You are on page 1of 19

TUGAS AUDIT ENERGI

AUDIT ENERGI DI INDUSTRI TEKSTIL


PT. GRANDTEX

Disusun oleh:
Annisa Novita Nurisma (131424005)
3-TKPB
Dosen :
Ir. Mukhtar Ghozali, MSc.

TEKNIK KIMIA PRODUKSI BERSIH


POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
2016
A. Pendahuluan
Kebutuhan energi saat ini sudah menjadi masalah nasional yang begitu nyata dan
mendesak, sehubungan dengan melambungnya harga bahan bakar minyak (BBM) dunia yang
sangat besar dampaknya diberbagai sektor perekonomian nasional. Merespon masalah tersebut di
atas Pemerintah sudah mengeluarkan Inpres No.10 tahun 2005 tentang Penghematan Energi dan
ditindaklanjuti Permen ESDM No.0031 tahun 2005 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penghematan

Energi. Juga Perpres No.5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional dan Inpres No.1 tahun
2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (BBN) atau Biofuel.
Selanjutnya pemerintah telah membentuk Timnas BBN untuk menyiapkan Program
Pengembangan BBN, serta ditindaklanjuti dengan berbagai peraturan dan kebijakan lainnya. Hal
tersebut diperkuat dengan adanya UU No.30 tahun 2007 tentang Energi, maka sudah cukup kuat
landasan bagi kita untuk mengoptimalkan penggunaan energi dan mencari sumber energi baru
dan terbarukan sehingga bisa memberikan solusi terhadap permasalahan krisis energi nasional.
Meningkatnya harga energi yang sangat melambung saat ini dan meningkatnya
kepedulian masyarakat tentang dampak lingkungan dari penggunaan energi serta liberalisasi
sektor industri energi mengakibatkan semakin pentingnya pemahaman manajemen energi dan
konservasi energi dalam rangka mengantisipasi perkembangan teknologi yang pesat dan sumber
energi yang semakin terbatas. Untuk itulah perlu adanya suatu riset dan analisis lebih jauh untuk
menginventarisasi berbagai permasalahan, memetakan semua potensi yang ada, menghitung
adanya peluang dan resiko investasi, serta memberikan solusi multiperspektif dan multidimensi,
agar permasalahan krisis energi bisa kita atasi bersama.
B. Penggunaan Energi di Industri Tekstil
Industri tekstil termasuk salah satu dari 10 sektor industri di Indonesia yang padat energi
yang menggunakan 60%

dari total pemakaian energi komersial di sektor industri, sehingga

dengan mengadakan perbaikan dalam penggunaan energi di pabrik tekstil, maka diharapkan akan
banyak mempengaruhi pamakaian energi secara nasional.
Dalam rangka kerja sama ASEAN-Australia telah dilakukan studi penggunaan energi di
pabrik tekstil yang berada di Bandung. Dimana telah diaudit secara detail tiga pabrik tekstil dan
telah dianalisis data-datanya sehingga dapat diberi rekomendasi untuk perbaikannya. Pada salah
satu pabrik tersebut telah dipasang satu unit sistem rekoveri panas (heat recovery) dimana panas
buang pada mesin pencuci digunakan sabagai pemanas awal.
Pada umumnya energi yang digunakan pada pabrik tekstil adalah energi dalam bentuk
listrik, baik yang disuplai oleh PLN maupun oleh generator listrik milik pabrik. Energi dalam
bentuk listrik ini digunakan untuk menggerakkan mesin-mesin tekstil (50%-70% dari seluruh
pemakaian listrik), AC/refrigerator (1%-30%), alat-alat bantu pompa air (5%-31%), pompapompa pada boiler (0,5%-7%), lampu penerangan (1%-5%) dan alat-alat kantor (0,1%-1%).

