You are on page 1of 32

LAPORAN KASUS

Abses Submental

Pembimbing:
dr. Kote Noordhianta , Sp.THT-KL, M.Kes
Penyusun :
Yoshie Patricia

2015 061 005

Kepaniteraan Klinik Ilmu THT


Fakultas Kedokteran Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
RSUD Syamsudin,SH Sukabumi
Periode: 11 Januari 2016 6 Februari 2016
1

BAB I
LAPORAN KASUS

IDENTITAS
Nama/MR

: Tn. K

Umur

: 50 tahun

Alamat

: Tanjung Jaya

Pekerjaan

: pegawai swasta

Agama

: Islam

Suku Bangsa

: Sunda

Tanggal masuk : 3 Januari 2016

ANAMNESIS
Keluhan utama:
Nyeri menelan sejak 4 hari SMRS
Riwayat penyakit sekarang:

OS merasa nyeri menelan sejak 4 hari yang lalu. Nyeri dirasakan terutama saat
menelan makanan dan berbicara. Nyeri menelan dirasakan semakin parah sehingga
OS tidak bisa makan. 4 hari SMRS juga OS merasa demam. Demam dirasakan tidak
terlalu tinggi. Demam tidak disertai menggigil dan kejang. OS juga mengeluh terdapat
benjolan pada bawah dagu yang dirasakan sejak 4 hari SMRS. Benjolan dirasakan
semakin membesar dan terasa nyeri terutama saat membuka mulut. Pasien tidak
mengeluhkan sesak nafas dan sakit kepala. Riwayat suara serak, batuk, pilek, dan
pusing disangkal. Pasien juga menyangkal pernah sakit di telinga, hidung, dan
tenggorokan sebelumnya. OS mengaku sering mengalami sakit gigi di rahang bawah
tetapi saat ini sudah tidak terasa sakit.
2

OS belum pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya.


Riwayat penyakit dahulu:

Gigi berlobang sejak 10 tahun yang lalu di rahang kanan bawah dan belum pernah
berobat.

Tidak pernah menderita sakit atau bengkak di leher sebelumnya.

Riwayat penyakit keluarga:


-

PEMERIKSAAN FISIK
STATUS GENERALIS
Tanda vital
Keadaan umum

: tampak sakit sedang

Kesadaran

: kompos mentis

Tekanan darah

: 130/80 mmHg

Frekuensi nadi

: 98 x/menit

Frekuensi nafas

: 20 x/menit

Suhu tubuh

: 36,8o C

STATUS LOKALIS THT


Telinga

AD

AS

normotia, tanda radang (-), nyeri

normotia, tanda radang (-), nyeri

tarik aurikula (-), nyeri tekan

tarik aurikula (-), nyeri tekan

Aurikula

tragus (-)

tragus (-)

hiperemis(-), udem(-), sekret(-),

hiperemis(-), udem(-),sekret(-),

serumen(-), tanda radang(-),

CAE

serumen(-), sekret(-), tanda

massa(-)
intak (+), tenang, reflek cahaya
(+)

radang(-), massa(-)
intak (+), tenang, reflek cahaya

Membran timpani

(+)

Hidung
Pemeriksaan

Kelainan

Dekstra

Sinistra

Edema

Hiperemis

Sekret

Massa

Laserasi

Eutrofi

Eutrofi

Rinoskopi Anterior

Mukosa Cavum nasi

Konka Inferior

Orofaring dan mulut


Bagian

Pemeriksaan

Keterangan

NPOP
Faring

Tonsil

Mulut

Mukosa

tenang

Granula

Post nasal drip

Mukosa

tenang

Besar

T2/T2, hiperemis(-),edem (-)

Kripta

Melebar +/+

Detritus

-/-

Perlengketan

-/-

Mukosa mulut

tenang

Lidah

bersih, basah

Palatum molle

tenang

Gigi geligi

caries (+) Premolar1 ,M2, M3


inferior dextra dan sinisra

Uvula

simetris

Pemeriksaan Leher (Regio SubMental)


Inspeksi: Tampak pembengkakan leher a/r submental, uk. 5x5, edema (+), hiperemis (+), pus
(-)
Palpasi : Konsistensi lunak, fluktuasi ada, tidak ikut dalam menelan, nyeri tekan
Pemeriksaan kelenjar getah bening leher: tidak ada pembesaran
PEMERIKSAAN PENUNJANG
5

Laboratorium (3 Januari 2016)


Jenis Pemeriksaan
Hemoglobin
Leukosit
Hematokrit
Trombosit
GDS

Hasil

Nilai Rujukan
Hematologi

13,2

12-16

18,5

4,0-9,0

37
361
132

Satuan
g/dl
103 /uL

35-45

150-350

103 /uL

70 -180

Mg/dL

Diagnosis kerja

: Abses submental

Saran pemeriksaan

: STL AP Lateral dan Ro Thorax

Penatalaksanaan

: Pemberian cairan maintenance (IVFD RL 20 tetes/menit)


Antibiotik (cefotaxime 2x1gr bolus iv & metronidazol 3x500mg iv)
Analgetik (ketorolac 2x30mg bolus iv)
Ranitidin (3x1 gram bolus iv)

FOLLOW UP

12 Januari 2016

Regio submental

POD 5 post insisi

Pasien sudah tidak

Tampak luka post op

drainase a/i abses

mengeluh demam,

yang terpasang karet

submental

Nyeri menelan

drainase a/r coli

berkurang, diet

anterior dextra

lunak, Nyeri di

Pus (+) ; kecoklatan,

rahang bwah kanan

bau, encer.

masih terasa

Nyeri (+)

13 Januari 2016

Regio submental

POD 6 post insisi

Pasien sudah tidak

Tampak luka post op

drainase a/i abses

mengeluh demam,

a/r coli anterior

submental dan

Nyeri menelan

dextra

abses

berkurang, diet

Pus 20cc ;

supraklavikula

lunak, Nyeri di

kecoklatan, bau,

dextra

dagu sudah tidak

encer. Nyeri (+)

P
IVFD RL 20 tpm

GV 2x/hari + aspirasi

ada, nyeri di bahu


kanan

Tampak
pembengkakan a/r
supraklavikula dextra
uk 4x4cm , edema(+),
hiperemis (+), pus (-),
fluktuasi (+), NT (+)

14 Januari 2016

Regio submental:

POD 7 post insisi

Pasien sudah tidak

Tampak luka post op

drainase a/i abses

mengeluh demam,

a/r coli anteriordextra

submental dan

diet padat, Nyeri di

Pus 10cc ;

abses

dagu sudah tidak

kecoklatan, bau,

supraklavikula

ada, nyeri

encer. Nyeri (+)

dextra

bertambah di bahu
kanan

GV + Betadine 2x/hari
Tampak

+ aspirasi

pembengkakan a/r
supraklavikula dextra

Pro insisi abses

, 6x5cm , edema(+),

suprakalvikula

hiperemis (+), pus (-),


fluktuasi (+), NT (+)
15 Januari 2016

Regio submental:

