You are on page 1of 8

Neonatal Asphyxia et causa Plasenta Previa

Nisrina Pradya
Abstract
Background. Neonatal asphyxia is a failure and regular breathing spontaneously
at birth or shortly after birth thats characterized by hypoxemia, hypercarbia and
acidosis. In Indonesia, from the infant deaths, 57% died. The cause of neonatal
mortality in Indonesia is low birth weight babies (29%), asphyxia (27%), birth
trauma, neonatal tetanus, other infections and congenital abnormalities. Case. An.
K, males aged 0 days, Javanese, and live in the Metro coming to the ER RSAY
Metro on January 10, 2013 with complaints of not breathing and did not cry since
he were born a few moments ago. Complaints were accompanied by whole body
bluish. Movement of the baby was not active, just move a little on hand and foot
joints. The baby were born by obstetrician few moments ago with sectio caesaria
based indications by placenta previa totalis. Based on the results of the history and
physical examination was performed, the diagnose of the patient are neonatal
asphyxia, low birth weight, and premature. Patients treated by handling
resuscitation according to the algorithm neonatal resuscitation, hospitalization in
the neonatal and kept watch vital signs. Conclusion. In this case the factors that
affect the incidence of neonatal asphyxia in patients with placenta previa is
supported by the age factor in premature infants, and action Caesarean section
during labor.
Keywords: neonatal asphyxia, placenta previa
Asfiksia Neonatorum et causa Plasenta Previa
Nisrina Pradya
Abstrak
Background. Asfiksia neonatorum adalah kegagalan napas secara spontan
dan teratur pada saat lahir atau beberapa saat setelah saat lahir yang ditandai
dengan hipoksemia, hiperkarbia dan asidosis. Di Indonesia, dari seluruh kematian
bayi , sebanyak 57% meninggal. Penyebab kematian bayi baru lahir di Indonesia
adalah bayi berat lahir rendah (29%), asfiksia (27%), trauma lahir, tetanus
neonatorum, infeksi lain dan kelainan kongenital. Kasus. An. K, laki-laki berusia
0 hari yang bersuku Jawa dan tinggal di Metro datang ke IGD RSAY Metro pada
tanggal 10 Januari 2013 dengan keluhan tidak bernafas dan tidak menangis sejak
dilahirkan beberapa saat yang lalu. Keluhan disertai dengan seluruh tubuh
berwarna kebiruan. Gerakan bayi tidak aktif, hanya bergerak sedikit pada sendi
tangan dan kaki. Bayi ini dilahirkan dengan pertolongan dokter spesialis
kandungan beberapa saat yang lalu dengan sectio cesaria atas indikasi plasenta
previa totalis. Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik yang telah
dilakukan, diagnosis kerja dari pasien ini adalah asfiksia neonatorum, BBLR, dan
premature. Pasien ditatalaksana dengan penaganan resusitasi sesuai dengan
algoritma resusitasi neonatal, rawat inap di ruang neonatus dan awasi terus tanda-

tanda vitalnya. Kesimpulan. Pada kasus ini faktor yang mempengaruhi kejadian
asfiksia neonatorum pada pasien adalah plasenta previa, didukung oleh faktor usia
bayi premature, dan tindakan seksio sesarea selama persalinan.
Kata kunci : asfiksia neonatorum, plasenta previa
Pendahuluan
Asfiksia neonatorum adalah kegagalan napas secara spontan dan teratur
pada saat lahir atau beberapa saat setelah saat lahir yang ditandai dengan
hipoksemia, hiperkarbia dan asidosis(IDAI, 2004). Menurut Badan Kesehatan
Dunia (WHO) angka kematian bayi menjadi indikator pertama dalam menentukan
derajat kesehatan anak dan setiap tahunnya kira-kira 3% (3,6 juta) dari 120 juta
bayi baru lahir mengalami asfiksia, hampir 1 juta bayi meninggal. Di Indonesia,
dari seluruh kematian bayi , sebanyak 57% meninggal. Penyebab kematian bayi
baru lahir di Indonesia adalah bayi berat lahir rendah (29%), asfiksia (27%),
trauma lahir, tetanus neonatorum, infeksi lain dan kelainan kongenital
(Wiknjosastro, 2008).
Penyebab terjadinya asfiksia terdiri dari faktor intrauteri (keadaan
ibu,uterus

