Professional Documents
Culture Documents
2)
2)
1)
37
PENDAHULUAN
Pemerintah kota senantiasa berhadapan dengan manajemen tambal
sulam dalam membangun struktur dan pola ruang kotanya karena
memaksimalkan angka laju pertumbuhan ekonomi (LPE), persoalan tekanan
pertumbuhan penduduk yang tinggi, dan inkonsistensi tata kelola ruang
berdimensi jangka panjang. Paradigma ini berorientasi pada penciptaan
mekanisme pasar yang menjadi pijakan pembangunan (Sitorus, 2009)
sehingga mengabaikan tingginya konversi lahan pertanian/lahan bervegetasi
RTH lainnya menjadi ruang terbangun (RTB) yang cenderung mengancam
keberlanjutan pembangunan itu sendiri. Menurunnya kuantitas RTH dari aspek
ekologi, dapat mengakibatkan menurunnya kualitas lingkungan perkotaan
seperti banjir, tingginya polusi udara, rendahnya kualitas air tanah, dan
kebisingan. Dampak marjinalisasi pengelolaan RTH kota secara luas dapat
dikategorikan dalam dua hal, yaitu dampak ekologi dan dampak sosial-ekonomi
(Briassoulis, 1999).
Perencanaan tata ruang dalam konteks pengalokasian RTH seyogyanya
dilakukan dengan mempertimbangkan keserasian, keselarasan, dan
keseimbangan fungsi budi daya dan fungsi lindung sebagaimana amanat UU
No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang.
Ketidakmampuan
menyeimbangkan kedua fungsi tersebut menunjukkan lemahnya komitmen
politik tata ruang. Kegagalan politik tata ruang dapat diukur dari kurangnya
keinginan untuk membiayai program RTH (green budgeting RTH).
Berdasarkan KTT Bumi di Rio de Jeneiro alokasi ruang terbuka hijau suatu
kawasan perkotaan adalah 30% dari luas kota (KLH, 2001).
Fenomena memarjinalisasi keberlanjutan RTH kota dipengaruhi oleh dua
faktor.
Pertama, faktor teknis, yaitu keseriusan pemerintah menjaga
konsistensi manajemen pengelolaan RTH termasuk green budgeting RTH.
Kedua, faktor nonteknis, yaitu kepedulian stakeholders memonitor dan
mengendalikan arahan pemanfaatan RTH dari tekanan permintaan ekonomi
pasar terhadap politik tata ruang. Pilihan mengendalikan konversi RTH dengan
pendekatan regulasi insentif dan disinsentif bagi kawasan perkotaan tidaklah
mudah, tetapi persoalan penatagunaan lahan juga tidak bisa diserahkan
sepenuhnya pada mekanisme pasar. Dalam teori penatagunaan lahan,
sekurang-kurangnya tanah atau lahan mempunyai tiga jenis nilai (rent), yaitu
ricardian rent (mencakup sifat kualitas tanah), locational rent (aksesibilitas
lokasi tanah), dan environment rent (tanah sebagai komponen utama
ekosistem) (Widiatmaka dan Hardjowigeno, 2007). Land rent ini muncul karena
lahan telah menjadi barang langka sebagai akibat dari tingginya permintaan
lahan dan hak-hak akses atas lahan, yang menjadi kendala dalam
pemanfaatannya. Idealnya, pengendalian lahan mampu mengoptimalkan
pemanfaatan ketiga jenis rent tersebut sekalipun pada kawasan perkotaan.
Dalam kondisi lahan RTH yang semakin menyusut, pemerintah
berkewajiban mengalokasikan dana untuk pengadaan lahan bagi kebutuhan
RTH publik. Program-program penganggaran RTH saat ini belum secara
optimal dimasukkan dalam penganggaran tahunan daerah (APBD). Dalam
konteks keterbatasan anggaran, pendekatan pengeluaran jangka menengah
(KPJM) atau medium term expenditure framework (MTEF) dapat dijadikan
pilihan kebijakan.
