You are on page 1of 16

Laporan Kasus

SEORANG WANITA DENGAN DUGAAN INTOKSIKASI METANOL


Hendrata. Bagian / SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unud / RSUP Sanglah Denpasar
Pendahuluan
Methanol (metyl alcohol; carbinol; alcohol kayu) diperoleh dari distilasi
destruktif kayu, merupakan alkohol yang paling sederhana dengan rumus kimia
CH3OH, berat molekul 32,04, titik didih 64,5C, bersifat ringan, mudah menguap,
tak berwarna, mudah terbakar, beracun dan berbau khas. Methanol digunakan
sebagai bahan penambah bensin, bahan pemanas ruangan, pelarut industri, pada
larutan fotokopi, serta bahan makanan untuk bakteri yang memproduksi protein.
Methanol paling banyak dijumpai dalam rumah tangga dalam bentuk canned heat
atau cairan pembersih mobil (1,2).
Methanol dapat diabsorbsi ke dalam kulit, saluran pernafasan atau
pencernaan dan didistribusikan ke dalam cairan tubuh. Mekanisme utama methanol
dalam tubuh manusia adalah dengan oksidasi menjadi formaldehide, asam format
dan CO2. Methanol juga dapat dieliminasi dengan membuat muntah, dan dalam
jumlah kecil diekskresikan melalui pernafasan, keringat, dan urine (3).
Di Amerika Serikat keracunan methanol jarang dijumpai berkisar 1000
sampai 2000 kasus pertahun (sekitar 1% dari semua kasus keracunan) yang biasanya
karena tidak sengaja terminum dari produk yang mengandung methanol, atau
sebagai metode bunuh diri, atau sebagai pengganti alkohol yang digunakan oleh
peminum alkohol (4).
Di Indonesia, khususnya di Bali, mengingat kian banyaknya kasus keracunan
methanol yang berakhir dengan kebutaan permanen dan bahkan kematian ( menurut
laporan yang dikutip dari Kompas.com, jumlah kematian di Bali mencapai 45 orang
dengan 13 orang mengalami kebutaan permanen), serta adanya beberapa kasus
kematian warga asing, yang memiliki konsekuensi politis dan ekonomi karena Bali
merupakan daerah potensi pariwisata, maka penting untuk segera mengenali tanda
keracunan methanol dan melakukan penatalaksanaan yang cepat serta tepat, untuk
itulah maka kasus ini diangkat.
1

Kasus
Seorang wanita, umur 20 tahun, suku Jawa, datang ke UGD RSUP Sanglah
Denpasar pada tanggal 15 Februari 2013, jam 23.30 Wita dalam kondisi tidak sadar
dengan membawa rujukan dari RS Graha Asih dengan observasi konvulsi dan
intoksikasi alkohol. Pada heteroanamnesis pada tetangga pasien yang mengantar,
didapatkan pasien ditemukan tidak sadar sekitar 12 jam sebelum MRS. Pasien
sempat dibawa ke RS Graha Asih dan mengalami kejang dengan gambaran seluruh
tubuh menghentak-hentak, mata mendelik keatas, serta mulut berbusa, kejang ini
berlangsung beberapa kali di sana serta sempat juga mengompol. Pasien akhirnya
dirujuk ke RSUP Sanglah dengan sebelumnya sudah mendapatkan terapi infus ringer
laktat 28 tetes permenit, diazepam 5 mg intra vena, sirup antasida, vit B kompleks
intra vena, serta oksigen. Pasien pada awalnya diterima di bagian Saraf dan
kemudian dikonsulkan ke bagian Penyakit Dalam. Riwayat penyakit dahulu
(didapatkan dari keluarga pasien yang datang dari Jawa Barat, pada tanggal 18
Februari 2013). Pasien dikatakan tidak pernah mengalami kejang sebelumnya, tidak
ada riwayat epilepsi, dan sepengetahuan keluarga tidak pernah ada riwayat trauma
kepala sebelumnnya. Riwayat sosial pasien bekerja di sebuah tempat hiburan
(karaoke) dan diketahui memiliki riwayat mengkonsumsi alkohol. Pasien
meninggalkan keluarganya di Cirebon Jawa Barat dan hidup sendiri di Denpasar
selama 5 tahun, Riwayat pemakaian narkotika tidak diketahui.
Pada pemeriksaan fisik, didapatkan kesan sakit berat, kesadaran soporo coma
dengan GCS E2V2M5, tekanan darah 120/90 mmHg, pernafasan 24x/menit,
temperatur 38,2C, frekuensi nadi 84x/m kuat. Status gizi baik (berat badan 55 kg,
tinggi badan 160 cm) Pada pemeriksaan fisik mata didapatkan mata tidak anemis
dengan reflek pupil +/+ ukuran pupil 2cm/2cm isokor, tidak didapatkan sianosis
pada bibir, tidak didapatkan pembesaran kelenjar pada leher. Pada pemeriksaan fisik
toraks, paru dan jantung tidak ditemukan kelainan. Pada pemeriksaan fisik abdomen
tidak ditemukan distensi, massa, nyeri tekan maupun asites. Hepar dan lien tidak ada
pembesaran, dengan bising usus normal. Ekstremitas atas dan bawah dalam batas
normal. Pemeriksaan fisik neurologis (oleh sejawat bagian Saraf) tidak didapatkan
tanda perangsangan selaput otak, kaku kuduk-, Kernigs sign-, Brudzinski neck dan

