukum. Dengan kata
lain, masih juga para sarjana hukum mencari-cari suatu definisi tentang
hukum. Sesungguhnya ucapan Kant itu hingga kini berlaku, sebab telah
banyak Sarjana Hukum mencari suatu batasan tetang hukum namun setiap
pembatasan tentang hukum yang diperoleh, belum pernah memberikan
kepuasan. Hukum itu banyak seginya, sangat luas ruang lingkupnya, jadi
tidak mungkinlah untuk merumuskan dalam suatu definisi yang hanya
terdiri dari beberapa kalimat saja.
Menurut Lord Lloyd of Hampstead, tidak berhasilnya definisidefinisi hukum yang banyak dibuat oleh para ahli hukum hingga saat ini
untuk dapat diterima secara universal, disebabkan oleh tidak atau kurang
dipahaminya hakikat serta apa yang menjadi ruang lingkup definisi itu.
Oleh karena itu dia menyarankan agar sebelum mendefinisikan sesuatu,
pahami terlebih dahulu apa yang dimaksudkan dengan definisi itu.
Utrecht misalnya, dalam bukunya Pengantar Dalam Hukum
Indonesia, mengemukakan bahwa: Hukum adalah himpunan petunjukpetunjuk hidup (perintah-perintah dan larangan-larangan) yang mengatur
19

Filsafat Hukum oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

tata tertib dalam suatu masyarakat, dan oleh karena itu seharusnya ditaati
oleh anggota masyarakat yang bersangkutan.
Wirjono Prodjodikoro dalam tulisan yang berjudul Rasa Keadilan
Sebagai Dasar Segala Hukum, menyatakan bahwa: Hukum adalah
rangkaian peraturan-peraturan mengenai tingkah laku orang-orang sebagai
anggota suatu masyarakat.
Selanjutnya Simorangkir, dalam bukunya, Pelajaran Hukum
Indonesia, merumuskan: Hukum sebagai peraturan-peraturan yang bersifat
memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan
masyarakat, yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib,
pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan tadi berakibat diambilnya
tindakan, yaitu dengan hukuman yang tertentu.
Kemudian Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto dalam
bukunya Sendi-Sendi Ilmu Hukum dan Tata Hukum, menyebutkan ada 9
(sembilan) macam arti hukum yang diberikan oleh masyarakat yaitu:
1. Hukum sebagai ilmu pengetahuan, yakni pengetahuan yang tersusun
secara sistematis atas dasar kekuatan pemikiran.
2. Hukum sebagai disiplin, yakni suatu sistem ajaran tentang kenyataan
atau gejala-gejala yang dihadapi.
3. Hukum sebagai kaidah, yakni pedoman atau patokan sikap tindak atau
perilaku yang pantas atau diharapkan.
4. Hukum sebagai tata hukum, yakni struktur dan proses perangkat
kaidah-kaidah hukum yang berlaku pada suatu waktu dan tempat
tertentu serta berbentuk tertulis.
5. Hukum sebagai petugas, yakni pribadi-pribadi yang merupakan
kalangan yang berhubungan erat dengan penegakan hukum (law
enforcement officer).
6. Hukum sebagai keputusan penguasa, yakni hasil proses diskresi yang
menyangkut pengambilan keputusan yang didasarkan pada hukum, juga
didasarkan pada penilaian pribadi.
7. Hukum sebagai proses pemerintahan, yakni proses hubungan timbal
balik antara unsur-unsur pokok dari sistem kenegaraan.
8. Hukum sebagai sikap tindak atau perilaku ajeg (teratur), yaitu perilaku
yang diulang-ulang dengan cara yang sama, yang bertujuan untuk
mencapai kedamaian.
9. Hukum sebagai jalinan nilai-nilai, yakni jalinan dari konsepsi-konsepsi
abstrak dalam diri manusia tentang apa yang dianggap bagik (sehingga
harus dianuti atau ditaati) dan apa yang dianggap buruk (sehingga harus
dihindari).
Menurut L. Bender O.P. yang mengutip pendapat Thomas
Aquino, sebagaimana disadur oleh Lili Rasjidi, dan Ira Thania Rasjidi,
20

Filsafat Hukum oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

dalam bukunya Pengantar Filsafat Hukum, mengatakan dalam dalam


catatan II, bahwa: Hukum adalah suatu pekerjaan yang diterapkan kepada
orang lain. Dengan perkataan lain, hukum ada bila ada sesuatu pekerjaan
(melakukan atau tidak melakukan) dari seseorang dalam hubungannya
dengan orang lain, yaitu dalam hubungan diterapkannya menjadi miliknya.
Jadi, apakah objek dari hubungan yang kita sebut hukum itu? Suatu
pekerjaan, suatu perbuatan atau tidak-berbuat, dari orang lain.
Sebelumnya, dalam catatan I disebutkan bahwa: Objek yang
sebenarnya dari hukum itu bukan benda malainkan sesuatu dalam perbuatan
orang lain yang hidup bersama kita, juga besar manfaatnya untuk mengerti
dan menerangkan ungkapan-ungkapan tertentu yang sering dipakai dan
sangat terkenal.
B. Kaidah Hukum Dan Kaidah Sosial Lainnya
Di dalam suatu masyarakat yang oleh Mac Iver (The Web of
Government, 1954) digambarkan sebagai sarang laba-laba (web), terdapat
berbagai kaidah yang mengatur hubungan antar individu yang bertujuan
untuk tercapainya kedamaian, ketertiban, dan kesejahteraan. Seperti
diketahui terdapat berbagai ragam kepentingan yang melekat kepada
masing-masing individu tersebut yang bersifat sejajar (sama), berlainan,
atau berlawanan dalam usahanya memenuhi apa yang disebut sebagai
kebutuhan pokok maupun kebutuhan sekundernya. Dan agar dalam
memenuhi kebutuhan tersebut tidak terjadi ekses-ekses dalam masyarakat
akibat adanya benturan-benturan, terutama antara kepentingan-kepentingan
yang saling berlawanan, diperlukan adanya kaidah-kaidah tersebut agar
segala sesuatunya berjalan tertib dan teratur.
Dalam hubungan pergaulan antar manusia, manusia memperoleh
pengalaman dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhan pokoknya.
Pengalaman-pengalaman ini menciptakan nilai-nilai, baik yang bersifat
positif maupun negatif, yang lalu menjadi suatu patokan bagi mereka
tentang apa yang baik yang harus diikuti, dan apa yang dianggap buruk
yang harus dihindari. Sikap-sikap manusia kemudian membentuk kaidahkaidah karena manusia cenderung untuk hidup teratur dan pantas.
Kehidupan yang teratur dan sepantasnya menurut manusia adalah berbedabeda; oleh karena itu diperlukan patokan yang berupa kaidah. Dengan
demikian dapatlah dikatakan bahwa kaidah merupakan patokan atau peri
kelakuan yang diharapkan.
Mochtar Kusumaatmadja, menyebutkan tiga macam kaidah,
yaitu kaidah hukum, kesusilaan, kesopanan. Satjipto Rahardjo
mengemukakan tiga macam pula, tetapi agak berlainan, yaitu kaidah
kebiasaan, hukum, dan kesusilaan, sedangkan Soerjono Soekanto
menyebutkan kaidah-kaidah kepercayaan, kesusilaan, kesopanan, dan
21

Filsafat Hukum oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

hukum sebagai kaidah yang mengatur pergaulan hidup manusia. Dengan


berpegang pada uraian Satjipto Rahardjo, dijelaskan lebih lanjut makna
dari masing-masing kaidah atau tatanan tersebut, sebagai berikut:
Kaidah kebiasaan, terdiri dari norma-norma yang hubungannya
dengan kenyataan dekat sekali. Kaidah ini merupakan kaidah yang diangkat
dari dunia kenyataan, yaitu apa yang biasa dilakukan oleh orang-orang.
Untuk diterima menjadi suatu kaidah, diperlukan suatu ujian keteraturan,
keajegan, dan kesadaran masyarakat untuk menerimanya. Karena sifatnya
sedemikian, maka tenggangan antara ideal dan kenyataan dalam kaidah
kebiasaan ini merupakan yang terbesar jika dibandingkan dengan kedua
kaidah sosial lainnya. Sebabnya, unsur ideal dalam kaidah ini sangat kecil
atau sedikit sekali. Oleh karena norma kebiasaan itu sekedar mengangkat
perbuatan-perbuatan yang memang lazim dilakukan sehari-hari menjadi
norma, maka dipandang dari kedua tatanan lainnya, yang menghormati
dunia norma sebagai hasil karya manusia untuk membimbing masyarakat
menuju kepada keadaan dan tingkah laku manusia sesuai dengan ide-ide
tertentu, tatanan kebiasaan dinilai banyak mengandung norma yang tidak
sesuai hukum atau kesusilaan.
Kaidah hukum: Pada kaidah ini terlihat adanya suatu pergeseran,
yaitu terjadinya suatu proses penjauhan dan pelepasan diri dari tatanan yang
berpegang pada kenyataan sehari-hari (tatanan kebiasaan) walau
berjalannya proses ini belum berlaku secara seksama. Ciri yang menonjol
dari hukum mulai tampak pada penciptaan norma-norma hukum yang
murni, yaitu yang dibuat secara sengaja oleh suatu badan perlengkapan
dalam masyarakat yang khusus ditugasi untuk menjalankan penciptaan atau
pembuatan hukum itu. Norma-norma hukum ini, menurut Radbruch,
termasuk ke dalam golongan norma-norma yang lahir dari kehendak
manusia karena yang menentukan jenis ketertiban itu adalah masyarakat
sendiri, yang dalam hal ini diwakili oleh anggota-anggotanya yang
berhimpun dalam satu atau lain badan yang tugasnya menentukan normanorma apa yang akan diciptakan.
Berbeda dengan kaidah lainnya, kaidah hukum memiliki
kemandirian dalam berhadapan dengan ideal dan kenyataan, yaitu memiliki
posisi yang mampu mengambil jarak antara ideal dan kenyataan.
Kaidah kesusilaan merupakan suatu kaidah yang dalam
hubungannya dengan dunia ideal dan kenyataan berada dalam posisi
sebaliknya daripada kaidah kebiasaan. Kaidah kesusilaan berpegang
sepenuhnya kepada dunia ideal yang sifatnya abstrak, yang perlu
diwujudkan dalam masyarakat. Idelah yang merupakan tolok ukur tatanan
ini untuk menilai tingkah laku anggota-anggota masyarakat. Dengan
22

Filsafat Hukum oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

demikian, perbuatan yang bisa diterima oleh tatanan tersebut hanyalah yang
sesuai dengan idealnya tentang manusia.
C. Berbagai Teori Tentang Hukum
Sepanjang sejarah hukum, dimulai dari zaman Yunani/Romawi
hingga hari ini, kita dihadapkan kepada adanya berbagai teori tentang
hukum yang lahir pada setiap babak dari perjalanan sejarah hukum
termaksud. Sudah menjadi suatu pendapat yang diterima umum bahwa
suatu teori hukum tidaklah dapat dilepaskan dari lingkungan zamannya: Ia
sering kita lihat sebagai suatu jawaban yang diberikan terhadap
permasalahan hukum atau menggugat suatu pikiran hukum yang dominan
pada suatu saat. Oleh karena itu, sekalipun ia berkeinginan untuk
mengutarakan suatu pikiran secara universal, tetapi alangkah baiknya
apabila kita senantiasa waspada, bahwa teori itu mempunyai latar belakang
pemikiran yang sedemikian itu. Sehubungan dengan keadaan yang
sedemikian itu sudah seharusnya kita tidak melepaskan teori-teori itu dari
kategorisasi waktu pemunculannya, seperti teori-teori yang lahir pada abad
kesembilan belas atau abad kedua puluh. Kita sebaiknya memahaminya
dengan latar belakang yang demikian itu, oleh karena teori-teori yang lahir
pada abad kesembilan belas, misalnya, menggarap persoalan-persoalan pada
masa itu dan yang bukan merupakan karakteristik persoalan untuk abad
kedua puluh.
Beberapa contoh dapat dikemukakan, sebagai berikut: Pada zaman
Romawi, misalnya, para pemikir hukum lebih dipusatkan perhatiannya
kepada situasi pada waktu itu ketika Romawi ingin melaksanakan
pemerintahannya di seluruh wilayah jajahannya secara efektif. Sumbangan
yang harus dimainkan oleh para pemikir tersebut di atas ialah bagaimana
dapat menciptakan suatu ketentuan yang dapat diberlakukan untuk semua
wilayah Romawi yang sangat luas. Karenanya, jika dibandingkan dengan
para rekannya di masa Yunani, para pemikir hukum Romawi lebih
terpusatkan perhatiannya pada usaha menjawab permasalahan hukum yang
timbul pada waktu itu secara praktis.
Contoh lain lagi ialah situasi yang terjadi pada abad ke-19. Ciri
yang menonjol pada abad ini ialah perkembangan di dunia ekonomi yang
menggalakkan (optimisme), dibarengi dengan kedudukan negara yang
semakin kuat dan kukuh dalam hal mengontrol dan mengarahkan
masyarakat ke arah yang dikehendakinya. Pada masa ini lahir aliran
positivisme (analitis maupun murni) yang menekankan pentingnya
kedudukan negara sebagai pembentuk hukum, buah pikiran John Austin
maupun Hans Kelsen dinilai banyak pengaruhnya pada dunia ilmu maupun
teori hukum, baik pada masa tersebut maupun sesudahnya.
23

Filsafat Hukum oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

Namun, hendaknya pula diperhatikan bahwa selain buah pikiran


yang selaras dengan situasi yang mendukungnya, terdapat pula buah-buah
pikiran lain yang justru merupakan penentangan terhadap situasi itu, dan
berusaha untuk mengubahnya. Masih pada abad ke-19, selain tampil John
Austin dengan positivisme dan analitisnya, lahir pula ajaran sejarah yang
didasarkan atas paham romantisme yang dipelopori Carl von Savigny dan
Puchta. Ajaran ini merupakan penentangan terhadap teori positivisme
analitis, dan berusaha meyakinkan dunia ilmu hukum bahwa Das Rechts
wird nicht gemacht, es ist und wird mit dem volke, katanya. Buah pikiran
Savigny, walaupun tidak sepenuhnya berhasil melumpuhkan pikiran
pisitivisme hukum, pengaruhnya sangat luas dan dasar-dasar pikirannya
banyak menjadi landasan hukum positif beberapa negara (Indonesia,
misalnya yang pada zaman Hindia Belanda memberlakukan hukum adat
bagi golongan Indonesia asli). Selain itu ajaran Savigny ini dijadikan dasar
pula untuk ajaran-ajaran yang beraliran sosiologis yang kemudian muncul
dan merupakan teori hukum yang dominan pada abad ke-20. Pemahaman
sejarah hukum, nampaknya, tidak dapat kita kesampingkan dalam mencoba
menghayati suatu teori hukum.
Kita mengenal berbagai klasifikasi teori hukum yang dibuat oleh
para penulis hukum. Northrop, misalnya. Mengklasifikasikan ajaran atau
teori hukum ke dalam positivisme hukum, pragmatic legal realism, neoKantian dan Kelsenian ethical jurisprudence, functional anthropological
dan sociological jurisprudence, dan hukum alam (Lili Rasjidi, 1982:22).
Friedmann membagi aliran tersebut atas aliran hukum alam, aliran yang
berdasarkan pada filsafat masalah keadilan, aliran yang didasarkan pada
pengaruh perkembangan masyarakat terhadap hukum, aliran positivisme
dan positivisme hukum, dan aliran yang didasarkan atas kegunaan dan
kepentingan. Soerjono Soekanto menyebutkan: mazhab formalitas,
mazhab sejarah dan jurisprudence, dan aliran realisme hukum. Satjipto
Rahardjo (1982:226-272), mengetengahkan teori-teori Yunani dan teori
hukum murni, pendekatan-pendekatan sejarah dan antroplogis, dan
pendekatan-pendekatan sosiologis. Selain itu ada pula yang
mengklasifikasikan aliran-aliran tersebut hanya ke dalam yang paling
berpengaruh saja, yaitu aliran hukum alam, aliran hukum positif, mazhab
sejarah, sociological jurisprudence, dan pragmatic legal realism.
D. Aliran-Aliran Dalam Filsafat Hukum
1. Aliran Hukum Alam
Yang dimaksud dengan hukum alam menurut ajaran ini ialah
hukum yang berlaku universal dan abadi. Menilik sumbernya, hukum
alam ini ada yang bersumber dari Tuhan (irasional) dan yang bersumber
dari akal (rasio) manusia. Pemikiran hukum alam yang berasal dari
24

Filsafat Hukum oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

Tuhan dikembangkan misalnya dan terutama oleh para pemikir


skolastik pada Abad Pertengahan seperti Thomas Aquino, Gratianus
(Decretum), John Salisbury, Dante, Piere Dubois, Marsilius Padua,
Johannes Huus, dan lain-lain. Sedangkan para pendasar dari ajaran
hukum alam yang bersumber dari akal manusia ialah, misalnya, Hugo
de Groot atau Grotius, Christian Thomasius, Immanuel Kant,
Fichte, Hegel, dan Rudolf Stammler.
Menurut Friedmann, sejarah tentang hukum alam merupakan
sejarah umat manusia dalam usahanya untuk menemukan apa yang
dinamakan keadilan yang mutlak (absolute justice) selain kegagalankegagalan yang dialaminya. Peranan hukum alam ini sepanjang
sejarahnya terlihat dalam berbagai fungsi, seperti:
1)
Hukum alam digunakan untuk mengubah hukum perdata
Romawi yang lama menjadi suatu sistem hukum umum yang
berlaku di seluruh dunia.
2)
Digunakan sebagai senjata oleh kedua belah pihak, yaitu Gereja
dan para kaisar pada Abad Pertengahan dalam saling merebut
kekuasaan.
3)
Dipergunakan sebagai dasar hukum internasional dan dasar
kebebasan perseorangan terhadap pemerintahan yang bersifat
absolut.
4)
Dipergunakan oleh para hakim di Amerika Serikat dalam
menafsirkan konstitusi mereka. Dengan asas-asas hukum alam, para
hakim menentang usaha-usaha negara-negara bagian dengan
menggunakan perundangan hendak membatasi kebebasan
perseorangan dalam soal-soal yang berkaitan dengan ekonomi.
5)
Dipergunakan untuk mempertahankan pemerintahan yang
berkuasa, atau sebaliknya untuk mengobarkan pemberontakan
terhadap kekuasaan yang ada.
6)
Juga dipergunakan dalam waktu yang berbeda-beda untuk
mempertahan segala bentuk ideologi.
7)
Sebagai dasar ketertiban internasional, hukum alam terusmenerus memberikan ilham kepada kaum stoa, ilmu dan filsafat
hukum Romawi, pendeta-pendeta dan Gereja-gereja pada Abad
Pertengahan dan lain-lain.
8)
Dengan melalui teori-teori Lock dan Paine, hukum alam
memberikan dasar kepada filsafat perseorangan dalam konstitusi
Amerika Serikat dan undang-undang dasar negara-negara modern
lainnya.
Terdapat pembedaan lain, yaitu hukum alam sebagai metode
dan hukum alam sebagai substansi. Hukum alam sebagai metode adalah
25

