You are on page 1of 36

1 Anatomi Faring

Pharynx

funnel shaped fibromuscular tube from base of skull > to inf border of cricoid cartilage
Layers of Pharyngeal wall:

Mucus membrane

Submucosa

Pharyngobasilar fascia

Muscular layer

Buccopharyngeal fascia

Has 3 parts:
Nasopharynx, Oropharnx, Laryngeopharynx

Nasopharynx: from base of occiput > soft palate & isthmus of fauces
Structures w/in
1. Choana post opening of nasal cavity
2. Pharyngeal fornix angle b/w roof of nasopharynx and post wall of pharynx, location of
pharyngeal tonsils* (aka adenoids)
3. Opening of auditory tubes
- roof of auditory tube covered w/ torus tubarius
- ant bordered by salpingopalatine fold
- post bordered by salpingopharyngeal fold has salpingopharyngeus m, opens pharyngeal
opening of auditory tube during swallowing
- around tube opening = tubal tonsils*
4. Pharyngeal recess b/w salpingopharyngeal fold and post wall of pharynx
Oropharynx: b/w soft palate, root of tongue > epiglottis
Structures w/in
1. Root of Tongue
2. Lingual tonsils*
3. Palatoglossal & palatopharyngeal folds w/ tonsillar bed b/w,

that holds palatine tonsils*

tonsillar bed = formed by superior constrictor of pharynx, and pharyngobasilar


fascia

Opening to Oropharynx = Faucial isthmus

Exit of oral cavity > pharynx

bordered laterally by palatoglossal/palatopharyngeal folds

Isthmus of Pharynx (diff than Fauces)

Narrowest part of pharynx b/w soft palate & post wall of pharynx

b/w nasal and oral parts of pharynx

closed by elevation and tightening of soft palate and contraction of sup constrictor of
pharynx & palatopharyngeus m

Prevents food -> nasopharynx

Act of Swallowing:
1. Bolus of food pushed back by elevating tongue (styloglossus) into fauces
2. Palatoglossus & palatopharyngeus m contract to squeeze the bolus backward into
oropharynx. Tensor veli palatini & levator veli palatini eleavate soft palate & uvula to close
entrance into nasopharynx
3. Wall of pharynx raised by palatopharyngeus & stylopharyngeus to receive food,
Suprahyoid m elevate hyoid bone & laynx to close opening into larynx, passing over the
epiglottis, prevent food from entering respiratory pathway

4.Action of sup,mid,inf constrictor move food through oropharynx and laryngopharynx >
esoph, where propelled by peristalsis
Blood Supply:

tonsillar br of facial a

asc pharyngeal a

asc palatine br of facial a

desc palatine a

pharyngeal br of maxillary a

br of sup/inf thyroid a

Innervation:

lies on middle pharyngeal constrictor

formed by pharyngeal br of CN IX, X, SNS br from sup cervical ggl

Vagal br = all m of pharynx, w/ exception of stylopharygeus m (CN IX), and tensor


veli palatini (V2)

Glossopharyngeal br = sensory fibers of pharyngeal mucosa

Laryngopharynx: epiglottis > cricoid cartilage (C4-C6)


1. Piriform recess - b/w larynx (aryepiglottic fold) & lat wall of pharynx (medial surface of
thyroid cartilage & thyrohyoid membrane), contains sup laryngeal a, int laryngeal n
2. Med/Lat glossoepiglottic folds
3. Valleculae epiglottica b/w med and lat glossoepiglottic folds on sup side of epiglottis
4. Post/lat walls = middle and inf constrictor m,
5. Internal wall = palatopharyngeus, stylopharyngeus m
Muscles: all innervated by Pharyngeal plexus, except stylopharyngeus m (IX)

Elevators:

Stylopharyngeus m

Palatopharyngeus m

Salpingopharyngeus m

Constrictors:
Sup/middle/Inf constrictors
each one is thicker than the one above and cover the lower end of it

Histologi

Slide #28 Larynx *H&E

Structures to Identify:

vestibule

true vocal folds

false vocal folds

cricoid cart

vocal ligaments

str columnar epith

epiglottis

rima glottidis

quadrangular membrane

vocalis m

str. sq epith

ventricles

thryoid cartilage

conus elasticus

psuedo str. epith

Lower power:
can see greater horn of hyoid bone

hyaline cartilages:
cricoid cartilages
thyroid cartilages
b/w cartilages = laryngeal musc str. musc fibers
on outer side of thyroid cart = infrahyoid m can be seen
Vertical section thru larynx:
show 2 vocal folds, supporting cartilages & muscles
vestibule > vestibular folds > ventricle > true vocal fold > subglottic region
Function:
conducts air
origin of speech
helps in swallowing
sound production & resonance
Mucosa:
false vocal fold = made by mucosa,
lined pseudostr. columnar epith w/ ciliae & goblet cells = respiratory epith

vocal fold= str. squamous non epith, more resistant to strain bacteria
vocal ligament located just deep to it
rich in a/v, esp capillaries
subglottic region = respiratory epith again
Lamina Propia
in LP = mixed glands (mostly mucus)
excretory ducts from glands, open @ epith
lymphatic nodules on ventricular side of fold
is thinner in area of vocalis m = no glands or a/v
Fibromuscular layer = quadrangular membrane
cartilages = become ossified to bone w/ age
cricoid cart = perichondrium + chondrons surrounded by matrix (PGs) + type II collagen
fibers
ext pharyngeal m = responsible to move & elevate larynx during swallowing
musc = thyroarytenoid m
Adventia external layer of CT

2 Anatomi Tonsil

Untuk kepentingan klinis faring dibagi menjadi 3 bagian utama: nasofaring,


orofaring dan laringofaring atau hipofaring 9. Nasofaring, bagian dari faring
yang terletak di atas palatum mole, orofaring yaitu bagianyang terletak diantara
palatum mole dan tulang hyoid dan laryngofaring yang meluas dari tulang hyoid
sampai ke batas bawah kartilago krikoid. Orofaring termasuk cincin jaringan
limfoid yang sirkumferensial disebut cincin Waldeyer. Termasuk didalamnya
adenoid(tonsila faringeal), tonsila palatina atau fausial, tonsila lingual, dan
folikel limfoid pada dinding posterior faring. Semuanya mempunyai struktur
dasar yang sama: massa limfoid ditunjang oleh kerangka retinakulum jaringan
penyambung10. Tonsil dan adenoid merupakan bagian terpenting dalam cicncin
waldeyer dari jaringan limfoid, yang mengelilingi faring. Unsur lain yaitu tonsil
lingual, pita lateral faring dan kelenjar- kelnjar limfoid yang tersebar dalam
fossa rosanmuller, dibawah mukosa dinding posterior faring dan dekat orifisium
tuba eustachius (tonsil gerlachs). Cincin Waldeyer ikut berperan dalam reaksi
imunologi dalam tubuh (tidak berhubungan dengan timus, atau dikenal sebagai
sel B). Hubungan tersebut sangat penting dalam beberapa tahun pertama
kehidupan 9. Tonsil juga merupakan bagian dari MALT (Mucosa Associated
Lympoid Tissue), sekurang-kurangnya 50% dari seluruh limfosit jaringan
berhubungan dengan permukaan mukosa, menekankan bahwa ini adalah tempat
utama masuknya benda asing. Agregat limfoid tampak menonjol pada lokasi
yang rawan ini(tonsil dan adenoid)10.
Tonsil fausium atau palatine , masing-masing sebuah pada tiap sisi orofaring ,
adalah jaringan limfoid yang berbentuk seperti buah kenari dibungkus oleh
kapsul fibrosa yang jelas. Permukaan sebelah dalam atau permukaan yang bebas
, tertutup oleh epitel membran squamosh berlapis yang sangat melekat. Epitel
ini meluas ke dalam kantung atau kriptayang membuka ke permukaan tonsil.
Lapisan epitel pada kripta sangat tipis dan pada kenyataan merupakan sawar
yang semipermiabel sehingga materi yang dicerna dapat dicoba (proctor)
sehingga terbentuk respon yang sesuai 9.