Disamping itu digunakan juga energi termal berupa uap panas (steam) yang dihasilkan oleh
boiler yang digunakan pada proses pencelupan,scouring,decattizing,sizing, pencucian dan
finishing. Dimana masing-masing juga menggunakan listrik untuk menggerakkan motor-motor
listrik pada mesin-mesin tersebut.
Dari hasil audit yang dilakukan, penggunaan energi dalam bentuk listrik dan dalam bentuk
panas bervariasi untuk tiap-tiap pabrik. Banyaknya energi diuukur dari jumlah kWh untuk listrik
dari PLN dan jumlah BBM (solar) yang digunakan untuk listrik dari genset, sedangkan jumlah
energi dalam bentuk panas diukur dari jumlah BBM yang digunakan. Semua energi dikonversi
dalam bentuk Joule.
Banyaknya energi yang digunakan pada tiap pabrik baik dalam bentuk listrik maupun
dalam bentuk panas ditunjukkan pada Tabel 1. Dimana ditunjukkan juga persentase dari masingmasing sumber energi untuk tiap pabrik.

Gambar 1 . Skema penggunaan energi di Pabrik tekstil


Tabel 1. Pengunaan Energi di lima pabrik tekstil dalam setahun

Dari tabel 1. Dapat dilihat bahwa pada umunya setiap pabrik tekstil mempunyai
pembangkit listrik (genset) sendiri untuk menutupi kekurangan daya listrik yang dapat
disediakan oleh PLN, disamping juga sebagai cadangan apabila listrik dari PLN sewaktu-waktu
tidak berfungsi.
Pada umunya pemakaian energi dalam bentuk listrik dan dalam bentuk panas hampir sama
besar, ini terjadi pada umumnya pada pabrik yang dominan mesin-mesin pintalnya, sedang pada
pabrik yang dominan proses pencelupan dan finishing sepert pabrik BTN dan HM, energi dalam
bentuk termal lebih dominan.
Kalau dilihat dari harga energi akan terlihat bahwa harga energi dalam bentuk listrik akan
lebih besar seperti ditunjukkan pada Tabel 2.
Konsumsi Energi Spesifik (Spesifik Energy Consumtion,SEC) adalah harga dari energi
perastuan produksi dalam hal tekstil dalam meter atau yard. SEC dihitung dari pembagian energi
yang digunakan (toatal) dengan jumlah hasil yang diproduksi.
Dari hasil perhitungan yang dilakukan diperoleh konsumsi energi spesifik untuk tiap-tiap
pabrik seperti ditunjukkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Konsumsi Energi Spesifik (SEC) di lima pabrik tekstil di Bandung

Industri tekstil dan produk tekstil di Indonesia dapat dikategorikan dalam 3 kelompok
industri yaitu industri hulu (upstream) yang terdiri dari industri serat alami dan serat sintetis,
hilir (downstream) terdiri dari industri garmen atau pakaian jadi dan produk tekstil lainnya dalam
skala kecil, dan industri antara (midstream) yang terdiri dari spinning, weaving, knitting dan
dying. Industri upstream umumnya merupakan industri padat modal karena sebagian besar
aktivitas produksi menggunakan mesin full automatic sehingga hanya membutuhkan tenaga
kerja yang relaif sedikit tetapi mampu menghasilkan produk serat alam, serat sintetis, dan serat
rayon dalam jumlah besar. Industri midstream merupakan industri semi padat modal karena
menggunakan teknologi permesinan yang cukup modern tetapi masih membutuhkan tenaga kerja
yang lebi besar dari industri upstream dengan kemampuan produksi benang, dan kain lembaran
(woven dan knitted). Sedangkan industri downstream umumnya adalah industri pada tenaga
kerja karena membutuhkan tenaga operator yang cukup banyak dan sebagian besar merupakan
tenaga kerja perempuan.
Teknologi yang digunakan juga telah berkembang dengan pesat namun masih terkombinasi
antara teknologi yang padat modal dengan yang padat tenaga kerja untuk memenuhi dinamika
permintaan konsumen yang sangat pesat sesuai dengan trend yang ada di masyarakat untuk
produk pakaian jadi, karpet, bed linen, curtain, dan lain-lainnya. Secara singkat dapat dikatakan
bahwa semakin ke hilir industri tekstil dan produk tekstil semakin

labor intensive dan

membutuhkan perputaran modal kerja yang cepat sedangkan Semakin ke hulu semakin capital
intensive dan dengan tingkat konsumsi energi yang semakin besar.
Tabel 3. Kebutuhan Energi setiap tahun Industri Tekstil dan Produk Tekstil

Jenis/Aktivitas Industri
Squining
Waeving
Serat/fiber making
Dyeing/Printing/Finishing

Proporsi Kebutuhan Energi BBM/Listrik (%)


