You are on page 1of 32

PP 46/2013 PPh final un

tuk WP dengan omset di bawah Rp. 4,8


Milyar per tahun
ERROR! HYPERLINK REFERENCE NOT VALID. | NATANEDAN
PP 46/2013 join PMK 107/011/2013 mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2013.
Tarifnya 1% dari DPP jumlah peredaran bruto setiap bulan untuk setiap tempat
kegiatan usaha (KPP tiap-tiap cabang).

Peraturan ini berlaku untuk perusahaan yang omset tahun 2012 kurang
dari Rp. 4,8 Milyar. Sehingga bila omset setahun lebih dari Rp. 4,8
Milyar tidak perlu menyetor PPh final ini.
subjek Pajak tidak termasuk BUT & yg berpenghasilan dari pekerjaan
bebas spt WP OP notaris, konsultan hukum, dll. Objek pajak tidak
termasuk penghasilan yang sdh dikenakan PPh final dari PP lainnya
seperti jasa konstruksi, sewa tanah/bangunan, dll.
Menurut PMK 107/2013, Wajib Pajak yang hanya menerima atau
memperoleh penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat
final (PP 46/2013), tidak diwajibkan melakukan pembayaran angsuran
pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Undang-Undang Pajak
Penghasilan & Pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan
Pajak Penghasilan oleh pihak lain melalui Surat Keterangan Bebas yang
diterbitkan diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat
Wajib Pajak terdaftar atas nama Direktur Jenderal Pajak berdasarkan
permohonan Wajib Pajak.
Sangat disayangkan, PP 46/2013 ini sudah berlaku untuk masa
Juli 2013 meskipun belum ada sosialisasinya sebelum liburan
lebaran bahkan Juklaknya (PMK 107/2013) baru diterbitkan
pada tanggal 30 Juli 2013. Belum jelas pula aturan mengenai
kurs yang dipakai bila pembukuan dan Invoice memakai valuta
asing. Banyak bank bahkan belum terdaftar kode SSP 411128420 sebagai kode setoran pajak baru ini.
Berikut peraturan selengkapnya:

===========================================
================================
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 46 TAHUN 2013
TENTANG
PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA
YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK
YANG MEMILIKI PEREDARAN BRUTO TERTENTU
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
1. bahwa untuk memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak orang
pribadi dan badan yang memiliki peredaran bruto tertentu, perlu
memberikan perlakuan tersendiri ketentuan mengenai
penghitungan, penyetoran, dan pelaporan Pajak Penghasilan
yang terutang;
2. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 4 ayat (2)
huruf e dan Pasal 17 ayat (7)Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2008 tentang Perubahan Keempat atasUndang-Undang Nomor 7
Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, perlu menetapkan
Peraturan Pemerintah tentang Pajak Penghasilan atas
Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau diperoleh Wajib Pajak
yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan
Keempat atasUndang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik


Indonesia Nomor 4893);
MEMUTUSKAN:
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS
PENGHASILAN DARI USAHA YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB
PAJAK YANG MEMILIKI PEREDARAN BRUTO TERTENTU.
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan:
1. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
2. Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali
bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama
dengan tahun kalender.
Pasal 2
(
1
)

Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh


Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu, dikenai
Pajak Penghasilan yang bersifat final.

(
2
)

Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Wajib Pajak
yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan tidak
termasuk bentuk usaha tetap; dan
2. Menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk
penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan
bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi
Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta
rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak.

(
3
)

Tidak termasuk Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana


dimaksud pada ayat (2) adalah Wajib Pajak orang pribadi
yang melakukan kegiatan usahaPERDAGANGAN
dan/atau jasa yang dalam usahanya:
1. menggunakan sarana atau prasarana yang dapat
dibongkar pasang, baik yang menetap maupun tidak

menetap; dan
2. menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk
kepentingan umum yang tidak diperuntukkan bagi
tempat usaha atau berjualan.
(
4
)

Tidak termasuk Wajib Pajak badan sebagaimana dimaksud


pada ayat (2)adalah:
1. Wajib Pajak badan yang belum beroperasi secara
komersial; atau
2. Wajib Pajak badan yang dalam jangka waktu 1 (satu)
tahun setelah beroperasi secara komersial memperoleh
peredaran bruto melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat
miliar delapan ratus juta rupiah).
Pasal 3

(
1
)

Besarnya tarif Pajak Penghasilan yang bersifat final


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah 1% (satu
persen).