leg sign-.
Hasil laboratorium pada tanggal 16 Februari 2013, wbc 16,38 x 103/l,
neutrofil 14,37 x 103/l, limfosit 0,97 x 103/l, monosit 0,97 x 103/l, eosinofil 0,00
x 103/l, basofil 0,04 x 103/l, hemoglobin 11,45 g/dl, MCV 87,33, MCH 29,07,
hematokrit 34,42 dan trombosit 228,3 x 10 3/l. BUN 10,81 mg/dl, SC 0.61 mg/dl,
natrium 141 mmol/l, kalium 2,90 mmol/l, SGOT 25,95 U/L, SGPT 14.10 U/L,
klorida 104,2, kalsium 8,024.
Pada hasil analisa Gas Darah didapatkan pH 7,49, pO2 35, pCO2 58, HCO3
26,70, BE 3,40, SaO2 92.
Pada pemeriksaan foto toraks tanggal 16 Februari 2013 didapatkan jantung
dan paru dalam batas normal.

Gambar 1. Foto toraks pasien tanggal 16 Februari 2013


Penanganan dari sejawat neurologi, pasien mendapat terapi Infus NaCl 0,9%
20 tetes permenit, Oksigen 10 lpm dengan sungkup, Diazepam 10 mg intravena (jika
kejang), Thiamin 100mg @ 24 jam intravena, Fenitoin 900 mg intravena (dengan
syringe pump, kecepatan 50 mg/menit) selanjutnya Fenitoin 100mg dalam 100 cc
NaCL 0,9% habis dalam 30 menit, Paracetamol 1000 mg drip, dan melakukan
pemeriksaan CT Scan kepala.

Gambar 2. CT Scan kepala pada tanggal 16 Februari 2013

Bagian Penyakit Dalam merencanakan hemodialisis (cito) namun pengantar


pasien sempat menolak, sehingga hemodialisa baru terlaksana pada tanggal 16
Februari 2013 malam sekitar pukul 19.00 Wita.
Sejawat bagian Mata pada pemeriksaan awal menemukan adanya TON
(Toxic Optic Neuropathy).
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang maka diagnosis
pasien ini pada awalnya Suspek intoksikasi Metanol dd/ Etanol, zat adiktif lain
dengan terapi di bidang Penyakit Dalam direncanakan untuk dialisis setiap hari.
Pada perawatan hari kedua, kesadaran pasien membaik, namun pasien
menolak berbicara dan memberitahukan kepada keluarga dan team dokter, zat
apakah yang diminum. Pada saat dilakukan hemodialisis pasien gelisah dan tidak
kooperatif sehingga ditunda untuk pemasangan akses vaskular (double lumen).
Pada hari ketiga perawatan, pasien telah terpasang double lumen dan
hemodialisis dilakukan pada malam harinya.