POD 7 post insisi

Nyeri di dagu sudah Tampak luka post op

drainase a/i abses

tidak ada, nyeri

a/r coli anterior

submental dan

bertambah di bahu

dextra

post insisi abses

kanan

Pus 5cc. Nyeri (+)

supraklavikula
dextra

Tampak

GV + Betadine+

pembengkakan a/r

Metronidazole 2x/hari

supraklavikula dextra

+ aspirasi

, 4x5 , edema(+),
hiperemis (+), pus
50cc;kecoklatan, bau,
encer, Nyeri (+)

12 Januari 2016

13 Januari 2016

14 Januari 2016

15 Januari 2016

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Deep Neck Infections merupakan infeksi pada bagian bidang fasial dan ronggarongga di kepala dan leher, yang dapat disebabkan oleh virus, bakteri ataupun jamur dari
suatu fokal infeksi. Fokal infeksi dapat berasal dari lokasi-lokasi yang berada di saluran
penafasan atas seperti farings maupun dari struktur yang berada di dekatnya seperti infeksi
rongga mulut.
Penyakit Deep Neck Infections yang sudah sangat jarang diketemukan, terutama
semenjak ditemukan berbagai antibiotik. Namun, penyakit Deep Neck Infections masih perlu
diwaspadai dapat terjadi pada pasien akibat komplikasinya yang fatal dan dapat berujung
pada kematian. Kematian biasanya akibat keterlambatan dalam diagnosis dan penanganan
fokal infeksi terutama di negara-negara berkembang akibat ketidaktahuan masyarakat tentang
gejala-gejala penyakit Deep Neck Infections dan mahalnya biaya perawatan gigi..
Komplikasi-komplikasi yang dapat mengancam nyawa antara lain : mediastinitis,
syok sepsis, obstruksi saluran pernafasan bagian atas, thrombosis vena jugular, emboli vena
septic, rupture arteri karotis, empyema pleural, dan komplikasi lainnya. Salah satu komplikasi
dari penyakit Deep Neck Infections adalah mediastinitis yang dapat meningkatkan risiko
mortalitas sebesar 40-50%. Namun, dengan anamnesa, pemeriksaan fisik, diagnosis,
penatalaksanaan yang tepat dengan antibiotik maupun dengan insisi drainase maka
komplikasi dari penyakit Deep Neck Infections dapat dihindari.
2.1

Etiologi
Sumber infeksi dan manifestasi klinis berbeda antara orang dewasa dan anak anak.

Sebelum era antibiotik, 70% infeksi berasal dari faring dan tonsil yang menyebabkan
perluasan ke ruang parafaringeal. Hal ini sering ditemui pada anak anak karena infeksi
tonsil dan faring paling sering ditemui pada anak. Penggunaan antibiotik telah mengurangi
insidens infeksi saluran napas atas sebagai sumber utama abses ruang leher dalam pada
dewasa. Oleh karena itu, pada orang dewasa, infeksi odontogenik atau parotis merupakan
sumber infeksi utama. Penyebab lain antara lain: trauma tembus, trauma pembedahan, retensi
benda asing, dan perluasan dari infeksi superfisial. Kelainan kongenital seperti kista branchial
10

dan fistula dapat memperbesar risiko infeksi ruang leher dalam. Dua puluh persen kasus tidak
diketahi sumber infeksi. Pengguna obat terlarang melalui jarum suntik yang menyuntik ke
vena jugularis berisiko mengalami infeksi pada carotid sheath.
2.2

Dasar Anatomis Penyebaran Infeksi Ruang Leher Dalam


Leher ditutupi seluruhnya oleh kulit. Kulit melekat pada fasia profunda melalui suatu

lapisan jaringan fibrolipid, yaitu fasia superfisial (panniculus adiposus). Pada fasia superfisial
ini, terdapat nervus, pembuluh darah, dan saluran limfe menuju dan dari kulit. Pada fasia
superfisial juga terdapat lapisan otot tipis yang disebut panniculus carnosus, dimana salah
satu ujungnya melekat pada kulit dan ujung lainnya melekat pada fasia atau tulang. Pada
manusia, otot ini membentuk otot scalp dan wajah, termasuk platysma. Infeksi pada lapisan
superfisial seperti erysipelas, disebut sebagai infeksi superfisial dan ummunya ditatalaksana
dengan antibiotik dan drainase insisi.
Fasia profunda (investing layer of deep cervical fascia) terdiri dari jaringan fibrosa
dengan ketebalan bervariasi. Lapisan ini tidak ditemui pada beberapa bagian leher. Meskipun
pada beberapa bagian fasia profunda melekat pada periosteum dan tulang, otot dan organ di
bawahnya bebas bergerak. Leher dibagi oleh partisi fasia profunda. Di antara partisi ini
terdapat ruang ruang potensial yang berperan sebagai pertahanan lemah terhadap
penyebaran infeksi.
Fasia profunda dibagi menjadi:
Fasia profunda lapisan superfisial
Fasia profunda lapisan tengah
Fasia produnda lapisan dalam
Ketiga lapisan fasia profunda merupakan bagian dari carotid sheath.
1. Fasia profunda lapisan superfisial
Disebut juga sebagai anterior layer, external layer, atau investing layer. Lapisan ini
menutupi keseluruhan leher, meluas dari garis nuchal tengkorak sampai dada dan aksila.
Rule of two dari lapisan ini: menutupi 2 otot (m. sternocleidomastoideus dan m.
trapezius), menutupi 2 kelenjar (kelenjar parotis dan submandibula), serta membentuk 2
rongga (rongga segitiga posterior dan rongga suprasternal Burns).
2. Fasia profunda lapisan tengah
Disebut juga prethyroid fascia atau pretracheal fascia. Lapisan ini terbagi menjadi divisi
muskular dan divisi visceral. Divisi muskular melekat pada tulang hyoid dan tiroid di
superior dan pada sternum, klavika dan skapula di inferior. Divisi muskular ini
membungkus m. sternothyroid, m. sternohyoid, dan m. thyrohyoid. Divisi visceral (fasia
bukofaringeal) mengelilingi trakea, esophagus, dan tiroid serta meluas sampai thorax
membentuk kelanjutan dari pericardium fibrosa.
11

3. Fasia profunda lapisan dalam


Dibagi menjadi fasia prevertebral pada bagian posterior dan fasia alar pada bagian
anterior. Fasia prevertebral terletak di depan kolumna vertebrae dan meluas ke lateral
melewati otot otot prevertebral dan kemudian berfusi dengan prosesus transverses dan
ligamen penyertanya. Fasia ini meluas ke posterior, menyelimuti otot ekstensor leher dan
melekat pada prosesus spinosus bagian tengah. Fasia ini merupakan dinding posterior dar
rongga berbahaya (danger space) dan merupakan dinding anterior dari rongga
prevertebral. Oleh karena itu, infeksi vertebrae yang meluas ke rongga prevertebral tidak
meluas ke rongga berbahaya karea dipisahkan oleh fasia prevertebral.
Fasia alar terletak di antara fasia prevertebral dan divisi visceral dari fasia profunda
lapisan tengah. Fasia ini meluas dari prosesus transversus ke prosesus transversus
kontralateral, dan meluas secara vertikal dari basis crania sampai vertebrae torakal kedua,
dimana fasia ini berfusi dengan lapisan visceral dari fasia profunda lapisan tengah. Fasia
alar merupakan dinding anterior dari rongga berbahaya dan merupakan dinding
posterolateral dari rongga retrofaringeal, sehingga ongga ini meluas dari mediastinum
posterior sampai setinggi vertebrae torakal kedua.
Urutan lapisan dari orofaring sampai vertebrae: fasia faringobasilar, m, konstriktor,
fasia bukofaringeal, rongga retrofaringeal, fasia alar, rongga berbahaya, fasia prevertebra,
rongga prevertebra, dan kolumna vertebrae.