Filsafat Hukum oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

yang tertua yang dapat dikenal sejak zaman yang kuno sekali sampai
pada permulaan abad pertengahan. Ia memusatkan dirinya pada usaha
untuk menemukan metode yang bisa dipakai untuk menciptakan
peraturan-peraturan yang mampu untuk menghadapi keadaan yang
berlain-lainan. Dengan demikian ia tidak mengandung norma-norma
sendiri, melainkan hanya memberitahu tentang bagaimana membuat
peraturan yang baik.
Hukum alam sebagai substansi (isi) berisikan norma-norma.
Peraturan-peraturan dapat diciptakan dari asas-asas yang mutlak yang
lazim dikenal sebagai peraturan hak-hak asasi manusia. Ciri hukum
alam seperti ini merupakan ciri dari abad ke-17 dan ke-18, untuk
kemudian pada abad berikutnya digantikan oleh ajaran positivisme
hukum.
Positivisme hukum sendiri ternyata kemudian tidak mampu
untuk mengikuti rasa keadilan yang tumbuh di dalam masyarakat
karena hukum yang sifatnya tertulis tidak dapat diubah-ubah setiap saat.
Rasa keadilan yang tercermin dalam suatu kitab undang-undang,
misalnya, mungkin hanya selaras dengan rasa keadilan dalam
masyarakat pada waktu dikitabkannya undang-undang itu. Masyarakat
yang terus berubah membawa serta perubahan pada keadilan yang
hidup dalam masyarakat itu. Karena dirasakan ketentuan yang ada tidak
atau kurang lagi mencerminkan rasa keadilan yang dikehendaki, maka
orang berusaha mencari keadilan lain, dan ini berarti orang berpegang
kembali kepada ajaran hukum alam. Seringkali orang menyebutkan
terjadinya kebangkitan doktrin hukum alam.
2. Aliran Positivisme Hukum
Apabila aliran sebelumnya menganggap penting hubungan
antara hukum dan moral, maka aliran hukum positif justru menganggap
bahwa kedua hal tersebut merupakan dua hal yang harus dipisahkan. Di
dalam aliran ini dikenal adanya dua subaliran yang terkenal yaitu:
1)
Aliran hukum positif yang analitis, pendasarnya adalah John
Austin.
2)
Aliran hukum positif yang murni, dipelopori oleh Hans
Kelsen.
Aliran hukum positif yang analitis mengartikan hukum itu
sebagai a command of the lawgiver (perintah dari pembentuk undangundang atau penguasa), yaitu suatu perintah dari mereka yang
memegang kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan.
Hukum dianggap sebagai suatu sistem yang logis, tetap, dan bersifat
tertutup (closed logical system). Hukum secara tegas dipisahkan dari
moral, jadi dari hal yang berkaitan dengan keadilan, dan tidak
26

Filsafat Hukum oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

didasarkan atas pertimbangan atau penilaian baik buruk. Selanjutnya


Austin membagi hukum itu atas:
a. Hukum ciptaan Tuhan, dan
b. Hukum yang dibuat oleh manusia, yang terdiri dari:
1.
Hukum dalam arti yang sebenarnya, yaitu yang disebut juga
sebagai hukum positif, yang dirinci:
- hukum yang dibuat oleh penguasa, seperti undang-undang,
peraturan pemerintah, dan lain-lain;
- hukum yang disusun atau dibuat oleh rakyat secara
individual, yang dipergunakan untuk melaksanakan hakhak yang diberikan kepadanya. Contoh, hak wali terhadap
orang berada di bawah perwalian, hak curator terhadap
badan/orang dalam curatele;
2.
hukum dalam arti tidak sebenarnya, yaitu hukum yang tidak
memenuhi persyaratan sebagai hukum. Jenis hukum ini tidak
dibuat atau ditetapkan oleh penguasa/badan berdaulat yang
berwenang. Contohnya, ketentuan-ketentuan yang dibuat oleh
perkumpulan-perkumpulan atau badan-badan tertentu dalam
bidang keolahragaan, mahasiswa, dan sebagainya.
Terdapat empat unsur penting menurut Austin untuk
dinamakan sebagai hukum yaitu:
a.
perintah;
b.
sanksi;
c.
kewajiban; dan
d.
kedaulatan.
Ketentuan-ketentuan yang tidak mengandung empat unsur
tersebut di atas, bukanlah merupakan hukum positif, melainkan
hanyalah sebagai moral positif. Dapat dijelaskan bahwa unsur
perintah ini berarti bahwa satu pihak menghendaki agar orang lain
melakukan kehendaknya, pihak yang diperintah akan mengalami
penderitaan jika perintah itu tidak dijalankan atau ditaati. Perintah
itu merupakan pembedaan kewajiban terhadap yang diperintah, dan
yang terakhir ini hanya dapat terlaksana jika yang memerintah itu
adalah pihak yang berdaulat. Dan yang memiliki kedaulatan itu
dapat berupa seseorang atau sekelompok orang (a souvereign
person, or a souvereign body of persons).
Selain ajaran hukum murninya, sesungguhnya terdapat satu
lagi teori yang perlu dikemukakan dari Hans Kelsen (The General
Theory of Law and State), yaitu Stufenbau des Recht yang berasal
dari muridnya, Adolf Merkl.
27

Filsafat Hukum oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

Latar belakang ajaran hukum murni ini sesungguhnya


merupakan suatu pemberontakan yang ditujukan terhadap ilmu
hukum yang ideologis, yaitu yang hanya mengembangkan hukum
itu sebagai alat pemerintahan dalam negara-negara totaliter.
Dasar-dasar pokok teori hukum murni Hans Kelsen,
menurut Fredmann, adalah sebagai berikut:
a.
Tujuan teori tentang hukum, seperti juga setiap
ilmu, adalah untuk mengurangi kekalutan dan meningkatkan
kesatuan (unity).
b.
Teori hukum adalah ilmu, bukan kehendak,
keinginan. Ia adalah pengetahuan tentang hukum yang ada,
bukan tentang hukum yang seharusnya ada.
c.
Ilmu hukum adalah normatif, bukan ilmu alam.
d.
Sebagai suatu teori tentang norma-norma, teori
hukum tidak berurusan dengan persoalan aktivitas normanorma hukum.
e.
Suatu teori tentang hukum adalah formal, suatu
teori tentang cara pengaturan dari sisi yang berubah-ubah
menurut jalan atau pola yang spesifik.
f.
Hubungan antara teori hukum dangan suatu
sistem hukum positif tertentu adalah seperti antara hukum yang
mungkin dan hukum yang ada.
Dari dasar-dasar yang terinci tersebut di atas cukup jelas
pendirian Hans Kelsen tentang hukum dan ilmu hukum. Dikatakan
murni adalah karena hukum itu harus dibersihkan dari anasir-anasir
yang tidak yuridis, yaitu anasir etis, sosiologis, politis, dan sejarah.
Hukum itu adalah sebagaimana adanya, yaitu terdapat dalam berbagai
peraturan yang ada. Karenanya, yang dipersoalkan bukanlah
bagaimana hukum itu seharusnya, melainkan apa hukumnya.
Dari dasar di atas, dikatakan pula bahwa ilmu hukum adalah
normatif. Ini berarti bahwa menurut pendapat Hans Kelsen, hukum itu
berada dalam dunia sollen, dan bukan dalam dunia sein. Sifatnya adalah
hipotesis, lahir karena kemauan dan akal manusia.
Ajaran Stufenbau des Recht berpendapat bahwa sistem hukum
itu merupakan suatu hierarki dari hukum. Pada hierarki itu, suatu
ketentuan hukum tertentu bersumber pada ketentuan yang lebih tinggi.
Dan ketentuan yang tertinggi ini adalah Grundnorm atau norma dasar
yang bersifat hipotesis. Ketentuan yang lebih rendah merupakan
kongkretisasi dari ketentuan yang lebih tinggi.
3. Aliran Utilitarianisme
28

Filsafat Hukum oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

Aliran utilitarianisme dipelopori oleh Jeremy Bentham (17481783), John Stuart Mill (1806-1873) dan Rudolf von Jhering (18001889). Para penganut aliran utulitarianisme mempunyai prinsip bahwa
manusia akan melakukan tindakan-tindakan untuk mendapatkan
kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan mengurangi penderitaan.
Jeremy Bentham menerapkan salah satu prinsip dari aliran
Utilitarianism ke dalam lingkungan hukum, yaitu: manusia akan
bertindak untuk mendapatkan kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan
mengurangi penderitaan. Ukuran baik-buruknya suatu perbuatan
manusia tergantung kepada apakah perbuatan itu mendatangkan
kebahagiaan atau tidak. Pemidanaan, menurut Bentham, harus bersifat
spesifik untuk tiap kejahatan, dan berapa kerasnya pidana itu tidak
boleh melebihi jumlah yang dibutuhkan untuk mencegah dilakukannya
penyerangan-penyerangan tertentu. Pemidanaan hanya bisa diterima
apabila ia memberikan harapan bagi tercegahnya kejahatan yang lebih
besar. Ajaran seperti ini didasarkan atas hedonistic utilitarianism.
Bentham selanjutnya berpendapat bahwa pembentuk undangundang hendaknya dapat melahirkan undang-undang yang dapat
mencerminkan keadilan bagi semua individu. Dengan berpegang pada
prinsip tersebut di atas, perundangan itu hendaknya dapat memberikan
kebahagiaan yang terbesar bagi sebagian besar masyarakat (the greates
happiness for the greatest number).
John Stuart Mill memiliki pendapat yang sejalan dengan
Jeremy Bentham. Kesamaan pendapat itu terletak bahwa suatu
perbuatan itu hendaknya bertujuan untuk mencapai sebanyak mungkin
kebahagiaan. Menurut John Stuart Mill, sumber dari kesadaran
keadilan itu bukan terletak pada kegunaan, melainkan pada rangsangan
untuk mempertahankan diri dan perasaan simpati.
Menurut John Stuart Mill, keadilan bersumber pada naluri
manusia untuk menolak dan membalas kerusakan yang diderita, baik
oleh diri sendiri ataupun oleh siapa saja yang mendapatkan simpati dari
kita. Perasaan keadilan akan memberontak terhadap kerusakan,
penderitaan, tidak hanya atas dasar kepentingan individual, melainkan
lebih luas dari itu, sampai kepada orang-orang lain yang kita samakan
dengan diri kita sendiri. Hakikat keadilan, dengan demikian, mencakup
semua persyaratan moral yang sangat hakiki bagi kesejahteraan umat
manusia.
Berbeda dengan Bentham, Rudolf von Jhering dikenal
sebagai pengasas teori yang disebut social utilitarianism (sedangkan
Bentham
individual
utilitarianism).
Teorinya
merupakan
29

Filsafat Hukum oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

penggabungan antara pikiran Bentham dan John Stuart Mill dengan


positivisme hukum John Austin.
Pusat perhatian filsafat hukum Jhering adalah konsep tentang
tujuan, seperti dikatakannya dalam salah satu bukunya, ide dasar dari
buku ini adalah pemikiran bahwa tujuan adalah pencipta dari seluruh
hukum; tidak ada suatu peraturan hukum yang tidak memiliki asalusulnya pada tujuan ini, yaitu pada motif yang praktis. Jhering
menolak anggapan aliran sejarah yang berpendapat bahwa hukum itu
adalah hasil kekuatan-kekuatan historis murni yang tidak direncanakan
dan tidak disadari. Justru hukum itu dibuat oleh negara atau dasar
kesadaran sepenuhnya untuk mencapai tujuan tertentu.
Penganut aliran utilitarianisme menganggap tujuan hukum
adalah memberikan kemanfaatan dan kebahagiaan yang sebanyakbanyaknya kepada masyarakat. Hal ini disadari oleh adanya falsafah
sosial yang mengungkapkan bahwa setiap warga masyarakat
mendambakan kebahagiaan dan hukum merupakan salah satu alatnya.
Bentham berpendapat bahwa keberadaan negara dan hukum
semata-mata sebagai alat untuk mencapai manfaat yang hakiki, yaitu
kebahagiaan mayoritas rakyat.
4. Mazhab Sejarah
Ada dua pengaruh terhadap lahirnya mazhab ini, yakni
pengaruh Motesquieu dalam bukunya Lesprit de Lois yang telah
terlebih dahulu mengemukakan tentang adanya hubungan antara jiwa
suatu bangsa dengan hukumnya, dan pengaruh paham nasionalisme
yang mulai timbul pada awal abad ke-19. Lahirnya mazhab ini juga
merupakan suatu reaksi yang langsung terhadap suatu pendapat yang
diketengahkan oleh Thibaut dalam pamfletnya yang berbunyi Uber
die Notwendigkeit Eines Allgemeinen Burgelichen Rechts Fur
Deutschland keperluan akan adanya kodifikasi hukum perdata bagi
Jerman. Ahli hukum perdata Jerman ini menghendaki agar di Jerman
diperlakukan kodifikasi perdata dengan dasar hukum Prancis (Code
Napoleon). Seperti diketahui, setelah Prancis meninggalkan Jerman
timbul masalah., hukum apa yang hendak diberlakukan di negara ini.
Juga merupakan suatu reaksi tidak langsung terhadap aliran hukum
alam dan aliran hukum positif.
Dengan sebuah karangannya yang terkenal yang berjudul Von
Beruf unserer Zeit fur Gesetzgebung und Rechts wissenschaft (Tentang
Tugas Pada Zaman Kita Bagi Pembentuk Undang-undang dan Ilmu
Hukum), yang merupakan reaksi atas tulisan Thibaut di atas.
Dimulailah era baru dalam perkembangan pemikiran hukum, khususnya
30

Filsafat Hukum oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

di Jerman, yang sanggup menghentikan gerakan kodifiklasi di negara


tersebut untuk lebih-kurang satu abad lamanya.
Pada bagian lain dari karangannya itu von Savigny
menegaskan inti ajarannya bahwa das Recht wird nicht gemacht, est ist
und wird mit dem Volke hukum itu tidak dibuat, tetapi tumbuh dan
berkembang bersama masyarakat. Pandangannya bertitiktolak bahwa di
dunia ini terdapat banyak bangsa, dan tiap-tiap bangsa tadi memiliki
Volksgeist jiwa rakyat. Jiwa ini berbeda, baik menurut waktu maupun
tempat. Pencerminannya nampak pada kebudayaannya masing-masing
yang berbeda-beda. Hukum bersumber dari jiwa rakyat ini; oleh karena
itu hukum itu akan berbeda pada setiap waktu dan tempat. Tidaklah
masuk akal kalau terdapat hukum yang sifatnya universal dan abadi.
Selanjutnya von Savigny mengatakan bahwa apa yang menjadi isi dari
hukum itu ditentukan oleh pergaulan hidup manusia dari masa ke masa.
Hukum berkembang dari suatu masyarakat sederhana yang tercermin
pada setiap tingkah laku indiividu-individu kepada masyarakat yang
kompleks, di mana kesadaran hukum rakyat nampak pada ucapanucapan para ahli hukumnya.
Buah pikiran von Savigny kemudian dikembangkan lebih
lanjut oleh muridnya yang terkenal G. Puchta, banyak diikuti oleh para
ahli hukum jauh di luar batas-batas negara Jerman. Pengaruh
pemikirannya sangat terasa di Indonesia melalui para ahli hukum
Belanda, sehingga melahirkan suatu cabang ilmu baru yang kita kenal
sebagai hukum adat, dengan dipelopori oleh van Vollenhoven, Ter
Haar, serta tokoh-tokoh hukum adat lainnya.
Bagi para ahli sosiologi pun tidak dapat dikesampingkan saran
von Savigny, petapa pentingnya penelitian tentang hubungan antara
hukum dengan struktur masyarakat beserta nilainya. Pendapat ini
nampaknya menjadi pegangan banyak ahli sosiologi yang melihat
bahwa sistem hukum sesungguhnya tidak terlepas dari sistem sosial
yang lebih luas, dan antara sistem hukum tadi dengan aspek-aspek
sistem sosial lainnya terdapat hubungan timbal-balik dan saling
mempengaruhi.
Dalam kaitan dengan ajaran sejarah ini seorang tokoh lainnya
perlu dikemukakan mengingat sumbangannya yang besar terhadap
perkembangan ilmu hukum. Tokoh tersebut adalah Sir Henry Maine
(182201888) dengan bukunya yang terkenal, Ancient Society. Hasil
penelitiannya yang bersifat Antropologis, mengetengahkan teorinya
bahwa hukum berkembang dari bentuk status ke kontrak, sejalan
dengan perkembangan masyarakatnya yang kompleks dan modern.
Pada masyarakat yang modern, demikian pendapat Maine, hubungan
31

Filsafat Hukum oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

hukum antara para anggota masyarakat dilakukan atas dasar sistem hak
dan kewajiban yang tertuang dalam bentuk suatu kontrak yang dibuat
secara sadar dan sukarela yang dibuat oleh pihak-pihak yang berkenaan.
Sedangkan hukum sendiri, pada masyarakat ini, berkembang melalui
tiga cara, yaitu fiksi, equity (= hak kekayaan),dan perundangan.
Pendapat terakhir inilah yang oleh beberapa penulis hukum digunakan
untuk membedakan Maine dengan Savigny. Agaknya Maine tidak
mengesampingkan peranan perundangan dan kodifikasi dalam
pengembangan hukum pada masyarakat yang telah maju.
Walaupun teori hukum von Savigny dan pengikut-pengikutnya
cukup luas pengaruhnya, tetap terdapat kelemahannya. Yang terpenting
adalah tidak diberikannya tempat bagi ketentuan yang sifatnya tertulis
(perundang-undangan). Bagaimanapun dalam masyarakat modern,
ketentuan yang betuknya tertulis diperlukan demi adanya kepastian
hukum, dan terutama sekali untuk menghindarkan tindakan sewenangwenang dari kekuasaan yang bersifat absolute. Kelemahan lainnya
terletak pada konsepsinya tentang kesadaran hukum yang sifatnya
sangat abstrak. Juga mengenai jiwa rakyat, konsepsinya tidak
memuaskan banyak pihak. Von Savigny menyebutkan bahwa hukum
yang baik adalah yang bersumber dari jiwa rakyat ini, tetapi dalam
sebuah tulisannya yang lain, yang membahas tentang hukum Romawi,
dia mengatakan bahwa hukum Romawi merupakan hukum terbaik.
5. Aliran Sociological Jurisprudence
Aliran sociological jurisprudence dipelopori oleh Roesco
Pound, Eugen Ehrlich, Benyamin Cardozo, Kantorowich, Gurvitch
dan lain-lain. Aliran sociological jurisprudenc, dapat dikatakan sebagai
salah satu aliran dari berbagai-bagai pendekatan. Aliran ini tumbuh dan
berkembang di Amerika, dan dipelopori oleh Roscoe Pound dengan
karya-karyanya yang terkenal seperti Scope and Purpose of
sociological jurisprudence (1912), Outline of Lecture on Jurisprudence
(1903), The Spirit of Common Law (1921), An Introduction to the
Philosophy of Law (1922), The Task of Law (1944), Interpretation of
Legal History (1923), dan lain-lain. Tokoh-tokoh lainnya antara lain
Benjamin Cardozo dan Kantorowics.
Tidak dapat disangkal bahwa ajaran sociological jurisprudence
ini tergolong aliran-aliran sosiologis di bidang hukum yang di benua
Eropa dipelopori oleh seorang ahli hukum bangsa Austria bernama
Eugen Ehrlich (1826-1922), yang mula pertama menulis tentang
hukum dipandang dari sudut sosiologi dengan judul Grundlegung der
Soziologiedes Rechts (diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh
32

Filsafat Hukum oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

Walter L. Moll: Fundamental Principles of the Sociology of Law pada


tahun 1936).
Dalam mencoba menelaah antara sosiologi hukum Eropa dan
sociological jurisprudence di Amerika Serikat, dalam kata pengantar
untuk buku Gurvitsh, Roscoe Pound antara lain menulis bahwa
terdapat sedikit perbedaan cara pendekatan antara keduanya. Sosiologi
hukum itu merupakan cabang sosiologi yang mempelajari pengaruh
timbal- balik antara hukum dan masyarakat dengan titik tolak
pendekatannya dari masyarakat ke hukum, sedangkan sociological
jurisprudence merupakan suatu teori hukum yang mempelajari
pengaruh hukum terhadap masyarakat, dan sebagainya, dengan
pendekatan dari hukum ke masyarakat. Seperti diketahui ajaran pokok
dari Eugen Ehrlich yang sangat berpengaruh itu bertolak dari
anggapan bahwa terdapat perbedaan antara hukum positif di satu pihak
dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) di lain pihak.
Selanjutnya Ehrlich berpendapat bahwa hukum positif akan memiliki
daya berlaku yang efektif apabila berisikan, atau selaras dengan hukum
yang hidup dalam masyarakat tadi. Dan di samping itu, pusat
perkembangan hukum pada waktu sekarang dan juga pada waktu yang
lain, tidak terletak pada perundang-undangan, tidak pada ilmu hukum,
ataupun pada keputusan hakim, tetapi pada masyarakat itu sendiri.
Dengan berpegang pada ajaran tersebut, Roscoe Pound
berpendapat bahwa hukum harus dilihat sebagai sesuatu lembaga
kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
sosial. Selain itu, dianjurkan untuk mempelajari hukum sebagai suatu
proses (law in action), yang dibedakannya dengan hukum yang tertulis
(law in books).
Inti pemikiran mazhab ini bahwa yang baik adalah hukum yang
sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Menurut Achmad
Ali, terdapat persamaan antara positivisme hukum dan sosiologi hukum
yaitu keduanya merumuskan perhatiannya pada hukum tertulis atau
perundang-undangan.
6. Aliran Realisme Hukum
Beberapa tokoh terkenal disebut-sebut sebagai pendasar aliran
ini, ialah: John Chipman Gray, Oliver Wendell Holmes, Karl
Llewellyn, Jerome Frank, William James, dan lain-lain. Beberapa
penulis memasukkan pula Roscoe Pound ke aliran ini selain sebagai
pendasar aliran sociological jurisprudence. Hal ini barangkali berkaitan
dengan anggapannya yang tidak mengesampingkan faktor akal dalam
pembentukan hukum sebagaimana yang dikemukakan oleh aliran
positivisme hukum dan teori lainnya yang terkenal, bahwa hukum itu
33

