You are on page 1of 4

Nama : Astrid Kusuma Wardhani

Instansi : BNNP Jawa Timur


Perubahan Paradigma dalam Penggunaan Zat Psikoaktif
Masalah ketergantungan akibat obat dan alkohol merupakan isu yang kontroversial.
Beberapa model variasi penjelasan adiksi, dengan menitikberatkan perhatian pada konsep
penyakit.
Model Moral
Model Moral menjelaskan bahwa adiksi sebagai konsekuensi pilihan seseorang. Individu
terkesan membuat keputusan mengonsumsi alcohol dan obat-obatan sebagai kelakuan yang
bermasalah ketika mampu membut pilihan lain. Model ini diadopsi oleh kelompok agama
tertentu juga oleh sistem hukum. Kebiasaan mabuk terlihat sebagai kebiasaan yang memalukan
oleh beberapa grup agama. Dari perspektif ini, maka intervensi religious atau spiritual penting
untuk mengubah perilaku.
Pada pengadilan tinggi tahun 1988 menemukan bahwa kejahatan akibat alcohol adalah
suatu kesengajaan bukan akibat penyakit (Miller & Hester 1995). Dalam situasi dimana
pelanggar hukum diperiksa tidak menunjukkan ketergantungan kimiawi dan perlu pengalihan
untuk pengobatan, model moral perlu dipakai sebagai panduan kebijakan. Jika penggunaan
alcohol yang berlebihan adalah hasil pilihan sendiri, maka pelanggar hukum harus dihukum.
Model Moral Adiksi berkontribusi terhadap timbulnya stigma mengenai ketergantungan.
Stigma ini menyebabkan penghalang untuk memberikan bantuan. Sebagai contoh seseorang
yang mengalami masalah ketergantungan alcohol dan obat-obatan dan jika orang-orang di
sekitarnya percaya ketergantungan alcohol dan obat-obatan dianggap tidak punya moral, maka
orang tersebut cenderung untuk mengatasi permasalahannya sendiri atau menyembunyikannya.
Model Adiksi Sosialkultural dan Psikologikal
Model ini menjelaskan bahwa adiksi terfokus pada faktor eksternal individuseperti budaya,
religious, keluarga, dan rekan atau fakstor psikologs. Pola penggunaan dan perilaku anggota
keluarga dan teman dalam mengonsumsi alkohol dan obat-obatan sangat terkait dengan
ketergantungan. Lawson, Peterson, Lawson(1983) menemukan bahwa 30% anak-anak dengan
keluarga yang alkoholik berkembang menjadi alkoholik, dibanding dengan 5% anak-anak
dengan penggunaan moderat, dan 10% dari keluarga yang abstain. Pola konsumsi keluarga
teridentifikasi sebagai faktor yang penting dalam penggunaan awal remaja(Barnes farel &
Cairns, 1986)dan respon keluarga terhadap penggunaan sangat terkait dengan penyalahgunaan
usia remaja. Hawkin dan rekannya menemukan bahwa riwayat keluarga yang alkoholik, , riwayat
criminal keluarga, perilaku antisosial, masalah manajemen keluarga, perilaku positif terhadap

