You are on page 1of 23

5. A.

Penatalaksanaan Ulkus
Ulkus plantar digolongkan berdasarkan penanganannya, yaitu ulkus akut, ulkus kronik,
ulkus complicated dan ulkus rekuren. Ulkus akut adalah ulkus yang menunjukkan adanya infeksi
akut dan peradangan akut. Daerah terkena menjadi bengkak dan hiperemi, dan dasarnya kotor.
Mungkin dijumpai limfadenitis inguinal dan tanda serta gejala infeksi akut seperti demam,
leukositosis dsb. Ulkus kronik lebih tenang, sedikit discharge, terdapat hiperkeratotik, dengan
jaringan fibrosa yang padat dan dasar ulkus berwarna pucat tertutup jaringan granulasi yang
tidak sehat. Ulkus tampak statis tanpa tanda-tanda menyembuh. Ulkus complicated, dapat akut
atau kronik memperlihatkan gambaran yang kompleks seperti osteomielitis, artritis septik, dan
tenosinovitis septik, sebagai akibat penyebaran infeksi ke tulang, sendi dan tendon. Terkadang
ulkus memberi gambaran seperti bunga kol, yang biasanya tapi tidak selalu- nonmalignan.
Tetapi tidak mungkin menentukan ganas tidaknya lesi ini hanya berdasarkan gambaran klinis.
Infeksi yang mengancam jiwa seperti gangren, tetanus dan septikemia adalah komplikasi lain
yang dapat terjadi. Lebih lanjut, gambaran komplikasi adalah adanyadeformitas yang dapat
mengakibatkan ulkus, atau deformitas terjadi akibat ulkus terdahulu, yang saat ini menimbulkan
terjadinya ulkus rekuren. Kebanyakan ulkus plantar menjadi rekuren karena tidak dilakukan
perawatan. Tetapi ada pula yang meskipun telah dirawat dengan baik ulkus tetap timbul dengan
mudah walau hanya berjalan jarak dekat, dan ini memerlukan perawatan khusus, yang ditujukan
untuk mencegah ulkus rekuren.
Tahap ulkus mengancam biasanya terlewati, dan bila diketahui maka kaki harus
diistirahatkan secara absolut (tidak boleh menahan beban, berjalan atau duduk) dan dilakukan
elevasi selama 48-72 jam, untuk mencegah kerusakan jaringan lebih lanjut. Penderita
diinstruksikan untuk melakukan perawatan diri dan memakai alas kaki.
Bila ditemukan bula nekrosis, pemecahan bula harus dihindari, dan bila terpaksa
dilakukan dapat dilakukan dengan cara ditusuk dan kulit yang terluka ditutup dengan kasa
steril. Penderita juga dinstruksikan untuk melakukan perawatan diri dan menggunakan alas kaki
pelindung.
Ketika sudah terjadi ulkus yang terbuka, harus ditentukan apakah ulkus tersebut akut,
kronik, dengan komplikasi atau rekuren. Pada ulkus akut diusahakan secepatnya mengontrol

infeksi dan meminimalkan kerusakan jaringan. Tirah baring, elevasi tungkai, irigasi serta
pemakaian antibiotika bila diperlukan. Tindakan pada kasus ini terbatas hanya untuk mengambil
jaringan yang benar-benar mati dan prosedur drainase, yang harus dilakukan secara hati-hati.
Setelah 10 hari, keadaan dievaluasi kembali.
Ulkus kronik tanpa komplikasi sulit untuk sembuh karena penderita terus berjalan dan
terjadi proses pemecahan jaringan granulasi. Tujuan pengobatan pada tahap ini adalah
melindungi ulkus selama berjalan dan membiarkan ulkus menyembuh tanpa interfensi. Ini dapat
dicapai dengan menutup luka dengan pembalut plester dan penderita diperbolehkan berjalan
setelah jaringan mengeras. Biasanya dalam waktu 6 minggu ulkus mulai membaik. Terkadang
diperlukan perawatan 6 minggu lagi untuk mendapatkan hasil kesembuhan yang nyata. Setelah
mengangkat pembalut penderita harus melakukan perawatan diri dan memakai alas kaki
pelindung. Untuk ulkus superfisial, pembalut plester dapat diganti dengan plester yang
mengandung zinc oksida. Plester diganti bila diperlukan misalnya bila terdapat eksudat atau
terlepas. Plester dipakai sampai 2 minggu setelah luka menyembuh. Selama itu, jalan harus
dibatasi dan penderita harus memakai alas kaki pelindung bila berjalan. Bial ulkus luas dan
bersih penyembuhan dapat dipercepat dengan melakukan tandur kulit dan dibalut selama 4
minggu untuk melindungi tandur. Terkadang ulkus sulit menyembuh karena aliran darah ke
telapak kaki berkurang dari yang seharusnya. Pada kasus seperti ini dapat dilakukan dekompresi
neurovaskular tibialis posterior.
Seperti telah disebutkan terdahulu, komplikasi yang sering terajadi adalah infeksi pada
jaringan yang lebih dalam. Pada kasus seperti ini, bila terdapat fase akut diterapi seperti ulkus
akut. Bila sudah teratasi, dilakukan evaluasi untuk mengidentifikasi komplikasi yang
timbul. Debridement dilakukan untuk infeksi yang lebih dalam. Beberapa hari setelah prosedur
ini dilakukan, ulkus dirawat seperti ulkus tanpa komplikasi. Pada kasus ulkus seperti bunga kol
harus dilakukan pemeriksaan histopatologi untuk menentukan ganas tidaknya. Dilakukan eksisi
lokal, dan bila diperlukan dilakukan amputasi. Bila terdapat ulkus dan deformitas, ulkus
disembuhkan dahulu, baru kemudian dilakukan koreksi deformitas.

5. B. Pembagian Lepra Menurut WHO dan Ridley Jopling


Menurut klasifikasi WHO, lepra dibagi menjadi dua yaitu PB (Pauci Bacilarry) Leprosy dan MB
(Multi Bacilarry) Leprosy.

Pada PB (Pauci Bacilarry) Leprosy biasanya patch kulit hypopigmentasi dengan


hilangnya sensasi (khususnya sentuhan) karena penebalan saraf perifer. Dan BTA
negative (tidak ditemukan kuman).

Pada MB (Multi Bacilarry) Leprosy Keterlibatan saraf menyebabkan atropi otot yang
bisa menimbulkan deformitas seperti claw hands (kelumpuhan n. ulnaris), drop hand,
drop foot. BTA positif (ditemukan kuman, meskipun hanya 1)

1. Pausi Basiler (PB) :

bercak 1-5
1 saraf yang terkena
BTA (-)
makula ukuran kecil dan besar
distribusi asimetris
hilang rasa : jelas
konsistensi : kering dan kasar
infiltrat : kulit (+), mukosa (-)
ciri : central healing
nodus (-)
deformitas : dini

2. Multi Basiler (MB) :

Bercak >5
saraf yang kena >1
BTA (+)
makula ukuran kecil
distribusi simetris
hilang rasa : kurang jelas
konsistensi : halus berkilat
infiltrat : kulit (-), mukosa (+/-)
ciri : punch out, madarosis, gynecomastia, hidung pelana
nodus (+/-)

deformitas : simetris, lambat.