12

Potongan melintang leher setinggi thyroid

Anatomi Rongga Leher Dalam (Deep Neck Spaces) dan Infeksi yang Menyertai (Deep
Neck Infections)
Rongga potensial pada leher diklasifikasikan berdasarkan hubungannya dengan os. hyoid.
Rongga rongga ini bukan rongga yang kedap, namun sering saling berhubungan satu sama
lain. Penyebaran infeksi mengikuti rongga dengan resistensi terendah. Berikut adalah rongga
rongga leher menurut Hollingshead:
A. Rongga yang meliputi keseluruhan panjang leher
1. Rongga retrofaringeal (= retroviseral, retroesofageal, visceral posterior)
Batas. Batas rongga ini adalah: rongga bagian kiri dan kanan dipisahkan oleh
midline raphe dimana m. konstriktor superior menempel pada divisi prevertebral fasia
profunda lapisan dalam. Rongga ini berisi nodus dari masing masing sisi (nodus
Rouviere). Abses retrofaringeal umumnya berasal dari supurasi nodus nodus ini dan
menyebabkan abses yang tidak terletak pada garis tengah, namun lateral dari garis
tengah.
Klinis. Penyebab dominan abses retrofaringeal pada anak adalah infeksi
bacterial dari sinus atau nasofaring. Pada anak, gejala yang ditemui adalah iritabilitas,
drooling hebat, intake oral yang buruk, nyeri tenggorok, demam, torticolis, dan
adenopati. Penyebab dominan pada dewasa adalah trauma dari instrumentasi dan
perluasan dari infeksi rongga leher dalam yang berdekatan. Pada orang dewasa, gejala
meliputi anoreksia, obstruksi nasal, mendengkur, nyeri leher, odinofagia, regurgitas
13

nasal dan dispnea, disertai demam, takipnea, dan bulging dinding lateral dari
orofaring posterior.
2. Rongga berbahaya (danger space)
Batas. Rongga ini berada di antara rongga retrofaringeal dan rongga
prevertebral dan terpisah dari kedua rongga tersebut melalui dua komponen dari fasia
profunda lapisan dalam, yaitu fasia alar dan fasia prevertebral. Rongga ini disebut
rongga berbahaya karena memiliki resistensi yang rendah terhadap penyebaran infeksi
antara dasar tengkorak dan mediastinum posterior sampai setinggi diafragma.
Klinis. Infeksi rongga ini umumnya berasal dari abses parafaringeal atau
retrofaringeal.
3. Rongga prevertebral
Batas. Merupakan rongga yang terletak anterior dari corpus vertebrae dan
posterior terhadap divisi prevertebral fasia profunda lapisan dalam, meluas ke inferior
sampai ke coccyx.
Klinis. Abses pada rongga ini terletak pada garis tengah karena kedua sisi
lateral tidak dipisahkan satu sama lain. Infeksi pada rongga prevertebral dapat
disebabkan oleh trauma pada faring atau spinalis. Infeksi dapat menyebar ke rongga
ini dari retrofaringeal atau danger space.
Inflamasi akut akut pada ketiga rongga di atas dapat menyebabkan hilangnya lordosis
servikal normal akiba spasme otot flexor prevertebral. Selulitis dan abses
retrofaringeal paling mungkin menyebabkan hal tersebut dan menyebabkan
permbesaran bayangan jaringan lunak prevertebral pda radiografi lateral dan CT-scan.
4. Rongga visceral vaskular
Merupakan rongga potensial di dalam selubung karotis (carotid sheath). Di dalam
rongga ini terdapat a. karotis, v. jugularis interna, dan n. vagus. Fasia pada rongga ini
memiliki sedikit jaringan areolar sehingga infeksi umumnya terlokalisasi.
B. Rongga di atas os. Hyoid

14

Gambar

Potongan

oblik

daerah

leher yang
menunukkan rongga-rongga di leher di atas tulang hyoid

1. Rongga parafaringeal (= faringomaksilaris, faringeal lateral, perifaringeal)


Batas. Rongga ini berbentuk piramida terbalik atau cone yang terletak pada
masing masing sisi faring. Dasar rongga ini adalah dasar tengkorak dengan
apeksnya berada pada cornu mayor os. hyoid. Pada bagian medial dibatasi oleh fasia
profunda lapisan tengah dan pada bagian lateral dibatasi oleh fasia profunda lapisan
superfisial. Bagian anterior dibatasi oleh raphe pterygomandiular dan bagian posterior
oleh fasia prevertebral. Rongga ini berberhubungan dengan rongga retrofaringeal
sehingga abses pada kedua daerah ini sulit dibedakan. Rongga ini dibagi menjadi
rongga pre-styloid (anterior) dan post-styloid (posterior) dimana terjadi patologi yang
berbeda pada kedua rongga tersebut.
Klinis. Infeksi pada rongga pre-styloid ditandai dengan demam, menggigil,
nyeri leher, odinofagia, trismus, dan pembengkakan di bawah sudut rahang, dan
pergereseran dinding lateral faring ke media. Selain itu pasien cenderung
mempertahankan posisi kepala sedikit fleksi dan rotasi ke arah berlawanan dari sisi
yang sakit untuk mengurangi tegangan pada rongga.
Infeksi pada rongga post-styloid ditandai dengan sindrom sepsis dan nyeri atau
trismus yang minimal. Karena kompartemen posterior terletak lebih dalam,
pembengkakan tidak jelas tamapak, namun dapat ditemui sindrom Horner ipsilateral
dan paresis nervus kranialis IX sampai XII. Sequale dari infeksi parafaringeal adalah
obstruksi jalan napas akibat edema laring, trombosis vena jugular, dan rupture karotis.
Infeksi pada rongga parafaringeal ditatalaksana dengan antibiotik intravena, drainase,
dan trakeotomi profilaksis.

15

2. Rongga

submandibula

dan submental
Batas.

