You are on page 1of 109
KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 933/MENKES/SK/VII/2010 TENTANG PEDOMAN TATA LAKSANA FLU BURUNG DI RUMAH SAKIT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Keputusan _Menteri_ = Kesehatan Nomor Mengingat 155/Menkes/SK/II/2007 tentang: Pedoman Penatalaksanaan Flu Burung di Rumah Sakit sudah tidak sesuai lagi dengan ketentuan mengenai tata laksana flu burung berdasarkan World Health Organization (WHO); b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada butir a perlu menetapkan Pedoman Tata laksana Flu Burung di Rumah Sakit dengan Keputusan Menteri Kesehatan; Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 20, Tambaran Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3273); 2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063); 3. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5072); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1991 tentang Penanggulangan Penyakit Menular (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3447); MENTERI KESEHATAN JBLIK INDONESIA, 5. Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4585); 6. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 560/Menkes/Per/VIII/1989 tentang Jenis _ Penyakit Tertentu yang Dapat Menimbulkan Wabah, Tata Cara Penyampaian Laporannya dan Tata Cara Penanggulangan Seperlunya; 7. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1575/Menkes/Per/XI/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kesehatan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 439/Menkes/Per/VI/2009 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1575/Per/Menkes/XI/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kesehatan; 8. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 147 /Menkes/Per/I/2010 tentang Perizinan Rumah Sakit; 9. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1371/Menkes/SK/IX/2005 tentang Penetapan Flu Burung sebagai Penyakit yang Dapat Menimbulkan Wabah serta Pedoman Penanggulangannya; 10. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 300/Menkes/SK/1V/2009 tentang Pedoman Penanggulangan Episenter Pandemi Influenza; MEMUTUSKAN: Menetapkan KESATU : KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN TENTANG PEDOMAN TATA LAKSANA FLU BURUNG DI RUMAH SAKIT. KEDUA : Pedoman Tata laksana Flu Burung di Rumah Sakit sebagaimana dimaksud dalam Diktum Kesatu tercantum dalam Lampiran Keputusan ini. KETIGA KEEMPAT KELIMA KEENAM TERI KESEHATAN IBLIK INDONESIA Pedoman sebagaimana dimaksud dalam Diktum Kedua agar digunakan sebagai acuan bagi Rumah Sakit dalam memberikan pelayanan kesehatan terhadap _ pasien penderita flu burung. Pembinaan dan Pengawasan pelaksanaan Keputusan ini dilakukan oleh Dinas Kesehatan Propinsi dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Pada saat Keputusan ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 155/Menkes/SK/II/2007 __ tentang Pedoman Penatalaksanaan Flu Burung di Rumah Sakit dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 21 Juli 2010 Lampiran Keputusan Menteri Kesehatan Nomor : 933/MENKES/SK/VI/2010 Tanggal : 21 Juli 2010 PEDOMAN TATA LAKSANA FLU BURUNG DI RUMAH SAKIT I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Flu Burung (Avian Influenza, Al) adalah infeksi yang disebabkan oleh virus influenza A subtipe HSN1 (H-hemaglutinin, N-neuraminidase) yang pada umumnya menyerang unggas (burung dan ayam). Pada buku ini yang dibahas adalah Flu Burung (HSN1) yang disebabkan oleh virus influenza A subtipe HSN1 pada manusia. Menurut para ahli penularan HSN1 dapat berubah menjadi penularan antar manusia bila virus mengalami perubahan genetik melalui mutasi atau percampuran materi genetik HSN1 dengan materi genetik influenza lainnya (re- assortment) membentuk subtipe baru yang dapat menyebabkan terjadinya pandemi. Pada abad 20 telah terjadi 3 kali pandemi influenza yaitu Spanish flu (1918) yang disebabkan influenza A (HIN1) menelan korban 40-50 juta jiwa, 50% diantaranya usia muda dan kematian terjadi beberapa hari setelah terinfeksi. Asian flu (1957) yang disebabkan oleh virus influenza A (H2N2) menimbulkan kematian 1 juta jiwa. Hong Kong flu (1968) yang disebabkan oleh virus influenza (H3N3), menelan korban 1 juta jiwa. Pada tahun 1997 infeksi Flu Burung (HSN1) telah menular dari unggas ke manusia dan sejak saat itu telah terjadi 3 kali KLB infeksi virus influenza A subtipe HSN1. Flu Burung (HSN1) pada manusia pertama kali ditemukan di Hongkong pada tahun 1997 yang menginfeksi 18 orang, diantaranya 6 orang pasien meninggal dunia. Awal tahun 2003 ditemukan 2 orang pasien dengan 1 orang meninggal. Virus ini kemudian menyebar di Asia sejak pertengahan Desember 2003 sampai sekarang. Data Flu Burung (HSN) dunia (WHO, Desember 2009) adalah 477 kasus, 282 kasus meninggal dunia. Di Indonesia terdapat 162 kasus terkonfirmasi dan 134 orang diantaranya meninggal (CFR 82,71 %, Kemenkes RI Desember 2009). Dalam perkembangannya telah terjadi penurunan jumlah kasus Flu Burung (HSN1) pada manusia yaitu tahun 2008 jumlah kasus 28, menurun 42,8 % dibanding dengan tahun 2007 (45 kasus), dant menurun 56,3 % dibanding dengan tahun 2006 (55 kasus) Pada 11 Juni 2009, WHO mendeklarasikan pandemi (fase VI) virus influenza bara HINI, suatu pandemi influenza yang dimulai dari Mexico. Sampai saat ini secara epidemiologis dan virologis belum terdapat penularan antar manusia yang efisien dan berkelanjutan. Di Indonesia, virus ini menyerang ternak ayam sejak Oktober 2003 sampai Februari 2004 dan dilaporkan sebanyak 4,7 juta ayam mati namun belum menyerang manusia. Flu Burung (HSN1) pada manusia di Indonesia terjadi pertama kali pada bulan Juli 2005. Indonesia menempati urutan teratas kasus Flu Burung (HSN1) di dunia dengan jumlah TER! KESEHATAN UUBLIK INDONESIA kasus sampai akhir bulan Desember 2009 sebanyak 162 kasus dengan angka kematian 82,71%. Saat ini H5N1 di Indonesia memasuki fase Ill influenza pandemi yaitu terjadi infeksi dari unggas ke manusia sedangkan penularan dari manusia ke manusia tidak ada atau penularan yang sangat terbatas hanya pada kontak erat. Pedoman Tata laksana Flu Burung (H5N1) di Rumah Sakit merupakan revisi dari Pedoman Penatalaksanaan Flu Burung di Rumah Sakit terdahulu yang ditetapkan dengan Keputusan - Menteri_~—-Kesehatan. —_ Nomor 155/Menkes/SK/II/2007. Pedoman ini dapat dipakai sebagai acuan oleh petugas Kesehatan dalam memberikan pelayanan Klinis kepada pasien Flu Burung (H5N1). Dalam pedoman ini juga dibahas tentang tata laksana sebelum dirujuk ke Rumah Sakit rujukan Flu Burung, Tojuan 1, Tajuan Umum ‘Sebagai acuan tata laksana Flu Burung (HSN1) di rumah sakit dalam rangka meminimalkan kesakitan, kematian dan penyebarannya. 2. Tujuan Khusus a. Memberi informasi tentang pengertian umum Flu Burung (HSN1) dan cara penularannya. b. Memberi petunjuk penegakan diagnosis di rumah sakit. c. Memberi petunjuk pengobatan dan perawatan pasien Flu Burung (HSN1) di rumah sakit. d. Memberi petunjuk pencegahan dan pengendalian infeksi. e. Memberi petunjuk pemulangan pasien Flu Burung (HSN1) yang dirawat dan tindak lanjut. f. Memberi petunjuk tata cara pemulasaraan jenazah pasien Flu Burung (H5N1). g. Memberi petunjuk tentang profilaksis bagi petugas kesehatan. Ruang Lingkup Ruang lingkup pelayanan dalam pedoman ini adalah pelayanan di rumah sakit rujukan dan non rujukan. PENYAKIT FLU BURUNG (H5N1) Epidemiologi WHO melaporkan sejak tahun 2005 sampai dengan tahun 2009 kasus konfirm Flu Burung pada manusia di Indonesia sebanyak 162 terkonfirmasi dengan jumlah kematian 134 orang. Berikut ini adalah data sebaran kasus Flu Burung di Indonesia, sejak pertama kali ditemukan di Indonesia Tabel 1; Data sebaran kasus Flu Burung (H5N1) pada manusia di Indonesia sampai dengan Desember 2009 2007 pra 8437 7 \40 pe 79.41 | 1 (12 {11 [ 90.90! (20 13 55 (45 [42 (37 pis 21 Sumber: Kementerian Kesehatan RI - Catatan: P-Jumlah pasien, M=Jumlah kematian CFR = Case Fatality Rate i ae EPI A [39 fr o 6 6 71.43 | Pt fo 0 fo 0 19 162 134 | 82.71 6 REPUBLIK INDONESIA Gambar 1. Gambaran geografik Flu Burung (HSN1) di Indonesia, Juni 2005 - Desember 2009 (P = Pasien, M = Meninggal) Sumber : Kementerian Kesehatan Penyebaran Geografis Flu Burung Pada Manusia di Indonesia Pemutakhiran Akhir Desember 2009 Gambar di atas menunjukkan bahwa terdapat kasus-kasus terkonfirmasi di 13 provinsi, akan tetapi dari Januari 2009 sampai dengan Desember 2009 hanya terdapat di 7 provinsi yaitu Riau, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, D.1 Yogyakarta, Jawa Timur. B. Etiologi Virus influenza merupakan anggota keluarga Orthomyxoviridae, terdiri dari 3. tipe A, B dan C. Virus influenza tipe A dapat menyebabkan Flu Burung (HSN1), yang dapat menyerang manusia dan hewan, gejala ringan sampai berat, mudah menular dan dapat menyebabkan pandemi. Virus influenza tipe B dapat menyerang manusia tetapi gejala ringan sampai sedang. Pada permukaan virus terdapat 2 glikoprotein, yaitu hemaglutinin (H) dan neuroaminidase (N) yang menentukan subtipe virus influenza A. Hingga saat ini telah ditemukan H1 sampai H16 dan N1 sampai N9. Virus influenza tipe C mempunyai gejala yang ringan dan jarang ditemukan pada manusia. “ERI KESEHATAN !BLIK INDONESIA Virus influenza A subtipe Flu Burung (H5N1) mempunyai sifat_ sebagai berikut : 1. Dapat bertahan hidup di air sampai 4 hari pada suhu 22°C dan lebih dari 30 hari pada suhu 0°C 2. Di dalam tinja unggas dan dalam tubuh unggas sakit, dapat hidup lama, tetapi mati pada pemanasan 60° C selama 30 menit, 56° C selama 3 jam dan pemanasan 80° C selama 1 menit. 3. Mati dengan deterjen/sabun, desinfektan misalnya formalin, karbol, kaporit, kKlorin dan cairan yang mengandung iodin atau alkohol 70%. ‘Transmisi 1. Sumber Penularan Penularan penyakit ini kepada manusia dapat melalui a. Binatang : Kontak langsung dengan unggas atau binatang lain yang sakit atau produk unggas yang sakit. b. Lingkungan : Udara atau peralatan yang tercemar virus tersebut baik yang berasal dari tinja atau sekret unggas yang terserang Flu Burung (HSN1). c. Manusia : Penularan antar manusia sangat terbatas dan tidak efisien. d. Makanan : Mengonsumsi produk unggas mentah atau yang tidak dimasak dengan sempurna di wilayah yang dicurigai atau dipastikan terdapat hewan atau manusia yang terinfeksi H5N1 dalam satu bulan terakhir. 2. Cara Penularan a. Melalui_percikan (droplet transmission), merupakan cara penularan utama. Percik respiratori berukuran besar (>5y1m) yang dikeluarkan pada saat pasien batuk/bersin/bicara. Jangkauan percik ini <1m. b. Melalui kontak (contact transmission), dapat terjadi secara langsung atau tidak langsung. c. Melalui_udara (airborne transmission). Selain percik berukuran besar, pasien juga menyebarkan percik renik (droplet nuclei) berukuran < 5 pm yang dapat melayang jauh (airborne). Percik ini juga dapat timbul pada saat tindakan yang merangsang timbulnya percik renik seperti berikut: i, Intubasi endotrakheal ii, Pemberian terapi dalam bentuk nebulizer atau aerosol. Terapi ini tidak dianjurkan pada pasien Flu Burung (HSN1) jika kewaspadaan airborne tidak dapat dijamin. Bronkhoskopi Pengisapan jalan napas (suction) Trakheostomi Fisioterapi dada Aspirasi nasofaring Ventilasi tekanan positif lewat masker sungkup (contoh: BiPAP, CPAP} ix. High Frequency Oscillatory Ventilation (Ventilasi Osilasi Frekuensi Tinggi) x. Manuver resusitasi Eksisi jaringan paru postmortem. Hasil penyelidikan epidemiologi_terhadap 162 asus _terkonfirmasi menunjukkan faktor yang berperan terjadinya penularan pada manusia antara lain : @ Kontak Unggas 13.6% m Kontak lingkungan tercemar OBelum diketahui 40,1 % 463% 3. Masa Inkubasi dan Masa Infeksius Masa inkubasi rata-rata adalah 3 hari (1-7 hari). Masa infeksius pada manusia adalah 1 hari sebelum, sampai 3-5 hari setelah gejala timbul dan pada anak dapat sampai 21 hari. Masa infeksius pada usia lebih dari 12 tahun dapat berlangsung sampai 7 hari bebas demam dan pada anak kurang dari 12 tahun dapat berlangsung sampai 21 hari setelah muncul gejala pertama. 4, Faktor Risiko Kelompok yang berisiko tinggi terinfeksi Flu Burung (HSN1) adalah mereka yang : a Kontak erat (dalam jarak 1 meter), seperti merawat, melakukan tindakan invasif, berbicara atau bersentuhan dengan pasien suspek, probabel atau kasus H5N1 yang sudah terkonfirmasi. Kontak langsung (misalnya memegang, menyembelih, mencabuti bulu, memotong, mempersiapkan untuk konsumsi) dengan ternak ayam, unggas liar, bangkai unggas. Kontak tidak langsung yaitu berada dalam lingkungan yang tercemar oleh sekret atau kotoran unggas (pasar, peternakan, tempat pemotongan unggas, pengepul unggas) di wilayah yang terjangkit HSN1 dalam satu bulan terakhir. Unggas air (bebek, itik, entok, angsa) merupakan carrier virus HSN1. Mengonsumsi produk unggas mentah atau yang tidak dimasak dengan sempurna di wilayah yang dicurigai atau dipastikan terdapat hewan atau manusia yang terinfeksi HSN1 dalam satu bulan terakhir. Kontak erat dengan binatang lain (selain ternak unggas atau unggas liar), misalnya kucing atau babi yang telah dikonfirmasi terinfeksi HSN1. Memegang / menangani sampel hewan atau manusia yang dicurigai mengandung virus HSN1 dalam suatu laboratorium atau tempat lainnya. D. Patogenesis dan Patofisiologi Pneumonia virus Hasil pemeriksaan patologi postmortem pasien influenza A (HSN1)_menunjukkan terjadi kerusakan jaringan paru yang berat dengan gambaran histopatologi berupa kerusakan alveoli yang luas (diffuse alveolar damage). Pada pemeriksaan mikroskopis umumnya ditemui pneumonitis interstitial disertai sebukan leukosit mononuklear. Terjadi gangguan fungsi paru dan organ tubuh lain yang berat. Proses patologis pada berbagai organ dapat berlanjut mengakibatkan Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS), dan berlanjut menjadi gagal multi organ yang berakhir dengan kematian. E. Gejala Klinis Pada umumnya gejala klinis Flu Burung (HSN1) mirip dengan flu biasa, yang sering ditemukan adalah demam > 38° C, batuk dan nyeri tenggorok. Gejala lain yang dapat ditemukan adalah pilek, sakit kepala, nyeri otot, infeksi selaput mata, diare atau gangguan saluran cerna. Gejala sesak napas menandai kelainan saluran napas bawah yang dapat memburuk dengan cepat. Tabel2 : Manifestasi klinis pada Flu Burung (H5N1) Gejala N % Demam 140/141 99 Sesak [1337740 95 Batuk 126/140 90 Mual 34/131 26 Sakit kepala 24/128 19 Diare 20/130 16 ‘Muntah 28/132 21 Nyeri otot 17/130 13 Nyeri lambung 10/128 Kejang/ Ensefalitis 4/129 3 Konstipasi 17/129 Derajat Penyakit Pasien yang telah dikonfirmasi sebagai kasus Flu Burung (HSN1) dapat dikategorikan menjadi : Derajat1 : _Pasien tanpa pneumonia Derajat2 : _Pasien dengan pneumonia tanpa gagal napas Derajat3: ~_Pasien dengan pneumonia dan gagal napas Derajat4 : ~Pasien dengan pneumonia dan ARDS atau dengan kegagalan organ ganda (multiple organ failure). MENTER! KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA F. Diagnosis (sesuai kriteria WHO 2007) Definisi Kasus Dalam mendiagnosis kasus Flu Burung (H5N1) ada 4 kriteria yang ditetapkan yaitu : 1. Seseorang dalam Investigasi 2. Kasus suspek 3. Kasus probabel 4. Kasus terkonfirmasi 1. Seseorang Dalam Investigasi Seseorang yang telah diputuskan oleh petugas keschatan setempat (untuk rumah sakit oleh dokter setempat) untuk diinvestigasi terkait kemungkinan infeksi Flu Burung (HSN1) Kegiatan yang dilakukan berupa surveilans semua kasus Influenza Like Miness (ILI) dan Pneumonia di rumah sakit serta mereka yang kontak dengan pasien Flu Burung (HSN1) di rumah sakit. Dasar untuk memutuskan orang perlu diinvestigasi adalah bila ada kontak erat dalam waktu kurang dari 7 hari dengan pasien suspek, probabel dan terkonfirmasi Flu Burung (HSN1) atau di sekitar wilayahnya terdapat banyak unggas (ayam, burung, bebek, angsa, entok) yang mati diduga atau terbulkti Flu Burung (HSN 1) 2. Kasus Suspek Flu Burung (HSN1) Seseorang yang menderita demam dengan suhu > 38° C disertai satu atau lebih gejala di bawah ini : a. batuk b. sakit tenggorokan c. pilek d. sesak napas Definisi kasus dari suspek H5N1 diatas dibagi 2 yaitu : a, Seseorang dengan demam 2 38°C dan ILI DAN DISERTAI Satu atau lebih pajanan di bawah ini dalam 7 hari sebelum mulainya gejala: i, Kontak erat (dalam jarak + 1 meter), seperti merawat, berbicara atau bersentuhan dengan pasien suspek, probabel atau kasus HSN1 yang sudah terkonfirmasi ii, Terpajan (misaInya memegang, menyembelih, mencabuti bulu, memotong, mempersiapkan untuk konsumsi) dengan ternak ayam, unggas liar, unggas air, bangkai unggas atau terhadap lingkungan yang tercemar oleh kotoran unggas itu dalam wilayah terjangkit dalam satu bulan terakhir. ERI KESEHATAN, USLIK INDONESIA iii, Mengonsumsi produk unggas mentah atau yang tidak dimasak dengan sempurna dari wilayah yang dicurigai atau dipastikan terdapat hewan atau manusia yang terkonfirmasi H5N1 dalam satu bulan terakhir. iv. Kontak erat dengan binatang lain (selain ternak unggas atau unggas be Tabel 3 liar), misalnya kucing atau babi yang telah terkonfirmasi terinfeksi HS5N1. Memegang/ menangani sampel (hewan atau manusia) yang dicurigai mengandung virus HSN1 dalam suatu laboratorium atau tempat lainnya. ‘Seseorang dengan demam 2 38°C dan ILI DAN DISERTAI Keadaan di bawah ini: Leukopeni dan tampak gambaran pneumonia pada foto toraks. : Gambaran laboratorium dan radiologi pada pasien Flu Burung ‘Temuan Laboratorium N % TLeukopenia 115 82.1% (115/140)* Limfositopenia 38 32.8% (38/116)" Thrombositopenia 69.4% (91/ 133)" Temuan Radiologi Pneumonia 99.2% (132/133)* 55.