You are on page 1of 11

Bab II

Pembahasan

A. Pengertian Gabungan Hukuman


Gabungan hukuman dapat terjadi manakala terdapat gabungan jarimah, dan
gabungan jarimah ini dapat dikatakan ada, manakala seseorang memperbuat beberapa
macam jarimah dimana masing-masingnya belum mendapat keputusan terakhir.1
Adapun perbedaan antara gabungan hukuman dengan pengulangan jarimah
(recidive) ialah pada gabungan hukuman salah satu jarimah yang terjadi belum
mendapatkan keputusan, sedang pada pengulangan jarimah pembuat melakukan
jarimah yang kedua sesudah dijatuhi hukuman atas perbuatannya yang pertama.
Seharusnya seseorang pembuat pada gabungan jarimah tidak dijatuhi hukuman
atas semua jarimah-jarimah yang diperbuatnya, meskipun gabungan jarimah tersebut
menunjukkan jiwa kejahatannya, sebab ketika ia mengulangi memperbuat jarimah ia
belum mendapat hukuman dan pengajaran dari jarimah yang sebelumnya. Lain halnya
dengan pengulang kejahatan yang telah mendapat hukuman dan dengan hukuman ini
dimaksudkan agar ia bertindak lurus.2
B. Teori Hukum Positif Mengenai Gabungan Jarimah
Adapun pembahasan mengenai Gabungan Jarimah berdasarkan Hukum
Positif, antara lain:
1. Teori-Berganda (cumulatie) yang dipegangi oleh hukum pidana Inggris. Menurut
teori berganda pembuat mendapat semua hukuman yang ditetapkan untuk tiap-tiap
jarimah yang diperbuatnya. Kelemahan cara tersebut terletak pada terlalu
banyaknya hukuman yang dijatuhkan. Hukuman penjara misalnya adalah
hukuman sementara, tetapi apabila digabung-gabungkan, maka akan menjadi
hukuman seumur hidup.
2. Teori-Penyerapan (absorptie/al-jabbu), menurut teori ini hukuman yang lebih
berat menghapuskan hukuman-hukuman yang lebih ringan. Kalau seseorang
umpamanya dijatuhi hukuman penjara sepuluh tahun, kemudian ia dijatuhi lagi
hukuman lima tahun, maka hukuman lima tahun yang telah diperbuat oleh jarimah
1
2

Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1993, hal. 326.
Ibid., hal. 327.

yang berat, akan aman untuk memperbuat jarimah-jarimah lain yang lebih ringan.
Inilah segi kelemahannya.
3. Teori-Campuran yang dimaksudkan untuk menghilangkan kelemahan-kelemahan
kedua cara yang sebelumnya menurut teori gabungan tersebut, hukuman-hukuman
bisa digabungkan, asal hasil gabungan tidak melebihi batas tertentu, dan dengan
batas tertentu ini dimaksudkan agar dapat terhindar keterlaluan dalam penjatuhan
hukuman.3
C. Gabungan Hukuman Pada KUHP Indonesia
Aturan-aturan pidana yang berhubungan dengan gabungan perbuatan
dibicarakan dalam pasal-pasal 63 sampai pasal 71 KUHP Indonesia. Kalau kita
perhatikan ketentuan pasal-pasal tersebut maka akan nampak adanya beberapa teori
yang dianut, yaitu:
1. Teori Penyerapan-Biasa (Absorptie-stelsel)
Teori ini terdapat dalam pasal 63 yang khusus mengenai gabungan
perbuatan lahir (semu) (concursus idealis). Jadi hanya satu aturan pidana yang
paling berat hukuman pokoknya saja yang dijatuhkan. Pasal tersebut berbunyi
sebagai berikut:
a. Kalau sesuatu perbuatan dapat dihukum karena beberapa aturan pidana,
maka hanya satu saja dari antara aturan-aturan itu yang dijalankan. Jika
hukumannya berlainan, maka yang dijalankan ialah aturan yang paling berat
hukuman pokoknya.
b. Kalau bagi sesuatu perbuatan yang dapat dihukum karena aturan pidana
umum, dan aturan pidana khusus, maka aturan pidana khusus itu sajalah
yang dijalankan.

2. Teori Penyerapan-Keras (vercherpte absorptie stelsel)


Teori ini terdapat dalam pasal 65 yang mengenai gabungan perbuatan
nyata (concursus realis) yang diancam dengan hukuman pokok yang semacam.
3

Ibid., hlm. 327-328.

