Professional Documents
Culture Documents
Pembahasan
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1993, hal. 326.
Ibid., hal. 327.
yang berat, akan aman untuk memperbuat jarimah-jarimah lain yang lebih ringan.
Inilah segi kelemahannya.
3. Teori-Campuran yang dimaksudkan untuk menghilangkan kelemahan-kelemahan
kedua cara yang sebelumnya menurut teori gabungan tersebut, hukuman-hukuman
bisa digabungkan, asal hasil gabungan tidak melebihi batas tertentu, dan dengan
batas tertentu ini dimaksudkan agar dapat terhindar keterlaluan dalam penjatuhan
hukuman.3
C. Gabungan Hukuman Pada KUHP Indonesia
Aturan-aturan pidana yang berhubungan dengan gabungan perbuatan
dibicarakan dalam pasal-pasal 63 sampai pasal 71 KUHP Indonesia. Kalau kita
perhatikan ketentuan pasal-pasal tersebut maka akan nampak adanya beberapa teori
yang dianut, yaitu:
1. Teori Penyerapan-Biasa (Absorptie-stelsel)
Teori ini terdapat dalam pasal 63 yang khusus mengenai gabungan
perbuatan lahir (semu) (concursus idealis). Jadi hanya satu aturan pidana yang
paling berat hukuman pokoknya saja yang dijatuhkan. Pasal tersebut berbunyi
sebagai berikut:
a. Kalau sesuatu perbuatan dapat dihukum karena beberapa aturan pidana,
maka hanya satu saja dari antara aturan-aturan itu yang dijalankan. Jika
hukumannya berlainan, maka yang dijalankan ialah aturan yang paling berat
hukuman pokoknya.
b. Kalau bagi sesuatu perbuatan yang dapat dihukum karena aturan pidana
umum, dan aturan pidana khusus, maka aturan pidana khusus itu sajalah
yang dijalankan.
Jadi satu hukuman saja yang dijatuhkan dan hukuman tersebut bisa diberatkan
dengan ditambah sepertiga dari maksismum hukuman yang seberat-beratnya.
Pasal tersebut berbunyi sebagai berikut:
a. jika ada golongan beberapa perbuatan, yang masing-masingnya harus
dipandang sebagai satu perbuatan bulat dan yang masing-masingnya merupakan
kejahatan yang terancam dengan hukuman pokok yang sama, maka satu hukuman
saja yang dijatuhkan.
b. maksimum hukuman itu ialah jumlah maksismum yang diancamkan atas tiaptiap perbuatan itu, tetapi tidak boleh lebih dari yang paling berat ditambah
sepertiganya.
3. Teori Berganda yang Dikurangi
Menurut sarjana lain, teori yang dianut oleh pasal 65 tersebut ialah teori
berganda yang dikurangi (gematigde cumulatie stelsel), dengan alasan bahwa pada
ayat dua dari pasal tersebut semua hukuman dapat dijatuhkan, tetapi jumlah
keseluruhannya tidak melebihi hukuman yang paling berat ditambah sepertiganya.
Teori tersebut juga dianut oleh pasal 66 yang mengenai gabungan
perbuatan-nyata (concursus realis) yang terancam dengan hukuman pokok yang
tidak sama. Pasal 66 tersebut berbunyi sebagai berikut:
a. jika ada gabungan beberapa perbuatan yang masing-masing harus
dipandang sebagai perbuatan bulat yang masing-masing merupakan
kejahatan yang terancam dengan hukuman pokok yang tiada semacam, maka
dijatuhkan tiap-tiap hukuman itu, akan tetapi jumlahnya tidak boleh melebihi
hukuman yang terbesar ditambah sepertiganya.
Dalam prakteknya teori penyerapan keras yang dianut oleh pasal 65 (kalau
memegang pendapat pertama) tidak berbeda dengan teori yang dianut oleh pasal
66.