% (74/133)" “Deberapa data tidak tercatat DAN DISERTAI Satu atau lebih dari pajanan di bawah ini dalam 7 hari sebelum mulainya gejala foto toraks menggambarkan pneumonia yang cepat memburuk pada serial foto. - Kontak erat (dalam jarak + 1 meter), seperti merawat, berbicara atau bersentuhan dengan pasien suspek, probabel atau kasus H5N1 yang sudah konfirmasi. - Terpajan (misalnya memegang, menyembelih, mencabuti bulu, memotong, mempersiapkan untuk konsumsi) dengan ternak ayam, unggas liar, bangkai unggas atau berada di lingkungan yang tercemar oleh kotoran unggas itu dalam wilayah di mana infeksi dengan HSN1 pada hewan atau manusia telah dicurigai atau dikonfirmasi dalam bulan terakhir. = Mengonsumsi produk unggas mentah atau yang tidak dimasak dengan sempurna di wilayah yang dicurigai atau dipastikan terdapat hewan atau manusia yang terinfeksi HSN1 dalam satu bulan terakhir. TERI KESEHATAN IBLIK INDONESIA - Kontak erat dengan binatang lain (selain ternak unggas atau unggas liar), misalnya kucing atau babi yang telah dikonfirmasi terinfeksi HSN1. - Memegang/ menangani sampel (hewan atau manusia) yang dicurigai mengandung virus H5NI dalam suatu laboratorium’ atau tempat lainnya. + ditemukan leukopeni (nilai hitung leukosit di bawah nilai normal). = ditemukan adanya titer antibodi terhadap H5 dengan pemeriksaan uji HI menggunakan sel darah merah kuda atau uji ELISA untuk influenza A tanpa subtipe. - foto toraks menggambarkan pneumonia yang cepat memburuk pada serial foto. = Seseorang yang mempunyai gejala ILI secara klinis dan radiologis yang cepat mengalami perburukan meskipun riwayat kontak tidak jelas. 3. Kasus Probabel HSN1 Kriteria kasus suspek ditambah dengan satu atau lebih keadaan di bawah ini : a. ditemukan kenaikan titer antibodi terhadap HS pada masa akut dan konvalesen, minimum 4 kali, dengan pemeriksaan uji HI menggunakan eritrosit kuda atau uji ELISA. b. hasil laboratorium terbatas untuk influenza HS (terdeteksinya antibodi spesifik HS dalam spesimen serum tunggal) menggunakan uji netralisasi (dikirim ke laboratorium rujukan) Atau Seseorang yang meninggal karena suatu penyakit saluran napas akut yang tidak bisa dijelaskan penyebabnya yang secara epidemiologis berkaitan dengan aspek waktu, tempat dan pajanan terhadap suatu kasus probabel atau suatu kasus H5N1 yang terkonfirmasi. 4. Kasus HSN1 terkonfirmasi Seseorang yang memenuhi kriteria kasus suspek atau probabel DAN DISERTAT Satu dari hasil positif berikut ini yang dilaksanakan dalam suatu laboratorium influenza, yang hasil pemeriksaan HSN1-nya : a. Hasil PCR HS positif. b. Peningkatan >4 kali lipat titer antibodi netralisasi untuk H5N1 dari spesimen konvalesen dibandingkan dengan spesimen akut (diambil <7 hari setelah awitan penyakit), dan titer antibodi netralisasi konvalesen harus pula >1/80. ¢. Isolasi virus HSN1 d. Titer antibodi mikronetralisasi HSN1 >1/80 pada spesimen serum yang diambil pada hari ke >14 setelah awitan penyakit disertai hasil positif uji serologi lain, misalnya titer HI sel darah merah kuda >1/160 atau western blot spesifik H5 positif, B MENYERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA Langkah Diagnostik Diagnosis Banding Diagnosis banding disesuaikan dengan tanda dan gejala yang ditemukan. Penyakit dengan gejala hampir serupa yang sering ditemukan antara lain: -Pneumonia yang disebabkan oleh virus lain, bakteri atau jamur - Demam Berdarah ~ Demam Typhoid ~ HIV dengan infeksi - Leptospirosis - Tuberkulosis Paru Tabel4 : Diagnosis banding antara Demam Berdarah dan Flu Burung (HS5N1) Parameter Demam Berdarah iu Burung (H5N1) Onset demam Mendadak Perlahan-lahan Derajat Panas Tinggi Tinggi Batuk Jarang Sering ‘Nyeri tenggorok Jarang Sering Sakit kepala Sering Sering Pembesaran hati Sering Jarang Tes torniket Positif Negatir Leukosit Menurun Menuran Limfosit Normal atau meningkat Menuran Hitung trombosit Pada tahap awal penurunan|Pada tahap __awal hitung trombosit cenderung | penurunan hitung lebih cepat dan lebih sering| trombosit _cenderung terjadi lebih lambat Hemokonsentrasi Meningkat >20% dari nilai | Tidak terjadi dasar | Pneumonia Jarang Sering Bfusi pleura Sering, terutama pada anak | Di Indonesia ditemukan dengan DSS 55% Syok Lebih sering Kadang-kadang Edema pare Jarang edema para Sering, edema paru Non kardiogenik 4 MEN“ERI KESEHATAN IK INDONESIA Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis banding tergantung indikasi, antara lain: Dengue blot IgM, IgG atau NS1 Dengue untuk menyingkirkan’ diagnosis demam dengue Biakan sputum dahak, darah dan urin. IgM Salmonella, biakan Salmonella, uji Widal untuk menyingkirkan diagnosis demam tifoid. Pemeriksaan anti HIV. Pemeriksaan dahak mikroskopik Basil Tahan Asam (BTA) dan biakan mikobakterium, untuk menyingkirkan TB Paru. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk tujuan mengarahkan diagnostik ke arah kemungkinan Flu Burung (H5N1) dan menentukan berat ringannya derajat penyakit. Pemeriksaan yang dilakukan adalah A. Pemeriksaan Laboratorium non Spesifik Pemeriksaan Hematologi Setiap pasien yang datang dengan gejala Klinis seperti di atas dianjurkan untuk sesegera mungkin dilakukan pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan darah rutin yaitu hemoglobin, hematokrit, leukosit, trombosit, hitung jenis leukosit, limfosit total. Umumnya ditemukan leukopeni, limfositopeni dan trombositopeni. Pada kasus Flu Burung (HS5N1) di Indonesia ditemukan leukopenia pada 115 kasus (82,1%) trombositopenia pada 91 kasus (69,4%) dan limfositopenia pada 38 kasus ( 32,8%). Pemeriksaan Kimia darah Albumin, Globulin, SGOT, SGPT, Ureum, Kreatinin, Kreatin Kinase, Analisis Gas Darah, C-Reaktif Protein atau Prokalsitonin (bila memungkinkan dan tersedia). Umumnya dijumpai penurunan albumin, peningkatan SGOT dan SGPT, peningkatan ureum dan kreatinin, peningkatan kreatin kinase, pemeriksaan laktat. Analisis gas darah dapat normal atau abnormal. Kelainan laboratorium sesuai dengan perjalanan penyakit dan komplikasi yang ditemukan. Pemeriksaan Laboratorium Spesifik Spesimen aspirasi nasofaringeal, serum. apus hidung, tenggorok atau cairan tubuh lainnya seperti : cairan pleura, cairan ETT (Endotracheal Tube), usap dubur pada kasus anak dan jika ada diare hal ini digunakan untuk konfirmasi diagnostik. Diagnosis Flu Burung (HS5N1) dibuktikan dengan a Uji RT-PCR (Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction) untuk HS yang primernya spesifik untuk isolat virus HSN1 Indonesia. Peningkatan >4 kali lipat titer antibodi netralisasi untuk HSN1 dari spesimen konvalesen dibandingkan dengan spesimen akut (diambil <7 hari setelah awitan gejala penyakit), dan titer antibodi netralisasi konvalesen harus pula >1/80. TERI KESEHATAN SLIK INDONESIA 3. Titer antibodi mikronetralisasi HSN1 21/80 pada spesimen serum yang diambil pada hari ke >14 setelah awitan (onset penyakit) disertai hasil positif uji serologi lain, misalnya titer HI sel darah merah kuda 21/160 atau westem blot spesifik H5 positif. 4, Isolasi virus HSN1 Pemeriksaaan laboratorium lainnya untuk tata laksana pasien tergantung gejala Klinis yang timbul. Pada umumnya pemeriksaan hematologi dan Kimia klinik adalah pemeriksaan yang tersering yang dilakukan pemeriksaan hemostasis seperti Protrombin Time (PT), Activated Partial Thromboplastin Time (APTT), D-dimer dilakukan pada tersangka Disseminated Intravascular Coagulation (DIC). Penting untuk mengetahui kapan virus dapat terdeteksi, sehingga jenis pemeriksaan laboratorium dapat disesuaikan dengan perjalanan penyakit sesuai dengan gambar terlampir. Pemeriksaan RT-PCR dan deteksi antigen dapat dilakukan pada minggu pertama setelah inkubasi, dan titer antibodi pada umumnya mulai meningkat setelah minggu pertama, entivody detection a ——S igen detection /cuture antivedy reponse: 6-43-2101 234667 6 9101112131415161718192021 22232425 Daye oiter onget oF uinese Gambar 2. Viral Shedding dan respon antibodi pada infeksi Influenza A HSN1 a. Pemeriksaan Radiologi Pemeriksaan foto toraks PA dan Lateral harus dilakukan pada setiap pasien tersangka Flu Burung (H5N1) Pemeriksaan foto toraks, dilakukan : a. Diruang gawat darurat pada saat masuk b. Di ruang isolasi setiap hari sebaiknya pada waktu yang sama, pasien probabel dan konfirm, dilakukan 2 kali sehari, pagi dan sore secara berkala dengan kondisi foto yang sama agar dapat dibandingkan sebagai serial foto c. Pada kondisi tertentu seperti setelah pemasangan ETT, Central Venous Catheter (CVC), Water Sealed Drainage (WSD) d. Sebelum pasien dipulangkan e. Pada saat kontrol , foto dilakukan hanya bila ada keluhan saluran pernapasan. “6 MENTERI KESEHATAN IK INDONESIA Semua foto sebailnya dinilai oleh spesialis radiologi dengan melampirkan foto lama untuk perbandingan. Foto toraks tersebut berguna antara lain : * Mendeteksi - Status kardiopulmoner = Pneumonia - Luas lesi > minimal, sedang atau berat - Edema paru - Abnormalitas pleura + Posisi ETT dan CVC - Komplikasi penggunaan ETT dan CVC seperti pneumotoraks, pneumomediastinum maupun atelektasis * Penentuan derajat ARDS * Evaluasi hasil pengobatan GAMBARAN RADIOLOGI - Pada fase awal foto toraks dapat normal. - Pada fase lanjut ditemukan ground glass opacity, __konsolidasi homogen atau heterogen pada paru, dapat unilateral atau bilateral. - Lokasi dapat mengenai semua lapangan, tetapi yang __tersering di lapangan bawah. + Serial foto harus dilakukan karena perjalanan penyakitnya progresif. - Diagnosis banding : + Edema paru + 1B + Pneumonia lainnya Di Indonesia, gambaran pneumonia didapatkan pada 132 kasus (99.2%) dan efusi pleura pada 74 kasus (55%) Pemeriksaan CT SCAN Toraks : Pemeriksaan CT Scan dapat dipertimbangkan untuk pasien-pasien dengan gejala klinis Flu Burung (H5N1) tapi hasil foto toraks normal. Teknik CT Scan Toraks : Potongan tipis tanpa kontras untuk mengidentifikasi stadium awal sehingga dapat dilakukan penanganan lebih dini dan dapat diketahui adanya sekuele apabila pasien sudah sembuh. KESEHATAN JSLIK INDONESIA Pemeriksaan CT Scan bukan merupakan pemeriksaan standar untuk kasus Flu Burung (HSN1). Contoh-contoh Kasus : 1. In/ 15th, demam, kontak (+) , Lab HSN1 (+) 1x, foto toraks normal(gambar 1a). CT scan Toraks normal (gambar 1b). Gambar la gambar Ib 2. Ar/18th, Klinis demam, kontak (+) > ibu + H5N1 (+), Lab Leukopeni, HSN1 (+) Dari hasil foto toraks pertama, tampak konsolidasi minimal parakardial kanan (gambar 2a), yang bertambah jelas pada foto berikutnya di hari yang sama (gambar 2c). CT scan toraks tampak konsolidasi letaknya di anterior dan posterior kanan bawah dengan air bronchogram (+), (gambar 2c,d,e), disertai efusi pleura kanan minimal (gambar 21). Lesi di paru kiri_atas yang tidak terlihat pada foto toraks pada hari yang sama terlihat jelas dengan CT scan toraks berupa ground glass opacity segmen (gambar 21) Setelah pasien dinyatakan sembuh, PCR (-), klinis membaik, Foto toraks normal (2h), tetapi dari CT scan toraks tampak lesi di kedua paru (gambar 2i,j ) Gambar 2a Gambar 2e Gambar 2f Gambar 2g Gambar 2h Gambar 2i Gambar 2j ERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA 3. Wanita 38 tahun dengan klinis demam, serangan sesak nafas akut, anak perempuan dinyatakan (+) HSN1 , dari foto toraks didapat gambaran konsolidasi homogen bilateral sesuai dengan’ ARDS (gambar 3a), pada foto serial setelah Pemasangan ETT konsolidasi berkurang( 3b). Hari ke 12 setelah dinyatakan sembuh dan PCR (-), foto toraks konsolidasi kanan Kiri heterogen (gambar 3C), dari CT Scan toraks konsolidasi heterogen S6 kanan Kiri, ground glass opacity) paru bawah bilateral (gambar 3d,e) . hari ke 22 sebelum pulang foto toraks normal (gambar 31), CT scan toraks menununjukkan retikular opacity paru bawah bilateral (gambar 3g.) Gambar 3a gambar 3b Gambar 3d Gambar 3e Gambar 3f c. Pemeriksaan Post Mortem Pada pasien yang meninggal sebelum diagnosis Flu Burung (HSN1) ditegakkan , dianjurkan untuk mengambil sediaan postmortem dengan jalan biopsi pada mayat (nekropsi), spesimen dikirim untuk pemeriksaan patologi anatomi dan PCR. Jika tidak memungkinkan harus diambil spesimen lain misalnya : cairan pleura, cairan dari ETT, hapus hidung, hapus tenggorok, usap dubur. Il. TATA LAKSANA MEDIK DI RUMAH SAKIT RUJUKAN A. Pada dasarnya tata laksana Flu Burung (H5N1) sama dengan influenza yang disebabkan oleh virus yang patogen pada manusia. ‘TATA LAKSANA DI POLIKLINIK DAN IGD a, TATA LAKSANA DI POLIKLINIK Melakukan anamnesis gejala dan kemungkinan terdapat dalam kelompok yang beresiko tinggi. Pasien dengan risiko tinggi untuk Flu Burung, pasien dikirim ke ruang triase Flu Burung (HSN1) untuk dievaluasi lebih lanjut oleh tim Flu Burung (HSN1) b. TATA LAKSANA DI IGD Bila ada informasi rujukan p: atau fasilitas kesehatan lainn adalah sebagai berilcut 1, Dokter yang merujuk berkonsultasi dengan dokter jaga IGD rumah sakit rujukan en suspek Flu Burung (HSN1) dari rumah sakit , maka langkah-langkah yang harus ditempuh 2. Dokter jaga IGD rumah sakit rujukan berkonsultasi dengan tim Flu Burung (HS5N1) rumah sakit rajukan. 3. Dokter tim Flu Burung (HSN1) rumah sakit rujukan berkomunikasi dengan dokter yang akan merujuk mengenai gejala Flu Burung (H5N1), nilai leukosit dan gambaran foto toraks. B. MENTERI KESEHATAN RESUBLIK INDONESIA 4. Pasien suspek Flu Burung (HSN1) segera dikirim ke rumah sakit rujukan terdekat bila layak transpor. Jika tidak layak transpor dilakukan stabilisasi dan isolasi sesuai dengan buku pedoman ini sambil tetap berkomunikasi dengan tim Flu Burung (HSN1) rumah sakit rujukan. 5. Pasien tanpa rujukan lakukan anamnesis dan pemeriksaan di tempat terpisah / triase khusus Flu Burung (HSN1). Bila ternyata pasien suspek dikirim ke ruang isolasi Flu Burung (H5N1). 6. Pasien anak yang didampingi orang tuanya maka orang tuanya harus tetap memakai APD sesuai protap. EVAKUASI KE RUANG ISOLASI Pasien dipindahkan dengan brankar atau kursi roda dan memakai masker bedah. Petugas kesehatan memakai APD (lihat Bab VII. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi). TATA LAKSANA DI RUANG ISOLASI 1. Penilaian Klinis Perhatikan keadaan umum, kesadaran, tanda vital (tekanan darah, nadi, frekuensi napas, suhu). Pantau saturasi oksigen dengan pulse oxymetry. 2. Pemeriksaan penunjang Lakukan pemeriksaan penunjang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi pasien. ‘Terapi definitif (antiviral) ‘Terapi suportif dan simptomatik: terapi oksigen, terapi cairan, nutrisi adekuat a Antipiretik pilihan pertama adalah parasetamol. Salisilat tidak boleh diberikan pada anak < 18 tahun karena dapat menyebabkan Reye Syndrome, kelainan pada hati dan otak yang ditandai dengan gejala neurologis (letargi, kejang, penurunan kesadaran hingga koma) yang terjadi dengan cepat. Antipiretik golongan Non-Steroidal Anti- Inflammatory Drugs (NSAID) termasuk ibuprofen tidak boleh diberikan bila ada riwayat atau gejala perdarahan saluran cerna. Terapi psikologik untuk mengatasi kecemasan pasien dan stigma. 5. Terapi lainnya : 5.1 Antibiotika Selama pneumonia akibat kuman dari luar rumah sakit (Pneumonia Komunitas) belum dapat disingkirkan, maka antibiotik dapat diberikan. Pemilihan antibiotika secara empirik berdasarkan dugaan kuman penyebab tersering sesuai dengan pola kuman dan kepekaan setempat. Seperti kita ketahui jika terdapat pneumonia kita harus mulai memberikan antibiotika dalam waktu kurang dari 4 jam. Jika tidak ditemukan kuman pada kultur maka antibiotik harus dihentikan. 