Jadi satu hukuman saja yang dijatuhkan dan hukuman tersebut bisa diberatkan
dengan ditambah sepertiga dari maksismum hukuman yang seberat-beratnya.
Pasal tersebut berbunyi sebagai berikut:
a. jika ada golongan beberapa perbuatan, yang masing-masingnya harus
dipandang sebagai satu perbuatan bulat dan yang masing-masingnya merupakan
kejahatan yang terancam dengan hukuman pokok yang sama, maka satu hukuman
saja yang dijatuhkan.
b. maksimum hukuman itu ialah jumlah maksismum yang diancamkan atas tiaptiap perbuatan itu, tetapi tidak boleh lebih dari yang paling berat ditambah
sepertiganya.
3. Teori Berganda yang Dikurangi
Menurut sarjana lain, teori yang dianut oleh pasal 65 tersebut ialah teori
berganda yang dikurangi (gematigde cumulatie stelsel), dengan alasan bahwa pada
ayat dua dari pasal tersebut semua hukuman dapat dijatuhkan, tetapi jumlah
keseluruhannya tidak melebihi hukuman yang paling berat ditambah sepertiganya.
Teori tersebut juga dianut oleh pasal 66 yang mengenai gabungan
perbuatan-nyata (concursus realis) yang terancam dengan hukuman pokok yang
tidak sama. Pasal 66 tersebut berbunyi sebagai berikut:
a. jika ada gabungan beberapa perbuatan yang masing-masing harus
dipandang sebagai perbuatan bulat yang masing-masing merupakan
kejahatan yang terancam dengan hukuman pokok yang tiada semacam, maka
dijatuhkan tiap-tiap hukuman itu, akan tetapi jumlahnya tidak boleh melebihi
hukuman yang terbesar ditambah sepertiganya.
Dalam prakteknya teori penyerapan keras yang dianut oleh pasal 65 (kalau
memegang pendapat pertama) tidak berbeda dengan teori yang dianut oleh pasal
66.
4. Teori Berganda Biasa
Artinya semua hukuman dijatuhkan tidak dikurangi, teori ini dianut oleh
pasal 70 ayat 1, yang berbunyi sebagai berikut:
5

jika ada gabungan secara yang dimaksud dalam pasal 65 dan 66 antara
pelanggaran dengan kejahatan, atau antara pelanggaran dengan pelanggaran,
maka dijatuhkan hukuman bagi tiap-tiap pelanggaran itu dengan tidak
dikurangi.4
Dalam hal ini harus digaris bawahi bahwa jumlah hukuman kurungan atau
hukuman kurungan pengganti tidak boleh melebihi satu tahun empat bulan dan
jumlah hukuman kurungan pengganti tidak boleh melebihi delapan bulan pasal 70
ayat 2 (kumulasi murni).5
D. Gabungan Jarimah di Kalangan Fuqaha
Teori tentang bergandanya hukuman sudah dikenal di kalangan fuqaha, tetapi
teori tersebut dibatasi pula dengan dua teori yang lain, yaitu teori saling memasuki
(tadakhul) dan teori penyerapan (al-jabbu).
1. Teori Saling Melengkapi (At-Tadakhul)
Menurut teori saling melengkapi, ketika terjadi gabungan perbuatan,
maka hukuman-hukumannya saling melengkapi, sehingga oleh karenanya itu
semua perbuatan tersebut dijatuhi satu hukuman, seperti jika ia memperbuat
satu perbuatan.
Teori tersebut didasarkan atas dua pertimbangan:
a. Alasan penajatuhan satu hukuman saja ialah bahwa pada dasarnya sesuatu
hukuman dijatuhkan untuk maksud memberikan pengajaran (tadib) dan
pencegahan terhadap orang lain (zajru), dan kedua tujuan ini dapat dicapai
dengan satu hukuman selama cukup membawa hasil.
b. Meskipun berbuatan-perbuatan yang dilakukan berganda dan berbeda-beda
macamnya, namun hukuman-hukumannya bisa saling melengkapinya dan
cukup untuk satu hukuman yang dijatuhkan untuk melindungi kepentingan
yang sama, atau untuk mewujudkan tujuan yang sama.

Ibid., hal. 329-330.