Tonsila faringeal mempunyai struktur limfoidnya tersusun dalam lipatan: tonsila


palatine mempunyai susunan limfoidnya sekitar pembentukan seperti kripta.
Terdiri dari 8-20 kripta biasanya tubular dan hampir selalu memanjang dari
dalam tonsil sampai ke kapsul pada permukaan luarnya jaringan ikat subepitel
yang terdapat dengan jelas dibawah permukaan epitel segera menghilang ketika
epitel mulai membentuk kripta. Hal ini menyebabkan sel-sel epitel dapat
menempel pada struktur limfatik tonsil. Seringkali tidak mungkin untuk
membuat garis pemisah antara epitel kriptadengan jaringan interfolikular. Epitel
kripta tidak sama dengan epitel asalnya yang menutupi permukaan tonsil,
sehingga tidak membentuk sawar pelindung yang kompak dan utuh 9. Sistim
kripta yang kompleks dalam tonsila palatina mungkin bertanggung jawab pada
kenyataan bahwa tonsila palatine lebih sering terkena penyakit dibanding
komponen cincin limfoid lain. Kripta-kripta ini lebih berlekuk-lekuk pada
bagian kutub atas tonsila, menjadi mudah tersumbat oleh folikel makanan,
mukus sel epitel yang terlupas, leukosit, dan bakteri, dan juga tempat utama
pertumbuhan bakteri pathogen.
Selama peradangan kripta dapat terisi dengan koagulum yang menyebabkan
gambaran folikular yang khas pada permukaan tonsila. Mekanisme pertahanan
dapat bersifat spesifik atau non spesifik. Apabila patogen menembus lapisan
epitel maka sel-sel fagositik mononuklear pertama-tama akan mengenal dan
mengeliminasi antigen 11.
Secara mikroskopik tonsil terdiri atas tiga komponen utama yaitu jaringan ikat,
folikel germinativum (merupakan sel limfoid) dan jaringan interfolikel (terdiri
dari jaringan limfoid)9.
1)Jaringan ikat yaitu trabekula atau retinakulum, bertindak sebagai rangka
penunjang tonsil. Trabekula mengandung pembuluh darah,saraf dan kelenjar
limfe.
2)Folikel germinavitum merupak pusat, tempat sel induk dari kelompok leukosit
mengalami kariokinesis dan membentuk sel-sel limfoid muda.
3)Jaringan interfolikular terdiri dari sel-sel limfoid dalam berbagai stadium
perkembangan. Sel-sel ini berbeda ukuran dan bentuknya tergantung dari
lokasinya. Sekitar folikel jumlahnya lebih besar dalam struktur anatomi11.
Tonsil selalu digambarkan mempunyai sebuah kapsul, tetapi adanya kapsul
yang pasti disangkal oleh beberapa ahli anatomi. Untuk keperluan klinik, kapsul
adalah sebuah selubung fibrosa yang berwarna putih yang disebut fasia
faringeal yang menutupi 4/5 bagian tonsil. Kapsul tonsil mempunyai trabekula
yang berjalan ke dalam parenkin. Trabekula ini mengandung pembuluh darah,
saraf-saraf dan pembuluh limfe eferen9.,
Lokasi tonsil(terutama tonsil palatina) sangat memungkinkan terpapar benda
asing dan patogen, selanjutnya membawanya ke sel limfoid11. Aktivitas
imunologi terbesar tonsil ditemukan pada usia 3 10 tahun. Tonsil merupakan

organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi


limfosit yang sudah disensitisasi.
Tonsil mempunyai dua fungsi utama yaitu menangkap dan mengumpulkan
bahan asing dengan efektif dan sebagai organ produksi antibodi dan sensitisasi
sel limfosit T dengan antigen spesifik . Tonsil bertindak seperti filter untuk
memperangkap bakteri dan virus yang masuk ke tubuh melalui mulut dan sinus.
Tonsil juga menstimulasi sistem imun untuk memproduksi antibodi untuk
membantu melawan infeksi. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fossa tonsilaris,
daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai fossa supratonsilar9.
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang di dalamnya terdapat sel limfoid yang
mengandung sel limfosit, 0,1-0,2% dari ke suluruhan limfosit tubuh pada orang
dewasa. Proporsi limfosit B danT pada tonsil adalah 50%:50%, sedangkan di
darah 55-75%:15-30%. Pada tonsil terdapat sistem imun kompleks yang terdiri
atas sel M (sel membran), makrofag, sel dendrit dan antigen presenting cells)
yang berperan dalam proses transportasi antigen ke sel limfosit sehingga terjadi
APCs (sintesis immunoglobulin spesifik). Juga terdapat sel limfosit B, limfosit
T, sel plasma dan sel pembawa Ig G 12
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/142/jtptunimus-gdl-kurniawati-7065-2bab2.pdf
Tonsil terbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsilmempunyai 10-30
kriptus yang meluas ke dalam yang meluas ke jaringantonsil. Tonsil tidak mengisi seluruh
fosa tonsilaris, daerah kosong diatasnya dikenal sebagai fosa supratonsilaris. Bagian luar
tonsil terikatlonggar pada muskulus konstriktor faring superior, sehingga tertekan
setiapkali makan.Walaupun tonsil terletak di orofaring karena perkembangan
yang berlebih tonsil dapat meluas ke arah nasofaring sehingga dapat
menimbulkaninsufisiensi velofaring atau obstruksi hidung walau jarang ditemukan.
Arah perkembangan tonsil tersering adalah ke arah hipofaring, sehingga
seringmenyebabkan terjaganya anak saat tidur karena gangguan pada jalan nafas.Secara
mikroskopik mengandung 3 unsur utama:1. Jaringan ikat/trabekula sebagai rangka
penunjang pembuluh darah saraf.2. Folikel germinativum dan sebagai pusat pembentukan
sel limfoid muda.3. Jaringan interfolikuler yang terdiri dari jaringan limfoid
Tonsilektomi
adalah operasi pengangkatan tonsil/mandel/amandel. Operasi inimerupakan operasi THTKL yang paling sering dilakukan pada anak-anak. Para ahlibelum sepenuhnya sependapat
tentang indikasi tentang tonsilektomi, namunsebagian besar membagi alasan (indikasi)
tonsilektomi menjadi: Indikasi absolutdan Indikasi relatif.
3 Fisiologi menelan

SUMBER : Iimu Penyakit telinga Kidung Tenggorok, penerbit EGC

4 Mengapa terdapat
a nyeri telan
susah menelan
Ada banyak kemungkinan penyebab bagi seseorang untuk menderita kesulitan atau
nyeri saat menelan makanan atau cairan. Penyebab paling umum termasuk:
a.

Kondisi yang sempit kerongkongan - Sore, bengkak atau terinfeksi

tenggorokan, kerongkongan striktur disebabkan oleh pil diajukan atau benda lainnya,
penyakit refluks laryngopharyngeal (tenggorokan kliring, lendir, perubahan suara,
kesulitan menelan, posting nasal drip), diverticulums, tumor atau kanker.
b.

Kondisi itu kompres kerongkongan dari luar - gondok (pembesaran kelenjar

tiroid), tumor, kanker atau kelainan lain pada tenggorokan, laring, tulang belakang

dan
c.

leher.
Efek samping pengobatan sindrom Sjogren, saraf atau kerusakan otak - mulut

kering.
d.

Kelemahan otot - Gangguan autoimun atau saraf, saraf atau kerusakan otak

seperti

ALS

atau

stroke.

Pasien dengan disfagia akan ditanya tentang sensasi yang tepat mereka rasakan ketika
menelan, seberapa cepat masalah muncul dan berapa lama telah terjadi, apakah
mereka mengonsumsi obat yang dapat menyebabkan efek samping, apa gejala lain
yang mereka alami, jika apapun, dan apakah ada riwayat keluarga masalah tersebut.
Jika pemeriksaan fisik tidak cukup untuk membuat diagnosis, tes lain mungkin
diperintahkan seperti esophagoscopy trans-hidung, 24 jam pemantauan pH rawat
jalan, diubah menelan barium, evaluasi fungsional menelan dan pengujian sensorik
(FEESST), CAT scan atau MRI. Pengobatan dan pemulihan tergantung pada kondisi
yang mendasarinya .

sebanyak 41,3% diantaranya mengeluhkan sangkut menelan sebagai keluhan utama


(Timbo, 1998). 2) Bau mulut (halitosis) yang disebabkan adanya pus pada kripta
tonsil. Pada penelitian tahun 2007 di Sao Paulo Brazil, mendapatkan keluhan utama
halitosis atau bau mulut pada penderita Tonsilitis Kronis didapati terdapat pada 27%
penderita (Dalrio, 2007). 3) Sulit menelan dan sengau pada malam hari (bila tonsil
membesar dan menyumbat jalan nafas)(Dhingra, 2008; Shnayder, 2008). 4)
Pembesaran kelenjar limfe pada leher. 5) Butiran putih pada tonsil (Brodsky, 2006).

radang
Pada radang amandel (tonsilitis), sakit dirasakan saat makan. Ini disebabkan karena
sentuhan makanan pada amandel yang sedang mengalami peradangan. Kalau radang
di sekitar amandel (abses), tidak menelan ludah ataupun makan pun terasa sakit,
karena adanya peradangan hebat di sekitar amandel.
Secara klinis peradangan ini ada yang akut (baru), ditandai dengan nyeri menelan
(odinofagi), dan tidak jarang disertai demam. Sedangkan yang sudah menahun
biasanya tidak nyeri menelan, tapi jika ukurannya cukup besar (hipertrofi) akan
menyebabkan kesulitan menelan (disfagia).