Pendanaan lingkungan hidup menjadi salah satu
38
Dinamika Perubahan Penggunaan Lahan dan Strategi Ruang Hijau (Suwarli et al.)
memicu laju perubahan penggunaan lahan bervegetasi RTH yang sangat pesat
di perkotaan menjadi ruang terbangun (RTB) berupa bangunan
perumahan/permukiman, perdagangan, perindustrian dan sebagainya.
Penelitian dilaksanakan selama 14 bulan (Maret 2010 April 2011).
Penelitian ini memanfaatkan pendekatan hard systems dan soft systems.
Pendekatan pertama dilakukan melalui analisis spasial dan analisis regresi
terhadap
perubahan
penggunaan
lahan
dan
faktor-faktor
yang
mempengaruhinya.
Dilanjutkan dengan mendisain struktur model
pengalokasian RTH berbasis penganggaran daerah (green budgeting RTH)
yang memanfaatkan pendekatan sistem dinamik. Sementara pendekatan
kedua dilakukan melalui survei preferensi stakeholders untuk merumuskan
arahan prioritas kebijakan. Data pendukung diperoleh dari BPS, BPLH,
Bappeda, DPPKAD, Dinas Kependudukan, Dinas Tata Ruang, dan Dinas
Perekonomian Rakyat pada Pemerintah Kota Bekasi. Data spasial diperoleh
dari Bakosurtanal, Bapeda Kota Bekasi dan data citra satelit. Survei preferensi
stakeholders dilakukan terhadap 15 respoden dari instansi pemerintah,
lembaga swadaya masyarakat, dan DPRD Kota Bekasi.
Bahan dan peralatan yang digunakan dalam pemetaan perubahan
penggunaan lahan adalah citra satelit Landsat tahun 1989, 2000, 2005, dan
Alos Avnir2+Prism tahun 2009, peta rupa bumi Indonesia dari Bakosurtanal,
perangkat lunak GIS (ArcGIS), dan perangkat lunak pengolah citra (Er Mapper).
Dalam kajian analisis perubahan penggunaan lahan RTH Kota, pemanfaatan
teknologi penginderaan jauh merupakan sarana yang tepat (Jaya, 2002) dan
mampu memberikan informasi secara lengkap, cepat, dan akurat dengan
cakupan wilayah yang luas. Perhitungan klasifikasi perubahan penggunaan
lahan hasil analisis dimaksudkan untuk mengetahui dinamika dan pola serta
proporsi jumlah ruang terbuka hijau (RTH) yang tersedia dan areal ruang
terbangun (RTB) serta penyebarannya.
Bahan lainnya yang digunakan dalam kajian analisis regresi, analisis
sistem, dan analisis keputusan multi kriteria adalah kuesioner, data jumlah
penduduk Kota Bekasi, data penggunaan lahan terbangun (RTB) dan lahan
bervegetasi RTH, data pendapatan dan belanja daerah (APBD), dan data
lainnya. Alat-alat yang digunakan adalah seperangkat komputer, alat tulis, dan
perangkat lunak (Software). Perangkat lunak yang digunakan adalah software
SPSS Statistics 17.0, software Powersim Constructor 2.5d dan Criterium
decision plus 3.0.
Analisis sistem digunakan untuk menyelesaikan
permasalahan dunia riil yang kompleks melalui konsep model simulasi sistem
dinamis (Eriyatno, 1999). Analytic hierarchy process (AHP) digunakan untuk
pengambilan keputusan multi-kriteria dan penentuan prioritas (Saaty, 1993).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dinamika Perubahan Penggunaan Lahan
Dinamika perubahan penggunaan lahan yang dianalisis dalam penelitian
ini dibatasi pada perubahan penutupan lahan selama 20 tahun terakhir.
Perubahan penutupan lahan didasarkan pada interpretasi citra satelit (Landsat)
pada rentang waktu 16 tahun, mulai tahun 1989 sampai tahun 2005.
Sementara itu, kondisi tutupan lahan terakhir diinterpretasi dari data citra satelit
40
Dinamika Perubahan Penggunaan Lahan dan Strategi Ruang Hijau (Suwarli et al.)