(
2
)

Pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) didasarkan pada peredaran bruto dari usaha dalam 1
(satu) tahun dari Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak
yang bersangkutan.

(
3
)

Dalam hal peredaran bruto kumulatif Wajib Pajak pada suatu


bulan telah melebihi jumlah Rp4.800.000.000,00 (empat
miliar delapan ratus juta rupiah) dalam suatu Tahun Pajak,
Wajib Pajak tetap dikenai tarif Pajak Penghasilan yang telah
ditentukan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) sampai dengan akhir Tahun Pajak yang
bersangkutan.

(
4
)

Dalam hal peredaran bruto Wajib Pajak telah melebihi jumlah


Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah)
pada suatu Tahun Pajak, atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak pada Tahun Pajak berikutnya dikenai
tarif Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan UndangUndang Pajak Penghasilan.
Pasal 4

(
1
)

Dasar pengenaan pajak yang digunakan untuk menghitung


Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) adalah jumlah peredaran bruto setiap
bulan.

(
2
)

Pajak Penghasilan terutang dihitung berdasarkan tarif


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dikalikan
dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
Pasal 5

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) tidak berlaku


atas penghasilan dari usaha yang dikenai Pajak Penghasilan yang
bersifat final berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan di
bidang perpajakan.
Pasal 6
Atas penghasilan selain dari usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ayat (1) yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, dikenai Pajak
Penghasilan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Pasal 7
Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari
luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dapat dikreditkan
terhadap Pajak Penghasilan yang terutang berdasarkan ketentuan
Undang-Undang Pajak Penghasilan dan peraturan pelaksanaannya.
Pasal 8
Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan bersifat final berdasarkan
Peraturan Pemerintah ini dan menyelenggarakan pembukuan dapat
melakukan kompensasi kerugian dengan penghasilan yang tidak
dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan ketentuan sebagai
berikut:
1. kompensasi kerugian dilakukan mulai Tahun Pajak berikutnya
berturut-turut sampai dengan 5 (lima) Tahun Pajak;
2. Tahun Pajak dikenakannya Pajak Penghasilan yang bersifat final
berdasarkan Peraturan Pemerintah ini tetap diperhitungkan
sebagai bagian dari jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
huruf a;
3. kerugian pada suatu Tahun Pajak dikenakannya Pajak
Penghasilan yang bersifat final berdasarkan Peraturan
Pemerintah ini tidak dapat dikompensasikan pada Tahun Pajak
berikutnya.
Pasal 9

Ketentuan lebih lanjut mengenai penghitungan, penyetoran, dan


pelaporan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari usaha yang diterima
atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu dan
kriteria beroperasi secara komersial diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan MenteriKEUANGAN
.

Pasal 10
Hal khusus terkait peredaran bruto sebagai dasar untuk dapat dikenai
Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana diatur dalam
Peraturan Pemerintah ini, diatur sebagai berikut:
1. didasarkan pada jumlah peredaran bruto Tahun Pajak terakhir
sebelum Tahun Pajak berlakunya Peraturan Pemerintah ini yang
disetahunkan, dalam hal Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun
Pajak berlakunya Peraturan Pemerintah ini meliputi kurang dari
jangka waktu 12 (dua belas) bulan;
2. didasarkan pada jumlah peredaran bruto dari bulan saat Wajib
Pajak terdaftar sampai dengan bulan sebelum berlakunya
Peraturan Pemerintah ini yang disetahunkan, dalam hal Wajib
Pajak terdaftar pada Tahun Pajak yang sama dengan Tahun Pajak
saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini di bulan sebelum
Peraturan Permerintah ini berlaku;
3. didasarkan pada jumlah peredaran bruto pada bulan pertama
diperolehnya penghasilan dari usaha yang disetahunkan, dalam
hal Wajib Pajak yang baru terdaftar sebagai Wajib Pajak sejak
berlakunya Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 11
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2013.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 12 Juni 2013
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal13 Juni 2013
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 106
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 46 TAHUN 2013
TENTANG
PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA
YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK
YANG MEMILIKI PEREDARAN BRUTO TERTENTU
I.

