You are on page 1of 22

BAGIAN ILMU ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

REFARAT
FAKULTAS KEDOKTERAN

JUNI 2015

UNIVERSITAS PATTIMURA

HUBUNGAN TERAPI HIPERBARIK DENGAN ULKUS DIABETIK

PEMBIMBING
Letkol Laut (K) dr. Hisnindarsyah, SE., M.Kes.
Lettu Laut (K) dr. Andika Agus
Disusun oleh:
Louis M. A. Mailuhu, S.Ked (2008-83-007)
Yessi V. Lasol, S.Ked (2008-83-025)
Simon P. Ririassa, S.Ked (2008-83-029)
Novita Ch. Tilukay, S.Ked (2008-83-040)

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2015

A. PENDAHULUAN
Terapi oksigen hiperbarik (HBOT), merupakan penggunaan oksigen secara medis pada level
tekanan yang lebih tinggi daripada tekanan atmosfer.1 Peralatan yang dibutuhkan terdiri atas ruangan
bertekanan tinggi dengan konstruksi yang dapat bersifat rigid maupun fleksibel dan alat penyalur oksigen
100%.1 Aplikasi HBOT digunakan pada tatalaksana penyakit dekompresi dan juga menunjukkan efek
yang mengagumkan pada beberapa kondisi klinis tertentu termasuk pada keadaan ulkus diabetik. 1
Terapi oksigen hiperbarik diperkenalkan pertama kali oleh Behn kepada tahun 1930.2 Saat itu
terapi oksigen hiperbarik hanya diberikan kepada para penyelam untuk menghilangkan gejala penyakit
dekompresi (Caissonsdisease) yang timbul akibat perubahan tekanan udara saat menyelam, sehingga
fasilitas terapi tersebut sebagian besar hanya dimiliki oleh beberapa rumah sakit TNIAL dan rumah sakit
yang berhubungan dengan pertambangan.2 Di Indonesia, terapi oksigen hiperbarik pertama kali
dimanfaatkan pada1960 oleh Lakesla yang bekerjasama dengan RSAL Dr.Ramelan, Surabaya. Hingga
saat ini fasilitas tersebut merupakan yang terbesar di Indonesia.2
Oksigenasi hiperbarik (OHB) adalah pemberian oksigen bertekanan tinggi untuk pengobatan
yang dilaksanakan dalam ruang udara bertekanan tinggi (RUBT).2 Individu yang mendapat terapi OHB
adalah suatu keadaan dimana individu berada di dalam ruangan udara bertekanan tinggi (lebih besar dari
1 ATA).2 Biasanya tekanan yang diberikan 1,1-3 ATA untuk kasus klinik,sedangkan pada umumnya
tekanan yang biasa diberikan sehari-hari diLakesla untuk kasus klinik adalah2,4 ATA (Guritno, 1997).2
Individu yang mendapat pengobatan HBOT adalah individu yang berada di dalam ruangan
bertekanan tinggi (>1ATA) dan bernafas dengan oksigen 100%.2 Tekanan atmosfer pada permukaan air
laut sebesar 1 ATA.2 Setiap penurunan kedalaman 33 kaki atau 10 meter, tekanan akan naik 1 ATA.2
Seorang ahli terapi hiperbarik, Laksma Dr. dr. M. Guritno S,SMHS, DEA yang telah mendalami ilmu
oksigen hiperbarik di Perancis selama 5 tahun menjelaskan bahwa terdapat dua jenis dari terapi
hiperbarik,efek mekanik dan fisiologis.2 Efek fisiologis dapat dijelaskan melalui mekanisme oksigen
yang terlarut plasma.2 Pengangkutan oksigen ke jaringan meningkat seiring dengan peningkatan oksigen
terlarut dalam plasma.2
Diabetes mellitus (DM) adalah suatu keadaan berupa kelainan metabolik yang disebabkan oleh
peningkatan kadar glukosa dalam darah. Hal ini dapat disebabkan oleh karena kelainan sekresi maupun
kerja insulin dan dapat menimbulkan berbagai komplikasi. Salah satu dari antara komplikasi diabetes
mellitus ialah ulkus diabetik. Ulkus diabetik pada extremitas inferior merupakan masalah kesehatan

