Professional Documents
Culture Documents
BAB I
PENGERTIAN, OBJEK, TEMPAT DAN MANFAAT
FILSAFAT HUKUM
A. Pengertian Filsafat
Kata bahasa Indonesia filsafat merupakan terjemahan dari kata
bahasa Latin philosophia dan bahasa Inggris philosophy. Kata-kata
bahasa Latin dan Inggris tersebut mempunyai akar kata pada kata bahasa
Yunani philosophia dan philosophos; philo berarti pencari atau pencinta dan
sophos yang berarti hikmat, kebijaksanaan, pengetahuan. Filsafat
(philosophia) lantas berarti cinta akan kebijaksanaan atau pengetahuan.
Jadi, secara harafiah, filsafat menunjuk kepada kegiatan mencintai atau
mencari kebijaksanaan atau pengetahuan. Seorang filsuf adalah seorang
pencinta kebijaksanaan. Ia merasa diri tidak atau belum memiliki
kebijaksanaan, karena itu ia mencarinya. Dan, pencariannya itu dituntun
oleh keterbukaannya untuk bertanya terus menerus. Ia bertanya karena rasa
heran dan kagum, rasa ingin tahu lebih untuk memuaskan dahaga
intelektual. Bertanya memang merupakan ciri khas suatu pengembaraan
dalam rangka mencari kebenaran atau kebijaksanaan.
Pythagoras (580-500 SM), dijuluki sebagai orang yang
pintar/bijaksana, dengan ucapannya yang terkenal sebagai berikut :
consisted in knowing that he was ignorant and that he should therefore
not be colled wise, but a lover of wisdom (yang ia tahu ialah, bahwa ia
tidak tahu, oleh sebab itu janganlah disebut ia berilmu, tetapi seorang
pencinta ilmu).
Dalam arti praktis, filsafat mengandung makna alam berpikir/alam
pikir. Namun filsafat ialah berpikir secara mendalam atau radikal. Radikal
berasal dari kata radix, yang artinya akar. Maka berpikir secara radikal
berarti berpikir sampai keakar-akarnya, dan sungguh-sungguh terhadap
hakikat sesuatu. Hakikat artinya, kebenaran atau kenyataan yang
sebenarnya. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia karangan W.J.S.
Poerwadarminta, mengartikan filsafat sebagai pengetahuan dan
penyelidikan dengan akal budi mengenai sebab-sebab, asas-asas, hukum
dan sebagainya daripada segala yang ada di alam semesta ataupun
mengenai kebenaran dan arti adanya sesuatu.
Pengertian menurut beberapa sarjana dan filsuf, seperti :
1. Para filsuf Yunani dan Romawi, antara lain :
a.
Plato (427-348 SM), filsafat ialah ilmu pengetahuan yang
bersifat untuk mencapai kebenaran yang asli.
b.
Aristoteles (382-322 SM), filsafat ialah ilmu pengetahuan yang
meliputi kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu
metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik dan sostetika.
1
c.
dan tempat tertentu serta berbentuk tertulis; (5) petugas, yakni pribadipribadi yang merupakan kalangan yang berhubungan erat dengan
penegakan hukum (law enforcement officer) ; (6) keputusan penguasa,
yakni hasil proses diskresi ; (7) proses pemerintahan, yaitu proses hubungan
timbal balik antara unsur-unsur pokok dari sistem kenegaraan; (8) sikap
tindak ajeg atau perikelakuan yang teratur, yakni perikelakuan yang
diulang-ulang dengan cara yang sama, yang bertujuan untuk untuk
mencapai kedamaian; (9) jalinan nilai-nilai, yaitu jalinan dari konsepsikonsepsi abstrak tentang apa yang dianggap baik dan buruk.
Dengan demikian, apabila kita ingin mendefinisikan hukum secara
memuaskan, kita harus dapat merumuskannya dalam suatu kalimat yang
cukup panjang yang meliputi paling tidak sembilan arti hukum di atas.
Mengingat objek filsafat hukum adalah hukum, maka masalah atau
pertanyaan yang dibahas oleh filsafat hukum itupun antara lain berkaitan
dengan hukum itu sendiri, seperti hubungan hukum dengan kekuasaan,
hubungan hukum kodrat dengan hukum positif, apa sebab orang menaati
hukum, apa tujuan hukum, sampai pada masalah-masalah kontemporer
seperti masalah hak asasi manusia, keadilan dan etika profesi hukum.
Selanjutnya Apeldorn , menyebutkan tiga pertanyaan penting yang
dibahas oleh filsafat hukum, yaitu : (1) adakah pengertian hukum yang
berlaku umum ; (2) apakah dasar kekuatan mengikat dari hukum ; dan (3)
adakah sesuatau hukum kodrat. Lili Rasyidi menyebutkan pertanyaan yang
menjadi masalah filsafat hukum, antara lain : (1) hubungan hukum dengan
kekuasaan ; (2) hubungan hukum dengan nilai-nilai sosial budaya ; (3) apa
sebabnya negara berhak menghukum seseorang ; (4) apa sebab orang
menaati hukum ; (5) masalah pertanggungjawaban ; (6) masalah hak milik ;
(7) masalah kontrak ; (8) dan masalah peranan hukum sebagai sarana
pembaharuan masyarakat.
Apabila kita perbandingkan antara apa yang dikemukakan oleh
Apeldorn dan Lili Rasyidi tersebut, tampak bahwa masalah-masalah yang
dianggap penting dalam pembahasan filsafat hukum terus bertambah dan
berkembang, seiring dengan perkembangan zaman. Demikian pula karena
semakin banyaknya para ahli hukum yang menekuni dunian filsafat hukum.
D. Filsafat Hukum Dalam Kerangka Filsafat Pada Umumnya
Yang dilakukan para ahli filsafat ialah berusaha menjelaskan apa
sesungguhnya arti filsafat itu. Pada dasarnya inti berbagai perumusan itu
menyatakan bahwa filsafat adalah karya manusia tentang hakikat sesuatu.
Karya berupa apa? Tuhan Yang Maha Esa menciptakan manusia disertai
alat-alat kelengkapan yang lengkap dan sempurna yang dapat digunakan
sepanjang hayatnya. Alat-alat kelengklapan itu terdiri dari raga, rasa dan
rasio. Dalam berkarya, ketiga alat itu digunakan secara serentak karena
5
ketiganya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Hanya terdapat
perbedaan unsur, mana yang paling menonjol digunakan dalam karyakaryanya.
Mereka yang berkarya mencapai tujuan hidupnya seperti para
petani yang mencangkul tanah sawah atau kebun, dan mereka yang bekerja
mengangkat barang-barang penumpang, dan lain-lain, jelas di sini lebih
menonjolkan penggunaan unsur raganya. Sedangkan mereka yang bekerja
di bidang seni akan menonjolkan unsur rasanya.
Dalam hal orang berkarya filsafat, pada mulanya yang tampil ke
hadapan adalah unsur rasaya. Rasa heran dan kagum manusia atas alam
semesta dengan segala isinya yang dilihatnya menyebabkan manusia itu
kemudian mengajukan berbagai pertanyaan yang berkaitan dengan cara
bagaimana terjadinya alam semesta itu beserta segala isinya.
Kesemua pertanyaan itu memerlukan jawaban. Dalam usaha
menjawab pertanyaan-pertanyaan itulah tampil ke hadapan unsur rasionya.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam orang berfilsafat, maka ia
berkarya menggunakan pemikirannya. Jadi, filsafat adalah hasil pemikiran
manusia tentang hakikat sesuatu. Lalu apa yang dimaksud dengan hakikat
sesuatu itu?
Ada yang mengatakan bahwa hakikat sesuatu itu adalah tempat
sesuatu di alam semesta dan hubungan sesuatu tadi dengan isi alam semesta
yang lain. Kata sesuatu dapat berarti alam semesta itu sendiri atau segala
isinya. Jika yang menjadi sesuatu tadi adalah manusia sebagai salah satu
isi alam semesta, maka berfilsafat tentang manusia berarti mengkaji secara
mendalam tempat manusia itu di alam semesta dan bagaimana hubungan
manusia tadi dengan segala isi alam semesta lainnya. Atau ada juga yang
mengatakan dengan yang lebih sederhana, mengkaji manusia dari segi inti
dan dasar yang sedalam-dalamnya.
Pada mula orang berfilsafat, perhatian para filsuf lebih lanjut
kepada alam semesta itu sendiri. Pada zaman purbakala, filsuf-filsuf
kenamaan pada zaman ini (pra-Socrates) seperti Thales, Anaximandros,
Anaximenes, Phitagoras, dan lain-lain, mencoba mencari inti alam
semesta. Thales yang hidup pada tahun 624-548 SM berpendapat bahwa
inti alam semesta itu adalah air. Anaximandros mengatakan teapeiron yang
menjadi inti alam, yaitu suatu zat yang tidak tentu sifat-sifatnya. Sedangkan
Anaximenes (590-528 SM) menyebutkan udara. Yang sangat berbeda
sekali pendapatnya ialah Phitagoras. Menurutnya, yang menjadi dasar dari
segala sesuatunya adalah bilangan.
Dengan mengambil obyek filsafat yang bukan manusia, sudah
barang tentu tidak akan sampai pada uraian mengenai hukum dari segi
filsafatnya. Baru setelah masa Socrates, yang juga dimulai oleh filsuf besar
6
ini, perhatian para filsuf tertuju pada manusia sebagai obyek filsafat
mereka. Segala segi dari mahluk manusia ini dicoba dikaji. Cara
berpikirnya menghasilkan filsafat logika, karya seninya melahirkan filsafat
estetika, tingkah lakunya diselidiki oleh filsafat etika. Segala upaya manusia
dalam upaya mencapai tujuan hidupnya menghasilkan cabang-cabang
filsafat lainnya seperti filsafat negara, filsafat politik, filsafat ekonomi,
filsafat hukum, dan lain-lain.
Hukum adalah sesuatu yang berkenaan dengan manusia. Hanya ada
hukum jika ada manusia, yaitu manusia dalam pergaulannya dengan yang
lain. Akibat kebergantungan hukum pada manusia ini, maka hanya mungkin
orang berfilsafat tentang hukum apabila terlebih dahulu berfilsafat tentang
manusia. Sebab, salah satu aspek dari manusia yang sangat erat kaitannya
adalah tingkah lakunya. Melalui filsafat tingkah laku ini, atau filsafat etika,
lalu orang berfilsafat tentang hukum. Dengan demikian, dalam pohon
filsafat manusia, maka filsafat etika merupakan salah satu cabangnya,
sedangkan filsafat hukum lebih lanjut merupakan cabang dari filsafat etika
ini atau merupakan salah satu ranting dari filsafat manusia tadi.