Rongga

submandibula

terletak di antara

mukosa dasar mulut dan fasia profunda lapisan superfisial pada bagian bawah. Os.
hyoid membatasi bagian inferior, dimana os. mandibula membentuk batas anterior
dan lateral. Pada bagian posterior dibatasi oleh otot otot lidah. Rongga ini dibagi
secara tidak komplit oleh os. mylohyoid menjadi rongga sublingual pada bagian atas
dan rongga submandibular dan submental pada bagian bawah. Area submandibula dan
submental dipisahkan oleh bagian anterior m. digastrikus namun kedua subdivisi ini
saling berhubungan secara bebas satu sama lainnya.
Rongga submental dibatasi oleh os. hyoid pada bagian inferior, mandibula pda
bagian superior, dan ramus anterior m. digastrikus pada kedua sisi lateral. Rongga
submental berisi v. jugularis anterior, nodus limfatikus submental, m. dan n.
mylohyoid, a. fasialis cabang submental, dan v. fasialis. Jumlah nodus limfatikus pada
submental tidak banyak namun pentting secara klinis karena merupakan tempat
drainase dari mukosa bukal, dasar mulut, bagian anterior hidung, gusi, dan bibir.
Kelenjar liur submandibula terletak pada batas posterior m. mylohyioid dan
terletak di dalam rongga submandibula dan sublingual. Oleh karena itu, infeksi pada
rongga sublingual dapat menyebar ke rongga submandibular dan sebaliknya. Struktur
lain yang terletak di dalam rongga sublingual adalah duktus Wharton, kelenjar liur
sublingual dan n. hipoglosus. Hal ini menjelaskan alasan adanya elevasi dasar mulut
dan pembengkakan pada submandibula dan submental pada angina Ludwig. Garis
oblik pada mandibula (penempelan os. mylohyoid) juga penting sebagai batasan
infeksi odontogenik yang menyebar lebih jauh dari akar gigi. Infeksi dari akar gigi
yang terletak superior dari garis ini (insisivus sampai molar pertama) umumnya
menimbulkan gejala pertama kali pada rongga sublingual, sedangkan infeksi dari akar
molar umumnya menimbulkan gejala pada submandibula.

16

Klinis. Infeksi
rongga

submandibula

umumnya berasal dari molar mandibula kedua dan ketiga, namun juga bisa akibat trauma.
Infeksi rongga submandibula harus dibedakan dengan infeksi kelenjar liur submandibula atau
nodus limfatikus. Pada infeksi rongga submandibula, mandibula membengkak dan nyeri,
namun trismus minimal atau tidak ada akrena otot mastikator tidak terlibat. Tatalaksana
meliputi drainase ekstra-oral, antibiotik, dan ekstraksi gigi jika penyebabnya odontogenik.
Infeksi rongga sublingual umumnya berasal dari gigi insisivus mandibula dengan
gejala eritema dan nyeri pada dasar mulut yang dimulai dekat mandibula dan menyebar ke
medial. Terkadang dapat menyebabkan elevasi lidah. Drainase bedah perlu dilakuan intra-oral
dari insisi pararel ke duktus Wharton.
Proses infeksi, neoplasma, dan kelainan kongenital pada rongga submental jarang
terjadi sehingga lesi pada rongga ini belum dipelajari dengan baik. Infeksi rongga submental
umumnya berasal dari gigi mandibula anterior atau merupakan penyebaran dari rongga
sublingual atau submandibula. Secara klinis, abses submental tampak sebagai edema yang
nyeri, terdapat indurasi dan fluktuasi.
Jika rongga sublingual, submental, dan submandibular terinfeksi, disebut sebagai
angina Ludwig yang umumnya disebabkan oleh infeksi dentogen
17

3. Rongga parotis
Batas. Fasia profunda lapisan superfisial memisahkan glandula parotis dan KGB
berkaitan, n. fasialis, a. karotis eksterna, dan v. fasialis posterior (disebut juga
parotideomeesteric fascia). Lapisan ini hanya sedikit menutupi bagian posterior lobus parotis
profunda sehingga berhubungan dengan rongga parafaringeal. Pada bagian lateral glandula
parotis, fasia ini membentuk suatu membran kuat yang terasa sangat nyeri jika terjadi
inflamasi pada parotis.
Klinis. Infeksi pada rongga ini berasal dari rongga parafaring atau peluasan retrograde
sepanjang duktus parotis. Secara klinis infeksi pada rongga ini tidak menyebabkan trismus,
menyebabkan elevasi lobulus aurikula, dan adanya pus yang keluar dari duktus parotis jika
parotis ditekan.
4. Rongga mastikator
Batas. Fasia profunda lapisan superfisial berpisah disekitar mandibula untuk
membentuk rongga ini dan menyelimuti otot otot pengunyah. Rongga ini berisi m.
masseter, m. pterygoideus medial dan lateral, ramus dan corpus manddibula, tendon
temporalis, nervus dan pembuluh darah alveolar inferior. Rongga ini terletak di anterior dan
lateral dari rongga parafaring dan inferior dari rongga temporal.
Klinis. Infeksi rongga ini umumnya odontogenik dan berasal dari molar mandibularis
atau maksilaris, ditandai dengan trismus, pembengkakan dan nyeri pada mandibular atau
preaurikular.
5. Rongga peritonsiler
Batas. Rongga ini terletak lateral dari kapsul tonsil dan medial dari m. konstriktor
superior. Arkus palatoglosus dan palatofaringeus membentuk batas anterio dan posterior
rongga ini. Pada bagian inferior dibatasi oleh 1/3 bagian posterior lidah. Inflamasi pada
bagian ini menyebabkan peritonsilitis dan dengan perkembangan purulensi dapat
menyebabkan abses atau quinsy. Pus dapat menyebar sampa ke rongga parafaringeal.
Klinis. Infeksi peritonsiler umumnya berasal dari tonsilitis. Awalnya kripta magna
tonsil terinfeksi dan terutupi eksudat, membentuk suatu abses intratonsiler yang kemudian
pecah melalui kapsul tonsilar dan menyebar ke sekitarnya. Manifestasi abses peritonsiler
antara lain demam, nyeri tenggorokan hebat (umumnya unilateral), odinofagia, hot potato
voice, foul breath, trismus akibat spasme m. pterygoideus yang berdekatan dengan m.
konstriktor superior, dan bulging kutub superior dari pilar tonsil yang berdekatan dengan
palatum molle dengan deviasi uvula menjauhi abses. Dari pemeriksaan fisik ditemukan
tonsil, pilar, dan palatum molle mengalami kongesti dan membengkak; uvula membengkak,
edematous, dan terdeorong ke kontralateral, pallatum molle dan pilar anterior di atas tonsil
18

bulging, mukopus menutupi daerah tonsil, limfadenopati servikal (umumnya jugulodigastrik),


dan torticolis (neck tilted to the side of abcess).

6. Rongga temporal
Batas. Rongga ini terletak di antara fasia temporalis pada bagian lateral dan
periosteum bagian squamosa os. temporal pada bagian medial. M. temporalis memisahkan
rongga ini menjadi rongga superfisial dan profunda, dimana di dalamnya terdapat a.
maksilaris interna.
Klinis. Infeksi pada rongga ini umumnya berasal dari molar mandibularis dan ditandai
dengan pembengkakan dan nyeri pada sudut mandibula, namun tidak disertai trismus. Gejala
dan tanda sistemik umumnya jelas ditemui. Infeksi pada rongga ini dapat menyebar ke
rongga parafaringeal, carotid sheath, dan rongga retrofaringeal.
C. Rongga di bawah os. hyoid
Rongga pretrakeal (rongga visceral anterior)
Batas. Terletak pada leher anterior, dari kartilago tiroid kea rah bawah sampai
mediastinum superior setinggi vertebrae torakal keempat, dekat dengan arkus aorta. Rongga
ini mengelilingi trakea dan didalamnya terdapat kelenjar tiroid dan paratiroid.
Klinis. Infeksi pada rongga ini disebabkan oleh infeksi tiroid atau trauma penetrasi,
termasuk bedah. Gejala meliputi suara serak, dyspnea, dan odinofagia. Pemeriksaan fisik
ditemukan eritema, edema, nyeri tekan dan krepitasi pada leher anterior.
Rongga suprasternal
Rongga ini terletak superior terhadap sterna notch di antara kaput klavikula dimana
fasia profunda lapisan superfisial berpisah dan membatasi rongga ini. Rongga ini berisi nodus
kecil dan pembuluh darah yang menghubungkan v. jugularis anterior.