5.2 Bila tidak tersedia dianjurkan sebagai berikut: a. Amoksisilin merupakan pilihan pertama untuk antibiotik oral pada anak < 5 tahun karena efektif melawan sebagian besar patogen yang menyebabkan pneumonia pada anak, ditoleransi dengan baik, dan murah. Alternatifnya adalah ko-amoksiklav, ceflacor, eritromisin, claritromisin, dan azitromisin b. Karena M. pneumoniae lebih prevalen pada anak yang lebih tua, antibiotik golongan makrolide diberikan sebagai pilihan pertama secara empiris pada anak > 5 tahun. c. Makrolide diberikan jika M. pneumoniae atau C. pneumonia dicurigai sebagai penyebab d. Amoksisilin diberikan sebagai pilihan pertama jika sangat mungkin disebabkan oleh S. pneumoniae e. Jika S. aureus dicurigai sebagai penyebab, diberikan makrolide atau kombinasi flucloxacillin dengan amoksisilin f, Antibiotik yang diberikan per oral adalah aman dan efektif untuk anak dengan pneumonia g. Antibiotik intravena diberikan pada pasien pneumonia yang tidak dapat menerima obat per oral (misal karena muntah) atau termasuk dalam derajat pneumonia berat h, Antibiotik intravena yang dianjurkan adalah: _ co-amoxiclav, cefuroxime, dan cefotaxime. Jika gejala klinis dan hasil kultur mendukung S. pneumoniae sebagai penyebab, amoksisilin, ampisilin, atau penisilin saja dapat diberikan i, Pemberian antibiotik oral harus dipertimbangkan jika terdapat perbaikan setelah mendapat antibiotik intravena. Apabila diduga terjadi Hospital Acquired Pneumonia (HAP), maka antibiotik harus disesuaikan dengan pola kuman dan uji kepekaan rumah sakit setempat. Pemberian antibiotika sebagai profilaksis tidak dianjurkan. Steroid Pemberian kortikosteroid secara rutin tidak dianjurkan karena belum ada uji Klinis, bahkan berpotensi merugikan yaitu dapat memperpanjang masa replikasi virus dan meningkatkan risiko infeksi oportunistik, Kortikosteroid diberikan pada syok yang tidak responsif dengan terapi cairan dan obat golongan vasopressor . Pada keadaan tersebut di atas, kortikosteroid dipertimbangkan untuk diberikan: a. Dewasa: Hidrokortison 200-300 mg/hari atau _padanannya metilprednisolon 0,5 - 1 mg/kgBB/hr dibagi dalam 3 - 4 dosis dalam 24 jam (dalam dosis terbagi setiap 8 - 6 jam) b, Anak: Hidrokortison 2 mg/kgBB IV Atau padanannya Dexamethason 0,5 mg/kg BB setiap 8 jam atau Metilprednisolon 1-2 mg/kgBB IV setiap 6 jam, a3 ENTER! KESEHATAN RESUBLIK INDONESIA Catatan: Sebagai alternatif lain dapat diberikan dengan dosis awal 50 mg/kgBB/dosis, dan apabila diperlukan diulang dalam infus drip selama 24 jam. 5.3 Immunomodulator Hingga saat ini belum ada bukti klinis tentang manfaat imunomodulator pada pasien Flu Burung (H5N1). Kriteria Masuk ICU 6.1 Untuk pasien dewasa Semua pasien yang memenuhi kriteria sepsis berat dan syok septik : Acute Lung Injury (ALI), Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS). Sepsis berat adalah sepsis disertai salah satu gangguan fungsi- fungsi organ, seperti dibawah ini: 1. Hipotensi : Tekanan darah sistolik < 90 mmHg atau penurunan > 40 mmHg atau mean arterial pressure (MAP) < 65 mmHg 2. Hiperlaktatemia: laktat serum 2 2 mmol/L (18 mg/dL) 3. Renal: peningkatan akut kreatinin serum > 176,8 mmol/L (2,0 mg/dL) atau pengeluaran urine < 0,5 mL/kg/jam selama > 2 jam 4. Paru: Acute Lung Injury (ALI) dengan PaO2/FIO2 < 300 mmHg (P/F rasio) 5. Liver: peningkatan akut bilirubin > 34,2 umol/L (2 mg/dL) 6. Trombositopenia: penurunan akut dari jumlah trombosit menjadi < 100 000 7. Koagulopati: International Normalized Ratio (INR) > 1,5 atau partial thromboplastin time (aPTT) > 60 detik Syok septik adalah hipotensi yang diinduksi oleh sepsis (definisi di atas) yang tidak bisa diatasi dengan resusitasi cairan yang adekuat. Acute Lung Injury (ALI) berdasarkan kriteria definisi dari American- European Consensus Conference adalah, onset akut hipoksemia (P/F rasio s 300 mmHg) dan infiltrat radiologis diffuse yang utamanya bukan disebabkan oleh payah jantung. Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) adalah bentuk ALI yang berat dengan P/F rasio s 200 mmHg Kriteria Intubasi dan Penggunaan Ventilator Intubasi dan pernapasan buatan mengikuti kriteria Pontoppidan seperti tabel dibawah ini : MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA Tabel 5 Gangguan fungsi napas yang memerlukan perawatan intensif Tindakan Fisioterapi dada Intubasi Harga Terapi oksigen | Napas Buatan Normal Observasi ketat (an Mekanik Frekuensi Napas 12-25 25-35 >35 Kapasitas Vital (VC = ml/KgBB) 30-70 15-30 <15 Kekuatan Inspirasi (cm #20) 50 - 100 25-50 <25 FEV] (ml/KgBB) 50 - 60 10 - 50 <10 Compliance(ml/cmHz0) | 50 - 100 + - Oksigenasi PaQs (torr) < 60 pada FIO2 = dengan FIO2 = 0,21 75 - 100 <75 0,6 (dengan Sa0z atau SpO2 (%) 95 - 98 <95 masker) PaO2/FiO2 500 300 - 400 <90 AaDO2 (torr) < 300 dengan F102 = 1,0 50 - 200 200 - 350 QS/Qr (%) 5 > 350 > 20 Ventilasi | PaCOz (torr) 35-45 | 45-55 > 55 vb/vT 0,25 - 0,40 0,40 - 0,60 > 0,60 a. Bila memasuki kriteria untuk tindakan observasi ketat, fisioterapi b, dada dan terapi oksigen sebaiknya penderita sudah dirujuk ke ICU, Bila terjadi kecenderungan perburukan dalam waktu kurang dari 6 jam, yang menunjukkan kebutuhan oksigen yang semakin ‘meningkat untuk mendapatkan Sa02 > 95%. 6.2 Kriteria Masuk ICU untuk pasien anak : Distress napas ditandai dengan meningkatnya upaya napas dan pemakaian otot-otot pernapasan tambahan sehingga dapat ditemukan napas cepat, retraksi epigastrium, _ interkostal, suprasternal dan pernapasan cuping hidung, disertai analisis gas aw ISLIK INDONESIA darah : PaO, < 50-60 mmHg, PaCO2 > 55-60 mmHg atau peningkatan cepat > 5 mmHg/jam b. Gagal napas, ditandai dengan penurunan kesadaran, penurunan respon terhadap rangsang fisik takikardia / bradikardia hebat, kolaps perifer, merintih, takipnea, apnea, penurunan suara napas, upaya napas melemah, hilang kemampuan untuk -menangis. Analisis gas darah : PaO2 < 50 mmHgPaCO2 > 60 mmHg, dan Rasio PaO2/FiO2 :< 300 c. Gangguan hemodinamik yang membutuhkan pemantauan ketat atau tindakan invasif, Gejala awal syok pada anak adalah penurunan perfusi organ vital yang mencakup penurunan status mental, waktu pengisian kapiler memanjang, nadi perifer lemah, akral dingin dan lembab serta oligouria. Jika lebih lanjut, akan terjadi penurunan tekanan darah (hipotensi) dan penurunan tekanan rata-rata arterial (MAP/Mean Arterial Pressure). Nilai referensi tekanan darah dan denyut jantung anak dapat dilihat pada lampiran. d. Nilai GCS kurang dari 12. Cara pengukuran skala koma Glasgow pada anak dapat dilihat pada lampiran. e. Kejang yang tidak teratasi dengan antikonvulsan lini ke dua, lama kejang lebih dari 30 menit atau dibutuhkan infus midazolam atau thiopental. f. Inflamasi sistemik dan gagal organ. Batasan inflamasi sistemik dan gagal organ pada anak dapat dilihat pada lampiran. ‘Tabel 6. Pemeriksaan Laboratorium dan Radiologi Pemeriksaan Hari I fi pig Iv v Hi x T x Hematologi x/[x[x {|x [xX PCR x [x [x Serologi Br x Pemeriksaan foto toraks dan analisa gas darah (AGD) dilakukan secara berkala, minimal satu kali setiap 24 jam. D. Antiviral 1. Pengobatan Obat antiviral ada yang bekerja sebagai penghambat neuramidase seperti oseltamivir dan zanamivir sedangkan Amantadin dan Rimantadin menghambat M2 protein. Antiviral harus diberikan secepat mungkin begitu pasien ditetapkan sebagai suspek Flu Burung (HSN1). Berdasarkan data dari 141 kasus di Indonesia, pada 35 pasien yang tidak diberi antiviral 100% meninggal dan 100 pasien ab yang diberi oseltamivir 25% hidup. Dapat dipertimbangkan pemberian dosis 2 kali lebih besar dan waktu yang diberikan lebih panjang untuk kasus pneumonia berat dan progresif. Hasil dari penclitian LITBANG Kementerian Kesehatan pasien Flu Burung (H5N1) jika tidak diberikan osetalmivir angka kematian 100% dan jika diberikan angka kematian 72%. Antiviral diberikan secepat mungkin (memberikan efek terbaik dalam 48 jam pertama, meskipun sudah terlambat tetap diberikan) a. Dewasa atau Berat Badan > 40kg : Oseltamivir 2x75 mg per hari selama 5 hari. b. Anak 2 1 tahun dosis oseltamivir 2 mg/kgBB, 2 kali sehari selama 5 hari c. Dosis oseltamivir dapat diberikan sesuai dengan berat badan sbb : > 40 kg 75 mg 2x/hari > 23-40 kg 60 mg 2x/hari > 15-23 ke 45 mg 2x/hari s15kg 30 mg 2x/hari b. Penggunaan oseltamivir pada perempuan hamil diberikan pada awal pengobatan, dengan diberikan penjelasan dulu serta dipantau sampai melahirkan. c. Antiviral lain ; karena oseltamivir sudah terdapat laporan resistensi, Zanamivir efektif untuk influenza musiman, dapat diberikan untuk bayi dibawah satu tahun dan dapat diberikan pada wanita hamil atau menyusui. Tentang Zanamivir, sudah disesuaikan dengan keputusan badan POM. d. Obat antiviral lainnya yang tersedia di Indonesia adalah Amantadin tidak direkomendasikan Karena dari data LITBANG KEMENTERIAN KESEHATAN menunjukkan bahwa 80% kasus Flu Burung (HSN1) di Indonesia sudah resisten terhadap Amantadin. 2. Profilaksis Perlu diwaspadai kemungkinan terjadinya penularan dari manusia ke manusia, namun penggunaan profilaksis oseltamivir sebelum terpajan tidak dianjurkan. Rekomendasi saat ini oseltamivir diberikan pada petugas yang terpajan pada pasien yang terkonfirmasi dengan jarak < 1 m tampa menggunakan APD. Bagi mereka yang terpajan lebih 7 hari yang lalu, profilaksis tidak dianjurkan. Kelompok risiko tinggi untuk mendapat profilaksis adalah : Petugas kesehatan yang kontak erat dengan pasien suspek atau konfirmasi HSN1 misalnya pada saat intubasi atau melakukan suction trakea, memberikan obat dengan menggunakan nebulisasi, atau menangani cairan tubuh tanpa APD yang memadai. Termasuk juga petugas lab yang tidak menggunakan APD dalam menangani sampel yang mengandung virus HSN1. ‘Anggota keluarga yang kontak erat dengan pasien konfirmasi terinfeksi HSN1. Dasar pemikirannya adalah kemungkinan mereka juga terpajan terhadap lingkungan atau unggas yang menularkan penyakit. 27 Profilaksis 1x75 mg diberikan pada kelompok risiko tinggi terpajan sampai 7-10 hari dari pajanan terakhir. Penggunaan profilaksis jangka panjang dapat diberikan maksimal hingga 6-8 minggu. E. Pengobatan lain Terapi lainnya seperti terapi simptomatik, vitamin, dan makanan bergizi. IV. TATA LAKSANA KLINIS PASIEN FLU BURUNG (H5N1) PRA RUMAH SAKIT RUJUKAN Tata laksana Klinis Flu Burung (HSN1) Pra Rumah sakit Rujukan 1, Pasien sesuai kriteria suspek Flu Burung (HS5N1) langsung diberikan oseltamivir peroral, lalu dirujuk ke RS rujukan Flu Burung (H5N1). Tata cara rujukan : 3. Dalam tatalaksana pasien harus menerapkan prinsip kewaspadaan baku (standard precaution) ALUR PASIEN Puskesmas |———»}_ RS Non Rujukan RS Rujukan Poli/IGD [——__*| POLI/IGD/ ISOLASI ICU Flu wal Kamar Burung Jenazah B. Rujukan Pasien 1, Rumah sakit atau Puskesmas yang merujuk harus menyampaikan informasi kepada rumah sakit rujukan tentang: a, Riwayat kontak dengan unggas : ada atau tidak h. a Keadaan Umum Kesadaran Tanda vital (Suhu, Frekuensi nadi, Tekanan Darah, Frekuensi pernapasan). Pemeriksaan fisik (keseluruhan dari kepala ke kaki) Sudah mendapat oseltamivir atau belum Disarankan dilengkapi dengan Pemeriksaan pulse oxymetry : saturasi oksigen < 90% atau >90% (tanpa oksigen) Pemeriksaan rontgen foto toraks PA/ lateral Pemeriksaan leukosit < 5000 m3/LPB atau >5000 m3/LPB Prosedur merujuk : a. b. ic e. os g Dokter pengirim memberikan penjelasan kepada keluarga tentang keadaan penyakit pasien Bila pasien belum mendapat oseltamivir sebelum dirujuk, diberikan oseltamivir dalam jumlah cukup sampai ke rumah sakit rujukan. Pasien menandatangani informed consent untuk bersedia mengikuti segala prosedur penanganan medis Flu Burung (HSN1). Lembar informed consent ditandatangani juga oleh keluarga, dokter dan petugas. Pasien diberi masker bedah 2 lapis dan bila harus memakai Oksigen maka masker dibuka dan diberikan oksigen selama perjalanan Petugas menggunakan masker bedah 2 lapis dan sarung tangan (sebaiknya petugas memiliki pengetahuan tentang Basic Life Support dan Pengendalian Infeksi). Seluruh dokumen medik pasien disertakan pada saat pengiriman (foto rontgen, hasil laboratorium, dll). Untuk pasien bayi dan anak harus ada yang mengantar (keluarga). C. Pasien Datang Sendiri Pasien datang ke poliklinik rumah sakit (rujukan/non rujukan) Petugas pendaftaran (dibekali area mapping Flu Burung (H5N1)) 1 b. c Mendata area tempat tinggal pasien (disesuaikan dengan area mapping Flu Burung (HSN1) Bila terdapat keluhan demam kurang dari 7 hari, batuk pilek, sakit kepala (IL), pasien langsung dikirim ke IGD atau ke ruang isolasi Dokter melakukan pemeriksaan : 1, Anamnesis 2. Pemeriksaan Fisik, meliputi tanda vital (Suhu, TD, RR, Nadi) 3. Ada atau tidaknya ronkhi pada pemeriksaan fisik 4. Pemeriksaan saturasi O2 dengan pulse oxymetry tanpa oksigen ERI KESEHATAN UBLIK INDONESIA Dilanjutkan dengan 1. Pemeriksaan darah perifer lengkap (Hb, Ht, Lekosit, Hitung jenis lekosit, Trombosit, LED) 2. Pemeriksaan rontgen 3. Pemeriksaan kimia darah : SGOT, SGPT, ureum, kreatinin, albumin, globulin 4. Pemeriksaan Analisa Gas Darah Untuk rumah sakit rujukan, lengkapi dengan pemeriksaan serologi dan PCR. Untuk RS non rujukan disarankan : - Ambil sampel darah sebanyak 5 cc - Ambil swab : hidung dan tenggorok kirim sampel tersebut ke laboratorium Regional atau Badan Litbang Kementerian Kesehatan Pasien datang sendiri ke IGD Petugas registrasi IGD harus dibekali dengan : a. Dibekali area mapping b. Lakukan hal yang sama seperti di poli Rumah sakit non rujukan tadi. 2.1 Setelah menerima informasi telepon ada rujukan pasien Flu Burung (HSN1), petugas melakukan : a. Melapor kepada tim lengkap Flu Burung (H5N1) b. Menyiapkan ruang penerimaan c. Menyiapkan petugas dengan APD (minimal masker bedah dan sarung tangan) 2.2 Pada saat pasien tiba di RS rujukan (IGD) : Dibawa langsung ke ruang isolasi (untuk pemeriksaan dan penanganan) atau langsung masuk ke ruang ICU khusus untuk Flu Burung (HSN1) bila diperlukan ventilator Saran pemeriksaan sewaktu datang : Bila pemeriksaan belum ada, lengkapi pemeriksaan tanda vital dengan Laboratorium DPL, hemostase, gula darah, ureum kreatinin, SGOT SGPT, albumin, globulin, EKG, rontgen, analisis gas darah sesuai indikasi - Tambahkan pemeriksaan laboratorium ke arah sepsis a. Ureum, kreatinin,kultur darah, kultur sputum b. laktat ¢. Pemeriksaan Prokalsitonin serial. + monitoring hemodinamik, keseimbangan cairan, oksimetri (ukur urin output per jam) 30 ENTER! KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA D. Tata laksana Transportasi Rujukan 1. Disarankan Ambulans gawat darurat/mobil puskesmas keliling 2. Dilengkapi tabung oksigen Saran : sebaiknya ambulansnya dilengkapi dengan - Pulse oxymetry - Emergency kit - Radio komunikasi 3. Prosedur kendaraan setelah mengantar/merujuk pasien : a. Bersihkan dengan alat pembersih kuman, tutup selama 10 menit b. Cuci dengan air / lap basah ¢, Jemur / lap kering, V. TATA LAKSANA KLINIS DI ICU ‘Tatalaksana di ICU mengikuti rekomendasi Surviving Sepsis Campaign 2008 yang sudah dipublikasikan, sebagai berikut : 1, Resusitasi awal (6 jam pertama ) a, Segera lakukan resusitasi pada pasien dengan hipotensi atau peningkatan serum laktat > 4mmol/L; jangan ditunda menunggu masuk ke ICU (diwajibkan) b. Target atau tujuan resusitasi (diwajibkan): - CVP8-12 mmHg - MAP2 65 mmHg = Pengeluaran urin > 0.5 mL/KgBB/hari (anak : 1cc/kgBB) = SevOz (Saturasi oksigen vena sentral, darah diambil dari kateter vena sentral) = 70% atau SvO: (Saturasi vena campuran, darah diambil dari kateter A. Pulmonalis) = 65% c. Jika target ScvO2 atau SvO2 tidak tercapai (disarankan): - Pertimbangkan penambahan cairan lagi — Transfusi packed red cells bila diperlukan untuk mencapai hematokrit 2 30 dan/atau berikan dobutamin per drip, maksimal 20 ug/kgBB/menit d. Target CVP yang lebih tinggi yaitu 12 - 15 mmHg direkomendasikan bila pasien menggunakan ventilasi mekanis atau terdapat pre-existing decreased ventricular compliance 2” pesca (ESEHATAN LIK INDONESIA . Lihat algoritme Early Goal-Directed Therapy dibawah ini Pemberian Oksigen + intubasi endotrakea 2 dan ventilasi | ‘Vena Central dan kateterisasi arteri Sedasi, paralisis jika di intubasi), >90 mmHg, <8 mmHg <65 mmHg +] Pemberian vasoaktif —>| Kristaloid Koloid ‘Transfusi sel darah merah 270% <10% sampai Ht > 30% Keluar dari RS i een + Pemberian Inotropik IBLIK INDONESIA, Diagnosis a. Lakukan pemeriksaan kultur sebelum memulai pemberian antibiotik jika hal ini tidak menunda pemberian antibiotik secara bermakna (diwajibkan) i, Lakukan pemeriksaan kultur darah sebanyak dua atau lebih ii, Salah satu atau lebih kultur darah harus diambil perkutaneus iii, Satu kultur darah diambil dari setiap peralatan akses vena yang terpasang > 48 jam iv. Kultur dari tempat lain bila secara klinis ada indikasi b. Lakukan pemeriksaan pencitraan (imaging) (sinar-x, USG atau scanning) ‘segera untuk memastikan dan mencari sumber infeksi bila dipandang aman untuk pasien (diwajibkan) ‘Terapi Antibiotik a. Berikan antibiotik IV sesegera mungkin dan selalu berikan pada jam pertama setelah didiagnosis. b. Antibiotik spektrum luas : agen aktif terhadap bakteri/jamur patogen yang diduga paling mungkin menjadi penyebabnya yang mempunyai penetrasi baik ke dalam sumber infeksi. (diwajibkan) c. Evaluasi ulang antibiotik setiap hari untuk mengoptimalisasi efikasi, mencegah resistensi, mencegah toksisitas, meminimalisasi biaya. (diwajibkan) d. Pertimbangkan terapi kombinasi untuk infeksi Pseudomonas. (disarankan) ¢. Pertimbangkan terapi kombinasi empiris pada pasien dengan neutropeni. (disarankan) {. Terapi kombinasi tidak lebih < 3-5 hari dan di de-eskalasi (menjadi spektrum yang lebih sempit) sesuai dengan tes kepekaan antibiotic (disarankan) g. Durasi terapi dibatasi 7-10 hari; dapat diperpanjang jika respon lambat atau terdapat undrainable foci infeksi atau keadaan imunokompromis. (diwajibkan) h. Hentikan terapi antibiotik jika penyebabnya ditemukan adalah non infeksi bakteri. (diwajibkan) Identifikasi Sumber dan Kontrol a. Lokasi spesifik anatomis sumber infeksi harus ditemukan sesegera mungkin dalam 6 jam pertama. (diwajibkan) b. Evaluasi pasien untuk mencari fokus infeksi yang mungkin dapat dilakukan tindakan untuk mengatasinya (misalnya: drainase abses, debridement jaringan). (diwajibkan) c. Pengecualian: infected pancreatic necrosis, dimana intervensi bedah sebaiknya ditunda d. Pilihlah tindakan source control yang menghasilkan efikasi maksimal dan gangguan fisiologi minimal. (diwajibkan) ER) KESEHATAN "UBLIK INDONESIA e. Cabut peralatan akses intravaskuler jika berpotensi terinfeksi. (diwajibkan) f. Lakukan tindakan source control sesegera mungkin setelah resusitasi awal berhasil diselesaikan. (diwajibkan) 5. Terapi Cairan a. Resusitasi cairan dengan menggunakan kristaloid atau _koloid. (diwajibkan) b. Target CVP > 8 mmHg (jika dengan ventilasi mekanik 2 12 mmHg). (diwajibkan) c. Gunakan fluid challenge technique, dan monitor adakah perbaikan hemodinamik. (diwajibkan) d. Berikan fluid challenge dengan kristaloid 1000 ml atau 300-500 