Penggunaan lahan
Kebun campuran
Lahan terbuka
Padang rumput/alang-alang
Permukiman
Sawah irigasi
Sawah tadah hujan
Semak belukar
Tegalan/ladang
Tubuh air
Jumlah
1989 (ha)
1.899,49
1,82
1.529,85
1.157,77
3.981,70
1.513,35
8.976,02
1.883,25
105,75
21.049.00
2000 (ha)
1.898,95
1,82
1.529,85
10.894,64
2.099,72
1.513,35
1.121,69
1.883,23
105,75
21.049,00
2005 (ha)
2.037,88
209,1
2.199,31
12.884,19
457,54
680,04
177,11
2.292,89
110,94
21.049,00
2009 (ha)
1.740,33
315,55
792,12
14.879,85
394,15
532,31
128,28
2.141,70
124,72
21.049,00
41
12.000
Lahan Terbuka
Padang Rumput/Alang-alang
10.000
Permukiman
Sawah Irigasi
8.000
6.000
Semak Belukar
Tegalan/Ladang
4.000
Tubuh Air
2.000
1989
2000
2005
2009
Dinamika Perubahan Penggunaan Lahan dan Strategi Ruang Hijau (Suwarli et al.)
tidak ada perubahan tetap tersisa 457,54 ha, tetapi pada sawah tadah hujan
berubah menjadi kebun campuran (2,63 ha), padang rumput (86,34 ha),
permukiman (32,39 ha) dan tegal/ladang (26,14 ha) sehingga sawah tadah
hujan hanya tersisa 532,31 ha.
Tabel 3. Perubahan penggunaan lahan Kota Bekasi tahun 2000-2005
Tahun 2005
Jumlah
(ha)
KC (ha)
LT(ha)
PR (ha)
PRM( ha)
SI (ha)
STH (ha)
SB (ha)
TL(ha)
TA(ha)
KC
1.885,71
13,24
1.898,95
LT
1,82
1,82
PR
1.529,85
0,00
1.529,85
PRM
10.894,64
10.894,64
SI
152,17
99,25
669,46
439,88
457,54
5,74
270,50
5,19
2.099,72
STH
108,03
582,51
680,04
18,82
123,95
1.513,35
SB
953,92
152,56
15,21
1.121,69
TL
0,00
1.883,23
1.883,23
TA
105,75
105,75
Jumlah
2.037,88
209,10
2.199,31 12.884,19
457,54
680,04
177,11
2.292,89
110,94
21.049
Keterangan: KC = kebun campuran, LT = lahan terbuka, PR = padang rumput/alang-alang, PRM = perrmukiman, SI = sawah irigasi, STH=
sawah tadah hujan, SB = semak belukar, TL = tegalan/ladang, TA = tubuh air (sungai/danau)
Tahun 2000
43
Kebun
Padang rumput/
Sawah
Sawah tadah
Semak
Tegalan/
Jumlah
campuran
alang-alang
irigasi
hujan
belukar
ladang
-------------------------------------------------------------------- ha --------------------------------------------------------------------------367,32
21,75
0,00
236,46
57,01
127,73
810,27
4,49
76,19
0,00
0,00
0,00
130,30
210,97
37,19
1,55
0,00
0,00
5,71
189,41
233,86
15,78
107,21
0,00
16,90
20,61
84,95
245,44
4,62
83,16
212,67
0,00
31,29
144,32
476,07
271,11
25,10
0,00
16,59
0,00
482,73
795,53
434,79
44,79
0,00
0,00
0,00
431,25
910,84
0,00
210,75
181,48
0,00
13,65
7,50
413,38
344,34
158,95
0,00
255,52
0,00
253,01
1.011,82
55,07
0,00
0,00
0,00
0,00
152,14
207,21
125,98
2,68
0,00
0,00
0,00
33,19
161,85
79,65
59,98
0,00
6,84
0,00
105,16
251,64
1.740,33
792,12
394,15
532,31
128,28
2.141,70
5.728,88
Beberapa wilayah yang masih memiliki lahan bervegetasi RTH lebih dari
atau di atas 500 ha adalah Kecamatan Jatiasih, Kecamatan Mustika Jaya,
Kecamatan Jatisampurna, dan Kecamatan Bantar Gebang. Wilayah yang
masih memiliki lahan sawah tadah hujan adalah Kecamatan Bantargebang
(236,46 ha), Jatiasih (16,90 ha), Mustika Jaya (255,52 ha), dan Rawa Lumbu
(6,84 ha). Wilayah yang masih memiliki sawah irigasi teknis ada dua
kecamatan, yaitu Kecamatan Medan Satria dan Kecamatan Bekasi Utara
(212,67 ha). Kecamatan Bantargebang, Jatisampurna, dan Kecamatan Mustika
Jaya merupakan wilayah yang berpotensi untuk dijadikan areal kawasan
lindung hutan kota karena proporsi lahan bervegetasi RTH masih cukup luas,
menempati posisi teratas, yakni berturut-turut sebesar 810,27 ha, 910,84 ha,
dan 1.011,82 ha.