,plasenta,tali

pusat,dan

fetus),faktor

umur

kehamilan

(premature,presipitatus,dan persalinan lewat waktu),faktor persalinan (persalinan


memanjang, persalinan dengan tindakan operatif, persalinan dengan induksi),dan
faktor buatan (Sindrom hipotensi supinasi, Asfiksia intrauteri pada induksi
persalinan, Asfiksia intrauteri pada persalinan dengan anesthesia) (Manuaba,
2008).
Sampai saat ini, asfiksia masih merupakan salah satu penyebab penting
morbiditas dan mortalitas perinatal. Banyak kelainan pada masa neonatus
mempunyai kaitan erat dengan faktor asfiksia ini, didapatkan bahwa sindrom
gangguan nafas, aspirasi mekonium, infeksi dan kejang merupakan penyakit yang
sering terjadi pada asfiksia. Berdasarkan uraian inilah maka penulis tertarik untuk
meneliti kasus asfiksia neonatorum.
Kasus
An. K, laki-laki berusia 0 hari yang bersuku Jawa dan tinggal di Metro
datang ke IGD RSAY Metro pada tanggal 10 Januari 2013 dengan keluhan tidak

bernafas dan tidak menangis sejak dilahirkan beberapa saat yang lalu. Keluhan
disertai dengan seluruh tubuh berwarna kebiruan. Gerakan bayi tidak aktif, hanya
bergerak sedikit pada sendi tangan dan kaki. Bayi ini dilahirkan dengan
pertolongan dokter spesialis kandungan beberapa saat yang lalu dengan sectio
cesaria atas indikasi plasenta previa totalis. Pasien merupakan anak pertama dan
tidak ada riwayat penyakit yang sama pada keluarga sebelumnya.

Pasien

dilahirkan pada usia kandungan ibu adalah 32 minggu dengan berat badan lahir
bayi 2300 gram dan panjang badan 50 cm. Belum ada riwayat makan dan riwayat
imunisasi pada bayi ini. Pada riwayat kehamilan, usia ibu adalah 26 tahun. Ibu
mengaku bahwa dirinya rutin memeriksakan kehamilannya ke bidan dan tidak
terdapat keluhan yang berarti.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien tampak sakit
berat dengan tingkat kesadaran Compos Mentis. Tada-tanda vital pasien adalah
sebagai berikut: Heart rate 88 x/menit, Respiratory rate-nya 0 x/menit, danSuhu
badan 37,4oC. Pada pemeriksaan status generalis terdapat gambaran sianosis pada
mukosa kulit / subkutan yang menyeluruh.

Sianosis ditemukan pada daerah

sekitar mulut dan kedua ekstremitas. Pada hidung ditemukan adanya sekret. Pada
pemeriksaan lapang paru, baik inspeksi, palpasi, perkusi maupun auskultasi sulit
dinilai. Hasil pemeriksaan fisik jantung dan abdomen menunjukkan batas normal.
Pada pasien ini belum dilakukan pemeriksaan penunjang, tapi dianjurkan untuk
melakukan pemeriksaan darah lengkap dan analisa gas darah.
Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik yang telah dilakukan,
diagnosis kerja dari pasien ini adalah asfiksia neonatorum, BBLR, dan premature.
Pasien ditatalaksana dengan penaganan resusitasi sesuai dengan algoritma
resusitasi neonatal, rawat inap di ruang neonatus dan awasi terus tanda-tanda
vitalnya.
Pembahasan
Dari hasil pemeriksaan yang telah dilakukan, didiagnosa bahwa pasien
mengalami asfiksia. Asfiksia pada bayi baru lahir (BBL) menurut IDAI (Ikatatan
Dokter Anak Indonesia) adalah kegagalan nafas secara spontan dan teratur pada
saat lahir atau beberapa saat setelah lahir (Prambudi, 2013). Menurut AAP asfiksia
adalah suatu keadaan yang disebabkan oleh kurangnya O2 pada udara respirasi,

yang ditandai dengan asidosis (pH <7,0) pada darah arteri umbilikalis, nilai
APGAR setelah menit ke-5 tetep 0-3, menifestasi neurologis (kejang, hipotoni,
koma

atau

hipoksik

iskemia

ensefalopati),

dan

gangguan

multiorgan

sistem(Prambudi, 2013).
Faktor-faktor yang dapat menimbulkan gawat janin (asfiksia) yaitu Faktor
ibu, faktor tali pusat, dan faktor bayi. Pada faktor ibu hal-hal yang menjadi faktor
resiko adalah preeklampsia dan eklampsia, pendarahan abnormal (plasenta previa
atau solusio plasenta), Partus lama atau partus macet, demam selama persalinan
Infeksi berat (malaria, sifilis, TBC, HIV), serta kehamilan Lewat Waktu (sesudah
42 minggu kehamilan). Pada Faktor Tali Pusat terdapat faktor-faktor Lilitan tali
pusat, Tali pusat pendek , Simpul tali pusat dan Prolapsus tali pusat. Sedangkan
pada Faktor bayi menunujukkan faktor-faktor esiko berupa

