You are on page 1of 15

Perkembangan Teknologi Arsitektur di Zaman Pemerintahan Kolonial

HIndia Belanda
Perkotaan di Indonesia pada zaman kolonial sangat memperhatikan tentang
transportasi yang dapat menjangkau seluruh bagian wilayah nusantara. Karena
luas wilayah Indonesia sangat luas diperlukan berbagai transportasi, yaitu
transportasi darat, laut dan udara (namun pada zaman colonial transportasi
udara belum ditemukan). Namun dalam bacaan Engineers of Happy Land oleh R.
Mazek berfokus pada transporatasi darat yang digunakan di wilayah pulau jawa
dan sumatera. Diawali dengan penemuan kereta api. Pemerintah Hindia Belanda
pada masa itu ingin menerapkan jenis transportasi darat ini agar dapat
memudahkan rakyatnya berpergian ke seluruh bagian pulau jawa dan sumatera.
Pada saat itu sudah terdapat jalan raya besar yaitu jalan pos Daendels yang
membentang dari Anyer ke Panarukan. Jalan pos Daendels ini sangat berarti
untuk rakyat Hindia Belanda yang menempati pulau Jawa, karena dapat
memudahkan dalam berpergian ke satu kota ke kota lainnya. Namun meskipun
jalan raya ini membentang dari barat ke timur pulau Jawa, masyarakat masih
kerepotan karena transportasi yang digunakan masih memerlukan waktu yang
cukup lama.
Pada zaman colonial banyak masyarakat yang tergolong berdarah campuran
antara belanda dan pribumi. Banyak sekali surat terhormat untuk koloni yang
mengingatkan, bahwa orang belanda tenggelam di Hindia Belanda.
bagi setiap orang yang boleh jadi berhasil melaksanakannya, ada ratusan
orang yang terjebak di Hindia Belanda, tanpa peluang untuk melihat Eropa
lagi. Belanda akan dijangkau lagi hanya oleh mereka yang benar-benar
dicintai oleh nasib; sebagian terbesar mereka yang dari tahun demi tahun,
berangkat ke wilayah tropis, akan mati di situ pula, dilupakan oleh tanah
air mereka (van Sandick. 1891)
Karena pada zaman kolonial sebagian besar rakyatnya lahir,, tumbuh dan
berkembang hingga meninggal di Hindia Belanda yang tropis ini. Sehingga
banyak rakyat Hindia Belanda yang kurang bisa menggunakan bahasa Belanda
yang merupakan bahasa tanak air mereka, yaitu Negara Belanda. Tahun demi
tahun semakin banyak rakyat Negara Belanda yang pindah ke wilayah Hindia
Belanda. Dikarenakan kabar tentang wilayah Hindia Belanda yang kaya akan
Dinda Ayu Prameswari
1306403674

sumber daya, indah dan beriklim tropis menyebar secara cepat di Negara asal
mereka, yaitu Negara Belanda.
Di tahun 1900, sekitar 60.000 orang Eropa,, kebanyakan orang Belanda, tinggal
di Hindia Belanda. Di tahun 193-ketika sensus terakhir di jajahan itu dilakukanjumlah tadi telah berkembang menjadi 208.000. Namun itu hanya 0.34% dari 60
juta jumlah seluruh penduduk (R.Mrazek.2006) 1
Dengan semakin bertambahnya penduduk di wilayah Hindia Belanda ini,
semakin sulit rakyat Hindia Belanda untuk berpergian, karena transportasi yang
sudah ada sebelumnya tidak dapat mengangkut orang dengan jumlah yang
banyak dan membutuhkan waktu yang cukup lama dalam perjalanannya. Oleh
karena itu diterapkan jenis transporatsi baru, yaitu kereta api. Kereta api yang
digunakan terdiri dari 3 kelas, yaitu kelas 1,2 dan 3. Kelas 1 diperuntukan untuk
Eropa, kelas 2 untuk orang Eropa yang berpendapatan rendah dan pribumi kelas
atas sedangkan kelas 3 untuk pribumi bahkan terkadang disebut kelas kambing.
Penggunaan transporatsi kereta api ini beragam, antara lain:
A. Alasan-alasan berpergian yang sifatnya ekonomis; pasar, mencari
kerja:69,5%
B. Alasan-alasan berpergian yang sifatnya pribadi:
30,5%
C. Kunjungan kepada anggota keluarga lain:
20,8%
D. Hukum dan tatanan; panggilan ke kantor pemerintah atau pengadilan:
3,6%
E. Iman dan tradisi; kunjungan ke makam dan tempat suci lain:
3%
F. Bersenang-senang:
3,1% (R. Mrazek. 2006)2