Pada Tabel 6 disajikan proporsi RTH publik dari jumlah lahan RTH yang
tersedia di wilayah kecamatan dan kebutuhan alokasi anggaran untuk
pengadaan lahan per-kecamatan jika diasumsikan harga NJOP lahan rata-rata
Rp 200.000,00 per meter persegi. Asumsi ini didasarkan pada data NJOP
2
untuk lahan bervegetasi RTH tahun 2010 berkisar dari Rp 70.000/m pada
wilayah kecamatan dengan kepadatan penduduk rendah sampai dengan harga
2
Rp 394.000/m pada wilayah kecamatan dengan kepadatan penduduk tinggi
(DPPKAD Kota Bekasi, 2010).
Alokasi penambahan luas RTH tersebut hanya tersebar di beberapa
lokasi wilayah kecamatan. Kecamatan yang memiliki proporsi RTH publik
kurang dari 20% adalah kecamatan Bekasi Barat dengan selisih (-72,63 ha),
Bekasi Selatan (-85,54 ha), Bekasi Timur (-19,56 ha), Pondok Melati (-32,59
44
Dinamika Perubahan Penggunaan Lahan dan Strategi Ruang Hijau (Suwarli et al.)
ha), Pondok Gede (-134,95 ha), dan Rawa Lumbu (-79,56 ha). Semakin
berkurangnya RTH pada wilayah tersebut salah satunya diakibatkan oleh
pertumbuhan penduduk yang tinggi berdasarkan analisis penyebaran penduduk
per wilayah kecamatan. Konsentrasi jumlah penduduk dengan penyebaran
tertinggi terdapat pada Kecamatan Bekasi Utara sebanyak 12,77% (240.456
jiwa), Bekasi Barat 12,10% (227.810 jiwa), Pondokgede 12,08% (227.415 jiwa)
dan terendah di Kecamatan Jati Sampurna sebesar 3,50% (65.816 jiwa).
Data terakhir penduduk Kota Bekasi tahun 2009 berjumlah 2.319.518 jiwa
(BPS, 2010).
Kecamatan-kecamatan tersebut direkomendasikan untuk
mempertahankan RTH privat dan pengembangan kawasan terbangun yang
bersifat vertikal. Kecamatan lainnya seperti Jatisampurna, Bantargebang,
Jatiasih, Mustika Jaya, Medan Satria, dan Bekasi Utara masih berpotensi untuk
penambahan RTH publik kota.