Sering kali juga orang mengatakan bahwa filsafat manusia itu
merupakan genus filsafat, sedangkan filsafat etika adalah species filsafat
yang memiliki filsafat hukum sebagai sub species-nya. Filsafat hukum
mempelajari sebagian dari tingkah laku manusia, yaitu tingkah laku (atau
perbuatan) yang akibatnya diatur oleh hukum.
E. Manfaat Filsafat Hukum
Berfilsafat adalah berfikir. Hal ini tidak berarti setiap berfikir
adalah berfilsafat, karena berfilsafat itu berfikir dengan ciri-ciri tertentu.
Ada beberapa ciri berpikir secara kefilsafatan, yaitu:
1. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara radikal. Radikal berasal dari
kata Yunani, radix yang berarti akar. Berfikir secara radikal adalah
berfikir sampai ke akar-akarnya. Berfikir sampai ke hakikat, essensi,
atau samapai ke substansi yang dipikirkan. manusia yang berfilsafat
tidak puas hanya memperoleh pengetahuan lewat indera yang selalu
berubah dan tidak tetap. Manusia yang berfilsafat dengan akalnya
berusaha untuk dapat menangkap pengetahuan hakiki, yaitu
pengetahuan yang mendasari segala pengetahuan inderawi.
2. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara universal (umum). Berfikir
secara universal adalah berfikir tentang hal-hal serta proses-proses yang
bersifat umum. Filsafat bersangkutan dengan pengalaman umum dari
ummat manusia (common experience of mankind). Dengan jalan
penjajakan yang radikal, filsafat berusaha untuk sampai pada
kesimpulan-kesimpulan yang universal. Bagaimana cara atau jalan yang
ditempuh untuk mencapai sasaran pemikirannya dapat berbeda-beda.
7
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Akan tetapi yang dituju adalah keumuman yang diperoleh dari hal-hal
khusus yang ada dalam kenyataan.
Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara konseptual. Yang dimaksud
dengan konsep di sini adala hasil generalisasi dan abstraksi dari
pengalaman tentang hal-hal sertya proses-proses individual. Berfilsafat
tidak berfikir tentang manusia tertentu atau manusia khusus, tetap[i
berfikir tentang manusia secara umum. Dengan ciri yang konseptual ini,
berfikir secara kefilsafatan melampoi batas pengalaman hidup seharihari.
Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara koheren dan konsisten.
Koheren artinya sesuai dengan kaidah-kaidah berfikir (logis). Konsisten
artinya tidak mengandung kontradiksi. Baik koheren maupun konsisten,
keduanya dapat diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, yaitu runtut.
Adapun yang dimaksud runtut adalah bagan konseptual yang disusun
tidak terdiri atas pendapat-pendapat yang saling berkontradiksi di
dalamnya.
Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara sistematik. Sistematik
berasal dari kata sistem yang artinya kebulatan dari sejumlah unsur
yang saling berhubungan menurut tata pengaturan untuk mencapai
sesuatu maksud atau menunaikan sesuatu peranan tertentu. Dalam
mengemukakan jawaban terhadap sesuatu masalah, digunakan pendapat
atau argumen yang merupakan uraian kefilsafatan yang saling
berhubungan secara teratur dan terkandung adanya maksud atau tujuan
tertentu.
Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara komprehensif.
Komprehensif adalah mencakup secara menyeluruh. Berfikir secara
kefilsafatan berusaha untuk menjelaskan fenomena yang ada di alam
semesta secara keseluruhan sebagai suatu sistem.
Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara bebas. Sampai batas-batas
yang luas, setiap filsafat boleh dikatakan merupakan suatu hasil dari
pemikiran yang bebas. Bebas dari prasangka-prasangka sosial, historis,
kultural, atau religius. Sikap-sikap bebas demikian ini banyak
dilukiskan oleh filsuf-filsuf dari segala zaman. Socrates memilih minum
racun dan menatap maut daripada harus mengorbankan kebebasannya
untuk berpikir menurut keyakinannya. Baruch de Spinoza yang
terkenal adalah ajaran mengenai Substansi tunggal Allah atau alam,
karena khawatir kehilangan kebebasannya untuk berfikir, menolak
pengangkatannya sebagai guru besar filsafat pada Universitas
Heidelberg.
Berfikir secara kefilsafatan dicirikan dengan pemikiran yang
bertanggungjawab. Pertangungjawaban yang pertama adalah terhadap
8
spekulatif dalam arti positif itulah hukum dapat dikembangkan ke arah yang
dicita-citakan bersama.
Secara spekulatif, filsafat hukum terjadi dengan pengajuan
pertanyaan-pertanyaan mengenai hakekat hukum. Pertanyaan-pertanyaan
itu menimbulkan rasa sangsi dan rasa terpesona atas suatu kebenaran yang
dikandung dalam suatu persoalan. Apabila jawaban-jawabannya diperoleh
maka jawaban-jawaban itu disusun dalam suatu sistem pemikiran yang
universal dan radikal.
Kemudian ciri yang lain lagi adalah sifat filsafat yang reflektif
kritis. Melalui sifat ini, filsafat hukum berguna untuk membimbing kita
menganalisis masalah-masalah hukum secara rasional dan kemudian
mempertanyakan jawaban itu secara terus menerus. Jawaban tersebut
seharusnya tidak sekedar diangkat dari gejala-gejala yang tampak, tetapi
sudah sampai kepada nilai-nilai yang ada dibalik gejala-gejala itu. Analisis
nilai inilah yang membantu kita untuk menentukan sikap secara bijaksana
dalam menghadapi suatu masalah kongkret. Secara kritis, filsafat hukum
berusaha untuk memeriksa gagasan-gagasan tentang hukum yang sudah
ada, melihat koherensi, korespodensi dan fungsinya. Filsafat hukum
berusaha untuk memeriksa nilai dari pernyataan-pernyataan yang dapat
dikategorikan sebagai hukum.
Filsafat itu juga bersifat introspektif atau mempergunakan daya
upaya introspektif. Artinya, filsafat tidak hanya menjangkau kedalaman dan
keluasan dari permasalahan yang dihadapi tetapi juga mempertanyakan
peranan dari dirinya dan dari permasalahan tersebut. Filsafat
mempertanyakan tentang struktur yang ada dalam dirinya dan permasalahan
yang dihadapinya. Sifat introspektif dari filsafat sesuai dengan sifat manusia
yang memiliki hakekat dapat mengambil jarak (distansi) tidak hanya pada
hal-hal yang berada di luarnya tetapi juga pada dirinya sendiri.
Sebagai bahan perbandingan, Radhakrisnan dalam bukunya The
History of Philosophy, mengemukakan pula tentang arti penting
mempelajari filsafat, termasuk dalam hal ini mempelajari filsafat hukum,
bukanlah sekedar mencerminkan semangat masa ketika kita hidup,
melainkan membimbing kita untuk maju. Fungsi filsafat adalah kreatif,
menetapkan nilai, menetapkan tujuan, menentukan arah, dan menuntun
pada jalan baru. Filsafat hendaknya mengilhamkan keyakinan kepada kita
untuk menopang dunia baru, mencetak manusia-manusia yang tergolong ke
dalam berbagai bangsa, ras dan agama itu mengabdi kepada cita-cita mulia
kemanusiaan. Filsafat tidak ada artinya sama sekali apabila tidak universal,
baik dalam ruang lingkupnya maupun dalam semangatnya.
Adanya karakteristik khusus dari pemikiran filsafat hukum di atas
sekaligus juga menunjukkan arti pentingnya. Dengan mengetahui dan
10
BAB II
SEJARAH PERKEMBANGAN FILSAFAT HUKUM
A. Sejarah Perkembangan Filsafat Hukum
Di salam kepustakaan filsafat (hukum), terdapat berbagai periodisasi
atau pembabakan perkembangan filsafat (hukum) dari dahulu hingga saat ini.
Pada umumnya pembabakan itu terdiri dari:
1.
Zaman purbakala
a. Masa Yunani
1) Masa pra-Socrates ( 500 SM)
Pada masa ini diperkirakan belum ada filsafat hukum karena
perhatian para filsuf lebih ditujukan kepada alam semesta, yaitu apa
sesungguhnya yang menjadi inti alam semesta itu. Jawaban terhadapnya
berbeda-beda. Filsuf Thales mengatakan air, Anaximandros to
apeiron, yaitu suatu zat yang tak tertentu sifat-sifatnya, Anaximenes
mengatakan udara, sedangkan Phitagoras menjawab bilangan. Filsuf
lainnya seperti Heraklitos berpendapat bahwa apilah yang menjadi inti
alam semesta. Perihal manusia, tingkah laku (etika), dan hukum, belum
memperoleh perhatian. Manusia dianggap oleh mereka sebagai bagian
dari alam semesta. Kalaupun berbicara tentang hukum, maka hukum
yang dimaksud adalah hukum dalam arti keharusan alamiah. Jadi,
hukum tidak terbatas pada masyarakat manusia, tetapi meliputi semesta
alam. Hukum yang dikenal adalah hukum alam. Di antara para filsuf
alam tersebut di atas, Phitagoraslah yang mulai menyinggung tentang
manusia. Menurutnya, tiap manuai memiliki jiwa yang selalu berada
dalam proses katarsis, yaitu pembersihan diri. Setiap kali jiwa
memasuki tubuh manusia, manusia harus membersihkan diri agar jiwa
tadi dapat masuk ke dalam kebahagiaan. Jika dinilai tidak cukup
melakukan katarsis, jiwa tadi akan memasuki lagi tubuh manusia yang
lain.
2) Masa Socrates, Plato dan Aristoteles.
Beberapa penulis sejarah filsafat hukum mengungkapkan
bahwa Socrates-lah yang mula pertama berfilsafat tentang manusia.
Segala aspek tentang manusia menjadi obyek pembicaraannya.
Diperkirakan filsafat hukum lahir pada masa ini dan berkembang
mencapai puncak kegemilangannya melalui filsuf-filsuf besar setelah
Socrates, yaitu Plato, Aristoteles, dan filsuf-filsuf lainnya di zaman
Yunani dan Romawi.
Di antara kedua masa tersebut, masa Yunani merupakan masa
yang amat subur bagi pertumbuhan filsafat hukum. Alasannya ialah:
kecenderungan-kecenderungan untuk berpikir spekulatif serta persepsi
intelektualnya untuk menyadari adanya tragedi kehidupan manusia serta
12
konflik-konflik dalam kehidupan dunia ini, seperti telihat pada karyakarya filsafat dan kesusasteraannya, Yunani memberi saham yang besar
ke arah pemikiran tentang hukum yang bersifat teoretis. Dengan
kecenderungan berpikir yang demikian itu, orang Yunani melihat
bagaimana timbul dan berkembangnya polis, yaitu negara kota di masa
itu.