yang besar dan banyak berkontribusi pada beban biaya pasien diabetes mellitus. 3 Diperkirakan sebanyak
347 juta orang di seluruh dunia mengidap diabetes. 3 Sebanyak 1 dari 20 orang penderita diabetes akan
mengalami ulkus pada kaki dalam periode 1 tahun, dan angka kemungkinan untuk ulkus berakhir
dengan amputasi ialah sebesar lebih dari 10%. 3 Sebanyak 50% dari kasus amputasi kaki berasal dari
pasien diabetes.3
Pengaruh terapi oksigen hiperbarik terhadap ulkus mulai dikenal pada tahun 1961, yaitu ketika
W. H. Brummelkamp memperkenalkan penggunaan oksigen hiperbarik untuk penanganan gas gangrene
clostridial.1 Selanjutnya, penggunaan oksigen hiperbarik mulai diaplikasikan pula untuk ulkus diabetik.
Ulkus diabetik membutuhkan penanganan multimodalitas yang kompleks termasuk kontrol gula darah,
perawatan luka yang intensif, revaskularisasi daerah yang mengalami iskemik (secara terbuka dan/atau
endovaskular) untuk meningkatkan sirkulasi perifer dan penanganan infeksi. 3Sekalipun dilakukan
penanganan yang optimal, ternyata tingkat penyembuhan luka secara sempurna dalam setahun hanya
mampu mencapai 60%.3 Terapi oksigen hiperbarik (HBOT) telah disarankan sebagai terapi tambahan
yang cukup berarti terhadap terapi konvensional ulkus untuk indikasi yang bervariasi, diantaranya ialah
penyebaran luka yang lambat, infeksi jaringan lunak yang nekrotik, dan luka kronik, terutama pada
pasien dengan diabetes.3
Terapi oksigen hiperbarik untuk pasien ulkus diabetik mencakup administrasi intermiten oksigen
100%, biasanya diberikan selama 90 menit per sesi harian dengan tekanan 1.3 hingga 3.0 atmosfer dalam
ruang kedap udara.3 Dengan meningkatkan kandungan oksigen dalam darah, HBOT menciptakan gradien
yang bermakna untuk difusi oksigen ke jaringan. 3 Pada jaringan yang hipoksik, peningkatan suplai
oksigen memiliki berbagai efek yang menguntungkan dalam penyembuhan luka. 3 Dengan meningkatkan
ekspresi vascular endothelial growth factor (VEGF) dan fibroblast growth factor (FGF), HBOT dapat
meningkatkan angiogenesis dan proliferasi fibroblast. 3 Sebagai tambahannya, hiperoksia yang terjadi
dapat menyebabkan vasokonstriksi, sehingga dapat mengurangi edema. Dengan mengurangi ekspresi
sitokin pro-inflamasi, HBOT dapat mengurangi inflamasi dan di satu sisi dapat pula meningkatkan
aktivitas bakterisidal dari leukosit. 3 Bukti terbaru mencatat bahwa paparan terhadap oksigen hiperbarik
memobilisasi sel progenitor (sel stem) dari sumsum tulang oleh mekanisme terkait nitrit oksida (NO
dependent mechanism).1
Walaupun systematic review terdahulu terhadap uji kontrol acak (RCT class II) tentang efek
HBOT pada ulkus diabetik menyimpulkan adanya peningkatan rata-rata penyembuhan luka dan
mengurangi angka amputasi, namun hal ini belum dikonfirmasikan melalui uji coba yang lebih besar
yakni systematic review untuk sejumlah RCT class I.3

B. DEFINISI
Menurut American Diabetes Association (ADA) 2010, Diabetes Melitus (DM)
merupakan suatu kelompok penyakit metabolic dengan karakteristik hiperglikemia yang
terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.4
C. EPIDEMIOLOGI
Prevalensi DM tipe 2 pada bangsa kulit putih berkisar antara 3%-6% dari jumlah
penduduk dewasanya. Di Singapura, frekuensi diabetes meningkat cepat dalam 10 tahun
terakhir. Di Amerika Serikat, penderita diabetes meningkat dari 6.536.163 jiwa di tahun 1990
menjadi 20.676.427 jiwa di tahun 2010. Di Indonesia, kekerapan diabetes berkisar antara
1,4%-1,6%, kecuali di beberapa tempat yaitu di Pekajangan 2,3% dan di Manado 6%.4,5
D. KLASIFIKASI
Klasifikasi Diabetes Mellitus menurut PERKENI adalah yang sesuai dengan anjuran
klasifikasi diabetes mellitus American Diabetes Association (ADA), yang membagi
klasifikasi diabetes mellitus menjadi 4 kelompok yaitu diabetes mellitus tipe 1, diabetes
mellitus tipe 2, diabetes mellitus tipe lain, dan diabetes mellitus gestasional. 4
Diabetes mellitus tipe 1 disebabkan karena terjadinya destruksi sel beta, umumnya
menjurus ke defisiensi insulin absolute seperti autoimun (melalui proses imunologik) dan
idiopatik.6
Diabetes mellitus tipe 2 bervariasi mulai dari yang dominan resistensi insulin disertai
defesiensi insulin relatif, sampai yang terutama defek sekresi insulin disertai resistensi
insulin.7
Diabetes mellitus tipe lain yang dikarenakan defek genetik fungsi sel beta karena
gangguan pada kromosom seperti kromosom 12, HNF - 1, kromosom 7, glukokinase,
kromosom 20, HNF - 4, kromosom 13, Insulin promoter factor, kromosom 17, HNF - 1,
kromosom 2, Neuro D1, DNA Mitochondria. Defek genetik kerja insulin mengakibatkan
resistensi insulin tipe A, Leprechaunism, Sindrom Rabson Mandenhall, diabetes liproatrofik,
lainnya. Penyakit Eksokrin Pankreas seperti pankreatitis, pankreatektomi, neoplasma, fibrosis
kistik, hemokromatosis, pankreatopati fibro kalkulus, lainnya. Endokrinopati seperti
akromegali,

sindrom

cushing,

feokromositoma,

hipertiroidisme,

somatostatinoma,

aldoateronoma, lainnya. Karena obat / zat kimia yang mempengaruhi kerja insulin seperti
vacor, pentamidin, asam nikotinat, glukokortikoid, hormone tiroid, diazoxid, agonis
adrenergic, tiazid, dilantin, interferon alfa, lainnya. Infeksi akibat rubella congenital, cmv,
lainnya. Gangguan imunologi seperti sindrom stiff-man, antibody antireseptor insulin,
dan lainnya. Sindrom genetik lain seperti Sindrom Down, Sindrom Klinefelter, Sindrom
4

Turner, Sindrom Wolframs, Ataksia Friedreichs, Chorea Huntington, Distrofi Miotonik,


Porfiria, Sindrom Prodder Willi, lainnya.4,5
Diabetes kehamilan ialah diabetes yang terjadi pada saat kehamilan yang menyebabkan
gangguan hormonal sehingga mengakibatkan peningkatan kadar gula darah.4
Tabel 1. Klasifikasi DM menurut ADA 2010.8

