You are on page 1of 3

Tinjauan Hukum Euthanasia

a. Pengaturan dalam Hukum Pidana


Di Indonesia dilihat dari perundang-undangan dewasa ini, memang belum ada pengaturan (dalam
bentuk undang-undang) yang khusus dan lengkap tentang euthanasia. Tetapi bagaimanapun karena
masalah euthanasia menyangkut soal keamanan dan keselamatan nyawa manusia, maka harus dicari
pengaturan atau pasal yang sekurang-kurangnya sedikit mendekati unsur-unsur euthanasia itu. Maka
satu-satunya yang dapat dipakai sebagai landasan hukum, adalah apa yang terdapat di dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia.
Kitab undang-undang Hukum Pidana mengatur sesorang dapat dipidana atau dihukum jika ia
menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja ataupun karena kurang hati-hati. Ketentuan
pelangaran pidana yang berkaitan langsung dengan euthanasia aktif tedapat padapasal 344 KUHP.
Pasal 344 KUHP:
Barangsiapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutnya
dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun.
Ketentuan ini harus diingat kalangan kedokteran sebab walaupun terdapat beberapa alasan kuat
untuk membantu pasien atau keluarga pasien mengakhiri hidup atau memperpendek hidup pasien,
ancaman hukuman ini harus dihadapinya.
Untuk jenis euthanasia aktif maupun pasif tanpa permintaan, beberapa pasal dibawah ini perlu
diketahui oleh dokter, yaitu:
Pasal 338 KUHP:
Barangsiapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum karena makar mati, dengan
penjara selama-lamanya lima belas tahun.
Pasal 340 KUHP:
Barangsiapa dengan sengaja dan direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa orang lain,
dihukum, karena pembunuhan direncanakan (moord) dengan hukuman mati atau penjara selamalamanya seumur hidup atau penjara selama-lamanya dua puluh tahun.
Pasal 359 KUHP:
Barang siapa karena salahnya menyebabkan matinya orang dihukum penjara selama-lamanya lima
tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun.
Selanjutnya di bawah ini dikemukakan sebuah ketentuan hukum yang mengingatkan kalangan
kesehatan untuk berhati-hati menghadapi kasus euthanasia, yaitu:
Pasal 345 KUHP:
Barang siapa dengan sengaja menghasut orang lain unutk membunuh diri, menolongnya dalam
perbuatan itu, atau memberikan daya upaya itu jadi bunuh diri, dihukum penjara selama-lamanya
empat tahun.
Kalau diperhatikan bunyi pasal-pasal mengenai kejahatan terhadap nyawa manusia dalam KUHP
tersebut, maka dapatlah kita dimengerti betapa sebenarnya pembentuk undang-undang pada saat itu
(zaman Hindia Belanda) telah menganggap bahwa nyawa manusia sebagai miliknya yang paling
berharga. Oleh sebab itu setiap perbuatan apapun motif dan macamnya sepanjang perbuatan tersebut
mengancam keamanan dan keselamatan nyawa manusia, maka hal ini dianggap sebagai suatu
kejahatan yang besar oleh negara.
Adalah suatu kenyataan sampai sekarang bahwa tanpa membedakan agama, ras, warna kulit dan
ideologi, tentang keamanan dan keselamatan nyawa manusia Indonesia dijamin oleh undang-undang.
Demikian halnya terhadap masalah euthanasia ini.
b. Pengaturan Tanggung Jawab Dalam Hukum Perdata
Untuk memutuskan pertanggungjawaban suatu tindakan yang mana salah satu pihaknya dirugikan
(pasien) maka pihak korban dapat memperoleh sejumlah ganti kerugian yang sepantasnya guna
pembiayaan kerugian yang dideritanya. Hal tersebut terjadi hubungan dengan adanya resiko yang
harus diterima dan tidak dapat dibalikan kepada orang lain, karena dengan terjadinya kesalahan yang
menimbulkan korban, tidak terlepas dari kerugian yang ditimbulkan sehingga pada pihak yang
menimbulkan kerugian wajib memberikan ganti rugi kepada korbannya. Dalam perjanjian antara

