You are on page 1of 10

Pengembangan Pusat Perdagangan di Wilayah Perbatasan Negara di Pulau Sebatik

Provinsi Kalimantan Utara


Oleh : Nugroho Eko Putro*
*Dosen Pascasarjana Program Studi Pendidikan IPS (S-2) Universitas Kanjuruhan Malang

A. PENDAHULUAN
Kawasan perbatasan negara meliputi perbatasan darat dan laut termasuk pulaupulau kecil terluar. Pengertian kawasan perbatasan negara menurut UU 26/2007 dan PP
26/2008 adalah wilayah kabupaten/kota yang secara geografis dan demografis berbatasan
langsung dengan negara tetangga dan atau laut lepas. Demikian pula menurut UU 43/2008,
kawasan perbatasan negara adalah bagian dari wilayah negara yang terletak pada sisi
dalam batas wilayah Indonesia dengan negara lain. Dalam hal batas wilayah negara di
darat, kawasan perbatasan berada di kecamatan yang berhadapan langsung dengan negara
tetangga.
Berdasarkan UU 26 tahun 2007 (Penataan Ruang), kawasan perbatasan merupakan
kawasan strategis dari sudut pertahanan dan keamanan yang diprioritaskan penataan
ruangnya. Pengembangan kawasan perbatasan dilakukan dengan mengubah arah kebijakan
dari orientasi ke dalam (inward looking) sebagai wilayah pertahanan, menjadi ke luar
(outward looking), yang menempatkan kawasan perbatasan sebagai wilayah pertahanan
dan untuk meningkatkan aktivitas perekonomian. Kawasan perbatasan sesungguhnya
memiliki arti yang sangat vital dan strategis, baik dalam sudut pandang pertahanan
keamanan, maupun dalam sudut pandang ekonomi, sosial, dan budaya.
Sementara dalam UU No 17 Tahun 2007 Tentang Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Nasional Tahun 2005-2025 yang menegaskan orientasi pengembangan wilayah
perbatasan dari inward looking menjadi outward looking sebagai pintu gerbang ekonomi
dan perdagangan. Termasuk pendekatan kesejahteraan untuk pulaupulau di wilayah
perbatasan. Selanjutnya disebutkan bahwa pengamanan kedaulatan dan negara kedepan
meliputi peningkatan kinerja pertahanan dan keamanan secara terpadu di wilayah.
Pengembangan kawasan perbatasan dengan menggabungkan kedua pendekatan
tersebut sebagai unit yang saling mengisi. Unit kabupaten/kota perbatasan di arahkan pada
aspek pengembangan ekonomi yang mencakup wilayah yang lebih luas dan borderless
dengan orientasi sebagai pusat pertumbuhan wilayah sekitarnya dan di fokuskan di 26
PKSN (Pusat Kegiatan Strategis Nasional). Sementara unit kecamatan perbatasan di