1 Mrazek, R. (2006). Engineers of Happy Lands. 1st ed. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia
2 Mrazek, R. (2006). Engineers of Happy Lands. 1st ed. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia
Dinda Ayu Prameswari
1306403674

Jalur Kereta Api di Stasiun Tuntang, Semarang (KTILV)

Namun secara tidak disangka oleh pemerintah wilayah Hindia Belanda,


transportasi baru ini yaitu kereta api sangat membeludak kepopulerannya
diantara rakyatnya, terutama pada bagian kelas 3 yang diperuntukan untuk
pribumi. Dikarenakan harga tiketnya yang murah dan kebutuhan rakyat pribumi
untuk berkerja sesuai dengan data yang diperoleh dari buku Engineers of Happy
Lands oleh Rudolf Mrazek di atas, yaitu sebagian besar pengguna kereta api
bertujuan untuk bekerja entah itu ke pasar atau mencari pekerjaan. Selain itu
transportasi baru ini dapat mengangkut barang bawaan hingga 50 kilo secara
cuma Cuma. Hal ini tentu saja sangat menguntungkan untuk rakyat pribumi.
Karena membludaknya kepopuleran kereta api, terutama untuk kelas 3,
pengguna kereta api dari kelas lainnya, yaitu kelas 1 dan kelas 2 merasa kurang
nyaman. Mereka mengeluhkan bau yang berasal dari kelas 3 yang diperuntukan
untuk pribumi. Karena rakyat pribumi yang menggunakan kelas tersebut
merupakan pedagang, budak dan lain-lain yang kurang bersih pakaian dan
badan mereka, bahkan tidak jarang rakyat pribumi tersebut membawa serta
hewan ternak mereka seperti kambing yang dibawa untuk dijual di tempat yang
mereka tuju dengan menggunakan kereta api ini.
Untuk mengatasi masalah ini pemerintah membatasi penjualan untuk tiket kelas
3, sehingga pengguna kereta api kelas 3 menjadi berkurang dan kenyaman
kembali untuk pengguna kereta api kelas lainnya. Selain itu dengan adanya
Dinda Ayu Prameswari
1306403674

pengurangan penjualan tiket kereta api kelas 3 ini, transportasi darat lainnya
dapat berkembang, yaitu seperti delman, trem dan lainnya.
Di Batavia, tahun 1909, dalam satu bulan, di jalur-jalur trem listrik, sebanyak
10.404 penumpang berpergian dari kelas utama, 72.632 di kelas dua, dan
255.197 di kelas tiga. (R.Mrazek. 2006)
Dari data tersebut dapat diketahui ternyata transportasi lain selain kereta api
juga ikut berkembang dengan semakin bertambahnya penduduk yang tinggal
dan menetap di wilayah Hindia Belanda ini. Namun lama kelamaan penduduk
yang tinggal dan menetap di wilayah Hindia Belanda ini semakin bertambah
padat dan hamper tidak terkendali. Hal ini mengakibatkan transportasi yang ada
pada zaman itu semakin tidak dapat menyanggupi kebutuhan rakyat wilayah
Hindia Belanda dalam berpindah ke satu kota ke kota lainnya, maka diperlukan
lagi mencari transportasi baru yang dapat menyanggupi kebutuhan rakyat
wilayah Hindia Belanda dari kelas bawah hingga kelas atas.
Pada tahun 1939, terdapat 51.615 mobil di Hindia Belanda, 37.500 ada di Jawa,
7.557 di Batavia, 4.945 di Bandung, dan 675, misalnya di Jepara-wilayah
Rembang, tempat Kartini tinggal dan meninggal. (R.Mrazek. 2006) 3
Dengan semakin bertambahnya transportasi baru, yaitu mobil, semakin banyak
pula jumlah kecelakaan lalu lintas yang terjadi di wilayah Hindia Belanda,
terutama di pulau pusat wilayah Hindia Belanda, Pulau Jawa. Karena transportasi
ini sangat berbeda dengan transportasi baru sebelumnya, kereta api, yang
mengangkut penumpang dalam jumlah banyak dan bergantung pada satu orang
yaitu juru kemudi yang bertugas untuk memegang kendali atas kereta api. Pada
mobil setiap orang harus bisa mengendarai kendaraan tersebut dengan
tangannya sendiri. Bahkan tidak jarang ada pribumi yang duduk dibelakang
kemudi mobil. Karena adanya kecerobohan yang dilakukan pengemudi, maka
jumlah kecelakaan di darat semakin bertambah banyak jumlahnya.
Pada tiga bulan pertama tahun 1928, sebagai contoh di Surabaya terjadi 524
kecelakaan lalu lintas serius, 24% disebabkan oleh mobil, 23% disebabkan oleh
kereta api atau trem, 17% disebabkan oleh motor. Pengemudi yang terlibat

