Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
peritoneal
dilakukan
dengan
memasukkan
cairan
yang
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Proses yang terjadi pada dialysis peritoneum
II.1.1. Difusi
Merupakan mekanisme yang utama untuk mengeluarkan sisa-sisa
metabolisme pada dialisis peritoneal. Pada proses ini pertukaran solut yang berada
dalam darah kapiler pada peritoneum dan cairan dialisat dalam rongga peritoneum
yang dipisahkan oleh membrane semipermeabel. Secara mikroskopis anatomis
membran peritoneum merupakan lapisan heterogen yang berupa jaringan ikat
fibrosa elastik yang diliputi oleh sel mesotel, sehingga dalam proses perpindahan
air dan solut dari darah ke cairan dialisat dalam rongga peritoneum harus
melewati lapisan penahan dari selaput darah yaitu, endotel pembuluh darah,
membrana basalis, jaringan interstitial, mesotel dan selaput dialisat (9,10).
Berikut merupakan gambar yang menunjukan proses difusi :
II.1.2. Ultrafiltrasi
3
Ket :
C : penjernihan /klirens suatu zat (ml/menit).
D : konsentrasi suatu zat dari cairan dialisat yang tlah dikeluarkan (mg/dl).
V : volume dialisat (ml).
P : konsentrasi zat dalam plasma (mg/dl).
t : interval waktu.
Dari variable diatas, V dan t dapat diatur untuk menentukan C. dari hasil
penelitian didapatkan bahwa bila lama cairan dialisat dalam rongga peritoneum
(indwelling) 60 menit, besar difusi urea mencapai 70% dan mencapai 100% dalam
120 menit.
hiperkalemia (serum K > 7,0 mEq/L); Asidosis berat; Fluid overload, biasanya
dengan hipertensi, payah jantung dan bendungan paru; Azotemia berat (BUN>
150 mg/dl); Gejala Uremia (ensefalopati, perikarditis, perdarahan, intractable
vomiting); Hiponatremia, hipokalsemia, dan hyperphosphatemia (berat dan
bergejala); Fluid removal untuk nutrisi yang optimal, transfuse. Indikasi lain
untuk dialisa adalah pada keracunan zat/obat, antara lain barbiturate, sodium
salisilat dan metal alcohol (9,11,12)
Sedangkan kontraindikasi yang terjadi pada umumnya berhubungan
dengan tidak utuhnya rongga peritoneum, misalnya pada bayi dengan
omphalocele, gastroschizis, hernia diafragmatika. Pasca operasi abdomen, adanya
shunt ventriculo peritoneal pada anak dengan hidrosefalus bukan merupakan
kontraindikasi absolut (1,11,13).
5. Kateter diperiksa alirannya dengan 2-3 kali siklus tanpa dwelling time.
Setelah diketahui alirannya lancer, kateter diikat pada kulit dan ditutup
dengan kassa steril.
Berikut gambar posisi rigid kateter intra abdomen :
Cairan dialisa dimasukkan ke dalam rongga peritoneum (inflow) dalam 510 menit, lalu dibiarkan selama 30 menit (dwelling), kemudian
dikeluarkan dalam 10-20 menit (outflow). KCl ditambahkan 3-4 mEq/L
pada cairan dialisa bila kadar K plasma <4 mEq/L.
Lamanya dialisa peritoneal 36-48 jam, jika gagal ginjal masih berlanjut
dialisa
1. Gejala dan tanda peritonitis seperti sakit didaerah abdomen, nyeri pada
penekanan dinding abdomen, dan lain-lain
2. Cairan dialisat yang keruh, menunjukkan lekosit >100/mm3 terutama
PMN
3. Ditemukan organisme pada cairan dialisat dengan pewarnaan gram atau
kultur.
Pemberian
antibiotik
intra
peritoneal
merupakan
langkah
untuk
pencegahan, selain itu ada beberapa yang setuju dan tidak dengan memberikan
antibiotic intraperitoneal terus menerus pada cairan dialisat. Melakukan prosedur
yang baik dengan membatasi lamanya dialisa sampai 36 jam merupakan factor
yang paling penting dalam pencegahan terjadinya peritonitis. Bila diduga terjadi
peritonitis, segera dilakukan lavage peritoneum dan pemberian antibiotic.
Pembilasan heparin 500 U/L untuk mengurangi pembekuan fibrin dan perlekatan.
Dialisis dilanjutkan dengan mempercepat siklus menjadi 30-40 menit.