34
95
23
38

Embroidery
Garment
Produk Tekstil Lainnya
Total

100

Sumber: API, 2009

Dalam proses produksi tekstil di sektor upstream dan midstream kebutuhan thermal energy
ada pada wet processing of textiles yang digunakan dalam proses evaporasi dari berbagai
tahapan produksi dan juga proses pemanasan secara kimiawi. Kebutuhan energi yang besar ini
dipenuhi dengan menggunakan steam yang dihasilkan dari boiler dengan sumber energi yang
dibangkitkan dengan menggunakan sumber energi batubara. Proses produksi dari industri
upstream dan midstream ini hanya menggunakan sekitar 15 persen dari total energi listrik yang
bersumber dari PLN. Akan tetapi kebutuhan energi listrik ini sering mengalami kendala dalam
hal pasokan energi listrik terutama adanya gangguan mati listrik yang sangat merugikan bagi
para pelaku industri. Selain menghentikan proses produksi, adanya gangguan pasokan listrik juga
dapat menyebabkan kerusakan pada mesin dan juga biaya produksi yang menjadi besar karena
adanya kerusakan pada proses produksi dan meningkatkan porsi produk gagal. Konsumsi energi
listrik pada industri tekstil dan produk tekstil ini setara dengan kebutuhan energi air yang banyak
dibutuhkan pada aktivitas industri antara (mid-stream) yaitu dari spinning hingga embroidery.
E. Studi Kasus
PT Grand Textile Industry
PT Grand Textile Industry (Gandtex)

berlokasi di JL. Ahmad yani No. 127 km. 7

Bandung. Pada saat ini Pt. Grand Textile Industry memiliki karyawan baik yang terlibat langung
dalam proses produksi maupun dalam bidang bidang lainnya rata rata memiliki masa kerja
dari 8 tahun ke atas sehingga di dalam melakukan aktivitas kerjanya sudah cukup terampil serta
mendapat dukungan ari penggunaan teknologi yang mampu memberikan nilai tambah untuk
setiap proses produksi, sistem komputerisai jaringan untuk distribusi data sebagai langkah yang
efisien untuk pertukaran informasi yang sangat cepat.

a. Struktur Organisasi

Dalam struktur organisasi PT.Gandtex memiliki beberapa level pimpinan dan beberapa
Departemen.
Level pimpinan tersebut terdiri dari :
1. Pimpinan pabrik
2. Asisten pimpinan yang terdiri dari :
Asisten pimpinan bidang non produksi
Asisten pimpinan bidang weaving
Asisten pimpinan bidang spinning
3. Kepala Departemen
4. Kepala Divisi
5. Kepala Bagian
Sedangkan Departemen yang ada di PT.Grandex adalah :
Departemen Personalia dan Umum
Departemen Utility
Departmen Quality Control
Departemen Logistik
Departemen Pergudangan
Departemen weaving
Departemen Spining
b. Aktivitas Perusahaan
Kegiataan kerja PT.Grantex terbagi menjadi 3 (tiga ) shift kegiatan produksi dan 1 (satu)
shift kegiatan umum. Jam kerja kegiatan produksi adalah sebagai berikut :
1. shift I mulai dari 06.00 14.00 wib
2. shift II mulai dari 14.00 22.00 wib
3. shift III mulai dari 22.00 06.00 wib
yang termasuk ke dalam shift kegiatan produksi ini yaitu para karyawan yang
bekerja berkaitan/berhubungan langsung dalam proses produksi, yang mengolah
bahan baku menjadi barang jadi dengan mesin produksi.
4. shift umum mulai dari 08.00 sampai 16.00 wib