Kekacauan-kekacauan sosial, konflik-konflik di dalamnya,
bergantian pemerintah yang begitu sering, masa-masa tiranik dan
kesewenang-wenangan, yang semua terjadi pada masa itu, memberikan
bahan yang banyak sekali bagi pemikiran yang bersifat spekulatif
mengenai persoalan-persoalan hukum dalam masyarakat. Dengan
demikian orang pun didorong dengan kuat untuk memikirkan problem
yang abadi mengenai hubungan antara hukum positif dengan keadilan
yang abadi itu, sehingga memberikan sumbangan pemikiran Yunani di
dalam dunia teori hukum.
3) Masa Stoa
Masa ini ditandai dengan adanya mazhab Stoa, yaitu suatu
mazhab yang mempunyai kebiasaan memberi pelajaran di loronglorong tonggak (stoa). Pemikir utamanya yang juga bertindak sebagai
pemimpin mazhab adalah filsuf Zeno.
Dengan mengambil sebagian ajaran Aristoteles, yaitu bahwa
akal manusia itu merupakan bagian dari rasio alam, dikembangkan
suatu pemikiran hukum alam yang bersumber dari akal ketuhanan
(logos di mana manusia dimungkin hidup menyesuaikan diri padanya).
Hukum alam itu merupakan dasar segala hukum positif. Pandangan
Stoa kemudian amat berpengaruh pada filsuf Romawi seperti Seneca,
Marcus Aurelius, dan juga Cicero.
b. Masa Romawi
Pada masa ini perkembangan filsafat hukum tidak segemilang
pada masa Yunani. Para ahli filsafat Romawi lebih memusatkan
perhatiannya pada masalah bagaimana hendak mempertahankan
ketertiban di seluruh kawasan Kekaisaran Romawi yang sangat luas itu.
Mereka menuntut untuk lebih banyak menyumbangkan konsep-konsep
dan teknik-teknik yang berkaitan dengan hukum positif, seperti bidangbidang kontrak, kebendaan, dan ajaran-ajaran tentang kesalahan.
Namun sumbangan pemikiran para filsuf masa ini, seperti Polybius,
Cicero, Seneca, Marcus Aurelius, dan lain-lain, masih banyak
pengaruhnya hingga saat ini.
2.
Abad Pertengahan
a. Masa gelap
13
tata tertib dalam suatu masyarakat, dan oleh karena itu seharusnya ditaati
oleh anggota masyarakat yang bersangkutan.
Wirjono Prodjodikoro dalam tulisan yang berjudul Rasa Keadilan
Sebagai Dasar Segala Hukum, menyatakan bahwa: Hukum adalah
rangkaian peraturan-peraturan mengenai tingkah laku orang-orang sebagai
anggota suatu masyarakat.
Selanjutnya Simorangkir, dalam bukunya, Pelajaran Hukum
Indonesia, merumuskan: Hukum sebagai peraturan-peraturan yang bersifat
memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan
masyarakat, yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib,
pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan tadi berakibat diambilnya
tindakan, yaitu dengan hukuman yang tertentu.
Kemudian Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto dalam
bukunya Sendi-Sendi Ilmu Hukum dan Tata Hukum, menyebutkan ada 9
(sembilan) macam arti hukum yang diberikan oleh masyarakat yaitu:
1. Hukum sebagai ilmu pengetahuan, yakni pengetahuan yang tersusun
secara sistematis atas dasar kekuatan pemikiran.
2. Hukum sebagai disiplin, yakni suatu sistem ajaran tentang kenyataan
atau gejala-gejala yang dihadapi.
3. Hukum sebagai kaidah, yakni pedoman atau patokan sikap tindak atau
perilaku yang pantas atau diharapkan.
4. Hukum sebagai tata hukum, yakni struktur dan proses perangkat
kaidah-kaidah hukum yang berlaku pada suatu waktu dan tempat
tertentu serta berbentuk tertulis.
5. Hukum sebagai petugas, yakni pribadi-pribadi yang merupakan
kalangan yang berhubungan erat dengan penegakan hukum (law
enforcement officer).
6. Hukum sebagai keputusan penguasa, yakni hasil proses diskresi yang
menyangkut pengambilan keputusan yang didasarkan pada hukum, juga
didasarkan pada penilaian pribadi.
7. Hukum sebagai proses pemerintahan, yakni proses hubungan timbal
balik antara unsur-unsur pokok dari sistem kenegaraan.
8. Hukum sebagai sikap tindak atau perilaku ajeg (teratur), yaitu perilaku
yang diulang-ulang dengan cara yang sama, yang bertujuan untuk
mencapai kedamaian.
9. Hukum sebagai jalinan nilai-nilai, yakni jalinan dari konsepsi-konsepsi
abstrak dalam diri manusia tentang apa yang dianggap bagik (sehingga
harus dianuti atau ditaati) dan apa yang dianggap buruk (sehingga harus
dihindari).
Menurut L. Bender O.P. yang mengutip pendapat Thomas
Aquino, sebagaimana disadur oleh Lili Rasjidi, dan Ira Thania Rasjidi,
20
demikian, perbuatan yang bisa diterima oleh tatanan tersebut hanyalah yang
sesuai dengan idealnya tentang manusia.
C. Berbagai Teori Tentang Hukum
Sepanjang sejarah hukum, dimulai dari zaman Yunani/Romawi
hingga hari ini, kita dihadapkan kepada adanya berbagai teori tentang
hukum yang lahir pada setiap babak dari perjalanan sejarah hukum
termaksud. Sudah menjadi suatu pendapat yang diterima umum bahwa
suatu teori hukum tidaklah dapat dilepaskan dari lingkungan zamannya: Ia
sering kita lihat sebagai suatu jawaban yang diberikan terhadap
permasalahan hukum atau menggugat suatu pikiran hukum yang dominan
pada suatu saat. Oleh karena itu, sekalipun ia berkeinginan untuk
mengutarakan suatu pikiran secara universal, tetapi alangkah baiknya
apabila kita senantiasa waspada, bahwa teori itu mempunyai latar belakang
pemikiran yang sedemikian itu. Sehubungan dengan keadaan yang
sedemikian itu sudah seharusnya kita tidak melepaskan teori-teori itu dari
kategorisasi waktu pemunculannya, seperti teori-teori yang lahir pada abad
kesembilan belas atau abad kedua puluh. Kita sebaiknya memahaminya
dengan latar belakang yang demikian itu, oleh karena teori-teori yang lahir
pada abad kesembilan belas, misalnya, menggarap persoalan-persoalan pada
masa itu dan yang bukan merupakan karakteristik persoalan untuk abad
kedua puluh.
Beberapa contoh dapat dikemukakan, sebagai berikut: Pada zaman
Romawi, misalnya, para pemikir hukum lebih dipusatkan perhatiannya
kepada situasi pada waktu itu ketika Romawi ingin melaksanakan
pemerintahannya di seluruh wilayah jajahannya secara efektif. Sumbangan
yang harus dimainkan oleh para pemikir tersebut di atas ialah bagaimana
dapat menciptakan suatu ketentuan yang dapat diberlakukan untuk semua
wilayah Romawi yang sangat luas. Karenanya, jika dibandingkan dengan
para rekannya di masa Yunani, para pemikir hukum Romawi lebih
terpusatkan perhatiannya pada usaha menjawab permasalahan hukum yang
timbul pada waktu itu secara praktis.
Contoh lain lagi ialah situasi yang terjadi pada abad ke-19. Ciri
yang menonjol pada abad ini ialah perkembangan di dunia ekonomi yang
menggalakkan (optimisme), dibarengi dengan kedudukan negara yang
semakin kuat dan kukuh dalam hal mengontrol dan mengarahkan
masyarakat ke arah yang dikehendakinya. Pada masa ini lahir aliran
positivisme (analitis maupun murni) yang menekankan pentingnya
kedudukan negara sebagai pembentuk hukum, buah pikiran John Austin
maupun Hans Kelsen dinilai banyak pengaruhnya pada dunia ilmu maupun
teori hukum, baik pada masa tersebut maupun sesudahnya.
23
yang tertua yang dapat dikenal sejak zaman yang kuno sekali sampai
pada permulaan abad pertengahan. Ia memusatkan dirinya pada usaha
untuk menemukan metode yang bisa dipakai untuk menciptakan
peraturan-peraturan yang mampu untuk menghadapi keadaan yang
berlain-lainan. Dengan demikian ia tidak mengandung norma-norma
sendiri, melainkan hanya memberitahu tentang bagaimana membuat
peraturan yang baik.
Hukum alam sebagai substansi (isi) berisikan norma-norma.
Peraturan-peraturan dapat diciptakan dari asas-asas yang mutlak yang
lazim dikenal sebagai peraturan hak-hak asasi manusia. Ciri hukum
alam seperti ini merupakan ciri dari abad ke-17 dan ke-18, untuk
kemudian pada abad berikutnya digantikan oleh ajaran positivisme
hukum.
Positivisme hukum sendiri ternyata kemudian tidak mampu
untuk mengikuti rasa keadilan yang tumbuh di dalam masyarakat
karena hukum yang sifatnya tertulis tidak dapat diubah-ubah setiap saat.
Rasa keadilan yang tercermin dalam suatu kitab undang-undang,
misalnya, mungkin hanya selaras dengan rasa keadilan dalam
masyarakat pada waktu dikitabkannya undang-undang itu. Masyarakat
yang terus berubah membawa serta perubahan pada keadilan yang
hidup dalam masyarakat itu. Karena dirasakan ketentuan yang ada tidak
atau kurang lagi mencerminkan rasa keadilan yang dikehendaki, maka
orang berusaha mencari keadilan lain, dan ini berarti orang berpegang
kembali kepada ajaran hukum alam. Seringkali orang menyebutkan
terjadinya kebangkitan doktrin hukum alam.
2. Aliran Positivisme Hukum
Apabila aliran sebelumnya menganggap penting hubungan
antara hukum dan moral, maka aliran hukum positif justru menganggap
bahwa kedua hal tersebut merupakan dua hal yang harus dipisahkan. Di
dalam aliran ini dikenal adanya dua subaliran yang terkenal yaitu:
1)
Aliran hukum positif yang analitis, pendasarnya adalah John
Austin.
2)
Aliran hukum positif yang murni, dipelopori oleh Hans
Kelsen.
Aliran hukum positif yang analitis mengartikan hukum itu
sebagai a command of the lawgiver (perintah dari pembentuk undangundang atau penguasa), yaitu suatu perintah dari mereka yang
memegang kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan.
Hukum dianggap sebagai suatu sistem yang logis, tetap, dan bersifat
tertutup (closed logical system). Hukum secara tegas dipisahkan dari
moral, jadi dari hal yang berkaitan dengan keadilan, dan tidak
26
Aliran utilitarianisme dipelopori oleh Jeremy Bentham (17481783), John Stuart Mill (1806-1873) dan Rudolf von Jhering (18001889). Para penganut aliran utulitarianisme mempunyai prinsip bahwa
manusia akan melakukan tindakan-tindakan untuk mendapatkan
kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan mengurangi penderitaan.