F. GEJALA DAN TANDA DIABETES MELLITUS


Gejala dan tanda-tanda diabetes mellitus dapat digolongkan menjadi gejala akut dan
gejala kronik. Gejala akut penyakit diabetes mellitus dari satu penderita ke penderita lain
bervariasi, bahkan mungkin tidak menunjukkan gejala apa pun sampai saat tertentu namun
pada permulaan gejala yang ditunjukkan meliputi serba banyak / poli seperti banyak makan
(poliphagia), banyak minum (polidipsia), dan banyak berkemih (poliuria). Bila keadaan
tersebut tidak segera diobati maka akan timbul gejala sering berkeringat pada malam hari
disertai peningkatan frekuensi berkemih, nafsu makan mulai berkurang / berat badan turun
dengan cepat (turun 5 10 kg dalam waktu 2 4 minggu), mudah lelah, bila tidak segera
mendapat perhatian untuk dilakukan tindakan kuratif maka akan timbul rasa mual, bahkan
penderita akan jatuh koma yang disebut dengan koma diabetik.4
Gejala kronik diabetes mellitus yang sering dialami oleh penderita diabetes mellitus
adalah seperti kesemutan, kulit terasa panas, atau seperti tertusuk-tusuk jarum, rasa tebal di
kulit terutama pada bagian ekstremitas, kram, mudah lelah, mudah mengantuk, mata kabur
5

biasanya sering berganti kacamata, gatal di sekitar kemaluan terutama wanita, gigi mudah
goyah dan mudah lepas, kemampuan seksual menurun bahkan sampai menyebabkan
terjadinya impotensi, pada ibu hamil sering mengalami keguguran atau kematian janin dalam
kandungan, atau dengan bayi berat lahir lebih dari 4 kg.8
G. DIAGNOSIS
Diagnosis klinis DM ditegakkan bila ada gejala khas DM berupa poliuria, polidipsia,
polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya. Jika terdapat
gejala khas dan pemeriksaan Glukosa Darah Sewaktu (GDS) 200 mg/dl diagnosis DM
sudah dapat ditegakkan. Hasil pemeriksaan Glukosa Darah Puasa (GDP) 126 mg/dl juga
dapat digunakan untuk pedoman diagnosis DM.4,8
Untuk pasien tanpa gejala khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah abnormal satu kali
saja belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis DM. Diperlukan investigasi lebih lanjut
yaitu GDP 126 mg/dl, GDS 200 mg/dl pada hari yang lain atau hasil Tes Toleransi
Glukosa Oral (TTGO) 200 mg/dl. Alur penegakkan diagnosis DM dapat dilihat pada skema
di gambar 1.8

Gambar 1. Langkah Diagnostik Diabetes Mellitus (DM), dan Gangguan Toleransi Glukosa
(GTG).
Tabel 2. Kriteria Pengendalian DM4

H. KOMPLIKASI
Komplikasi kronik DM pada dasarnya terjadi pada semua pembuluh darah diseluruh
bagian tubuh (angiopati diabetik). Untuk kemudahan, angiopati diabetik dibagi menjadi 2
bagian yaitu; makroangiopati dan mikroangiopati. Walaupun tidak berarti bahwa satu sama
lain saling terpisah daan tidak terjadi sekaligus bersamaan.9
Komplikasi kronik dapat berupa:10
1. Mikrovaskular : Ginjal, Mata
2. Makrovaskular : Jantung Koroner, pembuluh darah kaki (Kaki Diabetik), pembuluh
darah otak.
Kaki Diabetik
a. Definisi
Kaki diabetes adalah kelainan tungkai kaki bawah akibat diabetes mellitus yang
tidak terkendali dengan baik yang disebabkan olah gangguan pembuluh darah,
gangguan persyarafan dan infeksi. Kaki diabetes merupakan gambaran secara umum
dari kelainan tungkai bawah secara menyeluruh pada penderita diabetes mellitus yang
diawali dengan adanya lesi hingga terbentuknya ulkus yang sering disebut dengan
ulkus kaki diabetika yang pada tahap selanjutnya dapat dikategorikan dalam
gangrene, yang pada penderita diabetes mellitus disebut dengan gangrene diabetik.
Ulkus diabetika adalah salah satu bentuk komplikasi kronik diabetes mellitus
berupa luka terbuka pada permukaan kulit yang dapat disertai adanya kematian
jaringan setempat. Ulkus diabetika merupakan luka terbuka pada permukaan kulit
karena adanya komplikasi makroangiopati sehingga terjadi vaskuler insusifiensi dan
neuropati, yang lebih lanjut terdapat luka pada penderita yang sering tidak dirasakan,
dan dapat berkembang menjadi infeksi disebabkan oleh bakteri aerob maupun
anaerob.4,8
b. Klasifikasi
Derajat keparahan ulkus kaki diabetes menurut Wagner:6
- Grade 1 : Ulkus superfisial tanpa terlibat jaringan dibawah kulit
- Grade 2 : Ulkus dalam tanpa terlibat tulang / pembentukan abses.
- Grade 3 : Ulkus dalam dengan selulitis/abses atau osteomielitis
- Grade 4 : Tukak dengan Gangren lokal
- Grade 5 : Tukak dengan Gangren luas / melibatkan keseluruhan kaki