Filsafat Hukum oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

merupakan alat untuk membangun masyarakat (law is a tool of social


engineering). Pendapatnya yang pertama di atas ada baiknya
dikemukakan lebih lengkap. Menurut Roscoe Pound, kedua konsepsi
masing-masing alian, yaitu aliran positivisme hukum dan aliran sejarah,
ada kebenarannya. Hanya hukum yang sanggup menghadapi ujian akal
dapat hidup terus. Yang menjadi unsur-unsur kekal dalam hukum itu
hanyalah pertanyaan-pertanyaan akal yang berdiri di atas pengalaman
dan diuji oleh pengalaman. Tak ada sesuatu yang dapat tahan berdiri di
dalam sistem hukum. Hukum adalah pengalaman yang diatur dan
dikembangkan oleh akal, yang diumumkan dengan wibawa oleh badanbadan yang membuat undang-undang atau mengesahkan undangundang dalam masyarakat yang berorganisasi politik dan dibantu oleh
kekuasaan masyarakat itu.
Oleh Llewellyn, dikemukakan ciri-ciri aliran ini, yaitu:
a.
Realisme bukanlah suatu aliran/mazhab. Realisme adalah suatu
gerakan dalam cara berpikir dan cara bekerja tentang hukum.
b.
Realisme adalah suatu konsepsi mengenai hukum yang
berubah-ubah dan sebagai alat untuk mencapai tujuan sosial; maka
tiap bagiannya harus diselidiki mengenai tujuan maupun hasilnya.
Hal ini berarti bahwa keadaan sosial lebih cepat mengalami
perubahan daripada hukum.
c.
Realisme mendasarkan ajarannya atas pemisahan sementara
antara Sollen dan Sein untuk keperluan sesuatu penyelidikan. Agar
penyelidikan itu mempunyai tujuan, maka hendaknya diperhatikan
adanya nilai-nilai, dan observasi terhadap nilai-nilai itu haruslah
seumum mungkin dan tidak boleh dipengaruhi oleh kehendak
pengamat maupun tujuan-tujuan kesusilaan.
d.
Realisme tidak mendasarkan pada konsep-konsep hukum
tradisional karena realisme bermaksud melukiskan apa yang
dilakukan sebenarnya oleh pengadilan-pengadilan dan orangorangnya. Untuk itu dirumuskan defnisi-definisi dalam peraturanperaturan yang merupakan ramalan umum tentang apa yang akan
dikerjakan oleh pengadilan. Sesuai dengan keyakinan ini, maka
realisme menciptakan penggolongan-penggolongan perkara dan
keadaan-keadaan hukum yang lebih kecil jumlahnya daripada
jumlah penggolongan-penggolongan pada masa lampau.
e.
Gerakan realisme menekankan bahwa pada perkembangan
setiap bagian hukum haruslah diperhatikan dengan seksama
akibatnya.
Melalaui buah pikiran John Chipman Gray dan Oliver
Wendell Holmes yang merupakan eksponen-eksponen gerakan
34

Filsafat Hukum oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

realisme ini, barangkali akan lebih jelas dasar pemikiran hukum yang
bagaimana yang menjadi inti ajarannya. Kedua tokoh ini, walaupun
juga penganut paham positivisme hukum, tidak menempatkan undangundang sebagai sumber utama hukum. Mereka menempatkan hakim
sebagai titik pusat perhatian dan penyelidikan hukum. Selain unsur
logika yang memegang faktor penting dalam pembentukan perundangundanagn, juga unsur kepribadian, prasangka, dan unsur-unsur lain di
luar logika berpengaruh sangat besar. Gray membuktikan teorinya itu
dengan mengemukakan contoh dari sejarah hukum di Inggris dan
Amerika Serikat yang menunjukkan besarnya pengaruh faktor-faktor
politik, ekonomi, kualitas individual hakim, terhadap penyelesaian halhal penting bagi jutaan orang selama ratusan tahun. Solgan terkenal dari
John Chipman Gray ialah: All the law is judge-made law (sumber
hukum utama adalah putusan-putasan hakim).
Selain di Amerika Serikat, di Skandinavia pun berkembang
aliran yang semacam yang dipelopori oleh Axel Hegerstrom,
Olivercrona. Lunstedt, dan Ross. Ciri-ciri gerakan ini ialah menolak
berlakunya suatu hukum alam, merupakan filsafat yang mengkritik
metafisika umum.

35

Filsafat Hukum oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

BAB IV
PERMASALAHAN YANG DIKAJI FILSAFAT HUKUM
A. Masalah Hukum Dan Kekuasaan
Hubungan hukum dangan kekuasaan dapat dirumuskan secara
singkat dalam slogan sebagai berikut: Hukum tanpa kekuasaan adalah
angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman.
Dalam penerapannya, hukum memerlukan suatu kekuasaan untuk
mendukungnya. Ciri utama inilah yang membedakan antara hukum di satu
pihak dengan norma-norma sosial lainnya dan norma agama. Kekuasaan itu
diperlukan karena hukum bersifat memaksa. Tanpa adanya kekuasaan,
pelaksanaan hukum di masyarakat akan mengalami hambatan-hambatan.
Semakin tertib dan teratur suatu masyarakat, makin berkurang diperlukan
dukungan kekuasaan. Masyarakat tipe terakhir ini dikatakan sebagai
memiliki kesadaran hukum yang tinggi di lingkungan anggota-anggotanya.
Hukum itu sendiri sebenarnya juga adalah kekuasaan. Hukum
merupakan salah satu sumber daripada kekuasaan, di samping sumbersumber lainnya seperti kekuatan (fisik dan ekonomi), kewibawaan
(rohaniah, intelegensia dan moral). Selain itu hukum pun merupakan
pembatas bagi kekuasaan oleh karena kekuasaan itu mempunyai sifat yang
buruk yaitu selalu merangsang pemegangnya untuk ingin memiliki
kekuasaan yang melebihi apa yang dimilikinya. Contoh populer misalnya,
sepak terjang para raja absolut dan diktator.
Baik buruknya suatu kekuasaan, tergantung dari bagaimana
kekuasaan tersebut dipergunakan. Artinya, baik buruknya kekuasaan
senantiasa harus diukur kegunaannya untuk mencapai suatu tujuan yang
sudah ditentukan atau disadari oleh masyarakat terlebih dahulu.
Antara hukum dan kekuasaan terdapat hubungan yang erat.
Peperzak mengemukakan, adanya hubungan ini dapat diperlihatkan dengan
dua cara sebagai berikut di bawah ini:
Cara Pertama dengan menelaahnya dari konsep sanksi. Adanya
perilaku yang tidak mematuhi aturan-aturan hukum menyebabkan
diperlukan sanksi untuk menegakkan aturan hukum itu tadi. Karena sanksi
dalam kenyataannya merupakan suatu kekerasan, maka penggunaannya
memerlukan legitimasi yuridis (pembenaran hukum) agar menjadikannya
sebagai kekerasan yang sah. Legitimasi yuridis yang dapat diberikan untuk
membenarkan digunakannya sanksi sebagai kekerasan yang sah adalah
fakta, bahwa perilaku ketidakpatuhan terhadap hukum tersebut merupakan
bentuk pertama dari kekerasan yang harus ditanggulangi yaitu ditindak atau
36

Filsafat Hukum oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

ditiadakan dan jika mungkin dicegah. Penanggulangan terhadap bentuk


pertama daripada kekerasan itu adalah dengan menggunakan sanksi sebagai
bentuk kekerasan kedua yaitu kekerasan yang sah. Dipergunakannya sanksi
sedemikian menyebabkan sanksi tersebut harus ditetapkan oleh sisitem
aturan hukum itu sendiri. Timbul pertanyaan, apakah sanksi itu harus
dimasukkan essensi daripada hukum? Agar sanksi dapat berfungsi dengan
baik sehingga semua sistem aturan hukum dapat berdaya guna serta berhasil
guna maka diperlukan adanya kekuasaan (force) yang memberikan
dukungan tenaga maupun perlindungan bagi sistem aturan hukum berikut
dengan sanksi tersebut.
Cara kedua dengan menelaahnya dari konsep penegakan konstitusi.
Pembinaan sistem aturan-aturan hukum dalam suatu negara yang teratur
adalah diatur oleh hukum itu sendiri. Perihal ini biasanya tercantum dalam
konstitusi dari negara yang bersangkutan. Penegakan konstitusi itu,
termasuk penegakan prosedur yang benar dalam pembinaan hukum itu tadi
mengasumsikan digunakannya kekuatan (force).
Kekuatan (force) yang diperlukan ini, dalam kenyataannya dapat
berwujud sebagai:
a. Keyakinan moral dari masyarakat.
b. Persetujuan (konsensus) dari seluruh rakyat.
c. Kewibawaan dari seorang pemimpin kharismatik.
d. Kekuatan semata-mata yang sewenang-wenang (kekerasan belaka).
e. Kombinasi dari faktor-faktor tersebut di atas.
B. Hukum Sebagai Alat Pembaharuan Dalam Masyarakat
Pemikiran tentang hukum sebagai alat pembaharuan dalam
masyarakat berasal dari Roscoe Pound dalam bukunya yang terkenal An
Introduction to the Philosophy of Law (1954). Dengan disesuaikan dengan
situasi dan kondisi di Indonesia, konsepsi Law as a tool of social
engineering yang merupakan inti pemikiran dari aliran Pragmatic Legal
Realism itu, oleh Mochtar Kusumaatmadja kemudian dikembangkan di
Indonesia melalui Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran. Menurutnya,
konsepsi hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat Indonesia lebih
luas jangkauan dan ruang lingkupnya daripada di Amerika Serikat tempat
kelahirannya. Alasannya. Oleh karena lebih menonjolnya perundangundangan dalam proses pembaharuan hukum di Indonesia (walau
yurisprudensi memegang peranan pula) dan ditolaknya aplikasi mekanisme
daripada konsepsi tersebut yang digambarkan akan mengakibatkan hasil
yang sama daripada penerapan paham legisme yang banyak ditentang di
Indonesia. Sifat mekanisme itu nampak dengan digunakannya istilah tool
oleh Roscoe Pound. Itulah sebabnya Mochtar Kusumaatmadja
cenderung menggunakan sarana daripada alat.
37

Filsafat Hukum oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

Hukum yang digunakan sebagai sarana pembaharuan itu dapat


berupa undang-undang atau yurisprudensi atau kombinasi keduanya. Agar
supaya dalam pelaksanaan perundang-undangan yang bertujuan untuk
pembaharuan itu dapat berjalan sebagaimana mestinya, hendaknya
perundang-undangan yang dibentuk itu sesuai dengan apa yang menjadi inti
pemikiran aliran Sociological Jurisprudence yaitu hukum yang baik
hendaknya sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat.
Beberapa contoh perunbdang-undangan yang berfungsi sebagai
sarana pembaharuan dalam arti merubah sikap mental masyarakat
tradisional ke-arah modern, misalnya larangan pengayauan di Kalimantan,
larangan penggunaan koteka di Irian Jaya, keharusan pembuatan sertifikat
tanah dan banyak lagi terutama di bidang penanaman modal asing, hukum
dagang dan perdata lainnya yang bukan hukum perdata keluarga yang
masih dianggap sensitif sifatnya.
1. Hukum dan Nilai-Nilai Sosial Budaya
Antara hukum di satu pihak dengan nilai-nilai sosial budaya di
lain pihak terdapat kaitan yang erat. Hal ini telah dibuktikan berkat
penyilidikan beberapa ahli antropologi hukum baik bersifat perintis
seperti Sir Henry Maine, A.M. Post dan Yosef Kohler maupun
Malinowski dan R.H. Lodiw di abad ini. Kaitan eratnya adalah bahwa
hukum yang baik tidak lain adalah hukum yang mencerminkan nilainilai yang hidup dalam masyarakat.
Indonesia masa kini berada pada masa transisi yaitu sedang
terjadi perubahan nilai-nilai dalam masyarakat dari nilai-nilai yang
bersifat tradisional ke nilai-nilai yang modern. Namun masih terjadi
persoalan, nilai-nilai manakah yang hendak ditinggalkan dan nilai-nilai
baru mana yang akan menggantikannya. Sudah barang tentu dalam
proses perubahan ini akan banyak dihadapi hambatan-hambatan yang
kadang-kadang akan menimbulkan keresahan-keresahan maupun
kegoncangan di dalam masyarakat. Mochtar Kusumaatmadja
misalnya, mengemukakan beberapa hambatan utama seperti jika yang
akan diubah itu identik dengan kepribadian nasional., sikap golongan
intelektual dan pimpinan masyarakat yang tidak mempraktekkan nilainilai yang dianjurkan di samping sifat heterogenitas bangsa Indonesia,
yang baik tingkat kemajuannya, agama serta bahasanya berbeda satu
sama lainnya.
2. Apakah Sebabnya Orang Menaati Hukum
Filsafat hukum mencoba mencari dasar kekuatan mengikat
daripada hukum, yaitu apakah ditaatinya hukum itu disebabkan oleh
karena hukum itu dibentuk oleh pejabat yang berwenang atau memang
38

Filsafat Hukum oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

masyarakat mengakuinya karena dinilai hukum tersebut sebagai suatu


hukum yang hidup di dalam masyarakat itu?
Dalam hubungan dengan pertanyaan yang pertama, terdapat
beberapa teori penting yang patut diketengahkan:
a. Teori Kedaulatan Tuhan (Teokrasi)
Teori ini langsung berpegang kepada pendapat bahwa: .....
segala hukum adalah hukum Ketuhanan. Tuhan sendirilah yang
menetapkan hukum, dan pemerintah-pemerintah duniawi adalah
pesuruh-pesuruh kehendak Ketuhanan.
Hukum dianggap sebagai kehendak atau kemauan Tuhan.
Manusia sebagai salah satu ciptaanNya wajib taat kepada hukum
Ketuhanan ini.
Teori kedaulatan Tuhan yang bersifat langsung ini hendak
membenarkan perlunya hukum yang dibuat oleh raja-raja yang
menjelmakan dirinya sebagai Tuhan di dunia, harus ditaati oleh
setiap penduduknya. Sebagai contoh raja-raja Firaun di Mesir
dahulu.
Selanjutnya dijelaskan bahwa yang tidak langsung,
menganggap raja-raja bukan sebagai Tuhan akan tetapi wakil Tuhan
di dunia. Dalam kaitan ini dengan sendirinya juga karena bertindak
sebagai wakil, semua hukum yang dibuatnya wajib pula ditaati
oleh segenap warganya. Pandangan ini walau berkembang hingga
jaman Renaissance, namun hingga saat ini masih juga ada yang
mendasarkan otoritas hukum pada faktor Ketuhanan itu.
b. Teori Perjanjian Masyarakat
Pendasar-pendasar dari pada teori penjanjian masyarakat
ialang Hugo de Groot atau Grotius, Thomas Hobbes, John
Locke, Jean Jacques Rousseau dan juga Immanuel Kant.
Pada pokoknya teori ini berpendapat bahwa orang taat dan
tunduk pada hukum oleh karena berjanji untuk menaatinya. Hukum
dianggap sebagai kehendak bersama, suatu hasil konsensus
(perjanjian) dari segenap anggota masyarakat.
Tentang perjanjian ini, terdapat perbedaan pendapat antara
Thomas Hobbes, John Locke dan Jean Jacques Rousseau.
Dalam bukunya De Cive (1642) dan Leviathan (1651),
Thomas Hobbes membentangkan pendapatnya yang intinya
sebagai berikut:
Pada mulanya manusia itu hidup dalam suasana belum
omnium contra omnes (the war of all against all), selalu dalam
keadaan berperang. Agar tercipta suasana damai dan tenteram, lalu
diadakan perjanjian di antara mereka (pactum unionis). Setelah itu
39

Filsafat Hukum oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

disusul perjanjian antara semua dengan seseorang tertentu (pactum


subjectionis) yang akan diserahi kekuasaan untuk memimpin
mereka. Kekuasaan yang dimiliki oleh pemimpin ini adalah mutlak.
Timbullah kekuasaan yang bersifat absolut.
Konstruksi John Locke dalam bukunya Two Treatises on
Civil Government (1690), agak berbeda karena pada waktu
perjanjian itu disertakan pula syarat-syarat yang antara lain
kekuasaan yang diberikan dibatasi dan dilarang melanggar hak-hak
azasi manusia. Teorinya menghasilkan kekuasaan raja yang dibatasi
oleh konstitusi.
J.J. Rousseau dalam bukunya Le Contract Social ou
Principes de Droit Politique (1672), berpendapat bahwa
kekuasaan yang dimiliki oleh anggota masyarakat tetap berada pada
individu-individu dan tidak diserahkan pada seseorang tertentu
secara mutlak atau dengan persyaratan tertentu. Konstruksi yang
dihasilkannya ialah pemerintahan demokrasi langsung. Tipe
pemerintahan seperti ini hanya sesuai bagi suatu negara dengan
wilayah sempit dan penduduk sedikit. Pemikirannya tidak
diterapkan untuk suatu negara modern dengan wilayah negara yang
luas dan banyak penduduk.
c. Teori Kedaulatan Negara.
Pada intinya teori ini berpendapat bahwa ditaatinya hukum
itu karena negara menghendakinya.
Hans Kelsen misalnya dalam bukunya Houptprobleme der
Staatslehre (1811), Das Problem der Souveranitat Und die Theorie
das Volkerechts (1920, Allgemeine Staatslehre (1925) dan Reine
Rechtslehre (1934), menganggap bahwa hukum itu merupakan
Wille des Ataates orang tunduk pada hukum karena merasa
wajib menaatinya karena hukum itu adalah kehendak negara.
d. Teori Kedaulatan Hukum
Prof. Mr. H. Krabbe dari Universitas Leiden menentang
Teori Kedaulatan Negara. Beliau mengajarkan bahwa sumber
hukum ialah rasa keadilan. Hukum mengikat bukan karena
negara menghendakinya akan tetapi karena merupakan perumusan
dari kesadaran hukum rakyat. Berlakunya hukum karena nilai
bathinnya yaitu yang menjelma di dalam hukum itu. Pendapat ini
diutarakan oleh Prof. Mr. H. Krabbe dalam bukunya Die Lehre
der Rechtssouveranitat (1906). Selanjutnya beliau berpendapat
bahwa kesadaran hukum yang dimaksud berpangkal pada perasaan
hukum setiap individu yaitu perasaan bagaimana seharusnya hukum
itu.
40

Filsafat Hukum oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

Terdapat banyak kritik terhadap pendapat di atas.