UMUMMateri pokok yang diatur dalam Peraturan Pemerintah


ini mengenai pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final
dan penetapan besaran tarif pajak terhadap penghasilan dari
usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki
peredaran bruto tertentu. Pengenaan Pajak Penghasilan
yang bersifat final tersebut ditetapkan dengan berdasarkan
pada pertimbangan perlunya kesederhanaan dalam
pemungutan pajak, berkurangnya beban administrasi baik

bagi Wajib Pajak maupun Direktorat Jenderal Pajak, serta


memperhatikan perkembangan ekonomi dan moneter.
Tujuan pengaturan ini adalah untuk memberikan kemudahan
kepada Wajib Pajak yang menerima atau
memperoleh penghasilan dari usaha yang memiliki peredaran
bruto tertentu, untuk melakukan penghitungan, penyetoran,
dan pelaporan Pajak Penghasilan yang terutang.
II
.

PASAL DEMI PASALPasal 1


Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Peredaran bruto merupakan peredaran bruto dari usaha,
termasuk dari usaha cabang, selain peredaran bruto dari
usaha yang atas penghasilannya telah dikenai
Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan ketentuan
Peraturan Perundang-undangan di bidang perpajakan.
Berdasarkan arah aliran tambahan kemampuan ekonomis
kepada Wajib Pajak, penghasilan dapat dikelompokkan
menjadi:
1. penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan
pekerjaan bebas seperti gaji, honorarium, penghasilan
dari praktek dokter, notaris, aktuaris, akuntan,
pengacara, dan sebagainya;
2. penghasilan dari usaha dan kegiatan;
3. penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak
ataupun harta tak gerak, seperti bunga, dividen, royalti,
sewa, dan keuntungan penjualan harta atau hak yang
tidak dipergunakan untuk usaha;dan
4. penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang dan
hadiah.
Jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas meliputi:
1. tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang
terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter,
konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
2. pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak,
bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara,

kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain


drama, dan penari;
3. olahragawan;
4. penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh,
dan moderator;
5. pengarang, peneliti, dan penerjemah;
6. agen iklan;
7. pengawas atau pengelola proyek;
8. perantara;
9. petugas penjaja barang dagangan;
10.
agen asuransi; dan
11.
distributor perusahaan pemasaran berjenjang
(multilevel marketing) atau penjualan langsung (direct
selling) dan kegiatan sejenis lainnya.
Tahun Pajak menurut ketentuan umum perpajakan adalah
sama dengan tahun kalender. Namun demikian, bagi Wajib
Pajak yang tahun bukunya tidak sama dengan tahun
kalender, Tahun Pajak ditentukan berdasarkan tahun buku
yang didalamnya termasuk 6 (enam) bulan pertama atau
lebih dari 6 (enam) bulan dari tahun buku tersebut.
Misalnya, Jika tahun buku Wajib Pajak dimulai pada tanggal 1
Juli 2013 dan berakhir pada tanggal 30 Juni 2014 maka tahun
buku tersebut berarti Tahun Pajak 2013 karena memenuhi 6
(enam) bulan pertama dari tahun 2013.
Contoh penentuan peredaran bruto:
Rajesh merupakan pedagang tekstil yang memiliki tempat
kegiatan usaha di beberapa pasar di wilayah yang berbeda.
Berdasarkan pencatatan yang dilakukan diketahui rincian
peredaran usaha di tahun 2013 adalah sebagai berikut:
1. Pasar A sebesar Rp 80.000.000,00;
2. Pasar B sebesar Rp 250.000.000,00;
3. Pasar C sebesar Rp 400.000.000,00.
Dengan demikian peredaran bruto usahaPERDAGANGAN
tekstil Rajesh sebagai dasar pengenaan Pajak