Gambar 2. Klasifikasi Ulkus Diabetik Menurut Wagner.6

I. PATOGENESIS KAKI DIABETIK

Salah satu akibat komplikasi kronik atau jangka panjang diabetes mellitus adalah
ulkus kaki diabetes. Ulkus kaki diabetes disebabkan adanya tiga faktor yang sering
disebut trias yaitu : iskemik, neuropati, dan infeksi. Pada penderita diabetes mellitus
apabila kadar glukosa darah tidak terkendali akan terjadi komplikasi kronik yaitu
neuropati, menimbulkan perubahan jaringan syaraf karena adanya penimbunan sorbitol
dan fruktosa sehingga mengakibatkan akson menghilang, penurunan kecepatan induksi,
parastesia, menurunnya reflek otot, atrofi otot, keringat berlebihan, kulit kering dan
hilang rasa, apabila penderita diabetes mellitus tidak hati-hati dapat terjadi trauma yang
akan menyebabkan lesi dan menjadi ulkus kaki diabetes.
Iskemik merupakan suatu keadaan yang disebabkan oleh karena kekurangan darah
dalam jaringan, sehingga jaringan kekurangan oksigen. Hal ini disebabkan adanya proses
makroangiopati pada pembuluh darah sehingga sirkulasi jaringan menurun yang ditandai
oleh hilang atau berkurangnya denyut nadi pada arteri dorsalis pedis, tibialis dan poplitea,
kaki menjadi atrofi, dingin dan kuku menebal. Kelainan selanjutnya terjadi nekrosis
jaringan sehingga timbul ulkus yang biasanya dimulai dari ujung kaki atau tungkai.
Aterosklerosis merupakan sebuah kondisi dimana arteri menebal dan menyempit karena
penumpukan lemak pada bagian dalam pembuluh darah. Menebalnya arteri di kaki dapat
mempengaruhi otot-otot kaki karena berkurangnya suplai darah, sehingga mengakibatkan
kesemutan, rasa tidak nyaman, dan dalam jangka waktu lama dapat mengakibatkan
kematian jaringan yang akan berkembang menjadi ulkus kaki diabetes. Proses angiopati
pada penderita diabetes mellitus berupa penyempitan dan penyumbatan pembuluh darah
perifer, sering terjadi pada tungkai bawah terutama kaki, akibat perfusi jaringan bagian
distal dari tungkai menjadi berkurang kemudian timbul ulkus kaki diabetes.4,5,7
Pada penderita diabetes mellitus yang tidak terkendali kadar gula darahnya akan
menyebabkan penebalan tunika intima (hiperplasia membram basalis arteri) pada
pembuluh darah besar dan pembuluh kapiler bahkan dapat terjadi kebocoran albumin
keluar kapiler sehingga mengganggu distribusi darah ke jaringan dan timbul nekrosis
jaringan yang mengakibatkan ulkus diabetika. Eritrosit pada penderita diabetes mellitus
yang tidak terkendali akan meningkatkan HbA1C yang menyebabkan deformabilitas
eritrosit dan pelepasan oksigen di jaringan oleh eritrosit terganggu, sehingga terjadi
penyumbatan yang menggangu sirkulasi jaringan dan kekurangan oksigen mengakibatkan
kematian jaringan yang selanjutnya timbul ulkus kaki diabetes. Peningkatan kadar
10

fibrinogen dan bertambahnya reaktivitas trombosit menyebabkan tingginya agregasi sel


darah merah sehingga sirkulasi darah menjadi lambat dan memudahkan terbentuknya
trombosit pada dinding pembuluh darah yang akan mengganggu sirkulasi darah.
Penderita diabetes mellitus biasanya kadar kolesterol total, LDL, trigliserida plasma
tinggi. Buruknya sirkulasi ke sebagian besar jaringan akan menyebabkan hipoksia dan
cedera jaringan, merangsang reaksi peradangan yang akan merangsang terjadinya
aterosklerosis. Perubahan / inflamasi pada dinding pembuluh darah, akan terjadi
penumpukan lemak pada lumen pembuluh darah, konsentrasi HDL (highdensitylipoprotein) sebagai pembersih plak biasanya rendah. Adanya faktor risiko lain yaitu
hipertensi akan meningkatkan kerentanan terhadap aterosklerosis.4,8
Konsekuensi adanya aterosklerosis yaitu sirkulasi jaringan menurun sehingga kaki
menjadi atrofi, dingin dan kuku menebal. Kelainan selanjutnya terjadi nekrosis jaringan
sehingga timbul ulkus yang biasanya dimulai dari ujung kaki atau tungkai. Pada penderita
diabetes mellitus apabila kadar glukosa darah tidak terkendali menyebabkan abnormalitas
lekosit sehingga fungsi khemotoksis di lokasi radang terganggu, demikian pula fungsi
fagositosis dan bakterisid menurun sehingga bila ada infeksi mikroorganisme sukar untuk
dimusnahkan oleh sistem plagositosis-bakterisid intra selluler. Pada penderita ulkus kaki
diabetes, 50 % akan mengalami infeksi akibat adanya glukosa darah yang tinggi karena
merupakan media pertumbuhan bakteri yang subur. Bakteri penyebab infeksi pada ulkus
diabetika yaitu kuman aerobik Staphylococcus atau Streptococcus serta kuman anaerob
yaitu Clostridium Perfringens, Clostridium Novy, dan Clostridium Septikum.4
J. DIAGNOSIS KAKI DIABETIK
Diagnosis Kaki Diabetik didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan Fisik dan
pemeriksaan penunjang.4,6
Tanda dan gejala ulkus kaki diabetes seperti sering kesemutan, nyeri kaki saat
istirahat., sensasi rasa berkurang. Inspeksi kaki untuk mengamati terdapat luka / ulkus
pada kulit atau jaringan tubuh pada kaki, pemeriksaan sensasi vibrasi / rasa berkurang
atau hilang, palpasi denyut nadi arteri dorsalis pedis menurun atau hilang, kaki
menjadi atrofi, dingin dan kuku menebal dan kulit kering.4