ml koloid selama 30 menit. Mungkin diperlukan lebih cepat dan volume yang lebih besar bila terdapat hipoperfusi jaringan yang dipicu oleh sepsis. (diwajibkan) fe. Laju (rate) pemberian cairan harus diturunkan jika terdapat peningkatan tekanan pengisian jantung tanpa perubahan hemodinamik secara bersamaan. (diwajibkan) 6. Vasopresor a. Mempertahankan MAP > 65 mmHg. (diwajibkan) b. Pemberian norepinefrin dan dopamin lewat vena sentral adalah pilihan vasopresor awal. (diwajibkan) c. Epineftin, phenilefrin, atau vasopressin tidak diberikan sebagai vasopresor awal pada syok septik. (disarankan) d. Vasopresin 0.03 unit/menit dapat ditambahkan ke dalam norepinefrin yang berikutnya dengan mengantisipasi efek yang sama dengan pemberian norepineprin saja. (disarankan) fe. Gunakan epineftin sebagai agen alternatif pertama pada syok septik bila respons tekanan darah kurang pada pemberian norepinefrin atau dopamin. (disarankan) f. Jangan menggunakan dopamin dosis rendah untuk proteksi ginjal. (diwajibkan) g. Pada pasien yang membutuhkan vasopresor, pasang kateter arterial segera mungkin. (diwajibkan) 7. Terapi Inotropik a. Gunakan pada pasien dengan gangguan miokard yang ditandai dengan peningkatan tekanan pengisian jantung dan curah jantung yang rendah. (diwajibkan) b. Jangan meningkatkan cardiac index untuk mendapatkan level supranormal. (diwajibkan) 8. ENTER! KESEHATAN 1K INDONESIA Steroid (tidak direkomendasikan rutin pada infeksi berat virus HSN1, tapi dosis rendah kortikosteroid dapat dipertimbangkan pada pasien syok septik yang memerlukan vasopresor dan diduga mengalami adrenal insufisiensi) a b. Pertimbangkan pemberian hidrokortison IV pada pasien syok septik dewasa bila hipotensinya kurang berespons terhadap resusitasi cairan dan vasopresor yang adekwat. (disarankan) Tes stimulasi ACTH tidak direkomendasikan untuk mengidentifikasi kelompok pasien syok septik dewasa yang harus mendapat hidrokortison. (disarankan) Hidrokortison lebih dipilih daripada deksametason. (disarankan) Fludrokortison (50 yg peroral satu kali sehari) dapat diberikan jika digunakan —alternatif. dari._—shidrokortison —-yang_—_aktivitas mineralokortikoidnya kurang. Fludrokortison digunakan bila diperlukan jika menggunakan hidrokortison. (disarankan) Terapi steroid dapat disapih setelah vasopressor tidak lagi diperlukan. (disarankan) Dosis hidrokortison sebaiknya < 300 mg/hari. (diwajibkan) Jangan menggunakan kortikosteroid untuk menangani sepsis apabila tidak ada syok kecuali endokrin dan dan riwayat pemberian kortikosteroid pasien terbukti memang diperlukan. (diwajibkan) Pemberian Komponen Darah a. Berikan sel darah merah bila terdapat penurunan Hb sampai <7.0 g/dL (£70 g/L) hingga mencapai 7.0-9.0 g/dL pada dewasa. (diwajibkan) Nilai Hb yang lebih tinggi dibutuhkan pada keadaan-keadaan tertentu (contoh : iskemia miokardial, hipoksemia berat, perdarahan akut, penyakit jantung sianosis, asidosis laktat). (diwajibkan) Jangan menggunakan eritropoetin untuk menangani anemia yang disebabkan karena sepsis. Eritropoetin dapat digunakan pada kondisi lain yang dapat diterima. (disarankan) Jangan menggunakan FFP (fresh frozen plasma} untuk mengoreksi gangguan pembekuan yang hanya berdasarkan hasil pemeriksaan Jaboratorium kecuali terdapat perdarahan atau dilakukan prosedur invasif yang direncanakan. (disarankan) Jangan menggunakan terapi antitrombin. (diwajibkan) Berikan trombosit jika: (disarankan) i, Jumlah < 5000/mm3 (5 x 109/L) tanpa melihat adanya perdarahan ii, Jumlah 5000-30.000/mm3 (5-30 x 109/L) dan ada risiko perdarahan signifikan, Jumlah trombosit yang lebih tinggi (2 50.000/mm3 [50 x 109}) dibutuhkan untuk prosedur bedah atau invasif. 38 ER) KESEHATAN SLIK INDONESIA 10. Ventilasi Mekanik pada Sepsis yang dipicu ALI/ARDS a. Kalkulasi berat badan (BB): laki-laki = 50 + 2,3 [(TB (cm) : 2,5) - 60] wanita = 45,5 + 2,3 [(TB (cm) : 2,5) - 60] Gunakan mode ventilator apa saja Set ventilator setting untuk mencapai inisial Vr = 8 ml/kg prediksi BB (PBB) Kurangi Vr 1 ml/kg pada interval s 2 jam sampai Vr = 6 ml/kg PBB Set inisial laju nafas (respiration rate = RR) mendekati menit volume base line (tidak lebih 35 x/menit) Sesuaikan Vr dan RR untuk mencapai pH dan target plateau pressure yang diatur berikut ini Target volume tidal 6 ml/kg prediksi berat badan pasien dengan ALI/ARDS. (diwajibkan) Target plateau pressure (Pplat) batas atas awal s 30 cm H,0. Pertimbangkan pengembangan dinding dada ketika menilai tekanan plateau. (diwajibkan) Cek Pplat (0,5 detik inspiratory pause), sedikitnya tiap 4 jam dan setelah tiap perubahan PEEP atau Vr Jika Pplat > 30 cm H20: turunkan V; 1 ml/kg bertahap (minimum = 4 ml/kg) Jika Pplat < 25 cm H20 dan Vr < 6 ml/kg, tingkatkan Vr 1 ml/kg sampai Pplat > 25 cm H20 atau Vr = 6 ml/kg Jika Pplat < 30 dan nafas tertumpuk atau dis-sinkroni terjadi: dapat meningkatkan Vs 1 ml/kg inkremen sampai 7 - 8 ml/kg jika Pplat tetap 30 cm H20. ‘Target pH: 7,30 - 7,45 Manajemen asidosis: (pH < 7,30) Jika pH 7,15 - 7,30: Tingkatkan RR sampai pH > 7,30 atau PaCO2 < 25 (maksimum RR = 35) Jika pH < 7,15: Tingkatkan RR sampai 35, Jika pH tetap < 7,15, Vr dapat ditingkatkan 1 ml/kg bertahap sampai pH > 7,15 (Pplat target 30 mungkin lebih). Dapat diberikan NaHCO3. Manajemen alkalosis: (pH > 7,45) Turunkan laju ventilasi jika mungkin. PaCOz dapat ditingkatkan diatas normal, jika dibutuhkan, untuk meminimalisasi tekanan plateau dan volume tidal. (diwajibkan) Target oksigenasi: PaO2 55-80 mmHg atau SpO2 88-95%. Gunakan PEEP minimum 5 cm H20. Pertimbangkan penggunaan inkremental F102/PEEP kombinasi untuk mencapai target. s. x, y. MENTERI KESEHATAN REPUSLIK INDONESIA Pengaturan PEEP untuk mencegah kolaps paru ekstensif pada ekspirasi akhir. (diwajibkan) Pertimbangkan posisi tengkurap pada pasien ARDS yang memerlukan FiO; atau tekanan plateau tinggi yang berpotensi merusak paru, dengan syarat tidak berisiko memperburuk kondisi pasien. (disarankan) Pada pasien dengan ventilasi mekanik pertahankan posisi semirecumbent (bagian atas tempat tidur dinaikkan sampai 45’) kecuali terdapat kontraindikasi, dapat digunakan antara 30 - 45°. (diwajibkan) Pertimbangkan ventilasi noninvasif pada pasien ALI/ARDS yang minoritas dengan kegagalan pernapasan hipoksemia ringan sampai sedang, Pasien membutuhkan hemodinamik stabil, nyaman, mudah disadarkan, dapat menjaga jalan napas, diperkirakan sembuh dengan cepat. (diwajibkan namun tidak boleh dipergunakan pada infeksi HSN1 atau HIN1 karena bahaya menyebarkan infeksi) Gunakan protokol weaning dan SBT secara teratur untuk mengevaluasi potensi untuk menghentikan ventilasi mekanikal. (diwajibkan) Pemilihan SBT termasuk pressure support rendah dengan continuous positive airway pressure 5 cmH0 atau T-piece system. Sebelum SBT, pasien seharusnya (diwajibkan) 1. Dapat disadarkan 2. Hemodinamik stabil tanpa vasopresor. 3. Tidak ada kondisi baru berisiko serius. 4, Memiliki kebutuhan ventilator rendah dan tekanan ekspirasi akhir rendah. 5. Kebutuhan level FiO, yang dapat secara aman diberikan lewat nasal kanul atau sungkup. Jangan menggunakan kateter arteri pulmonalis untuk monitor rutin pasien ALI/ARDS. (diwajibkan) Gunakan strategi cairan konservatif pada pasien ALI yang tidak terbukti mengalami hipoperfusi jaringan. (diwajibkan) 11. Sedasi, Analgesik, dan Blok Neuromuskuler pada Sepsis a b. ci Gunakan protokol sedasi dengan target sedasi untuk pasien ventilasi mekanik dalam keadaan kxitis. (diwajibkan) Dapat menggunakan sedasi bolus intermiten atau sedasi infus continue untuk mencapai titik akhir (skala sedasi), dengan lightening/interupsi harian untuk mengembalikan kesadaran, Titrasi ulang jika dibutuhkan. (diwajibkan) Cegah blok neuromuskuler jika memungkinkan. Monitor kedalaman blok dengan train-of four ketika menggunaan infus continue. (diwajibkan) 12, Kontrol Glukosa a Gunakan insulin IV untuk mengontrol hiperglikemia pada pasien dengan sepsis berat setelah stabilisasi di ICU. (diwajibkan) 3? b. Target gula darah < 150 mg/dL (8.3 mmol/L) menggunakan protokol tervalidasi untuk pengaturan dosis insulin. (diwajibkan) ¢. Berikan sumber kalori glukosa dan monitor nilai gula darah setiap 1-2 jam (setiap 4 jam saat stabil) pada pasien yang mendapatkan insulin IV. (diwajibkan) d. Interpretasi_ glukosa darah yang rendah secara hati-hati pada hasil pemeriksaan point of care testing, karena teknik ini mungkin memberikan nilai yang lebih tinggi (overestimate) dari nilai glukosa pada darah arteri atau plasma. (diwajibkan) 13. Terapi Sulih Ginjal a. Hemodialisis intermiten dan Continuous Veno-Venous Haemofiltration (CVVH) dianggap sama. (disarankan) b. CVVH menawarkan manajemen yang lebih mudah pada pasien dengan hemodinamik tidak stabil. (disarankan) 14, Terapi Bikarbonat Jangan menggunakan terapi bikarbonat untuk tujuan memperbaiki hemodinamik atau mengurangi kebutuhan vasopresor sewaktu menangani asidosis laktat yang dipicu oleh hipoperfusi dengan pH = 7.15. (diwajibkan) 15. Profilaksis Deep Vein Thrombosis (DVT) a. Gunakan unfractionated heparin (UFH) dosis rendah atau low molecular weight heparin (LMWH), kecuali ada kontraindikasi. (diwajibkan) b. Gunakan peralatan profilaksis mekanik, seperti compression stockings atau intermittent compression device, bila heparin merupakan kontraindikasi. (diwajibkan) ©. Gunakan kombinasi terapi farmakologi dan mekanik pada pasien yang berisiko sangat tinggi mendapat DVT. (disarankan) d. Pada pasien dengan risiko sangat tinggi, sebaiknya lebih dipilih LMWH daripada UFH. (disarankan) 16. Profilaksis Stress Ulcer Lakukan pencegahan stress ulcer dengan menggunakan Hz bloker atau inhibitor pompa Proton. Keuntungan pencegahan perdarahan saluran cerna atas harus mempertimbangkan potensi munculnya ventilator acquired 17. Pertimbangkan Keterbatasan Dukungan, Diskusikan rencana perawatan lebih lanjut dengan pasien dan keluarga. Berikan gambaran-gambaran seperti perkiraan hasil perawatan dan harapan yang realistik. (diwajibkan) ‘Tata laksana Klinis di ICU untuk kasus anak 1 Penentuan derajat keparahan menggunakan metoda PELOD (lihat lampiran). 2. Ventilator a. Indikasi penggunaan ventilator CERI KESEHATAN SLIK INDONESIA Disfungsi otot napas karena kelelahan dan upaya napas berlebihan Membutuhkan tekanan positif diakhir inspirasi Hipoksemia dengan ancaman gagal napas Hipoksemia refrakter Gagal napas b, Tatalaksana vii, c. Upayakan saturasi perifer >92%, pada ARDS > 88% Gunakan PEEP, minimal 3 cm H20 (dilakukan rekruitment inspirasi PEEP optimal) Gunakan FiO; terendah, dapat dilakukan peningkatan mean airway pressure dalam batas yang aman Pada ARDS, target volume tidal (VT) 6 ml/kg Upayakan tekanan plateau terendahnya mencapai < 30 cm H2O Lakukan pengaturan ventilator agar waktu inspirasi dan ekspirasi optimal. Pemantauan waktu inspirasi dan ckspirasi dapat dilakukan melalui grafik skalar. Pada pengaturan awal, dapat digunakan waktu inspirasi 0.3-0.7 detik untuk bayi, 0.5-0.8 detik untuk < 1 tahun, 0.9- 1.0 detik untuk anak usia 1-5 tahun dan 1,0 detik untuk anak > 5 tahun Letakkan pasien dengan posisi kepala lebih tinggi (459) Penyapihan Indikasi 1, Ventilasi adekuat 2. Oksigenasi adekuat 3. Hemodinamik stabil 4, Tidak ada indikasi lain penggunaan ventilator 5. Ada upaya napas 6. Ada refleks batuk dan muntah baik 7. pH arteri 7,32-7,47 Tata laksana 1, Turunkan FiO: dan PEEP 2. Gunakan Pressure Support (PS) dapat pula dengan kombinasi triger mode Synchronize Intermitten Mechanical Ventilation (SIMV) 3. Pantau frekuensi napas, upaya napas atau work of breathing (WOB) dan saturasi Saturasi oksigen dengan pulse oxymetry (nilai normal pada anak SpO2 > 97 %) 4. Turunkan PS hingga nilai minimal sesuai ukuran pipa endotrakeal / endotracheal tube (ETT) a. Ukuran ETT 3-3,5, PS minimal 10 cm H.O ERI KESEHATAN 'BLIK INDONESIA, b. Ukuran ETT 4-4,5, PS minimal 8 cm H20 ¢. Ukuran ETT > 5, PS minimal 6 cm H20 5. Penyapihan ditunda bila : a, VT <5 ml/kg berat ideal b. Sp02< 95 % ¢, Frekuensi napas di luar rentang normal (lihat lampiran) 3. Tata laksana hemodinamik a <2 Be p ‘h ii, iv. a. ‘Tatalaksana syok pediatrik dilakukan setelah tatalaksana pernapasan. Pemberian cairan resusitasi berupa kristaloid dilakukan secara agresif dengan bolus sebesar 20 ml/kgBB dalam 5-10 menit (Bila dibutuhkan volume yang lebih besar, dapat diberikan cairan koloid, mulai dengan 5-10 ml/kgBB) dengan pemantauan : Frekuensi denyut jantung Produksi urin Pengisian kembali kapiler (refilling capiller) Tingkat kesadaran Curah jantung ‘Tidak terdapatnya perbaikan haemodinamik pada fluid balance, di dapat ronki basah halus tidak nyaring, peningkatan V. Jugulare, pembesaran hati akut tumpul dan terdapatnya hepatojugular reflux merupakan tanda peningkatan preload. Karena itu tanpa monitoring khusus, pemberian cairan harus dibatasi. ‘Tekanan darah, secara tunggal, tidak merupakan parameter yang adekuat untuk memantau pemberian cairan resusitasi. Pembesaran hati dapat digunakan untuk memantau kelebihan cairan resusitasi. Vasopresor dan obat inotropik hanya digunakan sctelah resusitasi cairan yang adekuat. Pemilihan obat-obat ini bergantung kondisi pasien: Curah jantung rendah disertai resistensi vaskular sistemik tinggi Curah jantung tinggi disertai resistensi vaskular sistemik rendah Curah jantung rendah disertai resistensi vaskular sistemik rendah Dopamin adalah pilihan pertama pada hipotensi yang refrakter terhadap resusitasi cairan. Pada kasus yang refrakter terhadap dopamin dapat digunakan epinefrine atau norepinefrine. Dobutamin dapat digunakan pada kasus dengan curah jantung rendah. Vasodilator dengan waktu paruh pendek, seperti nitropruside atau nitrogliserin, digunakan pada kasus gangguan hemodinamik dengan resistensi vaskular sistemik tinggi setelah pemberian cairan resusitasi dan obat inotropik yang adekuat. STEROID Penggunaan steroid dapat dipertimbangkan pada syok yang tidak responsif dengan inotropik atau vasopresor. Pada kasus dengan riwayat yo "ERI KESEHATAN UBLIK INDONESIA penggunaan steroid lama sebelum sakit, gangguan fungsi adrenal harus dipertimbangkan. e. Target terapi adalah: i. Pengisian kembali kapiler < 2 detik ii, Kualitas nadi normal, tanpa perbedaan antara nadi perifer dan sentra Akral hangat iv. Produksi urin> 1 ml/kg berat badan/jam v. Kesadaran normal i. Saturasi vena sentral (mixed vein) > 70% Kadar laktat< 2 mmol/L Bila digunakan kateter arteri pulmonal: 1. Indeks kardiak / Cardiac Index (Cl) >3,3 dan <6 L/menit/m? 2. Resistensi sistemik vascular / Systemic vascular resistance (SVR) 800-1600 dyne/sec/cmé 3. Perfusion pressure (mean arterial pressure/ central venous pressure) normal sesuai usia Bila dengan upaya tersebut di atas target terapi tidak bisa dicapai, dianjurkan: a. Menurunkan Oksigen ‘Mengatasi hipotermi Mengatasi kejang ‘Mengatasi sedasi Meningkatkan Ht bila rendah > sampai dengan mencapai 30 spoge ae TERI KESEHATAN LIK INDONESIA Algoritma tata laksana syok pada anak adalah sebagai berikut: 0 menit 5-10 menit 15 menit __Respon baik Respon buruk (resisten cairan) Akses vena sentral, dopamin, monitor tekanan arteri Observasi di ICU Respon buruk (resisten dopamin) Syok ‘dingin’ — epinefrine Syok ‘hangat’ — norepinefrine Respon buruk (resisten katekolamin) Beri steroid Tekanan darah rendah, ‘dingin’, saturasi vena sentral <70% Tekanan darah rendah, ‘hangat’, saturasi vena sentral <70% | | Volume dan Volume dan Volume dan Vasodilator Epinefrine Norepinefrine Katekolamin | resisten persisten Pemasangan kateter arteri pulmonal atau pulse contour continuous cardiac output monitoring, sesuaikan cairan, inotropik, vasopresor, vasodilator dan terapi hormon untuk mencapai nilai MAP dan CVP normal serta CI>3,3 dan < 6,0 L/menit/m? Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) a. Diagnosis DIC dilakukan meggunakan sistem skor International Society on Thrombosis and Haemostasis 2001 (lihat lampiran) b, Tata laksana DIC dengan perdarahan aktif: Koreksi PT, PTT dengan transfusi plasma beku segar, 10-15 ml/kgBB. 42 a. mm. “ERI KESEHATAN IK INDONESIA, Transfusi kriopresipitat 1 unit/3 kgBB untuk mengganti fibrinogen. iti, Koreksi trombosit dengan transfusi suspensi trombosit 10 ml/kgBB( 1 Unit/5 kgBB) Pemantauan keseimbangan cairan, elektrolit, gula darah dan keseimbangan asam-basa harus dilakukan dengan ketat. Hipoglikemi umumnya dapat dihindari dengan pemberian glucose infusion rate > 5 mg/kgBB/menit. Penggunaan insulin pada hiperglikemi harus dilakukan dengan pemantauan yang ketat. Bila tidak terdapat kontraindikasi, pemberian nutrisi_ enteral lebih diutamakan. ‘Tata laksana kejang dapat dilihat pada lampiran. Pemantauan infeksi nosokomial dan penggunaan antibiotika dapat dilihat pada lampiran. Terapi Nutrisi Jika tidak terdapat kontraindikasi, nutrisi enteral harus diutamakan. Pasien flu burung seringkali mengalami muntah schingga tidak memungkinkan pemberian nutrisi enteral. Perhitungan kebutuhan kalori adalah seperti pedoman berikut ini: a. 1 tahun : 55 keal/kgBB/hari b. 5 tahun 45 kkal/kgBB/hari c. 10 tahun : 38 kkal/kgBB/hari d. 10-18 tahun : 26 kkal/kgBB/hari ©. Dewasa 125-30 kkal/kgBB/hari Untuk yang BB kurang (BMI < 18), BB dihitung berdasarkan BB aktual Untuk yang BB lebih (BMI > 25) atau obesitas, BB dihitung berdasarkan BB yang diprediksi Pemantauan : Clinical Pathway Monitoring ventilasi mekanik minimal setiap 6 jam Fungsi vit Kriteria keluar ICU Setiap pasien yang dirawat di ICU dapat dikeluarkan setelah memenuhi krriteria-kriteria berikut: 1. Penyakit atau keadaan pasien telah membaik dan cukup stabil, sehingga tidak memerlukan terapi atau pemantauan yang intensif lebih lanjut : EKG, laju napas, tekanan darah, urin setiap 1 jam 2. Terapi atau pemantauan intensif tidak lagi bermanfaat misalnya a. Pasien mengalami mati batang otak (brainstem death) b. Penyakit mencapai stadium akhir. 