yang termasuk dengan shift umum yaitu para karyawan yang bekerja tidak
berkaitan langsung dengan proses produksi yang dilakukan oleh perusahaan
PT.Grantex berusaha untuk meminimalkan adanya lembur di dalam perusahaan.
Namun lembur tidak bisa dihindari apabila adanya gangguan atau kerusakan pada
mesin.
Dalam memasarkan produksi PT.Grantex ini berorentasi pada ekspor yaitu bertujuan
untuk memenuhi permintaan pasar kain Denim PT.Grantex, Sangat ditentuikan dari kualitas kain
yang dihasilkan.
PT.Grantex secara garis besar menghasilkan 3 (tiga) kualitas kain Denim yang berbeda
yaitu :
1) Great A , yaitu kualitas kain Denim yang terbaik dan memenuhi segala kriteria
untuk diekspor.
2) Great B.
3) Great C.
Walaupun PT.Gantex berkeinginan menghasilkan 100% produksinya mempunyai kualitas
Great A, namun hal itu sulit tercapai karena adanya berbagai hambatan sehingga setelah diseleksi
dengan ketat PT.Grantex saat ini menghasilkan 80% - 85% dari total produksi kain Denim yang
merupakan kain kualitas Great A dan layak untuk diekspor. Sedangkan sisanya yang
dikategorikan mempunyai kualitas Great B dan Great C dipasarkan untuk memenuhi permintaan
pasar lokal.
c. Penggunaan Energi di PT Grandtex
Proses produksi utama di PT Grandtex yaitu proses drying, sizeing, weaving dan
spinning. Untuk menggerakkan proses produksi digunakan energi listrik dan energi uap. Sistem
Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) dan boiler yang digunakan tidak terintegrasi dan
secara garis besar skema sistem tersebut ditunjukkan pada Gambar 2.
Energi listrik di samping berasal dari PLN juga dibangkitkan sendiri dengan
menggunakan tiga buah PLTD. PLTD mempunyai kapasitas terpasang masing-masing sebesar
930 kVA yang merupakan standby unit. Data tahun 1999 menunjukkan bahwa rata-rata setiap
PLTD mengkonsumsi bahan bakar (minyak solar) sebesar 17,2 ribu liter per bulan dengan

produksi listrik sebesar 57,3 MWh per bulan. Sedangkan konsumsi listrik dari PLN rata-rata
sebesar 4.054 MWh per bulan.
Energi uap diperoleh dari enam buah jenis boiler yaitu 2x200 VO, 2x100 VO, 60 VO,
dan 40 VO. Boiler jenis 200 VO dapat menghasilkan uap sebesar 10 ton/jam pada tekanan 6-7
bar dengan suhu 165-170 OC. Uap yang dihasilkan sebelum masuk proses produksi ditampung
secara keseluruhan di tangki pengumpul uap (steam header). Boiler dengan kapasitas 200 VO
rata-rata setiap hari menghabiskan bahan bakar (minyak diesel) sebesar 167 ribu liter per bulan
dengan produksi uap sebesar 2.023 ton per bulan.

Gambar 2. Sistem Energi dan Uap

e. Audit Energi PT Grand Textile Industry


Audit energi merupakan survei tentang penggunaan energi di industri secara rinci.
Tujuan dari survei ini untuk memperoleh data teknis dan finansial yang dapat digunakan

untuk mengambil tindakan dalam rangka mengurangi biaya penggunaan energi. Tindakan
ini dapat berupa mengurangi konsumsi energi melalui peningkatan efisiensi dalam
penggunaan peralatan, mengganti bahan bakar (substitusi energi), dan melakukan
manajemen sisi permintaan untuk mengurangi tarif.
Konsumsi listrik dari PLN dan pembangkitan dari PLTD untuk setiap bulan pada
tahun 1999 ditunjukkan pada Gambar 3. Kondisi operasi ketiga PLTD masih bagus sebagai
alat untuk pembangkit listrik. Dalam operasinal perusahaan sehari-hari, tidak semua PLTD
dioperasikan karena fungsi PLTD ini hanya sebagai pembangkit listrik cadangan untuk
mengantisipasi jika listrik PLN padam atau untuk mengurangi besarnya konsumsi listrik
PLN.
Operasi masing-masing boiler diatur sedemikian rupa sehingga kebutuhan energi
uap untuk proses produksi dapat terpenuhi. Data operasi boiler tahun 1999 untuk masingmasing boiler ditunjukkan pada Gambar 4. Berdasarkan data tersebut di atas dapat
diperkirakan biaya energi yang digunakan untuk proses produksi setiap tahunnya seperti
dirangkumkan pada Tabel 4.
Asumsi yang digunakan untuk perhitungan adalah harga minyak solar sebesar Rp.
525 per liter, harga minyak diesel sebesar Rp. 500 per liter, harga pelumas sebesar Rp.
6.000 per liter, dan harga air sebesar Rp. 300 per m3 dengan berat jenis air 1000 kg/m3