3 Mrazek, R. (2006). Engineers of Happy Lands. 1st ed. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia
Dinda Ayu Prameswari
1306403674

dalam kecelakaan itu, 11% adalah orang Eropa, 6% orang Cina dan Arab. Dan
sebanyak 83% pribumi. (R.Mrazek.2006)4
Pada zaman kolonial ini, rakyat pribumi atau rakyat asli Indonesia menggunakan
bahasa daeranh asalnya masing-masing. Karena begitu banyak suku danbudaya
yang ada di wilah Hindia Belanda ini, sedikit sulit untuk berkomunikasi dengan
orang yang berbeda daerah asal. Maka dari itu dibutuhkan bahasa induk atau
bahsa ibu yang dapat menyatukan seluruh rakyat pribumi dalam berkomunikasi,
sehingga digunakan bahasa Indonesia, yang merupakan perkembangan dari
bahasa Melayu yang ditinggikan dan dibakukan oleh pemerintah kolonial
Belanda dan Volkslectuur (Bacaan Rakyat) serta penerbit Balai Poestaka miliki
pemerintah.
Menurut Sarmidi Mangunsarkoro, seorang guru di Taman Siswa, dalam tulisannya
di tahun 1939, beliau melukiskan sulitnya dalam berbicara dan menulis. Namun
beliau mendukung adanya bahasa campuran karena di wilayah Hindia Belanda
ini begitu banyak suku dan budaya yang bermacam-macam:
Orang-orang tertentu, begitu tampaknya, menutup mulut mereka dan
diam, sekadar untuk tidak berbicara dalam bahsa Indonesia gado-gado.
Sebagian orang, tampaknya, khawatir kalau mereka berbicara dalam
bahas itu, mereka kehilangan rasa hormat dari orang lain.
namun, siapa saja yang mempelajari sejarah bahasa inggris, misalnya
tahu bahwa bahasa mereka pun adalah bahasa campuran, mengeltaal,
Mischsprache. Dan, siapa yang akan mengatakan bahwa bahasa Inggris
tidak pantas dihormati. (Mangunsarkoro. 1939)5
Karena semakin digunakannya bahasa Indonesia diseluruh penjuru wilayah
Hindia Belanda, sehingga semakin bberkembangnya gerakan-gerakan nasionalis
yang ada di wilayah Hindia Belanda. Banyak terdapat kelompok-kelompok yang
bertujuan sebagai wadah komunitas terhadap sekelompok orang yang memiliki
kesamaan dalam perkerjaan maupun dalam hal lainnya, seperti komunitas Sopir,
HCM, dan lain lain.
4 Mrazek, R. (2006). Engineers of Happy Lands. 1st ed. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia
5 Mangunsarkoro, S. (1939). Bahasa Campuran. Keboedajaan dan Masjarakat.
Batavia
Dinda Ayu Prameswari
1306403674