Pada hari kempat perawatan kondisi kesadaran pasien menurun dan pasien
mengalami beberapa kali kejang, dilakukan pemeriksaan urine serta foto thorak
ulang, direncanakan dialisis tapi keluarga pasien menolak.
Pada hari kelima perawatan dari hasil evaluasi divisi paru, didiagnosis
sebagai pneumonia aspirasi dengan kondisi sepsis dan hipoxemia serta diberikan
antibiotik Cefoperazon Sulbactam 2 x 1 gram intravena dan klindamisin 4 x 600 mg,
dan dari sejawat bagian Saraf dikonsulkan untuk perawatan intensif, namun keluarga
menolak. Kondisi pasien tidak sadar dalam pengaruh obat (diazepam) dan pasien
masuk status konvulsi. Pada pemeriksaan fisik ditemukan tekanan darah
110/70mmHg, nadi 100x/m, suhu aksila 39,5C dan pada auskultasi paru didapatkan
rhonki di daerah paracardial kanan.
Hasil laboratorium pada hari kelima perawatan (21 Februari 2013), wbc
14,59 x 103/l, neutrofil 13,46 x 103/l, limfosit 0,63 x 103/l, monosit 0,39 x 103/l,
eosinofil 0,01 x 103/l, basofil 0,01 x 103/l, hemoglobin 11,20 g/dl, MCV 89,20,
MCH 28,60, hematokrit 35,20 dan trombosit 275 x 10 3/l. BUN 10,00 mg/dl, SC
0.51 mg/dl, natrium 138 mmol/l, kalium 2,90 mmol/l, kalsium 7,10. Pada analisa
gas darah didapatkan pH 7,41, pO2 43, pCO2 58, HCO3 27,30, BE 2,70, SaO2 90.
Pada hari keenam perawatan kondisi pasien semakin menurun dengan
diagnosis Penurunan kesadaran ec sepsis + intoksikasi methanol dd/ zat adiktif lain,
Pneumonia aspirasi dengan sepsis, syok sepsis, dan gagal nafas, ODS toxic optik
neuropathy dan eksposure keratitis, dengan terapi dari bagian Penyakit Dalam O 2 10
lpm, Infus NaCL 0,9 % 30 tetes/menit, diet sonde 6 x 200cc, Drip Norepinefrin 0,05
mikrogram/KgBB/menit

(titrasi

naik),

Cefoperazon

Sulbactam

2x1gram,

Klindamisin 4x500 mg, ambroksol syr 3x1 sendok makan, nebulizer salbutamolIpraprotium bromida + bromheksin @ 6 jam, suction @ 3 jam, paracetamol drip 3 x
1000 mg. Gambaran radiologis thorak menunjukan gambaran Pneumonia dengan
kecurigaan terjadi Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS).
Pada jam 18.45 Wita hari keenam perawatan pasien dilaporkan sudah tidak
ada respon, GCS E1V1M1, dengan tekanan darah tak terukur, denyut jantung 176
x/menit lemah dengan pernafasan 34 x/menit. Dilakukan pemasangan orotracheal
tube dan diberikan tekanan positif. Dengan dihadiri sejawat anestesi, jantung,
penyakit dalam serta DPJP bagian Saraf, keluarga menolak resusitasi, setelah

beberapa kali mengalami periode apneu, pasien akhirnya dinyatakan meninggal pada
jam 21.30 dengan syok sepsis sebagai penyebab kematian.

Gambar 3. Foto toraks pasien pada tanggal 22 Februari 2013


Pembahasan
Methanol

dapat

diabsorbsi

kedalam

tubuh

melalui

saluran

pencernaan, kulit dan paru-paru. Methanol didistibusikan secara luas


dalam cairan tubuh dengan volume distribusi 0,6 L/kg. M e t h a n o l s e c a r a
perlahan

dimetabolisme

di

hati.