Topo Santoso. Menggagas Hukum Pidana Islam: Penerapan syariat Islam dalam konteks
modernitas. Bandung: Asy Syaamil Press & Grafika. 2001, hlm. 161
5

Fuqaha-fuqaha madzhab Maliki mengatakan bahwa hukuman minumminuman keras dan hukuman memfitnah (qadzaf) saling melengkapi jadi
memakai teori penyerapan, dan oleh karena itu maka hanya dijatuhi satu
(macam) hukuman saja. Alasan mereka ialah bahwa tujuan penjatuhan
hukuman pada kedua perbuatan tersebut adalah satu, sebab orang yang
minum-minuman keras biasanya mengigau, dan siapa mengigau maka ia
membuat-buat kedustaan. Jadi hukuman minum-minuman keras bertujuan
mencegah membuat-buat kebohongan.
Fuqaha-fuqaha lain mempunyai pendapat yang berbeda mengenai
contoh tersebut, karena hukuman memfitnah dimaksudkan untuk melindungi
kehormatan

(nama

baik),

sedang

hukuman

minum-minuman

keras

dimaksudkan untuk melindungi sehatnya badan. Jadi kedua hukuman tersebut


berbeda tujuannya, dan oleh karena itu maka tidak ada saling melengkapi.
Fuqaha-fuqaha Maliki yang lain mengatakan bahwa letak saling
melengkapinya hukuman minum-minuman keras dengan hukuman memfitnah
(qadzaf) ialah pada persamaan besarnya hukuman, bukan pada persamaan
tujuan seperti yang dikatakan oleh fuqaha-fuqaha Maliki golongan pertama.
Akan tetapi pendapat mereka tidak menimbulkan tanggapan bagi ulama-ulama
madzhab lainnya.
Akan tetapi jika hukuman-hukuman dari jarimah yang bermacammacam itu tidak mempunyai kesatuan tujuan, seperti jika seseorang
melakukan pencurian kemudian melakukan zina, kemudian lagi memfitnah
(qadzaf), maka hukuman-hukuman bagi perbuatan-perbuatan tersebut tidak
saling melengkapi, melainkan dijatuhkan semua. Dengan perkataan lain, di
sini yang dipakai ialah teori berganda biasa.6
2. Teori Penyerapan (Al-Jabbu)
Pengertian penyerapan ialah menjatuhkan suatu hukuman, di mana
hukuman-hukuman yang lain tidak dapat dijatuhkan. Hukuman tersebut dalam
hal ini tidak lain adalah hukuman mati, di mana pelaksanaannya dengan
sendirinya menyerap hukuman-hukuman lain.
6

Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1993, hal. 331-332.

Di kalangan fuqaha belum ada kesepakatan tentang penerapan teori


penyerapan. Imam Malik, Abu Hanifah dan Ahmad memegangi teori tersebut,
sedang Imam Syafii tidak memeganginya. Mereka yang memegangi juga
berbeda pendapat tentang sampai di mana daerah berlakunya.
Menurut Imam Malik, apabila hukuman hadd berkumpul dengan
hukuman mati karena Tuhan, seperti hukuman mati karena jarimah murtad,
atau berkumpul dengan hukuman mati karena qisas bagi seseorang lain, maka
hukuman hadd tersebut tidak dapat dijalankan, karena hukuman mati tersebut
menyerapinya, kecuali hukuman memfitnah saja (qadzaf) yang tetap
dilaksanakan, dengan cara dijilid dahulu delapan puluh kali, kemudian
dihukum mati.
Menurut Imam Ahmad, apabila terjadi dua jarimah hudud, seperti
mencuri dan zina bagi orang-orang muhshan, atau minum dan menggangu
keamanan (hirabah) dengan membunuh, maka hanya hukuman mati saja yang
dijalankan, sedang hukuman-hukuman lain gugur. Jika hukuman hudud
berkumpul dengan hak-hak adami (manusia), di mana salah satunya diancam
hukuman mati, maka hak-hak adami tersebut harus dilaksanakan terlebih
dahulu, dan hak-hak (hukuman karena) Tuhan diserap oleh hukuman mati,
baik hukuman mati ini sebagai hukuman had atau sebagai hukuman qisas. Jadi
apabila seseorang memotong jari orang lain dengan sengaja, kemudian
memfitnahnya, disamping mencuri dan berzina serta membunuh orang lain
maka hukumannya ialah dipotong jarinya sebagai hukuman qisas, kemudian
dijatuhi hukuman had (delapan puluh jilid: di sini lebih ditekankan hak
adaminya), kemudian lagi dibunuh, sedang hukuman-hukuman yang lain
gugur.
Bagi Imam Abu Hanifah, pada dasarnya apabila terdapat gabungan hak
(hukuman-hukuman) manusia dengan hak Tuhan, maka hak manusialah yang
harus didahulukan, karena ia pada umumnya ingin lekas mendapatkan haknya.
Kalau sesudah pelaksanaan hak tersebut, hak Tuhan tidak bisa dijalankan lagi,
maka hak tersebut hapus dengan sendirinya. Jika masih bisa dilaksanakan dan
hak-hak Tuhan tersebut lebih dari satu, maka satu hak (hukuman) saja yang
dijatuhkan, yaitu yang dapat menggugurkan hak-hak (hukuman) yang lain. Hal
8