Pada zaman pemerintahan kolonial Belanda banyak diadakan berbagai pameran


di negara Belanda. Pameran tersebut bertujuan untuk mengenalkan wilayah baru
mereka, yaitu wilayah Hindia Belanda. Pameran tersebut banyak menyajikan
kerajinan-kerajinan tangan yang dihasilkan asli dari wilayah Hindia Belanda.
Selain itu juga banyak lukisan-lukisan yang menggambarkan keadaan di wilayah
Hindia Belanda, contoh candi, pakaian, dan lain lain. Pameran tersebut
berlangsung dengan sukses di Amsterdam. Kesuksesan tersebut juga menular
hingga wilayah Hindia Belanda, terutama di kota-kota besar, seperti Semarang,
Surabaya,, Medan dan Bandung, tidak terkecuali Ibu Kota Hindia Belanda, yaitu
kota Batavia. Diadakan pameran-pameran besar yang dilaksanakan secara
berkala. Pameran-pameran tersebut menjadi sebuah wadah yang dapat
memungkinkan terjadinya interaksi antara penduduk yang berasal dari Eropa
dengan penduduk pribumi.
Pemerintah kolonial Belanda mulai menata kota-kota besar di wilayah Belanda.
Ide tersebut tercetus pertama kali berkat adanya sebuah esai panjang yang
ditulis oleh seorang pribumi yang berasal dari Jawa, Insinyur Noto Diningrat.
Dalam artikel tersebut beliau menuliskan tentang tatanan dalam tata letak
rumah tradisional Jawa. Dari penjabaran tata letak rumah tradisional daerah Jawa
ini dapat dihasilkan tata letak dalam sebuah kota besar, yang menjadi bagian
arsitektural baru di Hindia Belanda, Menurut Noto Diningrat:
Gedung-gedung layanan departemen, gedung-gedung pertemuan..dan
sebagainya, dibangun untuk pemerintahl gereja-gereja, katedral-katedral,
biara-biara, dan seterusnya dibangun untuk pelayanan keagamaan.
Perpustakaan-perpustakaan, museum, laboratorium, teater, gedung
konser dan seterusnya dibangun untuk kesenian dan pendidikan; pasar,
rumah pemotongan hewan, pusat kesehatan dan kebersihan, pabrik,
bengkel, bank hotel, dan seterusnya dibangun untuk kehidupan bersama
kota besar; stasiun kereta api, kantor pos dan telegram, gudangdan
seterunya dibangun untuk perdagangan dan transportasi. (Diningrat.
1919)6
Dari tatanan kota besar yang baru tersebut fungsi dari kota besar tersebut lebih
dapat didapatkan oleh penduduk yang tinggal dan menetap di kota-kota besar
tersebut. Karena terbentuk dan berkembangnya tatanan kota besar yang baru,
6 Diningrat, N. (1919). Oertype bij alle standen. Batavia
Dinda Ayu Prameswari
1306403674

mengakibatkan arus urbanisasi menjadi semakin marak terjadi. Hal ini


menimbulkan ras tidak aman dan nyaman untuk penduduk-penduduk kota besar,
terutama penduduk yang berasal dari Eropa. Jarak antara penduduk pribumi dan
penduduk asal Eropa semakin dengan hingga dalam tingkat yang tidak nyaman.
Sampah-sampah yang dihasilkan dari perkampungan-perkampungan modern
yang dihuni oleh penduduk pribumi yang terletak di sekeliling kota besar,
terlebih karena belum adanya sanitasi yang memadai. Pada masa itu setiap
rumah belum ada sistem sanitasi yang mendukung, sehingga kota menjadi kotor
dan jorok, bahkan orang orang terbiasa membuang hajat di pinggir-pinggir jalan.
Hal tersebut menimbulkan banyaknya wabah-wabah penyakit yang mematikan,
seperti tifus, pes dan sebagainya. Karena adanya masalah-masalah tersebut,
orang-orang mulai melihat secara seksama terhadap pandangan sistem sanitasi
pada sebuah kota besar. Sehingga pengaturan air bersih, air kotor, air minum,
WC, diatur ulang menjadi sistem yang dapat menjadikan kota-kota besar
tersebut menjadi lebih bersih, sehingga wabah penyakit menjadi berkurang.
Pada masa awal pemerintahan kolonial Belanda di wilayah Hindia Belanda,
arsitektur yang berkembang di wilayah Hindia Belanda adalah arsitektur yang
berasal dari Negara Belanda yang terletak di Eropa. Arsitektur tersebut
digunakan dikebanyakn rumah tinggal yang dihuni oleh orang-orang Belanda.
Namun karena tidak sesuai dengan iklim di wilayah Hindia Belanda, yaitu iklim
tropis yang memiliki 2 musim dengan tingkat kelembapan tinggi, jauh sekali
berbeda dengan iklim di negara asal mereka, Belanda, yang memiliki 4 musim,
menggunakan rumah tinggal yang berfungsi untuk melindungi penghuninya dari
cuaca yang bersuhu dingin, sehingga bentuk dari rumah tinggal tersebut
mendukung untuk menyimpan suhu hangat, seperti bentuk ventilasinya yang
kecil, tidak terlalu banyak jendela. Sebaliknya di wilayah Hindia Belanda, dalam
sebuah rumah sangat dibutuhkan jendela dan lubang angin yang banyak karena
suhu di iklim tropis yang panas dan lembab.
Namun tahun demi tahun penduduk Hindia Belanda yang berasal dari Eropa
semakin bisa menyesuasikan diri dengan iklim setempat, iklim tropis. Bentuk
bangunannya pun semakin menyesuasikan dengan suhu iklim torpis yang
lembab. Sebagi contoh adalah bangunan Gereja Immanuel yang terletak di
jakarta, tepat di jalan merdeka.