Sekitar

3%

dari

methanol

d i e k s k r e s i k a n melalui paru atau diekskresi melalui urin (2)


Methanol beracun melalui dua mekanisme. Pertama methanol yang telah
masuk kedalam tubuh melalui tertelan, terhirup atau diserap melalui kulit
dapat menekan saraf pusat s e p e r t i y a n g t e r j a d i p a d a k e r a c u n a n
e t a n o l . K e d u a m e t h a n o l b e r a c u n s e t e l a h m e n g a l a m i pemecahan
oleh enzim alkohol dehidrogenase di hati menjadi asam format dan
formaldehida. D o s i s y a n g b e r b a h a y a d a p a t t e r j a d i b i l a s e s e o r a n g
t e r e k s p o s t e r u s m e n e r u s t e r h a d a p u a p methanol atau cairan methanol
tanpa menggunakan pelindung. Dosis yang mematikan adalah 100-125 ml
(5). Kepustakaan lain memyebutkan dosis fatal methanol berkisar 30-240 ml (20150 gr). Peningkatan kadar metanol dalam darah pernah dilaporkan setelah

pemaparan hebat pada kulit dan inhalasi. ACGIH merekomendasikan workplace


eksposure limit untuk inhalasi adalah 200 ppm dalam waktu rata rata 8 jam, dan
kadar yang dianggap berbahaya untuk kesehatan adalah 25.000 ppm (6).
Asam format kemudian dioksidasi menjadi karbondioksida dan air
oleh tetrahidrofolat. Metabolism dari asam format sangat lambat sehingga
dapat terakumulasi di dalam tubuh yang menimbulkan asidosis metabolik.
Asam format juga menghambat respirasi seluler sehingga terjadi asidosis
laktat (7).
Kecepatan absorbsi dari methanol tergantung dari beberapa faktor, dimana
dua faktor yang paling berperan adalah konsentrasi methanol dan ada tidaknya
makanan dalan saluran cerna. Methanol dalam bentuk larutan lebih lambat
diserap dibanding dengan methanol yang murni dan adanya m a k a n a n
dalam

saluran

cerna

terutama

lemak

dan

protein

akan

m e m p e r l a m b a t a b s o r b s i methanol dalam saluran cerna. Setelah diabsorbsi,


methanol akan didistribusikan ke seluruh jaringan dan c a i r a n t u b u h k e c u a l i
jaringan lemak dan tulang (disini konsentrasi methanol paling
r e n d a h ) . Konsentrasi methanol di dalam darah mencapai maksimum
kira-kira setengah sampai satu jam setelah methanol dikonsumsi. Konsentrasi
methanol di dalam otak setelah tercapai keseimbangan adalah lebih sedikit
dibanding dengan konsentrasi di dalam darah (7).
Methanol yang telah diabsorbsi, dimetabolisme didalam hepar
melalui p r o s e s

oksidasi.

memetabolisme

10

gms

Secara

normal,

methanol

murni,

tubuh
jika

dapat

dikonsumsi

berlebihan, konsentrasi methanol dalam darah akan meningkat dan orang


tersebut akan mulai menunjukkan keluhan dan gejala keracunan alkohol,
kecuali orang tersebut telah mengalami toleransi terhadap methanol. Methanol
dalam jumlah yang maksimum yaitu 300 mlm

ethanol

murni,

dapat

dimetabolisme dalam tubuh dalam 24 jam. Keracunan methanol dapat


menyebabkan gangguan pada hepar dan ginjal (1).

Gambar 4. Metabolisme Metanol (1)


Gejala awal yang timbul setelah keracunan methanol adalah gejala
yang terjadi karena depresi sistem saraf pusat seperti sakit kepala,
pusing, mual, koordinasi terganggu, kebingungan dan pada dosis yang
tinggi tidak sadarkan diri dan kematian (5).
Pasien ini pada waktu datang pertama kali ke IRD, dalam kondisi tidak sadar
dan terdapat episode kejang, yang oleh sejawat bagian Saraf didiagnosis sebagai
status konvulsi ec methanol dd/ etanol dan zat adiktif lain.
Bila gejala awal telah dilalui, rangkaian kedua dari gejala terjadi
10-30 jam setelah paparan awal terhadap methanol. Akumulasi asam
format pada saraf optik dapat menyebabkan penglihatan kabur. Hilangnya
penglihatan secara total dapat disebabkan oleh berhentinya fungsi m i t o k o n d r i a
pada

saraf

atropi

optik

saraf optik.

dimana

terjadi

hiperemi,

edema

dan

Demielinisasi saraf optik juga dapat terjadi

karena penghancuran myelin oleh asam format (5).