Menurut Klasifikasi Ridley Jopling dibagi menjadi bentuk polar dan bentuk non polar. Di polar
dibagi lagi menjadi lima dari yang paling ringan sampai yang paling parah yaitu TT, BT, BB, BL,
LL

Tuberculoid Leprosy (TT) :: lesi utamanya makula atau plaque datar dan lebar pada
wajah, trunk dan limb dengan tepi yang meninggi, erythematous dan pusat yang kering,
scaly, pucat, hairless. Seringnya soliter. Bila bakteri sudah menginvasi saraf perifer, lesi
menjadi mati rasa. Progresifitas lambat. Tidak menular karena jumlah organisme yang

ada masih sedikit. Sistem imun masih kuat dan biasanya sembuh.
Borderline Tuberculoid (BT) Leprosy :: Lesi kulit utamanya adalah plaque dan papula,
batasnya tegas. Pada plaque biasanya memiliki satelite papule, hypopigmentasi jelas pada
orang yang berkulit gelap. Tidak ada scale, sedikit erythema, sedikit indurasi dan

peninggian. Lesi seringnya multiple dan asimetris. Lesinya anestesia.


Borderline (BB) Leprosy :: Lesi annular, batas tegas, plaque luas dengan pulau-pulau

kulit normal secara klinis didalam plaque, penampakannya seperti Swiss cheese.
Borderline Lepromatous (BL) Leprosy :: Lesi dimorphic (artinya morfologi mirip lepra
tuberculoid dan lepra lepromatosa). Lesi annular dengan batas luar yang tidak tegas tetapi

batas sebelah dalamnya tegas.


Lepromatous (LL) Leprosy :: Lesi kulit ekstensif, simetris, dan diffuse khususnya pada
area wajah dengan penebalan kulit pada bibir, dahi dan telinga. Kerusakan bisa parah
dengan hilangnya tulang nasal dan septum, kadang-kadang jari dan atropi testis pada lakilaki.

Seseorang yang menderita lepra akan masuk klasifikasi yang mana itu tergantung pada Imunitas
orang tersebut terhadap M. Leprae yaitu melalui CMI (Cell Mediated Immunity). Jika CMI
rendah ya jadi LL, jika bagus bisa saja hanya TT.

6. Terangkan Tentang Penyakit Autoimun


Definisi
Gangguan autoimun adalah kegagalan fungsi sistem kekebalan tubuh yang membuat
badan menyerang jaringannya sendiri. Sistem imunitas menjaga tubuh melawan pada apa yang
terlihatnya sebagai bahan asing atau berbahaya. Bahan seperti itu termasuk mikro-jasad, parasit
(seperti cacing), sel kanker, dan malah pencangkokan organ dan jaringan.
Bahan yang bisa merangsang respon imunitas disebut antigen. Antigen adalah molekul
yang mungkin terdapat dalam sel atau di atas permukaan sel (seperti bakteri, virus, atau sel
kanker). Beberapa antigen ada pada jaringan sendiri tetapi biasanya, sistem imunitas bereaksi
hanya terhadap antigen dari bahan asing atau berbahaya, tidak terhadap antigen sendiri. Sistem
munitas kadang-kadang rusak, menterjemahkan jaringan tubuh sendiri sebagai antigen asing dan
menghasilkan antibodi (disebut autoantibodi) atau sel imunitas menargetkan dan menyerang
jaringan tubuh sendiri. Respon ini disebut reaksi autoimun. Hal tersebut menghasilkan radang
dan kerusakan jaringan. Efek seperti itu mungkin merupakan gangguan autoimun, tetapi
beberapa orang menghasilkan jumlah yang begitu kecil autoantibodi sehingga gangguan
autoimun tidak terjadi.
Sistem kekebalan pada keadaan tertentu tidak mampu bereaksi terhadap antigen yang
lazimnya berpotensi menimbulkan respon imun. Keadaan tersebut disebut toleransi kekebalan
(immunological tolerance) dan terjadi melalui beberapa mekanisme, yaitu :

1.
Deleksi klonal, yaitu eliminasi klon (kelompok sel yang berasal dari satu sel) limfosit,
terutama limfosit T dan sebagian kecil lmfosit B, selama proses pematangan;
2.

Anergi klon, yaitu ketidakmampuan klon limfosit menampilkan fungsinya;

3.

Supresi klon, yaitu pengendalian fungsi pembantu limfosit T.

Pada umumnya, sistem kekebalan dapat membedakan antar antigen diri (self antigen) dan
antigen asing atau bukan diri (non-self antigen). Dalam hal ini terjadi toleransi imunologik

terhadap antigen diri (self tolerance). Apabila sistem kekebalan gagal membedakan antara
antigen self dan non-self, maka terjadi pembentukan limfosit T dan B yang auto reaktif dan
mengembangkan reaksi terhadap antigen diri (reaksi auto imun).
Penyakit autoimun terdiri dari dua golongan, yaitu :
1. Khas organ (organ specific) dengan pembentukan antibodi yang khas organ; contoh :
Thiroiditis, dengan auto-antibodi terhadap tiroid; Diabetes Mellitus, dengan autoantibodi terhadap pankreas; sclerosis multiple, dengan auto-antibodi terhadap susunan
saraf; penyakit radang usus, dengan auto-antibodi terhadap usus.
2. Bukan khas organ (non-organ specific), dengan pembentukan auto antibodi yang tidak
terbatas pada satu organ.
Contoh : Systemic lupus erythemathosus (SLE), arthritis rheumatika, vaskulitis sistemik
dan scleroderma, dengan auto-antibodi terhadap berbagai organ.
Faktor-faktor yang berpengaruh pada perkembangan penyakit autoimun
Penyakit autoimun timbul akibat patahnya toleransi kekebalan diri dan dipengaruhi oleh
berbagai faktor (multi faktor). Faktor-faktor yang bersifat predisposisi dan/atau bersifat
kontributif adalah:
1. Genetik, yaitu haplotipe HLA tertentu meningkatkan risiko penyakit autoimun. Reaksi
autoimun dijumpai .
2. Kelamin (gender), yaitu wanita lebih sering daripada pria.
3. Infeksi, yaitu virus Epstein-Barr, mikoplasma, streptokok, Klebsiella, malaria, dll,
berhubungan dengan beberapa penyakit autoimun;
4. Sifat autoantigen, yaitu enzim dan protein (heat shock protein) sering sebagai antigen
sasaran dan mungkin bereaksi silang dengan antigen mikroba;
5. Obat-obatan, yaitu obat tertentu dapat menginduksi penyakit autoimun;
6. Umur, yaitu sebagian besar penyakit autoimun terjadi pada usia dewasa.

Penyebab
Reaksi autoimun dapat dicetuskan oleh beberapa hal :

Senyawa yang ada di badan yang normalnya dibatasi di area tertentu (disembunyikan dari
sistem kekebalan tubuh) dilepaskan ke dalam aliran darah. Misalnya, pukulan ke mata
bisa membuat cairan di bola mata dilepaskan ke dalam aliran darah. Cairan merangsang

sistem kekebalan tubuh untuk mengenali mata sebagai benda asing dan menyerangnya.
Senyawa normal di tubuh berubah, misalnya, oleh virus, obat, sinar matahari, atau
radiasi. Bahan senyawa yang berubah mungkin kelihatannya asing bagi sistem kekebalan
tubuh. Misalnya, virus bisa menulari dan demikian mengubah sel di badan. Sel yang

ditulari oleh virus merangsang sistem kekebalan tubuh untuk menyerangnya.


