You are on page 1of 16

BAB I

PENDAHULUAN

Dialisis adalah proses pengeluaran sisa-sisa metabolisme dan kelebihan


cairan dari darah melalui membran semipermeabel. Sedangkan peritoneum
merupakan selaput yang berfungsi sebagai membran semipermeabel (1). Sehingga
peritoneal dialisis merupakan suatu proses dialisis di dalam rongga perut yang
bekerja sebagai penampung cairan dialisis dan peritoneum sebagai membran
semipermeabel yang berfungsi sebagai tempat yang dilewati cairan tubuh yang
berlebihan dan solute yang berisi racun ureum yang akan dibuang (2).
Dialisis

peritoneal

dilakukan

dengan

memasukkan

cairan

yang

mengandung glukosa dan garam (cairan dialisat) ke dalam rongga peritoneum.


Dengan proses difusi dan ultrafiltrasi material toksik dapat dikeluarkan dari darah
kedalam cairan dialisat dalam rongga peritoneum, selanjutnya akan dikeluarkan
dari tubuh. Selain untuk menanggulangi gagal ginjal akut, dialisis peritoneal dapat
juga digunakan pada beberapa keadaan lain yaitu intoksikasi obat-obatan, koma
hepatikum dan keracunan lainnya (1,3,6-8).
Dialisis peritoneal pertama kali dirintis oleh Ganter pada tahun 1923 yang
memasukkan cairan garam kedalam rongga peritoneum untuk mengobati
penderita dengan uremia. Teknis dialisis peritoneal terus berkembang dan
penggunaannya dalam penanggulangan gagal ginjal terus meluas (3,4). Meskipun
dialisis peritoneal telah berkembang pesat, seperti continuous ambulatory
peritoneal dialysis (CAPD), continuous cyclic peritoneal dialysis (CCPD) dan

lain-lainnya, dialisis peritoneal dengan menggunakan stilet kateter masih berperan


penting sebagai cara penanggulangan gagal ginjal akut terutama di rumah sakit
perifer yang mempunyai sarana dan sumber daya manusia terbatas. Tehnik ini
mempunyai keuntungan utama yaitu, prosedurnya sederhana, dapat dilakukan
secara bed side dan tidak memerlukan alat-alat yang canggih. Walaupun mudah
dalam penatalaksanaannya, namun dapat menimbulkan komplikasi, baik
komplikasi bedah, mekanik dan lain-lain yang bila tidak ditangani akan berakibat
fatal (5).
Pembahasan referat ini, nantinya akan lebih menekankan kepada dialisis
peritoneum pada anak. Apa saja indikasi, kontraindikasi dan komplikasinya.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Proses yang terjadi pada dialysis peritoneum
II.1.1. Difusi
Merupakan mekanisme yang utama untuk mengeluarkan sisa-sisa
metabolisme pada dialisis peritoneal. Pada proses ini pertukaran solut yang berada
dalam darah kapiler pada peritoneum dan cairan dialisat dalam rongga peritoneum
yang dipisahkan oleh membrane semipermeabel. Secara mikroskopis anatomis
membran peritoneum merupakan lapisan heterogen yang berupa jaringan ikat
fibrosa elastik yang diliputi oleh sel mesotel, sehingga dalam proses perpindahan
air dan solut dari darah ke cairan dialisat dalam rongga peritoneum harus
melewati lapisan penahan dari selaput darah yaitu, endotel pembuluh darah,
membrana basalis, jaringan interstitial, mesotel dan selaput dialisat (9,10).
Berikut merupakan gambar yang menunjukan proses difusi :

II.1.2. Ultrafiltrasi
3

Merupakan terjadinya pergerakan zat terlarut dan pelarut melalui


membrane semipermeabel yang terjadi akibat adanya perbedaan tekanan osmotik
atau tekanan hidrostatik. Pada dialisis peritoneal yang paling berperan adalah
ultrafiltrasi yang diakibatkan adanya perbedaan tekanan osmotik. Proses ini terjadi
jika konsentrasi larutan di salah satu sisi membran lebih rendah, yaitu molekul air
lebih banyak dari molekul solut dan sisi lain membran mempunyai konsentrasi
larutan yang lebih tinggi, yaitu molekul air lebih sedikit dari molekul solut,
sehingga air akan bergerak dari konsentrasi larutan rendah ke konsentrasi larutan
tinggi. Dalam pergerakannya molekul air akan menarik solut kecil melalui
membran sehingga akhirnya tercapai keseimbangan (5,9,10).
Berikut gambaran secara umum proses ultrafiltrasi :