Gambar 3. Konsumsi PLN dan Produk PLTD

Gambar 4.Produksi Uap

Tabel 4. Biaya Energi

F. Masalah yang Dihadapi Di Industry Tekstil Pada Umumnya


1. Keterbatasan Pasokan Energi dan Listrik
Kondisi ini juga dihadapi oleh industri tekstil dan produk tekstil. Upaya penguatan
sektor industri yang dicanangkan oleh pemerintah layak mendapatkan dukungan di tengah
kondisi perekonomian dunia yang mengalami pelemahan akibat adanya krisis keuangan
global pada periode tahun 2008 2009 ini. Dampak fenomena krisis global juga dialami oleh
industri TPT karena Amerika Serikat sebagai salah satu negara yang terdampak cukup parah

dari adanya krisis tersebut merupakan pasar terbesar dari TPT dengan kontribusi sekitar 40
persen dari total ekspor TPT Indonesia.
Berdasarkan kondisi tersebut diatas, sektor industri jelas terlihat adanya ketergantungan
pada BBM dan listrik. Terjadinya kenaikan harga minyak yang sangat drastis tentu saja akan
secara signifikan mempengaruhi kinerja sektor industri. Oleh karena itu pemetaan kebutuhan
energi sektor industri menjadi sangat penting dalam upaya memberikan gambaran dan
informasi tentang kondisi kebutuhan energi sektor industri sehingga dapat ditetapkan strategi
dan kebijakan yang dapat mendukung akselerasi pertumbuhan sektor industri nasional.

Gambar 5.

Perkembangan
dan Proyeksi Kebutuhan Energi pada Industri Tekstil
2005 2010 (Sumber : API, 2009)

Berdasarkan data tersebut diatas dapat diketahui bahwa pada tahun 2005 sumber energi
khususnya listrik masih dipasok oleh PLN sebagai sumber energi listrik utama pada industri

tekstil dan produk tekstil. Perkembangan selama kurun waktu tahun 2006 2007
menunjukkan adanya pergeseran pemanfaatan sumber energi listrik yang cukup signifikan.
Pasokan energi listrik dari PLN mengalami penurunan hingga menjadi 75 persen dari total
kebutuhan listrik industri TPT ini. Pengalihan sumber energi listrik dari PLN banyak
dilakukan dengan memanfaatkan gas dan batubara sebagai sumber energi bagi pembangkit
listrik di perusahaan-perusahaan TPT khususnya pada perusahaan skala besar hingga
pemanfaatan energi gas dan batubara mencapai 19 persen dari total kebutuhan energi.
Diperkirakan hingga tahun 2010 kondisi ini masih akan terus berlanjut hingga pemanfaatan
energi alternatif seperti gas dan batubara dapat mencapai 65 persen dari total kebutuhan energi
dan mengurangi ketergantungan pasokan listrik PLN hingga hanya sebesar 30 persen.
Sementara itu, pemanfaatan energi minyak sebagai energi pembangkit listrik relatif tetap pada
kisaran 5 6 persen dari total kebutuhan listrik industri TPT.
2. Tidak Ada Subsidi BBM untuk Industri
Di sisi lain, adanya kebijakan pemerintah untuk memberi subsidi energi khususnya BBM
pada sektor transportasi ternyata tidak berlaku di sektor industri. Hal ini dikarenakan sektor
industri selalu dianggap sebagai industri mature (industri yang sudah mapan) sehingga tidak
membutuhkan bantuan dalam bentuk subsidi. Padahal jika dilihat secara lebih dalam, tidak
semua industri memiliki kemampuan yang sama. Akibatnya komponen biaya BBM, yang
merupakan komponen biaya terbesar kedua setelah biaya bahan baku, sangat membebani
pengusaha. Perlakuan yang tidak sama dalam hal subsidi ini sering menjadi bahan perdebatan di
banyak kalangan pengusaha dan pemerintah. Banyak pihak yang mengatakan bahwa subsidi
BBM yang diberikan kepada sektor transportasi sebagian besar salah sasaran karena lebih
banyak dinikmati oleh orang yang sebenarnya tidak layak mendapatkan subsidi, seperti pemilik
kendaraan pribadi, sementara sektor industri yang menjadi tulang punggung perekonomian
nasional justru diabaikan.
G. Masalah yang Dihadapi Di PT Grand Textile Industry
1. Konservasi Energi
Kebutuhan konsumsi energi yang tinggi untuk produksi yang tidak diimbangi dengan
pasokan listrik dari PLN.