Pertanyaan-pertanyaan berkisar pada apa yang dimaksud dengan
kesadaran hukum itu? Apa yang diartikan sebagai perasaan hukum
itu?
Prof. Krabbe mencoba menjawab dengan mengetengahkan
perumusan baru yaitu bahwa hukum itu berasal dari perasaan
hukum bagian terbesar dari anggota masyarakat jadi bukan
perasaan hukum setiap individu!
Seorang muridnya yang terkenal Prof. Mr. R. Kranenburg
dalam bukunya Positief Recht an Rechtsbewustzijn (1928)
berusaha membelanya dengan teorinya yang terkenal asas
keseimbangan (evenredigheids postulat).
3. Apakah Sebabnya Negara Berhak Menghukum Seseorang
Kita mengenal beberapa teori, seperti teori kedaulatan Tuhan,
perjanjian masyarakat, dan kedaulatan negara. Jika ditelaah bunyi-bunyi
teori dimaksud, nampaknya dalam usaha menjawab dasar mengikat
sesuatu hukum tersirat juga wewenang negara untuk menghukum
warganya terutama atas segala perbuatannya yang dapat
menggoncangkan, membahayakan dan meruntuhkan sendi-sendi
kehidupan masyarakat.
Ajaran kedaulatan Tuhan misalnya dengan penganutnya yang
sangat terkenal di abad ke-19 Fredrich Julius Stahl berpendapat
bahwa negara adalah merupakan badan yang mewakili Tuhan di dunia
yang memiliki kekuasaan penuh untuk menyelenggarakan ketertiban
hukum di dunia. Para pelanggar ketertiban itu perlu memperoleh
hukuman agar ketertiban hukum tetap terjamin.
Teori perjanjian masyarakat mencoba menjawab pertanyaan
tersebut di atas dengan mengemukakan otoritas negara yang bersifat
monopoli itu pada kehendak manusia itu sendiri yang menghendaki
adanya kedamaian dan ketentraman di masyarakat. Mereka berjanji
akan menaati segala ketentuan yang dibuat negara dan di lain pihak
bersedia pula memperoleh hukum jika dipandang tingkah lakunya akan
berakibat terganggunya ketertiban dalam masyarakat. Mereka telah
memberikan kuasa kepada negara untuk menghukum seseorang yang
melanggar ketertiban. Negaralah yang menciptakan hukum, jadi segala
sesuatu harus tunduk kepada negara. Negara di sini dianggap sebagai
suatu keutuhan yang menciptakan peraturan-peraturan hukum jadi
adanya hukum itu karena adanya negara, dan tiada satu hukumpun yang
berlaku jika tidak dikehendaki oleh negara. Dalam kaitan dengan
hukuman, hukum ciptaan negara itu adalah hukum pidana.
41

Filsafat Hukum oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

Walaupun terdapat berbagai teori seperti tersebut di atas,


sesungguhnya hak negara untuk menghukum seseorang didasari
pemikiran bahwa negara memiliki tugas berat yaitu berusaha
mewujudkan segala tujuan yang menjadi cita-cita dan keinginan seluruh
warganya.
Usaha-usaha
yang
berupa
hambatan-hambatan,
penyimpangan-penyimpangan terhadap perwujudan tujuan tadi patut
dicegah dengan memberikan hukuman kepada pelakunya. Hanya
dengan cara demikian negara dapat melaksanakan tugasnya
sebagaimana mestinya.
4. Etika dan Kode Etik Profesi Hukum
Banyak dari aspek-aspek terpenting dari tatanan masyarakat
untuk sebagian besar bergantung pada berfungsinya profesi-profesi
dengan baik. Profesi-profesi dalam sistem sosial okupasi (pekerjaan)
menempati kedudukan yang sangat strategis.
Kata profesi dan profesional sesungguhnya memiliki beberapa
arti. Profesi dalam percakapan sehari-hari dapat diartikan sebagai
pekerjaan (tetap) untuk memperoleh nafkah (Belanda: baab, Inggris:
job atau occupation), baik legal maupun tidak. Profesi diartikan sebagai
setiap pekerjaan untuk memperoleh uang. Dalam artian lebih teknis,
profesi diartikan sebagai setiap kegiatan tertentu untuk memperoleh
nafkah yang dilaksanakan secara berkeahlian yang berkaitan dengan
cara berkarya dan hasil karya yang bermutu tinggi, dengan imbalan
bayaran yang tinggi. Keahlian diperoleh lewat proses pengalaman,
dengan belajar di lembaga pendidikan tertentu, latihan intensif, atau
paduan dari ketiganya.
Ditinjau dari segi pengertian ini, sering dibedakan pengertian
profesional dengan profesionalisme sebagai lawan dari amatir dan
amatirisme, juga sering dikatakan pekerjaan tetap sebagai lawan dari
pekerjaan sambilan.
Kriteria inti untuk mengkualifikasi suatu okupasi sebagai suatu
profesi yakni preofesi mensyaratkan pendidikan teknik yang formal
dilengkapi dengan cara pengujian yang terinstitusionalisasikan edukasi
pendidikannya dan kompetensi orang-orang hasil didikannya. Pengujian
para calon pengemban profesi sangat mengutamakan evaluasi
rasionalitas kognitif yang diterapkan pada bidang khusus tertentu
karenanya sangat menekankan unsur intelektual.
Kriteria yang kedua yakni penguasaan tradisi kultural dalam
menggunakan keahlian tertentu serta keterampilan dalam penggunaan
tradisi tertentu. Dalam lingkungan suatu profesi berlaku suatu sistem
nilai yang berfungsi sebagai standar normatif yang harus menjadi
kerangka orientasi dalam pengembanan profesi yang bersangkutan.
42

Filsafat Hukum oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

Ketiga., untuk menjamin bahwa kompetensi dari suatu


kompleks okupasi (sistem sosial pekerjaan) akan digunakan dengan
cara-cara yang secara sosial bertanggungjawab, maka haruslah memiliki
sejumlah sarana institusional, berupa organisasi profesi, etika, dan kode
etik profesi dengan prosedur penegakannya, serta cara rekrutasi
pengemban profesi.
Dari kriteria inti tadi, secara umum dapat dikatakan bahwa
profesi menunjuk pada kompleks okupasional yang disiplin-disiplin
intelektual di sekitarnya meliputi humaniora, ilmu alan dan ilmu-ilmu
sosial, terorganisasikan, serta sistem-sistem kultural (nilai-nilai) yang
diolah oleh dan di dalam kompleks okupasi tersebut.
Ciri khusus profesi sebagai suatu sistem okupasional menurut
Talcott Parsons adalah bahwa profesi tidak berorientasi pada
disinterestedness (tidak mengejar untung). Masyarakat akan
memandang para pengemban profesi sebagai orang yang mewujudkan
pelayanan daripada orang yang mencari keuntungan bagi diri sendiri.
Sikap ini yang menjadi standar normatif bagi para pengemban profesi
dalam mengemban profesinya.
Ciri kedua adalah rasionalitas dalam artian melawan
tradisionalisme. Kebenaran obyektif dijadikan standar normatif tertentu
yang termasuk ke dalam ruang lingkup suatu penelitian ilmiah.
Rasionalitas berusaha mencapai pertimbangan ilmiah.
Ciri ketiga Spesifitas fungsional. Dengan bertumpu pada
kompetensi teknikal yang superior, para pengemban profesi memiliki
dan menjalankan kewibawaan (otoritas) dalam masyarakat. Otoritas
fungsional ditandai oleh spesifitas fungsi yang merupakan unsur
esensial pada pola profesional. Seorang profesional dianggap memiliki
otoritas hanya pada bidangnya.
Ciri keempat Universalisme. Pengambilan keputusan pada
landasan pertimbangan profesional didasarkan pada permasalahannya,
bukan pada siapa atau pada keuntungan yang dapat diperoleh.
Universalitas menjunjung tinggi obyektivitas sebagai lawan dari
subyektivitas (partikularisme).
Menurut Dietrich Rueschemeyer dalam Lawyers and
Doctors A Comparation of Two Professions, profesi adalah
pekerjaan pelayanan yang menerapkan seperangkat pengetahuan
sistematika (ilmu) pada masalah-masalah yang sangat relevan bagi
nilai-nilai utama dari masyarakat. Masyarakat awam tidak mampu
menilai karya profesional. Karena itu dibutuhkan pengendalian diri
secara individual bagi para pengemban profesi untuk tetap berpegang
kuat pada nilai-nilai dan norma-norma yang menjiwai tugas para
43

Filsafat Hukum oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

pengemban profesi. Nilai-nilai dan norma-norma ini kemudian


diinstitusionalisasikan dalam struktur dan kultur dari profesi yang
bersangkutan, sehingga pengendalian secara individual diperkuat oleh
pengawasan formal dan informal oleh komunitas sejawat. Sebagai
imbalan, masyarakat memberikan privilese, dan melindungi otonomi
profesi terhadap pengawasan dan campur tangan awam.
5. Etika Profesi, Kode Etik dan Landasannya
Seorang pengemban profesi harus dapat memutuskan apa yang
harus dilakukan dalam melaksanakan tindakan pengembanan
profesionalnya. Hubungan antara pengemban profesi dan pasien atau
kliennya adalah hubungan profesional, hubungan antar subyek
pendukung nilai, karena itu secara pribadi ia bertanggungjawab atas
mutu pelayanan jasa yang dijalankannya.
Secara formal yuridis kedudukan pengemban profesi dan
kliennya adalah sama. Namun secara sosio psikologis dalam hubungan
ini terdapat ketidakseimbangan disebabkan oleh ketidakmampuan
pasien atau klien untuk dapat menilai secara obyektif pelaksanaan
kompetensi teknikal pengemban profesi yang dimintai pelayanan
profesionalnya. Jadi hubungan horisontal antara pengemban profesi dan
kliennya sesungguhnya hanyalah merupakan hubungan kepercayaan.
Karenanya dalam menjalankan pelayanan profesional, para pengemban
profesi dituntut untuk menjiwai dengan sikap etis tertentu. Sikap etis
inilah yang dinamakan etika profesi.
Hubungan antara Tuhan dan manusia merupakan hubungan
personal vertikal yang berlandaskan cinta kasih. Hubungan ini
merupakan akar dari hubungan personal horisontal yang bersifat
kepercayaan, sehingga akan memotivasi untuk menghayati profesi
sebagai fungsi kemasyarakatan dan memotivasi untuk mewujudkan
etika profesi sebagai sikap hidup dalam mengemban profesi.
Etika profesi adalah sikap etis sebagai bagian integral dari sikap
hidup dalam menjalani kehidupan sebagai pengemban profesi.
Kepatuhan pada etika profesi bergantung kepada akhlak pengemban
profesi yang bersangkutan karena awam tidak dapat menilai. Karenanya
kalangan pengemban profesi itu sendiri membutuhkan adanya pedoman
obyektif yang lebih kongkret bagi perilaku profesionalnya yang
kemudian diwujudkan dalam seperangkat kaidah perilaku sebagai
pedoman yang harus dipatuhi dalam mengemban profesi yang disebut
kode etik profesi (disingkat kode etik) berupa tertulis maupun tidak
tertulis. Pada dasarnya, di satu pihak kode etik termasuk kelompok
kaidah moral positif yang bertujuan untuk menjaga martabat profesi
yang bersangkutan, dan di lain pihak bertujuan untuk melindungi pasien
44

Filsafat Hukum oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

atau klien (warga masyarakat) dari penyalahgunaan keahlian dan/atau


otoritas.
C. Profesi Hukum
Profesi hukum berkaitan dengan maslaah perwujudan dan
pemelihara ketertiban yang berkeadilan di dalam kehidupan masyarakat.
Penghormatan terhadap martabat manusia merupakan titik tolak atau
landasan bertumpunya atau tujuan akhir dari hukum.
Untuk mewujudkan ketertiban yang berkeadilan, hukum merupakan
sarana yang mewujud dalam pelbagai kaidah perilaku kemasyarakatan yang
disebut kaidah hukum. Keseluruhan kaidah hukum positif yang berlaku
dalam suatu ,masyarakat tersusun dalam suatu sistem yang sebut tata
hukum. Ada dan berfungsinya tata hukum dengan kaidah-kaidah hukumnya
serta penegakannya merupakan produk dari perjuangan manusia dalam
upaya mengatasi masalah-masalah kehidupan. Dalam dinamika
kesejahteraan manusia, hukum dan tata hukumnya tercatat sebagai salah
satu faktor yang sangat penting dalam proses pengadaan dan penghalusan
dari budi manusia.
Salah satu fungsi kemasyarakatn agar kehidupan manusia tetap
bermartabat adalah dengan menyelenggarakan dan menegakkan ketertiban
yang berkeadilan dalam kehidupan bersama sebagai suatu kebutuhan dasar
manusia. Dalam kehidupan sehari-hari pada tingkat peradaban yang telah
majemuk, fungsi kemasyarakatan penyelenggaraan dan penegakan
ketertiban yang berkeadilan ini diwujudkan profesi hakim. H.F.M.
Crombag dalam makalahnya yang berjudul: notities over de juridiche
opleiding (1972) yang mengklasifikasikan peran kemasyarakatan profesi
hukum itu ke dalam empat bidang karya hukum, yakni: (1) penyelesaian
konflik secara formal (peradilan); (2) pencegahan konflik (legal drafting,
legal advice); (3) penyelesaian konflik secar informal; dan (4) penerapan
hukum di luar konflik.
Jabatan-jabatan seperti hakim, dan notaris termasuk profesi hukum
masa kini yang mewujudkan bidang karya hukum secara khas.
1. Hakim
Untuk menyelesaikan konflik kepentingan yang sering terjadi
dalam masyarakat dengan baik dan secara teratur demi terpeliharanya
ketertiban yang berkedamaian di dalam masyarakat, diperlukan adanya
suatu institusi (kelembagaan) khusus yang mempu menyelesaikan masalah
secara tidak memihak (imparsial) dengan berlandaskan patokan-patokan
yang berlaku secara obyektif. Dalam negara modern, penyelesaian konflik
ini dilakukan melalui proses formal yang panjang yang dimulai dengan
perang tanding dan goodsoordeel (ordeal) lewat penyelesaian oleh
pimpinan masyarakat lokal, dengan kepastian yang berkeadilan. Dari sini
45

Filsafat Hukum oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

terbentuklah institusi peradilan lengkap dengan aturan-aturan yang


prosedural dan jabatan-jabatan yang berkaitan yaitu hakim, advokad, dan
jaksa, dengan wewenang pokok yang disebut kewenangan (kekuasaan)
kehakiman, untuk melakukan tindakan pemeriksaan, penilaian, dan
penetapan nilai perilaku manusia tertentu serta menentukan nilai suatu
situasi kongkret dan menyelesaikan persoalan (konflik) yang
ditimbulkannya secara imparsial berdasarkan hukum (patokan obyektif).
Dalam kenyataan kongkret pengambilan keputusan dalam mewujudkan
kewengan kehakiman dilaksanakan oleh pejabat lengkap lembaga peradilan
yang disebut hakim.
Tugas hakim pada dasarnya memberi keputusan dalam setiap
perkara (konflik) yang dihadapkan kepadanya, menetapkan hal-hal seperti
hubungan hukum, nilai hukum daripada perilaku, serta kedudukan hukum
pihak-pihak yang terlibat dalam suatu perkara yang dihadapkan kepadanya.
Berdasarkan uraian tadi, dapat ditarik kesimpulan bahwa sikap etis
atau etika profesi hakim harus berintikan: Taqwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, jujur, adil, bijaksana, imparsial (tidak memihak), sopan, sabar,
memegang teguh rahasia jabatan, dan solidaritas sejati. Kesemuanya itu
harus tercermin dalam perilaku sehari-hari, karena hanya dengan bersikap
etis sedemikian para hakim akan mampu memelihara martabat dan
kewibawaannya.
Sekarang ini di Indonesia etika profesi ini telah dijabarkan ke dalam
Kode Kehormatan Kehakiman yang ditetapkan oleh Rapat Kerja pada
Ketua Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri di bawah pimpinan
Mahkamah Agung pada tahun 1966 yang kemudian diteguhkan dan
dimantapkan dalam musyawarah nasional Ikatan Hakim Indonesia (IKHI)
ke IX pada tanggal 23 Maret 1988, juga dilengkapi dengan instrumen
undang-undang yakni UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan
Kehakiman.
2. Advokad
Pada dasarnya ada dua tugas pokok advokad, yakni memberikan
nasihat hukum untuk menjauhkan klien dari konflik dan mengajukan atau
membela kepentingan klien di pengadilan. Peran utama seorang advokad
pada saat berperkara di pengadilan adalah mengajukan pelbagai fakta dan
pertimbangan yang relevan dari sudut pihak kliennya sehingga
memungkinkan bagi hakim untuk menetapkan keputusan yang adil. Profesi
advokad pada dasarnya dapat berperan dalam semua bidang karya hukum,
sehingga pada dasarnya etika profesi hakim juga berlaku bagi para advokad.
Uraian di atas merupakan gambaran profesi dan profesi hukum
dalam bentuk ideal. Dalam kenyataan kongkret, hampir tidak ada sesuatu
yang dapat adil dan ideal seutuhnya, karenanya seringkali kita menemukan
46

Filsafat Hukum oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

penyimpangan atau pengkhususan-pengkhususan. Namun jika kita


menemukan kasus penyimpangan yang cukup jauh serta mencakup banyak
aspek dan meluas sekali, maka mungkin kita dapat berperkara tentang krisis
atau perubahan fundamental dengan segala akibat kemasyarakatn.
Secara sosiologis Talcott Parsons (1964:44, 45) mencoba
menjelaskan krisis tersebut. Para pengemban profesi dalam mengemban
profesinya memiliki tujuan pokok ( (essential goals) untuk mewujudkan
hasil karya yang obyektif (objective achievement) dan pengakuan atau
rekognisi. Dalam beberapa hal (kenyataan) pengakuan bisa bukan hanya
berupa lambang melainkan juga dalam konteks lain, misalnya berlaku untuk
uang. Uang tidak hanya penting sebagai nilai tukar, tetapi juga dapat
berperan penting sebagai lambang rekognisi, sebagai pengakuan nyata
terhadap kualitas profesional. Jika kenyataan aktual telah menyimpang dari
kondisi ideal, dapat saja terjadi justru hasil karya yang berkualitas rendah
yang dapat dicapai dengan cara yang bertentangan dengan keharusan
menghasilkan pengakuan yang berlebihan. Hal ini dengan sendirinya akan
mendorong lahirnya perilaku yang menyimpang dari pola-pola institusional
dalam skala yang besar. Situasi seperti ini dapat menimbulkan gejala
komersialisme dan ketidakjujuran misalnya dalam mengemban profesi
kedokteran dan profesi hukum.
Orang pada umumnya akan merasakan kepuasan jika berhasil
menjalankan pola-pola perilaku yang dianggap benar (diterima) oleh
masyarakat, sebaliknya merasa malu jika tidak berhasil (gagal)
menjalankannya. Mekanisme perilaku yang mengintegrasikan kepuasan
individual dan ekspektasi (harapan) kemasyarakatan akan berfungsi secara
mulus jika terjadi keselarasan antara hasil karya obyektif dan landasan serta
lambang-lambang rekognisi. Jika keselarasan ini mengalami gangguan,
orang akan merasa kehilangan rasa aman dan berada dalam situasi konflik.
Seorang yang berpegang teguh pada hasil karya obyektif yang seharusnya
(memenuhi etika dan kode etik profesi) tidak akan mengorbankan hasil
karya obyektif untuk memperleh lambang-lambang rekognisi.
Philipe Nonet dan Jeroma E. Carlin mengemukakan dalam
Legal Proffesion yang dimuat dalam International Encyclopedia of The
Social Science (Vol. 9, 1972) bahwa kualitas profesi hukum akan merosot
jika: penguasa politik menguasai profesi dalam rangka menetralkan sumber
kritik potensial, para pengemban profesi hukum terperangkap oleh
kepentingan klien karena takut kehilangan klien, pengemban profesi hukum
terlalu jauh terlibat dalam kepentingan klien secara subyektif, dan kualitas
lembaga peradilan sangat rendah.
Dari uraian di atas, kembali dapat kita tarik kesimpulan bahwa
profesi adalah sejumlah fungsi kemasyarakatan yang paling penting yang
47