19

2.3

Diagnosis
Anamnesis
Gejala infeksi pada ruang leher dalam dapat ditentukan dengan adanya gejala

inflamasi yang local pada lokasi infeksi juga adanya gejala inflamasi sistemik. Gejala yang
sering timbul adalah nyeri, demam, edema, eritema. Gejala seperti disfagia, odinofagia,
drooling, hot potato voice , serak, dispneu, trismus dan otalgia menandakan lokasi infeksi
dan juga tingkat keparahannya. Beberapa prosedur medis seperti intubasi, operasi saluran
napas atas, perawatan gigi, penggunaan obat intravena, atau sinusitis, faringitis, otitis, trauma
tumpul atau tajam pada jaringan luka yang didahului dengan gejala yang memberat harus
diidentifikasi untuk mendiagnosis kemungkinan mikroorganisme yang menginfeksi dan rute
penyebaran infeksi.
Riwayat penyakit dahulu harus direka ulang untuk mengetahui status alergi pada
antibiotic

dan

status

imunitas

tubuh

pasien.

Pasien

dengan

riwayat

terinfeksi

immunodefisiensi virus, hepatitis, diabetes, penyakit vascular, leukemia, dan sedang dalam
20

pengobatan kemoterapi atau steroid mempunyai peningkatan risiko terinfeksi pathogen yang
atipikal dan peningkatan progresifitas penyakit.
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik kepala dan leher lengkap diperlukan pada pasien dengan infeksi
ruang leher dalam. Palpasi pada leher dan wajah dapat mengidentifikasi lokasi infeksi yang
ditandai dengan adanya nyeri tekan, fluktuasi atau krepitasi yang disebabkan oleh trauma
jalan napas atau organisme yang memproduksi gas. Pemeriksaan telinga dan hidung dapat
ditemukan adanya edema, secret purulent, nyeri serta mengeklusi adanya corpus alienum
yang mengobstruksi liang telinga dan hidung. Ketika pasien sudah sulit untuk membuka
mulut mengindikasikan adanya inflamasi yang sudah menyebar ke dalam ruang parafaring,
pterygoid atau masseter. Sumber infeksi dari gigi harus dipertimbangkan jika ditemukan
adanya pembekakan pada alveolar dan adanya gigi caries, longgar dan nyeri. Pada dasar
mulut dapat ditemukan adanya edema, yang menyebabkan adanya defleksi lidah ke arah
posterior. Indentifikasi ductus Wharton dan stensen untuk melihat apakah ada sekret purulent
atau obstruksi batu.
Inspeksi ada orofaring diperlukan untuk melihat apakah adanya edema asimetris pada
dinding posterior atau lateral dan/atau adanya deviasi uvula. Jika ditemukan adanya edema
unilateral dinding faring dengan tidak adanya gejala-gejala inflamasi seperti demam, eritema
pada mucosa harus dicurigai kemungkinan tumor parafaring, yang tidak boleh dilakukan
prosedur insisi biopsy tanpa evaluasi lanjut. Pembesaran unilateral pada tonsil, bentuk yang
irregular atau adanya ulcer pada tonsil, terutama pada pasien perokok dan pengguna alkohol
jangka lama , harus dicurigai kemungkinan keganasan.
Pemeriksaan saraf kranial sangat direkomendasikan. Infeksi pada gigi atas, sinus
paranasal, jaringan lunak pada wajah, kelenjar parotis meningkatkan risiko terjadinya aliran
retrograde vena facial dan opthalmicus. Pasien dengan penuruan gerakan bola mata dan/atau
tidak adanya reflex cahaya langsung maupun tidak langsung mengindikasikan adanya
inflamasi orbita atau abses yang harus segera dilakukan tindakan untuk menyelamatkan mata.
Endoskopi pada saluran napas atas dapat dilakukan jika curiga adanya infeksi ruang
leher dalam dan wajib pada pasien dengan serak, dispneu, stridor atau disfagia atau
odinofagia tanpa ditemukan penyebab pada pemeriksaan fisik orofaring. Petugas medis harus
tetap menjaga jalan napas pasien walaupun saturasi oksigen normal karena saturasi oksigen
tidak akan turun jika jalan napas tidak terobstruksi total.

21

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah lengkap dapat menunjukan adanya leukositosis pada kasus infeksi
ruang leher dalam. Jika tidak ditemukan leukositosis dapat mengindikasikan infeksi virus,
immunodefisiensi, atau kondisi seperti tumor. Pengukuran leukosit teratur dapat membantu
memonitor respon pasien terhadap pengobatan antibiotic. Pemeriksaan elektrolit dapat
dilakukan untuk memonitor kadar glukosa, natrium, kalium, kalsium, klorida dan fungsi
ginjal jika ingin melakukan anesthesia umum.

Pemeriksaan x-ray dapat memberikan

informasi yang baik pada beberapa kondisi. Pada kondisi adanya suspek infeksi gigi,
pemeriksaan x-ray panoramic dapat mengidentifikasi sumber infeksi jika tidak ditemukan
sumber infeksi pada pemeriksaan fisik mulut. Gambaran lusen pada apex akar gigi
merupakan temuan tersering pada abses gigi. Pemeriksaan x-ray leher secara lateral berguna
untuk evaluasi jika curiga adanya abses retrofaring atau supraglottis. Gambaran air-fluid level
atau penebalan jaringan lunak prevertebral lebih 5mm pada anak atau 7 mm pada dewasa
setinggi C2 menandakan adanya infeksi retrofaring sampai dibuktikan sebaliknya. Adannya
penebalan epiglottis atau thumbprint sign dan arytenoid menandakan harus segera dievaluasi
jalan napas dan dilakukan pembebasan jalan napas seperti prosedur trakeostomy. X-ray
thorax dapat dilakukan pada pasien dengan dispneu, takikardi atau batuk untuk mengeksklusi
aspirasi atau mediastinitis.
CT scan kepala dan leher merupakan komponen penting untuk mengevaluasi infeksi
ruang leher dalam karena hanya dengan pemeriksaan fisik saja dapat terjadi kesalahan
diagnosis ruang dan jumlah ruangan yang terinfeksi dalam 70% kasus. CT scan kepala dan
leher dengan kontras dapat memberikan gambaran pembuluh darah leher dan enhancement
pada daerah inflamasi. CT scan juga berguna untuk menentukan apakah infeksi terisolasi atau
sudah menyebar ke fascia kepala dan leher. Walaupun CT scan baik untuk melakukan
evaluasi dan mendiagnosis infeksi ruang leher dalam, ct scan tidak dapat membedakan edema
yang disebabkan phlegmon dengan abses purulent karena memberikan gambaran yang sama
yang hipodense. CT scan dapat menentukan daerah ruang leher mana saja yang memerlukan
eksplorasi dan drainase ketika dilakukan operasi. Kontraindikasi penggunaan kontras adalah
pada pasien dengan alergi pada kontras dan gangguan ginjal.
MRI tidak secara rutin digunakan pada pasien suspek infeksi ruang leher dalam, tetapi
dapat dipertimbangkan karena MRI lebih superior dibandingkan CT scan. Pemeriksaan MRI
sangat memakan waktu dan tidak bisa dilakukan pada pasien yang mengalami nyeri hebat
atau kesulitan dalam mempertahankan jalan napas dalam posisi supinasi.MRI dapat
memberikan informasi tambahan pada infeksi di ruang intracranial, parotis dan prevertebral.
22