3. Dalam hal ini pemindahan pasien dari ICU dilakukan setelah memberitahu dan disetujui oleh keluarga terdekat pasien. 4, Pasien atau keluarga menolak untuk dirawat lebih lanjut di ICU (keluar paksa). rd RI KESEHATAN IBLIK INDONESIA VI. PENATALAKSANAAN KEPERAWATAN Penatalaksanaan Keperawatan pasien Flu Burung meliputi “Manajemen keperawatan dimana kegiatannya dimulai dari perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan baik sumber daya dan dana guna pelayanan keperawatan yang efektif dan efisien; serta Manajemen asuhan pasien dengan pendekatan proses keperawatan. Beberapa prinsip mendasar yang perlu mendapat perhatian dalam penatalaksanaan keperawatan Flu Burung meliputi: Penerapan prinsip kewaspadaan isolasi(mengacu pada bab VII), pengaturan tenaga baik kuantitas maupun kualitas serta surveilans keschatan tenaga perawat yang memberikan asuhan keperawatan. Kuantitas tenaga meliputi rasio perawat berbanding pasien, baik Pra ICU maupun ICU ditambah 20% faktor koreksi (oleh karena ruang rawat dalam bentuk kamar isolasi). Sedangkan untuk kualitas tenaga perawat yaitu perawat yang memiliki sertifikat pelatihan perawatan Flu burung baik Pra ICU dan ICU, untuk tenaga yang bertugas di ICU dengan kualifikasi tersertifikasi pelatihan ICU. Dengan memenuhi persyaratan baik kuantitas maupun kualitas tenaga, diharapkan dapat memberikan Manajemen Asuhan Keperawatan Pasien Flu Burung secara optimal. Manajemen asuhan pasien atau asuhan keperawatan pasien Flu Burung adalah praktik keperawatan yang diberikan pada pasien/keluarga dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan secara komprehensif (biopsikososiospiritual) meliputi: pengkajian, diagnosis, rencana tindakan, implementasi dan evaluasi keperawatan serta rencana pasien pulang (discharge planning). Pengkajian Pengkajian merupakan kegiatan pengumpulan data yang terkait / relevan dengan pasien. Sumber data dapat diperoleh dari pasien atau keluarganya, atau perawat yang pernah/menangani pasien tersebut, dokumen rekam medik pasien, hasil pemeriksaan diagnostik. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengkajian pasien yang akan dirawat ICU: 1. Pengkajian sebelum pasien datang (Pre Arrival Assesment): Sejak pasien akan dikirim ke RS rujukan, dilakukan pengkajian melalui telepon kepada Pelayanan Kesehatan atau Rumah sakit yang akan mengirim pasien masuk ke ICU meliputi ; identitas pasien, diagnosis, alat bantu invasif yang dipakai, modus ventilasi mekanik yang sedang dipakai (bila pasien menggunakan ventilator). 2. Pengkajian cepat (Quick Check Assessment) : dilakukan pengkajian cepat setelah pasien tiba di ICU meliputi; observasi secara cepat dari ABCDE yaitu : keadaan umum, Airway (patensi jalan napas termasuk posisi OPA) , Breathing/Pernapasan (jumlah dan kedalaman nafas, simetrisitas gerakan dinding dada, penggunaan otot bantu pernapasan, suara napas apakah ada usaha napas spontan), Circulation/sirkulasi dan perfusi cerebral, EKG (rate, ritme, ), tekanan darah (denyut nadi perifer, capillary refill, kulit, ( warna, subu dan kelembaban), apakah ada perdarahan), Drugs/Obat-obat (obat yang saat ini diberikan) hasil pemeriksaan penunjang, Equipment ( patensi alat penunjang untuk sistem vaskuler, adakah drainase dan pastikan apakah ay semua alat yang dipakai telah terpasang pada pasien dengan benar), alergi(apakah pasien mempunyai riwayat alergi obat, dan makanan). 3. Pengkajian lengkap (comprehensive Assessment) meliputi pengkajian riwayat Kesehatan yang lalu (bagaimana kondisi kesehatan sebelumnya, bagaimana status emosi, apakah ada alergi, apakah pernah dirawat dengan kasus yang sama, kaji ulang setiap sistem tubuh), riwayat sosial (umur, jenis kelamin, suka’ bangsa, tinggi dan berat badan, pendidikan, pekerjaan, Jaminan kesehatan yang dipunyai), psikososial (komunikasi yang digunakan, koping yang dipakai, status kecemasan, harapan tentang keadaan sakit kritisnya, apa Kebutuhan keluarga pasien) | dan spiritual (kepercayaan yang dianut, kebiasaan keluarga/pasien untuk mengatasi stres dari sisi spiritual) serta pengkajian fisik dari setiap sistem tubuh ( pengkajian sistem neurologi: kordinasi motorik, kekuatan otot, respon lambat terhadap rangsang verbal maupun motorik, penurunan kemampuan untuk menyintesis informasi baru, respirasi (tidak efektif batuk), kardiovaskuler (denyut nadi lemah, hemodinamik tidak stabil, disritmia, peningkatan suhu,perubahan capillary refill, renal (gangguan elektrolit, penurunan GFR) , gastrointestinal, endokrin, hematologi dan imun: apakah ada diabetes, gangguan tiroid, anemia, penurunan antibody) dan sistem integumen: turgor menurun, dan menurunnya elastisitas). 4. Pengkajian lanjutan (ongoing Assessment) meliputi kontinuitas monitoring kondisi pasien setiap sistem tubuh setiap 1-2 jam pada saat kritis, selanjutnya sesuai kondisi pasien. Diagnosa Keperawatan Diagnosa keperawatan dirumuskan berdasarkan data data yangdiperoleh dari pasien dan disusun berdasarkan pada gangguanpemenuhan kebutuhan dasar manusia dan disusun berdasarkan prioritas masalah, Diagnosa Keperawatan yang mungkin timbul pada pasien yang tidak menggunaken Ventilasi Mekanik : 1. Jalan napas tidak efektif berhubungan dengan akumulasi sekret. 2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan resistensi jalan napas 3. Gangguan pertukaran gas : hiperkapnea berhubungan dengan hipoventilasi alveolar. 4. Gangguan pertukaran gas : hipoksemia berhubungan dengan gangguan difusi. 5. Cemas sedang-berat berhubungan dengan situasi_kritis, kurang pengetahuan pasien/keluarga tentang status/kondisi kesehatannya. 6. _Ketidakmampuan perawatan diri berhubungan dengan kelemahan fisik. 7. Gangguan rasa nyaman: nyeri berhubungan dengan adanya inflamasi parenkim paru. Risti nutrisi kurang dari kebutuhan. . _ Risti kekurangan volume cairan. 10. Risti penyebaran infeksi. ERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA 11. Risti gangguan termoregulasi 12. Hospitalisasi : cemas/takut dirawat dirumah sakit berhubungan dengan situasi krisis, perubahan lingkungen (pada pasien anak) Diagnosa keperawatan yang mungkin timbul pada pasien dengan ventilasi mekanik: 1, Gangguan pertukaran gas: hiperkapnea berhubungan dengan hipoventilasi alveolar; 2. Gangguan pertukaran gas: hipoksemia berhubungan dengan perubahan ventilasi-difusi, peningkatan permeabilitas membran alveoli kapiler; 3. Pola napas tidak efektif/ketidakmampuan bernapas spontan berhubungan dengan otot pernapasan fatique; 4. Penurunan kardiak output berhubungan dengan gangguan fungsi: ejeksi; 5. _Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan hipermetabolisme; 6. _ Risti kekurangan volume cairan berhubungan dengan hipertermia; 7. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan 02 yang tersedia dengan 02 yang dibutuhkan; 8. Tidak efektifnya respon penyapihan dari ventilasi mekanik (weaning) berhubungan dengan ketergantungan ventilasi mekanik/ malnutrisi, kelemahan, ketidaknyamanan dan lingkungan tidak mendukung; 9, Ketidakmampuan merawat diri berhubungan dengan kelemahan fisi 10. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan terpasangnya ventilasi mekanik; 11. Risiko injury: trakheomalaesi, fisteltrakheaosofagus berhubungan dengan pemakaian OTT/NTT yang lama; 12. Risti infeksi sekunder saluran napas: ventilation assosiated pneumonia berhubungan dengan terpasangnya ventilasi mekanik; 13. Kurang pengetahuan pasien/keluarga akan program —_perawatan berhubungan dengan belum mendapat informasi akan program keperawatan. Rencana Tindakan Rencana tindakan keperawatan adalah alternatif pemecahan masalah yang dianggap paling tepat untuk mencapai tujuan asuhan keperawatan. Untuk merumuskan tindakan keperawatan dalam rencana keperawatan _perlu mempertimbangkan pada 4 jenis tindakan keperawatan, yaitu: tindakan observasi, tindakan mandiri keperawatan, pendidikan kesehatan, dan tindakan kolaborasi. Pada penulisannya menggunakan kalimat instruksi dan bahasa yang mudah dimengerti serta bersifat operasional. Implementasi Implementasi keperawatan adalah pelaksanaan rencana tindakan yang ditentukan dengan maksud agar kebutuhan pasien terpenuhi secara maksimal yang yb nen mencakup aspek peningkatan kesehatan, pencegahan, pemeliharaan serta pemulihan kesehatan dengan mengikutsertakan pasien dan keluarganya. Apabila implementasi sudah dikerjakan, maka selanjutnya kegiatan tersebut perlu didokumentasikan meliputi kapan tindakan itu dikerjakan, dan jenis tindakan yang dilakukan serta respon pasien terhadap tindakan tersebut (formulir ‘Tindakan Keperawatan terlampir). Evaluasi Evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawatan meliputi evaluasi proses dan evaluasi hasil. Evaluasi proses dilakukan segera setelah selesai melakukan tindakan keperawatan. Sedangkan evaluasi hasil perawat memutuskan apakah rencana efektif (diagnosis keperawatan teratasi sesuai kriteria tujuan tercapai) atau belum teratasi sehingga rencana perlu dilanjutkan, direvisi atau perlu dimodifikasi diagnosa, tujuan atau rencana keperawatan menggunakan format catatan perkembangan pasien dengan pendekatan SOAP (formulir terlampir). Perencanaan Pulang (Discharge Planning) Adalah suatu kegiatan dimana perawat mempersiapkan untuk tindak lanjut perawatan di rumah. Kegiatan ini meliputi : penjelasan tentang cara minum obat, kontrol ulang, kondisi lingkungan di mana pasien tinggal, sejauh mana pasien/keluarga memahami akan penyakitnya, cara pencegahan, cara hidup sehat, masalah/diagnosis keperawatan yang belum teratasi dan perlu tindakan yang dapat dilakuken oleh keluarga di rumah, sehingga hal-hal tersebut yang menjadi dasar perawat dalam memberikan pendidikan kesehatan kepada pasien dan keluarga untuk persiapan pasien pulang (formulir terlampir). Rencana Asuhan Keperawatan pada pasien Flu Burung : 1. Pengkajian Fokus pengkajian meliputi aspek biopsikososialspiritual yang dikelompokkan dalam data subjektif dan objektif. 1. Data subyektif 1) Keluhan demam 2) Riwayat kesehatan masa lalu (riwayat pernah sakit paru ) 3) Riwayat kesehatan keluarga (riwayat sakit turunan, riwayat sakit yang sama dengan pasien dan riwayat sakit paru dalam keluarga) 4) Riwayat perjalanan penyakit: apakah dalam waktu 7 hari sebelum timbulnya gejala ada kontak dengan unggas/orang yang positif Flu Burung, melakukan kunjungan ke daerah atau bertempat tinggal di daerah terjangkit Flu Burung, mengonsumsi unggas dengan pengolahan tidak sempurna. 5) Kondisi lingkungan: Dekat dengan pemeliharaan unggas ii, | Memelihara unggas yp SLX INDONESIA 6) Kebiasaan sehari-hari (aktivitas) Jenis pekerjaan dan kebersihan diri ( kebiasaan mencuci tangan ) 7) Respirasi: ada keluhan batuk berdahak, pilek, sesak napas, sakit tenggorokan, nyeri saat bernapas. 8) Gastrointestinal: mengeluh mual, nyeri ulu hati, diare, konstipasi. 9) Serebral: Adakah keluhan sakit kepala. 10) Ekstremitas: i, Kesulitan dalam pergerakan ii, Tomus otot iii, Kekuatan otot 11) Status psikososial: i, Dampak penyakit pasien terhadap keluarga ii, Persepsi terhadap penyakit. Masalah yang mempengaruhi pasien iv. Mekanisme koping Vv. Agama/kepercayaan Data Objektif 1) Keadaan umum: 2) Status Neurologi (tingkat kesadaran) : i, Kualitatif: Composmentis, apatis, somnolen, soporokoma, dan koma ii, Kuantitatif : Glassgow Coma Scale (GCS) 3) Sistem respirasi: RR pada saat datang 26 x/menit kemudian kondisi memburuk RR > 30/menit, napas pendck cepat dan dangkal, kesukaran bicara karena sesak, batuk terdengar produktif tetapi sekret sulit dikeluarkan, penggunaan otot bantu pernapasan, pengembangan dada tidak simetris, ada ronkhi. Perburukan berlanjut terjadi hipoventilasi (RR < 10 x/menit, volume tidal menurun < 5cc/kg/BB). 4) Sistem kardiovaskuler : TD saat datang: TD 90/60 mmHg - 140/90 mmHg dan pada anak usia 3-5 tahun HR 70-110x/mnt, TD sistolik 95-105mmHg, usia 6-12 tahun HR 65-110 x/mnt TD sistolik 97- 112mmHg. Bila kondisi memburuk pada dewasa dapat terjadi aritmia (takikardia atau bradikardia), pada keadaan syok kardiogenik tekanan darah menurun sistolik <90 mmHg dan diastolik <60 mmHg, nadi meningkat dan setelah pasien kelelahan/ fatigue kondisi makin menurun, CVP dapat meningkat /menurun. 5) Gastrointestinal: mual, muntah, diare atau konstipasi 6) Muskuloskeletal: kekuatan menurun 7) Ekstremitas: akral teraba dingin, sianosis, pengisian kapiler > 2 detik Diagnosis keperawatan yang mungkin muncul pada pasien MENTER! KESEHATAN REPUSLIK INDONESIA 8) Aktivitas: saat aktivitas minimal tampak lelah dan sesak napas 9) Subu tubuh meningkat: >38, 5 °C. 10) Pemeriksaan Penunjang (mengacu pada SPO Medik Bab II) a. Foto Thoraks: Gambaran Pneumonia b, Laboratorium non spesifik - Hematologi: leukosit dapat menurun + Kimia darah: SGOT, SGPT dapat meningkat - Analisis Gas Darah: Alkalosis Respiratorik:PH 1,PaCO2 |,Pa02 |,Sat 02 | - Elektrolit: Na, K, Cl dapat normal atau menurun mekanik sebagai berikut : 1. aa Be 4, 5. 6. 7. Jalan napas tidak efektif berhubungan dengan akumulasi sekret. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan resistensi jalan napas Gangguan pertukaran gas : hipoksemia berhubungan dengan gangguan difusi. ‘Cemas sedang-berat berhubungan dengan situasi kritis, kurang pengetahuan pasien/keluarga tentang status/kondisi kesehatannya. Ketidakmampuan perawatan diri berhubungan dengan kelemahan fisik. Risti kekcurangan volume cairan. Risti penyebaran infeksi. Berikut uraian intervensi keperawatan, antara lain : a, Diagnosis keperawatan : jalan napas tidak efektif berhubungan dengan akumulasi sekret. Tujuan : jalan napas efektif Kriteria hasil : Sekret encer dan mudah dikeluarkan Penggunaan otot bantu napas berkurang-hilang Klien menunjukan usaha : batuk efektif, purse lips breathing ‘Tanda vital dalam batas normal : RR 16-24 x/menit, N 60-100x/mnt TD 90/60-140/90 mmHg Intervensi Keperawatan : * Atur posisi yang nyaman dengan kepala lebih tinggi (semi Fowler) © Berikan dan anjurkan untuk minum banyak kurang lebih 40-50 cc/kgBB/hari untuk menurunkan viskositas sekret. * Demonstrasikan dan anjurkan pasien — Batuk efektif - “Purse Lips Breathing’ © Ukur TTV: RR, N, 8, TD dan auskultasi setiap 1-2 jam saat kritis, selanjutnya 4-6 jam tanpa ventilasi ERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA Intervensi kolaborasi: - Pemberian O2 nasal/masker - Pemberian IVFD — Pemberian obat : (bronkodilator, mukolitik dan antivirus) - Pemeriksaan analisis gas darah Diagnosa Keperawatan : cemas sedang-berat berhubungan dengan situasi kcritis /urang pengetahuan pasien/keluarga tentang kondisi keschatannya, Tujuan as berkurang Kriteria hasil Pasien/keluarga mampu mengungkapkan penyebab cemasnya. Keluarga dapat menjelaskan kembali tentang kondisi pasien dan program perawatan Pasien/keluarga mengatakan cemas berkurang Ekspresi wajah pasien /keluarga rileks Intervensi : Bina hubungan saling percaya dengan pasien dan keluarga Dengarkan keluhan pasien/keluarga dengan mendengar aktif dan empati. Identifikasi persepsi pasien/keluarga tentang kondisi sakitnya Identifikasi mekanisme koping untuk mengatasi kecemasan Jelaskan kepada keluarga tentang kondisi pasien/program perawatan Beri dukungan pada keluarga agar turut memberi semangat pada pasien untuk mematuhi program perawatan Diagnosis keperawatan : risti terjadinya infeksi berhubungan dengan imunosupresi dan prosedur invasif Tujuan : tidak terjadi infeksi Kriteria hasil : ‘Tanda-tanda vital normal (suhu: 36 - 37°C), Na pernapasan 16-22x/menit, TD 90/60 - 140/90 mmHg) Leukosit 5.000-10.000 UI : 60-100 X/menit, Intervensi Keperawatan Lakukan Kewaspadaan Isolasi: Cuci tangan dengan benar sebelum dan sesudah kontak dengan pasien Gunakan alat pelindung diri sesuai prosedur ‘Tempatkan pasien di ruang/kamar Isolasi Pasien suspect, probable dan terkonfirmasi dirawat terpisah Gunakan peralatan untuk pasien suspect, probable dan terkonfirmasi masing-masing secara terpisah. Batasi petugas dan pengunjung (seefisien mungkin) Disinfeksi alat medik/keperawatan (reuseable) setelah digunakan sesuai prosedur dan yang disposable alat makan, APD disposable pada kantong sampah medis untuk dibakar (incenerator) Ukur tanda-tanda vital : suhu, nadi, tekanan darah, pernapasan. Observasi daerah kanulasi invasif adanya tanda- tanda infeksi, Gunakan prinsip minimal handling dalam melakukan prosedur keperawatan. Lakukan dekontaminasi ruang rawat isolasi setelah dipergunakan pasien. vv vvvv v MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, Intervensi Kolaborasi : Penggantian alat invasif bila ada indikasi dan pemeriksaan laboratorium yang diperlukan (leukosit) Diagnosis keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan ventilasi mekanik sebagai berikut : a. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan adanya benda asing pada jalan napas b. Gangguan pertukaran gas: hiperkapnea berhubungan dengan hipoventilasi alveolar c. Gangguan pertukaran gas: hipoksemia berhubungan dengan perubahan ventilasi-difusi, peningkatan permeabilitas membran alveoli kapiler. d. Pola napas tidak efektif/ketidakmampuan bernapas spontan berhubungan dengan otot pernapasan fatique e. Risti penurunan kardiak output berhubungan dengan gangguan fungsi: ejeksi {. Risti kekurangan volume cairan berhubungan dengan hipertermia g. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan O2 yang tersedia dengan O2 yang dibutuhkan. h. Risti Tidak efektifnya respon penyapihan dari ventilasi mekanik (weaning) berhubungan dengan ketergantungan ventilasi mekanik/ malnutrisi, kelemahan, ketidaknyamanan dan lingkungan tidak mendukung i. Ketidakmampuan merawat diri berhubungan dengan kelemahan fisik j. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan terpasangnya ventilasi mekanik. k. Risti infeksi sekunder saluran napas: ventilation assosiated pneumonia berhubungan dengan terpasangnya ventilasi mekanik. 1. Kurang pengetahuan pasien/keluarga akan program perawatan berhubungan dengan belum mendapat informasi akan program keperawatan. Berikut uraian intervensi keperawatan, antara lain : a) Diagnosis keperawatan: bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan adanya benda asing pada jalan napas (ETT) Tujuan : bersihan jalan napas efektif Kriteria hasil - Tidak terlihat adanya sekret pada sirkuit ETT - Suara napas paru kanan dan kiri bersih = Peak Airway Pressure (PAP) 2 40 CmH20 = Sekret encer dan mudah di suction Intervensi keperawatan - Bvaluasi kepatenan jalan napas - Evaluasi gerakan dada, auskultasi bunyi napas kanan/kiri setiap 2-3 jam. - Pertahankan kepatenan ETT dengan cara melihat angka pada ETT di batas garis bibir/hidung. - Monitor batuk yang berlebihan, peningkatan RR, bunyi alarm, tekanan pada ventilasi mekanik, sekret yang terlihat pada ETT - Suctioning jika dibutuhkan, pilih kateter suction dengan ukuran 1/3 dari dari lumen ETT, bila memungkinkan lakukan dengan teknik close suction - Jika sekret kental gunakan NaCl 0,9% steril, lakukan hiperventilasi dengan Bagging (FiO2 100 %) dan suction ulang (suctioning tidak boleh lebih dari 15 detik). - Ubah posisi secara periodik minimal setiap 4 jam sekali jika tidak ada kontraindikasi. ed ») ERI KESEHATAN, LIK INDONESIA - Hidrasi yang cukup (intake cairan 40-50 cc/kg /BB/24 jam). - Pertahankan humidifikasi baik (isi cairan humidifikasi sesuai standar dan set suhu 36-37°C/ 95-100°F. Intervensi Kolaborasi : Pemberian obat-obatan : bronkodilator, mukolitik Ketidakseimbangan pertukaran gas : hiperkapnea dan _hipoksemia berhubungan dengan hipoventilasi alveolar, perubahan _ventilasi-difusi, peningkatan permeabilitas membran alveoli kapiler. ‘Tajuan : pertukaran gas efektif Kriteria hasil : + Tidak ada gelisah - Tidak ada dispnea - Sianosis = Nilai AGD dalam rentang normal : pH 7,35 - 7,45, PaCO2 35-45 mmHg, PaQ2 2 80 mmHg, Sa 02 290%, BE -2,5 - +2,5 dengan Fi02 50 %. - Nadi 60-100 x/mnt, TD 90/60-140/90 mmHg, RR sesuai yang diset di ventilasi mekanik (total support) Intervensi Keperawatan = Berikan posisi semi Fowler untuk memaksimalkan ventilasi dan perfusi = Monitor tanda-tanda hipoksia, hiperkapnea: perubahan status mental, takikardia, iritabilitas dan bunyi napas yang abnormal - Monitor tanda vital, gambaran EKG, dan saturasi oksigen setiap 1-2 jam - Pastikan modus ventilasi mekanik sesuai intervensi kolaborasi. Intervensi Kolaborasi: = Pemberian terapi oksigen invasif: modifikasi modus ventilasi mekanik. - Pemeriksaan laboratorium : Hb, Ht, AGD dan elektrolit - Pemberian obat sedasi dan muscle relaxant, bronkodilator, ekspektoran dan antibiotik Diagnosis keperawatan : pola napas tidak efektif/ketidakefektifan bernapas spontan berhubungan dengan otot pernapasan fatigue. ‘Tujuan: pola napas efektif melalui ventilasi meKanik Kriteria hasil : - Dispnea berkurang = Penggunaan otot bantu napas tidak ada - Nadi 60-100 x/mnt, TD 90/60-140/90 mmHg, RR sesuai yang diset di ventilasi mekanik - Analisis gas darah (pH 7,35 - 7,45, PaCO2 35 - 45 mmHg, PaO, 2 80 mmHg, Sa O2 290%, BE -2,5 - +2,5) dengan FiOz: 50 % + Tidak ditemukan aritmia. - Tidal volume perlahan-lahan meningkat Intervensi keperawatan - Kaji ulang penyebab gagal napas - Monitor pola napas, usaha napas dan bandingkan dengan data pada patient display - Pastikan pernapasan sesuai ventilator tidak ada penolakan /fighting - Monitor simetrisitas pengembangan dada kanan dan kiri - Isi balon pipa trakhea sesuai kebutuhan sehingga tidak bocor = Cek sirkuit ventilator adanya obstruksi/akumulasi air dan bebaskan bila ada yang terlipat atau ada air. - Siapkan alat resusitasi dekat dengan tempat tidur dan lakukan ventilasi manual (bagging) bila perlu. v2 a) Intervensi Kolaborasi : = Setting ventilator = Tidal volume 6-8 cc/kg BB = Penggunaan sedasi dan muscle relaxant - Hasil pemantauan PAP, hasil AGD Diagnosis keperawatan: penurunan cardiac output berhubungan dengan gangguan fungsi pompa jantung (ejection). ‘Tujuan: kardiak output optimal. Kriteria Hasil : Sistolik 90-100 mmHg dan Diastolik 60-90 mmHg HR 60-100 x/mnt. RR 16-24 x/mnt. Pengisian kapiler <2 detik dan tidak ada sianosis. Urine output 0,5-1 cc/kg/BB. Intervensi Keperawatan ~ Posisikan pasien tidur dengan kepala lebih tinggi, maksimal 30° - Monitor HR/denyut nadi, tekanan darah, RR, subu, pengisian kapiler setiap 2-4 jam dan adanya keringat dingin setiap 2-4 jam. = Monitor akan adanya sianosis setiap 2-4 jam * Ukur keseimbangan cairan /urin output setiap 1-2 jam 2 Dukung pasien /keluarga untuk mengurangi kecemasan Intervensi Kolaborasi: - Terapi Oksigen - Terapi Cairan - Pemasangan CVP dan kateter urin. = Obat-obat inotropik, digitalis, diuretik = Pemeriksaan AGD dan elektrolit : Na, K, Cl. Diagnosis keperawatan : Risti tidak efektifnya respon proses weaning berhubungan dengan ketergantungan akan ventilasi mekanik/malnutrisi/takut. ‘Tujuan: pasien dapat menoleransi program weaning/penyapihan dari ventilasi mekanik Kriteria hasi = Hemodinamik stabil: (TD 90/60mmHg-140/90 mmHg, suhu 36°C-37°C, nadi; 60-100 x/mnt, respirasi 16 - 20 x/mnt) - Tidak ditemukan aritmia - Ada usaha napas = Inspiratory Pressure tidak lebih dari - 2,5. Intervensi keperawatan ~ Beri penjelasan pada pasien tentang tujuan, cara weaning dan monitor respon pasien baik secara kognitif dan afektif, apakah ada rasa takut/kuatir terhadap rencana weaning + Berikan nutrisi sesuai program = Kontrak dengan pasien akan dimulainya weaning = Sebelum weaning dimulai pastikan kesadaran pasien composmentis, hemodinamik stabil, kebutuhan cairan adekuat, asam basa dan elektrolit dalam batas normal, volume tidal pasien (6-8cc/kg/BB), Peak Airway Pressure (PAP) <30 cmH20, ada usaha napas, tidak ditemuken aritmia, PaO2 >60 mmHg dengan FiQ2 <50 %, PEEP < 5 Cm H.0. Intervensi Kolaborasi ‘Modus ventilator (SIMV + Pressure Support, CPAP atau T. Piece) Waktu dimulai, durasi dan tahap-tahap weaning. Pendidikan kesehatan pada pasien yang menggunakan ventilasi mekanik: 1. Program weaning dengan CPAP ‘* Jelaskan program weaning ini adalah program penyapihan dari ventilasi mekanik, pasien hendaknya bernapas seperti biasa 18-20x/menit, mesin akan memberikan aliran udara secara terus menerus * Diskusikan dengan pasien keuntungan program penyapihan untuk menguatkan otot pernapasan pasien sehingga perlahan-lahan tidak akan tergantung dengan ventilasi mekanik 2. Program weaning dimulai dengan “SIMV 10 x + PS 10 cmH” dilanjutkan bertahap sesuai dengan kemampuan pasien * Yakinkan pasien bernafas spontan * Jelaskan program weaning. Program weaning adalah program penyapihan dari ventilasi mekanik. Pasien hendaknya mengikuti pola napas mesin, kalau dirasa ada bantuan jangan dilawan. “Ventilator dengan modus SIMV akan memberi bantuan ketika usaha napas spontan memicu (mentrigger) mesin ventilator. Tetapi jika jika usaha napas tidak sanggup memicu ventilator maka mesin akan tetap memberikan bantuan sesuai dengan jumlah frekuensi napas (RR) yang sudah diatur. Untuk SIMV 10 X/menit setiap 6 detik 1 kali bantuan. Sedangkan bantuan tekanan (pressure support) akan bekerja membantu tekanan inspirasi pasien, masuk pada saat pasien usaha napas sehingga akan menggurangi energi untuk usaha napas, hal ini akan membuat pasien merasa nyaman” Diskusikan dengan pasien keuntungan program penyapihan untuk menguatkan otot pernapasan, —_sehingga perlahan-lahan tidak akan tergantung dengan ventilasi mekanik. f) Diagnosa keperawatan : gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan adanya ETT , kelemahan neuromuskuler. Tujuan : terpenuhinya kebutuhan komunikasi pasien-tenaga kesehatan, pasien-keluarga. Kriteria hasil : Pasien dapat mengungkapkan keinginannya/keluhannya Hubungan terapeutik perawat-pasien, pasien-keluarga dan tim kesehatan lain tetap terjaga Pasien kooperatif pada program perawatan. Intervensi Keperawatan Kaji / evaluasi kemampuan komunikasi pasien untuk pola komunikasi pengganti Kembangkan komunikasi yang mudah dimengerti, misalnya kontak mata, pertanyaan ya/tidak, kertas dan spidol, pensil warna, daftar abjad atau bahasa isyarat / gerakan. mY - Pertimbangkan lokasi pemasangan intra vena jika ekstremitas tersebut digunaken untuk komunikasi non verbal. - Berikan bel yang dapat diraih pasien dan pastikan pasien dapat menggunakannya (lampu /bunyi) - Beri tanda bahwa pasien mengalami gangguan komunikasi verbal. ~ Berikan informasi/penjelasan pada pasien tentang alat-alat yang dipakai dan lingkungan ICU - Beri waktu pada keluarga/orang yang dekat dengan pasien untuk beradaptasi dengan cara-cara komunikasi yang sudah dipahami pasien. Anjurkan pada keluarga untuk mendukung pasien Beri dukungan atas kemajuan / keberhasilan pasien Diagnosis keperawatan: risti infeksi saluran napas : Ventilator Associated Pneumonia (VAP) ‘Tujuan : Tidak terjadi infeksi pneumonia Kriteria hasil : = Tidak ada perubahan warna sekret pernapasan - Tanda-tanda vital normal: (suhu 36-379C, nadi: 60-100 x/menit, pernapasan 16-22x/menit, tekanan darah 90/60-140/90 mmHg) - Kolaborasi pemeriksaan laboratorium: (Leukosit 5000-10.000 UI, kultur sekret pernapasan) Intervensi Keperawatan : = Cuci tangan dengan benar sebelum dan sesudah kontak dengan pasien = Gunakan alat pelindung diri sesuai standar prosedur operasional (SPO). ~ Tinggikan tempat tidur bagian kepala 30°- 45° - Lakukan oral hygiene minimal sekali sehari. - Lakukan pengisapan sekret pernapasan dengan prinsip aseptik dimulai dari ETT, selanjutnya melalui mulut, bila menggunakan sistem pengisapan terbuka gunakan kateter steril sekali pakai. - Tidak direkomendasikan untuk penggantian sirkuit ventilasi_mekanik, kecuali ada tanda-tanda infeksi (sekret berubah warna, suhu meningkat). - Keluarkan air kondensat dalam sirkuit secara periodik guna mencegah air mengalir pada saat pasien inspirasi. + Pertahankan posisi sirkuit lebih rendah dari ETT. - Gunakan cairan/air steril untuk mengisi wick humidifier. = Monitoring letak, posisi proximal NGT lebih tinggi dan bising usus. = Monitoring suhu, nadi pernafasan dan tekanan darah setiap 2-4 Jam. + Lakukan dekontaminasi sirkuit ventilasi mekanik dengan desinfeksi tingkat tinggi dan peralatan yang digunakan untuk terapi pernapasan sebelum digunaken pada pasien lain. MEN TERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA Intervensi kolaborasi = Pemberian antibiotik - Pemeriksaan kultur darah dan sekret pernapasan h) Perencanaan Pulang/ Discharge Planning : kurang pengetahuan akan perawatan berhubungan dengan kurang informasi akan program perawatan. ‘Tujuan : Pengetahuan tentang program perawatan meningkat Kriteria hasil : = Setelah diberikan penjelasan, diskusi/tanya jawab dengan leaflet/booklet tentang “perencanaan pulang” pasien/keluarga dapat menjelaskan kembali. - Masalah keperawatan yang masih ada/belum teratasi. - Perilaku hidup sehat sehari-hari. Intervensi Keperawatan - Mengulangi kontrak yang sudah disepakati dan tujuan “pendidikan Kesehatan perencanaan pulang” dan jika memungkinan kumpulkan keluarga pasien. - Menggali sejauh mana pemahaman / pengetahuan pasien dan keluarga tentang flu burung. = Diskusikan tentang perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS). VII. PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI Penularan Flu Burung (HSN1) terjadi melalui droplet dan Kontak tidak langsung dengan permukaan yang tercemar, namun dapat pula terjadi jika melakukan prosedur yang berpotensi menghasilkan aerosol, oleh karena itu penerapan pencegahan dan pengendalian infeksi dengan Kewaspadaan Isolasi merupakan hal yang sangat penting dalam penanggulangan Flu Burung (HSN1) . Pedoman ini merupakan pedoman terbaru yang disesuaikan dengan rekomendasi WHO dan CDC (Mei, 2007) untuk diterapkan pada triase, transportasi pasien yang dirujuk, perawatan di ruang isolasi , ICU hingga pemulasaraan jenazah. Pedoman ini berlaku untuk semua fasilitas pelayanan keschatan. ‘A. Pengertian Kewaspadaan Isolasi Kewaspadaan Isolasi terdiri atas : 1. Kewaspadaan Standar/Standard Precautions (merupakan — kewaspadaan minimal yang harus diterapkan untuk melindungi petugas dari penularan) dan 2. Kewaspadaan berdasarkan —_‘Transmisi/Transmission-based Standard (merupakan kewaspadaan tambahan sesudah Kewaspadaan standar bila dicurigai terjadi penularan secara kontak, droplet atau aerosol) vb Al. Kewaspadaan Standar Salah satu unsur Kewaspadaan Standar yang penting adalah kebersihan tangan dengan cara mencuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien, sekret pasien maupun alat-alat yang tercemari sekret pernapasan. Selain itu penerapan kebersihan saluran pernapasan dan etika batuk dengan cara menutup hidung dan mulut saat batuk/bersin, penyediaan tisu dan tempat sampah yang mudah dijangkau pasien, memberitahu pasien untuk menggunakan tisue saat mengeluarkan sekret dan membuangnya ke tempat sampah terdekat, mengenakan masker bedah pada pasien batuk dan menempatkannya berjarak >1 meter dari orang lain. Kewaspadaan Standar harus merupakan perilaku rutin, termasuk etiket batuk dan bersin. A2. Kewaspadaan Berdasarkan Transmisi A2.1 Kewaspadaan kontak: langsung / tidak langsung Petugas kesehatan harus selalu menggunakan sarung tangan, masker dan gaun pelindung sclama Kontak dengan pasien. Gunakan peralatan terpisah untuk setiap pasien, seperti stetoskop, termometer (bila mungkin menggunakan pembungkus plastik sekali pakai), tensimeter, dan lain-lain. Lakukan disinfeksi setiap selesai_pakai dengan cara menggunakan alkohol 70%. A2.2, Kewaspadaan Percikan /droplet Gunakan kacamata pelindung atau pelindung muka, apabila berada pada jarak < 1 (satu) meter dari pasien. Prinsip Kewaspadaan Berdasarkan Transmisi kontak dan percikan/ droplet harus diterapkan di setiap ruang perawatan isolasi yaitu : a. Ruang isolasi harus dipantau agar tetap dalam prinsip tekanan negatif dibanding tekanan di koridor b. Pergantian sirkulasi udara >/= 12 kali perjam . Udara harus dibuang keluar ke area bebas yang tidak terdapat banyak orang, atau diresirkulasi dengan menggunakan filter HEPA (High- Efficiency Particulate Air) Setiap pasien harus dirawat di ruang rawat tersendiri. Pada keadaan khusus (pasien anak yang perlu pendampingan) pendamping harus memakai APD lengkap yaita gaun, respirator N95, sarung tangan, dan melakukan kebersihan tangan sama seperti petugas kesehatan. Selain itu pendamping diminta menandatangani informed consent atas kemungkinan risiko terkena infeksi Pada saat petugas atau orang lain berada di ruang isolasi, pasien harus dipakaikan masker bedah, pergantian masker setiap 4-6 jam dan setelah digunakan dibuang di tempat sampah infeksius. Pasien dilarang membuang ludah atau dahak di lantai dan harus menggunakan penampung dahak/ludah tertutup yang tidak dipakai ulang (disposable). Setiap ruang isolasi harus dilengkapi dengan peralatan sesuai daftar_peralatan Ruang Isolasi Flu Burung (HSN1) yang tercantum dalam lampiran. MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA A2.3 Kewaspadaan udara / airborne Prosedur yang menimbulkan aerosol memungkinkan penularan secara airborne misalnya intubasi endotrakheal, pemberian terapi dalam bentuk nebulizer atau aerosol, bronkhoskopi, suction (pembersihan) jalan napas, trakeostomi (lihat Bab Il} dan tindakan yang merangsang batuk harus dilakukan di ruang isolasi airborne/ AIT (bertekanan negatif dengan pertukaran udara >/= 12 kali per jam). Petugas harus menggunakan APD lengkap, respirator N95, pelindung mata, gaun pelindung, sarung tangan dan membersihkan tangan sesuai pedoman (Interim WHO). Bila tidak memiliki ruang isolasi airborne maka untuk membersihkan udara ruangan gunakan HEPA filter portable. B. Prosedur Pencegahan di Ruang Triase 1. Apabila batuk dan bersin pasien harus menutup hidung dan mulut menggunakan tisu. 2. Pasien menggunakan masker bedah, bila tidak memungkinkan karena sulit bernapas, pasien diminta untuk menutup hidung dan mulut dengan tisu saat batuk / bersin 3. Pasien ditempatkan berjarak >1 meter dari orang lain 4. Pasien dengan klinis dicurigai terinfeksi segera dikirim ke Ruang Rawat Isolasi All ( Airborne infection isolation). 