dokter dengan pasien, timbulnya hubungan hukum menurut J. Guwandi yang dikutip oleh Y.A Triana
Ohoiwutun adalah sebagai berikut:
1. Berdasarkan perjanjian (ius contractu)
Hubungan hukum antara dokter dengan pasien disini terbentuk dalam suatu perjanjian yaitu,
perjanjian atau kontak terapeutik secara sukrela berdasarkan kehendak bebas. Gugatan dapat
dilakukan apabila diduga terjadi wanprestasi, yaitu penginkaran atas apa yang diperjanjikan. Dasar
gugatan adalah melakukan kesalahan atau salah melakukan terhadap apa yang telah diperjanjikan
2. Berdasarkan hukum (ius delicto)
Timbulnya hubungan hukum antara dokter dengan pasien karena adanya kewajiban yang dibebankan
pada dokter yang ditentukan dalam Undang-Undang atau adanya ketentuan peraturan perundangundangan yang mengatur hubungan hukum antara subyek hukum.Dalam hal ini gugatan dapat
dilakukan atau dasar perbuatan melawan hukum, dimana terhadap suatu tindakan yang dilakukan oleh
dokter yang mengandung kesalahan dan merugikan pasien dapat dimintakan sejumlah ganti rugi
sesuai dengan Pasal
1365 KUHPerdata.
Pada hakikatnya, ada dua bentuk pertanggungjawaban dokter di bidang hukum perdata, yaitu
pertama hubungan hukum yang disebabkan oleh suatu kesepakatan dan apabila kesepakatan
ini dilanggar akan menyebabkan wanprestasi (contractual liability) sebagaimana diatur dalam
Pasal 1239 KUHPerdata dan yang kedua berdasarkan perbuatan melanggar hukum
(onrechmatigedaad) sesuai dengan ketentuan Pasal
1365 KUHPerdata.
c. Pengaturan Tanggung Jawab Dalam Hukum Administrasi
Aspek hukum administrasi menyatakan bahwa tenaga kesehatan yang akan melakukan praktik baik di
institusi kesehatan maupun mandiri wajib memiliki izin yang dikeluarkan oleh pemerintah. Hal ini
sesuai dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 23 ayat 3 yang
berbunyi Dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan wajib memiliki izin dari
pemerintah. Pada dasarnya untuk menjalankan pekerjaan sebagai dokter dikenal ada beberapa jenis
surat izin. Berdasarkan Undang-undang Nomor 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran, syarat
administrasi agar dokter berwenang menjalankan praktiknya antara lain:
1. Memliki Surat Tanda Registrasi (STR) dokter atau dokter gigi
yang diterbitkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia (Pasal 29).
2. Lulus evaluasi dan harus memiliki izin kerja di Indonesia untuk
dokter lulusan luar negeri (Pasal 30).
3. Surat Izin Praktik (SIP), yaitu izin yang dikeluarkan oleh pejabat
kesehatan yang berwenang di kabupaten atau kota tempat praktiknya
(Pasal 36 sampai 38). Apabila terjadi kesalahan yang dilakukan oleh
seorang dokter dalam perawatan yang menimbulkan kerugian bagi
pasien dan keluarganya, dapat dilihat sebagaiamana dinyatakan dalam
Peraturan Pemerintah, yakni:Peraturan Pemerintah No. 53 Tahun 2010
tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil LN. Tahun 2010 No. 74 dan
TLN No. 5135
Bab III (Hukuman Disiplin) Pasal 7 menyebutkan bahwa:
1. Tingkat hukuman disiplin terdiri dari:

a. Hukuman disiplin ringan.


b. Hukuman disiplin sedang.
c. Hukuman disiplin berat.
2. Jenis hukuman disiplin ringan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri dari:
a. Teguran lisan.
b. Teguran tertulis.
c. Pernyataan tidak puas
3. Jenis hukuman disiplin sedang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri dari:
a. Penundaan kenaikan gaji berkala selama 1 (satu) tahun.
b. Penundaan kenaikan pangkat selama 1 (satu) tahun.
c. Penurun pangkat setingkat lebih rendah selama 1 (satu)tahun.
4. Jenis hukuman disiplin berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri dari:
a. Penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 3 (tiga) tahun.
b. Pemindahan dalam rangka penurunan jabatan setingkat lebih rendah.
c. Pembebasan dari jabatan.
d. Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS.
e. Pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS.
DAFTAR PUSTAKA
Hanafiah Jusuf: Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, Jakarta, 2005
http://Hukum-Kesehatan.web.id/AspekHukumdalamPelaksanaanEuthanasiadi
IndonesiaHuku
mKesehatan.htm
http:// JohnkoplosWeblog.com/Euthanasia Tinjauan dari Segi Medis, Etis, dan Moral

You might also like