Dinda Ayu Prameswari


1306403674

Tampak depan Gereja Immanuel, Batavia 1875-1885 (KTILV)


Bangunan gereja ini sudah menerapkan jendela-jendela yang berukuran besar,
sehingga udara dapat bersirkulasi dengan lancar di dalam bangunan. Pada keempat sisinya sudah terdapat beranda atau teras yang berfungsi sebagai ruang
transisi yang dapat mendinginkan udara terlebih dahulu sebelum masuk ke
dalam bangunan. Pada bagian atasnya terdapat dome yang berukuran cukup
besar dan terbuat dari material kayu jati. Jika berada di dalamnya, kita tidak
merasa panas karena adanya sirkulasi udara yang lancar.
Namun arsitektur-arsitektur yang ada di wilayah Hindia Belanda ini sebagian
besar merupakan pengembangan dari arsitektur yang berasal dari Eropa,
terutama dari Negara Belanda. Seorang arsitek Hindia Belanda, Thomas Karsten
mengkritik Arsitektur yang ada di wilayah Hindia Belanda sebelumnya. Beliau
mengatakan bahwa arsitektur tersebut seolah-olah menempatkan Eropa di Jawa,
hal tersebut tidak sesuai dengan konteks site yang ada di wilayah jawa 7. Maka
muncul pertanyaan tentang apakah arsitektur Indonesia? Beberapa arsitekarsitek yang ada di Hindia Belanda berusaha mencari jawabannya.
Pada tahun 1914, Pieter Adriaan Jacobus Moojen membangun sebuah bangunan
bernama Kunstkring Art Gallery. Bangunan tersebut dianggap sebagai bangunan
pertama yang sesuai dengan iklim tropis di wilayah Hindia Belanda. Didesain
7 Wikipedia.org, (2016). HermanThomas Karsten. [Online] Available at:
https://id.wikipedia.org/wiki/Herman_Thomas_Karsten [Accessed 29 Mei.2016]
Dinda Ayu Prameswari
1306403674

dengan prinsip New Indies StyIe. Pada bagian fasad depannya terdapat 3 pintu
masuk, seudah terdapat teras depan yang berfungsi untuk mendinginkan udara
sebelum masuk ke dalam ruangan. Dengan ukuran jendela yang besar dan
memiliki banyak ventilasi8.

Kunstkring Art Gallery ini terletak di jalan Teuku Umar 1, Menteng, Jakarta Pusat.
Tepatnya di sebuah sudut jalan antara jalan Teuku Umar 1, Jalan Cut Meutia dan
Jalan Cut Nyak Dien. Lokasi ini menguntungkan sekali, karena dilewati oleh tiga
jalan besar yang sehari-hari ramai dilewati banyak kendaraan dari berbagai arah.
Bangunan Kunstkring Art Gallery ini juga sudah menjadi Landmark dari
daerahnya, yaitu kawasan Menteng, sebuah kawasan yang dikenal sebagai
kawasan elit sejak zaman kolonial, karena pada zaman pemerintahan kolonial
Hindia Belanda, kawasan ini merupakan kawasan pemukiman orang-orang
Belanda kalangan atas, dan sekarang kawasan ini menjadi kawasan pemukiman
untuk orang-orang yang berhubungan dengan kedutaan besar dari negaranegara yang bekerja sama dengan Indonesia.