Pada saat terjadinya sebuah peradangan akan dibentuk berberapa zat yang bisa
mempengaruhi temprature yang bernama pyrogen yang dibagi dua berdasarkan
asalnya yaitu: endogenous(IL-1/6, TNF, INF a)dan exogenous(zat hasil metabolisme
microorganism, toxin microba, fragment dan keseluruhan microba) yang akan
memasuki sikulasi dan menuju ke hypothalmus dalam serum, khususnya kepada
endothelium hypothalymus dimana ia akan merangsang adenosine 5monophosphate
yang merupakan neurotransmitter yang dirangsang oleh reseptor prostaglandin E
dalam endothelium hypothalymus yang akan mempengaruh daerah yang mengatur
temprature tubuh.
SUMBER : Harrisons Principles of Internal Medicine 17th Ed, 2008
Pathophysiology, the biological basis for Disease in Adults and Children 5th Ed,
2006

b tenggorokan terasa panas disertai demam


Nyeri telan
Bakteri atau virus menginfeksi pada lapisan epitel. Bila epitel terkikis, maka
jaringan limpofid superficial menandakan reaksi, terdapat pembendungan radang
dengan infiltrasi leukosit polimorfonukuler. Proses ini secara klinis tampak pada
kriptus tonsil yang berisi bercak kuning disebut detritus. Detritus merupakan
kumpulan leukosit, bakteri dan epitel yang terlepas. Akibat dari proses ini akan
terjadi pembengkakan atau pembesaran tonsil ini, nyeri menelan, disfalgia. Kadang
apabila terjadi pembesaran melebihi uvula dapat menyebabkan kesulitan bernafas.
Apabila kedua tonsil bertamu pada garis tengah yang disebut kidding tonsil
dapat terjadi penyumbatan pengaliran udara dan makana. Komplikasi yang sering
terjadi akibat disflagia dan nyeri saat menelan, klien akan mengalami malnutrisi yang
ditandai dengan gangguan tumbuh kembang, malaise, mudah mengantuk.
Pembesaran adenoid mungkin dapat menghambat ruang samping belakang hidung
yang membuat kerusakan lewat udara dari hidung ke tenggorokan, sehingga akan
bernafas melalui mulut. Bila bernafas terus lewat mulut maka mukosa membarne dari
orofaring menjadi kering dan teriritasi, adenoid yang mendekati tuba eustachus dapat
meyumbat saluran mengakibatkan berkembangnya otitis media (Nanda, 2008 ).

http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/135/jtptunimus-gdl-itadwiapri-6741-2-babii.pdf
Odinofagia adalah suatu kondisi medis yang ditandai dengan peradangan pada
mulut atau esofagus. Kondisi ini menyebabkan seseorang mengalami rasa nyeri
sewaktu menelan. Penyebab odinofagia biasanya berhubungan dengan destruksi
atau iritasi dari mukosa. Mukosa adalah jaringan lembab yang melapisi bagianbagian tertentu di dalam tubuh dan mengeluarkan lendir. Kerusakan pada
mukosa dapat disebabkan oleh kebiasaan mengkonsumsi makanan dan
minuman yang sangat panas atau sangat dingin. Penyakit otot yang berdampak
negatif pada fungsi dari otot-otot tenggorokan dapat juga menjadi salah satu

faktor penyebab terjadinya keadaan ini. Penyebab odinofagia yang paling umum
adalah candidiasis esofageal, suatu infeksi oportunistik pada esofagus. Tidak
seperti disfagia, yaitu suatu keadaan dimana penderita mengalami kesulitan
untuk mendelan, odinofagia biasanya tidak melibatkan masalah apapun dalam
proses menelan.

http://www.persify.com/id/perspectives/medical-conditions-diseases/odinofagia-_951000103745
Tenggorokan panas disertai demam
Odinofagia atau nyeri tenggorok merupakan gejala yang sering dikeluhkan akibat adanya
kelainan atau peradangan di daerah nasofaring, orofaring dan hipofaring.
Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT-KL FK UI, 2007

Throat in Chr. pharyngitis

Congestion of posterior wall of pharynx, engorgement of vessels, pillars may be


thickened.

Increased mucus secretion.

Posterior pharyngeal wall may be studded with reddish nodules in case of Granular
pharyngitis.

Lateral pharyngeal bands may enlarge and uvula may be elongated and
hypertrophied.

Read more Chronic Pharyngitis: Causes,symptoms and treatment | Medchrome

Tonsillitis Tonsils are enlarged with pus visible in the crypts

Patofisiologi Tonsilitis
Bakteri atau virus memasuki tubuh melalui hidung atau mulut.
Amandel atau tonsil berperan sebagai filter, menyelimuti organisme yang berbahaya tersebut. Hal ini
akan memicu tubuh untuk membentuk antibody terhadap infeksi yang akan datang akan tetapi
kadang-kadang amandel sudah kelelahan menahan infeksi atau virus.
Kuman menginfiltrasi lapisan epitel, bila epitel terkikis maka jaringan limfoid superficial mengadakan
reaksi. Terdapat pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit poli morfonuklear. Proses ini secara
klinik tampak pada korpus tonsil yang berisi bercak kuning yang disebut detritus. Detritus merupakan
kumpulan leukosit, bakteri dan epitel yang terlepas, suatu tonsillitis akut dengan detritus disebut
tonsillitis falikularis, bila bercak detritus berdekatan menjadi satu maka terjadi tonsillitis lakunaris.
Tonsilitis dimulai dengan gejala sakit tenggorokan ringan hingga menjadi parah. Pasien hanya
mengeluh merasa sakit tenggorokannya sehingga berhenti makan. Tonsilitis dapat menyebabkan
kesukaran menelan, panas, bengkak, dan kelenjar getah bening melemah didalam daerah sub
mandibuler, sakit pada sendi dan otot, kedinginan, seluruh tubuh sakit, sakit kepala dan biasanya sakit
pada telinga. Sekresi yang berlebih membuat pasien mengeluh sukar menelan, belakang tenggorokan
akan terasa mengental. Hal-hal yang tidak menyenangkan tersebut biasanya berakhir setelah 72 jam.
Bila bercak melebar, lebih besar lagi sehingga terbentuk membran semu (Pseudomembran),
sedangkan pada tonsillitis kronik terjadi karena proses radang berulang maka epitel mukosa dan
jaringan limfoid terkikis. Sehingga pada proses penyembuhan, jaringan limfoid diganti jaringan
parut. Jaringan ini akan mengkerut sehingga ruang antara kelompok melebar (kriptus) yang akan diisi
oleh detritus, proses ini meluas sehingga menembus kapsul dan akhirnya timbul perlengketan dengan
jaringan sekitar fosa tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar limfe
submandibula. (Reeves, Roux, Lockhart, 2001 )
Gejala dan Tanda Tonsilitis kronik
Anamnesa dan pemeriksaan fisik diagnostik diperlukan untuk menegakkan diagnosa penyakit ini.
Pada Tonsilitis Kronis tonsil dapat terlihat normal, namun ada tanda-tanda spesifik untuk menentukan
diagnosa seperti plika anterior yang hiperemis, pembesaran kelenjar limfe, dan bertambahnya jumlah
kripta pada tonsil . Tonsilitis kronik dapat menimbulkan beberapa gejala baik lokal maupun sistemik.
Gejala lokal seperti nyeri tenggorok atau rasa tidak enak di tenggorok, nyeri telan ringan , kadangkadang merasaseperti ada benda asing di tenggorok, dirasakan kering di tenggorok, napas berbau.
Gejala sistemik timbul akibat adanya absorbsi toksin atau bakteri ke dalam sirkulasi darah.
Gejala dapat berupa malnutrisi, nafsu makan berkurang, anemia, badan lesu (sering mengantuk), sakit
kepala, nyeri otot dan sendi. 5,7. Pada pemeriksaan dapat dijumpaipilar anterior hiperemis, tonsil