11

Gambar 3. Sensasi Vibrasi6

Gambar 4. Pulsasi A. Dorsalis Pedis6


EMG (Electromyography) dan pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui
apakah ulkus kaki diabetes menjadi infeksi dan menentukan kuman penyebabnya.4
K. PENGOBATAN
Terapi ulkus diabetik, adalah sebagai berikut.
1. Manajemen perawatan luka5,11

12

Pencucian luka dengan larutan salin setiap hari sehingga memberikan keadaan sekitar
luka yang lembab, debridement, terapi bedah revisi untuk arsitektur tulang jika
diperlukan.
2. Terapi antibiotik.11
Untuk evaluasi dan tatalaksana kaki diabetik juga diperlukan pemilihan agen antimikroba
yang pembagiaanya dapat ditentukan berdasarkan tingkat infeksi:
Pasien dengan infeksi ringan dapat diobati dengan pengaturan rawat jalan dengan
antibiotik oral yang menangani flora kulit termasuk streptococci dan Staphylococcus
aureus. Agen

seperti

cephalexin,

dicloxacillin,

amoxicillin-clavulanate,

atau

clindamycin merupakan pilihan efektif. Jika dicurigai terifeksi methicillin-resistant S


aureus (MRSA), maka clindamycin, trimethoprim-sulfamethoxazole, minocycline,
atau linezolid dapat digunakan. Jika dicurigai gram negatif aerob dan/atau anaerob
maka terpi ganda dengan trimethoprim-sulfamethoxazole plus amoxicillin-clavulanate
atau clindamycin plus fluoroquinolone seperti levofloxacin atau moxifloxacin.
Untuk infeksi sedang sampai berat, pasien harus dirawat untuk antibiotic parenteral.
Pilihan empiric harus mengobati streptococci, MRSA, aerobic gram-negative bacilli,
dan anaerob. MRSA dapat diatasi degan vancomycin, linezolid, atau daptomycin.
Pilihan yang dapat diterima untuk organisme gram-negative aerobic dan anaerobes
termasuk ampicillin-sulbactam, piperacillin-tazobactam, meropenem, or ertapenem.
Dengan alternatif, ceftriaxone, cefepime, levofloxacin, moxifloxacin, atau aztreonam
plus metronidazole.
Durasi terapi berdasarkan individu. Untuk pengaturan rawat jalan dengan antibiotic
oral, durasi pengobatan biasanya 7-14 hari. Untuk pasien dengan pengobatan
parenteral tanpa osteomyelitis cukup 2-4 minggu. Durasi terapi yang lebih lama
diperlukan untuk pasien dengan osteomyelitis yakni minimal 4-6 minggu. Durasi
pengobatan dapat lebih pendek pada pasien yang mendapat amputasi sebagai regimen
pilihan.
3. Kontrol glukosa darah optimal (Algoritme pengelolaan Diabetes Mellitus tipe 2
menurut ADA)5

13

Algoritme dibuat dengan memperhatikan karakteristik intervensi individual, sinergisme


dan biaya. Tujuannya adalah untuk mencapai dan mempertahankan A1C < 7% dan
mengubah intervensi secepat mungkin bila target glikekemik tidak tercapai.
Tier 1 : well validated core therapy
Intervensi ini merupakan cara yang terbaik dan paling efektif, serta merupakan strategi
terapi yang cost-effective untuk mencapai target glikemik. Algoritme tier1 ini
merupakan pilihan utama terapi pasien diabetes tipe 2.
Langkah pertama : Intervensi pola hidup dan metformin.
Berdasarkan bukti-bukti keuntungan jangka pendek dan jangka panjang bila berat badan
turun dan aktivitas fisik yang ditingkatkan dapat tercapai dan dipertahankan serta cost
effectiveness bila berhasil, maka konsensus ini menyatakan bahwa intervensi pola hidup
harus dilaksanakan sebagai langkah pertama pengobatan pasien diabetes tipe 2 yang baru.
Intervensi pola hidup juga untuk memperbaiki tekanan darah, profil lipid, dan
menurunkan berat badan atau setidaknya mencegah peningkatan berat badan, harus selalu
mendasari pengelolaan pasien diabetes tipe 2., bahkan bila telah diberi obat-obatan.
Untuk pasien yang tidak obes ataupun berat badan berlebih, modifikasi komposisi diet
dan tingkat aktivitas fisik tetap berperan sebagai pendukung pengobatan.
Para ahli membuktikan bahwa intervensi pola hidup saja sering gagal mencapai atau
mempertahankan target metabolik karena kegagaal menurunkan berat badan atau berat
badan naik kembali dan sifat penyakit ini yang progresif atau kombinasi faktor- faktor
tersebut.
Oleh sebab itu pada konsensus ini ditentukan bahwa terapi metformin harus dimulai
bersamaan

dengan

intervensi

pola

hidup

pada

saat

diagnosis.