Filsafat Hukum oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

berjalan dalam suatu kerangka institusional, termasuk pengemban serta


pengajaran ilmu dan humaniora dan penerapan praktikalnya dalam bidangbidang pelayanan rohani, teknologi, kedokteran, hukum, informasi, dan
pendidikan. Nilai-nilai ini berkaitan langsung dengan nilai-nilai yang
fundamental bagi perwujudan martabat manusia dalam keadaan riil.
Dalam perwujudannya, sebagai konsekuensi dari keyakinan pada
pentingnya fungsi-fungsi itu tidaklah selalu berlangsung melainkan sangat
dipengaruhi oleh berinteraksinya pelbagai kekuatan kemasyarakatan. Ini
berarti perwujudannya secara nyata memerlukan upaya tersendiri yang
terdiri dari paduan pelbagai kekuatan yang memerlukan usaha secara sadar
dengan dukungan yang kuat untuk menegakkan etika dan kode etik profesi.
Untuk itu perlu diusahakan agar profesi-profesi mampu mempertahankan
ekonominya melalui organisasi profesi yang diakui dan dihormati
kemandiriannya oleh penguasa politik, didukung oleh kurikulum, proses
dan metode pendidikan yang juga memuat usaha untuk menumbuhkan
sikap etis secara sistematis dan sesuai untuk peserta didikannya.
Di Indonesia berlaku Kode Etik dan Ketentuan Tentang Dewan
Kehormatan Advokat/Penasehat Hukum Indonesia yang tetapkan Tanggal:
8 April 1996 oleh Ikatan Advokat Indoesia, juga UU No. 18 Tahun 2003
tentang Advokat.
BAB V
HUKUM ALAM DAN HUKUM POSITIF
Membicarakan hukum alam tidak bisa dilepaskan dari pembicaraan
hukum positif. Sebagaimana dinyatakan W. Friedmann dalam bukunya legal
theory hukum alam, dalam berbagai bentuknya, sebagai satu ungkapan untuk
mencari cita-cita yang lebih tinggi dari hukum positif.
Demikian juga Hans Kelsen, menyatakan adanya dualisme antara
hukum alam dan hukum positif, di dalam bukunya general theory of law and
state. Kelsen, menegaskan bahwa diatas hukum positif yang tidak sempurna,
terdapat hukum alam yang sempurna. Hukum positif baru teruji kebenarannya
bila bersesuaian dengan hukum alam (positive law is justified only insofar as it
corresponds to the natural law).
Perubahan kondisi-kondisi sosial dan politik menyebabkan gagasan
tentang hukum alam pun berubah. Satu-satunya yang masih tetap adalah
tuntutan pada suatu yang lebih tinggi dari hukum positif.
Dalam hukum alam dan hukum positif, keadilan menjadi bagian yang
sering dipersoalkan dalam menemukan tatanan hukum yang lebih baik untuk
mengatur perbuatan manusia. Apakah hukum positif validitasnya tergantung
pada hukum alam, sehingga hukum positif harus sesuai dengan hukum alam ?
48

Filsafat Hukum oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

Atau hukum positif dapat menyimpang dari hukum alam karena validitasnya
berasal dari norma hukum (yang lebih tinggi) itu sendiri atas dasar perintah
penguasa atau negara yang menciptakan norma hukum tersebut?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan coba dijawab dengan menelusuri
ajaran-ajaran hukum alam dan hukum positif dari beberapa ahli hukum pada
zaman kuno sampai zaman modern.
Dari uraian diatas ada dua persoalan yang akan ditelusuri dalam tulisan ini,
yaitu:
A.
AJARAN HUKUM ALAM PADA ZAMAN
YUNANI DAN ROMAWI
Dalam filsafat sebelum Aristoteles hukum alam merupakan aturan
semesta alam, dan sekaligus aturan hidup bersama melalui undang-undang.
Dalam filsafat kaum sofis hukum alam ditafsirkan sebagai hukum dari
yang paling kuat, yang sebetulnya tidak dapat disebut hukum; yang disebut
hukum alam disini, tidak lain daripada kekuasaan dan kekerasan.
Aristoteles merupakan orang yang pertama kali membedakan antara
hukum alam dan hukum positif. Menurutnya, hukum alam adalah suatu
hukum yang berlaku selalu dan di mana-mana karena hubungannya dengan
aturan alam. Hukum ini tidak pernah berubah, tidak pernah lenyap dan
berlaku dengan sendirinya.
Hukum alam ini dibedakan dari hukum positif, yang seluruhnya
tergantung dari ketentuan manusia. Bagi kaum sofis, alam merupakan
sesuatu yang bersifat eksternal, sesuatu yang berada diluar manusia.
Sedangkan Aristoteles, dalam bukunya logikamemandang bahwa dunia
sebagai totalitas yang meliputi seluruh alam. Manusia adalah bagian dari
alam, diberkahi dengan akal yang aktif yang membedakannya dari semua
bagian lain dari alam. Manusia hanya mampu membentuk kehendaknya
sesuai dengan pengertian akalnya. Tesis Aristoteles ini menjadi dasar
konsepsi hukum alam para filsuf Stoa.
Aliran filsafat yang paling mempengaruhi pandangan orang
Romawi mengenai hukum adalah aliran Stoa. Ide dasar Stoa ialah, bahwa
semuanya yang ada merupakan suatu kesatuan yang teratur (kosmos),
berkat suatu prinsip yang menjamin kesatuan itu, yakni jiwa dunia (logos).
Logos itu tidak lain dari Budi Ilahi, yang menjiwai segala.
Aliran ini berpendapat bahwa hidup bersama manusia mempunyai
hubungan dengan logos yakni melalui hukum universal (lex universalis)
yang terdapat dalam segala-galanya. Hukum universal itu terkandung dalam
logos, dan sebagai demikian disebut hukum abadi (lex aeterna). Sejauh
hukum abadi itu menjadi nyata dalam semesta alam, hukum itu disebut
hukum alam (lex naturalis). Hukum alam ini tidak tergantung dari orang,
49

Filsafat Hukum oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

selalu berlaku dan tidak dapat diubah. Hukum alam ini merupakan dasar
segala hukum positif.
Para filsuf Stoa, membedakan antara cita-cita hukum alam yang
nisbi dan absolut. Pada masa kegemilangan hukum alam, tidaklah terdapat
keluarga, perbudakan, hak milik, maupun pemerintahan. Tetapi lembagalembaga ini menjadi penting dengan merosotnya moral umat manusia.
Hukum alam nisbi menuntut dari pembentuk perundangundangan, adanya undang-undang yang dituntun oleh akal, dan sedekat
mungkin pada hukum alam mutlak. Sasaran tertinggi manusia ialah menjadi
manusia yang adil, dengan tunduk kepada hukum alam (nomos) sebagai
pernyataan Budi Ilahi (logos). Undang-undang negara ditaati karena sesuai
dengan hukum alam. Bahkan pemikir-pemikir Stoa berpendapat bahwa
masyarakat manusia dipertahankan dan dikembangkan karena ketaatan akan
hukum alam.
B.
AJARAN HUKUM ALAM PADA ZAMAN
ABAD PERTENGAHAN
St. Thomas Aquinas adalah filsuf terbesar dari aliran Scholastic di
abad pertengahan. Ia menerima pengaruh dari Aristoteles tetapi
menyatakannya dengan dogma agama Kristen sehingga merupakan suatu
sistem pemikiran tersendiri. Thomas Aquinas merumuskan hukum sebagai
peraturan yang berasal dari akal untuk kebaikan umum yang dibuat oleh
seorang yang mempunyai kewajiban untuk menjaga masyarakatnya dan
mengundangkannya. Oleh karena dunia ini diatur oleh tatanan Ketuhanan,
seluruh masyarakat dunia ini diatur oleh akal ketuhanan. Hukum ketuhanan
adalah yang tertinggi. Thomas Aquinas membedakan empat macam hukum,
yaitu: lex aeterna, lex naturalis, lex divina dan lex humana.
Lex aeterna adalah akal keilahian yang menuntun semua gerakan
dan tindakan dalam alam semesta. Hanya sebagian kecil saja dari lex
aeterna yang bisa ditangkap oleh manusia melalui akal pikiran yang
dianugrahkan Tuhan kepadanya.
Bagian yang bisa ditangkap ini disebut sebagai lex naturalis, yang
memberikan pengarahan kepada kegiatan manusia melalui petunjukpetunjuk umum. Petunjuk yang paling dasar adalah, bahwa yang baik harus
dilakukan, sedang yang buruk dihindari. Mengenai apa yang disebut baik,
Thomas Aquinas mengaitkannya kepada apa yang merupakan kecendrungan
alamiah pada manusia. Pertama, adalah insting manusia yang alamiah untuk
mempertahankan hidupnya. Kedua, daya tarik antara kedua jenis kelamin
dan hasrat untuk membesarkan dan mendidik anak-anak. Ketiga, manusia
mempunyai hasrat alamiah untuk mengenal Tuhan dan kecendrungan untuk
menolak ketidaktahuan. Keempat, manusia ingin hidup dalam masyarakat
dan oleh karena itu adalah suatu hal yang alamiah pada manusia untuk
50

Filsafat Hukum oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

menghindari perbuatan yang merugikan orang-orang yang hidup


bersamanya.
Sementara lex divina adalah apa yang tercantum dalam kitab-kitab
suci dan lex humana apa yang tercantum dalam perjanjian-perjanjian Baru
serta Lama.
Dengan demikian hukum alam menurut Thomas Aquinas tidak lain
adalah bagian dari hukum Tuhan, bagian yang diungkapkan dalam fikiran
alam. Manusia sebagai makluk yang berakal, menerapkan bagian dari
hukum Tuhan ini terhadap kehidupan manusia, karenanya ia dapat
membedakan yang baik dan yang buruk. Hal tersebut berasal dari prinsipprinsip hukum abadi, sebagaimana terungkap dalam hukum alam, yang
merupakan sumber dari semua hukum manusia.
Lebih lanjut, Thomas Aquinas membagi konsep hukum alamnya
atas dua jenis sebagai berikut:
1. Principia prima, yaitu asas-asas yang dimiliki oleh manusia sejak lahir
dan tidak dapat diasingkan daripadanya. Oleh karena itu, principia
prima tidak dapat berubah menurut tempat dan waktu.
2. Principia secundaria, yaitu asas yang bersumber dari principia prima,
sebaliknya tidak bersifat mutlak dan dapat berubah pada setiap waktu
dan tempat. Seringkali asas ini dikatakan sebagai penafsiran manusia
dengan menggunakan rasionya terhadap principia prima. Penafsiran ini
bervariasi, dapat baik atau buruk. Suatu penafsiran dapat mengikat
umum jika hukum positif memberikan pada asas-asas ini kekuasaan
mengikat, misalnya dalam bentuk undang-undang.
C.
AJARAN HUKUM ALAM PADA ZAMAN
RENAISSANCE
Pada zaman renaissance ajaran mengenai hukum alam tidak lagi
didasarkan pada paham ketuhanan (scholastik), melainkan didasarkan pada
rasio manusia. Pendasar daripada hukum alam yang rasional adalah Hugo
de Groot atau Grotius. Ia menulis dua buku yang terkenal yaitu De Jure
Belli ac Pacis (tentang hukum damai dan perang) dan Mare Liberium
(tentang hukum laut bebas).
Grotius dipandang sebagai peletak dasar hukum internasional
dengan menyebutnya sebagai hukum bangsa-bangsa (ius gentium). Ius
gentium ini menurut Grotius merupakan hukum alam yang dipraktekkan
oleh segala bangsa.
Menurut Grotius, hukum alam itu bersumber dari rasio manusia,
yaitu merupakan pencetusan dari pikiran manusia apakah sesuatu tingkah
laku manusia itu dipandang baik atau buruk, apakah tindakan manusia itu
dapat diterima atau ditolak atas dasar kesusilaan alam. Sebab penilaian
51

Filsafat Hukum oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

terhadap tingkah laku manusia itu satu dengan lainnya harus didasarkan atas
kesusilaan alam tersebut.
Hukum alam yang didapati manusia berkat kegiatan rasionalnya
dipandang oleh Grotius sebagai hukum yang berlaku secara real sama
seperti hukum positif. Dalam hal ini Grotius menurut tradisi Skolastik.
Namun ia menyimpang dari pandangan Skolastik dengan memastikan,
bahwa hukum alam tetap berlaku, juga seandainya Allah tidak ada.
Sebabnya ialah bahwa hukum alam itu termasuk akal budi manusia sebagai
bagian dari hakekatnya. Dilain fihak Grotius tetap mengaku, bahwa Allah
adalah pencipta semesta alam.
Oleh karena itu secara tidak langsung Allah tetap merupakan
pondamen hukum alam. Dengan demikian Grotius juga mengakui bahwa
disamping hukum alam yang bersumber pada rasio manusia, ada hukum
alam yang bersumber dari rasio Tuhan, misalnya yang terdapat dalam Kitab
Suci. Terhadap hal ini Apeldoorn melihat bahwa Grotius tidak konsekuen
dengan pendapatnya. Dalam De Jure Belli ac Pacis, Grotius mengatakan
bahwa Tuhan adalah pencipta dari alam semesta. Jadi hukum alampun
secara tidak langsung merupakan ciptaan Tuhan juga.
Grotius mengemukakan prinsip rasional pertama dalam bidang
hukum ialah setiap orang mempunyai kecendrungan untuk hidup bersama
orang lain secara damai. Kecendrungan ini ada pada manusia lepas dari
kemauannya. Oleh karena itu kecendrungan ini dapat menjadi dasar yang
objektif seluruh hukum. Sehubungan dengan prinsip ini Grotius
mengemukakan empat prinsip yang merupakan tiang dari seluruh sistem
hukum alam yaitu:
1. prinsip kupunya dan kaupunya. Milik orang lain harus dijaga. Jika
barang-barang yang dipinjam membawa untung, untung itu harus
diganjar;
2. prinsip kesetiaan pada janji;
3. prinsip ganti rugi, yakni kalau kerugian itu disebabkan karena
kesalahan orang lain; dan
4. prinsip perlunya hukuman karena pelanggaran atas hukum alam dan
hukum-hukum lain.
Keempat prinsip ini ditemukan secara a priori sebagai prinsip
segala hukum. Akan tetapi prinsip itu dapat juga ditemukan secara
aposteriori, yakni sebagai kenyataan pada semua bangsa yang beradab.
Selanjutnya Grotius membagi hukum alam dalam arti sempit dan
dalam arti luas. Dalam arti sempit adalah hukum yang sesungguhnya oleh
karena menciptakan hak untuk menuntut, supaya diberikan apa yang
termasuk padanya (facultas). Keadilan yang berlaku dalam bidang ini ialah
keadilan yang melunasinya (penulis: keadilan komutatif). Sementara hukum
52

Filsafat Hukum oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

alam dalam arti luas ialah hukum yang tidak menciptakan hak yuridis,
melainkan hanya suatu hak berupa kepantasan (aptitudo). Keadilan yang
berlaku dibidang ini ialah keadilan yang memberikan (penulis: keadilan
distributif).
Mengenai hubungan hukum alam dan hukum positif Grotius
berpendapat bahwa hukum positif adalah hukum yang berlaku dalam negara
sebab disetujui dan disahkan oleh yang berwibawa. Hukum ini (positif)
tidak boleh melawan hukum alam, yakni tidak boleh menyuruh sesuatu
yang terlarang oleh hukum alam. Tetapi hukum alam sebagai batas hukum
positif boleh dilewati, jika dituntut oleh kepentingan umum negara.
Berlawanan dengan Grotius, Thomas Hobbes tidak menerima
adanya kecendrungan untuk hidup bersama pada manusia. Menurut Hobbes
manusia sejak zaman purbakala seluruhnya dikuasai oleh nafsu-nafsu
alamiah untuk memperjuangkan kepentingannya sendiri.
Oleh karena dalam situasi asli belum terdapat norma-norma hidup
bersama, maka orang primitif mempunyai hak atas semuanya. Maka
timbullah apa yang disebut Hobbes bellum omnium contra omnes, manusia
menjadi srigala bagi manusia lainnya (homo homini lupus). Lama kelamaan
orang mulai sadar akan keuntungan untuk mengamankan hidupnya dengan
menciptakan suatu aturan hidup bersama bagi semua orang yang termasuk
kelompok yang sama.
Untuk mencapai aturan semacam itu semua orang harus
menyerahkan hak-hak asli mereka atas segala-galanya dan harus menuruti
beberapa kecendrungan alamiah yang oleh Hobbes disebut hukum alam
(leges naturales). Hukum-hukum alam ini bukan hukum dalam arti yang
sesungguhnya, tetapi hanya merupakan petunjuk yang harus diikuti jika
tujuan hendak dicapai, seperti petunjuk carilah damai, serahkanlah hak
aslimu, berlakulah terhadap orang lain sebagaimana kau ingin orang lain
berlaku terhadapmu, dan tepatilah janji-janjimu.
Pentingnya prinsip bahwa janji harus ditepati paling menyolok
dalam suatu persetujuan yang oleh Hobbes disebut kontrak asli, yaitu
persetujuan orang-orang dalam suatu kelompok untuk membentuk suatu
hidup bersama dan teratur. Persetujuan sosial yang asli inilah menjadi asal
mula dari negara.
D.
AJARAN HUKUM ALAM PADA ZAMAN
PENCERAHAN
John Locke, seperti halnya Hobbes juga menerangkan timbul
negara dan hukum dengan melukiskan situasi pada zaman primitif. Namun
Locke merupakan penentang teori absolutisme dari Hobbes, dengan
mengemukakan teori tentang hak-hak individu yang tidak bisa dicabut.
53

Filsafat Hukum oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

Pada zaman primitif itu orang-orang hidup menurut hukum-hukum


alam. Hukum-hukum alam meliputi macam-macam bidang, yakni bidang
kehidupan, kesehatan, kebebasan, milik. Dalam bidang kehidupan orangorang memiliki hak untuk hidup, dalam bidang-bidang lain mereka
memiliki hak atas kesehatan, hak atas kebebasan, hak milik dan hak untuk
menjadi waris.
Pelanggaran hak-hak itu dapat dihukum oleh tiap-tiap individu,
sebab pada zaman itu tiap-tiap orang mempunyai kekuasaan hukum alam
yang eksekutif (the executive power of the law of nature). Pada suatu ketika
orang-orang primitif itu beralih dari keadaan asli kepada keadaan sipil.
Dengan beralihnya manusia kepada keadaan sipil hukum alam
primitif tidak lenyap. Hukum itu tetap berlaku, pun pula dalam hubungan
antara negara. Buktinya ialah bahwa semua kontrak hanya berlaku
berdasarkan suatu prinsip hukum alam: janji harus ditepati (keeping of
faith).
Namun supaya negara dapat berfungsi sebagai pengawal hukum,
orang-orang perlu menyerahkan sebagian dari hak-hak primitif mereka
kepada negara, yakni pelaksanaan hak untuk menghukum secara pribadi.
Sejak berdirinya negara bukan orang-orang yang bertugas untuk mengawal
agar hak-hak pribadi dipertahankan, melainkan negara dan tata hukum.
Sehingga tujuan negara tidak lain daripada menjamin hak-hak pribadi
orang-orang. Negara tidak mempunyai kekuasaan untuk mencabut hak-hak
alam dari pribadi manusia.
John Locke menyebutkan ada tiga kekuasaan negara yaitu
kekuasaan legislatif, eksekutif dan federatif. Kekuasaan yang tertinggi
adalah kekuasaan legislatif. Oleh karena kekuasaan itu adalah yang
tertinggi, maka dalam membentuk undang-undang pemerintah hanya harus
tunduk pada hukum alam saja.
Kekuasaan legislatif tidak hanya ditemukan dalam negara.
Sekelompok orang dapat membuat undang-undang untuk hidup bersama
mereka. Tetapi undang-undang itu baru menjadi sah sebagai hukum karena
kekuasaan legislatif negara, yang mampu menentukan sanksi, kalau
undang-undang itu dilanggar.
Namun dilain fihak kekuasaan legislatif pemerintah negara dibatasi,
oleh karena rakyat memiliki kekuasaan yang melebihi kekuasaan legislatif.
Rakyat berhak untuk merebut kembali kebebasan asli, kalau pemerintah
menyalahgunakan kekuasaannya dengan bertindak melawan tujuan negara.
Kekuasaan itu terikat pada hukum alam, yang tetap ada pada rakyat.
Dengan demikian teori hukum alam John Locke mengandung suatu
tendensi revolusioner: bilamana syarat-syarat tertentu tidak dipenuhi oleh
pemerintah, revolusi diperbolehkan.
54