Evaluasi pada pembuluh darah besar kepala dan leher dipertimbangkan jika dicurigai adanya
thrombus supuratif pada pembuluh darah tersebut seperti pada sinus sigmoid, vena jugularis
internus, atau sinus cavernous atau jika infeksi dengan trauma leher. MR angiografi
memberikan gambaran yang baik untuk mengevaluasi thrombus dan pseudoaneurysm.
Ultrasonografi dilakukan untuk mengevaluasi lesi jinak maupun ganas pada kepala
dan leher di Eropa, akan tetapi di Amerika Serikat, USG hanya digunakan untuk
mengevaluasi kelenjar tiroid saja. Pemeriksaan USG merupakan pemeriksaan yang
noninvasive sehingga baik untuk pasien anak dan tidak menimbulkan radiasi sehingga
menurunkan efek bahaya jangka panjang pada pasien. USG tidak dapat dilakukan pada
pasien dengan edema leher yang signifikan atau phlegmon atau infeksi pada ruang yang tidak
terjangkau oleh pemeriksaan USG.
2.4

Tata Laksana
Langkah pertama dan terpenting dalam tatalaksana infeksi leher dalam ialah menjaga

jalan nafas tetap terbuka. Intubasi dengan pipa endotrakeal dapat dilakukan namun harus
diwaspadai resiko spasme laringeal dan ruptur abses yang dapat berakibat terjadi aspirasi pus
dan kontaminasi pada jalan nafas bagian atas dan bawah. Bila intubasi tidak dapat dilakukan
maka tindakan krikotirotomi atau trakeostomi dapat dipertimbangkan. Jika tindakan
krikotirotomi dilakukan, maka sebaiknya dalam 24 jam diganti dengan trakeostomi untuk
mencegah komplikasi laringeal.
Setelah jalan nafas dijaga, langkah selanjutnya adalah melakukan kultur darah
(dilakukan ketika pasien febris) dan kultur dari abses. Sambil menunggu hasil kultur dapat
diberikan antibiotik yang efektif untuk streptococcus, bakteri anaerob dan bakteri penghasil
beta laktamase. Jika hasil kultur telah didapatkan, maka direkomendasikan penggunaan
antibiotik sesuai bakteri penyebab.
Jenis antibiotik yang dapat digunakan:
1. Ampisilin-sulbaktam 1,5-3 g IV setiap 6 jam
Ampisilin merupakan antibiotik spektrum luas yang efektif terutama terhadap bakteri
gram positif namun juga efektif terhadap bakteri gram negatif dan bakteri anaerob.
Bakteri gram positif yang sensitif terhadap ampisilin adalah Streptococcus pneumoniae,
jenis Streptococci lain,dan L monocytogenes. Bakteri gram negatif yang sensitif
terhadap ampisilin ialah M. catarrhalis, N. gonorrhoea, N. meningitidis, E. coli, P.
mirabilis, Salmonella, Shigella, dan H. influenzae.
2. Klindamisin 600-900 mg IV setiap 8 jam
23

Merupakan pengobatan alternatif pada pasien yang alergi terhadap penisilin.


Klindamisin terutama berguna untuk infeksi bakteri anaerob terutama B. fragilis dan
bermanfaat juga untuk beberapa bakteri gram positif.
3. Sefoksitin 1-2 g IV setiap 6 jam
Merupakan sefalosporin generasi kedua dimana lebih aktif pada bakteri gram negatif
dibandingkan gram positif. Sefoksitin lebih aktif dari sefalosporin generasi pertama dan
generasi kedua yang lain terhadap bakteri anaerob, seperti B. fragilis.
4. Seftriakson 1-2 g IV setiap 12 jam
Obat ini termasuk golongan sefalosporin generasi ketiga yang lebih aktif terhadap
bakteri gram positif.
Pada infeksi yang disebabkan oleh Pseudomonas aeruginosa dapat digunakan:

1. Tikarsilin-klavulanat 3-0,1 g IV setiap 4-6 jam


Tikarsilin merupakan kelompok penisilin anti-pseudomonas, termasuk golongan
karboksi penisilin. Tikarsilin berspektrum lebih luas dibanding ampisilin, termasuk P.
aeruginosa dan kokus gram negatif. Aktif terhadap bakteri gram positif kecuali
enterokokus dan stafilokokus. Tambahan klavulanat memperluas spektrum tikarsilin.
2. Piperasilin-tazobaktam 3-0,375 g IV setiap 4-6 jam
Piperasilin merupakan kelompok penisilin anti-pseudomonas dan termasuk golongan
ureidopenisilin. Obat ini berspektrum luas yang mencakup aerob gram positif,
enterobacteriae, gram negatif, dan bakteri anaerob. Tazobaktam melindungi piperasilin
dari hidrolisis oleh betalaktamase.
3. Imipenem-silastatin 250-250 sampai 500-500 mg IV setiap 6 jam
Imipenem merupakan suatu turunan tienamisin yang merupakan karbapenem
(betalaktam) pertama yang digunakan dalam pengobatan. Diberikan bersama silastatin
yang bekerja sebagai penghambat enzim dehidropeptidase yang dapat meningkatkan
kadar imipenem aktif dalam urin dan mencegah efek toksik terhadap ginjal. Obat ini
berspektrum sangat luas (gram positif, negatif, aerob dan anaerob. Terhadap P.
aeruginosa aktivitasnya sebanding dengan seftazidim.

4. Klidamisin 600-900 mg IV setiap 8 jam + Ciprofloksasin 400 mg IV setiap 12 jam atau


ditambah seftazidim 1-2 g IV setiap 8 jam
Sifrofloksasin termasuk kedalam golongan fluorokuinolon yang aktif terhadap P.
aeruginosa. Seftazidim merupakan golongan sefalosporin generasi ketiga yang aktifitas
paling menonjolnya kepada P. aeruginosa.
Infeksi yang disebabkan oleh Staphylococcus Aureus dapat ditangani dengan menggunakan
antibiotik vankomisin 1 g IV setiap 12 jam. Obat ini hanya aktif terhadap bakteri gram positif
khususnya golongan kokus, merupakan obat terpilih untuk kuman MRSA (methicilinresistant S. aureus).
24

Ketika abses telah terbentuk maka tindakan operasi drainase sebaiknya dilakukan.
Intervensi operasi diindikasikan pada semua abses dalam terutama bila muncul keluhan
obstruksi jalan nafas, sindrom sepsis, dan tidak ada respon terhadap antibiotik yang diberikan
dalam 48 jam.
Pada pasien yang tidak memiliki tanda-tanda abses maka dapat dilakukan monitoring
sambil diberikan antibiotik sistemik. Bila tidak terdapat tanda-tanda perbaikan selama 48 jam
dengan pemberian antibiotik adekuat dan hidrasi, maka dilakukan operasi. Tanda-tanda
progresi berupa demam, nyeri yang bertambah, pembengkakan, eritema, fluktuasi, dan
leukositosis dengan pergeseran ke kiri.
Operasi dilakukan dengan menginsisi dan mendrainase abses pada lokasi primer
maupun lokasi penyebaran abses. Semua tempat lokulasi dihancurkan dan rongga abses
dibersihkan serta dipasang kasa yang mengandung iodoform kedalam luka operasi, dan
dipasang drain.