Metformin

direkomendasikan sebagai terapi farmakologik awal , pada keadaan tidak ada


kontraindikasi spesifik, karena efek langsungnya terhadap glikemia, tanpa penambahan
berat badan dan hipoglikemia pada umumnya, efek samping yang sedikit, dapat diterima
oleh pasien dan harga yang relatif murah.
Penambahan obat penurun glukosa darah yang lain harus dipertimbangkan bila terdapat
hiperglikemia simtomatik persisten.
Langkah kedua : menambah obat kedua

14

Bila dengan intervensi pola hidup dan metformin dosis maksimal yang dapat ditolerir
target glikemik tidak tercapai atau tidak dapat dipertahankan, sebaiknya ditambah obat
lain setelah 2-3 bulan memulai pengobatan atau setiap saat bila target A1C tidak tercapai.
Bila terdapat kontraindikasi terhadap metformin atau pasien tidak dapat mentolerir
metformin maka perlu diberikan obat lain. Konsensus menganjurkan penambahan insulin
atau sulfonylurea. Yang menentukan obat mana yang dipilih adalah nilai A1C. Pasien
dengan A1C > 8,5% atau dengan gejala klinik hiperglikemia sebaiknya diberi insulin;
dimulai dengan insulin basal (intermediate-acting atau long acting). Tetapi banyak juga
pasien DM tipe 2 yang baru masih memberi respons terhadap obat oral.
Langkah ketiga : penyesuaian lebih lajut
Bila intervensi pola hidup, metformin dan sulfonilurea atau insulin basal tidak
menghasilkan target glikemia, maka langkah selanjutnya adalah mengintesifkan terapi
insulin. Intensifikasi terapi insulin biasanya berupa berupa suntikan short acting atau
rapid acting yang diberikan sebelum makan. Bila suntikan-suntikan insulin dimulai
maka sekretagog insulin harus dihentikan.
Tier 2 : less well-validated therapies
Pada kondisi-kondisi klinik tertentu algoritme tingkatan kedua ini dapat dipertimbangkan.
Secara spesifik bila hipoglikemia sangat ditakuti (misalnya pada mereka yang melakukan
pekerjaan yang berbahaya), maka penambahan exenatide atau pioglitazone dapat
dipertimbangkan. Bila penurunan berat badan merupakan pertimbangan penting dan A1C
mendekati target (<8%), exenatide merupakan pilihan. Bila intervensi ini tidak efektif
dalam mencapai target A1C, atau pengobatan tersebut tidak dapat ditolerir oleh pasien,
maka penambahan dengan sulfonilurea dapat dipertimbangkan. Alternatif lain adalah
bahwa tier 2 intervention dihentikan dan dimulai pemberian insulin basal.
4. Pilihan untuk penutupan jaringan lunak dari luka bersih namun tidak sembuh
seperti dengan cangkok kulit (skin grafts)5
5. Pengobatan oksigen hiperbarik4
Oksigen hiperbarik (OHB) adalah suatu cara terapi dimana penderita harus berada dalam
suatu ruangan bertekanan, danbernapas dengan oksigen 100% pada suasana tekanan
ruangan yang lebih besar dari 1 ATA (Atmosfer absolute). Kondisi lingkungan dakam
OHB bertekanan udara yang lebih besardibandingkan dengan tekanan di dalam jaringan
15

tubuh (1 ATA). Keadaan ini dialami oleh seseorang pada waktu menyelam atau dalam
uang udara yang bertekanan tinggi (RUBT) yang dirancang baik untuk kasus penyelaman
maupun penyakit klinis. Individu yang mendapat terapi OHB adalah suatu keadaan
individu yang berada di dalam ruang bertekana tinggi (>1 ATA) dan bernafas dengan
oksigen 100%. Tekanan atmosfer pada permukaan air laut adalah sebesar 1 ATM.
Dasar dari terapi hiperbarik sedikit banyak mengandung prinsip fisika. Teori Toricelli
yang mendasari terapi digunakan untuk menentukan tekanan udara 1 ATM adalah
760mmHg. Dalam tekanan udara tersebut komposisi unsur-unsur udara yang terkandung
di dalamnya mengandung Nitrogen (N2) 79% dan Oksigen (O2) 21%. Dalam pernafasan
kita pun demikian. Pada terapi

oksigen

hiperbarik ruangan yang disediakan mengandung

Oksigen (O2) 100%. Sedangkan prinsip yang dianut secara fisiologis adalah bahwa tidak
adanya O2 pada tingkat seluler akan menyebabkan gangguan kehidupan pada semua
organisme. Oksigen yang berada di sekeliling tubuh manusia masuk ke dalam tubuh
melalui cara pertukaran gas.
Fase-fase respirasi dalam pertukaran gas terdiri dari fase ventilasi, transportasi, utilasi
dan diffuse. Dengan kondisi tekanan oksigen yang tinggi, diharapkan matriks seluler
yang menopang kehidupan suatu organisme mendapat kondisi optimal. Efeks fisiologis
dapat dijelaskan melalui mekanisme oksigen yang terlarut plasma. Pengangkutan oksigen
ke jaringan meningkat seiring dengan peningkatan oksigen terlarut dalam plasma.
Oksigen dalam darah diangkut dalam bentuk larut dalam cairan plasma dan bentuk ikatan
dengan haemoglobin. Bagian terbesar berada dalam bentuk ikatan dengan haemoglobin
dan hanya sebagian kecil dijumpai dalam bentuk larut. Dalam OHB oksigen bentuk larut
menjadi amat penting, hal ini disebabkan sifat dari oksigen bentuk larut lebih mudah
dikonsumsi oleh jaringan lewat sistem haemoglobin.