arahkan pada penguatan sabuk pertahanan, keamanan dan kesejahteraan masyarakat yang
didukung dengan pengembangan sarana dan prasarana sosial dasar serta pemberdayaan
masyarakat yang difokuskan pada kecamatan perbatasan di 38 kabupaten/kota prioritas.
Pulau Sebatik berada pada 03o1500 LU dan 155o3300 LS dan 4o0924.9 LU,
117o4745.1BT. Luas wilayah pulau ini sekitar 24,6 ribu Ha, berbatasan langsung dengan
negara Malaysia Timur (Tawau, Sabah) dan terletak di ujung utara Pulau Kalimantan.
Pulau ini terbagi dua, yaitu di wilayah utara seluas sekitar 187,2 Km2, milik Malaysia,
sedang wilayah bagian selatan seluas 246 Km2 adalah milik Indonesia. Sebagian besar
pemasaran produk pertanian (seperti ikan, sawit, coklat, pisang) yang dilakukan
masyarakat adalah ke negara tetangga yaitu Malaysia. Sehingga secara ekonomi
masyarakat di kawasan ini sangat bergantung kepada Malaysia khususnya ke Tawau.
Sebaliknya sebagian kebutuhan sehari-hari masyarakat Sebatik dibeli dari Tawau,
Malaysia.
Hasil penelitian Puslitbang Usaha Kesejahteraan Sosial (Puslitbang UKS, 2005)
menyebutkan bahwa berbagai permasalahan sosial yang dihadapi Kabupaten Nunukan
sebagai daerah yang berbatasan dengan Malaysia, antara lain: masih terisolirnya sejumlah
masyarakat yang tinggal di pedalaman dan perbatasan, sehingga sulit atau jauh dari
sentuhan program pembangunan; masih terdapatnya pulau-pulau kecil di wilayah
Kabupaten Nunukan yang belum dimanfaatkan atau belum punya nama; dan masih
rendahnya taraf hidup masyarakat terutama bila dibandingkan dengan taraf kehidupan
warga Malaysia di perbatasan. Perbedaan kebudayaan pada masing-masing komuniti akan
mempengaruhi cara pandangnya terhadap sesuatu. Perbedaan tindakan dan tingkah laku
dalam menanggapi obyek yang sama dapat menimbulkan suatu masalah antara satu
komuniti dengan komuniti lainnya, dan ini merupakan suatu dampak dari adanya masalah
sosial yang terwujud sebagai tindakan kebudayaan. Oleh karena itu, secara umum
kesejahteraan sosial dari masing-masing komuniti akan berbeda, begitu juga dengan
pendefinisian terhadap kesejahteraan dan masalah sosial. Menurut konsep sosial budaya,
masalah sosial hanya dapat diidentifikasi menurut cara pandang komuniti, yakni
bagaimana komuniti tersebut memberikan makna pada gejala yang ada sebagai masalah
sosial atau tidak. Dengan demikian, masalah sosial pada masyarakat tertentu belum tentu
dianggap sebagai masalah sosial oleh masyarakat yang lainnya (Rudito, 2003).
B. METODE

Mengawali hasil penelitian dari Abdul Rahim dan Muszafarshah (2010) yang
mengkaji tentang permasalahan perbatasan antara Thailand dan Malaysia dengan fokus
kepada perbatasan Sadao-Bukit Kayu Hitam. Selain itu peneliti lain juga melakukan kajian
tentang masalah perbatasan antara Thailand-Malaysia, aktivitas ekonomi di wilayah
perbatasan di Indonesia dan Malaysia yang diteliti oleh Husnaidi (2006) Dendy (2009),
Nurul, Lau dan Shazali (2004), Robert (2004), Kasim dan Mori (2008), Ramli dan Ahmad
(2007), Yekti (t.t). Thirunaukarasu, Evelyn dan Sivachandralingam (2013), Abd Hair
Awang et al. (2013), Noor Rahmah (2012), Endi dan Ratnawati (2012), Saru (2012), Ramli
Dollah dan Ahmad (2007), CB Herman (2007) dan Abdul Rahim et al. (2013).
Dalam penelitian tersebut lebih banyak mengkaji pada aspek potensi pembangunan
di kawasan perbatasan berdampingan dengan negara tetangga untuk meningkatkan
pertubuhan ekonomi wilayah masing-masing yang masih rendah, terutamanya di kawasan
perbatasan yang mana objekt keamanan dan pertahanan di kawasan perbatasan lebih
dikedepankan daripada pembangunan.
Dasar dari penulisan artikel ini lebih bersifat deskriptif dengan pendekatan
kualitatif. Teknik yang digunakan untuk memperoleh data-data dan fakta-fakta dalam
rangka pembahasan masalah dalam tulisan ini adalah menggunakan penelitian kepustakaan
(library research) yang berupa buku-buku, literature, kamus, artikel-artikel dalam majalah,
jurnal ilmiah, bulletin dan juga dokumentasi atas pengelolaan kawasan perbatasan yang
didapat dari akses internet. Untuk teknik analisis data digunakan teknik analisis data
kualitatif yaitu sebuah analisa yang menggambarkan sebuah persoalan berdasarkan faktafakta yang ada. Untuk kemudian di susun ke dalam satuan-satuan kategori dan langkah
terakhir adalah menafsirkan atau memberikan makna terhadap data-data yang peneliti
sedang teliti. Dalam artikel ini penulis berusaha menggambarkan Pengembangan Pusat
Perdagangan di Wilayah Perbatasan Negara di Pulau Sebatik Provinsi Kalimantan Utara
C. HASIL DAN PEMBAHASAN
Kawasan perbatasan merupakan suatu manifestasi bagi kedaulatan wilayah sebuah
negara. Penanganan masalah perbatasan selama ini memang belum dapat diatasi secara
optimal dan kurang terpadu, serta seringkali terjadi tarik-menarik kepentingan antara
berbagai pihak baik secara horizontal, sektoral maupun vertical. dan lebih memprihatinkan
lagi keadaan masyarakat sekitar daerah perbatasan negara, seperti lepas dari perhatian.
Sebagai contoh adalah wilayah perbatasan di Indonesia tepatnya di provinsi Kalimantan