biasanya membesar(hipertrofi) biasanya pada anak, anak dapat juga dijumpai tonsil dalam keadaan
mengecil(atrofi), terutama pada dewasa. Kripte yang melebar, dan beberapa kriptus diisi oleh detritus
sehingga akan tampak bila tonsil ditekan dan pada anak disertai pembesaran kelenjar limfesubangulus
mandibula. Tanda klinis tidak harus ada semua, minimal ada kripte yang melebar dan pembesaran
kelenjar limfe subangulus mandibula11.
Dari pemeriksaan dapat dijumpai pembesaran tonsil yang berfariasi . Kadang-kadang tonsil dapat
bertemu di tengah.Standart untuk pemeriksaan tonsil berdasarkan pemeriksaan fisik diagnostik
diklasifikasikan berdasarkan ratio tonsil terhadap orofaring (dari medial ke lateral) yang diukur antara
pilar anterior kanan dan kiri. Yang dapat di klasifikasikan 15,16 :
1) T0: Tonsil terletak pada fosa tonsil (tidak ada pembesaran/tidak punya tonsil)
2) T1: < 25% tonsil menutupi orofaring, (batas medial tonsil melewati pilar
anterior sampai jarak pilar anterior uvula)
3) T2: > 25% sampai < 50% tonsil menutupi orofaring, (batas medial tonsil
melewati jarak pilar anterior-uvula sampai jarak pilar anterior-uvula)
4) T3:> 50% sampai < 75% tonsil menutupi orofaring,(batas medial tonsil
melewati jarak pilar anterior-uvulasampai jarak pilar anterioruvula).
5) T4: >75%, tonsil menutupi orofaring (batas medial tonsil melewati jarak
pilar anterior-uvula sampai uvula atau lebih).
Pada anak tonsilitis hipertrofi merupakan salah satu penyebab tersering obstructive sleep apnea
(OSA) . yang meyebabkan hipoventilasi alveoli yang selanjutnya dapat terjadi hiperkapnia.
Anamnesis dan pemeriksaan fisik cukup bermanfaat untuk menegakkan diagnosis.
Apabila penyebab sleep apnea adalah akibat hipertrofi tonsil, maka tindakanoperasi tonsilektomi perlu
dilakukan13.

http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/142/jtptunimus-gdl-kurniawati-7065-2-bab2.pdf

Patofisiologi Faringitis
Penularan terjadi melalui droplet. Kuman menginfiltrasi lapisan epitel, kemudian bila epitel
terkikis maka jaringan limfoid superficial bereaksi, terjadi pembendungan radang dengan
infiltrasi leukosit polimorfonuklear. Pada stadium awal terdapat hiperemi, kemudian edema
dan sekresi yang meningkat. Eksudat mula-mula lapisan tapi menjadi menebal dan kemudian
cenderung menjadi kering dan dapat melekat pada dinding faring. Dengan hiperemi,
pembuluh darah dinding faring menjadi lebar. Bentuk sumbatan yang berwarna kuning, putih
dan abu-abu terdapat dalam folikel atau jaringan lomfoid. Tampak bahwa folikel limfoid dan
bercak-bercak pada dinding faring posterior, atau terletak lebih ke lateral, menjadi meradang
dan membengkak.
Seperti orang dewasa, infeksi pada anak menyebabkan inflamasi dan pembengkakan saluran
napas yang bermakna. Pada kenyataannya, anak-anak yang mengalami ISPA mungkin
memperlihatkan gejala klinis yang lebih dramatis karena saluran napas atas jauh lebih sempit
sehingga resistensi terhadap arus udara tinggi walaupun pembengkakan dan sumbatan jalan
napas tidak mencolok. Batuk yang terdengar pada anak yang mengidap faringitis mungkin
seperti menyalak, serak dan stridor. Terapi untuk anak-anak yang menderita faringitis derajat
ringan-sampai-sedang antara lain vaporizer, terapi oksigen. Mereka yang menderita faringitis
derajat sedang-sampai berat dapat diobati dengan pemberian glukokortikoid intramuskular
atau nebulizer. Inflamasi epiglottis dapat menyebabkan sumbatan total jalan napas,
kecemasan yang bermakna dan kematian. Anak-anak cenderung duduk telungkup dan dapat
berguling. Untuk anak-anak yang menderita epiglotitis, perlu dirawat di rumah sakit dan
mungkin memerlukan tindakan intubasi atau trakeostomi.
Sekitar 90% kasus faringitis disebabkan virus. Sisanya disebabkan bakteri dan kandidiasis
fungal (jarang terjadi, biasanya pada bayi). Juga dapat disebabkan iritasi akibat polusi
senyawa kimia. Pada faringitis akibat virus, virus berusaha menembus sel-sel mukosa yang

melapisi nasofaring dan bereplikasi dalam sel-sel ini. Gangguan pada penderitaseringnya
disebabkan oleh 0leh sel-sel dimana virus berimplikasi. Umumnya sembuh dengan
sendirinya, tidak perlu pengobatan spesifik, dan jarang menimbulkan komplikasi. Virus
Epstein-barr, herpes simplex, measle dan common coald.
Bakteri penyebab faringitis yang paling umum adalah kelompok A streptokokus. Ada banyak
strain; paling berbahaya strain B-hemolitik (GABHS). Bakteri lain yang juga umum adalah
Corynebacterium diphtheria, Chlamydia pneumonia dan stafilokokus. Jika tidak ditangani
dalam 9 hari, infeksi oleh GABHS beresiko menimbulkan demam rematik.
Corynebacterium diphtheria tidak terlalu invasive dan tetap terlokalisir pada permukaan
saluran permukaan saluran pernapasan. Hanya lisogenik corynebacterium diphtheria tidak
terlalu terlokalisasir pada permukaan sluran peranafasan. Hanya lisogenik Corynebacterium
diphtheria bakteriofag pembawa gen toksik yang menyebabkan difteria. Kerusakan pada
faring disebabkan oleh toksin tersebut, yang membunuh sel-sel mukosa dan Adenosine
Diphosphate (ADP) Ribosylating Alongation Factor II. Toksin juga dapat merusak jantung
dan saraf. Bakteri ini telah dieradikasi di Negara-negara maju sejak dilakukannya program
vaksinasi anak, tetapi masih dilaporkan dinegara-negara dunia ketiga dan makin meningkat
dibeberapa daerah di eropa timur. Antibiotic efektif dalam tahap awal, tapi penyembuhan
biasanya lamban.
Sedangkan Chlamydia pnemoniae menyebabkan sekitar 5% infeksi, dengan onset sub akut
dan faringitis. Penderita sering mengalami pola bifasik, tetapi membaik sebelum berkembang
menjadi bronchitis atau pneumonia.
Organisme yang menghasilkan eksudat saja atau perubahan kataral sampai yang
menyebabkan edema dan bahkan ulserasi dapat mengakibatkan faringitis. Pada stadium awal,
terdapat hiperemia, kemudian edema dan sekresi yang meningkat. Eksudat mula-mula serosa
tapi menjadi menebal atau berbentuk mukus dan kemudian cenderung menjadi kering dan
dapat melekat pada dinding faring.
Dengan hiperemia, pembuluh darah dinding faring menjadi melebar. Bentuk sumbatan yang
berwarna putih, kuning atau abu-abu terdapat dalam folikel atau jaringan limfoid. Tidak
adanya tonsilia, perhatian biasanya difokuskan pada faring dan tampak bahwa folikel limfoid
atau bercak-bercak pada dinding faring posterior atau terletak lebih ke lateral, menjadi
meradang dan membengkak. Tekanan dinding lateral jika tersendiri disebut faringitis lateral.
Hal ini tentu saja mungkin terjadi, bahkan adanya tonsilia, hanya faring saja yang terkena.
1) Hiperemia tonsil dan faring dapat meluas ke palatum lunak dan uvula
2) Sering menimbulkan eksudat folikuler yang menyebar dan menyatu membentuk
pseudomembran pada tonsil
3) Kelenjar servikal membesar dan nyeri tekan
Dalam perjalanan penyakit mungkin gejala-gejala menjadi lebih berat dan bila semakin berat
dapat jatuh dalam keadaan kegagalan pernapasan dan mungkin meninggal. Bila sudah dalam
kegagalan pernapasan maka dibutuhkan penatalaksanaan yang lebih rumit, meskipun
demikian mortalitas masih tinggi, maka perlu diusahakan agar yang ringan tidak menjadi
lebih berat dan yang sudah berat cepat-cepat ditolong dengan tepat agar tidak jatuh dalam
kegagalan pernapasan. Tanda- tanda bahaya dapat dilihat berdasarkan tanda-tanda klinis dan
tanda-tanda laboratoris :
a. Tanda-tanda klinis pada sistem respiratorik adalah tachypnea, napas tak teratur (apnea),
retraksi dinding thorak, napas cuping hidung, cyanosis, suara napas lemah atau hilang,
grunting expiratoir dan wheezing
b. Pada sistem cardial adalah tachycardia, bradycardiam, hipertensi, hipotensi dan cardiac
arrest

c. Pada sistem cerebral adalah gelisah, mudah terangsang, sakit kepala, bingung, pepil
bendung, kejang dan coma
d. Pada hal umum adalah letih dan berkeringat banyak.
Berdasarkan penyebabnya, manifestasi klinis faringitis dapat dibagi dua, tetapi ada banyak
tanda dan gejala yang tumpang tindih dan sulit dibedakan antara satu bentuk faringitis dengan
yang lain.