Dalam dialisis peritoneal, proses ini terjadi akibat penambahan glukose ke


dalam cairan dialisat berupa dekstrosa 1,5%, atau 2,5%, atau 4,25%. Tekanan
osmotik yang disebabkan glukosa ini menyebabkan penarikan air dari darah ke
dialisat. Dalam proses ini glukosa dalam dialisat diabsorpsi ke dalam darah.
Dalam keadaan kelebihan cairan dipakai cairan dialisat dengan kadar glukosa

4,25% untuk menarik kelebihan cairan tersebut. Derajat penjernihan/klirens suatu


zat pada dialisa peritoneal dapat ditentukan dengan rumus (4) :

Ket :
C : penjernihan /klirens suatu zat (ml/menit).
D : konsentrasi suatu zat dari cairan dialisat yang tlah dikeluarkan (mg/dl).
V : volume dialisat (ml).
P : konsentrasi zat dalam plasma (mg/dl).
t : interval waktu.
Dari variable diatas, V dan t dapat diatur untuk menentukan C. dari hasil
penelitian didapatkan bahwa bila lama cairan dialisat dalam rongga peritoneum
(indwelling) 60 menit, besar difusi urea mencapai 70% dan mencapai 100% dalam
120 menit.

II.2 Indikasi dan kontraindikasi pada Dialisis Peritoneal pada anak


Dialisis peritoneal pada anak harus sesegera mungkin dilaksanakan sesuai
indikasi tanpa menunggu gejala atau manifestasi lain yang memungkinkan untuk
timbul. Dikarenakan anak mempunyai kecepatan metabolisme yang lebih tinggi
daripada orang dewasa sehingga akan lebih cepat terjadi penumpukan sisa
metabolism yang sangat merugikan. Apalagi pada anak dengan oligouri/anuria
akan sangat susah untuk memenuhi kebutuhan kalori karena ada keterbatasan
dalam pemberian jumlah cairan. Indikasi pada gagal ginjal akut adalah
5

hiperkalemia (serum K > 7,0 mEq/L); Asidosis berat; Fluid overload, biasanya
dengan hipertensi, payah jantung dan bendungan paru; Azotemia berat (BUN>
150 mg/dl); Gejala Uremia (ensefalopati, perikarditis, perdarahan, intractable
vomiting); Hiponatremia, hipokalsemia, dan hyperphosphatemia (berat dan
bergejala); Fluid removal untuk nutrisi yang optimal, transfuse. Indikasi lain
untuk dialisa adalah pada keracunan zat/obat, antara lain barbiturate, sodium
salisilat dan metal alcohol (9,11,12)
Sedangkan kontraindikasi yang terjadi pada umumnya berhubungan
dengan tidak utuhnya rongga peritoneum, misalnya pada bayi dengan
omphalocele, gastroschizis, hernia diafragmatika. Pasca operasi abdomen, adanya
shunt ventriculo peritoneal pada anak dengan hidrosefalus bukan merupakan
kontraindikasi absolut (1,11,13).

II.3 Prosedur Dialisis Peritoneal pada anak


Cairan dialisa yang digunakan yaitu cairan standar yang mengandung
glukosa 1,5%, komposisi elektrolit yang hampir sama dengan cairan ekstraseluler
tubuh, namun tidak mengandung kalium. Cairan yang tersedia Perisolution dari
Otsuka dengan konsentrasi glukosa 1,5%, Dianeal dari Baxter dengan konsentrasi
glukosa 1,5%, 2,5% dan 4,25%. Pada bayi yang mengalami asisdosis metabolic
karena akumulasi dari asam laktat endogen, cairan dialisa yang dipakai bukan
cairan dialisa standar yang mengandung laktat tetapi cairan dialisa yang
mengandung bikarbonat sebagai pengganti laktat dan kalsium diberikan secara
intravena (14).

II.4 Kateter yang digunakan


Kateter yang digunakan : (14)

Rigid plastic catheter/polythelene catheter dengan stilet. Jenis ini adalah


kateter yang tersedia di Indonesia yaitu buatan Otsuka dan Amecath
(Ameco Medical Industries, Egypt). Jenis kateter ini digunakan untuk
dialisa peritoneal 48-72 jam.

Tenckhoff catheter dan modifikasinya. Terbuat dari silicon yang bersifat


inert. Dapat dipasang untuk waktu yang lama. Untuk dialisa peritoneal
akut yang diperkirakan lama dipakai jenis kateter ini.