Utara Kabupaten Nunukan khususnya di Pulau Sebatik yang pembangunan sosial-ekonomi


belum memadai jika di bandingkan dengan pembangunan di wilayah perbatasan negara
tetangga Malaysia tepatnya yang berbatasan langsung dengan wilayah Sebatik yaitu
Tawau.
1. Gambaran Pulau Sebatik
Pulau Sebatik merupakan salah satu pulau di Provinsi Kalimantan Utara yang
letaknya paling utara. Pulau ini terbagi menjadi dua bagian, yakni bagian selatan
merupakan wilayah Negara Republik Indonesia dan bagian utara merupakan wilayah
Negara Malaysia Timur (Sabah). Pulau Sebatik yang sejak tahun 2006 dimekarkan
menjadi dua kecamatan yaitu Kecamatan Sebatik dan Kecamatan Sebatik Barat, secara
administratif adalah bagian dari wilayah Kabupaten Nunukan, beribukota Nunukan
yang berada di Pulau Nunukan. Selat Sebatik yang memisahkan Pulau Nunukan dan
Pulau Sebatik lebarnya kurang lebih 3 sampai 4 kilometer.
Sebatik Indonesia pada mulanya terdiri dari dua buah desa induk, yaitu Desa
Setabu dan Desa Sungai Pancang. Perkembangan wilayah Desa Sungai Pancang relatif
lebih maju dibandingkan Desa Setabu. Hal ini karena Sungai Pancang mempunyai
akses yang lebih mudah dengan negara tetangga (Malaysia). Sementara itu, Desa
Setabu yang letaknya di bagian barat menghadap Pulau Nunukan dan Daratan
Kalimantan, memiliki infrastruktur transportasi ke Nunukan atau daratan Kalimantan
relatif yang kurang memadai. Oleh karena itu, dari segi kemajuan wilayah Desa
Setabu menjadi lebih lambat.
Kecamatan Sebatik Barat yang berpusat di Desa Setabu terdiri dari empat desa,
yakni Desa Setabu, Desa Binalawan, Desa Liang Bunyu, dan Desa Aji Kuning
(letaknya berbatasan dengan Malaysia Timur). Desa Aji Kuning ini berbatasan dengan
Desa Sungai Pancang (Sebatik Timur), dan karena itu desa ini merupakan desa di
wilayah Sebatik Barat yang termasuk paling maju. Kecamatan Sebatik Timur yang
semula merupakan induk Desa Sungai Pancang terdiri dari empat desa, yakni Desa
Tanjung Karang, Sungai Pancang, Sungai Nyamuk, dan Desa Tanjung Aru.
Kecamatan Sebatik memiliki kegiatan ekonomi masyarakat yang lebih
berkembang dan dinamis dibandingkan dengan kecamatan lain di Kabupaten
Nunukan. Setelah Kecamatan Nunukan yang berada di Pulau Nunukan sebagai pusat
pemerintahan Kabupaten Nunukan, Kecamatan Sebatik tumbuh menjadi pusat
pertumbuhan ekonomi berikutnya di kabupaten ini. Lembaga-lembaga keuangan untuk