4. Teori Berganda Biasa
Artinya semua hukuman dijatuhkan tidak dikurangi, teori ini dianut oleh
pasal 70 ayat 1, yang berbunyi sebagai berikut:
5
jika ada gabungan secara yang dimaksud dalam pasal 65 dan 66 antara
pelanggaran dengan kejahatan, atau antara pelanggaran dengan pelanggaran,
maka dijatuhkan hukuman bagi tiap-tiap pelanggaran itu dengan tidak
dikurangi.4
Dalam hal ini harus digaris bawahi bahwa jumlah hukuman kurungan atau
hukuman kurungan pengganti tidak boleh melebihi satu tahun empat bulan dan
jumlah hukuman kurungan pengganti tidak boleh melebihi delapan bulan pasal 70
ayat 2 (kumulasi murni).5
D. Gabungan Jarimah di Kalangan Fuqaha
Teori tentang bergandanya hukuman sudah dikenal di kalangan fuqaha, tetapi
teori tersebut dibatasi pula dengan dua teori yang lain, yaitu teori saling memasuki
(tadakhul) dan teori penyerapan (al-jabbu).
1. Teori Saling Melengkapi (At-Tadakhul)
Menurut teori saling melengkapi, ketika terjadi gabungan perbuatan,
maka hukuman-hukumannya saling melengkapi, sehingga oleh karenanya itu
semua perbuatan tersebut dijatuhi satu hukuman, seperti jika ia memperbuat
satu perbuatan.
Teori tersebut didasarkan atas dua pertimbangan:
a. Alasan penajatuhan satu hukuman saja ialah bahwa pada dasarnya sesuatu
hukuman dijatuhkan untuk maksud memberikan pengajaran (tadib) dan
pencegahan terhadap orang lain (zajru), dan kedua tujuan ini dapat dicapai
dengan satu hukuman selama cukup membawa hasil.
b. Meskipun berbuatan-perbuatan yang dilakukan berganda dan berbeda-beda
macamnya, namun hukuman-hukumannya bisa saling melengkapinya dan
cukup untuk satu hukuman yang dijatuhkan untuk melindungi kepentingan
yang sama, atau untuk mewujudkan tujuan yang sama.
Fuqaha-fuqaha madzhab Maliki mengatakan bahwa hukuman minumminuman keras dan hukuman memfitnah (qadzaf) saling melengkapi jadi
memakai teori penyerapan, dan oleh karena itu maka hanya dijatuhi satu
(macam) hukuman saja. Alasan mereka ialah bahwa tujuan penjatuhan
hukuman pada kedua perbuatan tersebut adalah satu, sebab orang yang
minum-minuman keras biasanya mengigau, dan siapa mengigau maka ia
membuat-buat kedustaan. Jadi hukuman minum-minuman keras bertujuan
mencegah membuat-buat kebohongan.
Fuqaha-fuqaha lain mempunyai pendapat yang berbeda mengenai
contoh tersebut, karena hukuman memfitnah dimaksudkan untuk melindungi
kehormatan
(nama
baik),
sedang
hukuman
minum-minuman
keras
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1993, hal. 331-332.
ini sesuai dengan kata-kata Nabi Saw. :Jauhkan hukuman hudud sedapat
mungkin. Nampaknya, pendapat Imam Abu Hanifah tersebut tidak banyak
berbeda dengan pendapat Imam Ahmad.
Bagi Imam Syafii tidak ada teori penyerapan (Al-Jabbu), dan semua
hukuman harus dijatuhkan, selama tidak saling melengkapi (tadakhul).