Jeremy Bentham menerapkan salah satu prinsip dari aliran
Utilitarianism ke dalam lingkungan hukum, yaitu: manusia akan
bertindak untuk mendapatkan kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan
mengurangi penderitaan. Ukuran baik-buruknya suatu perbuatan
manusia tergantung kepada apakah perbuatan itu mendatangkan
kebahagiaan atau tidak. Pemidanaan, menurut Bentham, harus bersifat
spesifik untuk tiap kejahatan, dan berapa kerasnya pidana itu tidak
boleh melebihi jumlah yang dibutuhkan untuk mencegah dilakukannya
penyerangan-penyerangan tertentu. Pemidanaan hanya bisa diterima
apabila ia memberikan harapan bagi tercegahnya kejahatan yang lebih
besar. Ajaran seperti ini didasarkan atas hedonistic utilitarianism.
Bentham selanjutnya berpendapat bahwa pembentuk undangundang hendaknya dapat melahirkan undang-undang yang dapat
mencerminkan keadilan bagi semua individu. Dengan berpegang pada
prinsip tersebut di atas, perundangan itu hendaknya dapat memberikan
kebahagiaan yang terbesar bagi sebagian besar masyarakat (the greates
happiness for the greatest number).
John Stuart Mill memiliki pendapat yang sejalan dengan
Jeremy Bentham. Kesamaan pendapat itu terletak bahwa suatu
perbuatan itu hendaknya bertujuan untuk mencapai sebanyak mungkin
kebahagiaan. Menurut John Stuart Mill, sumber dari kesadaran
keadilan itu bukan terletak pada kegunaan, melainkan pada rangsangan
untuk mempertahankan diri dan perasaan simpati.
Menurut John Stuart Mill, keadilan bersumber pada naluri
manusia untuk menolak dan membalas kerusakan yang diderita, baik
oleh diri sendiri ataupun oleh siapa saja yang mendapatkan simpati dari
kita. Perasaan keadilan akan memberontak terhadap kerusakan,
penderitaan, tidak hanya atas dasar kepentingan individual, melainkan
lebih luas dari itu, sampai kepada orang-orang lain yang kita samakan
dengan diri kita sendiri. Hakikat keadilan, dengan demikian, mencakup
semua persyaratan moral yang sangat hakiki bagi kesejahteraan umat
manusia.
Berbeda dengan Bentham, Rudolf von Jhering dikenal
sebagai pengasas teori yang disebut social utilitarianism (sedangkan
Bentham
individual
utilitarianism).
Teorinya
merupakan
29
hukum antara para anggota masyarakat dilakukan atas dasar sistem hak
dan kewajiban yang tertuang dalam bentuk suatu kontrak yang dibuat
secara sadar dan sukarela yang dibuat oleh pihak-pihak yang berkenaan.
Sedangkan hukum sendiri, pada masyarakat ini, berkembang melalui
tiga cara, yaitu fiksi, equity (= hak kekayaan),dan perundangan.
Pendapat terakhir inilah yang oleh beberapa penulis hukum digunakan
untuk membedakan Maine dengan Savigny. Agaknya Maine tidak
mengesampingkan peranan perundangan dan kodifikasi dalam
pengembangan hukum pada masyarakat yang telah maju.
Walaupun teori hukum von Savigny dan pengikut-pengikutnya
cukup luas pengaruhnya, tetap terdapat kelemahannya. Yang terpenting
adalah tidak diberikannya tempat bagi ketentuan yang sifatnya tertulis
(perundang-undangan). Bagaimanapun dalam masyarakat modern,
ketentuan yang betuknya tertulis diperlukan demi adanya kepastian
hukum, dan terutama sekali untuk menghindarkan tindakan sewenangwenang dari kekuasaan yang bersifat absolute. Kelemahan lainnya
terletak pada konsepsinya tentang kesadaran hukum yang sifatnya
sangat abstrak. Juga mengenai jiwa rakyat, konsepsinya tidak
memuaskan banyak pihak. Von Savigny menyebutkan bahwa hukum
yang baik adalah yang bersumber dari jiwa rakyat ini, tetapi dalam
sebuah tulisannya yang lain, yang membahas tentang hukum Romawi,
dia mengatakan bahwa hukum Romawi merupakan hukum terbaik.
5. Aliran Sociological Jurisprudence
Aliran sociological jurisprudence dipelopori oleh Roesco
Pound, Eugen Ehrlich, Benyamin Cardozo, Kantorowich, Gurvitch
dan lain-lain. Aliran sociological jurisprudenc, dapat dikatakan sebagai
salah satu aliran dari berbagai-bagai pendekatan. Aliran ini tumbuh dan
berkembang di Amerika, dan dipelopori oleh Roscoe Pound dengan
karya-karyanya yang terkenal seperti Scope and Purpose of
sociological jurisprudence (1912), Outline of Lecture on Jurisprudence
(1903), The Spirit of Common Law (1921), An Introduction to the
Philosophy of Law (1922), The Task of Law (1944), Interpretation of
Legal History (1923), dan lain-lain. Tokoh-tokoh lainnya antara lain
Benjamin Cardozo dan Kantorowics.
Tidak dapat disangkal bahwa ajaran sociological jurisprudence
ini tergolong aliran-aliran sosiologis di bidang hukum yang di benua
Eropa dipelopori oleh seorang ahli hukum bangsa Austria bernama
Eugen Ehrlich (1826-1922), yang mula pertama menulis tentang
hukum dipandang dari sudut sosiologi dengan judul Grundlegung der
Soziologiedes Rechts (diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh
32
realisme ini, barangkali akan lebih jelas dasar pemikiran hukum yang
bagaimana yang menjadi inti ajarannya. Kedua tokoh ini, walaupun
juga penganut paham positivisme hukum, tidak menempatkan undangundang sebagai sumber utama hukum. Mereka menempatkan hakim
sebagai titik pusat perhatian dan penyelidikan hukum. Selain unsur
logika yang memegang faktor penting dalam pembentukan perundangundanagn, juga unsur kepribadian, prasangka, dan unsur-unsur lain di
luar logika berpengaruh sangat besar. Gray membuktikan teorinya itu
dengan mengemukakan contoh dari sejarah hukum di Inggris dan
Amerika Serikat yang menunjukkan besarnya pengaruh faktor-faktor
politik, ekonomi, kualitas individual hakim, terhadap penyelesaian halhal penting bagi jutaan orang selama ratusan tahun. Solgan terkenal dari
John Chipman Gray ialah: All the law is judge-made law (sumber
hukum utama adalah putusan-putasan hakim).
Selain di Amerika Serikat, di Skandinavia pun berkembang
aliran yang semacam yang dipelopori oleh Axel Hegerstrom,
Olivercrona. Lunstedt, dan Ross. Ciri-ciri gerakan ini ialah menolak
berlakunya suatu hukum alam, merupakan filsafat yang mengkritik
metafisika umum.
35
BAB IV
PERMASALAHAN YANG DIKAJI FILSAFAT HUKUM
A. Masalah Hukum Dan Kekuasaan
Hubungan hukum dangan kekuasaan dapat dirumuskan secara
singkat dalam slogan sebagai berikut: Hukum tanpa kekuasaan adalah
angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman.
Dalam penerapannya, hukum memerlukan suatu kekuasaan untuk
mendukungnya. Ciri utama inilah yang membedakan antara hukum di satu
pihak dengan norma-norma sosial lainnya dan norma agama. Kekuasaan itu
diperlukan karena hukum bersifat memaksa. Tanpa adanya kekuasaan,
pelaksanaan hukum di masyarakat akan mengalami hambatan-hambatan.
Semakin tertib dan teratur suatu masyarakat, makin berkurang diperlukan
dukungan kekuasaan. Masyarakat tipe terakhir ini dikatakan sebagai
memiliki kesadaran hukum yang tinggi di lingkungan anggota-anggotanya.
Hukum itu sendiri sebenarnya juga adalah kekuasaan. Hukum
merupakan salah satu sumber daripada kekuasaan, di samping sumbersumber lainnya seperti kekuatan (fisik dan ekonomi), kewibawaan
(rohaniah, intelegensia dan moral). Selain itu hukum pun merupakan
pembatas bagi kekuasaan oleh karena kekuasaan itu mempunyai sifat yang
buruk yaitu selalu merangsang pemegangnya untuk ingin memiliki
kekuasaan yang melebihi apa yang dimilikinya. Contoh populer misalnya,
sepak terjang para raja absolut dan diktator.
Baik buruknya suatu kekuasaan, tergantung dari bagaimana
kekuasaan tersebut dipergunakan. Artinya, baik buruknya kekuasaan
senantiasa harus diukur kegunaannya untuk mencapai suatu tujuan yang
sudah ditentukan atau disadari oleh masyarakat terlebih dahulu.
Antara hukum dan kekuasaan terdapat hubungan yang erat.
Peperzak mengemukakan, adanya hubungan ini dapat diperlihatkan dengan
dua cara sebagai berikut di bawah ini:
Cara Pertama dengan menelaahnya dari konsep sanksi. Adanya
perilaku yang tidak mematuhi aturan-aturan hukum menyebabkan
diperlukan sanksi untuk menegakkan aturan hukum itu tadi. Karena sanksi
dalam kenyataannya merupakan suatu kekerasan, maka penggunaannya
memerlukan legitimasi yuridis (pembenaran hukum) agar menjadikannya
sebagai kekerasan yang sah. Legitimasi yuridis yang dapat diberikan untuk
membenarkan digunakannya sanksi sebagai kekerasan yang sah adalah
fakta, bahwa perilaku ketidakpatuhan terhadap hukum tersebut merupakan
bentuk pertama dari kekerasan yang harus ditanggulangi yaitu ditindak atau
36
Atau hukum positif dapat menyimpang dari hukum alam karena validitasnya
berasal dari norma hukum (yang lebih tinggi) itu sendiri atas dasar perintah
penguasa atau negara yang menciptakan norma hukum tersebut?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan coba dijawab dengan menelusuri
ajaran-ajaran hukum alam dan hukum positif dari beberapa ahli hukum pada
zaman kuno sampai zaman modern.
Dari uraian diatas ada dua persoalan yang akan ditelusuri dalam tulisan ini,
yaitu:
A.
AJARAN HUKUM ALAM PADA ZAMAN
YUNANI DAN ROMAWI
Dalam filsafat sebelum Aristoteles hukum alam merupakan aturan
semesta alam, dan sekaligus aturan hidup bersama melalui undang-undang.
Dalam filsafat kaum sofis hukum alam ditafsirkan sebagai hukum dari
yang paling kuat, yang sebetulnya tidak dapat disebut hukum; yang disebut
hukum alam disini, tidak lain daripada kekuasaan dan kekerasan.
Aristoteles merupakan orang yang pertama kali membedakan antara
hukum alam dan hukum positif. Menurutnya, hukum alam adalah suatu
hukum yang berlaku selalu dan di mana-mana karena hubungannya dengan
aturan alam. Hukum ini tidak pernah berubah, tidak pernah lenyap dan
berlaku dengan sendirinya.