Tabel 6. Kebutuhan anggaran pengadaan lahan berdasarkan proporsi RTH
Kecamatan
Bantar Gebang
Bekasi Barat
Bekasi Selatan
Bekasi Timur
Bekasi Utara
Jatiasih
Jatisampurna
Medan Satria
Mustika Jaya
Pondok Melati
Pondok Gede
Rawalumbu
Jumlah
Jumlah
lahan (ha)
2.061
1.418
1.597
1.325
2.017
2.575
1.885
1.335
2.497
1.199
1.484
1.656
21.049
Pemerintah Kota Bekasi perlu memiliki target yang jelas dalam upaya
mencapai RTH idealnya. Sebagaimana dengan target RTRW DKI seluas
13,94%, Pemerintah Provinsi DKI mengalokasikan Rp. 356,7 miliar pada APBD
2009. Dana tersebut, antara lain, digunakan untuk pengadaan lahan dengan
target penambahan RTH seluas 67,2 ha. Luas RTH di Jakarta saat ini baru
6.800 ha (9,6%), atau berarti masih kurang 2.745 ha. Bila harga tanah dengan
NJOP Rp 500.000,00 per meter persegi, dibutuhkan dana sekitar Rp 13,725
triliun. Dengan analogi tersebut, berdasarkan analisis sebagaimana disajikan
pada Tabel 6, Pemerintah Kota Bekasi membutuhkan dana sebesar Rp 8,419
triliun (dikurangi RTH publik yang ada sebesar 771 ha menjadi kurang lebih 6-7
trilyun rupiah ) jika NJOP diasumsikan sebesar Rp 200.000,00 per meter
persegi. Strategi penganggaran daerah berbasis lingkungan (green budgeting)
khususnya RTH publik terkait alokasi waktu dalam APBD dapat dilakukan
dengan pendekatan model dinamik.
Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perubahan
Penggunaan Lahan Bervegetasi RTH
Model fungsi hubungan perubahan lahan bervegetasi RTH periode
2005-2008 adalah Y = 9.895 + 0,001 X1 - 0,219 X2 + 10.199 X3 4.011X4
0,014 X5 + 0,220 X6 + 0,617 X7 16.710 X8. Hasil analisis menunjukkan
45
46
Dinamika Perubahan Penggunaan Lahan dan Strategi Ruang Hijau (Suwarli et al.)
Skenario pesimis
Laju pertumbuhan
penduduk sebesar 3,75%
Laju penurunan RTH
sebesar 6%
Laju peningkatan belanja
RTH sebesar 0,50 %
Skenario moderat
Laju pertumbuhan
penduduk sebesar 3,5%
Laju penurunan RTH
sebesar 4%
Laju peningkatan belanja
RTH sebesar 2,00 %
Skenario optimis
Laju pertumbuhan
penduduk sebesar 3%
Laju penurunan RTH
sebesar 2%
Laju peningkatan belanja
RTH sebesar 3,00 %
Skenario pesimis
Pada skenario pesimis, diasumsikan terjadi peningkatan jumlah
penduduk dengan laju pertumbuhan 3,75% diikuti berkurangnya lahan
bervegetasi RTH akibat pemanfaatan lahan terbangun (RTB) yang tidak
terkontrol. Kondisi tersebut diintervensi oleh kebijakan green budgeting RTH
yang masih belum signifikan (0,5% dari APBD), yaitu dari Rp 8.048.810.259,42
(2010) menjadi Rp 110.618.742.280,82 (2030).
Implikasi dari semakin
berkurangnya lahan RTH adalah semakin menurunnya kenyamanan kota.
Hasil simulasi menunjukkan lahan bervegetasi RTH di Kota Bekasi tersisa
0
sebesar 1.608 ha atau 8,5% (2030), diikuti naiknya nilai THI dari 27,61 C
0
(2010) menjadi 28,14 C (2030) disebabkan suhu udara meningkat dari 29,33
0
0
C (2010) menjadi 29,92 C (2030) dan kelembaban (RH) menurun dari 70,61%
menjadi 70,22%.
4.500
GB_RTH_Pesimis (Miliar)
4.000
3.000
RTH_Pesimis
PDDK_Pesimis (Ribuan)
3.500
3.500
3.000
2.500
2.000
2.500
100
50
0
01 Jan 2020
01 Jan 2030
01 Jan 2010
70,6
SUHU_THDP_RTH_Pesimis
RH_THD_RTH_Pesimis
01 Jan 2010
01 Jan 2030
29,9
70,5
70,4
70,3
01 Jan 2010
01 Jan 2020
01 Jan 2020
01 Jan 2030
01 Jan 2025
28,1
29,8
28,0
29,7
THI_Pesimis
01 Jan 2010
29,6
29,5
27,9
27,8
27,7
29,4
01 Jan 2010
01 Jan 2020
01 Jan 2030
01 Jan 2010
01 Jan 2020
01 Jan 2030
lahan bervegetasi RTH mendekati 14% (2.876,18 ha) tahun 2030 dengan
intervensi belanja RTH (green budgeting RTH 2% dari APBD) diikuti turunnya
0
suhu pada 29,52 C dan naiknya RH pada 70,77%.