Pada pasien ini dari pemeriksaan oleh sejawat bagian Mata
memang didapatkan Toxic Optik Neuropathy, kerusakan optic nerve
sekunder karena toxin, yang dalam hal ini dicurigai kuat Methanol,
dimana didapatkan gambaran hiperemi dan edema dari saraf optik.
Akumulasi asam format didalam darah dapat menyebabkan asidosis
metabolik. Interval antara masuknya racun sampai timbulnya gejala
berhubungan dengan volume methanol yang tertelan. Kadar methanol
dalam darah mencapai puncaknya setelah 30-90 menit. Dosis letal

minimal adalah 1 mg/kg bb (6,7). Ketika metabolime methanol telah


berlangsung, asidosis metabolik dengan anion gap yang berat akan
terjadi. Asidosis metabolik yang berat yang berhubungan dengan
gangguan penglihatan adalah tanda dari keracunan methanol. Pasien
biasanya mengalami penglihatan k a b u r , p e n g l i h a t a n g a n d a , a t a u
perubahan dari persepsi warna. Bisa juga terjadi pengecilan
lapangan pandang dan terkadang kehilangan penglihatan secara total. Tanda khas
dari disfungsi penglihatan termasuk dilatasi pupil dan hilangnya reflek pupil (2).
Tanda dan gejala lebih lanjut dapat terjadi pernafasan dangkal, sianosis,
takipneu, koma, kejang, gangguan elektrolit dan perubahan hemodinamik yang
bervariasi termasuk hipertensi dan gagal jantung. Dapat juga terjadi gangguan
memori yang ringan sampai berat, agitasi yang dapat berlanjut menjadi stupor dan
koma sejalan dengan memberatnya asidosis. Pada kasus yang berat dapat terjadi
kematian. Pasien yang bertahan dapat menderita gejala sisa seperti
kebutaan yang permanen atau defisit neurologis yang lain (2).
Kadar methanol lebih dari 50 mg/dL, merupakan indikasi mutlak
untuk hemodialis dan pengobatan dengan etanol meskipun kadar asam
format dalam darah merupakan indikasi yang lebih baik (2).
Pemeriksaan

laboratorium

didapatkan

rendahnya

kadar

bikarbonat serum karena terjadi asidosis metabolik. Peningkatan


a n i o n g a p d i s e b a b k a n k a r e n a p e n i n g k a t a n k a d a r l a k t a t d a n keton,
hal ini dapat terjadi kemungkinan karena akumulasi asam format. Etilen
glikol, paraldehid, dan salisilat juga dapat menyebabkan peningkatan
anion gap. Penurunan serum bilirubin merupakan gambaran yang seragam
dari keracunan methanol berat. Toksisitas etilen glikol biasanya menyebabkan
eksitasi susunan saraf pusat, peningkatan enzim-enzim otot, dan hipokalsemia
tetapi tidak ada gejala visual. Keracunan salisilat dapat segera ditentukan
dari kadar salisilat dalam darah (3).
Pada pasien ini pada saat awal dari hasil analisa gas darah tidak ditemukan
asidosis metabolik, memang terdapat ketidaksesuaian dengan teori, dengan kondisi
hipoksia, tetapi karena terdapat kecurigaan kuat pasien mengkonsumsi alkohol,
didukung dengan gangguan visual yang terjadi, konsultasi dengan divisi Ginjal

10

Hipertensi tetap mencurigai pasien dengan intoksikasi methanol. Pada pasien ini
hanya didapatkan kelainan elektrolit berupa hipokalemia.
Dapat juga terjadi peningkatan osmolar gap (osmolaritas terukur
osmolaritas terhitung), walaupun hal ini bukan merupakan temuan yang
spesifik karena hanya menunjukkan adanya suatu larutan dengan berat
molekul rendah seperti etanol, alkohol lain, mannitol, glisin, lemak atau
protein (7).
Diagnosis definitif dari keracunan methanol dapat dilihat dari peningkatan
kadar

methanol

serum

chromathography

namun

yang
hal

ini

dapat

diukur

dengan

gas

t i d a k berkorelasi dengan tingkat

keracunan dan merupakan indikator yang baik untuk prognosis (7).