c Batuk
Batuk
REFLEK BATUK
Reflek batuk berawal dari iritan / rangsangan menginduksi imuls aferen dari nervus vagus di
saluran nafas ke medula oblongata. Lintasan neural medulla memberikan efek sebagai
berikut:
1. Kira-kira 2,5 liter udara diinspirasi.
2. Epiglotis menutup , pita suara menutup erat-erat untuk menjerat udara dalam paru.
3. Otot-otot perut berkontraksi dengan kuat mendorong diafragma, sedang oto-otot ekspirasi
lain seperti interkostalis eksternus juga berkontraksi dengan kuat. Akibatnya, tekanan dalam
4.

paru meningkat sampai 100 mmHg.


Pita suara dengan epiglottis sekonyong-konyong terbuka lebar, sehingga udara bertekanan

tinggi dalam paru meledak keluar. Udara ini dikeluarkan dengan kecepatan 75-100 mil/jm.
5. Penekanan kuat pada paru menyebabkan bronkus dan trakea menjadi kolaps sehingga bagian
yang tidak berkartilago berinvaginasi kedalam, sehingga udara yang meledak benar-benar
mengalir melalui celah-celah bronkus dan trakea. Udara yang mengalir dengan cepat
biasanya membawa benda-benda asing apapun yang terdapat di bronkus dan trakea.

d nafsu makan berkurang?


Nafsu makan kurang
Akibat dari proses ini akan terjadi pembengkakan atau pembesaran tonsil ini, nyeri menelan, disfalgia.
Kadang apabila terjadi pembesaran melebihi uvula dapat menyebabkan kesulitan bernafas.
Apabila kedua tonsil bertamu pada garis tengah yang disebut kidding tonsil
dapat terjadi penyumbatan pengaliran udara dan makana. Komplikasi yang sering
terjadi akibat disflagia dan nyeri saat menelan, klien akan mengalami malnutrisi yang
ditandai dengan gangguan tumbuh kembang, malaise, mudah mengantuk.

http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/135/jtptunimus-gdl-itadwiapri-6741-2-babii.pdf

5 Mengapa keluhan muncul setiap kali minum es puter!


Selain itu, sering ada pertanyaan: mengapa kalau sakit amandel tidak boleh minum
dingin? Sebenarnya bukan tidak boleh, tapi sebaiknya dihindari. Saat kita menelan air

dingin, sel kekebalan tubuh yang berada di amandel mengalami penurunan aktifitas
kerja (tidak semangat seperti sebelumnya). Penurunan kualitas kerja sel ini
menyebabkan radang pada amandel. Jadi jangan minum air dingin berlebihan, minum
saja air hangat yang hangatnya sesuai dengan suhu tubuh agar sel kekebalan di leher
lebih giat bekerja.
Adapun faktor predisposisi dari Tonsilitis Kronis yaitu :

Pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat

Higiene mulut yang buruk

Pengaruh cuaca

Kelelahan fisik

Merokok

Makanan

SUMBER : FK UI THT

6 Mengapa didapatkan pada orofaring didapatkan tonsil : T3- T3


hiperemis, kripte melebar, dan detritus positif!
Interpretasi dari pemeriksaan tonsil!
7 Mengapa dinding posterior faring bergranular dan hiperemis
Patologi faringitis kronis hiperplastik. Terjadi perubahan mukosa dinding posterior
faring dan hiperplasia kelenjar limfa dibawah mukosa faring & lateral band. Juga
ditandai oleh adanya jaringan granular sehingga mukosa dinding posterior faring
menjadi tidak rata.
Akibat iritasi dan inflamasi kronis menyebabkan dinding belakang faring mengalami
penebalan mukosa dan hipertrofi kelenjar limfe dibawahnya dan dibelakang arcus
faring posterior ( lateral band ) / granula.

8 Apa etiologi mikroorganisme penyebab dari keluhan yang


dirasakan pasien?
STREPTOKOKUS
Bakteri ini pertama sekali diidentifikasi oleh Billroth tahun 1874. Merupakan
kuman gram positif, yang bersifat nonmotile yang berpasangan, diameter bakteri 0,5
1,2 m, hampir semua merupakan kuman yang bersifat fakultatif anaerob, ( Rollins,
2000)

Streptokokus merupakan kokus tunggal berbentuk batang atau ovoid dan


tersusun seperti rantai. Kokus membelah pada bidang yang tegak lurus sumbu panjang
rantai. Anggota rantai tersebut sering membentuk gambaran diplokokus dan kadang
kadang terlihat seperti batang. Beberapa streptokokus menguraikan polisakarida
kapsular seperti pneumokokus, kapsul ini menggangu proses fagositosis. Dinding sel
streptokokus mengandung protein ( antigen M, T dan R ). Pertumbuhan sebagian
besar streptokokus patogen paling baik pada suhu 37 C, Streptokokus menghasilkan
toksin seperti streptokinase, streptodornase, hialuronidase, eksotoksin pirogenik dan
hemolisin. Streptokokus pyrogen hemolitikus menghasilkan streptolisin. Streptolisin
O berperan pada beberapa proses hemolisis, zat ini secara kuantitatif terikat dengan
antistreptolisin O, yang merupakan antibodi yang terpapar pada manusia setelah
infeksi oleh strepptokokus. Titer antistreptolisin O yang lebih dari 160 200 unit
dianggap sangat tinggi dan menunjukan adanya infeksi stretokokus yang baru terjadi
atau adanya kadar antibodi yang tinggi akibat respon imun yang berlebihan terpajanan
sebelumnya. ( Jawetz .2008 ).
Dinding sel bakteri streptokokus hemolitikus yang terdiri dari peptidoglikan
yang berhubungan dengan lipoteichoic ( LTA ), dimana LTA ini diperkirakan sangat
berperan dalam peningkatan bakteri yang melekat pada sel epitel dinding faring.
Streptokokus grup A sering menyebabkan infeksi terbanyak pada saluran napas
terutama pada anak 5 15 tahun. Komplikasi berupa bentuk supuratif abses peritonsil,
abses retrofaring, otitis media, sinusitis, bakterimia. Non supuratif berupa demam
rematik, akut glomerulonefritis, (Koneman. 1997 ).
Bakteri streptokokus dapat dibagi menjadi 3 kelompok berdasarkan
kemampuan menghancurkan sel darah merah yaitu : streptokokus hemoltikus jika
dapat melakuakan hemolisis lengkap, streptokokus hemoltikus jika menyebabkan
hemolisis parsial, streptokokus hemolitikus jika tidak menyebabkan hemolisis.
Sistem penentuan serologi yaitu grup A streptokokus dibuat berdasarkan jenis
polisakarida dinding sel, atas dasar reaksi presipiting protein M atau reaksi aglutinin
protein T dinding sel. Struktur sel strepokokus terdiri dari kapsul asam hialuronid ,
dinding sel, fimbria dan membran sitoplasma. Kapsul asam hialuronid berkerja
sebagai strain mukoid, resisten terhadap pagositosis dan berperan dalam terjadinya
infeksi. Nefritis associatedplasmin receptor (NAPLr) adalah protein dengan berat
molekul 43- kDa yang diisolasi dari streptokokus nefrtogenik, protein ini merupakan
antigen yang terdapat dalam glomerulus pada stadium dini GNAPS ( Pardede., 2009 )