DASAR FISIOLOGI4
16

Aspek fisiologi dari terapi Oksigen Hiperbarik (OHB) mencakup beberapa hal yaitu
sebagai berikut:
a. Fase Respirasi
Seperti diketahui, kekurangan oksigen pada tingkat sel menyebabkan terjadinya
gangguan kegiatan basal yang pokok untuk hidup suatu organism. Untuk kegunaan
HBO dalam mengatasi hipoksia seluler, perlu dipelajari fase-fase pertukaran gas
sebagai berikut:
1. Fase Ventilasi
Fase ini merupakan penghubung antara fase transportasi dan lingkungan gas luar.
Fungsi dari saluran pernapasan adalah member O2 dan membuang CO2 yang tidak
diperlukan dalam metabolism. Gangguan yang terjadi dalam fase ini akan
menyebabkan hipoksia jaringan. Gangguan tersebut meliputi gangguan membrane
alveoli, atelektasis, penambahan ruang rugi, ketidakseimbangan ventilasi alveolar dan
perfusi kapiler paru.
2. Fase Transportasi

Fase ini merupakan penghubung antara lingkungan luar dengan organ-organ (sel dan
jaringan). Fungsinya adalah menyediakan gas yang dibutuhkan dan membuang gas
yang dihasilkan oleh proses metabolisme. Gangguan dapat terjadi pada aliran darah
lokal atau umum, haemoglobin, shunt anatomis, atau fisologis. Hal ini dapat diatasi
dengan merubah tekanan gas di saluran pernafasan.
3. Fase Utilisasi
Pada fase utilisasi menjadi metabolism seluler, fase ini dapat terganggu apabila terjadi
gangguan pada fase ventilasi maupun transportasi. Gangguan ini dapat diatasi dengan
hiperbarik oksigen, kecuali gangguan itu disebabkan oleh pengaruh biokimia, enzim,
cacat atau keracunan.
4. Fase Difusi
Fase ini adalah fase pembatasan fisik atara ketiga fase tersebut dan dianggap pasif,
namun gangguan pada pembatasan ini akan mempengaruhi pertukaran gas.
b. Transportasi dan Utilisasi Oksigen
1. Efek kelarutan oksigen dalam plasma
Pada tekanan barometer normal, oksigen yang larut dalam plasma sangat sedikit.
Namun pada tekanan oksigen yang aman 3 ATA, dimana PO2 arterial mencapai
2000 mmHg, tekanan oksigen meningkat 10 sampai 13 kali dari normal dalam

17

plasma. Oksigen yang larut dalam plasma sebesar 6 vol % (6 ml O2 per 100 ml
plasma) yang cukup untuk memberi hidup meskipun tidak ada darah.
2. Haemoglobin (Hb)
1 gr Hb dapat mengikat 1,34 ml O2, sedangkan konsentrasi normal dari Hb adalah
15 gr per 100 ml darah. Bila saturasi Hb 100% maka 100 ml darah dapat mengangkut
20,1ml O2 yang terkait pada Hb (20,1 vol%). Pada tekanan normal setinggi
permukaan laut, dimana PO2 alveolar dan arteri 100 mmHg, maka saturasi Hb
dengan O2 97% dimana kadar 02 dalam darah adalah 19,5 vol %. Saturasi Hb akan
mencapai 100% pada PO2 arteri antara 100-200 mmHg.
3. Utilisasi O2
Utilisasi O2 rata-rata tubuh manusia dapat diketahui dengan mengukur perbedaan
antara jumlah O2 yang ada dalam darah arteri waktu meninggalkan paru dan jumlah
O2 yaga dalam darah vena diarteri pulmonalis. Darah arteri mengandung 20%
oksigen, sedangkan darah vena mengandung 14 % vol oksigen sehingga 6 vol %
oksigen dipakai oleh jaringan.
4. Efek Kardiovaskuler
Pada manusia, oksigen hiperbarik menyebabkan penurunan curah jantung sebesar 1020% yang disebabkan oleh terjadinya bradikardia dan penurunan isi sekuncup.
Tekanan darah umumnya tidak mengalami perubahan selama pemberian hiperbarik
oksigen. Pada jaringan yang normal HBO dapat menyebabkan vasokonstriksi sebagai
akibat naiknya PO2 arteri. Efek vasokonstriksi ini kelihatannya merugikan, namun
perlu diingat bahwa pada PO2 2000 mmHg, oksigen yang tersedia dalam tubuh
adalah 2 kali lebih besar daripada biasanya. Pada keadaan dimana terjadi edema, efek
vasokonstriksi yang ditimbulkan oleh hiperbarik oksigen justru dikehendaki, karena
akan dapat mengurangi edema.
MEKANISME OKSIGEN HIPERBARIK4
HBO memiliki mekanisme dengan memodulasi nitrit okside (NO) pada sel endotel. Pada
sel endotel ini HBO juga meningkatkan vascular endotel growth factor (VEGF). Melalui
siklus Krebs terjadi peningkatan nucleotide acid dihidroxi (NADH) yang memicu
peningkatan fibroblast. Fibroblast diperlukan untuk sintesis proteoglikan dan bersama
dengan VEGF akan memacu kolagen sintesis pada proses remodeling, salah satu tahapan
dalam penyembuhan luka.
18