Bayi prematur

(sebelum 37 minggu kehamilan), Persalinan dengan tindakan (sungsang, bayi


kembar, distosia bahu, ekstraksi vakum, ekstraksi forsep), Kelainan bawaan
(kongenital), serta Air ketuban bercampur mekonium (warna kehijauan) (DepKes
RI, 2009). Dari faktor-faktor yang telah disebutkan terdapat 3 faktor resiko yang
terdapat pada kasus di atas, yaitu adanya plasenta previa, bayi lahir prematur, dan
adanya tindakan persalinan berupa seksio sesaria.
Plasenta previa adalah plasenta yang letaknya abnormal, yaitu pada
segmen bawah uterus sehingga dapat menutupi sebagian atau seluruh pembukaan
jalan lahir (winkjosastro, 2007). faktor-faktor yang dapat meningkatkan kejadian
plasenta previa menurut Manuaba (1998) adalah Umur penderita yaitu umur muda
karena endometrium belum sempurna dan umur diatas 35 tahun karena tumbuh
endometrium yang kurang subur; Paritas yaitu pada paritas yang tinggi kejadia
plasenta previa makin besar karena endometrium belum sempat tumbuh;
Endometrium yang cacat yaitu bekas persalinan berulang dengan jarak pendek,
bekas operasi, bekas kuretage atau manual plasenta, Perubahan endometrium pada
mioma uteri atau polip; pada keadaan mal nutrisi.
Pada kasus di atas diterangkan bahwa ibu pasien berusia 26 tahun,
primigravida, dan belum memiliki riwayat operasi. Hal ini menunjukkan bahwa
ibu pasien tidak memiliki faktor resiko terkait dengan usia dan jumlah paritas.
Namun data ini belum terlalu jelas karena tidak mencantumkan mengenai

ada/tidaknya mioma uteri pada ibu pasien dan keadaan status gizinya sehingga
plasenta previa masih dapat dipengaruhi oleh hal-hal tersebut.
Asfiksia neonatorum terjadi karena gangguan pertukaran transpor O2 dari
ibu ke janin sehingga terdapat gangguan dalam persediaan O2 dan dalam
menghilangkan O2. Gangguan ini dapat berlangsung secara menahun akibat
kondisi kelainan pada ibu selama kehamilan atau secara mendadak karena hal-hal
yang diderita ibu dalam persalinan. Salah satu penyebabnya adalah perdarahan
karena plasenta previa (Wiknjosastro, 2007).
Perdarahan pada plasenta previa, dapat menimbulkan penyulit pada janin
maupun ibu. Penyulit pada ibu dapat menimbulkan syok, sedangkan untuk janin
dapat menimbulkan asfiksia sampai kematian janin dalam rahim. Perdarahan ini
dapat menyebabkan syok hemoragik yaitu suatu kondisi dimana perfusi jaringan
menurun dan menyebabkan inadekuatnya hantaran oksigen dan nutrisi yang
diperlukan

sel. Perdarahan tersebut dapat mengakibatkan berkurangnya

hemoglobin dalam darah untuk mengangkut oksigen ke paru-paru yang dapat


mengakibatkan gangguan pernafasan pada ibu dan dapat menimbulkan gangguan
transpor O2 dari ibu ke janin (Ramli.M, 2009).
Gangguan pertukaran gas dan transpor oksigen ini akan mempengaruhi
oksigenasi sel-sel tubuh yang selanjutnya dapat mengakibatkan gangguan fungsi
sel. Ganguan fungsi ini dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari
perubahan homeostatis yang terdapat pada janin. Perubahan homeostatis ini
berhubungan erat dengan berat dan lamanya anoksia atau hipoksia yang diderita.
Pada tingkat permulaan gangguan pertukaraan gas transpor O2 mungkin hanya
menimbulkan asidosis respiratorik. Bila gangguan berlanjut dalam tubuh,
sehingga sumber-sumber glikogen tubuh terutama dalam jantung dan hati
berkurang. Asam-asam organik yang dihasilkan akibat metabolismus ini akan
menyebabkan terjadinya asidosis metabolik. Pada tingkat lebih lanjut terjadi
gangguan kardiovaskuler yang disebabkan oleh : 1) kerja jantung yang terganggu
akibat dipakainya simpanan glikogen dalam jaringan jantung; 2) assidosis
metabolik yang mengganggu fungsi sel-sel jantung dan; 3) gangguan peredaran
darah keparu-paru karena tetap tingginya pulmonary vasccular resistance.Asidosis
dan gangguan kardiovaskuler mempunyai akbat buruk terhadap sel-sel otak dan
dapat menyebabkan kematian anak atau timbulnya gejala-gejala lanjut pada anak