Algoritma penatalaksanaan infeksi leher dalam

1.

Abses peritonsil
Prosedur operatif

yang dapat dilakukan untuk mengatasi abses peritonsil terdiri dari aspirasi, insisi dan
drainase, dan tonsilektomi. Pada aspirasi abses sering dibutuhkan tindakan aspirasi
berulang sehingga insisi dan drainase lebih efektif dibandingkan aspirasi.
Pada insisi dan drainase abses diberikan anestesi topikal dan infiltratif dengan
pasien dalam kondisi sadar. Insisi dan drainase dilakukan pada daerah abses yang
paling menonjol yang biasanya berada pada palatum molle, superior dari pole atas
tonsil. Bila area yang paling menonjol tidak terlihat maka dibuat garis imajiner dari
dasar uvula sampai geraham atas terakhir pada sisi yang sakit. Setelah dilakukan

25

drainase, diberikan penisilin atau klindamisin. Drainase juga dapat dilakukan dengan
tambahan tonsilektomi.

Daerah untuk melakukan insisi pada abses peritonsiler.

2. Abses retrofaring
Pembedahan pada abses retrofaring dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu insisi
transoral dan insisi eksternal. Insisi transoral lebih banyak digunakan, dimana pasien
diposisikan dalam rose position yaitu leher diekstensikan bersama dengan ekstensi
sendi atlanto-ocipital sehingga membuat nasofaring menjadi bagian yang paling
menonjol.
Insisi eskternal dilakukan bila abses tidak dapat dijangkau peroral atau ada
keterlibatan rongga leher lain. Insisi dibuat di sepanjang tepi anterior m.
stenocleidomasoideus antara level os. hyoid dan clavikula.
3. Abses parafaring

Pembedahan pada abses retrofaringeal (external


approach). Tarikan pada bagian posterior m.
stemocleidomastoideus

dan

carotid

sheath

memperlihatkan daerah antara faring dan vertebra.

Pada kasus abses parafaring, dapat dilakukan pendekatan eksternal


(submaksilaris) yaitu dengan teknik Mosher. Teknik mosher dilakukan dengen teknis
insisi bentuk huruf T, dimana insisi horizontal dibuat sepanjang kira-kira dua jari
diukur dari batas bawah mandibula dan insisi vertikal dibuat pada bagian anterior dari
m. Sternocleidomastoideus.

26

Insisi pada abses parafaring

4. Abses submandibula
Pada pasien dengan infeksi submandibula, dapat dilakukan tindakan
pembedahan untuk insisi dan drainase abses. Indikasi dari pembedahan meliputi abses
berukuran besar, Ludwigs Angina, serta pasien tidak merespon kepada terapi antibiotik, serta
keterlibatan lebih dari satu ruang leher. Pada pasien dengan sumbatan jalan nafas, gold
standard tindakan yang dilakukan adalah trakeostomi dengan anestesi lokal

Operasi
Prosedur drainase dilakukan pada mayoritas kasus infeksi ruang leher dalam. Indikasinya
adalah
27

1.
2.
3.
4.

Adanya air-fluid level di leher atau bukti terinfeksi mikroorganisme penghasil gas
Gambaran abses di kepala dan leher
Gangguan jalan napas akibat abses atau phlegmon
Gagal merespon terapi antiobitik empiric intravena dalam 48-72 jam
Tujuan utama dalam tindakan operasi adalah memberikan sampel untuk
dilakukan kultur atau tes sensitivitas dan memberikan irigasi pada ruang yang
terinfeksi dengan memberikan akses drainase eksternal untuk mencegah terjadinya
abses.

Aspirasi dengan jarum


Aspirasi dengan jarum tanpa dilakukan insisi cukup sebagai tatalaksana abses kecil tanpa
penyebaran ke ruang lain atau ketika infeksi akut akibat kista kongenital atau pseduokista
fibrotic. Infeksi yang berulang sering terjadi pada kista di kepala dan leher, maka diperlukan
eksisi yang dapat dilakukan setelah inflamasi akut mereda. Pada dewasa, aspirasi dengan
jarum dapat dilakukan di bangsal ketika massa teraba dan pasien koperatif. Untuk anak
dibawah 12 tahun, diperlukan anesthesia umum karena pasien tidak koperatif. Dilakukan
pemberian lidokain topical pada permukaan kulit selama 20 menit sebelum dilakukan
aspirasi. Penggunaan lidokain injeksi dapat menyebabkan nyeri dan dapat merusak kontur
massa sehingga aspirasi menjadi sulit untuk dilakukan. Penggunaan USG atau CT meningkat
ketika blind FNAB gagal atau massa tidak terpalpasi.
Insisi Transoral dan Drainase

Ruang peritonsil dapat diakses melalui mulut pada pasien dewasa yang koperatif tanpa
trismus. Prosedur ini lebih mudah dilakukan jika pasien diberikan cairan intravena untuk
rehidrasi, analgesic, antibiotic dan steroid yang diberikan minimal

1 jam sebelum

prosedu dilakukan. Diberikan semprotan 1-2 ml lidokain 1% dengan 1:100.000 epinefrin


yang disuntikkan ke dalam mukosa di lateral palatum molle. Prosedur awal yang dapat
dilakukan adalah kompresi ruang dengan aspirasi dan memudahkan untuk menetukan
lokasi kantong abses. Jika ruang tersebut tidak dapat dikompresi dengan aspirasi saja,
dapat dilakukan insisi 1-2 cm samapi submucosa sepanjang curvature normal dan 1 cm di
belakang unjung anterior pillar tonsil. Irigasi ruang peritonsil dengan saline dengan
menggunakan 20 ml spuit dan 18-gauge angiokateter. Pasien diberikan antibiotic 48-72
jam post operasi dan boleh dipulangkan dengan antibiotic oral. Tonsilectomy merupakan
pilihan prosedur yang dapat dilakukan pada pasien dengan riwayat peritonsillar abses,

28

tonsillitis kronik atau rekuren, atau adanya gejala obstruktif dari hypertrofi tonsil. Akut
tonsillectomy menjadi lebih sulit dan lebih banyak perdarahan yang keluar ketika infeksi
dan inflamasi masih terjadi dibanding dengan non akut tonsillectomy.
Insisi transoral dan drainase merupakan metode yang lebih disukai dalam penanganan infeksi
ruang leher dalam. Infeksi odontogenic yang terbatas sampai alveolus membaik dengan
mencabut gigi yang rusak dan dilakukan drainase pada akar gigi yang terinfeksi, walaupun
insisi pada leher dibutuhkan pada infeksi yang sudah menyebar melewati batas alveolar.