Berikut merupakan gambar jenis kateter yang digunakan :

II.5 Teknik pemasangan kateter rigid (5,14) :


1. Persiapan penderita termasuk membersihkan kulit/tindakan antiseptic pada
kulit di sekitar yang akan menjadi insersi kateter, pengosongan kandung
kencing dan usus, informed consent dan premedikasi dengan sedative
ringan (diazepam)
2. Memerlihatkan aspek sterilisasi ruangan, pakaian dan pemakaian masker
3. Memilih tempat insersi, yang paling baik pada garis tengah, 2-3 cm di
bawah umbilicus kemudian dilakuakn anestesi okal dengan xylocain
2%/lidokain 2%
4. Buat insisi kulit 2-3 mm, kateter dengan stilet ditusukkan ke dinding
abdomen melalui luka insisi kulit dengan dorongan dan pemutaran. Ketika
kateter dengan stilet masuk ke dalam rongga peritoneum yang dapat
diketahui dengan hilangnya tahanan dan terdengar suara pep. Pada saat
itu stilet ditarik perlahan-lahan dan kateter dimasukkan lebih dalam
dengan mengarah kea rah pelvis. Seluruh lubang kateter harus berada I
dalam rongga peritoneum untuk menghindari infiltrasi cairan dialisa ke
dinding abdomen. Ada yang menganjurkan, sebelum kateter dengan stilet
dimasukkan ke dalam rongga peritoneum, rongga peritoneum diisi dulu
dengan 15-20 ml/kgBB cairan dialisat sebagai priming dengan
menggunakan jarum panjang kecil (intracath). Priming ini untuk
menghindarkan tertusuknya organ vital abdomen, usus, atau pembuluh
darah besar.

5. Kateter diperiksa alirannya dengan 2-3 kali siklus tanpa dwelling time.
Setelah diketahui alirannya lancer, kateter diikat pada kulit dan ditutup
dengan kassa steril.
Berikut gambar posisi rigid kateter intra abdomen :

II.6 Pelaksanaan Dialisis Peritoneal pada anak (14,15)

Cairan dialisat dihangatkan dalam waterbath, suhu sekitar 37-38 C>


Volume cairan dialisa pada awalnya diberikan 15-20 ml/kgBB, kemudian
secara bertahap dinaikkan menjadi 40-50 ml/kgBB pada bayi dan anak
kecil atau menjadi 30-40 ml/kgBB pada anak yang lebih besar.

Heparin 500-1000 unit/L ditambahkan ke dalam cairan dialisa dalam 3


siklus pertama dan diteruskan selama cairan dialisa berwarna merah

Cairan dialisa dimasukkan ke dalam rongga peritoneum (inflow) dalam 510 menit, lalu dibiarkan selama 30 menit (dwelling), kemudian
dikeluarkan dalam 10-20 menit (outflow). KCl ditambahkan 3-4 mEq/L
pada cairan dialisa bila kadar K plasma <4 mEq/L.

Konsentrasi glukosa dalam cairan dialisa (1,5%, 2,5%, 4,25%) dipilih


bergantung pada balans cairan. Pada keadaan kelebihan cairan tubuh,
digunakan cairan dilaisa dengan konsentrasi glukosa lebih tinggi dari
standar (1,5%), dengan maksud untuk menarik kelebihan cairan tersebut.

Lamanya dialisa peritoneal 36-48 jam, jika gagal ginjal masih berlanjut
dialisa

Peritoneal diteruskan 48 jam lagi dengan risiko terjadinya peritonitis


menjadi lebih besar.

II.7 Pengawasan dan pencatatan


Tanda-tanda vital dicatat pada akhir setiap siklus sampai keadaan
penderita stabil. Pengukuran berat badan selama dialisa dilakukan 2-3 kali dalam
sehari. Perhitungan balans cairan sangat penting termasuk cairan yang keluar dari
tubuh (muntah, diare) harus diganti. Pemeriksaan hematologis, ureum, kreatinin,
elektrolit, glucose, protein sebelum dan selama dialisa untuk evaluasi pengobatan
dan mencegah komplikasi. Pemeriksaan jumlah sel dan kultur dari cairan dialisa
dilakukan setiap hari .
II.8 Komplikasi Dialisis Peritoneal akut pada anak (16,17)
Komplikasi yang paling sering terjadi yaitu peritonitis, kejadian peritonitis
berbanding langsung dengan lamanya dialisis. Diagnosa peritonitis seringkali sulit
dilakukan karena gejala-gejala peradangan peritoneum tertutup oleh iritasi
peritoneum. Kriteria diagnostic peritonitis yaitu jika ditemukan 2 dari 3 keadaan
berikut ini.
10