8 Wikipedia.org, (2016). Kunstkring Art Gallery. [Online] Available at:


https://en.wikipedia.org/wiki/Kunstkring_Art_Gallery [Accessed 29 Mei. 2016]
Dinda Ayu Prameswari
1306403674

Fasad depan Kunstkring Art Gallery 1914 (KTLV)


Pada bagian barat dan timur bangunan Kunstkring Art Gallery ini terdapat dua
buah menara. Fungsi dari menara tersebut untuk memasukkan udara ke dalam
bangunan, sehingga bagian dalam bangunan menjadi lebih sejuk. Pada bagian
lantai dua bangunan Kunstkring Art Gallery ini terdapat balkon yang menerus ke
bawah, sehingga membentu sebuah teras yang cukup luas. Jika diperhatikan
pada bagian depan bangunan Kunstkring Art Gallery ini terdiri atas dua lapis,
yaitu bagian teras dan bagian pintu masuk. Pintu yang menuju ke bagian teras
bentuknya di sesuaikan dengan bentuk pintu masuk. Sudah menggunakan atap
miring, sehingga air hujan tidak tergenang di atapnya dan dapat mengalir ke
bawah.

Dinda Ayu Prameswari


1306403674

Bagian dalam Kunstring Art Gallery 2013 (indohoy.com)


Dari foto di atas dapat diketahui bahwa bagian dalam bangunan Kunstkring Art
Gallery ini didekorasi dengan panel panel kayu yang berwarna gelap. Pada
awalnya bangunan Kunstkring Art Gallery ini digunakan sebagai markas sebuah
organisasi seni Hindia Belanda yang bernama Bataviasche Kunstkring.
Bangunan Kunstkring Art Gallery ini digunakan sebagai ruang pameran dari
kegiatan-kegiatan Bataviasche Kunstkring dari tahun 1925 hingga tahun 1942.
Pada tahun 1942, organisasi Bataviasche Kunstkring dibubarkan oleh Jepang,
kemudian bangunan Kunstkring Art Gallery ini direbut oleh Jepang. Kemudian
pada tahun 1942 hingga tahun 1945, bangunan Kunstkring Art Gallery ini
digunakan oleh Majelis Islam Ala Indonesia atau MIAI sebagai markasnya.
Kemudian setelah Indonesia merdeka, bangunan ini digunakan sebagai kantor
imigrasi sejak tahun 1950 hingga tahun 1997. Ketika krisis moneter terjadi pada
tahun 1998, bangunan Kunstkring Art Gallery ini kosong dan dijarah oleh
penduduk sekitar. Lalu pada tahun 2008, digunakan sebagai sebuah restoran elit
yang dikelola oleh Buddha Bar9.
Bagian dalam bangunan Kunstkring Art Gallery ini terdiri atas beberapa ruang
makan besar, yaitu The Pangeran Diponegoro Room, Suzie Wong Lounge,
Colonial Rijstaffel Room and Multatuli Room pada lantai dasar, sedangkan pada
lantai atas terdiri atas, Soekarno 1950 room dan Balcony van Menteng 10

9 Owly, D. (2012). Bataviasche Kunstkring Majelis Islam Ala Indonesia Eks


Imigrasi Cafe. [Blog] Journey to The Moonlight. Available at:
https://dhydyan.wordpress.com/2012/02/22/bataviasche-kunstkring-majelisislam-ala-indonesia-eks-imigrasi-cafe/ [Accessed 30 May 2016]
10 Vira. (2013). Tugu Kunstkring Paleis, Another Jaw- Dropping Art Preservation.
[Online]. Availabel at: http://indohoy.com/tugu-kunstkring-paleis-another-jawdropping-art-preservation/ [Accessed 30 May 2016]
Dinda Ayu Prameswari
1306403674

The Pangeran Diponegoro Room


Sebuah ruang makan besar yang didekorasi oleh sebuah lukisan yang
menceritakan tentang penangkapan pangeran diponegoro yang berukuran 9 x 4
m, ruang makan besar ini dapat meampung sekitar 88 orang tamu. Didekorasi
dengan panel kayu berwarna gelap, memiliki plafon yang tinggi membuat
tempat ini nyaman untuk digunakan berkegiatan.