Filsafat Hukum oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

Dalam bukunya De l Esprit de Lois yang kemudian diterjemahkan


kedalam bahasa Inggris menjadi the spirit of laws, Montesquieu
menyatakan bahwa sebelum terdapat semua hukum ini, sudah ada hukum
alam. Hukum alam ini berlaku sepenuhnya dalam keberadaan wujud kita
sendiri.
Untuk mendapatkan pengetahuan yang sempurna mengenai hukum
ini, kita harus membayangkan manusia sebelum terbentuknya masyarakat:
hukum-hukum yang berlangsung dalam keadaan itulah yang merupakan
hukum alam. Yang paling penting, meskipun bukan yang pertama, dari
hukum alam adalah hukum yang membekas dalam pikiran kita yang telah
dijadikan oleh Sang Pencipta agar kita condong kepadanya.
Manusia dalam keadaan alamiah memiliki kecakapan untuk
mengetahui sebelum ia mendapatkan pengetahuan yang diperoleh dari
belajar. Tentu saja ide-ide pertamanya sama sekali bukan ide-ide yang
bersifat spekulatif; ia berpikir untuk mempertahankan kelangsungan dirinya
sebelum ia menyelidi asal mula dirinya.
Montesquieu mengemukakan generasi-generasi hukum alam, yang
bertitik tolak pada keadaan alamiah manusia. Dalam keadaan alamiah
manusia merasa tidak berdaya dan rasa lemah, rasa takut dan kekawatiran
yang berlebihan, sehingga dalam kondisi itu mereka tidak mungkin
menyerang satu sama lain; dengan demikian perdamaian jelas merupakan
hukum alam yang pertama.
Disamping adanya perasaan lemah ini manusia segera mendapati
bahwa dirinya memiliki kebutuhan-kebutuhan. Dari sini satu hukum alam
lainnya mendorong dirinya untuk mencari makanan. Disamping rasa takut
membuat manusia menghindar satu sama lain, namun rasa takut ini juga
mendorong manusia untuk hidup berkelompok. Dalam hidup berkelompok
muncul ketertarikan diantara manusia dari jenis kelamin yang berbeda, dan
kecendrungan alami yang mereka miliki satu sama lainnya ini merupakan
hukum alam yang ketiga. Sementara hukum alam yang keempat muncul
dari hasrat untuk hidup dalam masyarakat.
Di dalam bukunya De lEsprit des Lois (1748) Montesquieu
seringkali menunjukkan dirinya sebagai seorang pembela hukum alam.
Kendatipun demikian ia lebih meletakkan tekanan pada evolusi historis
beraneka ragam tatanan hukum nasional;setiap bangsa mempunyai
hukumnya masing-masing, yang terbentuk dari keadaan masa silamnya,
kebiasaan-kebiasaan dan kesusilaannya, maupun oleh lingkungan alam
sekitarnya (lingkungan geografis, iklim dan sebagainya). Dalam soal ini ia
menyimpang dari hukum alam, dengan menyatakan bahwa hukum semua
bangsa terdiri dari sejumlah aturan-aturan yang diilhami oleh Rasio dan
55

Filsafat Hukum oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

oleh sebab itu berlaku universal dan tidak berubah-ubah yang ingin
dijabarkan sesuai dengan kodrat segala sesuatu didunia ini.
Walaupun demikian Montesquieu tetap melihat adanya hubungan
yang erat antara hukum alam dan situasi konkrit suatu bangsa. Hukum alam
adalah suatu hukum yang berlaku bagi manusia sebagai manusia. Tetapi
bagaimana hukum alam dikonkretkan dalam bentuk negara dan hukum
tergantung dari situasi historis, psikis dan kultural suatu bangsa. Maka
undang-undang yang paling baik adalah undang-undang yang paling cocok
dengan suatu bangsa tertentu.
Berbeda dengan Hobbes, Locke dan Montesquieu, Jean Jacques
Rousseau sama sekali tidak bicara mengenai suatu hukum alam pada
manusia primitif. Hukum alam itu baru terdapat pada orang-orang yang
sudah masuk masyarakat sipil. Melalui kontrak sosial manusia menerima
pengesahan dari hak-haknya sebagai manusia, baik secara moral maupun
secara yuridis.
Kontrak sosial yang membangkitkan masyarakat sipil berasal dari
kehendak semua orang yang semuanya ingin mewujudkan cita-cita
individualnya. Tetapi sesudah timbulnya masyarakat baru cita-cita
individual itu diganti oleh cita-cita umum, yang berasal dari kehendak baru,
yakni kehendak umum (volonte generale) yang kemudian melahirkan tujuan
umum yaitu kepentingan umum. Sehingga kalau dalam masyarakat tertentu
dibentuk undang-undang yang tidak mencerminkan kepentingan umum,
sebab berlakunya tidak sama bagi semua orang, maka undang-undang itu
harus dianggap tidak adil.
Immanuel Kant mempunyai pandangan lain mengenai hukum alam.
Menurutnya hukum alam tidak lain adalah hukum sebab akibat, yang
menentukan alam secara deterministis. Latar belakang pandangan Kant ini
ialah perpisahan antara bidang ada dan bidang harus, bidang akal budi
teoretis dan bidang akal budi praktis.
Prinsip-prinsip aturan hukum termasuk bidang akal budi praktis,
dan karenanya mewajibkan secara otonom. Tetapi aturan hukum sendiri
termasuk bidang akal budi teoretis, oleh karena dialami sebagai gejala alam.
Dalam bidang teoretis ini tidak terdapat kewajiban. Disini hanya berlaku
hukum-hukum alam. Bila hukum termasuk alam, dan dengan ini berada di
luar bidang moralitas, maka dapat dimengerti pula, bahwa kekerasan dan
ancaman boleh digunakan untuk menjaga aturan hukum.
Dengan ditegakkannya aturan hukum secara demikian, maka
dengan tidak langsung aturan moral juga ditunjang. Menurut filsafat Kant
undang-undang harus dibentuk berdasarkan prinsip-prinsip umum hukum,
sebagaimana ditangkap oleh akal budi praktis. Peraturan-peraturan negara
adalah konkretisasi dari prinsip-prinsip umum itu. Sehingga ia menegaskan
56

Filsafat Hukum oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

bahwa hukum hanya menjadi hukum oleh karena berasal dari yang berhak
untuk membentuk hukum, yakni pemerintah.
E.
AJARAN HUKUM ALAM NEO-KANTIAN
Beberapa penganut Kant yang dikenal dengan Neo-Kantian, seperti
Hans Kelsen dan Rudolf Stammler memberikan pendapat mengenai hukum
alam secara berbeda. Dalam menjelaskan peraturan hukum dan hukum
alam, Hans Kelsen menyatakan bahwa peraturan hukum merupakan bentuk
logis dari hukum alam (the rule of law is the logical form of the law of
nature). Seperti halnya peraturan hukum, hukum alampun menghubungkan
dua fakta satu sama lain seperti kondisi dan konsekuensi. Yang dimaksud
dengan kondisi disini adalah sebab, konsekuesi adalah akibat. Bentuk
dasar dari hukum alam adalah hukum kausalitas (the fundamental form of
the law of nature is the law of causality).
Perbedaan antara peraturan hukum dengan hukum alam tampaknya
adalah bahwa peraturan hukum menunjuk kepada manusia dan
perbuatannya, sedangkan hukum alam menunjuk kepada kebendaan dan
reaksi-reaksinya. Namun demikian, perbuatan manusia, juga bisa menjadi
kajian hukum alam asalkan perbuatan manusia juga termasuk fenomena
alam.
Prinsip yang digunakan ilmu (hukum) alam dalam mendeskripsikan
objek-objeknya adalah kausalitas, sementara prinsip yang digunakan ilmu
hukum dalam mendeskripsikan objek-objeknya adalah norma-norma.
Berbeda dengan Kelsen, Stammler sampai kepada suatu pemikiran hukum
alam yang bersifat tidak abadi. Hal ini disebabkan karena dasar dari hukum
alamnya adalah kebutuhan manusia. Karena kebutuhan manusia ini
berubah-ubah sepanjang waktu dan tempat, maka akibatnya hukum alam
yang dihasilkannya juga berubah-ubah setiap waktu dan tempat. Stammler
berpendapat bahwa adil tidaknya sesuatu hukum terletak pada dapat
tidaknya hukum itu memenuhi kebutuhan manusia.
F.
HUKUM ALAM MENURUT MOCHTAR
KUSUMAATMADJA
Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan bahwa hukum bertalian
dengan kehidupan manusia dalam masyarakat, bukan hukum dalam arti
ilmu pasti dan alam yang objeknya benda mati. Dalam hukum positif, objek
yang diaturnya sekaligus merupakan subjek (pelaku). Ini mempunyai akibat
yang penting bagi metode keilmuannya dan penjelasan tentang sebab-akibat
(kausalitas).
Hukum positif yang menjadi objek ilmu hukum positif tidak sepasti
hukum ilmu alam. Sebagai suatu ilmu yang mempelajari hukum positif
sebagai suatu perangkat kaidah yang mengatur manusia dan masyarakat, ia
57

Filsafat Hukum oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

tidak diatur oleh metode ke-ilmuan ilmu pasti dan alam, melainkan oleh
metode ke-ilmuan humanities (humaniora).
Hukum positif yang mengatur perilaku (tingkah laku) manusia yang
bukan benda mati melainkan makluk hidup yang mempunyai pikiran dan
kemampuan membedakan antara yang baik dan buruk (etika), mempunyai
konsekuensi tidak saja bagi metode keilmuannya tetapi juga bagi kausalitas.
Dari penjelasan Mochtar Kusumaatmadja tersebut jelas dapat dilihat bahwa
ia membedakan antara hukum positif dan hukum alam itu secara tajam dan
yang terpenting menurutnya bagi manusia adalah hukum positif.
G.

HUKUM ALAM SEBAGAI METODE DAN


HUKUM ALAM SEBAGAI SUBSTANSI
Mengutip Dias, Satjipto Rahardjo mengemukakan berbagai
anggapan atas hukum alam, yaitu:
1.
merupakan ideal-ideal yang menuntun perkembangan
hukum dan pelaksanaannya;
2.
suatu dasar dalam hukum yang bersifat moral, yang
menjaga jangan sampai terjadi suatu pemisahan secara total antara
yang ada sekarang dan yang seharusnya;
3.
suatu metoda untuk menemukan hukum yang
sempurna;
4.
isi dari hukum yang sempurna, yang dapat
didedusikan melalui akal; dan
5.
suatu kondisi yang harus ada bagi kehadiran hukum.
Dari anggapan diatas, hukum alam dapat dibedakan atas hukum
alam sebagai metode dan hukum alam sebagai substansi. Sebagai metoda
hukum alam merumuskan dirinya pada usaha untuk menemukan metoda
yang bisa dipakai untuk menciptakan peraturan-peraturan yang mampu
untuk menghadapi keadaan yang berlain-lainan.
Dengan demikian ia tidak mengandung norma-norma sendiri,
melainkan hanya memberi tahu tentang bagaimana membuat peraturan yang
baik. Sementara hukum alam sebagai substansi justru berisi norma-norma.
Dalam anggapan ini, orang bisa menciptakan sejumlah besar peraturanperaturan yang dialirkan dari beberapa asas yang absolut, yang lazim
dikenal sebagai hak-hak asasi manusia.

58

Filsafat Hukum oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

BAB VI
TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN
Di dalam beberapa literatur terdapat berbagai perumusan tentang
pengertian hak dan kewajiban. Mengenai pengertian hak, perumusan yang
banyak diikuti berasal dari Salmond yang antara lain mendefinisikan hak itu
sebagai kepentingan yang diakui dan dilindungi oleh hukum. Memenuhi
kepentingan itu merupakan suatu kewajiban, sedangkan melalaikan adalah suatu
kesalahan. Suatu hak, karena itu menghartuskan kepada mereka yang terkena
untuk melakukan suatu perbuatan atau tidak melakukan perbuatan. Hak ini
berhubungan dengan suatu obyek tempat perbuatan yang terkait.
Allen, merumuskan hak itu sebagai suatu kekuasaan berdasarkan
hukum yang dengannya seseorang dapat melaksanakan kepentingannya.
Jhering pun mengemukakan pandangan yang tidak berbeda dengan rekanrekannya di atas bahwa hak itu adalah kepentingan yang dilindungi oleh hukum.
Sedangkan Holland melihat hak itu sebagai kemampuan seseorang untuk
mempengaruhi perbuatan atau tindakan seseorang tanpa menggunakan
wewenang yang dimilikinya, tetapi didasarkan atas suatu paksaan masyarakat
yang terorganisasi.
A. Kesalahan (Wrongs)
A.K. Sarkar (1979:81), sebelum membahas hak dan kewajiban,
mengulas terlebih dahulu pengertian salah atau kesalahan (wrong). Menurut
pendapatnya, yang dimaksudkan dengan salah atau kesalahan itu adalah
perbuatan yang bertentangan dengan atau melanggar ketentuan mengenai hak
dan keadilan. Kesalahan itu terdiri dari salah di sisi moral (etik) dan salah
menurut hukum.
Salah di sisi moral atau lazim disebut kesalahan alamiah (natural
wrong) adalah perbuatan yang secara moral atau alamiah adalah salah, yaitu
perbuatan yang dianggap bertentangan dengan hukum (keadilan) alam. Salah di
sisi hukum, sebaliknya, adalah perbuatan yang dinilai salah oleh pihak yang
berwenang, yaitu yang bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku.
Oleh karena itu, dinilai salah oleh dan demi pelaksanaan administrasi keadilan
yang diselenggarakan oleh negara.
59

Filsafat Hukum oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

Kesalahan yang berupa salah di sisi moral dapat atau tidak dapat
dinyatakan salah menurut hukum. Dalam beberapa kasus, kesalahan menurut
peraturan perundangan seringkali ditandai dengan hukuman fisik yang
dijatuhkan oleh negara. Hanya perlu diperhatikan bahwa adanya hukuman itu
bukan merupakan ciri utama. Yang menjadi ukuran ialah perbuatan itu jelas
bertentangan atau melanggar hukum.
Mengenai pengertian hak, A.K. Sarkar dengan mengikuti pendapat
Salmond, merumuskannya, sebagai yang berkenaan dengan kepentingankepentingan dan sesungguhnya telah dirumuskan sebagai hak-hak yang
dilindungi oleh ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang hak, yaitu oleh
moral atau ketentuan hukum.
B. Hak Atas Dasar Moral dan Hukum
Hak, sama halnya dengan kesalahan dan kewajiban, bersifat moral atau
hukum. Hak dari segi moral merupakan suatu kepentingan yang diakui dan
diatur oleh suatu ketentuan moral suatu kepentingan yang pelanggaran
terhadapnya akan dikatakan sebagai kesalahan dari segi moral, dan menaatinya
dikatakan sebagai kewajiban moral. Hak dari segi hukum merupakan
kepentingan diakui dan dilindungi oleh suatu peraturan perundangan yang
pelanggaran terhadapnya akan merupakan kesalahan dari segi hukum.
Hendaknya diperhatikan bahwa jika suatu kepentingan dijadikan
subyek dari hak menurut hukum, maka haruslah dipenuhi persyaratan, bukan
saja kepentingan itu dilindungi oleh hukum, melainkan juga harus diakui
olehnya. A.K. Sarkar memberi contoh tentang kepentingan yang dimiliki oleh
binatang ternak, ada di antaranya yang diatur dan dilindungi oleh undangundang sepanjang kemungkinan terjadinya kekejaman terhadapnya merupakan
perbuatan yang dapat dihukum. Akan tetapi, binatang-binatang ini tidak
memiliki hak-hak seperti manusia. Kewajiban yang dilaksanakan terhadap
binatang itu bukanlah merupakan kewajiban hukum, malinkan hanya kewajiban
kemanusiaan biasa.
Berkaitan dengan masalah hak dan kewajiban ini sering
dipertentangkan sejauh mana hubungan di antara hak di satu pihak dan
kewajiban di lain pihak. Di dalam literatur terdapat dua pandangan mengenai
masalah ini. Yang pertama berpendapat bahwa tidak akan ada hak tanpa adanya
kewajiban terhadapnya, atau sebaliknya. Sebagai contoh, jika saya memiliki hak
terhadap seseorang, maka orang ini mempunyai kewajiban tertentu kepada saya.
Juga, misalnya kalau saya berkewajiban, katakanlah melakukan perbuatan
tertentu kepada seseorang, orang ini memiliki hak tertentu pada saya. Ini berarti
bahwa setiap hak memiliki vinculum juris, yaitu kewajiban hukum yang
mengikat. Kedua bahwa terdapat perbedaan di antara kewajiban relatif dan
kewajiban yang mutlak.
60

Filsafat Hukum oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

Hakikat hak ialah selalu melihat pada seseorang. Jika kewajiban itu
ditujukan pada masyarakat pada umumnya atau pada kelompok masyarakat, ini
berarti bahwa hak itu tidak melekat pada orang tertentu. Kewajiban yang
dilakukan bersifat relatif. Lain halnya pada yang bersifat mutlak. Seseorang
yang berutang wajib membayar utangnya kepada yang berpiutang. Kewajiban
ini mutlak harus dilakukan. Kewajiban yang bersifat relatif, yaitu misalnya
kewajiban seseorang untuk mencegah terjadinya gangguan terhadap keamanan
masyarakat, dapat dilakukan atau tidak. Tidak terdapat secara hukum yang
mengharuskan perbuatan itu dilakukan.
Menurut Salmond, terdapat beberapa karakteristik atau ciri dari hak
yang diatur oleh hukum, yaitu:
a.
Melekat pada seseorang. Orang ini disebut sebagai pemilik hak (the
owner of the right) atau pemegang hak (the subject of it, the person entitled,
or the person inherence).
b.
Seseorang yang terkena oleh hak itu terikat oleh suatu kewajiban
tertentu. Orang ini disebut memiliki kewajiban (the person bound to) atau
subyek dari kewajiban (the subject of duty atau the person of incidence).
c.
Hak ini mewajibkan seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan
suatu perbuatan bagi kepentingan pemegang hak. Inilah yang merupakan isi
suatu hak.
d.
Melakukan atau tidak melakukan perbuatan tadi berkaitan dengan suatu
obyek tertentu (object or the subject matter of the right).
e.
Setiap hak memiliki title atau fakta-fakta atau peristiwa-peristiwa yang
atas dasar itu hak tersebut melekat pada seseorang.
Sehubungan dengan ciri-ciri hak yang diatur oleh hukum itu, A.K.
Sarkar menjelaskan lebih lanjut dengan sebuah contoh: A.membeli sebidang
tanah dari B. A adalah subyek pemegang hak. Para pihak yang terikat untuk
melakukan kewajiban adalah pihak-pihak pada umumnya, sebab ini merupakan
hak yang ditujukan kepada dunia. Isi hak terdiri dari hal yang tidak ada sangkut
pautnya dengan penggunaan secara eksklusif tanah tadi oleh pihak pembeli.
Yang menjadi obyek transaksi ini adalah tanah. Dan akhirnya, title dari hak ini
bersumber dari pemilik lama.
Dari contoh di atas, nyatalah bahwa setiap hak mengandung tiga
hubungan yang berkaitan:
a.
Hak yang meletakkan kewajiban pada seseorang atau beberapa orang;
b.
Kewajiban itu berupa melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan
oleh seseorang atau beberapa orang.
c.
Terdapat obyek tempat perbuatan atau tidak melakukan perbuatan itu
berkaitan.
C. Macam-macam Hak
61