1. Gejala dan tanda peritonitis seperti sakit didaerah abdomen, nyeri pada
penekanan dinding abdomen, dan lain-lain
2. Cairan dialisat yang keruh, menunjukkan lekosit >100/mm3 terutama
PMN
3. Ditemukan organisme pada cairan dialisat dengan pewarnaan gram atau
kultur.
Pemberian

antibiotik

intra

peritoneal

merupakan

langkah

untuk

pencegahan, selain itu ada beberapa yang setuju dan tidak dengan memberikan
antibiotic intraperitoneal terus menerus pada cairan dialisat. Melakukan prosedur
yang baik dengan membatasi lamanya dialisa sampai 36 jam merupakan factor
yang paling penting dalam pencegahan terjadinya peritonitis. Bila diduga terjadi
peritonitis, segera dilakukan lavage peritoneum dan pemberian antibiotic.
Pembilasan heparin 500 U/L untuk mengurangi pembekuan fibrin dan perlekatan.
Dialisis dilanjutkan dengan mempercepat siklus menjadi 30-40 menit.
Perdarahan intraperitoneal yang terjadi pada waktu pemasangan kateter
biasanya cukup ringan. Komplikasi lain berupa perforasi alat visceral abdomen,
keadaan ini diduga terjadi jika tidak ada outflow dialisat atau cairan dialisat yang
keluar berbau feses. Keadaan ini dapat dicegah dengan pengosongan kandung
kemih dan rectum sebelum pemasangan kateter atau dengan melakukan priming.
Nyeri perut terjadi sekitar 75% pada penderita, dapat terjadi ketika saat masuk
atau keluar. Nyeri perut pada saat cairan dialisat masuk mungkin disebabkan
karena terlalu dinginnya atau panasnya serta inflow yang terlalu cepat. Sedangkan

11

nyeri perut pada saat cairan keluar, salah satu penyebabnya adalah tertutupnya
lumen kateter oleh bekuan darah/fibrin atau posisi kateter yang salah.
Komplikasi pada system kardiovaskuler berupa hipovolemia akibat
penarikan air dan natrium karena pemakaian cairan dialisat yang hipertonik.
Lemah jantung, edema paru sering terjadi karena balans positif pada penderita
dengan kelebihan cairan. Sedangkan disequilibrium syndrome jarang terjadi,
sindroma ini terjadi karena penurunan ureum darah yang terlalu cepat.
Hiperglikemia, hipernatremia terjadi karena pemakaian cairan dialisa yang
hipertonik.

12

BAB III
PENUTUP

Peritoneal dialisis merupakan suatu proses dialisis di dalam rongga perut


yang bekerja sebagai penampung cairan dialisis dan peritoneum sebagai membran
semipermeabel yang berfungsi sebagai tempat yang dilewati cairan tubuh yang
berlebihan dan solute yang berisi racun ureum yang akan dibuang. Dialisis
peritoneal ini dilakukan dengan memasukkan cairan garam kedalam rongga
peritoneum untuk mengobati penderita dengan uremia yang ditemukan pertama
kali oleh Granter pada tahun 1923.
Tehnik ini terus berkembang dari tahun ke tahun, namun cara dialisis
peritoneal dengan menggunakan stilet kateter masih berperan penting sebagai cara
penanggulangan gagal ginjal akut terutama di rumah sakit perifer yang
mempunyai sarana dan sumber daya manusia terbatas. Tehnik ini mempunyai
keuntungan utama yaitu, prosedurnya sederhana, dapat dilakukan secara bed side
dan tidak memerlukan alat-alat yang canggih. Namun dapat juga menimbulkan
komplikasi, baik komplikasi bedah, mekanik dan lain-lain yang bila tidak
ditangani akan berakibat fatal.
Proses yang terjadi pada dialysis peritoneal secara umum ada dua yaitu
difusi dan ultrafiltrasi. Difusi merupakan mekanisme yang utama untuk
mengeluarkan sisa-sisa metabolisme pada dialisis peritoneal. Sedangkan
ultrafiltrasi merupakan terjadinya pergerakan zat terlarut dan pelarut melalui