3.600
500
PDDK_Moderat
3.500
3.000
GB_RTH_Moderat (Miliar)
RTH_Moderat
4.000
3.300
3.000
2.500
01 Jan 2010
01 Jan 2020
01 Jan 2010
01 Jan 2030
01 Jan 2020
400
300
200
100
01 Jan 2030
01 Jan 2010
01 Jan 2025
70,60
SUHU_THDP_RTH_Moderat
70,50
70,45
70,40
01 Jan 2010
01 Jan 2020
27,75
THI_Moderat
RH_THD_RTH_Moderat
29,50
70,55
29,45
29,40
27,65
29,35
01 Jan 2010
01 Jan 2030
27,70
01 Jan 2020
01 Jan 2030
01 Jan 2010
01 Jan 2020
01 Jan 2030
500
400
GB_RTH_Optimis (Miliar)
4.500
RTH_Optimis
PDDK_Optimis (Ribuan)
3.500
3.000
4.000
2.500
01 Jan 2010
01 Jan 2020
01 Jan 2010
01 Jan 2030
01 Jan 2020
300
200
100
01 Jan 2030
01 Jan 2010
01 Jan 2025
29,35
70,64
70,62
70,60
70,58
01 Jan 2010
01 Jan 2020
01 Jan 2030
27,62
29,34
27,61
THI_Optimis
SUHU_THDP_RTH_Optimis
RH_THD_RTH_Optimis
70,66
29,33
29,32
27,59
29,31
01 Jan 2010
27,60
01 Jan 2020
01 Jan 2030
01 Jan 2010
01 Jan 2020
01 Jan 2030
Dinamika Perubahan Penggunaan Lahan dan Strategi Ruang Hijau (Suwarli et al.)
PDDK_Optimis
2.376.842,66
2.688.282,36
3.040.530,28
3.438.933,53
3.889.539,90
RTH_Optimis GB_RTH_Optimis
3.637,63
48.292.861.556,52
3.668,08
87.025.304.628,02
3.819,38
156.822.424.712,52
4.182,53
282.599.101.466,36
4.916,50
509.252.757.033,91
SUHU_THDP_RTH_Optimis
29,33
29,35
29,35
29,34
29,30
THI_Optimis
27,61
27,62
27,62
27,61
27,58
RH_THD_RTH_Optimis
70,61
70,58
70,58
70,60
70,67
PDDK_Saat ini
2.376.842,66
2.822.011,02
3.350.556,73
3.978.095,89
4.723.169,36
PDDK_Pesimis
2.376.842,66
2.788.090,78
3.270.494,22
3.836.364,49
4.500.143,26
PDDK_Moderat
2.376.842,66
2.754.497,50
3.192.157,65
3.699.357,31
4.287.145,57
PDDK_Optimis
2.376.842,66
2.688.282,36
3.040.530,28
3.438.933,53
3.889.539,90
ruang pada dasarnya ditujukan sebagai wadah aktivitas dan kegiatan penduduk
kota yang bersangkutan. Aspek kependudukan berperan penting sebagai
dasar penyusunan RTRW kota disamping dukungan green budgeting RTH
yang optimal.
Tabel 10. Perbandingan prediksi lahan permukiman terbangun antar skenario
Waktu
01 Jan 2010
01 Jan 2015
01 Jan 2020
01 Jan 2025
01 Jan 2030
LHN_PMKRTB_Pesimis
14.380,00
14.580,51
15.333,19
16.616,54
18.431,77
LHN_PMKRTB_Moderat
14.380,00
14.562,44
15.249,47
16.413,66
18.047,60
LHN_PMKRTB_Optimis
14.380,00
14.526,58
15.085,45
16.021,71
17.316,02
0,185
0,078
0,115
Pengetatan IMB
0,111
Kenaikan PBB
0,120
0,115
0,00
0,05
0,10
0,15
0,20
0,25
Dinamika Perubahan Penggunaan Lahan dan Strategi Ruang Hijau (Suwarli et al.)
51
52