Filsafat Hukum oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

Apa yang terurai di atas adalah hak dalam arti sempit (strictest sense);
artinya, setiap hak akan berhadapan dengan kewajiban. Dalam artinya yang luas
(wider sense), hak di sini tidak selalu disertai dengan keharusan adanya
kewajiban. Hak dirumuskan sebagai faedah atau keuntungan yang diperoleh
seseorang berdasar atas ketentuan hukum. Dikenal empat macam hak yang
tergolong ke dalam jenis ini:
a.
hak dalam arti sempit,
b.
kebebasan-kebebasan (liberties),
c.
kekuasaan (power),
d.
kekebalan (immunities).
Hak dalam arti sempit, sebagaimana telah disinggung di atas, akan
meletakkan suatu kewajiban bagi yang terkena oleh hak itu. Hak yang berupa
kebebasan akan melahirkan tidak ada hak (no rights), sedangkan yang berupa
kekuasaan akan berhadapan dengan pertanggungjawaban (liabilities). Yang
terakhir yaitu kekebalan, korelasinya ialah ketidakmampuan (disabilities).
1. Kebebasan dan Tanpa Hak
Salah satu hak dalam arti luas ini dikenal juga dengan istilah lisensi
(licences) atau hak istimewa (priveleges). Kebebasan ini merupakan suatu
keistimewaan yang bersumber dari tidak diperlakukannya suatu perbuatan
untuk memenuhi kewajiban tertentu terhadap pemegang hak. Oleh A.K.
Sarkar, dijelaskan dengan contoh sebagai berikut: Saya memiliki suatu hak
(dengan kata lain, saya memiliki kebebasan) untuk melakukan sesuatu
sesuai dengan keinginan saya, tetapi saya tidak mempunyai hak dan
kebebasan dalam hal ikut campurnya hak dan kebebasan yang dimiliki oleh
orang lain. Saya memiliki hak (dalam arti kebebasan) untuk mengemukakan
pendapat, tetapi saya tidak memiliki kebebasan untuk memfitnah atau
menghasut.
2. Kekuasaan dan Pertanggungjawaban
Kekuasaan dapat dirumuskan sebagai kemampuan yang dimiliki
seseorang atas dasar ketentuan hukum untuk mengubah menurut
kehendaknya, hak-hak, kewajiban-kewajiban, pertanggungjawaban, atau
hubungan-hubungan hukum lainnya, apakah oleh dirinya sendiri atau oleh
pihak lain. Kekuasaan dapat berupa kekuasaan yang bersifat publik berada
di tangan seseorang sebagai wakil atau alat dari fungsi-fungsi negara, tediri
dari berbagai bentuk badan perwakilan (legislatif), kehakiman (judicial),
dan pemerintahan (executive authority).
Sebaliknya kekuasaan yang bersifat privat atau perdata adalah
kekuasaan yang melekat pada seseorang yang dapat digunakan sesuai
dengan keinginannya. Kekuasaan itu dapat berupa kemampuan untuk
menentukan hubungan hukum dari pihak lain, atau kemampuan untuk
62

Filsafat Hukum oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

melakukan hubungan hukum sendiri. Yang pertama disebut otoritas,


sedangkan yang kedua disebut kapasitas. Beberapa contoh dari kekuasaan
ialah hak untuk membuat testamen, mengasingkan hak milik,
menggadaikan, kekuasaan untuk menuntut, kekuasaan untuk membantu
suatu kontrak karena adanya penggelapan, dan lain-lain. Bedanya dengan
hak dalam arti sempit di atas ialah, kekuasaan yang dimiliki seseorang di
sini tidak menyebabkan timbulnya kewajiban di pihak lain. Dalam hal
kekuasaan untuk membuat testamen, tidak seorang pun dikenai kewajiban
untuk melaksanakan testamen tadi.
Juga dalam kasus-kasus lainnya, keuasaan ini tidak sama dengan
kebebasan. Jika seseorang memiliki hak untuk membuat testamen, tidak
berarti bahwa dia tidak terlepas dari kesalahan. Ini berarti dia dapat
membuat testamen secara efektif. Sebagai yang berkaitan dengan kekuasaan
ialah pertanggungjawaban. Pertanggungjawaban ini adanya kekuasaan yang
melekat pada orang lain. Ini merupakan kedudukan seseorang yang hakhaknya dari segi hukum (dalam arti lebih luas) dapat diubah atas dasar
penerapan kekuasaan tadi. Sebagai contoh misalnya, pertanggungjawaban
seorang penyewa untuk mendapatkan sewa yang ditentukan oleh re-entry,
seorang pemegang gadai untuk memperoleh milik yang dijual oleh yang
menggadaikan.
3. Kekebalan dan Ketidakmampuan
Istilah hak memiliki arti yang keempat, yaitu sebagai kekebalan
terhadap kekuasaan atas dasar hukum yang dimiliki orang lain.
Sebagaimana kekuasaan yang merupakan kemampuan yang diberikan oileh
hukum untuk mengubah hubungan-hubungan hukum, juga kekebalan
merupakan kekecualian dari adanya hubungan hukum tertentu yang diubah
oleh yang lain. Hak seorang bangsawan untuk diadili oleh para
bangsawannya misalnya, adalah bukan merupakan hak dalam artinya yang
sempit., juga bukan kebebasan, bukan suatu kekuasaan. Ini merupakan
suatu kekecualian dari pengadilan yang dilahirkan oleh para juri, yaitu suatu
kekebalan dari peradilan kriminal biasa.
Ketidakmampuan (disability, lazim juga disebut inability atau no
power) tidak berarti memiliki kekuasaan. Sebagai contoh misalnya: orang
yang tidak memiliki kemampuan ini ialah tidak dapatnya orang ini
mengasingkan benda yang bukan miliknya (nemo dat quod non habet).
Dari keempat klasifikasi, yang pertama yaitu terdiri dari hak yang
berkaitan dengan kewajiban adalah merupakan hak yang terpenting.
Demikian berperannya sehingga dapat dikatakan sebagai materi utama dari
hukum, sedang yang lainnya dinilai tidak begitu penting (asesori).
D. Hak-hak Dari Segi Hukum
Terdapat macam-macam hak dari segi hukum, yaitu:
63

Filsafat Hukum oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

1. Hak yang Sempurna dan Tidak Sempurna. Hak yang sempurna adalah hak
yang ditandai oleh pemenuhan kewajiban yang sempurna pula. Sedangkan
kewajiban yang sempurna adalah kewajiban yang bukan saja diatur,
melainkan dapat dipaksakan oleh hukum. Hak yang tidak sempurna adalah
hak yang juga dikenal dan diatur oleh hukum, namun tidak dapat
dipaksakan. Sebagai contoh misalnya: hak untuk menuntut yang hilang
karena kadaluwarsa atau sebab-sebab lain, misalnya hilangnya dokumen
penting yang dapat digunakan sebagai bukti tuntutan.
2. Hak yang Bersifat Positif dan Negatif. Hak yang positif melahirkan
kewajiban positif. Ini merupakan suatu hak di mana seseorang yang
memiliki kewajiban akan melakukan perbuatan yang bersifat positif atas
nama orang yang berhak tadi. Sebaliknya hak yang negatif akan
menyebabkan timbulnya kewajiban yang negatif pula. Hak yang negatif
merupakan hak di mana orang yang terikat akan menahan diri untuk tidak
melakukan sesuatu perbuatan yang akan menimbulkan prasangka kepada
pemegang hak. Hak yang bersifat positif akan secara positif
menguntungkan, sedangkan yang bersifat negatif merupakan hak untuk
tidak merugikan.
3. Hak In Rem dan Hak In Personam. Hak In rem ini sering juga disebut
hak yang kongkret, merupakan kewajiban yang dikenakan pada orangorang pada umumnya. Hak In Personam juga disebut hak perseorangan,
merupakan kewajiban yang dibebankan kepada seseorang tertentu. Hak in
rem dapat dipakai dari dunia luas, sedangkan hak in personam hanya
terbatas pada seseorang tertentu. Hak saya untuk secara aman dan damai
menyelenggarakan tanah pertanian saya merupakan hak in rem, sebab
semua orang di dunia berkewajiban untuk tidak mengganggu kedamaian
tersebut. Akan tetapi bila saya menyewakan tanah tersebut kepada seorang
penyewa, hak saya untuk memperoleh uang sewa daripadanya merupakan
hak in personam. Dengan alasan yang sama, hak saya untuk memiliki dan
menggunakan uang saya di dalam dompet saya merupakan hak in rem,
tetapi hak saya untuk menerima uang dari seseorang yang berutang kepada
saya adalah hak in personam. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hak
in rem merupakan kepentingan yang dilindungi terhadap seorang tertentu.
Selain itu dikenal pula istilah jus in rem yang berarti hak terhadap atau
mengenai suatu benda, sedangkan jus in personam merupakan hak terhadap
atau mengenai seseorang. Bagaimanapun nyatanya, setiap hak itu dalam
waktu yang bersamaan adalah mengenai benda atau disebut juga obyek, dan
terhadap seseorang yang disebut orang yang terikat. Dengan kata lain,
setiap hak itu berkaitan bukan saja dengan suatu hubungan yang riil,
melainkan juga hubungan yang personal (pribadi). Satu hal penting yang
perlu diketahui ialah adanya satu bentuk penting jus ad rem. Jus ad rem
64

Filsafat Hukum oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

4.

5.

6.

7.

8.

adalah adalah hak terhadap hak. Hak yang akan dialihkan dapat berupa in
rem atau in personam, walau yang umum bersifat in rem. Suatu persetujuan
untuk menandatangani suatu harta melahirkan jus ad jus in rem, suatu
persetujuan untuk menandatangani suatu kredit atau kontrak menimbulkan
suatu jus ad jus in personam.
Hak Milik dan Hak-hak Perseorangan. Agregat dari hak milik seseorang
mengatur tanah miliknya aktivitasnya atau hak miliknya, keseluruhan
jumlah hak ini menimbulkan status atau kondisi pribadi. Jika ia memiliki
tanah, peralatan meja kursi, saham-saham dalam suatu perusahaan, itikad
baik dalam suatu usaha dagang, semua ini melahirkan hak milik. Dan jika
dia seorang warga negara yang bebas, seorang ayah atau suami, hak-hak
yang dimilikinya melahirkan staus dan kedudukan menurut hukum.
Hak-hak In Re Propria dan Inre Aliena. Hak itu dapat dibagi atas dua
jenis, yaitu jura in re propria (hak terhadap miliknya sendiri) dan jura in re
aliena (hak terhadap milik orang lain). Jura in re aliena disebut juga
encumbrances. Hak yang in re aliena ini merupakan suatu hak yang berasal
dari beberapa hak pada umumnya yang dimiliki orang lain mengenai hal
atau obyek yang sama. Hak-hak lainnya disebut jura in re propria. Contoh
encumbrances misalnya sewa-menyewa (leases), servitudies (servitut),
securities, dan trust.
Hak yang Pokok (Principal) dan Tambahan (Accessory). Sebagai contoh,
misalnya suatu jaminan adalah hak tambahan kepada hak mengenai
jaminan; suatu servitut merupakan tambahan kepada pemilikan terhadap
tanah, yang dengan itu yang bersangkutan dapat menarik manfaatnya.
Hak yang Primer dan Hak yang Bersanksi. Pada uraian terdahulu telah
dikemukakan bahwa hak yang disertai sanksi terjadi karena adanya suatu
kesalahan, yaitu pelanggaran terhadap hak yang lain. Hak yang primer
memiliki sumber yang berbeda dengan kesalahan. Hak ini dapat berupa hak
in rem dan hak in personam. Akan tetapi hak yang memiliki sanksi ini, yang
bersumber dari hak primer, pada semua kasus akan merupakan hak in
personam. Hanya terhadap orang tertentu sanksi itu dapat diberlakukan.
Jadi, harus merupakan hak in personam.
Hak Atas Dasar Hukum dan Atas Dasar Keadilan (Legal and Equitable
Rights). Pada masa dahulu di Inggris yang disebut hak atas dasar hukum itu
adalah hak-hak yang diakui oleh peradilan Common Law (hukum adat),
sedangkan hak-hak atas dasar keadilan ialah yang diakui hanya oleh
peradilan Chancery (kekanseliran). Walaupun kemudian legal dan equity itu
disatukan atas dasar Judicature Act, 1873, perbedaan antara hukum dan
equity itu tetap berlangsung dan harus dianggap sebagai merupakan bagian
dari sistem hukum Inggris. Walaupun semua hak itu (baik legal maupun
equity) sekarang ini tetap diakui dan dikenal di semua poeradilan yang ada,
65

Filsafat Hukum oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

perbedaan di antara keduanya tetap memegang peranan penting. Sebagai


contoh, misalnya suatu hipotek atas tanah harus dilakukan dengan suatu
akta (deed), tetapi hipotek yang atas dasar keadilan (equitable) dapat
dilakukan atas dasar suatu perjanjian atau kontrak tertulis atau
mendepositokan title dari akta (deed) itu.
a.
Tentang Kewajiban (Duty)
Dalam hubungannya dengan pembahasan tentang hak di atas telah
disebut berulang-ulang kata kewajiban (duty). Perlu dijelaskan bahwa yang
dimaksud dengan kewajiban ini ialah perbuatan yang seseorang harus
melakukannya; perbuatan yang bertentangan dengannya adalah kesalahan.
Menyuruh melakukan kewajiban kepada seseorang berarti mengklaim
bahwa orang itu harus melakukan suatu perbuatan tertentu. Seseorang
dapat memiliki berbagai kewajiban disebabkan oleh kedudukannya. Sebagai
contoh misalnya, seorang pembantu rumah tangga atau seorang anak.
Namun, harus diingat bahwa tidak semua perbuatan itu merupakan
pemenuhan suatu kewajiban.
Seperti kesalahan, kewajiban pun tertdiri dari dua bentuk, yaitu
kewajiban atas dasar moral dan kewajiban berdasar hukum. Keduanya dapat
bersamaan atau berbeda.
b.
Hak Dalam Literatur Indonesia atau Eropa Kontinental
Dalam literatur Indonesia dan negeri Belanda, tentang hak dibahas
dalam kerangka hukum obyektif dan hukum subyektif. Yang dimaksud
dengan hukum obyektif adalah ketentuan yang mengatur hubungan antara
dua orang atau lebih (Apeldoorn, 1971:45). Sedangkan hukum subyektif
ialah hubungan yang diatur obyektif. Setiap hubungan hukum itu
menimbulkan hak di satu pihak dan kewajiban di lain pihak.
Mengenai soal hak ini terdapat berbagai teori dan pendapat yang
perlu dibahas lebih lanjut. Di Jerman sekitar abad ke-19 dikenal tiga teori
penting tentang hak yang masih berlaku atau berpengaruh hingga saat ini.
Teori-teori itu ialah:
1) teori kepentingan (belangen theorie),
2) teori kekuatan (wilsmachts theorie atau wilsheerschappij theorie),
3) teori fungsi sosial.
Teori kepentingan diwakili oleh Rudolf von Jhering (1904).
Menurut dia, hak itu adalah sesuatu yang penting bagi seseorang. Hak ini
diakui dan dilindungi oleh hukum. Oleh karena itu, hak adalah kepentingan
yang tertinggi, memiliki kewajiban untuk melindungi kepentingan yang
berhak.
Teori kekuatan dipelopori oleh von Savigny dan Bernhard
Winchheid (1891). Teori ini berpendapat bahwa hak adalah suatu kehendak
66

Filsafat Hukum oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

yang dilengkapi dengan kekuatan. Atas dasar kehendak ini seorang berhak
atas sesuatu.
Teori fungsi sosial dikembangkan oleh Leon Duguit. Hak adalah
fungsi sosial dalam arti bahwa kekuasaan yang dimiliki seseorang dibatasi
oleh kepentingan masyarakatnya. Menurut kata-kata Duguit (Apeldoornm
1971:50): Perseorang tak mempunyai hak, tetapi tiap-tiap orang
mempunyai tugas yang tertentu dalam masyarakat, fungsi sosial yang harus
dipenuhinya.
c.
Hak Masa Kini
Bahwa pada abad modern ini hak yang dimiliki individu itu
semakin dibatasi dan terjadi transformasi hukum ke arah sosialisasi hukum
yang aktual, dikemukakan oleh Roscoe Pound sebagai berikut:
1) Pembatasan penggunaan hak milik;
2) Pembatasan terhadap kebebasan untuk melakukan kontrak;
3) Pembatasan atas kekuasaan seseorang untuk mengasingkan hak
miliknya;
4) Pembatasan terhadap kekuasaan dari kreditur atau pihak yang dirugikan
untuk mendapat jaminan yang memuaskan;
5) Transformasi tentang pemikiran yang mendasar, pertanggungjawaban
ke arah yang lebih obyektif;
6) Putusan-putusan peradilan yang menyangkut kepentingan-kepentingan
sosial dengan cara membatasi ketentuan umum demi terciptanya
manfaat yang bersifat kebijaksanaan yang fleksibel;
7) Dana umum digunakan untuk mengganti kerugian-kerugian yang
diderita individu, dilakukan oleh badan-badan publik;
8) Penerapan perlindungan terhadap para anggota keluarga.

67

Filsafat Hukum oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

BAB VII
HAK MILIK
A. Pengertian Hak Milik
Hak milik adalah hubungan antara seseorang dengan suatu benda
yang membentuk hak pemilikan terhadap benda tersebut. Hak ini
merupakan suatu himpunan hak-hak yang kesemuanya merupakan hak in
rem. Hak ini terdiri dari:
1.
Hak untuk memiliki sesuatu. Pemilik berhak untuk memiliki
suatu benda yang dimilikinya. Benda ini barangkali telah dicuri,
diberikan kepada seseorang untuk sementara waktu atas dasar
pinjaman, digadaikan, dan lain-lain. Bagaimanapun, pemilik dapat
menguasai kembali bendanya dalam hal hubungan tersebut di atas telah
selesai. Dalam beberapa kasus tertentu, pemilik dapat mengajukan
tuntutan atau gugatan untuk mengembalikan barang miliknya.
2.
Hak untuk menggunakan dan menikmati. Pada dasarnya
pemilik dapat menggunakan dan menikmati barang miliknya sesuka
hatinya.
3.
Hak untuk memakai,
mengasingkan atau bahkan
membinasakan.
4.
Waktu yang terbatas. Pemilikan ini tak terbatas waktunya.
Sebaliknya, mereka yang mendapat hak penguasaan yang bersifat
sementara, memiliki waktu yang terbatas. Jika kontrak sewa berakhir,
dia harus mengembalikan haknya kepada pemilik benda yang disewa,
dan sebagainya. Kepentingan pemilik terhadap benda miliknya, juga
tidak terhenti oleh kematian dirinya. Hak milik itu akan diwariskan
sesuai dengan undang-undang kewarisan yang berlaku atau atas dasar
syarat-syarat yang termuat dalam testamen.
5.
Pemilikan juga mempunyai sifat sisa dalam arti bahwa
walaupun hak penguasaan telah diserahkan kepada pihak lain karena
kontrak sewa, misalnya, hak-hak yang tersisa terhadap benda tersebut
tetap melekat pada pemilik. Namun, harus diingat bahwa kekuasaan
yang dimiliki pemilik terhadap benda miliknya tidaklah bersifat mutlak.
Ini berarti bahwa jika saya memiliki pistol, tidak berarti bahwa saya
68