memfasilitasi dinamika ekonomi warga Sebatik pun bermunculan dengan hadirnya 2


(dua) bank pemerintah yaitu Bank Rakyat Indonesia dan Bank Negara Indonesia serta
Kantor Pegadaian. Selain itu, Kecamatan Sebatik sudah dilengkapi dengan 3(tiga) unit
hotel kelas melati, 2(dua) unit penginapan, 1(satu) unit mini market, 20 unit restoran,
15 unit warung/kedai makan, 130 unit toko/kelontong (Bappeda Kabupaten Nunukan,
2010: 85), dan 1(unit) stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU). (Robert Siburian,
2012)
2. Permasalahan daerah perbatasan di Pulau Sebatik
Permasalahan yang dihadapi oleh Propinsi Kalimantan Utara khususnya daerah
di wilayah perbatasan di Pulau Sebatik adalah masalah Ketertinggalan, Masalah
Keterbatasan Infrastruktur, Masalah Pontensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial.
(Sutaat, 2006). selain itu permasalahan rendahnya tingkat ekonomi masyarakat yang
berdampak pada tingginya tingkat kesenjangan wilayah dibandingkan dengan kawasan
perbatasan Negara Tetangga, terbatasnya sarana dan prasarana dasar, transportasi dan
telekomunikasi yang berdampak pada rendahnya tingkat aksesibilitas serta
keterisolasian dari wilayah sekitarnya, globalisasi ekonomi dan sistem perdagangan
bebas menyebabkan produk-produk lokal kurang mampu bersaing dengan produkproduk wilayah lainnya., derajat kesehatan, pendidikan dan keterampilan penduduk
umumnya masih rendah, pemekaran wilayah belum diikuti dengan dukungan sarana
dan prasarana serta aparatnya, rawan terhadap disintegrasi bangsa dan pencurian
sumberdaya alam yang berdampak pada kerusakan ekosistem alam dan hilangnya
keanekaragaman hayati, terancam akan berkurangnya luas wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia. (M. Tarno Seman dan Sumanto, 2005).
Banyak faktor yang membuat pembangunan sosial-ekonomi di wilayah
perbatasan Indonesia di Sebatik tidak berkembang pesat seperti pembangunan di
wilayah perbatasan negara tetangga Malaysia di negara bagian Tawau. Faktor seperti
sumber daya manusia, letak geografis serta kebijakan yang di ambil oleh pemerintah
yang kemudian hanya menjadi sebuah implementasi tanpa sebuah praktek yang nyata
adalah hal-hal yang memang membuat pembangunan sosial-ekonomi di wilayah
perbatasan negara Indonesia semakin tertinggal dengan negara tetangganya ini. Dari
faktor sumber daya manusianya, dapat dilihat bahwa masyarakat yang ada di wilayah
perbatasan masih kurang akan rasa nasionalisme yang mereka miliki serta pendidikan
yang kurang sehingga dapat dengan mudah mendapat pengaruh-pengaruh dari luar.