5. Petugas Kesehatan harus membersihkan tangan sesuai pedoman, menggunakan sarung tangan, masker bedah , pelindung wajah bila diperkirakan akan terjadi percikan: kacamata, pelindung wajah (PPI ISPA, Interim WHO). C. Transportasi Saat Merujuk Pasien 1. Petugas dan pengemudi ambulans yang membawa pasien harus menerapkan Kewaspadaan Standar dan Kewaspadaan Berdasarkan Transmisi melalui Kontak dan Droplet 2. Pasien tetap menggunakan masker 3. Selama transportasi menggunakan ambulans, semua petugas menggunakan sarung tangan, masker bedah atau respiratoir N95 apabila sirkulasi udara tidak memadai 4. Setelah pasien diturunkan, bagian dalam ambulans dan peralatan yang telah dipakai (brankar, humidifier, flowmeter) segera dibersihkan dengan detergen kemudian dibilas dengan air mengalir dan dikeringkan. Pekerjaan ini dilakukan di RS rujukan oleh petugas ambulans dengan APD lengkap menggunakan apron pelindung, sarung tangan rumah tangga sebatas siku dan sepatu boot. Setelah selesai, petugas mandi dan sedapat mungkin berganti pakaian. MENTERI KESEHATAN REDUBLIK INDONESIA D. Ruang perawatan isolasi airborne (AI room) Ruang Perawatan isolasi sedapat mungkin terdiri dari Ruang ganti Ruang jaga perawat (Nurse station) Ruang bersih dalam Ante room : ruang antara untuk membuat jarak antara udara ruang isolasi dengan nurse station dilengkapi dilengkapi sinar UV Ruang rawat isolasi pasien Ruang dekontaminasi Kamar mandi petugas Pintu masuk ruang isolasi harus berbeda dengan pintu keluar. Pintu setiap ruangan harus selalu tertutup. Petugas ruang isolasi harus melepas baju luar dan memakai baju operasi sebelum masuk Nurse station. Petugas mencuci tangan sesuai pedoman sebelum mengenakan APD lengkap di Ruang Bersih Dalam. Setelah dari Ruang Rawat Isolasi, petugas melepas APD di Ruang Dekontaminasi dan mencuci tangan sesuai pedoman. Untuk mencegah penyebaran virus Flu Burung (HSN1) di rumah sakit, semua pasien Flu Burung (HS5N1) mulai dari kasus suspek hingga kasus konfirmasi harus dirawat di ruang isolasi dengan menerapkan isolasi ketat (strict barrier Petugas kamar isolasi harus dipantau suhu tubuh sebelum dan sesudah kontak . Setiap kali masuk dan keluar ruang isolasi, petugas harus mencatatkan waktunya pada lembaran khusus. E, Standar Penggunaan Alat Perlindungan Diri (APD) a Persiapan sarana « Baju operasi yang bersih, rapi (tidak robek) dan sesuai ukuran tubuh. Alas kaki tertutup sesuai ukuran kaki Sarung tangan bersih sampai pergelangan dan setinggi siku sesuai ukuran. Gaun lar dan apron disposable Penutup kepala Respiratoir N95. Kaca mata pelindung Pelindung muka Lemari berkunci tempat menyimpan pakaian dan barang - barang pribadi Langkah yang dilakukan sebelum masuk ke ruang rawat Isolasi dan saat berada dalam ruang ganti. Lakukan hal sebagai berikut * Lepaskan semua aksesoris yang digunakan (seperti cincin, jam atau gelang) * Lepaskan pakaian luar © Kenakan baju operasi sebagai lapisan pertama pakaian pelindung * Lipat pakaian Iuar dan simpan dengan perhiasan dan barang-barang pribadi lainnya di dalam lemari berkunci yang telah disediakan. F. Prosedur Mencuci tangan : Pada keadaan tercemar, cuci tangan dengan air mengalir di tempat yang telah disediakan. “ERI KESEHATAN LIK INDONESIA Urutan mencuci tangan yang benar adakah sebagai berikut: © Buka kran dan pertahankan aliran air lurus dari mulut kran Bungkukkan badan sedikit untuk menjauhi tubuh dari percikan air Basahi kedua belah tangan seluruhnya sehingga batas siku Ambil sabun cair Gosok dengan keras seluruh permukaan tangan dan jari-jari kedua tangan sekurang-kurangnya 10-15 detik, ratakan ke seluruh tangan dengan memperhatikan bagian di bawah kuku dan di antara jari-jari. Membilas kedua belah tangan di bawah air mengalir. Mengeringkan tangan dengan kertas lap atau kain yang telah disediakan dan gunakan lap untuk mematikan kran (Hati-hati, bagian tersentuh kran pada kain / kertas lap tidak boleh tersentuh tangan yang sudah bersih) * Buang kertas lap atau kain terpakai ke tempat yang telah disediakan. * Sediakan sarana untuk handrubs berbasis alkohol (alternatif cuci tangan/alcuta) LANGKAH-LANGKAH MENCUCI TANGAN KETERANGAN Gosoldkan kedua telapak tangan ‘Gosole punggung dan sela-sela jari tangan kanan dengan tangan kiri dan sebalilenya ‘Gosok kedua telapak tangan dan sela-sela jari tangan ‘Jari-jar sisi dalam dari kedua tangan saling mengunci Gosok ibu jarikanan berputar dalam genggaman tangan kiri dan lakulcan sebalikaya ‘Gosoldean dengan memutar ujung jar-jaritangan kiri di telapak tangan kanan dan sebalilnya PEoOBP G. Prosedur masuk ke Ruang Rawat Isolasi Sebelum masuk ke Ruang Rawat Isolasi pasien, petugas harus memakai APD lengkap di Ruang Bersih Dalam eee eee eee AP Kenakan Respiratoir N 95 Kenakan penutup kepala Kenakan alas kaki tertutup Kenakan apron plastik Kenakan sepasang sarung tangan sebatas pergelangan tangan veenr 6. Kenakan gaun luar Kenakan sepasang sarung tangan sebatas siku 7. Kenakan kaca mata pelindung dan pelindung wajah (helm) APD tetap dipakai selama di ruang perawatan isolasi. Siapkan peralatan cadangan lengkap seperti kebutuhan di atas di ruang Bersih Dalam seperti: © Sarung tangan pendek dan panjang © Gaun apron atau apron plastik * Jas operasi, penutup kepala * Masker bedah , respirator N95 Petugas siap masuk langsung ke Ruang Rawat Isolasi Catatan : * Ikuti prosedur pemakaian APD dengan benar. © Untuk virus Flu Burung (HSN1) gunakan N95. + Kacamata pelindung/goggle a H. Prosedur keluar Ruang Rawat Isolasi Sediakan Ruang Dekontaminasi untuk melepaskan Alat Perlindungan Diri (APD). I. Melepaskan APD dalam Ruang Dekontaminasi ae y 3. 4. oy 6. 7 8. 9. 10, ihe 12, 13. (Cuci bagian luar sarung tangan dengan air mengalir dan sabun antiseptik Alas kaki tertutup dibilas dengan air mengalir atau disemprot cairan klorin 0,5% Buka sarung tangan panjang / luar Buka gaun luar Buka apron plastik/gaun apron Cuci bagian luar sarung tangan pendek Lepaskan pelindung wajah/helm, kacamata Lepaskan penutup kepala, kemudian N95 Lepaskan alas kaki tertutup Lepaskan sarung tangan pendek Cuci tangan dengan air mengalir dan sabun antiseptik. Segera langsung mandi dan cuci rambut, lepaskan baju operasi masukkan ke dalam kantong berlabel infeksius / kantong kuning Sesudah mandi, kenakan pakaian biasa J. Disinfeksi Alat Pelindung Diri Desinfeksi Bahan Dekontaminasi Pembersihan ‘Tingkat | Sterilisasi Tinggi Kaca mata Tap dengan Cuci dengan detergen | Tidak perlu | Tidak perlu pelindungdan —_ Jarutan klorin 0,5 | dan air. Bilas dengan penutup wajah. | % setelah setiap | air bersih, keringkan prosedur. | di udara atau | handuk, setelah | setiap prosedur. | Penutup kepala, | Tidak perlu Tidak perlu, Tidak perla | Tidak perlu masker sekali peralatan sekali | pakai pakai. ‘Apron Tidak pera | Tidak peru (lastik/gaun apron sekali pakai) ‘Alas kaki (sepatu | Direndam dengan | Cuci dengan detergen | Tidak perlu | Tidak perlu | karet atau sepatu | larutan klorin 0,5 | dan air. Bilas dengan bot) %. Bilas dengan | air bersih, keringkan air bersih. di udara atau dengan handuk. Gaun bedah, Tangsung | Cuci dengan detergen | Tidak perlu | Tidak perlu masukkan ke _| dan air panas. Bilas | dalam kantong | dengan air bersih, | plastik kuning | udara atau mesin pengering sesudah pakai, 2 MENTER! KESEHATAN REPUSLIK INDONESIA K. Pemakaian alat pelindung diri Kontak erat | Memasuki Kontak( 38° C), periksakan ke dokter atau fasilitas keschatan terdekat. 2. Penanganan yang tepat terhadap unggas yang sakit, yang dicurigai Flu Burung (HSNi) atau mati adalah penting untuk tindakan pengendalian dalam rangka mencegah penyebaran penyakit. a. Pastikan anak-anak jauh dari unggas mati dan sakit b. Jika anda menangani unggas mati dan sakit, pastikan anda terlindungi c. Jika anda menghadapi unggas yang sakit dan mati untuk pertama kali, segera beritahu yang berwenang dan yang berpengalaman untuk penanganan. 3. Dekontaminasi areal peternakan dan kandang ayam akan membantu pengendalian penyebaran penyakit. a. Jika mungkin, tanyakan petugas profesional b. Jika harus dilakukan sendiri, gunakan alat pelindung diri (APD). ¢. Burung mati harus dibakar dan dikubur dengan aman d. Virus influenza dapat bertahan hidup lama, pencucian dengan detergen penting pada tahapan dekontaminasi. Bahan organik harus dibuang dari rumah peternakan. . Area di luar rumah yang digunakan untuk unggas yang sulit di bersihkan dan didisinfeksi, unggas harus dikeluarkan dari area tersebut minimum 42 hari untuk radiasi ultraviolet alami untuk merusak virus residual f. Penyemprotan desinfektan di area luar atau tanah dengan ukuran terbatas sesuai dengan ketidakaktifan bahan kimia oleh bahan organik. 4. Burung yang mati dan kotorannya harus dikubur. a. Sebaiknya cari bantuan kepada jajaran pertanian setempat tentang bagaimana mengubur hewan mati dengan aman b. Ketika membakar burung mati atau kotorannya, hindari debu yang meningkat. Kubur bangkai dan kotoran burung paling tidak pada kedalaman 1 meter. c. Setelah bangkai unggas dan kotorannya dikubur, bersihkan semua area dengan detergen dan air secara benar. Virus influenza akan mati oleh deterjen dan desinfektan. MENTER! KESEHATAN ESUBLIK INDONESIA 5. Pakaian pelindung yang terkontaminasi harus ditangani secara benar dan di buang. Setelah area dibersihkan, buang semua bahan pelindung dan cuci tangan dengan sabun dan air. Cuci pakaian dengan air sabun panas atau hangat. Jemur di bawah terik matahari. Taruh sarung tangan yang telah digunakan dan bahan habis pakai lain- lain pada tas plastik untuk pembuangan aman, Bersihkan alat yang dapat digunakan kembali seperti sepatu karet dan kacamata pelindung dengan air dan detergen, tetapi selalu ingat mencuci tangan setelah penanganan alat. Alat yang tidak bisa dibersihkan harus dilebur. Bilas/cuci badan menggunakan sabun dan air. Cuci rambut anda. Jangan biarkan diri anda terkontaminasi atau area yang sudah bersih dengan menghindari kontak dengan kotoran, pakaian dan alat-alat yang terkontaminasi. Yang terpenting, cuci tangan setiap setelah penanganan alat-alat terkontaminasi. 6. Sepatu yang digunakan harus di dekontaminasi a b. « Setelah berjalan di area yang mungkin terkontaminasi, bersihkan sepatu dengan sabun dan air. Ketika membersihkan sepatu, jangan mengibaskan partikel ke wajah dan pakaian anda. Gunakan kantong plastik di tangan, lindungi mata dengan kacamata pelindung, tutupi mulut dan hidung dengan kain. ‘Tinggalkan sepatu kotor di luar rumah hingga dibersihkan dengan benar. 7. Orang yang sakit seperti flu harus memperhatikan tindakan pencegahan tambahan. a. Adalah sangat penting mencegah penyebaran influenza manusia di daerah terjangkit. Ketika virus Flu Burung (H5N1) dan virus influenza manusia Kontak satu sama lain maka terdapat risiko terjadi perubahan genetik sehingga virus baru akan muncul. Setiap orang yang sakit seperti flu harus hati-hati dengan sekresi hidung dan mulut bila di sekeliling orang lain, khususnya anak kecil, agar tidak menyebarkan virus influenza manusia Tutup hidung dan mulut ketika batuk dan bersin. Gunakan tisu dan buang di tempat sampah setelah dipakai. Ajari anak-anak untuk melakukan hal tersebut dengan baik Selalu cuci tangan dengan sabun dan air setelah kontak dengan sekresi dari hidung dan mulut. Anak-anak cenderung menyentuh muka, mata dan mulut dengan tangan kotor. Ajari pentingnya membersihkan tangan setelah batuk, bersin dan menyentuh bahan-bahan kotor. Beritahukan ke institusi kesehatan segera dan cari nasihat medis dari profesi kesehatan jika mempunyai gejala sakit, seperti demam dan/atau gejala seperti flu. 8. Tindakan pencegahan yang dapat dilakukan ketika akan mengunjungi teman ataupun saudara yang dirawat di fasilitas kesehatan. a. b. oe Jika anda mengunjungi pasien yang terinfeksi dengan Flu Burung (H5N1) ikuti petunjuk dari petugas rumah sakit untuk menggunakan APD. Pakaian khusus diperlukan ketika harus kontak langsung dengan pasien dan atau lingkungan pasien. Gunakan masker dengan benar dan sempurna. 7? d. Tinggalkan semua peralatan APD waktu meninggalkan ruangan pasien, cuci tangan dengan air dan sabun. 9. Pada daerah yang terjangkit Flu Burung (HSN1), jangan memakan daging yang berasal dari unggas atau binatang yang sakit atau mati. Bahkan disarankan untuk tidak mengonsumsi semua jenis unggas baik yang sehat maupun sakit dari peternakan yang terinfeksi Flu Burung (H5N1) tersebut. 10. Pada daerah di luar radius 1 km daerah terjangkit, langkah-langkah tindakan eee eee ‘Menyembelih unggas gunakan metode yang tidak mencemari lingkungan rumah anda dengan darah, debu, feses dan kotoran lainnya. b. Menghilangkan bulu ayam, rendam unggas/ayam dalam air mendidih sebelum mencabuti bulunya. c. Membersihkan isi tubuh unggas, gunakan metode yang tidak mencemari lingkungan rumah tangga anda dari darah, debu, feses dan kotoran hewan lainnya. d. Jangan mengusap muka dan indranya (contoh menggosok mata) selama melakukan pekerjaan yang berhubungan dengan unggas, kecuali anda sudah mencuci tangan anda dengan sabun dan air. 11. Lakukan semua tindakan kewaspadaan untuk menjamin bahwa semua unggas dan bahan olahannya telah diproses dengan baik dan aman untuk dimakan (konsumsi). a. Ayam harus diolah secara higienis dan dimasak dengan baik. b. Juga demikian dengan telur. Tindakan yang harus dilakukan dalam menangani telur mentah dan cangkangnya adalah mencuci cangkang telur dalam air sabun dan cuci tangan setelahnya. Telur dimasak sampai matang (dalam air mendidih selama 5 menit, 70°C) tidak akan menularkan Flu Burung (H5N1) kepada konsumen. c. Pada umumnya, semua makanan harus dimasak sampai matang pada suhu 70°C atau lebih. XI. PENUTUP Pedoman ini merupakan revisi dari pedoman tata laksana Flu Burung (HSN1) di Rumah Sakit yang diterbitkan pada tahun 2006. Pedoman ini dimaksudkan untuk memberikan acuan bagi tenaga keschatan di Rumah Sakit saat menatalaksana pasien Flu Burung (HSN1) dan sebagai dasar pengambilan keputusan yang diperlukan. Pedoman ini perlu disosialisasikan ke seluruh Sarana Pelayanan Kesehatan. Pada pelatihan-pelatihan tata laksana kasus Flu Burung (HSN1) untuk petugas kesehatan di Rumah Sakit pedoman ini dapat diimplementasikan dengan baik. Secara berkala pedoman ini akan dievaluasi, sehingga bila diperlukan perubahan- perubahan sesuai perkembangan ilmu pengetahuan, akan dilakukan revisi agar ini menjadi lebih sempurna sehingga penanganan Flu Burung (H5N1) lebih baik lagi. Lampiran 1. Pedoman Penggunaan Antibiotik Antibiotik | Dosis Frekuensi | Relative | Keterangan cost PenisilinG@ | 50.000 unit/ |Tiap4jam |rendah | S. pneumoniae kg/ kali Dosis tunggal maks. 4.000.000 unit Ceftriaxone | 50 mg/ ke/ 1x/hari | tinggi S. pneumoniae, H. kali influenzae dosis tunggal maks, 2 gram Cefuroxime [50 mg/ke/ | Tiap 8jam_| tinggi S. pneumoniae, H. kali influenzae Dosis tunggal maks. 2 gram Clindamycin | 10 mg/ kg/ Tiap6jam |rendah | Group A strep., S. kali aureus, Sk Dosis tunggal pneumoniae maks. 1,2 alternatif untuk gram anak yang alergi thd beta lactam, Ibh jarang menimbulkan flebitis pa pemberian IV | drpd eritromisin) Eritromisin | 10mg/kg/ | Tiap6jam |rendah |S. pneumonia, kali Chlamydia Dosis tunggal pneumonia, maks. 1 gram Mycoplasma pneumonia Lampiran 2. Clinical Pathway Rumah sakit Nama Kelamin ‘Alamat. ‘Tempatitanggal lahir’ Umur Telp Fax, ‘Alamat: Pekerjaan ima rawat Diagnosis __Avian Influenza : hart Nomor RM cu Ruang Rawat “Tanggal 12 ]3 [4 + Keadaan umum + Frekuensi napas + Denyut nadi ‘Tekanan darah + Suara napas + Saturasi 02 + Nausea + Batuk += Nyeri Tenggorok + Pllek + Sesak Napas + Diare + Konjungtivitis + Muntah + Nyerl otot + Sakit Kepala + Kejang + Urin setiap 1 jam ~ Foto toraks (PA, Lateral) * Leukosit + Limfosit Total ‘Trombosit tung jenis leukosit b Rapid tes PCR Apus Tenggorok + Uji serologi HE Analisis gas darah ‘Sputum Gram Sputum MO/resistens! 