Filsafat Hukum oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

mempunyai hak untuk membunuh siapapun menurut kehendak hati


saya. Oleh karena itu, walau pemilikan ini tidak dapat dipertengkarkan,
masih juga penggunaannya mungkin dibatasi oleh hukum yang berlaku.
B. Tentang Hak Pemilikan
Kekayaan seseorang terdiri dari tanah dan barang. Ini merupakan
pemilikan yang bersifat material. Akan tetapi kekayaan material ini dapat
pula berupa kepentingan-kepentingan pada tanah-tanah milik orang lain,
utang-utang, saham-saham pada beberapa perusahaan, hak-hak paten, hak
cipta, dan sebagainya. Kesemua ini bukan berbentuk material, melainkan
berbentuk hak-hak. Jadi, hal yang menjadi obyek pemilikan ini bisa
berbentuk suatu hak dan bisa bersifat material.
Benda (material) dan hak apa yang menjadi obyek pemilikan ini,
bergantung pada hukum yang berlaku. Ada hukum yang membenarkan
perbudakan, dan ada pula yang melarangnya. Udara, air, bintang-bintang di
langit matahari,dan bulan, bukan merupakan obyek pemilikan. Akan tetapi
hukum dapat membuka kemungkinan bagi negara untuk mengharuskan
seseorang membayar retribusi bagi manfaat yang diterimanya karena
digunakannya benda-benda alam yang di sebut di atas.
C. Pemilikan Sendiri dan Milik Bersama
Biasanya sebuah benda dimiliki seseorang dalam satu waktu
tertentu. Pemilikan oleh dua atau lebih orang terhadap satu benda tadi
dimungkinkan. Pemilikan bersama (partner) adalah orang yang ikut serta
memiliki apakah saham-saham, uang sewa, piutang-piutang, dan lain-lain.
Apabila kemudian masing-masing partner itu memiliki secara terpisah
benda-benda atau hak-hak tadi, maka dengan sendiri menjadi pemecahan
pemilikan bersama. Sekarang masing-masing merupakan pemilik tunggal
dari harta benda atau hak-hak yang sudah dipecah tadi. Jadi, nyatalah
bahwa ciri atau ukuran utama adanya pemilikan bersama (co-ownership) itu
ialah adanya kesatuan yang tak terpisahkan dari benda atau hak yang
dijadikan milik bersama itu.
Seperti diketahui, pemilikan bersama hanya dimungkinkan apabila
terdapat undang-undang yang mengaturnya, yaitu berisi ketentuanketentuan dalam hal kemungkinan timbulnya perselisihan di antara pemilik
bersama itu. Di Inggris dikenal adanya dua bentuk pemilikan bersama, yang
pertama disebut common ownership, dan yang kedua disebut joint
ownership. Perbedaan di antara kedua bentuk pemilikan bersama ini ialah
bila salah seorang dari common ownership itu meninggal dunia, maka
haknya akan beralih kepada ahli warisnya. Sedangkan pada bentuk joint
ownership, hak itu akan berpindah kepada pemilik bersama yang lain yang
masih hidup atas dasar ketentuan hak bagi mereka yang masih hidup atau
jus accrescendi.
69

Filsafat Hukum oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

Selain kemungkinan adanya pemilikan bersama atas suatu benda


atau hak yang melekat padanya, terdapat pula bentuk pemilikan yang hak
pemilikannya dipecah di antara beberapa orang pada masa-masa yang telah
direncakan. Sebagai contoh misalnya, seorang ayah memberikan hak
pemilikan atas sebidang tanah kepada anaknya yang pertama untuk seumur
hidupnya. Hak ini kemudian akan beralih kepada anaknya yang kedua bila
anak pertama tadi meninggal dunia, begitu seterusnya kepada anak-anaknya
yang lain. Dalam kasus ini, tidak seorang anak pun yang dapat menjadi
pemilik tunggal tanah tadi atau menjadi pemilik bersama.
Dalam hal hak memiliki ini dikenal adanya apa yang disebut
sebagai hak pemilikan dari segi hukum (legal ownership) dan hak
pemilikan menurut equity (equitable-ownership). Menurut latar belakang
sejarahnya, hak yang pertama yaitu dari segi hukum, bersumber pada
ketentuan common law di Inggris, sedangkan yang kedua berasal dari rules
of equity. Walaupun kemudian pada tahun 1873 dengan adanya Judicature
Act, 1873, yang menyatukan peradilan Chancery kepada common law
(berarti pengintegrasian hukum dan equity), perbedaan di antara hak
pemilikan atas dasar hukum dan atas dasar equity itu tetap hidup. Ini
berlainan dengan hak-hak yang bersumber dari hukum dan yang berasal
dari equity yang telah dijelaskan pada bagian terdahulu.
Pemilikan dapat pula bersifat sempurna (vested) dan tidak
sempurna (sebagian, contingent). Pemilikan itu bersifat sempurna apabila
title dari si pemilik itu lengkap (sempurna. Disebut tidak sempurna jika
titelnya tidak lengkap. Namun, dapat disempurnakan dengan dipenuhinya
beberapa syarata tertentu. Pada bentuk yang pertama, dia memiliki hak
sepenuhnya, sedangkan pada bentuk kedua, pemilikan hak yang penuh itu
akan terjadi jika syarat-syarat yang dikehendaki dipenuhinya. Sebagai
contoh: Seseorang membuat testament yang berisi penyerahan harta
bendanya kepada istrinya sepanjang hayatnya, dan jika kemudian istri itu
meninggal, harta itu diserahkan kepada A jika ternyata si A masih hidup.
Akan tetapi jika A ternyata meninggal pula, harta warisan itu akan jatuh ke
tangan B.
Dari kasus ini nampak bahwa A dan B adalah pemilik harta
tersebut, namun haknya tidak sempurna, yaitu hak A bergantung pada syarat
kematian istrinya, sedangkan hak B bergantung pada syarat terjadinya
kematian A selama janda pembuat testament itu masih hidup.
Hendaknya dibedakan antara apa yang disebut sebagai dominion,
possession, dan ownership. Oleh Charles Conway, dijelaskan bahwa:
Ownership dan possession itu merupakan dua konsep yang berasal dari
hukum, yang pada masa lampau hukum tidak membedakannya. Hanya
hukum Romawi yang membuat pembedaan di antara dominion dan
70

Filsafat Hukum oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

possession. Menurutnya, dominion itu adalah hak yang bersifat mutlak


terhadap suatu benda, sedangkan possession berupa control yang bersifat
fisik terhadapnya (penguasaan).
Lebih lanjut Pollack dan Wright (dalam Charles Conway
(1971:51), menguraikan arti possession itu bahwa hukum Inggris
mengartikan konsepsi ownership sebagai suatu hak yang bersifat mutlak
melalui perkembangan pada hukum mengenai possession.

BAB VIII
HAK UNTUK MENGUASAI
A. Hak Milik dan Hak Menguasai
Terdapat perbedaan di antara hak milik dan hak untuk menguasai
suatu benda. Yang pokok ialah bahwa hak milik bersifat permanen,
sedangkan hak menguasai, jika tidak disertai hak pemilikan atas benda
tersebut, bersifat sementara. Perbedaan lainnya ialah bahwa hak milik
menunjuk kepada suatu ketentuan hukum dari suatu sistem hukum,
sedangkan hak untuk menguasai suatu benda menunjukkan adanya fakta
bahwa terdapat hubungan di antara manusia dan benda. Dengan demikian,
hak milik merupakan suatu konsep hukum, dan hak menguasai merupakan
konsep hukum maupun bukan hukum, atau bahkan konsep prahukum.
Berkaitan dengan hak menguasai ini, maka beberapa ahli hukum
seperti Vinogradoff, Maine, Salmond, dan Holland, pada umumnya
mereka sependapat bahwa dalam konsep possession (hak menguasai) ini
disyaratkan adanaya fakta penguasaan yang nyata terhadap suatu benda, dan
adanya keinginan yang kuat untuk menggunakan atau memanfaatkan
kekuasaan tadi bagi dirinya.
A.K. Sarkar (1979:104) mengemukakan contoh mengenai hak
menguasai ini. Dimulai dengan mengatakan bahwa hak menguasai itu
71

Filsafat Hukum oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

merupakan hubungan antara seseorang dengan sebuah benda. Menguasai


berarti memiliki control secara fisik terhadap benda itu.
Atas dasar control di atas, maka benda-benda yang tidak mungkin
dapat dikontrol atau dikuasai secara fisik oleh manusia tidak dapat menjadi
obyek hak ini. Benda-benda, termaksud misalnya laut, matahari, bulan dan
bintang-bintang. Selain itu, penguasaan terhadap obyek itu tidak dapat
secara terus-menerus. Saya memiliki payung itu bila saya
menggunakannya; saya masih berhak atas payung itu walau saya tutup dan
saya letakkan di atas sebuah meja. Saya juga tetap memiliki hak itu jika
kemudian saya tertidur. Prinsip yang terkandung dalam semua situasi
tersebut ialah bahwa saya dalam keadaan biasa dapat menguasai kembali
benda itu apabila saya menghendakinya. Hak untuk menguasai kembali
seperti itu tidak menjadi persoalan dalam masyarakat yang terorganisasi
seperti sekarang ini, sebab terdapat hukum yang mengaturnya. Lain halnya
pada masyarakat yang masih primitif. Hak penguasaan berarti penguasaan
fisik secara nyata terhadap benda-benda tersebut.
Hendaknya diperhatikan bahwa konsep penguasaan (kontrol) juga
relatif sifatnya. Dalam beberapa obyek, penguasaan dapat bersifat mutlak,
seperti cincin pada jari saya; tetapi terhadap seekor macan, misalnya,
penguasaan itu hanya dimungkinkan melalui penggunaan sangkar. Tidak
mungkin dengan cara memegangnya. Juga penguasaan terhadap kapal laut
sudah barang tentu amat terbatas.
Faktor lainnya yang terpenting dari konsep penguasaan ini ialah
kekuasaan untuk mengenyahkan orang yang berusaha melakukan gangguan
(ikut campur). Usaha mengenyahkan ini dapat dilakukan dengan kekuatan
fisik, tempat menyimpan benda itu seperti misalnya peti besi, adat
kebiasaan saling menghormati hak masing-masing tetangga, dan
perlindungan yang didapat dari hukum yang berlaku yang memberi peluang
kepada mereka yang memiliki penguasaan (pemegang hak) untuk
melakukan gugatan ganti rugi melalui perdata atau pidana terhadap mereka
yang mengganggu hak-hak utama tadi.
Selanjutnya, terdapat kasus bahwa penguasaan yang kecil yang
dimiliki seseorang terhadap suatu benda dapat diartikan sebagai menguasai
benda tadi dari segi hukum. Dengan kata lain, penguasaan seseorang secara
aktual dapat dikurangi menjadi lebih kecil daripada penguasaan menurut
hukum. Jadi, dengan tidak jujur, mengambil benda milik orang lain tanpa
persetujuannya akan dianggap sebagai suatu pencurian. Namun, adakalanya
persetujuan itu sudah sejak awal diberikan . Tamu-tamu saya diberi hak
penguasaan atas pisau, sendok, garpu, gelas, sapu tangan, piring, dan
sebagainya, di atas meja makan sewaktu makan malam. Akan tetapi,
72

Filsafat Hukum oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

disebabkan oleh sendok itu berada di tangan tamu untuk digunakan, tidak
berarti dia memiliki hak untuk membawa pulang benda tadi.
Pemegang hak, dalam arti hukum, tetap berada pada saya. Hal yang
sama juga pada kasus ini: Andaikan membeli sebuah lemari kerja. Di
dalamnya tersembunyi barang-barang berharga pada sebuah laci rahasi,
sedangkan penjual tidak bermaksud menyerahkannya kepada saya. Maka,
kehendak saya untuik memiliki atau menguasai barang-barang itu secara
tidak sah akan dianggap sebagai suatu pencurian menurut hukum common
law Inggris walau penguasaan terhadap lemari itu secara faktual berarti
menguasai pula benda-benda yang terdapat di dalamnya. Dari contoh ini
jelas bahwa penguasaan secara fisik menjadi berkurang dari pada
penguasaan dari segi hukum.
Penguasan terhadap suatu benda di sisi hukum kadang-kadang tidak
dimungkinkan tanpa sepengetahuan pemiliknya. Sebagai contoh, misalnya.
Jika Anda mengambil cincin saya yang terletak di kolam renang, Anda
akan dianggap sebagai pencuri walau saya tidak mengetahui bahwa cincin
tersebut terletak di tempat tersebut. Seringkali faktor pengetahuan ini
merupakan syarat yang diperlukan. Apabila saya kehilangan dompet , dari
segi hukum saya berhak memintanya kembali walaupun kenyataannya
dapat dikatakan kehilangan pemilikan terhadap dompet tadi. Agar saya
benar-benar kehilangan penguasaan , saya harus menghilangkan keinginan
atau kehendak untuk meiliki atau menguasai misalnya dengan cara
membuangnya ke tempat sampah.
Satu hal yang perlu dicatat ialah bahwa hukum kebiasaan (common
law) di Inggris tidak mengatur tentang siapa yang dianggap pemegang titel
yang sah, tetapi pengadilanlah yang akan menentukannya.
Contoh menguasai menurut hukum yang bermakna relatif tersebut
di atas: Seorang pelayan membawa jas hujan milik tuannya. Seseorang
mencuri jas hujan tadi. Ketika berhadapan dengan pencuri pelayan tadi
memiliki hak penguasaan terhadap jas hujan itu, namun tidak, jika ia
berhadapan dengan tuannya.
B. Hak Penguasaan Yang Langsung dan Tidak Langsung
Hak penguasan yang dimiliki oleh seseorang melalaui seseorang
lain sebagai hak menguasai secara tidak langsung, sedangkan mereka yang
mendapatkannya atau menerimanya secara langsung atau personal, disebut
hak menguasai secara langsung. Sebagai contoh: Jika Anda sendiri membeli
sebuah buku, berarti Anda secara langsung mendapatkan hak penguasaan
atas, sekaligus memiliki buku tadi. Jika Anda menyuruh pembantu Anda
membelinya, maka hak tadi akan didapat secara tidak langsung, sebab hak
itu baru ada di tangan Anda secara langsung jika buku yang dibeli tadi
diserahkan oleh pembantu Anda.
73

Filsafat Hukum oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

Dikenal tiga bentuk hak menguasai:


Pertama, hak yang didapat melalui agen atau orang suruhan
(misalnya pembantu seperti contoh di atas). Agen atau orang suruhan ini
menguasai sendiri benda atas nama yang berhak, dan tidak merasa
berkepentingan atasnya.
Kedua, hak menguasai secara langsung itu berada di tangan
seseorang yang sekaligus menguasai atas nama saya dan atas nama dirinya
dengan ketentuan, dia mengetahui bahwa saya mempunyai hak yang lebih
tinggi untuk menarik hak itu kembali secara langsung ke tangan saya jika
saya menghendakinya.
Ketiga, hak menguasai secara langsung berada di tangan seseorang
yang menganggap dirinya memiliki hak itu hingga suatu jangka masa
tertentu atau terpenuhinya satu persyaratan tertentu.
C. Pelepasan Hak Menguasai
Pelepasan hak dapat dilakukan melalui dua jalan, yaitu:
1.
dengan cara pengambilan (taking); dan
2.
dengan penyerahan (delivery).
Yang pertama dilakukan tanpa adanya persetujuan dari pemegang
hak, sedangkan yang kedua dengan persetujuan dan bantuan pihak yang
memegang hak. Mengenai penyerahan, di kalangan hukum dikenal adanya
dua bentuk, yaitu:
1. penyerahan secara aktual (actual delivery);
2. penyerahan secara konstruktif (contructive delivery).
Penyerahan yang bersifat aktual adalah pengalihan dari hak
menguasai secara langsung. Jadi, penyerahan benda secara langsung dari
tangan pemegang hak kepada orang lain. Penyerahan aktual ini dapat
berupa hak penguasaan secara tidak langsung atau tidak dapat ditarik
kembali oleh yang menyerahkan hak itu. Sebagai contoh, penyerahan
barang dengan penjualan merupakan bentuk penyerahan tanpa syarat untuk
menguasai secara tidak langsung. Sedangkan penyerahan yang dilakukan
dengan cara kredit atau deposit merupakan contoh dari syarat penguasaan
hak secara tidak langsung dalam penyerahan hak secara langsung.
Penyerahan secara aktual ini dapat langsung kepada dirinya, dapat juga
melalui agen atau pembantu yang bertindak atas namanya.
Penyerahan yang berupa kunci gudang menurut ketentuan hukum
dianggap sebagai penyerahan barang secara aktual yang terdapat di dalam
gudang tersebut. Sebabnya, kunci itu merupakan pembuka jalan menuju
barang-barang yang akan diserahkan tadi.
Penyerahan konstruktif adalah semua penyerahan yang tidak
bersifat aktual. Dikenal tiga bentuk penyerahan, yaitu:
74

Filsafat Hukum oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

6.

Tradition brevimanu, penyerahan dari hak menguasai


terhadap suatu benda secara tidak langsung kepada seseorang yang
telah menguasai benda tadi secara langsung. Contoh: Saya
meminjamkan sebuah buku kepada seseorang. Kemudian, sementara
buku itu masih ada padanya, saya setuju buku itu dijual atau
memberikan buku itu sebagai hadiah kepadanya. Dapat juga dalam
kaitan menjual atau menghadiahkan ini saya mengatakan bahwa dia
dapat menyimpannya. Di sini dia telah mempunyai hak menguasai
secara langsung, dan apa yang diperlukan dalam rangka penyerahan
melalui penjualan dan penghadiahan adalah pelepasan kehendak yang
dengan itu hak penguasaan secara tidak langsung itu masih berada di
tangan saya.
7.
Constitutum possessorium, yakni penyerahan hak
menguasai secara tidak langsung, sedangkan hak yang langsungnya
tetap berada pada yang menyerahkan. Jika seseorang membeli barang
dari penjaga gudang, maka barang itu akan diserahkan segera jika
penjaga tadi setuju bahwa barang itu akan dipegangnya atas nama
pembeli barang. Jadi, kedudukannya sama dengan apabila pembeli
barang tadi pertama-tama mengambil barang itu secara penyerahan
aktual, setelah itu diserahkan kembali kepada penjaga gudang, dan
penjaga gudang menyimpannya agar aman.
8.
Attorment. Ini merupakan penyerahan hak menguasai
secara tidak langsung, yang hak menguasainya secara langsungnya
tetap berada di pihak ketiga. Contoh: Jika saya memiliki barang yang
disimpan di gudang milik A, dan kemudian menjualnya kepada B, ini
berarti saya telah menyerahkan hak atas barang itu kepada B segera
setelah A bersetuju dengan B bahwa A akan menyimpannya atas nama
B, dan tidak lagi atas nama saya.
Kelangsungan hak untuk menguasai suatu barang tidak bergantung
pada adanya faktor penguasaan secara nyata terhadap suatu barang atau
benda. Walaupun saya tidak menguasai secara nyata (aktual) barang saya
yang berada di rumah karena saya bepergian, toh barang itu secara yuridis
tetap berada di bawah penguasaan saya. Demikian pula halnya jika dalam
perjalanan itu saya kehilangan dompet, dompet itu tetap hak saya walau
secara aktual tidak berada di tangan saya. Bahkan jika saya tidak
menyadarinya atau lupa bahwa saya memiliki sesuatu, tetap saja secara
yuridis saya memiliki hak atas barang itu. Baru apabila keduanya yaitu
barang tadi dan kehendak untuk menguasainya hilang, saya akan kehilangan
hak atasnya.
Selanjutnya terdapat hak menguasai yang disebut incorporeal
possession (dalam bentuk imaterial) dan corporeal possession (bendanya).
75

Filsafat Hukum oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

Dalam bentuk immaterial adalah haknya yang dikuasai, dapat berupa


servitut terhadap sebidang tanah, atau misalnya merek dagang, paten, hak
cipta dan sebagaiya.
Perlu dibedakan secara tegas antara pengertian hak menguasai
(possession) dan hak milik (ownership) sebagai berikut: Hak menguasai
didasarkan atas adanya hubungan di antara seseorang dengan suatu obyek.
Jadi, ciri pokoknya adalah masalah kenyataan atau fakta. Hak milik
didasarkan bukan atas adanya hubungan nyata, melainkan atas dasar hak
yang diatur oleh ketentuan-ketentuan. Di sini bukan faktor adanya
hubungan yang nyata atau faktual, melainkan disebabkan oleh hukum.
Terhadap suatu obyek atau benda, seseorang dapat menguasai benda itu
secara de facto dan memilikinya secara de jure. Akan tetapi, mungkin
terjadi seseorang itu menguasai suatu benda tetapi tidak memilikinya, atau
sebaliknya.

76

Filsafat Hukum oleh Drs. Joke Punuhsingon, SH, MH

77

You might also like