Hal ini dapat dilihat dari apa yang mereka lakukan sehari-hari seperti, meraka lebih
suka jika harus berbelanja kebutuhan pokok atau melakukan sebagian kegiatan mereka
seperti bersekolah, berdagang serta untuk mendapatkan pelayanan kesehatan di
wilayah negara tetangga daripada harus melakukannya di wilayah negara sendiri. (Ary
Setiawan, 2013).
3. Aspek strategis
Mengingat Malaysia juga mulai berkonsentrasi di daerah perbatasan dengan kita
Pulau Sebatik (Malaysia) yang berdekatan dengan Tawau yang direncanakan dijadikan
Pusat Perdagangan Sempadan. Ia adalah sebagai salah satu strategi untuk
membangunk ekonomi sempadan Tawau-Nunukan melanjutkan banjir produk dan
rantai aktivitas ekonomi. Pusat Perdagangan Sempadan termasuk CIQ itu akan
dibangun di Tanjung Arang, Pulau Sebatik (Malaysia) dengan keluasan 100 hektar. Di
Pulau Sebatik (Indonesia), Pusat Perdagangan Sempadan sedang dibangun di
Lamijung. Tanjung Arang-Lamijung adalah pekan yang aktif dengan perdagangan
sempadan kerana Nunukan mempunyai pangsa pasar dengan jumlah penduduk
penduduk sekitar 150.000 orang dan merupakan get laluan kepada Tarakan, Celebes
dan Java (Muammar, 2006)
Pada bulan Maret 2007, Kerajaan Kerajaan Malaysia merencakan Tawau
dijadikan sebagai zon perdagangan bebas kerana kedudukan strategiknya dalam
perdagangan antarabangsa dan berdekatan dengan Kalimantan Timur dan Filipina
Selatan (Tawau To Be Made, 2007). Sehubungan itu, Tawau berpotensi untuk
dibangunkan sebagai hab perdagangan sempadan antarabangsa Malaysia-Indonesia
berikutan cadangan penubuhan zon perdagangan bebas (Tawau Berpotensi Jadi, 2012).
4. Pengembangan Pusat Perdagangan di Pulau Sebatik
BAPPENAS menawarkan 5 model pengembangan wilayah perbatasan yang
dapat menjadi rujukan (Bappenas. 2003), yaitu : Pertama, Model Pusat Pertumbuhan;
Penerapan model ini mengharuskan ditetapkannya terlebih dahulu suatu lokasi
strategis sebagai pusat kegiatan ekonomi wilayah, sehingga berimplikasi terhadap
pengembangan beberapa kawasan khusus, dengan pelbagai insentif sarana/prasarana
penunjang, pembiayaan, kelembagaan dan SDM. Beberapa kawasan khusus yang
dibutuhkan adalah pos pemeriksaan lintas batas (PPLB), kawasan berikat, kawasan
industri, welcome plaza dan kawasan pemukiman. Penyediaan beberapa fasilitas

kawasan khusus tadi berdasarkan teori gravitasi yang dikembangkan oleh Carey dan
Ravenstein (Robinson Tarigan, 2009); dapat diprediksi besarnya daya tarik suatu
potensi kawasan, sehingga mampu menarik sektor/ kegiatan lainnya untuk masuk ke
wilayah tersebut. Daya tarik potensi dapat terjadi karena faktor alami (given) maupun
faktor buatan, sehingga dilihat dari aspek perencanaan wilayah dalam kaitannya
dengan penerapan model pusat pertumbuhan, maka penetapan wilayah pertumbuhan
sudah memperhitungkan ketersediaan potensi ekonomi dan eksistensi fasilitas yang
ada saat ini, untuk pengembangan lebih lanjut penyediaan fasilitas kawasan khusus.
Kedua, Model Transito; penerapan model ini tidak membutuhkan penyediaan
fasilitas