penggunaan, dan teman-teman yang menggunakan obat adalah faktor prediki masalah
ketergantungan obat dan alcohol di kalangan remaja.
Dari sudut pandang yang diterima, permasalahan adiksi dapat akibat sekunder dari
permasalahan atau kondisi psikologs. Permasalahan psikologis yang utama menyebabkan nyeri
emosional dan alcohol atau obat-obatan lain membantu mengurangi rasa sakit ini. John
Bradshow (1988) menjelaskan kebiasaan kompulsif termasuk adiksisi alcohol dan obat-obatan
sebagai refleksi usaha individu sesieorang untuk melarikan diri dari rasa malu. Dukungan
penjelasan psikologis pada adiksi dapat dipercaya bahwa adanya addictive personality yang
dapat diidentifikasi bahwa mengapa individu dengan ketergantungan alcohol dan obat-obatan
sering bermasalah dengan kebiasan adiksi diluar obat (judi, makanan, pekerjaan, sex).
Tambahan penjelasan teori psikologis adiksi untuk menjelaskan kebiasaan adiksi sebagai
teori pembelajaran social. Alan Marlatt menyatakan bahwa dari sei pembelajaran social,
kebiasaan adktif menggambarkan kebiasaan yang buruk termasuk kebiasaan minum alcohol,
merokok, penyalahgunaan obat, makna berlebihan, judi. Dalam konsep ini, penggunaan obat
dipicu adanya stressor lingkungan atau permodelan dari yang lain yang diperkuat dengan efek
segera obat terhadap perasaan yang ditmbulkan akibat stressor. Dalam pembelajaran social,
faktor sosiokultural berperan penting terhadap tipe obat yang dikonsumsi, kapan
menggunakannya, dan bagaimana cara menggunakannya. Model pembelajaran social telah
digunakan dalam pengembangan strategi pencegahan kekambuhan.
Konsep Penyakit Adiksi
E.M Jelline (1960) memperkenalkan konsep penyakit adiksi sebagai model penyakit yang
komprehensif. Model ini menjadi komponen implisit dari program Alcoholics Anonymous dan
Narcotic Anonymous dan program pemulihan lainnya. Penyakit adiksitampak sebagai penyakit
primeruang berdiri sendiri bukan akibat sekunder dari kondisi lainnya. Jellinek (1952)
menjelaskan bahwa tahap progresif dari penyakit alkoholik dan gejala yang khas di setiap
tahapan. Fase awal/ prodromal ditanda dengan meningkatnya toleransi alcohol, penurunan
kesadaran, curiga, sering meneguk minuman, dan perasaan bersalah terhadap kebiasaan minum
dan lainnya. Fase selanjutnya, fase pertengahan atau krusial ditandai dengan kehilangan control
terhadap minum yang berlebihan, perubahan personality, kehilangan teman dan pekerjaan,
keasyikan dengan suplai alcohol. Fase akhir atau kronik ditandai dengan minum di pagi hari,
pelanggaran etika standar, tremor, dan halusinasi. Tahapan ini terjadi berurutan maju progresif
dalam model penyakit adiksi. Kecepatan progresivitas tergantung dari usia, pilihan obat, jenis
kelamin, kondisi predisposisi psikologis. Sebagai contoh remaja lebih cepat daripada dewasa,
wanita lebih cepat dari pria, pengguna stimulant lebih cepat daripada alcohol. Progresivitas
konsep penyakit adiksi tidak terpengaruh olehperiode ketenangan. Dari konsep ini, dapat
dinyatakan bahwa penyakit adiksi merupakan penyakit kronik dan tidak dapat sembuh. Ada
beberapa implikasi terhadap konsep penyakit adiksi. Pertama, penyakit