yang hidup. Dalam garis besar perubahan-perubahan yang timbul ialah :1)
menurunnya tekanan darah O2 arteri; 2) meningkatnya tekanan CO2; 3) turunnya
pH darah; 4) dipakainya simpanan glikogen tubuh untuk metabolisme anerobik; 5)
terjadinya perubahan fungsi kardiovaskuler (Winkjosastro, 2007).
Perdarahan ini dapat menyebabkan turunnya tekanan darah secara
otomatis yaitu menyebabkan penurunan PaO2. Turunnya PaO2 terjadi perubahan
metabolisme sehingga pembakaran glukosa tidak sempurna dan meninggalkan
hasil akhir asam laktat dan piruvat. Timbunan asam laktat dan piruvat ini tidak
dapat dikeluarkan melalui plasenta menyebabkan turunnya pH darah janin sampai
7,20-7,15.

Perdarahan

yang

menggangu

sirkulasi

retroplasenter

yang

menimbulkan hipoksia janin, kelanjutan dari hipoksia janin ini dapat


menyebabkan asfiksia neonatorum (Manuaba, 2008).
Begitu juga pendapat dengan pendapat Hassan (2007) perdarahan karena
plasenta previa dapat menyebabkan asfiksia pada bayi baru lahir, karena
perdarahan ini dapat menimbulkan gangguan sirkulasi plasenta sehingga dapat
mengakibatkan gangguan perfusi darah pada janin. Kemudian akibat gangguan
tersebut kadar asam laktat dalam darah janin meninggi dan bila kadarnya lebih
dari 45 mg% keadaan janin menjadi lebih buruk.Kadar PaO2 meninggi, karena
gangguan ventilasi dan pengeluaran CO2 sebagai akibat atelektasis paru, pH darah
menurun dan defisit basa meningkat sehingga mengakibatkan adanya asidosis
respiratorik yaitu gangguan pertukaran gas yang dapat menyababkan hipoksia
janin dan berlanjut menjadi asfiksia neonatorum setelah bayi baru lahir.
Perdarahan pada kejadian plasenta previa merupakan kejadian
kegawatdruratan sehingga harus segera ditangani. Adapun salah satu tindakannya
adalah dengan melakukan seksio sesarea untuk melahirkan janin agar uterus dapat
berkontraksi segera dan perdarahan dapat dihentikan (Winkjosastro, 2007).
Adanya pengeluaran janin dengan segera ini biasanya dilakukan tanpa
mempertimbangkan usia kehamilan janin, sehingga seperti pada kasus di atas,
bayi lahir premature ( usia 32 minggu ). Kelahiran bayi premature ini dapat pula
menjadi faktor predisposisi terjadinya asfiksia neonatorum. Hal ini sesuai dengan
teori Sarwono (2002) bahwa semakin muda usia kehamilan maka tingkat
kematangan fungsi organ neonates akan semakin rendah. Oleh sebab itu, ia
mengalami lebih banyak kesulitan untuk hidup diluar uterus ibunya. Makin