Solusi yang Ditawarkan


Untuk permasalahan Umum di Industri Tekstil
1. Memanfaatkan sumber energi alternatif,seperti batubara dan gas
Ketiadaan subsidi BBM bagi sektor industri tentunya bukan suatu hal yang membuat
sektor industri mengalami penurunan aktivitas usaha. Justru perlakuan ini membuat sektor
industri semakin kreatif dalam menyiasati kondisi yang ada dengan cara memanfaatkan
sumber energi alternatif seperti batubara dan juga gas bagi peningkatan produksinya. Hal ini
dikarenakan adanya peningkatan intensitas produksi akan membutuhkan energi yang lebih
besar.
Apabila biaya konsumsi energi dapat diminimalkan, maka biaya produksi juga akan dapat
ditekan pada tingkat yang terendah sehingga akan menghasilkan produk dengan biaya rendah
dan dapat dijual pada tingkat harga yang kompetitif. Keadaan ini bisa membuat pelaku usaha
menambah alokasi biaya investasi untuk memperoleh energi alternatif. Pilihan energi
alternatif yang paling efisien selanjutnya dapat digunakan untuk meningkatkan kapasitas
pembangkitan energi alternatif dan dimanfaatkan bagi peningkatan aktivitas produksi. Secara
implisit dapat dikatakan bahwa semakin besar konsumsi energi yang dibutuhkan dalam proses
produksi akan berdampak secara positif terhadap output produksi dengan asumsi faktor
produksi bekerja secara efisien. Untuk menguji hipotesis ini, regresi berganda akan
dipergunakan sebagai alat analisis utama. Diharapkan, penggunaan regresi berganda ini akan
mampu mengukur seberapa besar kenaikan konsumsi energi berpengaruh erhadap tingkat
produksi dan nilai tambah di sektor industri.
2. Reward dari Pemerintah untuk industri.

Terjadinya penurunan pasokan listrik maupun seringnya terjadi pemadaman listrik karena
keterbatasan pasokan listrik PLN akan sangat merugikan perusahaan-perusahaan yang
mengandalkan listrik sebagai penggerak mesin produksi. Oleh karena itu pemerintah
selayaknya menerapkan sistem insentif pada perusahaan yang mampu memenuhi kebutuhan
energinya dan juga membuka kesempatan pada perusahaan untuk menjual listriknya pada
tingkat harga keekonomian yang wajar. Pemerintah juga perlu untuk membantu mengurangi
praktik ekonomi biaya tinggi sehingga bisa menekan struktur ongkos produksi non-bahan
baku sehingga perusahaan menjadi semakin kompetitif dalam menghasilkan output produksi
yang efisien.
Untuk permasalahan di PT Grand Textile Industry
1. Peluang Konservasi
Bila PLTD beroperasi secara penuh maka akan dapat menghasilkan energi listrik sebesar 19,8
GWh per tahun (1.650 MWh per bulan) dengan asumsi faktor beban dan faktor ketersediaan
masing-masing sebesar 0,9. Sedangkan kebutuhan listrik untuk proses produksi rata-rata
sebesar 4.054 MWh per bulan sehingga kebutuhan listrik ini dapat dicukupi dengan
mengoperasikan semua unit PLTD yang ada. Kebutuhan uap untuk proses produksi rata-rata
sebesar 5,772 ton per bulan. Dengan mempertimbangkan kebutuhan listrik dan uap untuk
proses produksi maka upaya konservasi energi dapat direalisasikan dengan cara yang mudah
dengan sedikit atau tanpa biaya maupun dengan melakukan investasi peralatan baru yang
memerlukan biaya yang cukup besar. Konservasi energi yang berpotensi dilakukan di PT
Gandtex antara lain dengan:
pemanfaatan kembali (re-use) panas buang dari mesin diesel, dan
penggunaan teknologi cogeneration turbin gas.
2. Pemanfaatan Kembali Panas Buang
Ada dua alternatif dalam memanfaatkan kembali panas buang yaitu panas buang
yang berasal dari boiler maupun panas buang yang berasal dari PLTD. Boiler yang digunakan
menghasilkan uap dengan suhu sekitar 165 - 170OC. Panas buang boiler ini suhunya terlalu
rendah untuk dimanfaatkan kembali sebagai pembangkit listrik, sehingga alternatif ini secara
teknis tidak dapat dilaksanakan. Alternatif yang lain yaitu memanfaatkan panas buang dari