9 Apakah ada hubungan pengobatan sendiri dengan keluhan?


10 Mengapa prestasi belajar menurun dan sering mengantuk?
Tonsilitis kronik selain menimbulkan gejala lokal juga akan menimbulkan gejala sistemik yang
diduga karena toksemia kronik. yang dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan dan nafsu makan.
Dampak penyakit kronik semasa anak sangat besar baik untuk anak tersebut maupun untuk keluarga
dan lingkungan sosialnya. Konsekuensi yang timbul merupakan problem-problem psikologis seperti
penariakan diri, penghargaan diri rendah dan kurang berprestasi di sekolah 25.
Penyebab terbanyak obtruksi saluran napas pada anak adalah tonsil dan adenoid hipertrofi. Anak
dengan tonsil dan adenoid hipertrofi dapat mengalami gangguan tidur yang pada derajat berat sapai
terjadi apnea obstruksi waktu tidur.
Apabila obstruksi tidak total dan aliranudara secara bermakna menjadi turun maka keadaan ini disebut
hipopnea yag mana mempunyai efek yang sama dengan apnea dalam mengganggu tidur namun bi
asanya menghasilkan hipoksia yang lebih ringan. Dalam keadaan hipoksi maka otak adalah organ
yang pertama kali terkena akibatnya. Hipoksi dapat menyebabkan mengantuk, gelisah, perasaan sakit
yang samar-samar, sakit kepala, anoreksia, nausea, takikardi dan hipertensi pada hipoksia yang berat.
Gangguan fungsi normal pada penderita tonsilitis kronik dengan hipertrofidan dampaknya terhadap
kualitas hidup telah banyak diteliti. Penderita tonsilitiskronik hipertrofi yang terganggu fungsi
respirasi dan deglutisi mengalamipenurunan kualitas hidup, meningkatkan biaya perawatan kesehatan
dan kehilangan waktu untuk sekolah atau bekerja. Pada obstructive sleep apnea syndrome (OSAS),
dimana angka prevalensi 1 3 % pada anak TK dan usia sekolah, menimbulkan permasalahan
menyangkut kesulitan bernafas malam hari terutama saat tidur, gangguan emosional, gangguan
perilaku, dan gangguan neurokognitif 15.
Tonsil dan adenoid hipertrofi yang menyebabkan apnea obstruksi waktu tidur dengan hipoventilasi
alveoli, hipoksia dan retensi CO2 pada malam hari dapat memberikan efek psikologisdan fisiologis.

Gejala yang timbul berupa mengantuk pada siang hari (pada saat pelajaran), enuresis, perhatian
kurang, kegelisahan, perilaku agresif, berat badan kurang, penurunan fungsi intelektual, dan prestasi
belajar kurang 15,26 .
Berdasarkan uraian diatas dapat diterapkan bahwa pada anak dengan tonsilitis kronik dapat terganggu
fisiologisnya bahkan kadang sampai tidak masuk sekolah karena sakit. Yang selanjutnya dapat
mempengaruhi proses dan hasil belajar. Pada tonsilitis kronik hipertrofi dapat mnyebabkan obstruksi
saluran nafas atas yang dapat mempengaruhi kondisi psikologis dan fisiologisnya sehingga proses
belajar menjadi terganggu yang pada ahirnya mempengaruhi proses prestasi belajar 15,25,26

http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/142/jtptunimus-gdl-kurniawati-7065-2-bab2.pdf

11 DD
Tonsillitis
Patofisiologi
a. Tonsilitis bakterial
i. Infiltrasi bakteri pada lapisan epitel jaringan tonsil reaksi radang
keluarnya leukosit PMN detritus (kumpulan leukosit, bakteri yang mati
dan epitel yang terlepas) mengisi kriptus bercak kuning
ii. Detritus jelas Tonsilitis folikularis
iii. Detritus bergabung membentuk alur Tonsilitis lakunaris
iv. Atau mungin detritus menyebar membentuk pseudomembran
b. Tonsilitis kronik
Proses radang yang berulang epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis
proses penyembuhan jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut
pengerutan kripte melebar diisi detritus menembus kapsul tonsil
perlekatan dengan jaringan di sekitar fossa tonsilaris pada anak + pembesaran
kelenjar submandibula
Penatalaksanaan
a. Tonsilitis akut
1. Viral
a. Istirahat
b. Simtomatis
c. Minum cukup
d. Analgetika
e. Antivirus (jika gejala sangat berat)
2. Bakterial
a. Jika ditemukan bakteri Streptokokus Hemolyticus Grup A penisilin
atau eritromisin selama 10 hari
b. Antipiretik
c. Obat kumur mengandung desinfektan
b. Tonsilitis kronik
1. Terapi lokal higiene mulut dengan berkumur atau obat hisap

2. Jika infeksi berulang dan kronik tonsilektomi, indikasinya:


a. Serangan tonsilitis lebih dari tiga kali per tahun walaupun telah
mendapatkan terapi yang adekuat
b. Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan
gangguan pertumbuhan orofasial
c. Sumbatan jalan nafas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan
jalan nafas, sleep apnea, gangguan menelan, gangguan berbicara dan
cor pulmonate
d. Rinitis dan sinusitis kronis, peritonsilitis, abses peritonsil yang tidak
berhasil dihilangkan dengan pengobatan
e. Nafas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan
1. Tonsilitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grup A
Streptococcus - hemalyticus
2. Hipertrofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan
3. OME/OMSK
Tonsillectomy is the process by which the tonsils are removed from the tonsillar fossa. The
indications for tonsillectomy are:
1. Absolute indications
1. Recurrent attacks of tonsillitis

More than 7 times a year for one year

More than 5 times a year for 2 years

More than 3 times a year for 3 years

More 2 weeks of school or work lost due to tonsillitis in a year

2. Peritonsillar abscess (quinsy)

In children, tonsillitis is done 4-6 weeks after resolution of a


peritonsillar abscess

In adults tonsillectomy is done after the second attack of


peritonsillar abscess

3. Enlarged tonsil causing obstructive symptoms

Difficulty in respiration

Diffuculty in swallowing

Difficulty in speaking

4. Febrile seizures in children

5. Suspected tonsillar malignancy


2. Relative indications
1. Streptococcal carriers
2. Diphtheria carriers
3. Chronic tonsillitis causing halitosis
4. Recurrent streptococcal tonsillitis in a patient with valvular heart
disease
3. As part of other surgical procedures
1. Removal of styloid process in Eagles syndrome
2. Glossopharyngeal neurectomy
3. Palatopharyngoplasty in sleep apnoea syndrome

Appearance of tonsillar fossa 3 days after tonsillectomy

Indikasi Tonsilektomi
Indikasi tonsilektomi dulu dan sekarang tidak berbeda, namun terdapat perbedaan
prioritas relatif dalam menentukan indikasi tonsilektomi pada saat ini. Dulu tonsilektomi
diindikasikan untuk terapi tonsilitis kronik dan berulang. Saat ini, indikasi yang lebih
utama adalah obstruksi saluran napas dan hipertrofi tonsil.9 Untuk keadaan emergency
seperti adanya obstruksi saluran napas, indikasi tonsilektomi sudah tidak diperdebatkan
lagi (indikasi absolut). Namun, indikasi relatif tonsilektomi pada keadaan non emergency
dan perlunya batasan usia pada keadaan ini masih menjadi perdebatan. Sebuah

kepustakaan menyebutkan bahwa usia tidak menentukan boleh tidaknya dilakukan


tonsilektomi.13
1. Indikasi Absolutx6 (AAO)
a. Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran napas, disfagia berat,
gangguan tidur dan komplikasi kardiopulmoner
b. Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis dan drainase
c. Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam
d. Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan patologi anatomi
2. Indikasi Relatifx6 (AAO)
a. Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan terapi antibiotik adekuat
b. Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan pemberian terapi medis
c. Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptokokus yang tidak membaik dengan
pemberian antibiotik -laktamase resisten
Pada keadaan tertentu seperti pada abses peritonsilar (Quinsy), tonsilektomi dapat
dilaksanakan bersamaan dengan insisi abses.8
Saat mempertimbangkan tonsilektomi untuk pasien dewasa harus dibedakan apakah
mereka mutlak memerlukan operasi tersebut atau hanya sebagai kandidat. Dugaan
keganasan dan obstruksi saluran nafas merupakan indikasi absolut untuk tonsilektomi.
Tetapi hanya sedikit tonsilektomi pada dewasa yang dilakukan atas indikasi tersebut,
kebanyakan karena infeksi kronik. Akan tetapi semua bentuk tonsilitis kronik tidak sama,
gejala dapat sangat sederhana seperti halitosis, debris kriptus dari tonsil (cryptic
tonsillitis) dan pada keadaan yang lebih berat dapat timbul gejala seperti nyeri telinga
dan nyeri atau rasa tidak enak di tenggorok yang menetap. Indikasi tonsilektomi
mungkin dapat berdasarkan terdapat dan beratnya satu atau lebih dari gejala tersebut
dan pasien seperti ini harus dipertimbangkan sebagai kandidat untuk tonsilektomi karena
gejala tersebut dapat mempengaruhi kualitas hidup walaupun tidak mengancam
nyawa.15
Kontraindikasi Terdapat beberapa keadaan yang disebutkan sebagai kontraindikasi,
namun bila sebelumnya dapat diatasi, operasi dapat dilaksanakan dengan tetap
memperhitungkan imbang manfaat dan risiko. Keadaan tersebut adalah: 8
1. Gangguan perdarahan
2. Risiko anestesi yang besar atau penyakit berat
3. Anemia
4. Infeksi akut yang berat

buk.depkes.go.id/index.php?option=com
HTA Indonesia_2004_Tonsilektomi pada Anak dan Dewasa_hlm 1/25

Komplikasi
a. Tonsilitis akut bakterial
i. OMA
ii. Bernafas lewat mulut
iii.
Tidur ngorok
iv. Gangguan tidur Sleep apnea Obstructive Sleep Apnea Syndrome
v.
vi.
vii.
viii.