Pada Ludwigs angina dibutuhkan drainase pada dasar mulut bilateral melalui
m.mylohyoid untuk mengurangi komplikasi gangguan jalan napas. Rongga buccal
dapat diakses dengan insisi transoral yaitu dengan diseksi tumpul secara parallel
dengan nervus fasialis melalui m.buccinator. Ruang masticator dapat diakses dengan
insisi pada trigonum retromolar melalui m.masseter. Setelah dilakukan drainase dan
irigasi, dapat diberikan wick atau penrose drain pada lokasi insisi dan dijahit dengan
silk jika dibutuhkan. Jika tidak, luka dapat dibiarkan terbuka untuk menutup secara
sekunder atau ditutup secara longgar dengan vicryl atau chromic secara simple

interruptus.
Ruang retrofaring lebih baik diakses secara transoral , karena sumber infeksi berasal dari

adenoid dan terletak di orofaring atau nasofaring yang sulit diakses melalui leher. Setelah
jalan napas aman, dilakukan aspirasi jarum transmucosa pada lokasi infeksi. Setelah
kantong abses diidetifikasi, mukosa diinsisi dan didiseksi tumpul untuk mengkases
kantong. Hati-hati ketika melakukan diseksi melewati dinding lateral faring untuk
menghindari cedera pada a.carotis. Drain tidak dipasang karena dapat terjadi aspirasi
drain dan kesulitan untuk melepas drain yang sudah terpasang. Dapat dilakukan eksisi
pada mucosa dan submucosa yang berbentuk elips kecil

pada lokasi insisi untuk

memperlambat proses penyembuhan luka sehingga drainase dapat terjadi beberapa hari
sebelum luka menutup.
2.5

Komplikasi
A. Lemierres syndrome
Merupakan komplikasi yang muncul dengan adanya tanda thrombophlebitis pada

vena jugularis internus yang paling sering disebabkan oleh Fusobacterium necrophorum
yang merupakan gram-negative bacillus dan anaerob. Walaupun sindrom ini jarang terjadi,
harus tetap diwaspadai karena berpotensi fatal jika tidak terdiagnosis dan ditatalaksana.
Sindrom ini diawali dengan faringitis sebelum berprogesi menjadi demam, letargi, nyeri
29

pada leher bagian lateral dan edema, trismus dan emboli septik yang dapat sering ditemukan
dengan gambaran infiltrate bilateral dan bernodul pada gambaran x-ray thorax atau septik
atritis. Bakteri ini menyebar melalui vena tonsil ke vena jugularis internus di mana
endotoxin menginduksi agregasi platelet dan membentuk thrombus. Diagnosis ditegakkan
dengan CT scan leher dengan kontras yang menunjukkan gambaran filling defect di sistem
jugularis internus.Lini utama terapi adalah pemberian antibiotic intravena yang mengandung
beta-lactamase-resistant tanpa atau dengan heparin. Tindakan eksisi pada vena jugular dapat
dilakukan pada pasien denagn gejala yang memburuk walaupun sudah diberikan terapi atau
dengan adanya abses pada leher.
B. Trombosis Sinus Cavernous
Trombosis pada sinus cavernous merupakan komplikasi yang mengancam jiwa
dengan angka kematian 30-40% yang disebabkan penyebara infeksi secara retrograde dari
bagian gigi atas atau sinus paranasal melalui sistem vena opthalmicus yang tidak mempunyai
katub ke sinus cavernous. Gejalanya adalah demam, lethargy, nyeri orbita, proptosis,
penurunan gerak bola mata, dan dilatasi pupil dengan refleks cahaya yang melambat.
Diagnosis baik ditegakkan dengan MRI otak dengan kontras untuk melihat enhancement
pada region sinus cavernous. Tatalaksananya adalah rawat dalam ICU, pemberian antibiotic
intravena spectrum luas dan antikoagulan.
C. Ruptur atau Pseudoaneurysma pada Arteri Carotis
Merupakan kasus yang jarang dan dilaporkan disebabkan oleh penyebaran infeksi dari
ruang retrofaring atau parafaring ke ruang carotis. Gejala yang ditimbulkan adalah massa
leher yang berpulsasi, sindrom Horner, terjadinya palsi pada nervus IX sampai XII,
hematoma atau ekimosis leher yang semakin luas atau darah merah segar yang keluar dari
hidung atau mulut yang disebabkan oleh infeksi ruang leher dalam. Komplikasi ini
membutuhkan tindakan ligasi segera pada arteri karotis
D. Mediastinitis
Merupakan komplikasi yang jarang dengan angka kematian 30%-40% yang
disebabkan penyebaran infeksi dari ruang retrofaring dan prevertebral ke mediastinum.
Gejala yang muncul adalah edema generalisata pada leher, dispneu, nyeri pleura ketika
bernapas dalam, takikardia, hipoksia, dan efusi pelura atau gambaran mediastinum yang
melebar pada x-ray thoraks. Pada CT-scan thoraks dengan kontras dapat menunjukkan
gambaran air-fluid level atau infiltrasi dari lemak mediastinum. Pemberian antibiotic
intravena spectrum luas sangat diperlukan karena dapat dsebabkan oleh beberapa pathogen
yaitu gram positif, gram negatif, aerobic dan anaerobic. Jika hanya terbatas pada
anterosuperior mediastinum, drainase transcervical melalui bilateral cervicotomy dapat

30

memberikan drainase yang adekuat. Tindakan thoracotomy dapat dipertimbangkan pada


kasus mediastinitis yang melibatkan lebih dari 1 kompartment mediastinum.
E. Necrotizing Fascilitis
Merupakan kondisi buruk pada infeksi ruang leher dalam yang lebih sering muncul
pad apasien usia diatas 60 tahun dan pada pasien immunocompromised, terutama pada pasien
dengan diabetes tidak terkontrol. Infeksi awal biasanya merupakan infeksi odontogenic dan
etiologinya merupakan campuran flora aerobic dan anaerobic. Gejala yang muncul adalah
cellulitis yang progresif dengan edema pitting pada leher dan gambaran peau d orange
karena obstruksi limfatik dermis dengan atau tanpa krepitasi di subkutan. Pada CT-scan leher
dengan kontras didapatkan gambaran udara pada jaringan lunak, gambaran area hipodense
tanpa enhancement dengan liquefikasi nekrosis. Tatalaksana yang harus dilakukan adalah
rawat dalam ICU, terapi imun, berikan antibiotic intravena spectrum luas dan tindakan
operasi eksplorasi. Pada operasi dapat ditemukan bau busuk, cairan bewarna coklat, dan otot
dan tulang yang mengalami liquetifikasi. Jaringan yang nekrosis didebridemen sampai
muncul jaringan yang sehat. Luka diirgasi dan dibiarkan terbuka 48-72 jam, lalu dapat
dilakuka skin graft atau skin flap setelah infeksi selesai. Angka kematian 20%-30% pada
pasien yang diterapi dan tinggi pada pasien dengan penyebaran ke mediastinum.

31

32

You might also like