Penghasilan yang bersifat final adalah sebesar


Rp730.000.000,00 (Rp80.000.000,00 + Rp250.000.000,00 +
Rp400.000.000,00).
Ayat (3)
Wajib Pajak orang pribadi yang tergolong dalam ketentuan ini
adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan

usaha perdagangan dan/atau jasa melalui suatu tempat


usaha yang dapat dibongkar pasang, termasuk yang
menggunakan gerobak, dan menggunakan tempat untuk
kepentingan umum yang menurut peraturan perundangundangan bahwa tempat tersebut tidak diperuntukkan bagi
tempat usaha atau berjualan, misalnya pedagang makanan
keliling, pedagang asongan, warung tenda di trotoar, dan
sejenisnya. Terhadap Wajib Pajak tersebut atas
penghasilannya tidak dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat
final berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah ini.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Contoh penentuan pengenaan Pajak Penghasilan yang
bersifat final:
CV Andik memiliki usaha penjualan gerabah yang
berdasarkan pembukuan atau catatan pada Tahun Pajak 2013
(Januari 2013 sampai dengan Desember 2013), memiliki
peredaran bruto sebesar Rp4.000.000.000,00 (empat miliar
rupiah).
Dengan demikian, atas penghasilan dari usaha yang diterima
oleh CV Andik pada tahun 2014 dikenai Pajak Penghasilan
bersifat final sebesar 1% (satu persen), karena peredaran
bruto CV Andik pada Tahun Pajak 2013 tidak melebihi Rp
4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Jika CV Andik, sebagaimana contoh pada penjelasan ayat (1)
dan ayat (2), pada bulan Januari sampai dengan Oktober
2014 memperoleh peredaran bruto sebesar Rp
5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), maka atas penghasilan
dari usaha yang diterima oleh CV Andik sampai dengan bulan
Desember 2014 (akhir Tahun Pajak 2014) tetap dikenai tarif
Pajak Penghasilan yang bersifat final sebesar 1% (satu

persen).
Ayat (4)
Jika CV Andik, sebagaimana contoh pada penjelasan ayat (3),
pada bulan Januari sampai dengan Desember 2014
memperoleh peredaran bruto sebesar Rp 6.000.000.000,00
(enam miliar rupiah), maka penghasilan yang diperoleh CV
Andik pada tahun 2015 (tahun berikutnya), dikenai Pajak
Penghasilan sesuai ketentuan Undang-Undang Pajak
Penghasilan.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Jika CV Andik, sebagaimana contoh pada penjelasan Pasal 3
ayat (1) dan ayat (2), pada bulan Agustus 2014 memperoleh
penghasilan dari usaha penjualan gerabah sebesar Rp
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), maka Pajak
Penghasilan yang bersifat final yang terutang untuk bulan
Agustus 2014 dihitung sebagai berikut:
Pajak Penghasilan yang bersifat final = 1% x Rp50.000.000,00
= Rp500.000,00
Pasal 5
Atas penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan yang
bersifat final dengan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan tersendiri, misalnya penghasilan dari
usaha jasa konstruksi yang pengenaan pajaknya diatur
dengan Peraturan Pemerintah, meskipun peredaran bruto
usaha Wajib Pajak yang bersangkutan dalam 1 (satu) tahun
tidak melebihi Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan
ratus juta rupiah), tidak dikenai Pajak Penghasilan yang
bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini tetapi
mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan yang mengatur mengenai pengenaan pajak atas
penghasilan tersebut.
Pasal 6

Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Contoh perlakuan kompensasi kerugian:
Jika Wajib Pajak PT Pantang Menyerah mengalami kerugian
pada Tahun Pajak 2010, maka kerugian tersebut dapat
dikompensasikan dengan penghasilan pada Tahun Pajak 2011
sampai dengan Tahun Pajak 2015.
Jika Wajib Pajak PT Pantang Menyerah pada Tahun Pajak 2014
dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat fmal berdasarkan
ketentuan Peraturan Pemerintah ini maka jangka waktu
kompensasi kerugian tetap dihitung sampai dengan Tahun
Pajak 2015.
Jika Wajib Pajak PT Pantang Menyerah pada Tahun Pajak 2014
dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan
ketentuan Peraturan Pemerintah ini dan mengalami
kerugian berdasarkan pembukuan, maka atas kerugian
tersebut tidak dapat dikompensasikan dengan Tahun Pajak
berikutnya.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Contoh penentuan peredaran bruto sebagai dasar dikenainya
Pajak Penghasilan dengan Peraturan Pemerintah ini, dalam
hal:
1. Tahun Pajak sebelumnya kurang dari 12 (dua belas)
bulan;
2. Wajib Pajak baru terdaftar pada Tahun Pajak yang sama
dengan tahun berlakunya Peraturan Pemerintah ini
pada bulan sebelum bulan berlakunya Peraturan
Pemerintah ini; dan
3. Wajib Pajak baru terdaftar setelah berlakunya Peraturan
Pemerintah ini, untuk Tahun Pajak pertama,

adalah sebagai berikut:


1
)

PT Maju Jaya menggunakan tahun


kalender sebagai Tahun Pajak. Terdaftar
sebagai Wajib Pajak sejak bulan
Agustus 2013. Peredaran bruto
selama bulan Agustus 2013 sampai
dengan Desember 2013 adalah
Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh
juta rupiah).Peredaran bruto tahun
2013 disetahunkan adalah:
Rp150.000.000,00 x 12/5 =
Rp360.000.000,00
Karena peredaran bruto disetahunkan
di tahun 2013 tidak melebihi
Rp4.800.000.00,00 (empat miliar
delapan ratus juta rupiah), maka
penghasilan yang diperoleh di
tahun 2014 dikenai pajak yang bersifat
final sesuai ketentuan dalam Peraturan
Pemerintah ini.

2
)

PT Daya Tangkap terdaftar 3 (tiga)


bulan sebelum berlakunya Peraturan
Pemerintah ini pada Tahun Pajak yang
sama dengan tahun berlakunya
Peraturan Pemerintah ini.
Jumlah peredaran bruto selama 3 (tiga)
bulan tersebut adalah
Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh
juta rupiah).Peredaran bruto selama 3
(tiga) bulan yang disetahunkan
adalah: Rp150.000.000,00 x 12/3 =
Rp600.000.000,00
Karena peredaran bruto disetahunkan
untuk 3 (tiga) bulan tersebut tidak
melebihi Rp 4.800.000.00,00 (empat
miliar delapan ratus juta rupiah), maka
penghasilan yang diperoleh mulai pada
bulan berlakunya Peraturan Pemerintah
ini sampai dengan akhir tahun pajak
bersangkutan, dikenai pajak yang
bersifat final sesuai ketentuan
dalam Peraturan Pemerintah ini

(
3

Gatot Kaca terdaftar sebagai Wajib


Pajak baru pada bulan November

2014. Pada bulan November 2014


tersebut, memperoleh peredaran bruto
sebesar Rp 15.000.000,00 (lima belas
juta rupiah). Penghasilan bruto bulan
November 2014 disetahunkan adalah:
12/1 x Rp15.000.000,00 =
Rp180.000.000,00Karena penghasilan
bulan November 2014 (bulan pertama
mulai terdaftar sebagai Wajib Pajak)
yang disetahunkan tidak melebihi Rp
4.800.000.000,00 (empat
miliar delapan ratus juta rupiah), maka
penghasilan yang diperoleh di tahun
2014 dikenai Pajak Penghasilan yang
bersifat final sesuai dengan Peraturan
Pemerintah ini.