(OSAS)
Abses peritonsil
Abses parafaring
Bronkitis
Miokarditis

ix. Glomerulonefritis akut


x.
Artritis
xi. Septikemia karena infeksi V. Jugularis Interna (sindrom Lemierre)
b. Tonsilitis kronik
i. Rinitis kronik
ii. Sinusitis
iii.
OM
iv. Komplikasi jauh: (hematogen dan limfogen)
1. Endokarditis
2. Artritis
3. Nefritis
SUMBER : TELINGA HIDUNG TENGGOROKAN KEPALA DAN LEHER FK
UI
Hipertrofi adenoid
Etiologi
1. Hiperplasia adenoid mulai pada usia muda dan berlanjut hingga usia 10-12
tahun, biasanya tidak berkembang lagi dan akan involusi
2. Adenoid secara tidak penting pada usia di atas 10-12 tahun
3. Bila terjadi ISPA terjadi hipertrofi adenoid
Patofisiologi
a. Terjadi tahanan udara meningkat bernafas melalui mulut, terutama pada malam
hari
Mulut terbuka dan bibir atas yang terangkat untuk menambah aliran udara
pernafasan
b. Sumbatan tuba eustachius ketulian berulang
Retraksi membran timpani tidak sembuh OME fungsi tuba eustachius
yang buruk
c. Obstruksi pada saluran nafas atas hipoventilasi alveoli dan hipertensi A.
Pulmonalis kor pulmonale, tanda: hiperkapnia.
Dasar diagnosis
a. Rhinoskopi anterior melihat tertahannya gerakan velum palatum molle pada
waktu fonasi
b. Rhinoskopi posterior
c. Pemeriksaan digital meraba adanya adenoid
d. Pemeriksaan radiologi (foto lateral kepala)
Penatalaksanaan kuretase dengan adenoidektomi, Indikasinya:

a. Sumbatan
i. Sumbatan hidung yang menyebabkan bernafas melalui mulut
ii. Sleep apnea
iii. Gangguan menelan
iv. Gangguan berbicara
v. Kelainan bentuk wajah, muka dan gigi (adenoid face)
b. Infeksi
i. Adenoiditis berulang/kronik
ii. Otitis media efusi berulang/kronik
iii.
Otitis media akut berulang
c. Kecurigaan neoplasma jinak/ganas
Komplikasi akibat adenoidektomi
a. Perdarahan bila pengerokan adenoid kurang bersih
b. Kerusakan dinding belakang faring jika terlalu dalam
menguretnya
c. Terlalu ke lateral torus tubarius rusak oklusi tuba eustachius
CHL
FUNGSI KELENJAR LIMFE

1.
2.
3.
4.

Pematangan limfosit
Menyaring cairan limfe
Membasmi bibit penyakit
Menerima kotoran darah
Cairan yang disaring dari kapiler arteri mengalir di antara sel-sel direabsorbsi
kembali ke ujung vena kapiler darah dan sebagian kecil memasuki kapiler limfatik

kembali ke darah melalui sistem limfatik


Cairan limfe dari bawah tubuh duktus torasikus sistem vena pada

permukaan antara V. Jugularis interna kiri dan V. Subclavia


Cairan limfe dari sisi kiri kepala, lengan kiri, dan sebagian daerah thoraks

ALIRAN LIMFE DI DAERAH TENGGOROKKAN

K.L jugularis interna superior, dari:


o Daerah palatum molle, tonsil, bagian posterior lidah, dasar lidah, sinus
piriformis dan supraglotik laring
o K.L retrofaring, spinalis asesorius, parotis, servikalis superfisial dan

submandibula
K.L jugularis interna media, dari:
o Subglotik laring, inferior daerah krikoid posterior
o K.L jugularis interna superior dan retrofaring bagian bawah
K.L jugularis interna inferior, dari:
o Glandula tiroid, trakea, esofagus bagian servikal
o K.L jugularis interna superior dan media dan paratrakea

MEKANISME PENJALARAN PEMBESARAN KELENJAR LIMFE

Menurut Sloan Kattering Memorial Cancer Center Classification, lima daerah


penyebaran kelompok kelenjar, yaitu:
1. Kelenjar di segitiga submental dan submandibula
2. Kelenjar di 1/3 atas dan termasuk K.L jugular superior, kelenjar digastrik dan
kelenjar servikal posterior superior

3. K.L jugularis di antara bifurcatio karotis dan persilangan M. Omohyoid


dengan

M.

Sternocleidomastoideus

dan

batas

posterior

M.

Sternocleidomastoideus
4. Grup kelenjar di daerah jugularis inferior dan supraklavikula
5. Kelenjar yang ada di segitiga posterior servikal
Metastasis tumor servikal:

Karsinoma sel skuamosa K.L jugularis interna superior


tumor ganas rongga mulut, orofaring posterior, nasofaring, dasar lidah atau

laring K.L jugularis interna superior


tumor pada laring, hipofaring atau tiroid K.L jugularis media
tumor di subglotis, laring tiroid atau esofagus bagian servikal K.L jugularis

inferior
tumor di infraklavikula, esofagus bagian servikal, tumor tiroid massa tumor
di supraklavikula

SUMBER : TELINGA HIDUNG TENGGOROKAN KEPALA DAN LEHER FK


UI
FARINGITIS

Penatalaksanaan
a. Faringitis akut
i. Faringitis viral
1. Istirahat & minum cukup
2. Kumur dengan air hangat
3. Analgetika
4. Antivirus metisoprinol (Isoprenosine) pada infeksi Herpes
Simpleks
a. Dewasa
: 60-100 mg/KgBB dibagi 4-6 kali/hari
b. < 5 tahun : 50 mg/KgBB dibagi 4-6 kali/hari
ii. Faringitis bakterial
1. Antibiotik
a. Penicillin G Banzatin 50.000 U/KgBB, IM dosis tunggal
b. Amoksisilin 50 mg/KgBB dosis dibagi 3 kali/hari selama
10 hari dan pada dewasa 3 x 500 mg selama 6-10 hari
c. Eritromisin 4 x 500 mg/hari
2. Kortikosteroid Deksamethasone
a. Dewasa : 8-16 mg IM
b. Anak
: 0,08 0,3 mg/KgBB IM
3. Analgetika
4. Kumur dengan air hangat atau antiseptik
iii. Faringitis fungal
1. Nystasin 100.000-400.000 2 kali/hari

2. Analgetika
b. Faringitis kronik
i. Kronik hiperplasi
1. Kaustik faring dengan larutan nitras argenti atau listrik
2. Obat kumur atau tablet hisap
3. Jika perlu obat batuk antitusif atau ekspetoran
4. Mengobati penyakit di hidung atau sinus paranasal
ii. Kronik atrofi
1. Mengobati rinitis atrofi
2. Obat kumur dan menjaga kebersihan mulut
SUMBER : TELINGA HIDUNG TENGGOROKAN KEPALA DAN
LEHER FK UI

FARINGITIS
1. A.

DEFINISI

Faringitis adalah peradangan pada mukosa faring. (Efiaty Arsyad S,Dr,Sp.THT, 2000)
1. B.