CT scan dapat menunjukkan perubahan karakteristik dari nekrosis
putamen

bilateral

dengan

derajat

perdarahan

yang

bervariasi.

Namun lebih sering hasil didapatkan CT scan normal(8).


MRI

adalah

metode imaging yang lebih sensitive dalam

mendiagnosa keracunan methanol. Pada keracunan methanol yang baru


berlangsung selama empat minggu, MRI telah dapat menunjukkan
adanya perubahan pada putamen dan juga lesi yang berwarna putih pada
lobus

frontal

atau

oksipital.

MRI

dapat

digunakan

untuk

membedakan keracunan methanol dengan kondisi lain seperti


hipoglikemik dan keracunan karbonmonoksida (8).
Temuan patologis paling karakteristik setelah keracunan methanol adalah
adanya daerah n e k r o s i s

pada

putamen,

dimana

juga

terdapat

p e r d a r a h a n d e n g a n d e r a j a t y a n g b e r v a r i a s i . Gambaran ini bisa terlihat


pada pasien yang bertahan setelah 24 jam, nekrosis juga dapat terlihat pada
substansia alba pada pasien yang bertahan lebih dari beberapa hari (8). Pada pasien
ini dari hasil CT Scan kepala yang dilakukan oleh sejawat bagian Saraf pada saat
awal masuk IRD didapatkan hasil gambaran yang normal.
Pada penampakan post mortem, dapat terjadi perubahan sekunder
akibat hipoksia/iskemia pada substansia grisea berupa edema serebri dan injuri
neuronal akut. Pada seseorang yang mengalami keracunan methanol selama
beberapa hari atau beberapa minggu akan menunjukkan pola kerusakan

11

otak yang khas yaitu nekrosis putamen bilateral, terutama mengenai bagian lateral
dari nuklei. Pada beberapa kasus dapat juga ditemukan nekrosis hemoragik yang
melibatkan centrum semiovale, khususnya bagian subkortikal. Selain itu dapat juga
terjadi kerusakan pada substansia alba dan putamen, yang dapat diidentifikasi
dengan CT atau MRI (7).

Gambar 5: CT scan pada hari ke lima menunjukkan adanya perdarahan pada


putamen (9)
Pada gambaran post mortem keracunan methanol juga akan tampak
hiperemi dan inflamasi dengan bercak-bercak perdarahan pada lambung dan
duodenum. Pada paru-paru akan tampak kongesti dan udema. Pada
mukosa kantung kemih terjadi kongesti, dan pada ginjal menunjukkan
adanya degenerasi tubular. Pada jantung terjadi degenerasi vakuolar pada
sel-sel jantung (1). Temuan patologis postmortem lain adalah l e s i p a d a
m a t a m e l i p u t i destruksi dari sel-sel ganglion retina(1).
Pengobatan pertama untuk keracunan methanol, seperti pada
keadaan kritis keracunan, ialah untuk mempertahankan jalan nafas,
dengan melakukan intubasi bila perlu. Muntah dapat dibuat pada pasien yang
tidak koma, tidak mengalami kejang, dan tidak kehilangan reflek muntah. Bila
salah satu dari kontraindikasi ini ada, maka harus dilakukan intubasi
endotrakeal dan bilasan lambung dengan selang berdiameter besar setelah saluran
nafas terlindungi (3).