ini sesuai dengan kata-kata Nabi Saw. :Jauhkan hukuman hudud sedapat
mungkin. Nampaknya, pendapat Imam Abu Hanifah tersebut tidak banyak
berbeda dengan pendapat Imam Ahmad.
Bagi Imam Syafii tidak ada teori penyerapan (Al-Jabbu), dan semua
hukuman harus dijatuhkan, selama tidak saling melengkapi (tadakhul).
Caranya ialah dengan mendahulukan hukuman bagi hak-hak manusia yang
bukan hukuman mati, kemudian hukuman bagi hak Tuhan yang bukan
hukuman mati kemudian lagi hukuman mati. Jika seseorang misalnya yang
bukan muhshan melakukan jarimah-jarimah zina, memfitnah (qadzaf),
pencurian, gangguan keamanan dengan membunuh, maka urutan penjatuhan
hukuman-hukuman tersebut adalah sebagai : hukuman memfitnah (delapan
puluh jilid), kemudian ditahan dulu sampai sembuh untuk kemudian dijatuhi
hukuman zina (seratus jilid), kemudian ditahan lagi agar sembuh untuk
dipotong tangannya karena pencurian, dan kemudian lagi dijatuhi hukuman
mati karena gangguan keamanan. Jika pembuat tersebut mati dalam menjalani
hukuman-hukuman yang sebelumnya, maka hapuslah hukuman-hukuman
berikutnya. Dengan demikian maka Imam Syafii membelakangkan hukuman
mati, karena ia tidak memakai teori penyerapan biasa (al-jabbu).
Sebagian ulama-ulama Syafii nampaknya memakai teori penyerapan,
akan tetapi sebenarnya mereka memakai teori saling melengkapi. Mereka
mengatakan bahwa apabila seseorang melakukan pencurian biasa, kemudian
mengganggu keamanan (dengan membunuh), maka ia tidak dipotong
tangannya, melainkan dijatuhi hukuman mati karena gangguan keamanan. Di
sini dipakai teori saling melengkapi dalam hukuman, sebab kedua perbuatan
tersebut adalah sejenis dan penjatuhan hukuman pada keduanya juga bertujuan
sama, sehingga gangguan keamanan disebut pencurian besar, sedang
pencurian biasa disebut pencurian kecil.7
Dari sekian banyak penjelasan mengenai pendapat para fuqaha, maka
dapat diambil kesimpulan atau dapat diketahui bahwa Para ulama berbeda
pendapat mengenai gabungan dan penyerapan hukuman. Imam Malik,
misalnya, mengenal teori al-takakhul, yaitu apabila seseorang melakukan
7

Ibid., hal. 332-334.