Hukum alam ini dibedakan dari hukum positif, yang seluruhnya
tergantung dari ketentuan manusia. Bagi kaum sofis, alam merupakan
sesuatu yang bersifat eksternal, sesuatu yang berada diluar manusia.
Sedangkan Aristoteles, dalam bukunya logikamemandang bahwa dunia
sebagai totalitas yang meliputi seluruh alam. Manusia adalah bagian dari
alam, diberkahi dengan akal yang aktif yang membedakannya dari semua
bagian lain dari alam. Manusia hanya mampu membentuk kehendaknya
sesuai dengan pengertian akalnya. Tesis Aristoteles ini menjadi dasar
konsepsi hukum alam para filsuf Stoa.
Aliran filsafat yang paling mempengaruhi pandangan orang
Romawi mengenai hukum adalah aliran Stoa. Ide dasar Stoa ialah, bahwa
semuanya yang ada merupakan suatu kesatuan yang teratur (kosmos),
berkat suatu prinsip yang menjamin kesatuan itu, yakni jiwa dunia (logos).
Logos itu tidak lain dari Budi Ilahi, yang menjiwai segala.
Aliran ini berpendapat bahwa hidup bersama manusia mempunyai
hubungan dengan logos yakni melalui hukum universal (lex universalis)
yang terdapat dalam segala-galanya. Hukum universal itu terkandung dalam
logos, dan sebagai demikian disebut hukum abadi (lex aeterna). Sejauh
hukum abadi itu menjadi nyata dalam semesta alam, hukum itu disebut
hukum alam (lex naturalis). Hukum alam ini tidak tergantung dari orang,
49
selalu berlaku dan tidak dapat diubah. Hukum alam ini merupakan dasar
segala hukum positif.
Para filsuf Stoa, membedakan antara cita-cita hukum alam yang
nisbi dan absolut. Pada masa kegemilangan hukum alam, tidaklah terdapat
keluarga, perbudakan, hak milik, maupun pemerintahan. Tetapi lembagalembaga ini menjadi penting dengan merosotnya moral umat manusia.
Hukum alam nisbi menuntut dari pembentuk perundangundangan, adanya undang-undang yang dituntun oleh akal, dan sedekat
mungkin pada hukum alam mutlak. Sasaran tertinggi manusia ialah menjadi
manusia yang adil, dengan tunduk kepada hukum alam (nomos) sebagai
pernyataan Budi Ilahi (logos). Undang-undang negara ditaati karena sesuai
dengan hukum alam. Bahkan pemikir-pemikir Stoa berpendapat bahwa
masyarakat manusia dipertahankan dan dikembangkan karena ketaatan akan
hukum alam.
B.
AJARAN HUKUM ALAM PADA ZAMAN
ABAD PERTENGAHAN
St. Thomas Aquinas adalah filsuf terbesar dari aliran Scholastic di
abad pertengahan. Ia menerima pengaruh dari Aristoteles tetapi
menyatakannya dengan dogma agama Kristen sehingga merupakan suatu
sistem pemikiran tersendiri. Thomas Aquinas merumuskan hukum sebagai
peraturan yang berasal dari akal untuk kebaikan umum yang dibuat oleh
seorang yang mempunyai kewajiban untuk menjaga masyarakatnya dan
mengundangkannya. Oleh karena dunia ini diatur oleh tatanan Ketuhanan,
seluruh masyarakat dunia ini diatur oleh akal ketuhanan. Hukum ketuhanan
adalah yang tertinggi. Thomas Aquinas membedakan empat macam hukum,
yaitu: lex aeterna, lex naturalis, lex divina dan lex humana.
Lex aeterna adalah akal keilahian yang menuntun semua gerakan
dan tindakan dalam alam semesta. Hanya sebagian kecil saja dari lex
aeterna yang bisa ditangkap oleh manusia melalui akal pikiran yang
dianugrahkan Tuhan kepadanya.
Bagian yang bisa ditangkap ini disebut sebagai lex naturalis, yang
memberikan pengarahan kepada kegiatan manusia melalui petunjukpetunjuk umum. Petunjuk yang paling dasar adalah, bahwa yang baik harus
dilakukan, sedang yang buruk dihindari. Mengenai apa yang disebut baik,
Thomas Aquinas mengaitkannya kepada apa yang merupakan kecendrungan
alamiah pada manusia. Pertama, adalah insting manusia yang alamiah untuk
mempertahankan hidupnya. Kedua, daya tarik antara kedua jenis kelamin
dan hasrat untuk membesarkan dan mendidik anak-anak. Ketiga, manusia
mempunyai hasrat alamiah untuk mengenal Tuhan dan kecendrungan untuk
menolak ketidaktahuan. Keempat, manusia ingin hidup dalam masyarakat
dan oleh karena itu adalah suatu hal yang alamiah pada manusia untuk
50
terhadap tingkah laku manusia itu satu dengan lainnya harus didasarkan atas
kesusilaan alam tersebut.
Hukum alam yang didapati manusia berkat kegiatan rasionalnya
dipandang oleh Grotius sebagai hukum yang berlaku secara real sama
seperti hukum positif. Dalam hal ini Grotius menurut tradisi Skolastik.
Namun ia menyimpang dari pandangan Skolastik dengan memastikan,
bahwa hukum alam tetap berlaku, juga seandainya Allah tidak ada.
Sebabnya ialah bahwa hukum alam itu termasuk akal budi manusia sebagai
bagian dari hakekatnya. Dilain fihak Grotius tetap mengaku, bahwa Allah
adalah pencipta semesta alam.
Oleh karena itu secara tidak langsung Allah tetap merupakan
pondamen hukum alam. Dengan demikian Grotius juga mengakui bahwa
disamping hukum alam yang bersumber pada rasio manusia, ada hukum
alam yang bersumber dari rasio Tuhan, misalnya yang terdapat dalam Kitab
Suci. Terhadap hal ini Apeldoorn melihat bahwa Grotius tidak konsekuen
dengan pendapatnya. Dalam De Jure Belli ac Pacis, Grotius mengatakan
bahwa Tuhan adalah pencipta dari alam semesta. Jadi hukum alampun
secara tidak langsung merupakan ciptaan Tuhan juga.
Grotius mengemukakan prinsip rasional pertama dalam bidang
hukum ialah setiap orang mempunyai kecendrungan untuk hidup bersama
orang lain secara damai. Kecendrungan ini ada pada manusia lepas dari
kemauannya. Oleh karena itu kecendrungan ini dapat menjadi dasar yang
objektif seluruh hukum. Sehubungan dengan prinsip ini Grotius
mengemukakan empat prinsip yang merupakan tiang dari seluruh sistem
hukum alam yaitu:
1. prinsip kupunya dan kaupunya. Milik orang lain harus dijaga. Jika
barang-barang yang dipinjam membawa untung, untung itu harus
diganjar;
2. prinsip kesetiaan pada janji;
3. prinsip ganti rugi, yakni kalau kerugian itu disebabkan karena
kesalahan orang lain; dan
4. prinsip perlunya hukuman karena pelanggaran atas hukum alam dan
hukum-hukum lain.
Keempat prinsip ini ditemukan secara a priori sebagai prinsip
segala hukum. Akan tetapi prinsip itu dapat juga ditemukan secara
aposteriori, yakni sebagai kenyataan pada semua bangsa yang beradab.
Selanjutnya Grotius membagi hukum alam dalam arti sempit dan
dalam arti luas. Dalam arti sempit adalah hukum yang sesungguhnya oleh
karena menciptakan hak untuk menuntut, supaya diberikan apa yang
termasuk padanya (facultas). Keadilan yang berlaku dalam bidang ini ialah
keadilan yang melunasinya (penulis: keadilan komutatif). Sementara hukum
52
alam dalam arti luas ialah hukum yang tidak menciptakan hak yuridis,
melainkan hanya suatu hak berupa kepantasan (aptitudo). Keadilan yang
berlaku dibidang ini ialah keadilan yang memberikan (penulis: keadilan
distributif).
Mengenai hubungan hukum alam dan hukum positif Grotius
berpendapat bahwa hukum positif adalah hukum yang berlaku dalam negara
sebab disetujui dan disahkan oleh yang berwibawa. Hukum ini (positif)
tidak boleh melawan hukum alam, yakni tidak boleh menyuruh sesuatu
yang terlarang oleh hukum alam. Tetapi hukum alam sebagai batas hukum
positif boleh dilewati, jika dituntut oleh kepentingan umum negara.
Berlawanan dengan Grotius, Thomas Hobbes tidak menerima
adanya kecendrungan untuk hidup bersama pada manusia. Menurut Hobbes
manusia sejak zaman purbakala seluruhnya dikuasai oleh nafsu-nafsu
alamiah untuk memperjuangkan kepentingannya sendiri.
Oleh karena dalam situasi asli belum terdapat norma-norma hidup
bersama, maka orang primitif mempunyai hak atas semuanya. Maka
timbullah apa yang disebut Hobbes bellum omnium contra omnes, manusia
menjadi srigala bagi manusia lainnya (homo homini lupus). Lama kelamaan
orang mulai sadar akan keuntungan untuk mengamankan hidupnya dengan
menciptakan suatu aturan hidup bersama bagi semua orang yang termasuk
kelompok yang sama.
Untuk mencapai aturan semacam itu semua orang harus
menyerahkan hak-hak asli mereka atas segala-galanya dan harus menuruti
beberapa kecendrungan alamiah yang oleh Hobbes disebut hukum alam
(leges naturales). Hukum-hukum alam ini bukan hukum dalam arti yang
sesungguhnya, tetapi hanya merupakan petunjuk yang harus diikuti jika
tujuan hendak dicapai, seperti petunjuk carilah damai, serahkanlah hak
aslimu, berlakulah terhadap orang lain sebagaimana kau ingin orang lain
berlaku terhadapmu, dan tepatilah janji-janjimu.
Pentingnya prinsip bahwa janji harus ditepati paling menyolok
dalam suatu persetujuan yang oleh Hobbes disebut kontrak asli, yaitu
persetujuan orang-orang dalam suatu kelompok untuk membentuk suatu
hidup bersama dan teratur. Persetujuan sosial yang asli inilah menjadi asal
mula dari negara.
D.
AJARAN HUKUM ALAM PADA ZAMAN
PENCERAHAN
John Locke, seperti halnya Hobbes juga menerangkan timbul
negara dan hukum dengan melukiskan situasi pada zaman primitif. Namun
Locke merupakan penentang teori absolutisme dari Hobbes, dengan
mengemukakan teori tentang hak-hak individu yang tidak bisa dicabut.
53
oleh sebab itu berlaku universal dan tidak berubah-ubah yang ingin
dijabarkan sesuai dengan kodrat segala sesuatu didunia ini.