ETIOLOGI/ PATOFISIOLOGI

Etiologi faringitis akut adalah bakteri atau virus yang ditularkan secara droplet infection atau
melalui bahan makanan / minuman / alat makan.. Penyakit ini dapat sebagai permulaan
penyakit lain, misalnya : morbili, Influenza, pnemonia, parotitis, varisela, arthritis, atau
radang bersamaan dengan infeksi jalan nafas bagian atas yaitu: rinitis akut, nasofaringitis,
laryngitis akut, bronchitis akut. Kronis hiperplastik terjadi perubahan mukosa dinding
posterior faring. Tampak mukosa menebal serta hipertropi kelenjar limfe dibawahnya dan
dibelakang arkus faring posterior (lateral band). Adanya mukosa dinding posterior tidak rata
yang disebut granuler.
Sedangkan faringitis kronis atropi sering timbul bersama dengan rinitis atropi, udara
pernafasan tidak diatur suhu serta kelembabannya, sehingga menimbulkan rangsangan serta
infeksi pada faring.
1. C.
2. 1.

KLASIFIKASI
FARINGITIS AKUT

Faringitis akut adalah suatu peradangan akut pada mukosa faring dan jaringan limfoid pada
dinding faring. Inflamasi febris tenggorok yang disebabkan oleh virus hampir 70%.
Stepkokus group A adalah organisme bakteri yang paling umum yang berkenaan dengan
faringitis akut, yang kemudian disebut sebagai strep throat.
a)

Manifestasi Klinis

Tanda dan gejala faringitis akut termasuk membrane mukosa sangat merah dan tonsil
berwarna kemerahan, folikel limfoid membengkak dan dipenuhi dengan eksudat, dan nyeri
tekan nodus limfe servikal. Keluhan lain adalah nyeri menelan tetapi tidak sehebat nyeri pada
tonsillitis akut, subfebris, nyeri kepala, dan malaise, serak, batuk.
Infeksi virus tidak terkomplikasi biasanya hilang dengan segera dalam 3-10 hari setelah
awitan. Namun, faringitis yang disebabkan oleh bakteri yang lebih virulen seperti
Strepkokus group A adalah penyakit yang lebih parah selama masa akut, dan jauh lebih
penting karena insiden dari bahaya komplikasi.
b)

Komplikasi

Jika daya tahan tubuh baik, jarang terjadi komplikasi. Komplikasi yang dapat terjadi adalah
otitis media, rhinitis akut, sinusitis akut, laryngitis akut, trakeitis, abses peritonsilar,
mastoiditis, adenitis servikal, demam reumatik, nefritis, bronchitis, pneumoni.
Meskipun jarang, dapat terjadi komplikasi sistemik, yaitu bakteriemi/septikemi, terutama jika
bakteri penyebabnya adalah Steptokokus, Endokarditis bakteri subakut, kadang-kadang
ditemukan pada penderita dengan kelainan katub jantung.
c)

Penatalaksanaan Medis

Penyakit ini tergolong penyakit yang dapat sembuh sendiri (self-limited disease). Pada
penderita cukup diberikan terapi simtomatik berupa analgetik-antipiretik(asetosal), obat
kumur (gargarisma kana tau air masak hangat ditambah garam). Fungsi obat kumur adalah
untuk melemaskan otot faring yang dan mengencerkan lendir yang melekat pada faring. Jika
daya tahan tubuh kurang baik, misalnya pada bayi dan orang tua atau jika terjadi komplikasi
perlu diberikan antibiotic.
Untuk Strepkokus group A, penisilin merupakan obat pilihan. Apabila pasien yang alergi
terhadap penisilin dapat digunakan sefalosporin. Antibiotik diberikan selam sedikitnya 10
hari untuk menghilangkan strepkokus group A dari orofaring.
Diet cair atau lunak diberikan selama tahap akut penyakit, tergantung pada nafsu makan
pasien dan tingkat rasa nyaman yang terjadi bersama proses menelan. Pada kondisi yang
parah, cairan yang di berkan secara intra vena.
1. 2.

FARINGITIS KRONIS

Sebenarnya bukan suatu bentuk peradangan (itis), tetapi merupakan penyakit yang
kekambuhannya banyak dipengaruhi oleh iritasi bahan tertentu.
Bahan tersebut adalah asap rokok, debu rumah, asap, secret hidung(post nasal drip) dari
sinusitis maksila atau rhinitis kronik. Selain itu, juga dari makanan misalnya makanan yang
digoreng, kacang, Lombok, merica, alcohol, telur, buah-buahan yang bergetah atau asam.
Faktor predisposisi:
-

Rinitis kronis

Sinusitis

Iritasi kronik pada perokok dan peminum alkohol

Inhalasi uap pada pekerja dan laboratorium

Orang yang sering bernafas dengan mulut karena hidungnya tersumbat.


1. a.

1)

Faringitis kronis hiperplastik

Gejala :

Pasien mengeluh gatal di tenggorokan, berasa kering serta berlendir yang sukar dikeluarkan
di tenggorokan, kadang kadang disertai juga dengan batuk.
2)
-

Terapi :
Dicari dan diobati adanya penyakit kronis di hidung dan sinus paranasal

Terapi lokal dengan menggosokkan zat kimia (kaustik) yaitu : larutan nitres argenti
atau albotil maupun dengan listrik (elektrocauter)
-

Secara simptomatik, diberikan obat isap / kumur dan obat batuk


1. b.

1)

Faringitis kronis atropi (faringitis sika)

Etiologi

Faringitis kronis atrofi sering timbul bersama dengan rhinitis atrofi, udara pernapasan tidak
teratur suhu serta kelembabannya, sehingga menimbulkan rangsangan serta infeksi pada
faring
2)

Gejala dan tanda :

Pasien mengeluh tenggorokan kering dan tebal serta mulut berbau. Pada pemeriksaan tampak
mukosa faring terdapat lendir yang melekat dan bila lendir itu diangkat mukosa tampak
kering.
3)

Terapi:

Terapi yang diberikan sama dengan pengobatan rinitis atropi, dengan pemberian obat kumur,
penjagaan hygiene mulut dan obat simptomatik.
1. 3.

FARINGITIS SPESIFIK
1. a.

Faringitis Leutika

1)

Gejala dan tanda :

a)

Stadium primer :

Bercak keputihan pada lidah, palatum mole, tonsil dan dinding faring posterior

Timbul ulkus karena infeksi yang lama

Pembesaran kelenjar mandibula yang tidak nyeri tekan

b)

Stadium sekunder :

Jarang ditemukan

Terdapat eritema pada dinding faring yang menjalar kearah laring

c)

Stadium tersier :

Terdapat guma pada tonsil dan palatum

Guma pada dinding faring pada posterior akan mengenai vertebra servikal

Gangguan fungsi palatum secara permanen akibat adanya guma pada palatum mole

2)

Diagnosis :

Diagnosis dengan pemeriksaan serologic


3)

Terapi :

Obat pilihan utama ialah penisilin yang diberikan dalam dosis tinggi
1. b.

Faringitis Tuberkolusa

Kuman tahan asam dapat menyerang mukosa palatum durum, dasar lidah, dan epiglotis.
Biasanya infeksi di daerah faring merupakan proses sekunder dari tuberculosis paru, kecuali
bila terjadi infeksi kuman tahan asam jenis bovinum. Pada jenis bovinum ini dapat timbul
tuberculosis faring primer.
1)

Cara infeksi :

a)
Cara eksogen yaitu kontak dengan sputum yang mengandung kuman atau inhalasi
kuman melalui udara.
b)

Cara endogen yaitu penyebaran melalui darah pada tuberkolusis miliaris.

Penelitian saat ini menemukan penyebaran secara limfogen


2)

Bentuk dan tempat lesi

Menurut Meyerson(1960) akan berbentuk ulkus pada satu sisi tonsil dan jaringan tonsil itu
akan mengalami nekrosis. Pada infeksi secara hematogen tonsil dapat terkena pada kedua sisi
terutama pada dinding faring posterior, arkus faring anterior, dinding lateral hipofaring,
palatum mole dan palatum durum. Kelenjar regional leher membengkak.

3)

Gejala:

Pasien mengeluh nyeri hebat di tenggorokan. Keadaan umum pasien buruk karena anoreksi,
nyeri menelan makanan. Tidak jarang terjadi regurgitasi. Selain itu terjadi nyeri di telinga
(otalgi). Terdapat juga adenopati servikal.
4)

Diagnosis :

Pemeriksaan sputum untuk mengetahui basil tahan asam

Foto thorak untuk melihat adanya tuberkolusis paru

Biopsi jaringan untuk mengetahui proses keganasan serta mencari basil tahan asam di
jaringan
5)

Terapi:

Terapi sesuai dengan terapi tuberkolusis paru.

You might also like