jarimah qadzaf dan minum khamr. Sesudah itu, tertangkap. Menurut teori ini,
hukumannya cukup satu, yaitu delapan puluh kali jilid. Alasannya, karena
jenis dan tujuannya sama. Menurut Imam Malik, Abu Hanifah, dan Imam
Ahmad, hukuman mati itu menyerap semua jenis hukuman. Demikian pula
jika kejahatannya itu berkenaan dengan hak Allah murni. Sedangkan jika
kejahatan itu merupakan gabungan antara hak Allah dan Hak Adami, maka
hukuman yang dijatuhkan adalah hak adami dulu, baru hukuman yang
berkaitan dengan hak Allah. Menurut Imam Syafii, setiap jarimah tidak dapat
digabungkan, melainkan harus dijatuhi hukumannya satu per satu.8
E. Antara Syariat Islam dengan Hukum Positif Tentang Gabungan Jarimah
Baik syariat Islam maupun hukum positif sama-sama memakai teori berganda
terbatas (verscherpte cumulatie) atas dasar fikiran yang sama, yaitu bahwa seseorang
pembuat dapat dimaafkan, ketika ia melakukan jarimah yang kedua, karena ia belum
mendapat hukuman atas jarimahnya yang pertama. Juga kedua-duanya berpendirian
bahwa bergandanya hukuman (berganda biasa) tanpa batas akan menimbulkan hal-hal
yang tidak diterima oleh akal.
Meskipun demikian, penerapan Syariat Islam terhadap teori berganda dengan
pembatasannya lebih teliti, seperti nampak pada hal-hal berikut ini:
1. Teori tentang saling memasuki sebagai jalan pembatasan terhadap bergandanya
hukuman tidak dipakai keseluruhannya, melainkan hanya dipakai untuk satu
jarimah yang berulang-ulang dikerjakan dan untuk jarimah-jarimah yang berbeda
tetapi hukumannya bertujuan sama, sedang untuk jarimah-jarimah lain teori
tersebut tidak dipakai.
Alasannya ialah bahwa untuk tiap-tiap jarimah ada hukumannya sendiri.
Kalau sesuatu jarimah berulang-ulang sebelum mendapat hukuman atas jarimah
yang sebelumnya, maka tidak perlu bergandanya hukuman. Akan tetapi kalau ia
(pembuat) melakukan bermacam-macam jarimah yang berbeda satu sama lain,
maka belum dijatuhkannya hukuman atas jarimah-jarimah terdahulu tidak bisa
menjadi alasan untuk melakukan jarimah berikutnya, karena tiap-tiap jarimah
tersebut sendiri-sendiri dilarang dan diancam dengan hukumannya yang tertentu
8

Al-Ramli, Nihayah al-Muhtaj, VIII, hlm. 172. Lihat Djazuli, Fiqh Jinayah, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, Cet. 2, hlm. 30.

10

pula. Hukuman yang dijatuhkan atas sesuatu jarimah tidak berarti dimaksudkan
pula untuk terhindarnya jarimah-jarimah lainnya, melainkan untuk terhindarnya
jarimah yang sama itu sendiri.
Dalam

menjatuhkan

hukuman

pencurian

misalnya

hal-hal

yang

berhubungan dengan usaha pencegahan pencurian itulah yang menjadi pedoman,


yaitu pemotongan tangan. Demikian pula hukuman pembunuhan sengaja, yaitu
hukuman mati, dimaksudkan untuk mencegah pembunuhan yang sama. Oleh
karena itu hukuman pencurian tidak bisa dijadikan sebagai hukuman pembunuhan.
Dengan demikian maka hukuman pada jarimah-jarimah yang berbeda seharusnya
berganda, dimana untuk masing-masing jarimah pembuat mendapat hukumannya
yang telah ditentukan.
Berbeda dengan pendirian fuqaha-fuqaha tersebut, maka hukum-hukum
positif menganggap bahwa tidak adanya hukuman pada sesuatu jarimah cukup
untuk menjadi alasan untuk diperbuatnya jarimah yang lain, baik kedua jarimah
itu sejenis atau berbeda-beda.
2. Teori saling memasuki yang dipakai oleh fuqaha Islam lebih luas daripada yang
dipakai oleh hukum positif, sebab hukum positif mengenai teori saling memasuki
(penyerapan biasa) hanya dalam satu keadaan saja, yaitu ketika pembuat
melakukan beberapa jarimah untuk maksud yang sama, sedang hubungan antara
jarimah-jarimah tersebut erat sekali sehingga tidak dapat dipisah-pisahkan.
Menurut sarjana hukum positif, sistem penjatuhan hukuman tersebut
dinamakan penyerapan (al-jabbu), dengan alasan bahwa hukuman yang paling
berat itulah yang dijatuhkan. Akan tetapi sistem tersebut sebenarnya lebih tepat
dinamakan saling melengkapi (penyerapan biasa) karena semua jarimah dijatuhi
dengan satu hukuman, sebab penyerapan itu pada dasarnya sesudah ada keputusan
tentang hukuman, sedang saling melengkapi ialah sesudah dan sebelum ada
keputusan hakim.
Di sini kita dapat melihat perbedaan tentang dasar teori saling memasuki
(tadakhul), atau teori penyerapan menurut hukum (positif). Menurut hukum
positif dasar tersebut ialah adanya kesamaan tujuan pada jarimah-jarimah yang
dilakukan oleh pembuat dan yang erat sekali hubungannya satu sama lain. Sedang
11