Walaupun demikian Montesquieu tetap melihat adanya hubungan
yang erat antara hukum alam dan situasi konkrit suatu bangsa. Hukum alam
adalah suatu hukum yang berlaku bagi manusia sebagai manusia. Tetapi
bagaimana hukum alam dikonkretkan dalam bentuk negara dan hukum
tergantung dari situasi historis, psikis dan kultural suatu bangsa. Maka
undang-undang yang paling baik adalah undang-undang yang paling cocok
dengan suatu bangsa tertentu.
Berbeda dengan Hobbes, Locke dan Montesquieu, Jean Jacques
Rousseau sama sekali tidak bicara mengenai suatu hukum alam pada
manusia primitif. Hukum alam itu baru terdapat pada orang-orang yang
sudah masuk masyarakat sipil. Melalui kontrak sosial manusia menerima
pengesahan dari hak-haknya sebagai manusia, baik secara moral maupun
secara yuridis.
Kontrak sosial yang membangkitkan masyarakat sipil berasal dari
kehendak semua orang yang semuanya ingin mewujudkan cita-cita
individualnya. Tetapi sesudah timbulnya masyarakat baru cita-cita
individual itu diganti oleh cita-cita umum, yang berasal dari kehendak baru,
yakni kehendak umum (volonte generale) yang kemudian melahirkan tujuan
umum yaitu kepentingan umum. Sehingga kalau dalam masyarakat tertentu
dibentuk undang-undang yang tidak mencerminkan kepentingan umum,
sebab berlakunya tidak sama bagi semua orang, maka undang-undang itu
harus dianggap tidak adil.
Immanuel Kant mempunyai pandangan lain mengenai hukum alam.
Menurutnya hukum alam tidak lain adalah hukum sebab akibat, yang
menentukan alam secara deterministis. Latar belakang pandangan Kant ini
ialah perpisahan antara bidang ada dan bidang harus, bidang akal budi
teoretis dan bidang akal budi praktis.
Prinsip-prinsip aturan hukum termasuk bidang akal budi praktis,
dan karenanya mewajibkan secara otonom. Tetapi aturan hukum sendiri
termasuk bidang akal budi teoretis, oleh karena dialami sebagai gejala alam.
Dalam bidang teoretis ini tidak terdapat kewajiban. Disini hanya berlaku
hukum-hukum alam. Bila hukum termasuk alam, dan dengan ini berada di
luar bidang moralitas, maka dapat dimengerti pula, bahwa kekerasan dan
ancaman boleh digunakan untuk menjaga aturan hukum.
Dengan ditegakkannya aturan hukum secara demikian, maka
dengan tidak langsung aturan moral juga ditunjang. Menurut filsafat Kant
undang-undang harus dibentuk berdasarkan prinsip-prinsip umum hukum,
sebagaimana ditangkap oleh akal budi praktis. Peraturan-peraturan negara
adalah konkretisasi dari prinsip-prinsip umum itu. Sehingga ia menegaskan
56
bahwa hukum hanya menjadi hukum oleh karena berasal dari yang berhak
untuk membentuk hukum, yakni pemerintah.
E.
AJARAN HUKUM ALAM NEO-KANTIAN
Beberapa penganut Kant yang dikenal dengan Neo-Kantian, seperti
Hans Kelsen dan Rudolf Stammler memberikan pendapat mengenai hukum
alam secara berbeda. Dalam menjelaskan peraturan hukum dan hukum
alam, Hans Kelsen menyatakan bahwa peraturan hukum merupakan bentuk
logis dari hukum alam (the rule of law is the logical form of the law of
nature). Seperti halnya peraturan hukum, hukum alampun menghubungkan
dua fakta satu sama lain seperti kondisi dan konsekuensi. Yang dimaksud
dengan kondisi disini adalah sebab, konsekuesi adalah akibat. Bentuk
dasar dari hukum alam adalah hukum kausalitas (the fundamental form of
the law of nature is the law of causality).
Perbedaan antara peraturan hukum dengan hukum alam tampaknya
adalah bahwa peraturan hukum menunjuk kepada manusia dan
perbuatannya, sedangkan hukum alam menunjuk kepada kebendaan dan
reaksi-reaksinya. Namun demikian, perbuatan manusia, juga bisa menjadi
kajian hukum alam asalkan perbuatan manusia juga termasuk fenomena
alam.
Prinsip yang digunakan ilmu (hukum) alam dalam mendeskripsikan
objek-objeknya adalah kausalitas, sementara prinsip yang digunakan ilmu
hukum dalam mendeskripsikan objek-objeknya adalah norma-norma.
Berbeda dengan Kelsen, Stammler sampai kepada suatu pemikiran hukum
alam yang bersifat tidak abadi. Hal ini disebabkan karena dasar dari hukum
alamnya adalah kebutuhan manusia. Karena kebutuhan manusia ini
berubah-ubah sepanjang waktu dan tempat, maka akibatnya hukum alam
yang dihasilkannya juga berubah-ubah setiap waktu dan tempat. Stammler
berpendapat bahwa adil tidaknya sesuatu hukum terletak pada dapat
tidaknya hukum itu memenuhi kebutuhan manusia.
F.
HUKUM ALAM MENURUT MOCHTAR
KUSUMAATMADJA
Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan bahwa hukum bertalian
dengan kehidupan manusia dalam masyarakat, bukan hukum dalam arti
ilmu pasti dan alam yang objeknya benda mati. Dalam hukum positif, objek
yang diaturnya sekaligus merupakan subjek (pelaku). Ini mempunyai akibat
yang penting bagi metode keilmuannya dan penjelasan tentang sebab-akibat
(kausalitas).
Hukum positif yang menjadi objek ilmu hukum positif tidak sepasti
hukum ilmu alam. Sebagai suatu ilmu yang mempelajari hukum positif
sebagai suatu perangkat kaidah yang mengatur manusia dan masyarakat, ia
57
tidak diatur oleh metode ke-ilmuan ilmu pasti dan alam, melainkan oleh
metode ke-ilmuan humanities (humaniora).
Hukum positif yang mengatur perilaku (tingkah laku) manusia yang
bukan benda mati melainkan makluk hidup yang mempunyai pikiran dan
kemampuan membedakan antara yang baik dan buruk (etika), mempunyai
konsekuensi tidak saja bagi metode keilmuannya tetapi juga bagi kausalitas.
Dari penjelasan Mochtar Kusumaatmadja tersebut jelas dapat dilihat bahwa
ia membedakan antara hukum positif dan hukum alam itu secara tajam dan
yang terpenting menurutnya bagi manusia adalah hukum positif.
G.
58
BAB VI
TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN
Di dalam beberapa literatur terdapat berbagai perumusan tentang
pengertian hak dan kewajiban. Mengenai pengertian hak, perumusan yang
banyak diikuti berasal dari Salmond yang antara lain mendefinisikan hak itu
sebagai kepentingan yang diakui dan dilindungi oleh hukum. Memenuhi
kepentingan itu merupakan suatu kewajiban, sedangkan melalaikan adalah suatu
kesalahan. Suatu hak, karena itu menghartuskan kepada mereka yang terkena
untuk melakukan suatu perbuatan atau tidak melakukan perbuatan. Hak ini
berhubungan dengan suatu obyek tempat perbuatan yang terkait.
Allen, merumuskan hak itu sebagai suatu kekuasaan berdasarkan
hukum yang dengannya seseorang dapat melaksanakan kepentingannya.
Jhering pun mengemukakan pandangan yang tidak berbeda dengan rekanrekannya di atas bahwa hak itu adalah kepentingan yang dilindungi oleh hukum.
Sedangkan Holland melihat hak itu sebagai kemampuan seseorang untuk
mempengaruhi perbuatan atau tindakan seseorang tanpa menggunakan
wewenang yang dimilikinya, tetapi didasarkan atas suatu paksaan masyarakat
yang terorganisasi.
A. Kesalahan (Wrongs)
A.K. Sarkar (1979:81), sebelum membahas hak dan kewajiban,
mengulas terlebih dahulu pengertian salah atau kesalahan (wrong). Menurut
pendapatnya, yang dimaksudkan dengan salah atau kesalahan itu adalah
perbuatan yang bertentangan dengan atau melanggar ketentuan mengenai hak
dan keadilan. Kesalahan itu terdiri dari salah di sisi moral (etik) dan salah
menurut hukum.
Salah di sisi moral atau lazim disebut kesalahan alamiah (natural
wrong) adalah perbuatan yang secara moral atau alamiah adalah salah, yaitu
perbuatan yang dianggap bertentangan dengan hukum (keadilan) alam. Salah di
sisi hukum, sebaliknya, adalah perbuatan yang dinilai salah oleh pihak yang
berwenang, yaitu yang bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku.
Oleh karena itu, dinilai salah oleh dan demi pelaksanaan administrasi keadilan
yang diselenggarakan oleh negara.
59
Kesalahan yang berupa salah di sisi moral dapat atau tidak dapat
dinyatakan salah menurut hukum. Dalam beberapa kasus, kesalahan menurut
peraturan perundangan seringkali ditandai dengan hukuman fisik yang
dijatuhkan oleh negara. Hanya perlu diperhatikan bahwa adanya hukuman itu
bukan merupakan ciri utama. Yang menjadi ukuran ialah perbuatan itu jelas
bertentangan atau melanggar hukum.
Mengenai pengertian hak, A.K. Sarkar dengan mengikuti pendapat
Salmond, merumuskannya, sebagai yang berkenaan dengan kepentingankepentingan dan sesungguhnya telah dirumuskan sebagai hak-hak yang
dilindungi oleh ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang hak, yaitu oleh
moral atau ketentuan hukum.
B. Hak Atas Dasar Moral dan Hukum
Hak, sama halnya dengan kesalahan dan kewajiban, bersifat moral atau
hukum. Hak dari segi moral merupakan suatu kepentingan yang diakui dan
diatur oleh suatu ketentuan moral suatu kepentingan yang pelanggaran
terhadapnya akan dikatakan sebagai kesalahan dari segi moral, dan menaatinya
dikatakan sebagai kewajiban moral. Hak dari segi hukum merupakan
kepentingan diakui dan dilindungi oleh suatu peraturan perundangan yang
pelanggaran terhadapnya akan merupakan kesalahan dari segi hukum.
Hendaknya diperhatikan bahwa jika suatu kepentingan dijadikan
subyek dari hak menurut hukum, maka haruslah dipenuhi persyaratan, bukan
saja kepentingan itu dilindungi oleh hukum, melainkan juga harus diakui
olehnya. A.K. Sarkar memberi contoh tentang kepentingan yang dimiliki oleh
binatang ternak, ada di antaranya yang diatur dan dilindungi oleh undangundang sepanjang kemungkinan terjadinya kekejaman terhadapnya merupakan
perbuatan yang dapat dihukum. Akan tetapi, binatang-binatang ini tidak
memiliki hak-hak seperti manusia. Kewajiban yang dilaksanakan terhadap
binatang itu bukanlah merupakan kewajiban hukum, malinkan hanya kewajiban
kemanusiaan biasa.