Perdarahan intraperitoneal yang terjadi pada waktu pemasangan kateter
biasanya cukup ringan. Komplikasi lain berupa perforasi alat visceral abdomen,
keadaan ini diduga terjadi jika tidak ada outflow dialisat atau cairan dialisat yang
keluar berbau feses. Keadaan ini dapat dicegah dengan pengosongan kandung
kemih dan rectum sebelum pemasangan kateter atau dengan melakukan priming.
Nyeri perut terjadi sekitar 75% pada penderita, dapat terjadi ketika saat masuk
atau keluar. Nyeri perut pada saat cairan dialisat masuk mungkin disebabkan
karena terlalu dinginnya atau panasnya serta inflow yang terlalu cepat. Sedangkan
11
nyeri perut pada saat cairan keluar, salah satu penyebabnya adalah tertutupnya
lumen kateter oleh bekuan darah/fibrin atau posisi kateter yang salah.
Komplikasi pada system kardiovaskuler berupa hipovolemia akibat
penarikan air dan natrium karena pemakaian cairan dialisat yang hipertonik.
Lemah jantung, edema paru sering terjadi karena balans positif pada penderita
dengan kelebihan cairan. Sedangkan disequilibrium syndrome jarang terjadi,
sindroma ini terjadi karena penurunan ureum darah yang terlalu cepat.
Hiperglikemia, hipernatremia terjadi karena pemakaian cairan dialisa yang
hipertonik.
12
BAB III
PENUTUP
13
14
DAFTAR PUSTAKA
1. Chan JCM, Campbell RA. Peritoneal dialysis in children: A survey of its
indications and applications. Clin Ped.1973;12:131-8.
2. DeVore VS. Continuous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD) and its
complication. US pharmacist: 2006.
3. Drukker W. Peritoneal dialysis: a historical review. Dalam: Maher JF,
penyunting. Replacement of renal function by dialysis. Edisi ke-3. Boston.
Kluwer Academic Publisher;1989. h. 475.
4. Fine RN. Peritoneal dialysis update. The J of Ped.1982;100:1-7.
5. Paul TT, Ramprasad KS. Acute peritoneal dialysis using stylet catheter.
Practical procedure.1994;5:184-9.
6. Segar WE, Gibson RK, Rhamy R. Peritoneal dialysis in infants and small
children.Pediatrics.1961;603-12.
7. Zawanda ET. Indication for dialysis. Dalam: Daurgidas JT, Ing TS,
penyunting. Handbook of dialysis. Boston. Little Brown and Co;1998. h. 3-7.
8. Evans ED, Greenbaum LA, Elttenger BE. Principles of renal replacement
therapy in children, penyunting. Pediatric Clin Nort Am. 1995;42:1579-600.
9. Gruskin AB, Baluarte HJ, Dabbagh S. Hemodialysis and peritoneal dialysis.
Dalam: Edelmann CM., Bernstein J., penyunting. Pediatric kidney disease.
Boston: Little Brown and Co; 1992. h. 827-916.
10. Nolph KD. Peritoneal anatomy and transport physiology. Dalam: Maher FJ,
penyunting. Replacement of renal function by dialysis: A textbook of dialysis.
Edisi ke-3. Boston: Kluwer Academic; 1989. h. 516-36.
11. Baliah T. Dialysis. Dalam: Baltimore, Rubin MI, Barrat TM, penyunting.
Pediatric nephrology. The Williams & Wilkins Co; 1975. h. 833-41.
12. Stewart C, Devarajan P, Kaskel FJ. Renal replacement therapy. Dalam:
Pediatric textboox of fluid and electrolytes. William and Wilkins; 1990. h.
439-59.
13. Vans Stone JC. Hemodialysis apparatus. Dalam: Daugirdas JT, Ing TS,
penyunting. Handbook of dialysis. Boston: Little Brown and Co; 1994. h. 3052.
15
14. Khanna R, Nolph KD, Oreopoulus DG. The Essentials of peritoneal dialysis.
London: Kluwer Academic Publishers Dortdecht. 1993.
15. Balfe J. Peritoneal dialysis. Dalam: Holliday MA et al, penyunting. Pediatric
nephrology. Edisi kedua. London: William & Wilkins; 1986. h. 814-5.
16. Oreopoulus DG, Khanna R. Complications of peritoneal dialysis other than
peritonitis. Dalam; Nolph KD, penyunting. Peritoneal dialysis. London:
Martinus Nijhoff Publishers; 1981. h. 309-29.
17. Mion CM. Practical use of peritoneal dialysis. Dalam: Maher FJ, penyunting.
Replacement of renal function by dialysis: A text book of dialysis. Edisi ke-3,
terbaru dan diperbesar. Boston. Kluwer Academic Publishers; 1989. h. 53789.
16