dasar teori saling memasuki menurut para fuqaha ialah kesamaan tujuan pada
hukuman-hukuman yang dijatuhkan. Atau dengan perkataan lain, teori saling
memasuki pada hukum positif ditempatkan di bawah tujuan yang hendak dicapai
oleh pembuat, sedang dikalangan fuqaha teori tersebut ditempatkan di bawah
tujuan yang hendak dicapai oleh pembuat undang-undang (syariat-syariat).
3. Hukum positif membuat batas tertinggi bagi hukuman yang tidak bisa dilampaui,
bagaimanapun juga banyaknya hukuman yang dijatuhkan. Kebutuhan sematamata yang telah menimbulkan batas tersebut karena hukuman pokok pada hukum
positif ialah hukuman kawalan (penjara) dengan segala macamnya, mulai dari
hukuman kurungan ringan dan hukuman kurungan berat sementara akan menjadi
hukuman seumur hidup, dan umur terhukum akan habis sebelum habis masa
hukumannya. Lain halnya dengan Syariat Islam, yang menjadikan hukuman
potongan dan jilid sebagai hukuman pokok, dan kedua hukuman ini menurut
tabiatnya adalah hukuman sementara, namun tidak akan sampai menjadi hukuman
seumur hidup, dan oleh karena itu maka tidak ada alasan untuk membuat batas
tertinggi bagi hukuman ketika terjadi gabungan jarimah.
Meskipun fuqaha-fuqaha Islam memakai hukuman kawalan (penjara)
sementara untuk beberapa jarimah tertentu sebagai hukuman tazir, namun tidak
perlu membuat batas tertinggi untuk hukuman tersebut sesudah memakai teori
saling memasuki sebab pada hakikatnya seseorang pembuat hanya melakukan
satu macam jarimah atau beberapa jarimah yang sama. Jadi kalau ia melakukan
satu macam jarimah berulang-ulang, maka hanya satu hukuman saja yang
dijatuhkan kepadanya, sesuai dengan teori saling memasuki. Kalau ia melakukan
beberapa macam jarimah yang sama, maka jarimah-jarimah tersebut pada
umumnya tidak lebih dari tiga atau empat macam. Jika masing-masingnya jarimah
tersebut dijatuhi hukuman yang telah ditentukan untuknya maka hukuman tersebut
tidak perlu berupa hukuman kawalan semua. Kalau sekiranya dijatuhkan hukuman
kawalan semua, maka batas tertinggi tidak akan mencapai batas yang tidak masuk
akal, terutama jika diingat bahwa batas tertinggi hukuman kawalan menurut
sebahagian fuqaha, tidak melebihi satu tahun, atau tiga tahun menurut penetapan
para penguasa (ulul-amri).

12

Baik Syariat Islam maupun hukum positif sama-sama mengenal


penyerapan hukuman (al-jabbu) namun terdapat perbedaan dalam penerapannya.
Menurut para fuqaha, teori penyerapan hukuman hanya dipakai apabila hukuman
mati berkumpul dengan hukuman-hukuman lain, seperti yang telah disebutkan di
atas. Pada hukuman positif teori tersebut dipakai dalam dua keadaan, yaitu
berkumpulnya hukuman mati dengan hukuman-hukuman lain yang membatasi
kemerdekaan (kawalan), dimana masa hukuman penjara bukanlah hukuman
pokok dalam Syariat Islam yang masanya juga tidak lama, sehingga tidak
mungkin akan menjadikan hukuman seumur hidup. Memang dalam Syariat Islam
ada sistem hukuman tak terbatas. Akan tetapi hukum ini tidak dipakai sebebasbebasnya, melainkan dibatasi dengan taubat dan kebaikan kembali pribadi
terhukum, sehingga dengan demikian, maka tidak memerlukan batas masa
tertinggi untuk melepaskannya, karena pembebasan terhukuum tergantung pada
keadaan dirinya dan bukan kepada masa tertentu. Baik ia taubat kemudian ia
bebas atau ia tetap menjadi hukuman sampai mati adalah sama saja, sebab tujuan
utama penjatuhan hukuman tersebut ialah memberantas keburukan-keburukannya
dari masyarakat.9

Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1993, hal. 335-

338.

13

You might also like