kawasan

khusus

yang

cukup

kompleks

sebagaimana

halnya

model pusat pertumbuhan, kecuali fasilitas PPLB. Ini mengingat bahwa wilayah
bersangkutan hanya sebagai transit pergerakan orang lintas antar Negara. Intensitas
pergerakan orang lintas antar negara yang cukup tinggi berpeluang untuk
disediakannya fasilitas welcome plaza.
Ketiga, Model Station Riset dan Wisata Lingkungan; Apabila suatu wilayah
memiliki potensi sumber daya alam berupa keindahan alamiah flora yang eksotik,
keindahan lingkungan yang menantang jiwa petualangan (ovunturir), fauna endimik
local dan budaya khas etnik setempat, maka berpeluang besar untuk menerapkan
model ini. Konsekwensinya adalah keharusan untuk melengkapi fasilitas riset biologi
(station research), terutama bersifat outdoor serta menyatu dengan pemukiman dan
budaya penduduk setempat. Fasilitas lainnya adalah kawasan wisata lingkungan,
dengan penetapan obyek wisata yang dapat dijangkau; menggunakan rute-rute
perjalanan yang menjamin keselamatan wisatawan, disamping ketersediaan fasilitas
penginapan bagi para wisatawan. Terakhir, berupa fasilitas PPLB. Penerapan model ini
lebih efektif, apabila ada sarana/prasarana transportasi yang terkoneksi antar Negara.
Keempat, Model Kawasan Agropolitan; Diterapkannya model ini diawali oleh
adanya kesepakatan antar Negara untuk memanfaatkan lahan pertanian lintas Negara.
Agropolitan menerapkan sistem manajemen dalam suatu wilayah
ditetapkan

sebagai

pusat

pertumbuhan

ekonomi

berbasis

sektor

yang telah
pertanian

(agrobisnis/agroindustri). Sesuai dengan teori gravitasi, maka perkembangan pusat


pertumbuhan (agropolitan) akan mendorong tumbuhnya kegiatan pertanian di
wilayah sekitarnya (hinterland), baik berupa; (a) Sub sektor agrobisnis hulu; berupa
penyediaan pembibitan, mesin dan peralatan pertanian serta pupuk, pestisida, dan

obat/vaksin ternak; (b) Sub sektor agrobisnis hilir; berupa industri pengolahan
pertanian dan usaha perdagangannya; dan (c) Sub sektor usaha tani, mencakup
tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, perikanan, peternakan dan kehutanan.
Demikian pula sektor lainnya yang terkait (off farm agrobisnis) dalam wilayah
tersebut akan ikut mengalami perkembangan, seperti perkreditan dan usaha angkutan.
Ketersediaan fasilitas utama berupa infrastruktur transportasi sangat diperlukan, untuk
menciptakan koneksitas antara wilayah agropolitan dengan wilayah hinterland.
Kelima, Kawasan Perbatasan Laut; Model ini terbentuk dari cluster kegiatan
ekonomi yang memanfaatkan ketersediaan potensi sumber daya laut dan pesisir di
sekitarnya sebagai keunggulan wilayah, sehingga fasilitas yang dibutuhkan
berorientasi pada pemenuhan fasilitas pengawetan dan pengolahan hasil budidaya
laut/pesisir (aquaculture) bernilai ekonomis. Fasilitas yang selayaknya disediakan
adalah kawasan berikat, kawasan industri, kawasan aquakultur dan kawasan wisata
pantai, termasuk fasilitas PPLB.
Pertanyaannya; dari kelima model pengembangan diatas, model mana yang
relevan untuk diterapkan di wilayah (Kecamatan) perbatasan Kabupaten Nunukan,
khususnya di Pulau Sebatik; sejalan dengan rencana BNPP yang menetapkan Sebatik
sebagai wilayah pengembangan agroindustri dan jasa maritim.
Sebatik yang semula hanya terdiri 2 wilayah administrasi Kecamatan, yaitu
Kecamatan Sebatik dan Sebatik Barat; Saat ini, berdasarkan hasil pemekaran, sudah
menjadi 5 Kecamatan, yaitu Sebatik, Sebatik Tengah, Sebatik Barat, Sebatik Timur
dan Sebatik Utara. Dari aspek pemerintahan, khususnya jumlah Kecamatan yang ada,
maka peluang untuk ditingkatkan statusnya Sebatik menjadi "Kota" dimungkinkan,
dengan harapan kedepan bahwa kelengkapan infrastruktur perkotaan yang harus
disediakan, dapat mengimbangi pembangunan Kota Tawao (Sabah). Sejalan dengan
rencana menjadikan Sebatik sebagai wilayah pengembangan agrobisnis dan jasa
maritim. Konsekwensinya, Pemerintah Kabupaten Nunukan perlu untuk membenahi
kekurangan infrastruktur ekonomi, sosial, pemerintahan dan fisik yang ada.
Diperlukan pembiayaan relatif besar, sejalan dengan dinamika perkembangan
penduduk Sebatik.
Pendekatan pengembangan pusat perdagangan bisa dilakukan dengan tiga aspek,
yaitu : (CB Herman Edyanto, 2007)

Pendekatan Kesejahteraan; dimana pendekatan yang dilakukan berdasarkan


pengembangan kegiatan ekonomi untuk meningkatan kesejahteraan masyarakat di
wilayah perbatasan.