12

Gambar 6: CT Scan Pre (A) dan Post kontras (B) pada hari ke 24 menunjukkan
hilangnya volume putamen secara bilateral dan adanya lesi putamen dan subkortikal
(9)
Gambar 7: fotografi fundus 2 bulan setelah intoksikasi methanol memperlihatkan
atropi optic dengan cakram optic yang terlihat glaucomatous dan penyempitan
lingkaran neuroretina dengan 0,9 cup pada (a) mata kanan, dan 0,7 cup pada (b) mata
kiri (10)

Arang aktif tidak menunjukan absorbsi methanol secara efisien, hanya


memperlambat absorbsi pada intoksikasi oral.
Ada tiga cara yang spesifik untuk keracunan methanol berat, pada
metabolisme alkohol dehidrogenase untuk menekan produk toksiknya, hemodialisis
untuk meningkatkan bersihan methanol, serta alkalinisasi untuk menetralkan
asidosis metabolik (3).
Karena etanol berkompetisi untuk alkohol dehidrogenase, yang bertanggung
jawab untuk memetabolisme methanol menjadi asam format, perlu untuk
menjenuhkan enzim ini dengan e t a n o l y a n g k u r a n g t o k s i k . M u l a i

13

pemberian oral atau infus intravena etanol untuk mensaturasi


enzim alkohol dehidrogenase dan mencegah pembentukan dari
metabolit

toksik

metanol.

Ter a p i

etanol

diindikasikan

pada

pasien dengan riwayat meminum metanol, saat kadar metanol


darah tidak segera didapatkan dan osmolal gap > 5 mOsm/L;
asidosis metabolik dan osmolal gap >5-10 mOsm/L yang tidak
disebabkan etanol; konsentrasi metanol darah

>20 mOsm/L.

Etanol diberikan secara intravena sebagai larutan 10% (5).


Tabel 1: Protokol terapi etanol dalam kasus intoksikasi methanol (5)

Fomepizole (4-Metylpyrazole), suatu penghambat alkohol dehidrogenase


yang kuat, dapat berguna sebagai penunjang dalam keracunan methanol bila
tersedia, dengan loading dosis 15 mg/kgBB dilanjutkan bolus 10
mg/kgBB setiap 12 jam, setelah 48 jam pemberian dosis bolus dinaikan
15 mg/kg BB setiap 12 jam untuk menekan induksi metabolisme
fomepizole dan diberikan sampai kadar konsentrasi methanol serum < 20
mg/dl(4).
The American Academy Toxicology merekomendasikan penggunaan etanol
atau fomepizole untuk terapi intoksikasi metanol berdasarkan kriteria berikut:
konsentrasi metanol plasma >20 mg/dl; riwayat baru meminum metanol dengan
osmolal gap serum >10 mg/dl; Kecurigaan klinis kuat dari keracunan metanol
dengan sedikitnya dua dari berikut: pH arteri <7,3 , HCO3 <20 mEq/L dan osmolal
gap >20 mOsm/L(4,11,12) .

14

Dengan dimulainya prosedur dialisis, maka metanol akan hilang


dalam dialisat. Dialisis direkomendasikan untuk pasien yang mengalami
gangguan penglihatan, kadar methanol dalam darah 50 mg % atau lebih,
menelan lebih dari 60 ml methanol dan asidosis berat yang tidak dapat dikoreksi
dengan bikarbonat (4,11,12).
Alkalinisasi adalah terapi yang paling lama dipakai bertujuan
untuk mengatasi asidosis dan diperlukan dosis yang sangat besar dari
sodium bikarbonat.
Karena folat bertanggung jawab dalam oksidasi pembentukan asam
format menjadi CO2 dan air pada manusia, maka dapat diberikan asam folat
dengan dosis yang dianjurkan adalah 50 mg intravena setiap 4 jam, meskipun
pemberian asam folat ini belum pernah diuji secara lengkap dalam uji klinik (2,6).
Pada pasien ini telah dilakukan dialisis sebanyak dua kali, sebagai langkah
eliminasi Methanol, dialisis lanjutan ditolak oleh keluarga pasien. Faktor imobilisasi
lama, serta dalam pengaruh obat-obatan anti konvulsan menyebabkan terjadinya
pneumonia aspirasi serta kondisi sepsis dan gagal nafas pada pasien ini. Episode
kejang yang terjadi terus-menerus tidak menutup kemungkinan pengaruh methanol
telah merusak bagian otak karena hipoksia yang terjadi. Pasien akhirnya meninggal
karena syok sepsis yang diperberat oleh kondisi gagal nafas.
Kesimpulan
Keracunan methanol adalah suatu keracunan yang menimbulkan
kegawatan medis yang akut, dan sering terjadi di negara kita yang dapat
menyebabkan morbiditas dan bahkan kematian.
Mekanisme utama methanol di dalam tubuh manusia
a d a l a h d e n g a n o k s i d a s i m e n j a d i formaldehid, asam format dan CO2
Methanol mempengaruhi berbagai sistem organ di dalam tubuh.
Gejala awal berupa depresi system saraf pusat seperti sakit kepala, pusing, mual,
koordinasi terganggu, kebingungan dan pada dosis yang tinggi tidak sadarkan diri
dan kematian. Gejala lebih lanjut berupa gangguan penglihatan, asidosis sampai
dapat terjadi pernafasan dangkal, sianosis, takipneu, koma, kejang, gangguan