Caranya ialah dengan mendahulukan hukuman bagi hak-hak manusia yang
bukan hukuman mati, kemudian hukuman bagi hak Tuhan yang bukan
hukuman mati kemudian lagi hukuman mati. Jika seseorang misalnya yang
bukan muhshan melakukan jarimah-jarimah zina, memfitnah (qadzaf),
pencurian, gangguan keamanan dengan membunuh, maka urutan penjatuhan
hukuman-hukuman tersebut adalah sebagai : hukuman memfitnah (delapan
puluh jilid), kemudian ditahan dulu sampai sembuh untuk kemudian dijatuhi
hukuman zina (seratus jilid), kemudian ditahan lagi agar sembuh untuk
dipotong tangannya karena pencurian, dan kemudian lagi dijatuhi hukuman
mati karena gangguan keamanan. Jika pembuat tersebut mati dalam menjalani
hukuman-hukuman yang sebelumnya, maka hapuslah hukuman-hukuman
berikutnya. Dengan demikian maka Imam Syafii membelakangkan hukuman
mati, karena ia tidak memakai teori penyerapan biasa (al-jabbu).
Sebagian ulama-ulama Syafii nampaknya memakai teori penyerapan,
akan tetapi sebenarnya mereka memakai teori saling melengkapi. Mereka
mengatakan bahwa apabila seseorang melakukan pencurian biasa, kemudian
mengganggu keamanan (dengan membunuh), maka ia tidak dipotong
tangannya, melainkan dijatuhi hukuman mati karena gangguan keamanan. Di
sini dipakai teori saling melengkapi dalam hukuman, sebab kedua perbuatan
tersebut adalah sejenis dan penjatuhan hukuman pada keduanya juga bertujuan
sama, sehingga gangguan keamanan disebut pencurian besar, sedang
pencurian biasa disebut pencurian kecil.7
Dari sekian banyak penjelasan mengenai pendapat para fuqaha, maka
dapat diambil kesimpulan atau dapat diketahui bahwa Para ulama berbeda
pendapat mengenai gabungan dan penyerapan hukuman. Imam Malik,
misalnya, mengenal teori al-takakhul, yaitu apabila seseorang melakukan
7
jarimah qadzaf dan minum khamr. Sesudah itu, tertangkap. Menurut teori ini,
hukumannya cukup satu, yaitu delapan puluh kali jilid. Alasannya, karena
jenis dan tujuannya sama. Menurut Imam Malik, Abu Hanifah, dan Imam
Ahmad, hukuman mati itu menyerap semua jenis hukuman. Demikian pula
jika kejahatannya itu berkenaan dengan hak Allah murni. Sedangkan jika
kejahatan itu merupakan gabungan antara hak Allah dan Hak Adami, maka
hukuman yang dijatuhkan adalah hak adami dulu, baru hukuman yang
berkaitan dengan hak Allah. Menurut Imam Syafii, setiap jarimah tidak dapat
digabungkan, melainkan harus dijatuhi hukumannya satu per satu.8
E. Antara Syariat Islam dengan Hukum Positif Tentang Gabungan Jarimah
Baik syariat Islam maupun hukum positif sama-sama memakai teori berganda
terbatas (verscherpte cumulatie) atas dasar fikiran yang sama, yaitu bahwa seseorang
pembuat dapat dimaafkan, ketika ia melakukan jarimah yang kedua, karena ia belum
mendapat hukuman atas jarimahnya yang pertama. Juga kedua-duanya berpendirian
bahwa bergandanya hukuman (berganda biasa) tanpa batas akan menimbulkan hal-hal
yang tidak diterima oleh akal.
Meskipun demikian, penerapan Syariat Islam terhadap teori berganda dengan
pembatasannya lebih teliti, seperti nampak pada hal-hal berikut ini:
1. Teori tentang saling memasuki sebagai jalan pembatasan terhadap bergandanya
hukuman tidak dipakai keseluruhannya, melainkan hanya dipakai untuk satu
jarimah yang berulang-ulang dikerjakan dan untuk jarimah-jarimah yang berbeda
tetapi hukumannya bertujuan sama, sedang untuk jarimah-jarimah lain teori
tersebut tidak dipakai.
Alasannya ialah bahwa untuk tiap-tiap jarimah ada hukumannya sendiri.