Senyawa asing yang menyerupai senyawa badan alami mungkin memasuki badan. Sistem
kekebalan tubuh dengan kurang hati-hati dapat menjadikan senyawa badan mirip seperti
bahan asing sebagai sasaran. Misalnya, bakteri penyebab sakit kerongkongan mempunyai
beberapa antigen yang mirip dengan sel jantung manusia. Jarang terjadi, sistem
kekebalan tubuh dapat menyerang jantung orang sesudah sakit kerongkongan (reaksi ini

bagian dari demam rheumatik).


Sel yang mengontrol produksi antibodi misalnya, limfosit B (salah satu sel darah putih)
mungkin rusak dan menghasilkan antibodi abnormal yang menyerang beberapa sel

badan.
Keturunan mungkin terlibat pada beberapa kekacauan autoimun. Kerentanan kekacauan,
daripada kekacauan itu sendiri, mungkin diwarisi. Pada orang yang rentan, satu pemicu,
seperti infeks virus atau kerusakan jaringan, dapat membuat kekacauan berkembang.
Faktor hormonal juga mungkin dilibatkan, karena banyak kekacauan autoimun lebih
sering terjadi pada wanita.

Gejala
Gangguan autoimun dapat menyebabkan demam. Gejala bervariasi bergantung pada
gangguan dan bagian badan yang terkena. Beberapa gangguan autoimun mempengaruhi jenis
tertentu jaringan di seluruh badan misalnya, pembuluh darah, tulang rawan atau kulit. Gangguan
autoimun lainnya mempengaruhi organ khusus. Sebenarnya organ yang mana pun, termasuk
ginjal, paru-paru, jantung dan otak bisa dipengaruhi. Hasil dari peradangan dan kerusakan
jaringan bisa menyebabkan rasa sakit, merusak bentuk sendi, kelemahan, penyakit kuning, gatal,
kesukaran pernafasan, penumpukan cairan (edema), demam, bahkan kematian.
Diagnosa

Pemeriksaan darah yang menunjukkan adanya radang dapat diduga sebagai gangguan
autoimun. Misalnya, pengendapan laju eritrosit (ESR) seringkali meningkat, karena protein yang
dihasilkan dalam merespon radang mengganggu kemampuan sel darah merah (eritrosit) untuk
tetap ada di darah. Sering, jumlah sel darah merah berkurang (anemia) karena radang
mengurangi produksi mereka. Tetapi radang mempunyai banyak sebab, banyak di antaranya
yang bukan autoimun. Dengan begitu, dokter sering mendapatkan pemeriksaan darah untuk
mengetahui antibodi yang berbeda yang bisa terjadi pada orang yang mempunyai gangguan
autoimun khusus. Contoh antibodi ini ialah antibodi antinuclear, yang biasanya ada di lupus
erythematosus sistemik, dan faktor rheumatoid atau anti-cyclic citrullinated peptide (anti-CCP)
antibodi, yang biasanya ada di radang sendi rheumatoid. Antibodi ini pun kadang-kadang
mungkin terjadi pada orang yang tidak mempunyai gangguan autoimun, oleh sebab itu dokter
biasanya menggunakan kombinasi hasil tes dan tanda dan gejala orang untuk mengambil
keputusan apakah ada gangguan autoimun.
Pengobatan
Pengobatan memerlukan kontrol reaksi autoimun dengan menekan sistem kekebalan
tubuh. Tetapi, beberapa obat digunakan reaksi autoimun juga mengganggu kemampuan badan
untuk berjuang melawan penyakit, terutama infeksi. Obat yang menekan sistem kekebalan tubuh
(imunosupresan),

seperti

azathioprine,

chlorambucil,

cyclophosphamide,

cyclosporine,

mycophenolate, dan methotrexate, sering digunakan, biasanya secara oral dan seringkali dalam
jangka panjang. Obat ini menekan bukan hanya reaksi autoimun tetapi juga kemampuan badan
untuk membela diri terhadap senyawa asing, termasuk mikro-jasad penyebab infeksi dan sel
kanker. Konsekwensinya, risiko infeksi tertentu dan kanker meningkat.
Sering kortikosteroid seperti prednison diberikan secara oral. Obat ini mengurangi radang
sebaik menekan sistem kekebalan tubuh. Kortikosteroid yang digunakan dalam jangka panjang
memiliki banyak efek samping. Kalau mungkin kortikosteroid dipakai untuk waktu yang pendek
sewaktu gangguan mulai atau sewaktu gejala memburuk. Tetapi kadang-kadang harus dipakai
untuk jangka waktu tidak terbatas.

Gangguan autoimun tertentu (seperti multipel sklerosis dan gangguan tiroid) juga diobati
dengan obat lain daripada imunosupresan dan kortikosteroid. Pengobatan untuk mengurangi
gejala juga mungkin diperlukan.
Etanercept, infliximab, dan adalimumab menghalangi aksi faktor tumor necrosis (TNF),
bahan yang bisa menyebabkan radang di badan. Obat ini sangat efektif dalam mengobati radang
sendi rheumatoid, tetapi mereka mungkin berbahaya jika digunakan untuk mengobati gangguan
autoimun tertentu lainnya, seperti multipel sklerosis. Obat ini juga bisa menambah risiko infeksi
dan kanker tertentu.
Obat baru tertentu secara khusus membidik sel darah putih. Sel darah putih menolong
pertahanan tubuh melawan infeksi tetapi juga berpartisipasi pada reaksi autoimun. Abatacept
menghalangi pengaktifan salah satu sel darah putih (sel T) dan dipakai pada radang sendi
rheumatoid. Rituximab, terlebih dulu dipakai melawan kanker sel darah putih tertentu, bekerja
dengan menghabiskan sel darah putih tertentu (B lymphocytes) dari tubuh. Efektif pada radang
sendi rheumatoid dan dalam penelitain untuk berbagai gangguan autoimun lainnya. Obat lain
yang ditujukan melawan sel darah putih sedang dikembangkan.
Plasmapheresis digunakan untuk mengobati sedikit gangguan autoimun. Darah dialirkan
dan disaring untuk menyingkirkan antibodi abnormal. Lalu darah yang disaring dikembalikan
kepada pasien. Beberapa gangguan autoimun terjadi tak dapat dipahami sewaktu mereka mulai.
Tetapi kebanyakan gangguan autoimun kronis. Obat sering diperlukan sepanjang hidup untuk
mengontrol gejala. Prognosis bervariasi bergantung pada gangguan.
1. Lupus Eritematosus Sistemik (SLE)
Penyakit ini tergolong penyakit autoimun non organ specific. Penderita umumnya adalah
wanita dengan perbandingan wanita terhadap pria 9:1; kebanyakan menjangkiti usia
reproduktif, namun dapat juga terjadi pada masa kanak-kanak. Gejala kliniknya dapat sangat
bervariasi dari yang tidak khas sampai kepada yang khas, begitu juga dengan intensitasnya
dari yang ringan sampai yang berat.
Gejala klinik : Ruam kulit pada pipi dan hidung yang menyerupai gambar kupu-kupu
(butterfly rash), arthritis, demam, pleuritis dan fotosensitif. Demam yang tak diketahui
sebabnya, Arthritis yang menyerupai arthritis rheumatoid atau demam reuma, Rambut

rontok, anemia/ kelainan hematologik lainnya, Peradangan mukosa, kelainan ginjal, Gejala
neurologik berupa kejang bahkan psikosis, dan serositis.
Kriteria mendiagnosis SLE menurut American Rheumatism Association (ARA) :
Ruam malar, kemerahan pada kulit di eminens malar;
Ruam discoid, kemerahan kulit disertai pembentukan sisik;
Fotosensitifitas, yaitu kemerahan kulit yang berlebihan setelah terpajan sinar

matahari;
Artritis, non-erosif, pada 1 atau lebih sendi kecil ditandai dengan pembengkakan/

efusi dan nyeri;


Serositis, bisa berupa pleuritis, perikarditis;
Kelainan ginjal, ditandai dengan proteinuria, sedimen torak eritrosit atau Hb;
Gejala neurologik, berupa kejang dan psikis yang tidak dapat dijelaskan

penyebabnya
Kelainan hematologik, seperti anema, lekopenia, limfopenia atau trombositopenia;
Kelainan imunologik, seperti ANA, antibodi anti Sm, sel LE;
Titer ANA yang tinggi pada serum sewaktu.