15

elektrolit dan perubahan hemodinamik yang bervariasi termasuk hipertensi dan


cardiac arrest .
Ada tiga cara yang spesifik untuk keracunan methanol berat, pada
metabolisme

alkohol

pembentukan

dehidrogenase

produk-produk

untuk

menekan

toksiknya,

dialysis

u n t u k meningkatkan bersihan methanol dan produk toksiknya, serta


alkalinasi untuk menetralkan asidosis metabolik
.

Pada pasien ini terutama gejala neurologis yang menonjol,

dengan kondisi status konvulsi dan kesadaran yang menurun dan


dalam kondisi immobilisasi lama, sehingga terjadi pneumonia
dengan

kondisi

sepsis

dan

gagal

nafas

sebagai

penyebab

kematian pasien ini.


Daftar Pustaka
1. Modis. Medical Jurisprudence and Toxicology. In:Alcohol Intoxication 18th
Edition. 2002
2. M e t h a n o l

Poisoning

O v e r v i e w.

Ava i l a b l e

at:

http://www.antizol.com/mpoisono.htm
3. Bertram G Katzung. Alkohol. In Farmakologi Dasar dan Klinik,
edisi VI. PP.369-379. E G C , 1 9 9 8
4. Kraut J.A, Kurtz I. Toxic Alkohol Ingestions: Clinical Features, Diagnosis
and Management. Clin J Am Soc Nephrol.2008;3:208-225
5. Methanol. Available. Available at http//www.wikipedia.com/
6. Olson K.R. Ethanol. In : Anderson I.B, Benowitz N.I, Keamey T.E, Osterloh
J.D,Woo O.F. Poisoning & Drug Overdose. A Lange Clinical Medical
Manual. United States of America.1994. PP 160-161
7. Methanol

Intoxication

Available:

http://www.emedicine.com/NEURO/topic217htm
8. M e t h y l
Ava i l ab l e

Alcohol

Poisoning.

: http://www.jpgmonline.com/article.asp?issn=0022-

16

3859;year=1984;volume=30;issue=2;spage=69;epage=74;aulast=Ravichandr
an
9. Final

Diagnosis-Methanol

Poisoning

Available:

http://path.upmc.edu/divisions/neuropath/bpath/cases/case53/dx.html
10. Methanol Intoxication with Putaminal and White Matter Necrosis: MR and
CT findings. Available:http://www.ajnr.org/cgi/reprint/16/7/1492.pdf
11. CT and MR Imaging Findings in Methanol Intoxication. Available:
http://www.ajnr.org/cgi/reprint/27/2/452.pdf (accesed:2008jan 23)10.
12. Ocular manifestasions and MRI findings in a case of methanol poisoning.
Available:http://www.nature.com/eye/journal/v19/n7/fig_tab/6701641f2.html
?url=/eye/journal/v19/n7/full/6701641a.html#figure-title
13. Henderson W.R, Brubacher J. Methanol and Ethylene Glycol Poisoning :A
Case Study and review of current literature. Janvier.2002;4:34-40
14. Abramson S, Singh A.K. reatment of the Alcohol Intoxications: Ethylene
Glycol,

methanol

and Isopropanol. Current Opinion in Nephrology and

hypertension.2000;9;695-701
*********

You might also like