Pasal 11
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5424
===========================================
===================
PERATURAN MENTERIKEUANGAN

REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 107/PMK.011/2013
TENTANG
TATA CARA PENGHITUNGAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK
PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA YANG DITERIMA ATAU
DIPEROLEH WAJIB PAJAK YANG MEMILIKI PEREDARAN BRUTO TERTENTU
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
bahwa dalam rangka melaksanakan Pasal 9 Peraturan Pemerintah
Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari

Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki


Peredaran Bruto Tertentu, perlu menetapkan Peraturan Menteri
Keuangan tentang Tata Cara Penghitungan, Penyetoran, dan Pelaporan
Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau
Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu;
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4999);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir denganUndang-Undang Nomor 36
Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4893);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang
Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak
Penghasilan dalam Tahun Berjalan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2010 Nomor 161, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5183);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak
Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau
Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 106,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5424);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :

PERATURAN MENTERIKEUANGAN

TENTANG TATA CARA

PENGHITUNGAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN


ATAS PENGHASILAN DARI USAHA YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH
WAJIB PAJAK YANG MEMILIKI PEREDARAN BRUTO TERTENTU.
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:
1. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2008.
2. Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali
bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama
dengan tahun kalender.
Pasal 2
(
1
)

Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh


Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu, dikenai
Pajak Penghasilan yang bersifat final.

(
2
)

Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Wajib
Pajak yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan tidak
termasuk bentuk usaha tetap; dan
2. menerima, penghasilan dari usaha, tidak termasuk
penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan
bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi
Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta
rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak.

(
3
)

Jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas sebagaimana


dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi:
1. tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang
terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter,
konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
2. pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak,
bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara,
kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain
drama, dan penari;
3. olahragawan;

4. penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh,


dan moderator;
5. pengarang, peneliti, dan penerjemah;.
6. agen iklan;
7. pengawas atau pengelola proyek;
8. perantara;
9. petugas penjaja barang dagangan;
10.
agen asuransi; dan
11.
distributor perusahaan pemasaran berjenjang
(multilevel marketing) atau penjualan langsung (direct
selling) dan kegiatan sejenis lainnya.
(
4
)

Tidak termasuk Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana


dimaksud pada ayat (2) adalah Wajib Pajak orang pribadi
yang melakukan kegiatan usahaPERDAGANGAN
dan/atau jasa yang dalam usahanya:
1. menggunakan sarana atau prasarana yang dapat
dibongkar pasang baik yang menetap maupun tidak
menetap; dan
2. menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk
kepentingan umum yang tidak diperuntukkan bagi
tempat usaha atau berjualan.

(
5
)

Tidak termasuk Wajib Pajak badan sebagaimana dimaksud


pada ayat (2) adalah:
1. Wajib Pajak badan yang belum beroperasi secara
komersial; atau
2. Wajib Pajak badan yang dalam jangka waktu 1 (satu)
tahun sejak beroperasi secara komersial memperoleh
peredaran bruto melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat
miliar delapan ratus juta rupiah).
Pasal 3

(
1
)

Pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 2 ayat (1) didasarkan pada peredaran bruto dari usaha
dalam 1 (satu) tahun dari Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun
Pajak yang bersangkutan.

(
2
)

Peredaran bruto yang tidak melebihi Rp4.800.000.000,00


(empat miliar delapan ratus juta rupiah) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b ditentukan
berdasarkan peredaran bruto dari usaha seluruhnya
termasuk dari usaha cabang, tidak termasuk peredaran bruto
dari:
1. jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3);
2. penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar
negeri;
3. usaha yang atas penghasilannya telah dikenai Pajak

Penghasilan yang bersifat final dengan ketentuan


peraturan perundang-undangan perpajakan tersendiri;
dan
4. penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak.
(
3
)

Dalam hal peredaran bruto dari usaha pada Tahun Pajak


terakhir sebelum Tahun Pajak yang bersangkutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak meliputi jangka
waktu 12 (dua belas) bulan, pengenaan Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada
jumlah peredaran bruto Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun
Pajak bersangkutan yang disetahunkan.