Kalau sesuatu jarimah berulang-ulang sebelum mendapat hukuman atas jarimah
yang sebelumnya, maka tidak perlu bergandanya hukuman. Akan tetapi kalau ia
(pembuat) melakukan bermacam-macam jarimah yang berbeda satu sama lain,
maka belum dijatuhkannya hukuman atas jarimah-jarimah terdahulu tidak bisa
menjadi alasan untuk melakukan jarimah berikutnya, karena tiap-tiap jarimah
tersebut sendiri-sendiri dilarang dan diancam dengan hukumannya yang tertentu
8
Al-Ramli, Nihayah al-Muhtaj, VIII, hlm. 172. Lihat Djazuli, Fiqh Jinayah, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, Cet. 2, hlm. 30.
10
pula. Hukuman yang dijatuhkan atas sesuatu jarimah tidak berarti dimaksudkan
pula untuk terhindarnya jarimah-jarimah lainnya, melainkan untuk terhindarnya
jarimah yang sama itu sendiri.
Dalam
menjatuhkan
hukuman
pencurian
misalnya
hal-hal
yang
dasar teori saling memasuki menurut para fuqaha ialah kesamaan tujuan pada
hukuman-hukuman yang dijatuhkan. Atau dengan perkataan lain, teori saling
memasuki pada hukum positif ditempatkan di bawah tujuan yang hendak dicapai
oleh pembuat, sedang dikalangan fuqaha teori tersebut ditempatkan di bawah
tujuan yang hendak dicapai oleh pembuat undang-undang (syariat-syariat).
3. Hukum positif membuat batas tertinggi bagi hukuman yang tidak bisa dilampaui,
bagaimanapun juga banyaknya hukuman yang dijatuhkan. Kebutuhan sematamata yang telah menimbulkan batas tersebut karena hukuman pokok pada hukum
positif ialah hukuman kawalan (penjara) dengan segala macamnya, mulai dari
hukuman kurungan ringan dan hukuman kurungan berat sementara akan menjadi
hukuman seumur hidup, dan umur terhukum akan habis sebelum habis masa
hukumannya. Lain halnya dengan Syariat Islam, yang menjadikan hukuman
potongan dan jilid sebagai hukuman pokok, dan kedua hukuman ini menurut
tabiatnya adalah hukuman sementara, namun tidak akan sampai menjadi hukuman
seumur hidup, dan oleh karena itu maka tidak ada alasan untuk membuat batas
tertinggi bagi hukuman ketika terjadi gabungan jarimah.
Meskipun fuqaha-fuqaha Islam memakai hukuman kawalan (penjara)
sementara untuk beberapa jarimah tertentu sebagai hukuman tazir, namun tidak
perlu membuat batas tertinggi untuk hukuman tersebut sesudah memakai teori
saling memasuki sebab pada hakikatnya seseorang pembuat hanya melakukan
satu macam jarimah atau beberapa jarimah yang sama. Jadi kalau ia melakukan
satu macam jarimah berulang-ulang, maka hanya satu hukuman saja yang
dijatuhkan kepadanya, sesuai dengan teori saling memasuki. Kalau ia melakukan
beberapa macam jarimah yang sama, maka jarimah-jarimah tersebut pada
umumnya tidak lebih dari tiga atau empat macam. Jika masing-masingnya jarimah
tersebut dijatuhi hukuman yang telah ditentukan untuknya maka hukuman tersebut
tidak perlu berupa hukuman kawalan semua. Kalau sekiranya dijatuhkan hukuman
kawalan semua, maka batas tertinggi tidak akan mencapai batas yang tidak masuk
akal, terutama jika diingat bahwa batas tertinggi hukuman kawalan menurut
sebahagian fuqaha, tidak melebihi satu tahun, atau tiga tahun menurut penetapan
para penguasa (ulul-amri).
12
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1993, hal. 335-
338.
13