10 darah sngue blood (panas>S hari) Serologi Tipus (panas>5 hari tHIVe BTA (3x,kultur,resistens!) sputum CRP + Kreatinin kinase + Gula darah (Ni, PP) + EKG | Penyakit Dalam sip ice oe elie Intensis, ‘Anak Tanda vital Pengkajian respirasi ‘APD Monitor intake dan output Edukasi pasien dan keluarga + Monitoring ventilasi: mekanikc tap 6 jam + Antiviral (oseltamivir) + Oksigenasi “Terapi cairan + Antipiretik * Antibiotik 3. Tou, Ruang Rawat, Tenggal: ‘Tanga Jami Ti273_[e Ts Te * Diet oral + Parenteral + Normal * Bed Rest + Orientasi ruangan isolasi + Penjelasan—-mengenai penggunaan ddan manfaat APD + Penjelasan tentang penyakit fu burung + Penjelasan pneumoni akibat flu burung + Penjelasan tata laksana, tindakan dan alat-alat + Tidak demam ‘Tidak ada keluhan Respiresi + Frekuensi napas normal + 5202 normal Keadaan umum baik : Fota toraks Perbaikan/normal * Visite & konsultasi (Dokter ‘& Perawat) + Tolerans! diet balk + Aktiviti biasa 2 Pasien-mengerti tata laksana dan aeons + PCR negative = Bile ade ‘ndikast Lampiran 3 GLASGOW COMA SCALE (GCS) 1. EYE Spontan membuka mata - Dengan perintah - Dengan rangsang nyeri - Tidak ada reaksi - 2. MOTORIK Mengikuti perintah = Melokalisir nyeri = Menghindari nyeri = Fleksi adnormal (dekortikasi) = q Dor Ekstensi abnormal (deserebrasi) = Tidak ada reaksi = 3. VERBAL (V) Orientasi baik =5 Bicara membingungkan =4 Kata - kata tidak tepat =3 Zi 1 Hworaa Suara tidak dapat dimengerti_ = Tidak ada respon - TOTAL =15 Nilai terendah =3 SCORE 15 Kompos mentis 8-11 = Sopor 12-14 Somnolen, 3-7 Koma Lampiran 4. Tatalaksana kejang pada Anak berdasarkan rekomendasi IDAT 2008 ‘TATALAKSANA NON ICU (A) DIAZEPAM IV 56.2-0,5 mptkg HE aa DIAZEPAM REKTAL: WH<10kg~3 me BB» IOkg~i0-ms meait —-—-—-—-—— ay Lampiran 5. Tatalaksana kejang di ICU O Ment Kejan ‘SMenit ‘Lorazepam 01 mgkeBB,IV/10, | (aks. 4) toMenit | [ Lorazepam 0,1 ma/ksB (mak. 4 m8) A~Jalan napas B- Oksigen, ventilasi dan monitor pulse oksimetri C- monitor hemodinamile Tovazepam 0, mg/kg, IM/SK 1S Monit | | Phenytoin 20 mpkgBB (aks a) dincerkan alam normal slie diberikanselana 20 meit x 25 Menit_| [Phenobarbital 20mprkgBB (maks 1a), derkan IV ‘bolus selama $— TO mnt + SeMet | [Midazolam 0,15 mprkgBD diterikan 1V ‘bolus, emudian dlanjurkan 2 mikrogram ‘gBB/mat Raju secepatnya ke PICU ik ‘+ Gangguan jalan napas/ ventilasi/kardiovaskuler «Keng rfralzer walaupun sudah dengan obat 2 jenis ‘Duras kang lebih dari 30 mnt + Diperlukan infus Midazolam atau Thopental ‘Midazolam tras ak 2 mikrogran/kgBB/nnt stip $meaitjka peru dapat der IV bolus 0,15 mghkgBB (aks 24 mivogramgbi/nat ‘sia 20 mgjam) ‘90 Menit penta Amg/kgBB IV bolus, Gtejotan dnp st mptegan. nfs Midazolam bars heaton ‘Thiopental: tas naik I makgBBjam setin 30 ment ik peru daatdiberi:an Midazolam Aitappeing-0% | rmikrogranvkp Bro ka kejang herbed dalam 48 “Thopental,tapperin as Lampiran 6. Tatalaksana status konvulsivus di ICU Kejang Refrakter / Status Epileptikus J EEG monitoring dan akses vena sentral (monitor hemodinamik) dan tunjangan ventilasi yang adekuat | Midazolam 0,15 mg/kgBB IV bolus, lanjut drip infus 0,75 — 18 mikrogr/kgBB/mnt atau Diazepam 0,3 mg/kgBB IV bolus, lanjut drip infus 0,01 — 0.04 mg/kgBB/mnt atau Pasien dengan tunjangan ventilasi mekanik Propofol 1- 3 mg/kgBB IV bolus, lanjut drip infus 2 - 10 mg/kgBB jam atau Pentobarbital 5 - 15 mg/kgBB IV bolus, lanjut drip infus 0,5 - 5 mg/kgBB/jam atau Infus Thiopental 3 - 4 mg/kgBB IV bolus, lanjut drip infus 1 - 10 mg/kgBB/mnt ‘Usia (thn) Denyut jantung | Sistolik (mmHg) | MAP-CVP (/menit) (cmH20) sl 120 - 180 70-90 60 s2 120 - 160 80 - 100 65 s7 100 - 140 90-110 65 s15 90 - 140 100 - 120 65 ‘Lampiran 7. Nilai Normal Tanda Vital pada anak + Batasan frekuensi napas cepat pada anak: = <2bl : 2 60x/menit = Ql-<12bl —-: 2 50x/menit -21th-lihat lampiran) Lampiran 8, Skor DIC 2001 Sistem Skor DIC (ISTH 2001) 1. Penilaian risiko: apakah terdapat penyebab DIC? (jika tidak ada, penilaian tidak dilanjutkan) 2. Uji Koagulasi (trombosit, PT, D-dimer, fibrinogen) 3. Skor: Skor | Trombosit D-dimer | PTmemanjang | Fibrinogen 0 >10.000 =500 <3 detik >100 mg/dl a 50.000-10.000 | 500-1000 | 4-6 detik <100 mg/dl 2 <50.000 [1000 >6 detik 4. Jumlah skor: 25: sesuai DIC <5: sugestif DIC skor diulang setiap hari : skor diulang dalam 1-2 hari a8 Lampiran 9. Form Asuhan Keperawatan RUMAH SAKIT. FORMULIR ASUHAN KEPERAWATAN JENIS : LK/PR R.RAWAT UMUR :... ....TH NO.REG, NO.RM NAMA TANGGA RENCANA TINDAKAN, DIAGNOSA KEPERAWATAN KEPERAWATAN Lampiran 10. FORMULIR PENGKAJIAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN FLU BURUNG (HSN1) (ANAK DAN DEWASA) 1. Identitas Pasien Nama Umur Alamat Pekerjaan Pendidikan Jenis kelamin Penanggung jawab 2. Riwayat kesehatan masa lau Riwayat pernah sakit Ada 0 Sebutkan. paru Riwayat sakit lain : Ada 0 Sebutkan ..... 3. Riwayat kesehatan keluarga Riwayat penyakit turunan Ada Riwayat penyakit yang samadengan : Ada pasien Riwayat penyakit paru dalam keluarga : Ada 1 Genogram 4. Riwayat perjalanan Dalam waktu 7 hari sebelum timbulnya gejala Melakukan kunjungan ke daerah atau bertempat tinggal di wilayah yang terjangkit Flu Burung (HSN1) : Ya Kontak atau mengkonsumsi unggas Ya sakit Kontak dengan unggas/orang yang positif Flu Burung (HSN1) : Eval Tidak O Tidak Oo Tidak 9 Tidak 0 Tidak 0 Oo Tidak Oo 10. . Kondisi lingkungan rumah - Dekat dengan pemeliharaan : Yao unggas - Memelihara unggas : Yao Kebiasaan sehari-hari (aktivitas) - Jenis pekerjaan Tidak 0 Tidak 0 - Kebersihan diri (kebiasaan mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan kegiatan) Riwayat psikososial dan spiritual = Dampak penyakit pasien terhadap keluarga ~ Persepsi terhadap penyakit = Masalah yang mempengaruhi pasien - Mekanisme koping - Sistem nilai kepercayaan Status Imunisasi (khusus untuk pasien anak) - Dasar : BCG, Hepatitis, DPT, Polio, Campak : Lengkap) Tidal lengkap 0 - Lanjutan : Lengkap | Tidak lengkap 0 Pemeriksaan fisik a. Status neurologi - Tingkat kesadaran CM © Apatis 0 Somnolent © Soporcoma 0 Coma o = Glasgow Coma Scale (GCS): Eye= Motorik= Verbal= , EMV= b. Status respirasi - Jalan Napas Bersih 1 AdaSumbatan 0 - Pernapasan Sesak i) Tidak Sesak 0 - Frekuensi Pernapasan : .... - Irama Napas Teratur o .. x /menit Tidak Teratur - Jenis Pernapasan Spontan o - Batuk Ya Oo Kusmaul Tidak - Sputum Ya o - Konsistensi Kental o - Suara Napas Vesikuler oO - Palpasi Dada : - Perkusi Dada : - Nyeri saat bernapas Ya Oo Tidak Encer Tidak ~ Menggunakan alat bantu pernapasan Ya oO Tidak . Status kardiovaskuler - Nadi -x/menit + Irama Teratur 0 * Denyut Teratur 0 - Tekanan darah ~ Distensi vena jugularis + Kanan - Warna kulit Pucat 0 - Pengisian kapiler - Edema kaki/tungkai Ya oO Ya O Ya O Cyanosis 0 seve /detike Tidak - Kelainan bunyi jantung Murmur o Gallop a Cheynestokes a Warna 0 a Rales 0 Tidak teratur 0 Tidak teratur 0 . mmHg Tidak Tidak oO a Kemerahan 0 e Sakit dada Ya a Tidak Gastrointestinal - Keadaan mulut * Gigi Caries = 0 Tidak 0 + Stomatitis : Ya a Tidak * Lidah kotor: Ya ao Tidak * Saliva :Normal 0 Abnormal 0 - Muntah :Ya a Tidak © - Nyeridaerah perut : Ya a Tidak 0 - Bising usus - Diare Ya a Tidak 0 - Konstipasi :Ya a Tidak 0 Ekstremitas - Kesulitan dalam pergerakan: Ya fa Tidak - Keadaan tonus otot Baik © Hipotoni © Hypertoni 0 Atoni 0 - Kekuatan otot A 3l4 221 Pemeriksaan penunjang - Laboratorium meliputi darah lengkap, AGD, kimia darah, serologi, PCR, Widal, IgM, IgG, mikrobiologi, kultur, BTA. - Radiologi meliputi foto toraks J3 Lampiran 11. FORMULIR PERENCANAAN PASIEN PULANG: NAMA PASIEN TRUANGAN REG, RM RUMAH SAKIT Kelamin Pw ‘TANGGAL MASUK : Umur Diagnosa Keperawatan yang belum teratasi 1 2 Kondisi Pasien : D mmHg = Subu col Nadi: _x/menit RR: x/menit Diet : Pengobatan lanjutan : Konsultasi lanjutan : Pendidikan Keschatan Yang Diberikan: Jakarta, Kepala ruangan J Lampiran 10. APACHE score ‘THE APACHE Il SEVERITY OF DISEASE CLASSIFICATION SYSTEM avaio.oaievaniance [Satna a = ee ee oS 5 az a = bass lpazs| ia | =] 2 = > & TS Lampiran 12, PELOD Score dan Penilaian Glasgow Coma Scale untuk anak PELOD Scor Latar belakang Pediatric Logistic Organ Dysfunction Score (PELOD score) adalah sistem penilaian yang digunakan untuk menilai berat-ringannya kasus pediatrik dengan disfungsi organ multipel. PELOD score dapat juga digunakan untuk memperkirakan kematian. ‘Teknik penilaian Nilai PELOD diperoleh dari skor fungsi organ sesuai daftar berileut: 1, Kardiovaskular a. Denyut jantung i. Usia < 12 tahun 1, < 195 (Skor 0) 2. > 195 (Skor 10) ii, Usia > 12 tahun 1. $150 (Skor 0) 2. > 150 (Skor 10) b. Tekanan Sistolik i. Usia < 1 bulan 1. > 65 (Skor 0) 2. 35-65 (Skor 10) 3. <35 (Skor 20) ii, Usia > 1 bulan < 1 tahun 1. > 75 (Skor 0) 2. 35-75 (Skor 10) 3. <35 (Skor 20) iii, Usia 2 1 tahun < 12 tahun 1, > 85 (Skor 0) 2. 45-85 (Skor 10) 3. < 45 (Skor 20) Usia > 12 tahun 1, > 95 (Skor 0) 2. 55-95 (Skor 10) 3. < 95 (Skor 20) 2. Pernapasan a. PaO2/FiO2 (tanpa memperhatikan mode ventilasi mekanik) i, > 70 mm Hg (Skor 0) ii, $70 mm Hg (Skor 10) b, PaCOs (tanpa memperhatikan mode ventilasi mekanik) i, $90 mm Hg (Skor 0) ii, > 90 mm Hg (Skor 10) c. Ventilasi mekanik (termasuk mask ventilation) Membutuhkan ventilasi mekanik (Skor 0) ‘Tidak membutuhkan ventilasi mekanik (Skor 1) 3. Neurologi ‘a. Skala koma Glasgow (nilai terendah sebelum dilakukan sedasi) i, 12-15 (Skor 0} 7-11 (Skor 1) iii, 4-6 (Skor 10) iv. 3 (Skor 20) b. Reaksi pupil i, Keduanya reaktif (Skor 0) ii, Keduanya terfiksasi (Skor 10) 4, Hematologi a, Jumlah lekosit i. 24,5 x 109/L (Skor 0) ii, 1,5-4,4 x 109/L (Skor 1) iii, < 1,5 x 109/L (Skor 10) b. Jumlah trombosit i, 23,5 x 109/L (Skor 0) i. < 3,5 x10°/L (Skor 1) 5. Hati a. SGOT i, < 950 UI/L (Skor 0) ii, 2950 UI/L (Skor 1) b. Masa thrombin atau INR i, PT > 60% atau INR < 1,4 (Skor 0) ii, PT < 60% atau INR < 1,4 (Skor 1) 6. Ginjal a. Kadar kreatinin i, Usia <7 hari 1, < 1,59 mg/dl (Skor 0) 2. 21,59 mg/dl (Skor 10) ii, Usia > 7hari < 1 tahun 1, < 0,62 mg/dl (Skor 0) 2. 20,62 mg/dl (Skor 10) ifi, Usia 2 1 tahun < 12 tahun 1, < 1,13 mg/dl (Skor 0) 2. 21,13 mg/dl (Skor 10) iv, Usia > 12 tahun 1. < 1,59 mg/dl (Skor 0) 2. 2 1,59/dl (Skor 10) Nilai skor setiap sistem organ ditentukan oleh skor tertinggi pengukuran dari setiap sistem organ. Nilai PELOD merupakan jumlah seluruh skor sistim organ. Penyesuaian skala koma Glasgow untuk anak di bawah usia 5 tahun dapat mengikuti tabel berikut. 2Stahun <5 tahun Bye opening (membuka mata) Ea Spontan ‘Seperti anak > 5 tahun ES Terhadap rangsang ‘Seperti anak > 5 tahun verbal E2 ‘Terhadap rangsang nyeri_| Seperti anak > 5 tahun EL Tak ada respon ‘Seperti anak > 5 tahun Verbal V5 Terorientasi Sadar atau mengeluarkan suara sesuai kemampuan sehari-hari va Kacau (Confused) Kurang dari kemampuannya sehari- hari atau menangis iritabel v3. Kata-kata tidak adekuat_| Menangis bila nyeri v2 Suara tidak ‘Mengerang bila nyeri komprehensif vi Tak ada respon terhadap | Tak ada respon nyeri terhadap nyeri Grimace (menggantikan penilaian verbal pada anak yang terintubasi) GS ‘Aktivitas muka dan mulut normal, contohnya batuk, menghisap pipa endotrakeal G4 ‘Aktifitas spontan berkurang atau hanya berespon terhadap sentuhan G3 Menyeringai kuat pada nyeri @ ‘Menyeringai lemah atau perubahan ekspresi muka pada nyeri a Tak ada respon pada nyeri ‘Motor M6 Menurat perintah Gerakan spontan normal MS Dapat melokasikan nyeri | Seperti anak > 5 tahun atau menghindar terhadap sentuhan Ma Menghindar dari nyeri | Seperti anak > 5 tahun M3 Fleksi abnormal terhadap | Seperti anak > 5 tahun _nyeri M2 Ekstensi abnormal Seperti anak > 5 tahun terhadap nyeri MI Tak ada respon terhadap | Seperti anak > 5 tahun nyeri Prediksi kematian dihitung berdasar: 1. Logit 7,64+0,30 (jumlah skor PELOD) 2. Prediksi kematian = 1/(1+e*e") Penilaian skor PELOD dengan bantuan komputer dapat diakses secara bebas pada alamat: http: / /www.sfar.org/scores2/pelod2.htm! Lampiran 14. Daftar peralatan Flu Burung (HSN1) No. Nama Alat T ‘Alat Kedokteran/Keperawatan/Kesehatan T. | Bronchoscopy 2. [TTS Posisi + matras 3._| Ventilator 4,_| Bed Side Monitor 5. | Blood Gas Analyse 6. | Mobile X Ray 7. [UV light 8. _| APD (Alat Perlindungan Diri) 9. | Nebulizer 10. | Intubasi set II, | Oxygen Concentrator Complete with Accessories 12, | Infusion Pump 13. | Syringe pump 14, [EKG 12 Channel 15. | Defribillator 16. | Automatic Film Processor 17. | Vena Sectie 18. | Sterilasator Kering 19. | Suction Pump 20, | Central Monitor 21. | Stretcher 22, | Manometer 02 central 23. | Tensimeter 24,_| Stethoscope 25,_| Termometer 26._| Standar Infus | APD T,_| Baju Operasi 2._| Gown/Jas Operasi 3._| Sepatu Boot 4,_| Sarung Kaki No. ‘Nama Alat %._| Topi Bedah/Tutup Kepala 6._| Masker Bedah 7._| Masker NO5 8,_| Sarung Tangan Panjang 9, _| Sarung Tangan Biasa/Bedah 10. | Goggles/Kacamata Pelindung I1._| Apron Plastik IM | Alat Rumah Tangga T,_|Lemari Alat Tenun 2, _|Lemari Pakaian 3._| Ember Besar “4,_| Tempat Sampah Medis 5. _| AC / Kipas Angin 6. _| Sikat Cuci Tangan V__| Alat Habis Pakai T._|Desinfektan 2._| Sabun 3. [Tsu 4,_| Plastik Sampah wo ‘Lampiran 15. Ruang Isolasi Gb. 1 Model Varian R. Isolasi untuk Flu Burung (H5N1) Model Varian Tata-Ruang Dalam R.Isolasi tof Gb. 2 Model Varian -1 R. Perawatan Isolasi Untuk Flu Burung (H5N1) Mat) Mioial 9 Miial 6) eau Moose Mode ‘oem "80m ‘oem ‘enw ee "an ir Tae innate) Mosoat woven inal) Mose } ‘Sirkuiast 4 isi 240m vem Sieieetne Sbeee os sia) ray e POPPI SoporOEPNES TTT Model Varian - 1 Skala Garis ‘Tata-Ruang Dalam pada area R. Perawatan 2 200. 400, 600 Isolasi, R. Foyer Air-Lock Petugas dan Nurse a Station untuk R.Perawatan dengan BSL-2 ‘2 2m 4m 6m Gb. 3 Model Varian -2 R. Perawatan Isolasi Untuk Flu Burung (HSN1) Mina Miia () Mima () Mode Modular Modular 006m 150em 300em Costes Mial() Mode 300em enimal ‘Sena 240m (Qa, Bed Length in he Mecteat Equipment Markets» 2352mm at Feb 2006) ee Minial() Modusat 200m 2 ‘Stasi Perawat RIsolasi - ‘Nurse Station Wea) | Drawing Copyright by c PSPPK-Setlor-OEPKES-R1-2008, Model Varian - 2 5 Tata-Ruang Dalam pada area R. Perawatan e8 ries = = Isolasi, R. Foyer Air-Lock Petugas dan Nurse a Station untuk R.Perawatan dengan BSL-3. ° 2m 4m 6m Gb. 4 Model Varian-3 a) Medar Maia (p) Moar Yoon animal) Mogae Soden ‘Siri (ia Bed Length in the nleseal Euipment Market Se Bosamm at eb.2008) ima (@) ose 2000 Maal) inimat iat) Mesut Modular Mogutar Sooem soem Soden irimal ) Modular 800 om Silas RiRawat ee 1 ‘Stasi Perawat Islas) Nurse Staton Area) na ona onan be. cane Fit Ta Ton | Drawing Copyright by © PSPPK:Sefen-DEPKES.A2008 Model Varian - 3 Skala Garis Tata-Ruang Dalam pada area R. Perawatan 0 200 400 600 —_———— Isolasi, R. Foyer Air-Lock Petugas dan Nurse ——— Station untuk R.Perawatan dengan BSL-3. coy Gb. 5 Model Potongan Sterilisator Udara R. Perawatan Isolasi untuk Flu Burung (H5N1) | i R.Perawatan | RAntara Bg Isolasi MPersiapan Bel me s aE | ge DENAH SKEMATIK Be ] “To ey Henecm — pe TAMPAK POTONGAN A-A RUANG ISOLASI & STERILISATOR UDARA Kriteria Ruang Perawatan Isolasi Flu Burung (H5N1) ) 2 3) 4) 5) Perawatan Isolasi (Isolation Room) a. Zona Paparan Primer / Paparan Tinggi b. Pengkondisian udara masuk dengan Open Circulation System c. Pengkondisian udara keluar melalui Vaccum Luminar Air Suction System d. Air Sterilizer System dengan Burning & Filter e. Modular minimal = 3 x 3 m2 Ruang Kamar Mandi / WC Perawatan Isolasi (Isolation Rest Room) a. Zona Paparan Sekunder / Paparan Sedang b. Pengondisian udara masuk dengan Open Circulation System ¢. Pengkondisian udara keluar melalui Vaccum Luminar Air Suction System d. Modular minimal = 1,50 x 2,50 m2 Ruang Bersih Dalam (Ante Room / Foyer Air Lock) a. Zona Paparan Sekunder / Paparan Sedang b. Pengkondisian udara masuk dengan AC Open Circulation System c. Pengkondisian udara keluar ke arah inlet saluran buang ruang rawat isolasi d. Modular minimal = 3 x 2,50 m2 Area Sirlaulasi (Circulation Corridor) a. Zona Paparan Tersier / Paparan Rendah / Tidak Terpapar b. Pengkondisian udara masuk dengan AC Open Circulation System c. Pengkondisian udara keluar dengan sistem exhauster d. Modular minimal lebar = 2,40 m Ruang Stasi Perawat (Nurse Station) a. Zona Paparan Tersier / Paparan Rendah / Tidak Terpapar b. Pengkondisian udara masuk dengan AC Open Circulation System c. Pengkondisian udara keluar dengan sistem exhauster d. Modular minimal = 2x 1,5 m2 / petugas (termasuk alat) “ob Lampiran 6. DAFTAR ISTILAH pRernaus enn ui 12, 13, 14, 15. 16. 7 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24, 25. 26. 27, 28. 29. 30. 31, sas 33. 34, ACTH AGD AIL ALL APACHE APD ARDS BE BiPAP BMI BTA cpe CFR a CPAP eve cvP CVVH DIC Dss DVT ELISA FiO2 ccs GFR HEPA IDAL IDSAI Adrenocorticotropic Hormon Analisa Gas Darah Airborne Infection Isolation Acute Lung Injury Acute Physiology and Chronic Health Evaluation Alat Pelindung Diri Acute Respiratory Distress Syndrome Base Excess Bi level Positive Airway Pressure Body Mass Index Basil Tahan Asam Communicable Disease Center Case Fatality Rate Cardiax Index Continuous Positive Airway Pressure Central Venous Catheter Central Venous Pressure Continuous Veno Venous Haemofiltration Disseminated Intravascular Coagulation Dengue Shock Syndrome Deep Vein Thrombosis Enzyme Linked Immunosorbent Assay Endo Tracheal Tube Fresh Frozen Plasma Fraction of Inspired Oxygen Glasgow Coma Scale Glomerulus Filtration Rate Hospital Acquired Pneumonia High Efficiency Particulate Air Haemaglutination Inhibition Human Immunodeficiency Virus Heart Rate Ikatan Dokter Anak Indonesia Ikatan Dokter Spesialis Anestesi Indonesia top 35. 36. a7. 38. 39. 40. 4l. 42. 43. 44, 45. 46. 47. 48. 49. 50. 51. 52. 53. 54. B51 56. oY 58. 59. 60. 61. 62. 63. 64. 65. 66. 67. 68. I INR IVED LMWH MAP NSAID NS1 Dengue NIT Orr PAP PAPDI PAMKI PDPI PDSRI PDS PATKLIN PEEP PELOD PERDALIN PKGDI PPLISPA PPNI Pplat PS RT PCR SBT scvo2 svo2 SVR sIMV UFH Influenza Like Iiness International Normalized Ratio Intra Venous Fluid Drips Kejadian Luar Biasa Low Molecular Weight Heparin Mean Arterial Pressure Non Steroidal Anti Inflammatory Drugs Antigen Non Structural-1 Dengue Naso Tracheal Tube Oro Traheal Tube Peak Airway Pressure Perhimpunan Abli Penyakit Dalam Indonesia Perhimpunan Abli Mikrobiologi Indonesia Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Perhimpunan Dokter Spesialis Radiologi Indonesia Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi Klinik Positive End Expiratory Pressure Pediatric Logistic Organ Dysfunction Perhimpunan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Perhimpunan Kegawat Daruratan Indonesia Panduan Pencegahan Infeksi Saluran Pernapasan Atas Perhimpunan Perawat Nasional Indonesia Plateau Pressure Pressure Support Protrombin Time Partial Thromboplastin Time Respiratory rate Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction Spontaneous Breathing Trial Saturasi Oksigen Vena Sentral Saturasi Vena Campuran Systemic Vascular Resistance Synchronize Intermitten Mechanical Ventilation Unfractionated Heparin 109 69. 70. Ti: Tas VAP WOB wSD Ventilator Associated Pneumonia Volume Tidal Work of Breathing Water Sealed Drainage tag

You might also like