Pendekatan Lingkungan; yaitu pendekatan yang mempertimbangkan keberlanjutan


lingkungan dan meminimasi dampak yang akan ditimbulkann oleh kegiatan
pembangunan.

Pendekatan Keamanan, yaitu pendekatan yang memandang perbatasan sebagai


kawasan yang bersebelahan langsung dengan negara lain sehingga perlu
pengawasan terhadap keamanan untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia
Di Sebatik, area cakupannya adalah Sei Pancang dan sekitarnya. Pemahaman

"dan sekitarnya" ini dapat diterjemahkan termasuk 4 Kecamatan lainnya, mengingat


saat ini di Sebatik ada 5 kecamatan, dimana Sei Pancang merupakan ibukota
Kecamatan Sebatik Utara. Pos Lintas Batas di Nunukan-Tawao yang saat ini cukup
intens pemanfaatannya oleh penduduk terutama para TKI yang akan menuju wilayah
Malaysia lainnya melalui Tawao, perlu untuk dikaji keberadaan area cakupan-nya
(area of acces), karena dikaitkan dengan ketentuan BTA Tahun 1970 maka area
dimaksud dapat diberlakukan ketentuan perdagangan lintas batas, dimana dengan
jumlah penduduk 65.881 jiwa (sensus 2010) akan berdampak besar terhadap
akumulatif nilai perdagangan lintas batas. Sementara pasokan produksi barang olahan
dalam negeri (nasional), khususnya bahan kebutuhan pokok ke Nunukan relatif lancar,
sehingga pemanfaatan perdagangan lintas batas ini lebih menonjol unsur
komersialnya, dibandinghkan dengan hakekat sebenarnya diberlakukan ketentuan
BTA, yaitu membantu penduduk setempat dalam memenuhi kebutuhan pokoknya.
Peningkatan nilai perdagangan lintas batas melalui PLB Nunukan-Tawao, sejalan
dengan perkembangan penduduk di Nunukan dan wilayah sekitarnya merupakan suatu
keniscayaan; Bahkan, tidak menutup kemungkinan nilai perdagangan tersebut sudah
seharusnya dikategorikan sebagai impor, sehingga sudah sewajarnya diberlakukan
sebagai perdagangan bebas lintas batas.
D. SIMPULAN
Pengembangan pusat perdagangan di Pulau Sebatik Provinsi Kalimantan Utara
merupakan jawaban dari permasalahan di wilayah perbatasan khususnya di Pulau Sebatik.
Dengan menjadikan Pulau sebatik sebagai pusat perdagangan, maka kegiatan ekonomi

masyarakat akan meningkat, dan tentu saja memaksa semua pihak terutama Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah untuk meningkatkan untuk melakukan semua yang
diperlukan guna memacu kemajuan kehidupan masyarakat Sebatik, diperlukan upaya
perbaikan dan peningkatan infrastruktur yang ada, terutama sarana pendidikan,
komunikasi, dan transportasi/perhubungan dalam pulau dan antar pulau. Diharapkan
dengan mudahnya akses pendidikan dan transportasi/perhubungan bagi penduduk akan
mempunyai dampak terhadap peningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan sosial
masyarakat.
Diperlukan penelitian lebih lanjut tentang pengembangan pusat perdagangan di
Wilayah Perbatasan Negara di Pulau Sebatik Provinsi Kalimantan Utara, agar dalam
pengambilan kebijakan bisa lebih akurat dan komprehensip.

You might also like