Berkaitan dengan masalah hak dan kewajiban ini sering
dipertentangkan sejauh mana hubungan di antara hak di satu pihak dan
kewajiban di lain pihak. Di dalam literatur terdapat dua pandangan mengenai
masalah ini. Yang pertama berpendapat bahwa tidak akan ada hak tanpa adanya
kewajiban terhadapnya, atau sebaliknya. Sebagai contoh, jika saya memiliki hak
terhadap seseorang, maka orang ini mempunyai kewajiban tertentu kepada saya.
Juga, misalnya kalau saya berkewajiban, katakanlah melakukan perbuatan
tertentu kepada seseorang, orang ini memiliki hak tertentu pada saya. Ini berarti
bahwa setiap hak memiliki vinculum juris, yaitu kewajiban hukum yang
mengikat. Kedua bahwa terdapat perbedaan di antara kewajiban relatif dan
kewajiban yang mutlak.
60
Hakikat hak ialah selalu melihat pada seseorang. Jika kewajiban itu
ditujukan pada masyarakat pada umumnya atau pada kelompok masyarakat, ini
berarti bahwa hak itu tidak melekat pada orang tertentu. Kewajiban yang
dilakukan bersifat relatif. Lain halnya pada yang bersifat mutlak. Seseorang
yang berutang wajib membayar utangnya kepada yang berpiutang. Kewajiban
ini mutlak harus dilakukan. Kewajiban yang bersifat relatif, yaitu misalnya
kewajiban seseorang untuk mencegah terjadinya gangguan terhadap keamanan
masyarakat, dapat dilakukan atau tidak. Tidak terdapat secara hukum yang
mengharuskan perbuatan itu dilakukan.
Menurut Salmond, terdapat beberapa karakteristik atau ciri dari hak
yang diatur oleh hukum, yaitu:
a.
Melekat pada seseorang. Orang ini disebut sebagai pemilik hak (the
owner of the right) atau pemegang hak (the subject of it, the person entitled,
or the person inherence).
b.
Seseorang yang terkena oleh hak itu terikat oleh suatu kewajiban
tertentu. Orang ini disebut memiliki kewajiban (the person bound to) atau
subyek dari kewajiban (the subject of duty atau the person of incidence).
c.
Hak ini mewajibkan seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan
suatu perbuatan bagi kepentingan pemegang hak. Inilah yang merupakan isi
suatu hak.
d.
Melakukan atau tidak melakukan perbuatan tadi berkaitan dengan suatu
obyek tertentu (object or the subject matter of the right).
e.
Setiap hak memiliki title atau fakta-fakta atau peristiwa-peristiwa yang
atas dasar itu hak tersebut melekat pada seseorang.
Sehubungan dengan ciri-ciri hak yang diatur oleh hukum itu, A.K.
Sarkar menjelaskan lebih lanjut dengan sebuah contoh: A.membeli sebidang
tanah dari B. A adalah subyek pemegang hak. Para pihak yang terikat untuk
melakukan kewajiban adalah pihak-pihak pada umumnya, sebab ini merupakan
hak yang ditujukan kepada dunia. Isi hak terdiri dari hal yang tidak ada sangkut
pautnya dengan penggunaan secara eksklusif tanah tadi oleh pihak pembeli.
Yang menjadi obyek transaksi ini adalah tanah. Dan akhirnya, title dari hak ini
bersumber dari pemilik lama.
Dari contoh di atas, nyatalah bahwa setiap hak mengandung tiga
hubungan yang berkaitan:
a.
Hak yang meletakkan kewajiban pada seseorang atau beberapa orang;
b.
Kewajiban itu berupa melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan
oleh seseorang atau beberapa orang.
c.
Terdapat obyek tempat perbuatan atau tidak melakukan perbuatan itu
berkaitan.
C. Macam-macam Hak
61
Apa yang terurai di atas adalah hak dalam arti sempit (strictest sense);
artinya, setiap hak akan berhadapan dengan kewajiban. Dalam artinya yang luas
(wider sense), hak di sini tidak selalu disertai dengan keharusan adanya
kewajiban. Hak dirumuskan sebagai faedah atau keuntungan yang diperoleh
seseorang berdasar atas ketentuan hukum. Dikenal empat macam hak yang
tergolong ke dalam jenis ini:
a.
hak dalam arti sempit,
b.
kebebasan-kebebasan (liberties),
c.
kekuasaan (power),
d.
kekebalan (immunities).
Hak dalam arti sempit, sebagaimana telah disinggung di atas, akan
meletakkan suatu kewajiban bagi yang terkena oleh hak itu. Hak yang berupa
kebebasan akan melahirkan tidak ada hak (no rights), sedangkan yang berupa
kekuasaan akan berhadapan dengan pertanggungjawaban (liabilities). Yang
terakhir yaitu kekebalan, korelasinya ialah ketidakmampuan (disabilities).
1. Kebebasan dan Tanpa Hak
Salah satu hak dalam arti luas ini dikenal juga dengan istilah lisensi
(licences) atau hak istimewa (priveleges). Kebebasan ini merupakan suatu
keistimewaan yang bersumber dari tidak diperlakukannya suatu perbuatan
untuk memenuhi kewajiban tertentu terhadap pemegang hak. Oleh A.K.
Sarkar, dijelaskan dengan contoh sebagai berikut: Saya memiliki suatu hak
(dengan kata lain, saya memiliki kebebasan) untuk melakukan sesuatu
sesuai dengan keinginan saya, tetapi saya tidak mempunyai hak dan
kebebasan dalam hal ikut campurnya hak dan kebebasan yang dimiliki oleh
orang lain. Saya memiliki hak (dalam arti kebebasan) untuk mengemukakan
pendapat, tetapi saya tidak memiliki kebebasan untuk memfitnah atau
menghasut.
2. Kekuasaan dan Pertanggungjawaban
Kekuasaan dapat dirumuskan sebagai kemampuan yang dimiliki
seseorang atas dasar ketentuan hukum untuk mengubah menurut
kehendaknya, hak-hak, kewajiban-kewajiban, pertanggungjawaban, atau
hubungan-hubungan hukum lainnya, apakah oleh dirinya sendiri atau oleh
pihak lain. Kekuasaan dapat berupa kekuasaan yang bersifat publik berada
di tangan seseorang sebagai wakil atau alat dari fungsi-fungsi negara, tediri
dari berbagai bentuk badan perwakilan (legislatif), kehakiman (judicial),
dan pemerintahan (executive authority).
Sebaliknya kekuasaan yang bersifat privat atau perdata adalah
kekuasaan yang melekat pada seseorang yang dapat digunakan sesuai
dengan keinginannya. Kekuasaan itu dapat berupa kemampuan untuk
menentukan hubungan hukum dari pihak lain, atau kemampuan untuk
62
1. Hak yang Sempurna dan Tidak Sempurna. Hak yang sempurna adalah hak
yang ditandai oleh pemenuhan kewajiban yang sempurna pula. Sedangkan
kewajiban yang sempurna adalah kewajiban yang bukan saja diatur,
melainkan dapat dipaksakan oleh hukum. Hak yang tidak sempurna adalah
hak yang juga dikenal dan diatur oleh hukum, namun tidak dapat
dipaksakan. Sebagai contoh misalnya: hak untuk menuntut yang hilang
karena kadaluwarsa atau sebab-sebab lain, misalnya hilangnya dokumen
penting yang dapat digunakan sebagai bukti tuntutan.
2. Hak yang Bersifat Positif dan Negatif. Hak yang positif melahirkan
kewajiban positif. Ini merupakan suatu hak di mana seseorang yang
memiliki kewajiban akan melakukan perbuatan yang bersifat positif atas
nama orang yang berhak tadi. Sebaliknya hak yang negatif akan
menyebabkan timbulnya kewajiban yang negatif pula. Hak yang negatif
merupakan hak di mana orang yang terikat akan menahan diri untuk tidak
melakukan sesuatu perbuatan yang akan menimbulkan prasangka kepada
pemegang hak. Hak yang bersifat positif akan secara positif
menguntungkan, sedangkan yang bersifat negatif merupakan hak untuk
tidak merugikan.
3. Hak In Rem dan Hak In Personam. Hak In rem ini sering juga disebut
hak yang kongkret, merupakan kewajiban yang dikenakan pada orangorang pada umumnya. Hak In Personam juga disebut hak perseorangan,
merupakan kewajiban yang dibebankan kepada seseorang tertentu. Hak in
rem dapat dipakai dari dunia luas, sedangkan hak in personam hanya
terbatas pada seseorang tertentu. Hak saya untuk secara aman dan damai
menyelenggarakan tanah pertanian saya merupakan hak in rem, sebab
semua orang di dunia berkewajiban untuk tidak mengganggu kedamaian
tersebut. Akan tetapi bila saya menyewakan tanah tersebut kepada seorang
penyewa, hak saya untuk memperoleh uang sewa daripadanya merupakan
hak in personam. Dengan alasan yang sama, hak saya untuk memiliki dan
menggunakan uang saya di dalam dompet saya merupakan hak in rem,
tetapi hak saya untuk menerima uang dari seseorang yang berutang kepada
saya adalah hak in personam. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hak
in rem merupakan kepentingan yang dilindungi terhadap seorang tertentu.
Selain itu dikenal pula istilah jus in rem yang berarti hak terhadap atau
mengenai suatu benda, sedangkan jus in personam merupakan hak terhadap
atau mengenai seseorang. Bagaimanapun nyatanya, setiap hak itu dalam
waktu yang bersamaan adalah mengenai benda atau disebut juga obyek, dan
terhadap seseorang yang disebut orang yang terikat. Dengan kata lain,
setiap hak itu berkaitan bukan saja dengan suatu hubungan yang riil,
melainkan juga hubungan yang personal (pribadi). Satu hal penting yang
perlu diketahui ialah adanya satu bentuk penting jus ad rem. Jus ad rem
64
4.
5.
6.
7.
8.
adalah adalah hak terhadap hak. Hak yang akan dialihkan dapat berupa in
rem atau in personam, walau yang umum bersifat in rem. Suatu persetujuan
untuk menandatangani suatu harta melahirkan jus ad jus in rem, suatu
persetujuan untuk menandatangani suatu kredit atau kontrak menimbulkan
suatu jus ad jus in personam.
Hak Milik dan Hak-hak Perseorangan. Agregat dari hak milik seseorang
mengatur tanah miliknya aktivitasnya atau hak miliknya, keseluruhan
jumlah hak ini menimbulkan status atau kondisi pribadi. Jika ia memiliki
tanah, peralatan meja kursi, saham-saham dalam suatu perusahaan, itikad
baik dalam suatu usaha dagang, semua ini melahirkan hak milik. Dan jika
dia seorang warga negara yang bebas, seorang ayah atau suami, hak-hak
yang dimilikinya melahirkan staus dan kedudukan menurut hukum.