Jika penderita menunjukkan sekurang-kurangnya 4 dari 10 gejala secara berurutan atau


bersamaan dalam suatu interval waktu tertentu, maka diagnosis Lupus eritematosus
sistemik dapat ditegakkan.
Perjalanan penyakit ini bersifat kronik dan hilang timbul. Penderita dapat
menunjukkan gejala klinik yang berat dan dapat meninggal beberapa bulan sesudah
diagnosis; atau dapat hidup bertahun-tahun bahkan puluhan tahun dengan gejala
penyakit yang hilang timbul. Penyebab kematian utama adalah gagal ginjal, infeksi
interkuren serta keterlibatan susunan saraf pusat secara difus.

Beberapa faktor etiologi yang dianggap berperan dalam timbulnya penyakit ini adalah :
a. Genetik
Faktor ini dibuktikan perannya melalui adanya fakta di mana kejadian penyakit serupa pada
kembar monozigotik sebanyak kira-kira 20% dibandingkan dengan pada kembar dizogotik
yang hanya 3%. Kemudian juga ditemukan fakta bahwa anggota keluarga yang tidak

manifes secara klinik, ternyata menunjukkan adanya autoantibodi di serum. Fenomena


terakhir ini juga merupakan indikasi bahwa manifestasi klinik penyakit autoimun ditentukan
juga oleh faktor pencetus lainnya, misalnya faktor lingkungan / non-genetik. Selanjutnya,
jenis HLA tertentu yang dulu dianggap merupakan predisposisi terhadap penyakit autoimun,
ternyata berkaitan dengan pembentukan autoantibodi tertentu seperti anti ds-DNA, anti Sm
dan antifosfolipid.
b. Non-genetik
Obat-obatan seperti hidralazin, procainamid dan D-penicillamin dapat mencetuskan lupus
eritematosus pada manusia. Sinar matahari, khususnya ultraviolet juga berefek serupa karena
akan memacu keratinosit membentuk IL-1. Hal lainnya adalah virus serta hormon seksual.
Eksaserbasi yang terjadi seiring dengan daur haid merupakan petunjuk peran hormon seks
ini.
c. Imunologik
Kelainan fungsi sistem imun diduga mendasari proses terjadinya lupus. Letak kelainan
masih kontroversial, semula diduga sebagai akibat sel B yang hperaktif pada perangsangan
poliklonal, namun belakangan ini ditemukan indikasi bahwa letak kelainan adalah pada sel T
penolong. Mekanisme imunologik yang mendasari kerusakan jaringan pada umumnya
adalah hipersensitifitas tipe III.
2. Lupus Eritematosus Diskoid
Penyakit ini ditandai dengan kelainan kulit berupa ruam diskoid tanpa disertai
manifestasi pada multiorgan seperti lupus eritematosus sistemik. Kelainan terutama hanya
pada muka dan kulit kepala. Hanya sebagian kecil penderita disertai manifestasi multi organ;
namun pada sebagian kecil kasus di kemudian hari dapat berkembang menjadi bentuk yang
sistemik. ANA ditemukan pada kira-kira 35% kasus namun ds- DNA jarang dijumpai.
3. Sindroma Sygren
Penyakit ini ditandai dengan keluhan kekeringan pada mata (xerophtalmia) dan mulut
(xerostomia). Kelenjar eksokrin lain dapat juga terlibat antara lain di saluran pernapasan,
saluran cerna serta reproduksi.
Pada kelenjar liur dan kelenjar air mata dijumpai disebukan limfosit padat disertai atrofi
asinus atau duktus. Sebagian besar sel limfosit adalah sel T penolong dan sebagian kecil
adalah sel B serta sel plasma. Diduga sel T sitotoksik dan Ig (autoantibodi) yang melakukan
destruksi terhadap asinus dan duktus. Hal yang menarik adalah dtemukannya

monoklonalitas pada populasi sel B di jaringan kelenjar; dan memang pada sebagian kasus,
di kemudian hari ternyata berkembang menjadi limfoma malignum.
Kelainan ini dapat terjadi secara tersendiri atau sebagai bagian dari penyakit autoimun
yang lain seperti atritis reumatoid, LES, skleroderma dll.
Auto antibody yang ditemukan antara lain ANA, anti ribonukleoprotein (RNP) : SS-A
(Ro) dan SS-B (La); sel LE dan faktor rheumatoid. SS-A dan SS-B adalah antibodi yang
diagnostik untuk sindroma Sygren.
Gejala klinik dapat berupa penglihatan yang kabur, mata gatal bahkan ulserasi kornea;
sariawan-fisura mulut, kesulitan menelan, penurunan daya pengecap, pembengkakan parotis.
Dapat juga terjadi gangguan pada hidung berupa epistaksis, kering dan ulserasi septum;
bronkitis, pneumonitis dan lain-lain.
4. Skleroderma (sklerosis sistemik)
Kelainan ini ditandai dengan fibrosis terutama pada kulit, yang dapat disertai atau
kemudian melibatkan berbagai organ seperti saluran pernapasan, saluran cerna, jantung,
ginjal, vaskuler. Berdasarkan luasnya sistem yang terjangkit, akhir-akhir ini dibuat kategori
atas :
skleroderma difus, jika dalam waktu singkat sudah melibatkan berbagai organ;
skleroderma lokal, jika baru melibatkan berbagai organ setelah waktu yang lama
Kelainan ini terutama dijumpai pada wanita pada usia sekitar 50-60 tahun. Manisfestasi
pada kulit berupa atrofi kulit yang biasanya dimulai dari jari-jari kemudian menjalar ke arah
proksimal yaitu ke leher dan muka. Kelainan saluran cerna ditandai dengan kesulitan
menelan, malabsorbs, obstruksi, nyeri perut, anemi dan berat badan yang menurun. Hal ini
disebabkan terjadi fibrosis lapisan muskularis dan lapisan mukosa. Sesak napas dapat terjadi
akibat fibrosis paru, dan hal ini dapat pula berakibat pada terjadinya payah jantung kanan.
Manifestasi ginjal berupa proteinuria ringan serta hipertensi yang sering berat atau progresif.
Mekanisme yang mendasari kelainan ini adalah berbagai hal yang menyebabkan /
mengaktifkan proses fibrosis. Proses ini dapat terjadi melalui aktifasi sel T oleh antigen
tertentu (autoantigen) yang kemudian menghasilkan sitokin yang mengaktifkan sel mast dan
makrofag. Makrofag dan sel mast kemudian menghasilkan tumor necrosis factor (TNF),
pltelet derived growth factor (PDGF), chemotactic factor (CF), transforming growth factor
beta (TGF-) dan IL-1. Semua sitokin ini akan memacu proliferasi fibroblas dan fibrosis.
Jalur lain adalah melalui cedera vaskuler oleh sebab yang tidak diketahui, kemudian
terjadi agregasi trombosit, pembentukan mikrotrombi, oklusi, iskemi, nekrosis dan diakhiri