Mekanisme diatas berhubungan dengan salah satu manfaat utama HBO yaitu untuk
wound healing. Pada bagian luka terdapat bagian tubuh yang mengalami edema dan
infeksi. Di bagian edema ini terdapat radikal bebas dalam jumlah yang besar. Daerah
edema ini mengalami kondisi hipo-oksigen karena hipoperfusi. Peningkatan fibroblast
sebagaimana telah disinggung sebelumnya akan mendorong terjadinya vasodilatasi pada
daerah edema tersebut. Maka kondisi daerah luka tersebut menjadi hipervaskular,
hiperseluler dan hiperoksia. Dengan pemaparan oksigen tekanan tinggi, terjadi
peningkatan IFN-, i-NOS dan VEGF. IFN- menyebabkan TH-1 meningkat yang
berpengaruh pada -cell sehingga terjadi peningkatan Ig-G. Dengan meningkatnya Ig-G,
efek fagositosis leukosit juga meningkat. Sehingga pemberian HBO pada luka akan
berfungsi menurunkan infeksi dan edema.
Adapun cara HBO pada prinsipnya adalah diawali dengan pemberian O2 100% tekanan
2-3 Atm. Tahap selanjutnya dilanjutkan dengan pengobatan decompression sickness.
Maka akan terjadi kerusakan jaringan, penyembuhan luka, hipoksia sekitar luka. Kondisi
ini akan memicu meningkatnya fibroblast, sintesa kolagen, peningkatan leukosit killing,
serta angiosintesis yang menyebabkan neovaskularisasi jaringan luka. Kemudian akan
terjadi peningkatan dan perbaikan aliran darah mikrovaskular. Densitas kapiler meningkat
mengakibatkan daerah yang mengalami iskemia akan mengalami reperfusi. Sebagai
responsnya, akan terjadi peningkatan NO hingga 4-5 kali dengan diiringi pemberian
oksigen hiperbarik 2-3 ATA selama 2 jam. Terapi ini paling banyak dilakukan pada pasien
dengan diabetes mellitus dimana memiliki luka yang sukar sembuh karena buruknya
perfusi perifer dan oksigenasi jaringan di daerah.
Indikasi-indikasi lain dilakukannya OHB adalah untuk mempercepat penyembuhan
penyakit,

luka

akibat

radiasi,

cedera

kompresi,

osteomyelitis,

intoksikasi

karbonmonoksida, emboli udara, emboli udara, ganggren, infeksi jaringan lunak yang
sudah nekrotik, skin graft dan flap, luka bakar, abses intrakranial dan anemia.
Gambar 1. Proses penyembuhan ulkus diabetik setelah diterapi dengan oksigen hiperbarik. 8

19

20

DAFTAR PUSTAKA
1. Wikipedia the free encyclopedia editors.Hyperbaric medicine. [serial online] 2015 June 13 [cited
2015 June 15] Available from:
https://en.wikipedia.org/wiki/hyperbaric_medicine
2. Widiyanto. Terapi oksigen bagi penderita autis. [serial online] 2014 [cited 2015 June 15] Avalaible
from:
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/penelitian/widiyanto,%20m.kes/makalah%20OLK%20Solo
%203-12-12.pdf

3. Stoekenbroek R.M, Santema T.B, Legemate D.A, van den Brink A, Koelemay M.J.W. Hyperbaric
oxygen for the treatment of diabetic foot ulcers: a systematic review. [serial online] 2014 Apr 14
[cited 2015 June 15] Available from:
http://www.ncbi.nlm.gov/pubmed/24726143

4. Huda Nuh. Pengaruh Hiperbarik Oksigen (HBO) Terhadap Perfusi Perifer Luka Ganggren
Pada Penderita Diabetes Mellitus di RSAL dr. Ramelan Surabaya. Depok: FIK UI. 2010. p.
5.

8-10,14-15,18
Arifin Augusta. Panduan Terapi Diabetes Mellitus Tipe 2 Terkini. Bandung: Subbagian
Endokrinologi Dan Metabolism Bagian/UPF Ilmu Penyakit Dalam FK UNPAD/RSUD Dr.

Hasan Sadikin. 2014. p. 1-13 [serial online] March 2015 [5 screens]. Available on: URL:
http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/204/03/panduan_terapi_diabetes_mellitus.pdf
6. Wesnawa MAD. Debridement sebagai tatalaksana ulkus kaki diabetik. Denpasar: FK Univ.
Udayana. 2013. p. 1-2 [serial online] May 2015 [6 screens]. Available on: URL:
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=133193&val=970
7. Nraha Suzanna. Diabetes Mellitus Tipe 2 Dan Tatalaksana Terkini. Jakarta: Departemen
Penyakit Dalam FK Univ. Krida Wacana. Vol. 27. No.2. 2014. p. 1-3 [serial online] June
2015 [9 screens]. Available on: URL:
http://www.sechristusa.com/pdf/sechrist-diabetic-hyperbaric-guide_v1_2.pdf
8. Flood Michael S. Hyperbaric Foot Ulcers. The Journal Of Lancaster Oxygen Therapy For
Diabetic. General Hospital. Vol. 2. No. 4. Hyperbaric And Wound Care Center. 2008.p. 1405

[serial

online]

March

2015

[3

screens].

Available

on:

URL:

http://www.sechristusa.com/pdf/sechrist-diabetic-hyperbaric-guide_v1_2.pdf

21

9. Londahi Magnus et al. Hyperbaric Oxygen Therapy Facilitates Healing of Chronic Foot
Ulcers In Patients with Diabetic. Original Article. Sweden: Department Of Internal
Medicine. 2010. p. 998-1003 [serial online] June 2015 [7 screens]. Available on: URL:
http://www.duikgeneeskunde.nl/live201205/download/HBOT_literatuur/pid5365_hodfu_tria
l.pdf
10. Bagian ilmu kedokteran fisik dan rehabilitas. Bandung: RS dr. Hasan Sadikin [serial online]
June 2015 [11 screens]. Available on: URL:
http://web.missouri.edu/~brownmb/pt415/case/burnett/misiewicz.ppt
11. Rowe Vincent Lopez. Diabetic Ulcers Treatment & Management. [serial online] July 2014
[6 screens]. Available on: URL:
http://emedicine.medscape.com/article/460282-treatment

22

You might also like