Suzie Wong Lounge


Sebuah ruangan caf yang didekorasi oleh berbagai furniture yang bernuansa
pecinan. Ruangan ini terinspirasi dari sebuah novel terkenal yang ditulis oleh
Richard Mason, The World of Suzie Wong. Terdapat sebuah bar kecil pada bagian
depannya, dimana pengunjung dapat memesan minuman. Dihiasi oleh lampionlampion sebagai penerangan tambahan.
Dinda Ayu Prameswari
1306403674

Multatuli Room
Terletak dibelakang The Pangeran Diponegoro Room. Sebuah ruang makan VIP.
Ruangan ini didedikasikan untuk Eduard Dower Dekker, pengarang novel
multatuli, sebuah novel satir yang mengkritik kekerasan di dalam pemerintahan
kolonial Hindia Belanda, dengan nama samaran Max Havelar. Ruangan ini
didekorasi oleh beberapa foto dan lukisan tentang Eduard Dower Dekker dan
dapat menampung 12 orang tamu.

Colonial Rijstaffel Room


Sebuah ruang makan berkapasitas 8 orang pengunjung yang didekorasi oleh
berbagai lukisan-lukisan yang menggambarkan tentang pemerintahan kolonial
Belanda. Terinspirasi dari menu makanan Rijstaffel yang pada awalnya
merupakan menu makanan yang hanya boleh disantap oleh bangsawan belanda.
Dinda Ayu Prameswari
1306403674

Namun sekarang Rijstaffel sudah dimodifikasi menjadi 12 macam menu yang


dipengaruhi oleh budaya betawi, sesuai dengan letak bangunan Kunstkring Art
Gallery ini.

Soekarno 1950
Sebuah ruang makan VIP berukuran cukup besar, didekorasi dengan berbagai
foto dan lukisan tentang Soekarno, presiden pertama Indonesia. Ruangan ini
terinspirasi dari kehidupan presiden Soekarno ketika berjuang untuk
kemerdekaan Indonesia. Ruangan ini dibuat untuk menghormati Soekarno.
Selain terdapat ruang-ruang makanan dengan berbagai jenis dan ukuran,
bangunan ini juga memiliki sebuah art space yang terletak di lantai atas. Di
ruangan ini sering diadakan pameran seni , sebagaimana fungsi awal dari
dibangunnya bangunan Kunstkring Art Gallery.

Dinda Ayu Prameswari


1306403674

Daftar Pustaka

Mrazek, R. (2006). Engineers of Happy Lands. 1st ed. Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia
Mangunsarkoro, S. (1939). Bahasa Campuran. Keboedajaan dan

Masjarakat. Batavia
Diningrat, N. (1919). Oertype bij alle standen. Batavia
Wikipedia.org, (2016). HermanThomas Karsten. [Online] Available at:
https://id.wikipedia.org/wiki/Herman_Thomas_Karsten [Accessed 29

Mei.2016]
Wikipedia.org, (2016). Kunstkring Art Gallery. [Online] Available at:
https://en.wikipedia.org/wiki/Kunstkring_Art_Gallery [Accessed 29 Mei.

2016]
Owly, D. (2012). Bataviasche Kunstkring Majelis Islam Ala Indonesia
Eks Imigrasi Cafe. [Blog] Journey to The Moonlight. Available at:
https://dhydyan.wordpress.com/2012/02/22/bataviasche-kunstkring-

majelis-islam-ala-indonesia-eks-imigrasi-cafe/ [Accessed 30 May 2016]


Vira. (2013). Tugu Kunstkring Paleis, Another Jaw- Dropping Art
Preservation. [Online]. Availabel at: http://indohoy.com/tugu-kunstkringpaleis-another-jaw-dropping-art-preservation/ [Accessed 30 May 2016]

Dinda Ayu Prameswari


1306403674

You might also like