dengan fibrosis. Pada penderita ini juga dijumpai ANA; dua jenis ANA yang dianggap
diagnostik untuk skleroderma adalah anti-Sc170, dan antisentromer.
5. Sindroma Myasthenia
Terdapat 2 jenis sindroma myasthenia, yaitu :
Myasthenia gravis.
Pada sindrom jenis inil dibentuk autoantibodi terhadap reseptor asetil kolin sehingga
terjadi hambatan ikatan asetilkolin dengan reseptornya dan menyebabkan gagalnya transmisi
isyarat syaraf ke otot. Autoantibodi tersebut ditemukan di dalam serum pada 85 otot.
Kelemahan otot mata yang menyebabkan penglihatan ganda dan menurunnya kelopak mata
adalah tanda yang khas. Kelemahan otot larings menyebabkan dysphonia. Otot-otot lain
dapat terserang pada perkembangan penyakit lebih lanjut. Kematian biasanya disebabkan
kegagalan otot pernapasan. Pada penderita muda dan wanita sering dijumpai kelainan timus,
seperti hiperplasi timus dan timoma. Gejala kelemahan otot dapat diperbaiki dengan
timektomi atau pengobatan dengan inhibitor kholinesterase atau plasmapheresis untuk
membuang antibodi yang berbahaya dari sirkulasi. Pengobatan tersebut bersifat
menghilangkan gejala sementara sedangkan penyakitnya belum dapat disembuhkan.
Sindroma myasthenia Lamber-Eato
Terbentuk antibodi terhadap protein kanal kalsium (calcium channel protein) yang
menghambat pelepasan asetilkolin dari ujung saraf. Sindroma ini adalah contoh penyakit
autoimun paraneoplastik. Kebanyakan menderita karsinoma paru jenis oat cell, yang
dianggap menjadi dasar timbulnya reaksi autoimun terhadap protein kanal kalsium. Berbeda
dengan myasthenia gravis, kelemahan otot dapat membaik pada pergerakan. Pengobatan
bersifat simtomatik karena kankernya sulit disembuhkan.
6. Psoriasis
Pengertian
Psoriasis adalah sejenis penyakit kulit yang penderitanya mengalami proses pergantian
(kulit) yang terlalu cepat. Kemunculan penyakit ini kadang-kadang dalam jangka waktu
lama atau kambuhan dalam waktu yang tidak menentu. Penyakit ini secara klinis bersifat
tidak mengancam jiwa dan tidak menular. Akan tetapi, penyakit ini dapat muncul pada
bagian tubuh mana saja sehingga dapat menurunkan kualitas hidup dan mengganggu
kekuatan mental penderita bila tidak dirawat dengan baik. Bila tidak diobati dengan benar,
penyakit bisa mengalami komplikasi (penyakit menjadi lebih buruk) seperti psoriatic
eritroderma (seluruh

kilit

tubuh

menjadi

merah)

atau psoriasis

pustulosa

generalisata (psoriasis dengan gelembung-gelembung kecil berisi nanah) yang dapat


membahayakan jiwa penderita.
Tipe psoriasis yang sering ditemukan:
Bentuk vulgalis (bentuk plak)
Bentuk bintik-bintik (guttate)
Bentuk pada bagian lipatan (flexura)
Bentuk menyebar luas atau eritroderma (seluruh kulit)
Bentuk gelembung bernanah (pustula)
Bentuk mengelupas (exfoliative)
Psoriasis sendi ( psoriasis yang disertai radang sendi)
Penyebab:
Penyebab penyakit ini masih belum diketahui, tetapi para peneliti sudah berhasil
menemukan gen abnormal yang mengarah ke pembentukan psoriasis pada penderita.
Dengan demikian penyakit ini mempunyai risiko menjadi penyakit keturunan. Umumnya
psoriasis tidak membahayakan jiwa walaupun sangat mengganggu kualitas hidup.
Kehidupan pribadi, sosial, dan pekerjaan penderita juga sangat dipengaruhi oleh penyakit
jika kelainan kulitnya mengenai tempat tertentu (misalnya muka, telapak tangan atau kaki,
alat kelamin).
Bila tidak diobati dengan benar, penyakit bisa mengalami komplikasi (penyakit menjadi
lebih buruk) seperti psoriatic eritroderma (seluruh kilit tubuh menjadi merah) atau psoriasis
pustulosa generalisata(psoriasis dengan gelembung-gelembung kecil berisi nanah) yang
dapat membahayakan jiwa penderita.
"Beberapa keadaan lingkungan atau faktor tertentu dapat memperburuk atau mencetuskan
psoriasis. Seperti stres, cuaca dingin dan kelembaban rendah, obat-obat tertentu, infeksi
(kuman streptokokus, HIV), trauma (garukan, gesekan), alkohol dan merokok. Kesemuanya
itu memungkinkan seseorang mengidap psoriasis yang menurunkan kualitas hidup,"
jelasnya.
Mekanisme terjadinya psoriasis
Biasanya didahului dengan semacam luka memar atau benturan di salah satu bagian kulit
tubuh, setelah kejadian itu, bagian yang kena trauma itu tidak kunjung sembuh. Bahkan
sebaliknya makin memburuk dan mulai menyebar. Kemudian ada lagi luka memar di bagian
kulit lain. Luka luka itu bisa tetap kecil dan menghilang atau sebaliknya melebar dan
meluas. Setelah berjalan beberapa lama biasanya penyakit ini meluas, sehingga orang itu
mencari pengobatan. Padahal ibu sedang hamil, nampaknya penyakit ini seperti tumbuh dan
menghilang. Namun setelah melahirkan psoriasisnya kembali kambuh lagi.

Mengenali tanda psoriasis:


umpamanya seperti dengan obat luar, obat sistemik atau keduanya sekaligus.
Fotokemoterapi seperti kombinasi antara obat dan disinar ultraviolet. Hasilnya sangat
bervariasi, ada yang merasakan secara dramatis, akan tetapi ada pula yang merasakan seperti
mendapat malapetaka. Seperti juga pada pengobatan penyakit lain ada yang sembuh ada
pula yang tidak cocok.
Pada tahap permulaan, mirip dengan penyakit-penyakit kulit eritro papulo skuamus
dermatosa (penyakit kulit yang memberikan gambaran bercak merah bersisik). Namun
gambaran klinis akan makin jelas seiring dengan waktu lantaran penyakit ini bersifat
menahun (kronis).
Awalnya, psoriasis ditandai dengan bercak merah dan kadang gatal, berbatas jelas yang
tiba-tiba muncul dikulit, terutama di siku, lutut, daerah tulang ekor (sacrum), kepala dan
daerah genital. Dippermukaan bercak terdapat sisik (skuama) berwarna putih mirip

mika atau putih keperakan, kering, berlapis, kasar dan transparan.


Selanjutnya, bercak merah membesar, dan beberapa bergabung membentuk bercak yang

lebih lebar.
Bercak pada umumnya berbentuk bulat atau oval, berukuran satu hingga beberapa senti

meter dan menetap pada waktu yang lama.