13

membrane semipermeabel yang terjadi akibat adanya perbedaan tekanan osmotik


atau tekanan hidrostatik.
Prosedur dialysis peritoneal pada anak yang mengalami asisdosis
metabolic karena akumulasi dari asam laktat endogen, cairan dialisa yang dipakai
bukan cairan dialisa standar yang mengandung laktat tetapi cairan dialisa yang
mengandung bikarbonat sebagai pengganti laktat dan kalsium diberikan secara
intravena. Jenis kateter yang sering digunakan ada dua macam yaitu rigid plastic
catheter/polythelene catheter dengan stilet dan tenckhoff catheter. Cara
pemasangan kateterpun sangat perlu diperhatikan karena ada beberapa langkah
khusus untuk memasangnya.
Pengawasan dan pencatatan pada dialysis peritoneal pada anak yaitu
dengan memperhatikan tanda-tanda vital pada akhir setiap siklus sampai keadaan
penderita stabil. Selanjutnya dengan pengukuran berat badan selama dialisa
dilakukan 2 sampai 3 kali dalam sehari. Melakukan perhitungan balans cairan
yang keluar dari tubuh, serta pemeriksaan hematologis, ureum, kreatinin,
elektrolit, glucose, protein sebelum dan selama dialisa untuk evaluasi pengobatan
dan mencegah komplikasi. Dan tidak lupa untuk melakukan pemeriksaan jumlah
sel dan kultur dari cairan dialisa dilakukan setiap hari.
Komplikasi yang dapat terjadi pada dialysis peritoneal bisa saja muncul
selama proses dialisa dengan pemberian antibiotik intra peritoneal merupakan
langkah untuk pencegahannya.

14

DAFTAR PUSTAKA
1. Chan JCM, Campbell RA. Peritoneal dialysis in children: A survey of its
indications and applications. Clin Ped.1973;12:131-8.
2. DeVore VS. Continuous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD) and its
complication. US pharmacist: 2006.
3. Drukker W. Peritoneal dialysis: a historical review. Dalam: Maher JF,
penyunting. Replacement of renal function by dialysis. Edisi ke-3. Boston.
Kluwer Academic Publisher;1989. h. 475.
4. Fine RN. Peritoneal dialysis update. The J of Ped.1982;100:1-7.
5. Paul TT, Ramprasad KS. Acute peritoneal dialysis using stylet catheter.
Practical procedure.1994;5:184-9.
6. Segar WE, Gibson RK, Rhamy R. Peritoneal dialysis in infants and small
children.Pediatrics.1961;603-12.
7. Zawanda ET. Indication for dialysis. Dalam: Daurgidas JT, Ing TS,
penyunting. Handbook of dialysis. Boston. Little Brown and Co;1998. h. 3-7.
8. Evans ED, Greenbaum LA, Elttenger BE. Principles of renal replacement
therapy in children, penyunting. Pediatric Clin Nort Am. 1995;42:1579-600.
9. Gruskin AB, Baluarte HJ, Dabbagh S. Hemodialysis and peritoneal dialysis.
Dalam: Edelmann CM., Bernstein J., penyunting. Pediatric kidney disease.
Boston: Little Brown and Co; 1992. h. 827-916.
10. Nolph KD. Peritoneal anatomy and transport physiology. Dalam: Maher FJ,
penyunting. Replacement of renal function by dialysis: A textbook of dialysis.
Edisi ke-3. Boston: Kluwer Academic; 1989. h. 516-36.
11. Baliah T. Dialysis. Dalam: Baltimore, Rubin MI, Barrat TM, penyunting.
Pediatric nephrology. The Williams & Wilkins Co; 1975. h. 833-41.
12. Stewart C, Devarajan P, Kaskel FJ. Renal replacement therapy. Dalam:
Pediatric textboox of fluid and electrolytes. William and Wilkins; 1990. h.
439-59.
13. Vans Stone JC. Hemodialysis apparatus. Dalam: Daugirdas JT, Ing TS,
penyunting. Handbook of dialysis. Boston: Little Brown and Co; 1994. h. 3052.

15

14. Khanna R, Nolph KD, Oreopoulus DG. The Essentials of peritoneal dialysis.
London: Kluwer Academic Publishers Dortdecht. 1993.
15. Balfe J. Peritoneal dialysis. Dalam: Holliday MA et al, penyunting. Pediatric
nephrology. Edisi kedua. London: William & Wilkins; 1986. h. 814-5.
16. Oreopoulus DG, Khanna R. Complications of peritoneal dialysis other than
peritonitis. Dalam; Nolph KD, penyunting. Peritoneal dialysis. London:
Martinus Nijhoff Publishers; 1981. h. 309-29.
17. Mion CM. Practical use of peritoneal dialysis. Dalam: Maher FJ, penyunting.
Replacement of renal function by dialysis: A text book of dialysis. Edisi ke-3,
terbaru dan diperbesar. Boston. Kluwer Academic Publishers; 1989. h. 53789.

16

You might also like