PLTD. Operasi PLTD menghasilkan panas buang yang masih mempunyai suhu dan tekanan
yang cukup besar untuk dimanfaatkan kembali sebagai penghasil uap dengan menggunakan
heat recovery steam generator (HRSG). Skema penggunaan PLTD untuk menghasilkan uap
dengan menggunakan HRSG ditunjukkan pada Gambar 5. Siklus ini merupakan cogeneration
mesin diesel.

Gambar 6. PLTD dengan HRSG

Dengan menggunakan cogeneration mesin diesel ini maka operasi dari beberapa boiler
dapat dikurangi sehingga bahan bakar untuk boiler dapat dihemat. Di samping itu, semua
kebutuhan listrik dapat dipenuhi dengan pengoperasian tiga unit PLTD sehingga tidak
diperlukan lagi pasokan listrik dari PLN.
3. Penggunaan Cogeneration Turbin Gas
Cogeneration adalah teknologi konversi energi yang memproduksi energi listrik dan uap
(termal) secara bersamaan. Keuntungan yang diperoleh dengan menerapkan teknologi
cogeneration antara lain:
meningkatkan efisiensi total dari sistem
mengurangi penggunaan bahan bakar sehingga dapat mengurangi biaya operasi
mengurangi emisi bahan bakar sehingga dapat menjaga kelestarian lingkungan.
Secara sederhana keuntungan penggunaan teknologi cogeneration untuk meningkatkan efisiensi

ditunjukkan pada Gambar 7.

Gambar 7. Perbandingan Pembangkit Cogeneration dan Konvensional

Teknologi cogeneration dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu siklus topping dan siklus
bottoming. Pada siklus topping, panas yang dibangkitkan dari pembakaran bahan bakar
digunakan dulu untuk memproduksi listrik, kemudian panas buang dari pembangkit listrik
digunakan untuk menghasilkan uap. Pada siklus bottoming, panas dari pembakaran
dimanfaatkan dulu untuk memenuhi kebutuhan uap untuk proses industri dan panas buang
dipakai lagi untuk pembangkit listrik.
Jika ditinjau dari tenaga penggeraknya maka cogeneration dapat menggunakan berbagai
teknologi yang secara garis besar adalah: cogeneration turbin uap, cogeneration turbin gas,
combined cycle cogeneration dan cogeneration mesin diesel.

Gambar 8. Perbandingan Teknologi Cogeneration

Alternatif lain yang mungkin diterapkan untuk melakukan konservasi di PT Grand Textile
Industry adalah menggunakan teknologi cogeneration turbin gas (Gambar 7). Dibandingkan

alternatif sebelumnya, penggunakan cogeneration ini memerlukan investasi yang lebih besar
karena peralatan yang sudah ada perlu diganti dengan peralatan yang baru berupa Pembangkit
Listrik Tenaga Gas (PLTG). Sedangkan,PLTD dan boiler yang lama sudah tidak dipergunakan
lagi. Alternatif ini dimaksudkan untuk dapat menggunakan energi secara efisien untuk jangka
panjang.

DAFTAR PUSTAKA
Sugiyono A, Arieshanty Bhayu. 2001. Peluang Pemanfaatan Energi Panas dari Gas Buang
Mesin Diesel dengan Modifikasi Teknologi Terpakai di PT. Grand Textile Industry
Bandung. POLBAN
BAKOREN (1998) Kebijaksanaan Umum Bidang Energi (KUBE), Badan Koordinasi Energi
Nasional.
DESDM (2003) Kebijakan Pengembangan Energi Terbarukan dan Konservasi Energi,
Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral.
Sasongko, A dan Santoso, J. (1999) Cogeneration di Indonesia: Teknologi, Status, Potensi dan
Peluang, Majalah Elektro Indonesia, No. 27, Th. VI, hal. 17 -22.
Smith, C.B. (1981) Energy Management Principles, Pergamon Press.
WEC (2001) Energy Efficiency Policies and Indicators, Report by the World Energy Council.

You might also like