Selain di kulit, psoriasis dapat mengenai kuku dan sendi (jarang).

Pengobatan
Saat ini terdapat berbagai pengobatan psoriasis yang aman dan efektif. Pengobatan
tersebut memperbaiki keadaan kulit serta mengurangi keluhan gatal. Dari banyaknya jenis
pengobatan, hanya sebagian kecil saja pengobatan psoriasis dapat membersihkan kelainan
kulit. Proses tersebut dinamakan clearance atau remisi. Setelah remisi masih diperlukan
pengobatan lanjutan (pengobatan pemeliharaan) yang diberikan dalam jangka waktu lama
untuk mempertahankan remisi atau mengontrol timbulnya kelainan kulit baru. Sampai saat
ini belum ada obat yang dapat menyembuhkan psoriasis secara total. Semua pengobatan
yang ada hanya dapat menekan gejala psoriasis. Sebagian besar penderita tidak pernah
mencapai suatu keadaan remisi yang bebas pengobatan.
Tujuan pengobatan pada psoriasis ialah mengurangi keparahan (derajat kemerahan, tebal
dan sisik) dan luas kelainan kulit sedemikian rupa sehingga penyakit tidak lagi menunggu

pekerjaan, kehidupan pribadi dan sosial, dan kesejahteraan penderita. Agar perawatan ini
berhasil, diperlukan kerjasama antara dokter dan penderita.
Hal lain yang harus diperhatikan sebelum memilih pengobatan psoriasis adalah derajat
keparahan yang diderita. Juga lokasi penyakit, tipe, usia dan jenis kelamin juga riwayat
kesehatan penderita. Langkah pertama yang dilakukan adalah pengobatan luar (topical).
Langkah ini dapat dilakukan untuk penderita psoriasis ringan dengan luas kelainan kulit
kurang dari 5 persen. Obat yang bisa digunakan antara lain ter batubara, kortikosteroid,
calcipotriol, antralim, retinoid topical (tazaroten), asam salisilat, pimekrolimus, emolien dan
keratolitik.
Langkah kedua atau fototerapi biasanya dipakai untuk mengobati psoriasis yang berhasil
dengan pengobatantopical. Langkah ketiga adalah pengobatan sistemik, yaitu obat yang
dimakan atau dimasukkan melalui suntik. Obat tersebut akan diserap dan masuk ke dalam
aliran darah kemudian tersebar ke seluruh tubuh.
Obat sistemik biasanya disediakan khusus untuk psoriasis sedang sampai berat, atau
psoriasis arthritis berat (disertai dengan cacat tubuh). Juga dipakai untuk psoriasis
eritroderma atau psoriasis pustulosa. (AS/E-5)
Cara pengobatan ortodoks, biasanya menggunakan pengolesan obat luar, seperti salf,
krim, dan lotion, tetapi teknik pelaksanaan bisa berbeda beda dari mulai dengan mandi ter
(tar). Sampai fotokemoterapi. Dengan menggunaka senar lesser. Sekali lagi hasilnya tidak
selalu konsisten dari berhasil sampi gagal dan tidak ada gunanya. Zalf campuran steroid dan
flourin, injeksi steroid, dan glukokortikosteroid sering juga digunakan, namun harus
diawasi dan dipantau oleh dokter dengan ketat, sebab sering mengakibatkan efek samping
yang buruk.

7. Injeksi per OS, Generic, Paten Antihistamin


Antihistamin adalah obat dengan efek antagonis terhadap histamin. Di pasaran banyak
dijumpai berbagai jenis antihistamin dengan berbagai macam indikasinya. Antihistamin terutama

dipergunakan untuk terapi simtomatik terhadap reaksi alergi atau keadaan lain yang disertai
pelepasan histamin berlebih. Penggunaan antihistamin secara rasional perlu dipelajari untuk
lebih menjelaskan perannya dalam terapi karena pada saat ini banyak antihistamin generasi baru
yang diajukan sebagai obat yang banyak menjanjikan keuntungan.
Antihistamin adalah zat-zat yang dapat mengurangi atau menghalangi efek histamin
terhadap tubuh dengan jalan memblok reseptor histamin (penghambatan saingan). Pada
awalnya hanya dikenal satu tipe antihistaminikum, tetapi setelah ditemukannya jenis reseptor
khusus pada tahun 1972, yang disebut reseptor-H2,maka secara farmakologi reseptor histamin
dapat dibagi dalam dua tipe , yaitu reseptor-H1 da reseptor-H2.
Berdasarkan penemuan ini, antihistamin juga dapat dibagi dalam dua kelompok, yakni
antagonis reseptor-H1 (singkatnya disebut H1-blockers atau antihistaminika) dan antagonis
reseptor H2 ( H2-blockers atau zat penghambat-asam)
1. H1-blockers (antihistaminika klasik)
Mengantagonir histamin dengan jalan memblok reseptor-H1 di otot licin dari dinding
pembuluh,bronchi dan saluran cerna,kandung kemih dan rahim. Begitu pula melawan efek
histamine di kapiler dan ujung saraf (gatal, flare reaction). Efeknya adalah simtomatis,
antihistmin

tidak

dapat

menghindarkan

timbulnya

reaksi

alergi

Dahulu antihistamin dibagi secara kimiawi dalam 7-8 kelompok, tetapi kini digunakan
penggolongan dalam 2 kelompok atas dasar kerjanya terhadap SSP, yakni zat-zat generasi ke-1
dan ke-2.
a. Obat generasi ke-1: prometazin, oksomemazin, tripelennamin, (klor) feniramin,
difenhidramin, klemastin (Tavegil), siproheptadin (periactin), azelastin (Allergodil),
sinarizin, meklozin, hidroksizin, ketotifen (Zaditen), dan oksatomida (Tinset).
Obat-obat ini berkhasiat sedatif terhadap SSP dan kebanyakan memiliki efek
antikolinergis
b. Obat generasi ke-2: astemizol, terfenadin, dan fexofenadin, akrivastin (Semprex),
setirizin, loratidin, levokabastin (Livocab) dan emedastin (Emadin). Zat- zat ini
bersifat khasiat antihistamin hidrofil dan sukar mencapai CCS (Cairan
Cerebrospinal), maka pada dosis terapeutis tidak bekerja sedative. Keuntungan
lainnya adalah plasma t2-nya yang lebih panjang, sehingga dosisnya cukup dengan

1-2 kali sehari. Efek anti-alerginya selain berdasarkan, juga berkat dayanya
menghambat sintesis mediator-radang, seperti prostaglandin, leukotrin dan kinin.
2. H2-blockers (Penghambat asma)
Obat-obat ini menghambat secara efektif sekresi asam lambung yang meningkat akibat
histamine, dengan jalan persaingan terhadap reseptor-H2 di lambung. Efeknya adalah
berkurangnya hipersekresi asam klorida, juga mengurangi vasodilatasi dan tekanan darah
menurun. Senyawa ini banyak digunakan pada terapi tukak lambug usus guna mengurangi
sekresi HCl dan pepsin, juga sebagai zat pelindung tambahan pada terapi dengan kortikosteroida.
Lagi pula sering kali bersama suatu zat stimulator motilitas lambung (cisaprida) pada penderita
reflux.
Penghambat asam yang dewasa ini banyak digunakan adalah simetidin, ranitidine, famotidin,
nizatidin dan roksatidin yang merupakan senyawa-senyawa heterosiklis dari histamin.
PENGGUNAAN UMUM:
Menghilangkan gejala yang behubungan dengan alergi, termasuk rinithis, urtikaria dan
angiodema, dan sebagai terapi adjuvant pada reaksi anafilaksis. Beberapa antihistamin digunakan
untuk mengobati mabuk perjalanan (dimenhidrinat dan meklizin), insomnia (difenhidramin),
reaksi

serupa

parkinson

(difenhidramin),

dan

kondisi

nonalergi

lainnya.