Adiksi adalah progresif, kronik, dan tidak dapat disembuhkan, ada asumsi logis yang
muncul bahwa orang seperti initidak akan masuk dalam fase recovery atau bahkan mati.
Kematian terjadi akibat kecelakaan atau efek terhadap tubuh akibat konsumsi berlebihan. Kedua,
jika seseorang mengalami penyakit adiksi, akan menunjukkan gejala penyakit ini jika dia
menghentikan mengonsumsi obat atau zat yang pernah dikonsumsi. Penggunaan zat psikoaktif
apapun biasanya akan menuntun kembali pada obat awal yang dipakai atau ketergantungan
sekunder terhadap obat yang baru dipakai. MC Charty (1998) menyatakan satu-satunya cara
teraman adalah abstinen total dari semua zat psikoaktif.
Keuntungan Konsep Penyakit Adiksi
Keuntungan dari konsep penyakit Adiksi adalah menghilangkan stigma negative terhadap
ketergantungan zat kimiawi dan menggantinya menjadi empati untuk pemulihan. Mendefinisikan
Adiksi sebagai penyakit mendorong perusahaan asuransi untuk menjangkau pembayaran
program perawatannya. Menarik minat para peneliti untuk melakukan penelitian konsep penyakit
adiksi. Dengan pemahaman Penyakit Adiksi serupa dengan Penyakit Kronis memudahkan pasien
untuk mampu dengan bijak mengontrol diri agar tidak sampai mengonsumsi zat psikoaktif
kembali.
Kerugian Konsep Penyakit Adiksi
Gagasan penyakit adiksi menghapus pertanggungjawaban seorang adiksi atas
perilakunya.Individu dengan permasalahan alcohol dan obat yang membutuhkan intervensi
perawatan akan menghindari bantuan ketika mereka merasa tidak sesuai dengan kriteria Model
Penyakit. Konselor cenderung tidak mendukung pasien yang tidak sesuai dengan konsep klasik
Model Penyakit.
Bukti yang mendukung Konsep Penyakit
Bukti yang mendukung Konsep Penyakit Adiksi adalah adanya kemiripan antara adiksi obat dan
alcohol dengan penyakit kronik lainnya terhadap perubahan kimiawi otak dan struktur otaknya.
Kemiripan dari segi karakteristik penyakit kronis seperti asma, diabetes, hipertensi dengan
penyakit adiksi. Pertama, Mc Lellan, Lewis, OBrien dan Kleber (2000) mereview literature
bahwa keduanya dipengaruhi genetic keturunan, berdasarkan pengamatan terhadap jumlah
penyakit yang timbul pada kembar identic ataupun fraternal. Jika perawatan diabaikan penyakit
adiksi bisa bertambah berat. Bagaimanapun permasalahan ini dapat dikedalikan dengan
perawatan yang tepat dan perawatan harus diikuti sepanjang hidup.
Mc Lellan mendiskusikan masalah faktor voluntary dalam penyakit adiksi dan penyakit kronis.
Diet, aktivitas fisik, level stress adalah semua faktor control voluntary terhadap hipertensi,
sedangkan faktor yang non voluntary nya adalah respon fisiologis yang dipengaruhi oleh
faktor genetic. Jadi penyakit adiksi mirip dengan penyakit kronis yang mana penatalaksanaannya
membutuhkan control terhadap faktor voluntary.

Kritik terhadap Model penyakit Adiksi


Konsep penyakit adiksi cukup kontroversial dan menuai kritikan. Ada dua kritikus yang terkenal
yakni Stanton Peele dan Herbert Fingarette. Penelitian Jellinek yang mengungkapkan konsep
penyakit adiksi mempunyai kelemahan yakni data dikumpulkan dari kuesioner yang disebar di
kalangan anggota AA, tidak ada responden wanita. Selain itu tidak ada yang pasti dalam
progresivitas penyakit adiksi. Meskipun progresivitas terjadi, tetapi tidak mengikuti pola yang
sama. Ada yang urutannya terbalik atau urutannya terlewatkan.
Model Adiksi Biopsikososial
Untuk merefleksikan karakter dari adiksi, banyak penulis yang merujuk pada model Adiksi
Biopsikososial. Dalam model ini, interaksi biologi, psikologis, kognitif, social, perkembangan
dan lingkungan eseorang menerangkan konsep adiksi. Menurut Kumpfer (1990) Model
Biopsikososial konseptualisasi yang paling masuk akal karena menyatukan model yang berbeda
menjadi satu model. Sehingga faktor penting dalam perawatan masing-masing klien tidak
diabaikan jika semua variable diperhitungkan. Saran untuk professional yang bekerja di bidang
kesehatan mental untuk mengevaluasi secara keseluruhan, mengembangkan multiple hipotesis
untuk menerangkan masalah penyalahgunaan obat dan alcohol, menggunakan metode perawatan
yang bervariasi, dan intervensi dikembangkan dari hasil asesmen, hipotesis, dan yang terpenting
kebutuhan klien.
Sumber:
Substance Abuse: Information for School Counselors, Social Workers, Therapists
Counselors, 4th edition, 2009,Fisher & Harrison, page 36-46.

and

You might also like