Hak-hak In Re Propria dan Inre Aliena. Hak itu dapat dibagi atas dua
jenis, yaitu jura in re propria (hak terhadap miliknya sendiri) dan jura in re
aliena (hak terhadap milik orang lain). Jura in re aliena disebut juga
encumbrances. Hak yang in re aliena ini merupakan suatu hak yang berasal
dari beberapa hak pada umumnya yang dimiliki orang lain mengenai hal
atau obyek yang sama. Hak-hak lainnya disebut jura in re propria. Contoh
encumbrances misalnya sewa-menyewa (leases), servitudies (servitut),
securities, dan trust.
Hak yang Pokok (Principal) dan Tambahan (Accessory). Sebagai contoh,
misalnya suatu jaminan adalah hak tambahan kepada hak mengenai
jaminan; suatu servitut merupakan tambahan kepada pemilikan terhadap
tanah, yang dengan itu yang bersangkutan dapat menarik manfaatnya.
Hak yang Primer dan Hak yang Bersanksi. Pada uraian terdahulu telah
dikemukakan bahwa hak yang disertai sanksi terjadi karena adanya suatu
kesalahan, yaitu pelanggaran terhadap hak yang lain. Hak yang primer
memiliki sumber yang berbeda dengan kesalahan. Hak ini dapat berupa hak
in rem dan hak in personam. Akan tetapi hak yang memiliki sanksi ini, yang
bersumber dari hak primer, pada semua kasus akan merupakan hak in
personam. Hanya terhadap orang tertentu sanksi itu dapat diberlakukan.
Jadi, harus merupakan hak in personam.
Hak Atas Dasar Hukum dan Atas Dasar Keadilan (Legal and Equitable
Rights). Pada masa dahulu di Inggris yang disebut hak atas dasar hukum itu
adalah hak-hak yang diakui oleh peradilan Common Law (hukum adat),
sedangkan hak-hak atas dasar keadilan ialah yang diakui hanya oleh
peradilan Chancery (kekanseliran). Walaupun kemudian legal dan equity itu
disatukan atas dasar Judicature Act, 1873, perbedaan antara hukum dan
equity itu tetap berlangsung dan harus dianggap sebagai merupakan bagian
dari sistem hukum Inggris. Walaupun semua hak itu (baik legal maupun
equity) sekarang ini tetap diakui dan dikenal di semua poeradilan yang ada,
65
yang dilengkapi dengan kekuatan. Atas dasar kehendak ini seorang berhak
atas sesuatu.
Teori fungsi sosial dikembangkan oleh Leon Duguit. Hak adalah
fungsi sosial dalam arti bahwa kekuasaan yang dimiliki seseorang dibatasi
oleh kepentingan masyarakatnya. Menurut kata-kata Duguit (Apeldoornm
1971:50): Perseorang tak mempunyai hak, tetapi tiap-tiap orang
mempunyai tugas yang tertentu dalam masyarakat, fungsi sosial yang harus
dipenuhinya.
c.
Hak Masa Kini
Bahwa pada abad modern ini hak yang dimiliki individu itu
semakin dibatasi dan terjadi transformasi hukum ke arah sosialisasi hukum
yang aktual, dikemukakan oleh Roscoe Pound sebagai berikut:
1) Pembatasan penggunaan hak milik;
2) Pembatasan terhadap kebebasan untuk melakukan kontrak;
3) Pembatasan atas kekuasaan seseorang untuk mengasingkan hak
miliknya;
4) Pembatasan terhadap kekuasaan dari kreditur atau pihak yang dirugikan
untuk mendapat jaminan yang memuaskan;
5) Transformasi tentang pemikiran yang mendasar, pertanggungjawaban
ke arah yang lebih obyektif;
6) Putusan-putusan peradilan yang menyangkut kepentingan-kepentingan
sosial dengan cara membatasi ketentuan umum demi terciptanya
manfaat yang bersifat kebijaksanaan yang fleksibel;
7) Dana umum digunakan untuk mengganti kerugian-kerugian yang
diderita individu, dilakukan oleh badan-badan publik;
8) Penerapan perlindungan terhadap para anggota keluarga.
67
BAB VII
HAK MILIK
A. Pengertian Hak Milik
Hak milik adalah hubungan antara seseorang dengan suatu benda
yang membentuk hak pemilikan terhadap benda tersebut. Hak ini
merupakan suatu himpunan hak-hak yang kesemuanya merupakan hak in
rem. Hak ini terdiri dari:
1.
Hak untuk memiliki sesuatu. Pemilik berhak untuk memiliki
suatu benda yang dimilikinya. Benda ini barangkali telah dicuri,
diberikan kepada seseorang untuk sementara waktu atas dasar
pinjaman, digadaikan, dan lain-lain. Bagaimanapun, pemilik dapat
menguasai kembali bendanya dalam hal hubungan tersebut di atas telah
selesai. Dalam beberapa kasus tertentu, pemilik dapat mengajukan
tuntutan atau gugatan untuk mengembalikan barang miliknya.
2.
Hak untuk menggunakan dan menikmati. Pada dasarnya
pemilik dapat menggunakan dan menikmati barang miliknya sesuka
hatinya.
3.
Hak untuk memakai,
mengasingkan atau bahkan
membinasakan.
4.
Waktu yang terbatas. Pemilikan ini tak terbatas waktunya.
Sebaliknya, mereka yang mendapat hak penguasaan yang bersifat
sementara, memiliki waktu yang terbatas. Jika kontrak sewa berakhir,
dia harus mengembalikan haknya kepada pemilik benda yang disewa,
dan sebagainya. Kepentingan pemilik terhadap benda miliknya, juga
tidak terhenti oleh kematian dirinya. Hak milik itu akan diwariskan
sesuai dengan undang-undang kewarisan yang berlaku atau atas dasar
syarat-syarat yang termuat dalam testamen.
5.
Pemilikan juga mempunyai sifat sisa dalam arti bahwa
walaupun hak penguasaan telah diserahkan kepada pihak lain karena
kontrak sewa, misalnya, hak-hak yang tersisa terhadap benda tersebut
tetap melekat pada pemilik. Namun, harus diingat bahwa kekuasaan
yang dimiliki pemilik terhadap benda miliknya tidaklah bersifat mutlak.
Ini berarti bahwa jika saya memiliki pistol, tidak berarti bahwa saya
68
BAB VIII
HAK UNTUK MENGUASAI
A. Hak Milik dan Hak Menguasai
Terdapat perbedaan di antara hak milik dan hak untuk menguasai
suatu benda. Yang pokok ialah bahwa hak milik bersifat permanen,
sedangkan hak menguasai, jika tidak disertai hak pemilikan atas benda
tersebut, bersifat sementara. Perbedaan lainnya ialah bahwa hak milik
menunjuk kepada suatu ketentuan hukum dari suatu sistem hukum,
sedangkan hak untuk menguasai suatu benda menunjukkan adanya fakta
bahwa terdapat hubungan di antara manusia dan benda. Dengan demikian,
hak milik merupakan suatu konsep hukum, dan hak menguasai merupakan
konsep hukum maupun bukan hukum, atau bahkan konsep prahukum.
Berkaitan dengan hak menguasai ini, maka beberapa ahli hukum
seperti Vinogradoff, Maine, Salmond, dan Holland, pada umumnya
mereka sependapat bahwa dalam konsep possession (hak menguasai) ini
disyaratkan adanaya fakta penguasaan yang nyata terhadap suatu benda, dan
adanya keinginan yang kuat untuk menggunakan atau memanfaatkan
kekuasaan tadi bagi dirinya.
A.K. Sarkar (1979:104) mengemukakan contoh mengenai hak
menguasai ini. Dimulai dengan mengatakan bahwa hak menguasai itu
71
disebabkan oleh sendok itu berada di tangan tamu untuk digunakan, tidak
berarti dia memiliki hak untuk membawa pulang benda tadi.
Pemegang hak, dalam arti hukum, tetap berada pada saya. Hal yang
sama juga pada kasus ini: Andaikan membeli sebuah lemari kerja. Di
dalamnya tersembunyi barang-barang berharga pada sebuah laci rahasi,
sedangkan penjual tidak bermaksud menyerahkannya kepada saya. Maka,
kehendak saya untuik memiliki atau menguasai barang-barang itu secara
tidak sah akan dianggap sebagai suatu pencurian menurut hukum common
law Inggris walau penguasaan terhadap lemari itu secara faktual berarti
menguasai pula benda-benda yang terdapat di dalamnya. Dari contoh ini
jelas bahwa penguasaan secara fisik menjadi berkurang dari pada
penguasaan dari segi hukum.
Penguasan terhadap suatu benda di sisi hukum kadang-kadang tidak
dimungkinkan tanpa sepengetahuan pemiliknya. Sebagai contoh, misalnya.
Jika Anda mengambil cincin saya yang terletak di kolam renang, Anda
akan dianggap sebagai pencuri walau saya tidak mengetahui bahwa cincin
tersebut terletak di tempat tersebut. Seringkali faktor pengetahuan ini
merupakan syarat yang diperlukan. Apabila saya kehilangan dompet , dari
segi hukum saya berhak memintanya kembali walaupun kenyataannya
dapat dikatakan kehilangan pemilikan terhadap dompet tadi. Agar saya
benar-benar kehilangan penguasaan , saya harus menghilangkan keinginan
atau kehendak untuk meiliki atau menguasai misalnya dengan cara
membuangnya ke tempat sampah.
Satu hal yang perlu dicatat ialah bahwa hukum kebiasaan (common
law) di Inggris tidak mengatur tentang siapa yang dianggap pemegang titel
yang sah, tetapi pengadilanlah yang akan menentukannya.
Contoh menguasai menurut hukum yang bermakna relatif tersebut
di atas: Seorang pelayan membawa jas hujan milik tuannya. Seseorang
mencuri jas hujan tadi. Ketika berhadapan dengan pencuri pelayan tadi
memiliki hak penguasaan terhadap jas hujan itu, namun tidak, jika ia
berhadapan dengan tuannya.
B. Hak Penguasaan Yang Langsung dan Tidak Langsung
Hak penguasan yang dimiliki oleh seseorang melalaui seseorang
lain sebagai hak menguasai secara tidak langsung, sedangkan mereka yang
mendapatkannya atau menerimanya secara langsung atau personal, disebut
hak menguasai secara langsung. Sebagai contoh: Jika Anda sendiri membeli
sebuah buku, berarti Anda secara langsung mendapatkan hak penguasaan
atas, sekaligus memiliki buku tadi. Jika Anda menyuruh pembantu Anda
membelinya, maka hak tadi akan didapat secara tidak langsung, sebab hak
itu baru ada di tangan Anda secara langsung jika buku yang dibeli tadi
diserahkan oleh pembantu Anda.
73
6.
76
77