Lazimnya dengan antihistaminika selalu dimaksud H-1 blockers. Selain bersifat antihistamin,
obat-obat ini juga memiliki berbagai khasiat lain, yakni daya antikolinergis,antiemetis dan daya
menekan SSP (sedative),dan dapat menyebabkan konstipasi, mata kering, dan penglihatan kabur,
sedangkan beberapa di antaranya memiliki efek antiserotonin dan local anestesi (lemah).
Berdasarkan efek ini, antihistaminika digunakan secara sistemis ( oral,injeksi) untuk
mengobati simtomatis bermacam-macam gangguan alergi yang disebabkan oleh pembebasan
histamine. Di samping rhinitis, pollinosis dan alergi makanan/obat, juga banyak digunakan pada
sejumlah gangguan berikut:
1. Asma yang bersifat alergi, guna menanggulangi gejala bronchokonstriksi. Walaupun
kerjanya baik, namun efek keseluruhannya hanya rendah berhubung tidak berdaya
terhadap mediator lain (leukotrien) yang juga mengakibatkan penciutan bronchi. Ada
indikasi bahwa penggunaan dalam bentuk sediaan inhalasi menghasilkan efek yang lebih

baik. Obat-obat ketotifen dan oksatomida berkhasiat mencegah degranulasi dari mastcells
dan efektif untuk mencegah serangan.
2. Sengatan serangga khususnya tawon dan lebah, yang mengandung a.l. histamine dan
suatu enzim yang mengakibatkan pembebasannya dari mastcells. Untuk mendapatkan
hasil yang memuaskan, obat perlu diberikan segera dan sebaiknya melalui injeksi
adrenalin i.m. atau hidrokortison i.v.
3. Urticaria (kaligata, biduran). Pada umumnya bermanfaat terhadap meningkatnya
permeabilitas kapiler dan gatal-gatal, terutama zat-zat dengan kerja antiserotonin seperti
alimemazin (Nedeltran), azatadin dan oksatomida. Khasiat antigatal mungkin berkaitan
pula dengan efek sedative dan efek anestesi local.
4. Stimulasi nafsu makan. Untuk menstimulasi nafsu makan dan dengan demikian
menaikkan berat badan, yakni siproheptadin ( dan turunannya pizotifen) dan oksatomida.
Semua zat ini berdaya antiserotonin.
5. Sebagai sedativum berdasarkan dayanya menekan SSP, khususnya prometazin dan
difenhidramin serta turunannya. Obat-obat ini juga berkhasiat meredakan rangsangan
batuk, sehingga banyak digunakan dalam sediaan obat batuk popular.
6. Penyakit Parkinson berdasarkan daya antikolinergisnya, khususnya difenhidramin dan
turunan 4-metilnya (orfenadrin) yang juga berkhasiat spasmolitis.
7. Mabuk jalan dan Pusing (vertigo) berdasarkan efek antiemetisnya yang juga berkaitan
dengan khasiat antikolinergis, terutama siklizin,meklizin dan dimenhidrinat, sedangkan
sinarizin terutama digunakan pada vertigo.
8. Shock anafilaksis di samping pemberian adrenalin dan kortikosteroid. selain itu,
antihistaminika banyak digunakan dalam sediaan kombinasi untuk selesma dan flu.
MACAM
Menurut struktur kimianya antihistaminika dapat dibagi dalam beberapa kelompok, yang mana
sejumlah memiliki rumus dasar sebagai berikut:
R-X-C-C-N=R1 dan R2 Dimana X= atom O,N atau C; R= gugus aromatic dan/atau heterosiklik,
R1 dan R2 = gugus metal atau heterosiklik. Dapat dilihat bahwa inti molekul terdiri atas
etilamin, yang juga terdapat dalam molekul histamine. Adakalanya gugus ini merupakan bagian
dari suatu struktur siklik, seperti umpamanya pada antazolin dan klemastin.
Zat-zat ini berdaya antikolinergik dan sedative agak kuat.

1. DERIVAT ETANOLAMIN (X=O)


a. Difenhidramin : Benadryl Di samping daya antikolinergik dan sedative yang kuat,
antihistamin ini juga bersifat spasmolitik, anti-emetik dan antivertigo (pusing-pusing).
Berguna sebagai obat tambahan pada Penyakit Parkinson, juga digunakan sebagai obat antigatal pada urticaria akibat alergi (komb. Caladryl, P.D.) Dosis: oral 4 x sehari 25-50mg, i.v.
10-50mg.
2-metildifenhidramin = orfenadrin (Disipal, G.B.)
Dengan efek antikolinergik dan sedative ringan, lebih disukai sebagai obat tambahan
Parkinson dan terhadap gejala-gejala ekstrapiramidal pada terapi dengan neuroleptika.
Dosis: oral 3 x sehari 50mg

4-metildifenhidramin (Neo-Benodin)
Lebih kuat sedikit dari zat induknya. Digunakan pada keadaan-keadaan alergi pula.
Dosis: 3 x sehari 20-40mg
Dimenhidrinat (Dramamine, Searle)
Adalah senyawa klorteofilinat dari difenhidramin yang digunakan khusus pada mabuk
perjalanan dan muntah-muntah sewaktu hamil. Dosis: oral 4 x sehari 50-100mg, i.m.

50mg
Klorfenoksamin (Systral, Astra)
Adalah derivate klor dan metal, yang antara lain digunakan sebagai obat tambahan pada

Penyakit Parkinson. Dosis: oral 2-3 x sehari 20-40mg (klorida), dalam krem 1,5%.
Karbinoksamin : (Polistin, Pharbil)
Adalah derivat piridil dan klor yang digunakan pada hay fever. Dosis: oral 3-4 x sehari

4mg (maleat, bentuk,dll).


b. Kiemastin: Tavegyl (Sandos)
Memiliki struktur yang mirip klorfenoksamin, tetapi dengan substituent siklik (pirolidin).
Daya antihistaminiknya amat kuat, mulai kerjanya pesat, dalam beberapa menit dan bertahan
lebih dari 10 jam. Antara lain mengurangi permeabilitas dari kapiler dan efektif guna
melawan pruritus alergis (gatal-gatal). Dosis: oral 2 x sehari 1mg a.c. (fumarat), i.m. 2 x
2mg.
2. DERIVAT ETILENDIAMIN (X=N)
Obat-obat dari kelompok ini umumnya memiliki data sedative yang lebih ringan.
Antazolin : fenazolin, antistin (Ciba)
Daya antihistaminiknya kurang kuat, tetapi tidak merangsang selaput lender. Maka layak
digunakan untuk mengobati gejala-gejala alergi pada mata dan hidung (selesma) sebagai

preparat kombinasi dengan nafazolin (Antistin-Privine, Ciba). Dosis: oral 2-4 x sehari 50

100mg (sulfat).
Tripelenamin (Tripel, Corsa-Azaron, Organon) kini hanya digunakan sebagai krem 2%
pada gatal-gatal akibat reaksi alergi (terbakar sinar matahari, sengatan serangga, dan lain-

lain).
Mepirin (Piranisamin) Adalah derivate metoksi dari tripelenamin yang digunakan dalam
kombinasi dengan feniramin dan fenilpropanolamin (Triaminic, Wander) pada hay fever.