pendek masa kehamilannya, makin kurang sempurna pertumbuhan alat-alat dalam


tubuhnya, dengan akibat makin mudahnya terjadi komplikasi dan makin tingginya
angka kematiannya. Pada bayi prematur sering terjadi gangguan pernapasan yang
disebabkan oleh kekurangan surfaktan(rasiolesitin/sufingomielin kurang dari 2),
pertumbuhan dan pengembangan paru yang belum sempurna, otot pernapasan
yang masih lemah, dan tulang iga yang mudah melengkung (pliable torak).
Sehingga penyakit gangguan pernapasan yang sering diderita bayi prematur
adalah penyakit membran hialin dan aspirasi pneumoni. Di samping itu sering
timbul pernapasan periodic (periodic breathing) dan apnea yang disebabkan oleh
pusat pernapasan di medulla belum matur.
Selain faktor ibu yaitu adanya plasenta previa dan dan faktor bayi berupa
bayi lahir premature, terdapat faktor tindakan persalinan yang dapat pula
mempengaruhi kejadian asfiksia neonatorum. Tindakan tersebut adalah seksio
sesarea. Hipotensi merupakan masalah yang serius yang terjadi dalam anestesia
spinal pada operasi seksio sesarea, dengan insiden yang dilaporkan hampir di atas
83%. Hipotensi terjadi dikarenakan adanya blokade saraf simpatis yang berakibat
pada penurunan resistensi vaskular sistemik dan perifer sehingga terjadi
penurunan cardiac output. Hal ini menyebabkan kurangnya aliran darah uterus dan
hipoksia maternal. Hipotensi dapat memberikan efek langsung terhadap bayi.
Sistem uteroplasenta tidak memiliki autoregulasi, karena pembuluh darah plasenta
sudah berdilatasi penuh. Perfusi uteroplasenta hanya bergantung pada tekanan
darah ibu hamil. Batas tekanan darah terendah yang masih dapat dikompensasi
untuk menjamin perfusi uteroplasenta manusia yang masih baik sampai saat ini
belum dapat ditentukan. Jika hipotensi yang terjadi cukup berat/berkepanjangan
dapat menyebabkan fetal asidosis. Hipotensi maternal merupakan salah satu
penyebab terjadinya asfiksia neonatorum. Pada bayi dengan asfiksia dapat
ditemukan penurunan frekuensi denyut jantung (bradikardi) ditemukan pula
penurunan tekanan darah dan bayi nampak lemas (flasid). Pada asfiksia berat bayi
tidak bereaksi terhadap rangsangan dan tidak menunjukkan upaya bernapas secara
spontan. Pada tingkat pertama gangguan pertukaran gas atau transport O2
(menururunnya tekanan O2 darah) mungkin hanya menimbulkan asidosis
respiratorik, tetapi bila gangguan berlanjut maka akan terjadi perubahan
kardiovaskuler. Asidosis dan gangguan kardiovaskuler dalam tubuh berakibat

buruk terhadap sel-sel otak, kerusakan sel-sel otak ini dapat menimbulkan
kematian atau gejala (squele) (Yuniati, 2010).
Penatalaksanaan terhadap pasien berupa

resusitasi sesuai algoritma

resusitasi neonatal, rawat inap di ruang neonatus, dan awasi tanda-tanda vital
merupakan penatalaksanaan

yang tepat dan sudah sesuai untuk menangani

kejadian asfiksia neonatorum (Prambudi,2013).


Kesimpulan
Pada kasus ini dapat disimpulkan bahwa faktor resiko yang mempengaruhi
kejadian asfiksia neonatorum adalah faktor ibu berupa terjadinya plasenta previa,
dan didukung oleh faktor bayi yaitu usia prematur dan tindakan persalinan seksio
sesaria.
Daftar Pustaka
Depkes RI. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta : Depkes RI. 2009.
Hutton EK, Hassan ES. 2009. Late vs early clamping of the umbilical cord in fullterm neonates: systematic review and meta-analysis of controlled trials.
JAMA. Mar 21;297(11):1241-52.
IDAI, 2004. Asfiksia Neonatorum. Dalam: Standar Pelayanan Medis Kesehatan
Anak. (level of evidence IV).Jakarta: Badan Penerbit IDAI. 272-276.
Manuaba, I.B.G., I.A. Chandranita Manuaba, dan I.B.G. Fajar Manuaba.2008
Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Prambudi, R. 2013. Penyakit pada Neonatus. Dalam; Neonatologi Praktis.
Cetakan Pertama. Bandar Lampung : Anugrah Utama Raharja.hal. 57 - 62.
Prawihardjo, Sarwono. 2002. Buku Pedoman Praktis Pelayanan Kesehatan
Maternal dan Neonatal. Jakarta :Yayasan Bina Pustaka. 2002.
Wiknjosastro, GH, Wibowo,B. 2008. Kelainan dalam Lamanya Kehamilan,
Dalam; Ilmu Kebidanan, Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawiroharjo, hal. 317 19.
Wiknjosastro, Hanifa. 2007. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo
Yuniati,N. 2010. Perbandingan Skor Apgar Bayi yang Lahir Melalui Bedah Sesar
dengan Analgesi Spinal dan Analgesi Epidural. Artikel Karya Tulis
Ilmiah. Semarang: FK UNDIP.

You might also like