Dosis: 2-3 x sehari 25mg.


Klemizol ( Allercur, Schering) Adalah derivate klor yang kini hanya digunakan dalam
preparat kombinasi anti-selesma (Apracur, Schering) atau dalam salep/suppositoria anti
wasir (Scheriproct, Ultraproct, Schering).

3. DERIVAT PROPILAMIN (X=C)


Obat-obat dari kelompok ini memiliki daya antihistamin kuat.
a. Feniramin : Avil (Hoechst) Zat ini berdaya antihistamink baik dengan efek meredakan
batuk yang cukup baik, maka digunakan pula dalam obat-obat batuk. Dosis: oral 3 x
sehari 12,5-25mg (maleat) pada mala hari atau 1 x 50mg tablet retard; i.v. 1-2 x sehari
50mg; krem 1,25%.
Klorfenamin (Klorfeniramin. Dl-, Methyrit, SKF) Adalah derivate klor dengan
daya 10 kali lebih kuat, sedangkan derajat toksisitasnya praktis tidak berubah.
Efek-efek sampingnya antara lain sifat sedatifnya ringan. Juga digunakan dalam
obat batuk. Bentuk-dextronya adalah isomer aktif, maka dua kali lebih kuat
daripada bentuk dl (rasemis)nya: dexklorfeniramin (Polaramin, Schering). Dosis:

3-4 x sehari 3-4mg (dl, maleat) atau 3-4 x sehari 2mg (bentuk-d).
Bromfeniramin (komb.Ilvico, Merck) Adalah derivate brom yang sama kuatnya
dengan klorfenamin, padamana isomer-dextro juga aktif dan isomer-levo tidak.

Juga digunakan sebagai obat batuk. Dosis: 3-4 x sehari 3mg (maleat).
b. Tripolidin : Pro-Actidil Derivat dengan rantai sisi pirolidin ini berdaya agak kuat, mulai
kerjanya pesat dan bertahan lama, sampai 24 jam (sebagai tablet retard).
Dosis: oral 1 x sehari 10mg (klorida) pada malam hari berhubung efek sedatifnya.
4. DERIVAT PIPERAZIN
Obat-obat kelompok ini tidak memiliki inti etilamin, melainkan piperazin. Pada umumnya
bersifat long-acting, lebih dari 10 jam.

a. Siklizin : Marzine
Mulai kerjanya pesat dan bertahan 4-6 jam lamanya. Terutama digunakan sebagai antiemetik dan pencegah mabuk jalan. Namun demikian obat-obat ini sebaiknya jangan
diberikan pada wanita hamil pada trimester pertama.
Meklozin (Meklizin, Postafene/Suprimal) adalah derivat metilfenii dengan efek
lebih panjang, tetapi mulai kerjanya baru sesudah 1-2 jam. Khusus digunakan

sebagai anti-emetik dan pencegah mabuk jalan. Dosis: oral 3 x sehari 12,5-25mg.
Buklizin (longifene, Syntex) Adalah derivate siklik dari klorsiklizin dengan longacting dan mungkin efek antiserotonin. Disamping anti-emetik,juga digunakan
sebagai obat anti pruritus dan untuk menstimulasi nafsu makan. Dosis: oral 1-2 x

sehari 25-50mg.
Homoklorsiklizin (homoclomin, eisai) Berdaya antiserotonin dan dianjurkan pada

pruritus yang bersifat alergi. Dosis: oral 1-3 x sehari 10mg.


b. Sinarizin : Sturegon (J&J), Cinnipirine(KF) Derivat cinnamyl dari siklizin ini disamping
kerja antihistaminnya juga berdaya vasodilatasi perifer. Sifat ini berkaitan dengan efek
relaksasinya terhadap arteriol-arteriol perifer dan di otak (betis,kaki-tangan) yang
disebabkan oleh penghambatan masuknya ion-Ca kedalam sel otot polos. Mulai kerjanya
agak cepat dan bertahan 6-8 jam, efek sedatifnya ringan. Banyak digunakan sebagai obat
pusing-pusing dan kuping berdengung (vertigo, tinnitus). Dosis: oral 2-3 x sehari 2550mg.
Flunarizin (Sibelium, Jansen) Adalah derivat difluor dengan daya antihistamin
lemah. Sebagai antagonis-kalsium daya vasorelaksasinya kuat. Digunakan pula
pada vertigo dan sebagai pencegah migran.
5. DERIVAT FENOTIAZIN
Senyawa- senyawa trisiklik yang memiliki daya antihistamin dan antikolinergik yang tidak
begitu kuat dan seringkali berdaya sentral kuat dengan efek neuroleptik.
a. Prometazin: (Phenergan (R.P.)) Antihistamin tertua ini (1949) digunakan pada reaksireaksi alergi akibat serangga dan tumbuh-tumbuhan, sebagai anti-emetik untuk
mencegah mual dan mabuk jalan. Selain itu juga pada pusing-pusing (vertigo) dan
sebagai sedativum pada batuk-batuk dan sukar tidur, terutama pada anak-anak. Efek
samping yang umum adalah kadang-kadang dapat terjadi hipotensi,hipotermia (suhu

badan rendah), dan efek-efek darah (leucopenia, agranulocytosis). Dosis: oral 3 x sehari
25-50mg sebaiknya dimulai pada malam hari; i.m. 50mg.
Tiazinamium (Multergan, R.P.) Adalah derivat N-metil dengan efek antikolinergik

kuat, dahulu sering digunakan pada terapi pemeliharaan terhadap asma.


Oksomemazin (Doxergan, R.P.) Adalah derivat di-oksi (pada atom-S) dengan
kerja dan penggunaan sama dengan prometazin, antara lain dalam obat batuk.

Dosis: oral 2-3 x sehari 10mg.


Alimemazin (Nedeltran) Adalah analog etil denagn efek antiserotonin dan daya
neuroleptik cukup baik. Digunakan sebagai obat untuk menidurkan anak-anak,

adakalanya juga pada psikosis ringan. Dosis: oral 3-4 x sehari 10mg.
Fonazin (Dimetiotiazin) Adalah derivat sulfonamida dengan efek antiserotonin

kuat yang dianjurkan pada terapi interval migraine. Dosis: oral 3-4 x sehari 10mg.
b. Isotipendil: Andantol (Homburg) Derivat aso-fenotiazin ini kerjanya pendek dari
prometazin dengan efek sedatif lebih ringan. Dosis: oral; 3-4 x sehari 4-8mg, i.m. atau
i.v. 10mg.
Mequitazin (Mircol, ACP) Adalah derivat prometazin dengan rantai sisi
heterosiklik yang mulai kerjanya cepat, efek-efek neurologinya lebih ringan.
Digunakan pada hay fever, urticaria dan reaksi-reaksi alergi lainnya. Dosis: oral 2

x sehari 5mg.
Meltidazin (Ticaryl, M.J.) Adalah derivat heterosiklik pula (pirolidin) dengan
efek antiserotonin kuat. Terutama dianjurkan pada urticaria. Dosis: oral 2 x sehari
8mg.

You might also like