(
4
)

Dalam hal Wajib Pajak baru terdaftar pada tahun pajak 2013
sebelum Peraturan Menteri ini berlaku, pengenaan Pajak
Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
didasarkan pada jumlah peredaran bruto dari bulan saat
Wajib Pajak terdaftar sampai dengan bulan sebelum
berlakunya Peraturan Menteri ini yang disetahunkan.

(
5
)

Dalam hal Wajib Pajak baru terdaftar sejak berlakunya


Peraturan Menteri ini, pengenaan Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) didasarkan
pada jumlah peredaran bruto pada bulan pertama
diperolehnya penghasilan dari usaha yang disetahunkan.
Pasal 4

(
1
)

Besarnya tarif Pajak Penghasilan yang bersifat final


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) adalah 1%
(satu persen).

(
2
)

Dasar pengenaan pajak yang digunakan untuk menghitung


Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) adalah jumlah peredaran bruto setiap
bulan, untuk setiap tempat kegiatan usaha.

(
3
)

Pajak Penghasilan terutang dihitung berdasarkan tarif


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikalikan dengan
dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
(2).
Pasal 5

(
1
)

Dalam hal peredaran bruto kumulatif Wajib Pajak pada suatu


bulan telah melebihi jumlah Rp4.800.000.000,00 (empat
miliar delapan ratus juta rupiah) dalam suatu Tahun Pajak,
Wajib Pajak tetap dikenai tarif Pajak Penghasilan yang telah
ditentukan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) sampai dengan akhir Tahun Pajak yang
bersangkutan.

Dalam hal peredaran bruto Wajib Pajak telah melebihi jumlah

2
)

Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah)


pada suatu Tahun Pajak, atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak pada Tahun Pajak berikutnya dikenai
Pajak Penghasilan berdasarkan tarif umum Undang-Undang
Pajak Penghasilan.
Pasal 6

(
1
)

Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh


Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2)
yang berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pajak
Penghasilan dan peraturan pelaksanaannya wajib dilakukan
pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan yang
tidak bersifat final, dapat dibebaskan dari pemotongan
dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain.

(
2
)

Pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak


Penghasilan oleh pihak lain sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diberikan melalui Surat Keterangan Bebas.

(
3
)

Surat Keterangan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat


(2) diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat
Wajib Pajak terdaftar atas nama Direktur Jenderal Pajak
berdasarkan permohonan Wajib Pajak.
Pasal 7

(
1
)

Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5)


dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif umum UndangUndang Pajak Penghasilan sampai dengan jangka waktu 1
(satu) tahun sejak beroperasi secara komersial.

(
2
)

Dalam hal Jangka waktu 1 (satu) tahun sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) melewati Tahun Pajak yang
bersangkutan, ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berlaku sampai dengan akhir Tahun Pajak berikutnya.
Pasal 8

(
1
)

Wajib Pajak yang dikenai Pajak penghasilan bersifat final


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) yang
menyelenggarakan pembukuan dapat melakukan kompensasi
kerugian dengan penghasilan yang tidak dikenai Pajak
Penghasilan yang bersifat final.

(
2
)

Ketentuan kompensasi kerugian sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) adalah:
1. kompensasi kerugian dilakukan mulai tahun Pajak
berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima)
Tahun Pajak;
2. Tahun Pajak dikenakannya Pajak Penghasilan yang
bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal

2 ayat (1), tetap diperhitungkan sebagai bagian


dari jangka waktu sebagaimana dimaksud pada huruf
a;
3. kerugian pada suatu Tahun Pajak dikenakannya Pajak
Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1), tidak dapat dikompensasikan
pada Tahun Pajak berikutnya.
Pasal 9
(
1
)

Wajib Pajak yang hanya menerima atau memperoleh


penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat
final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), tidak
diwajibkan melakukan pembayaran angsuran pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Undang-Undang
Pajak Penghasilan.

(
2
)

Dalam hal Wajib Pajak selain menerima atau memperoleh


penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat
final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) juga
menerima atau memperoleh penghasilan yang dikenai Pajak
Penghasilan berdasarkan tarif umum Undang-Undang Pajak
Penghasilan, atas penghasilan yang dikenai Pajak
Penghasilan berdasarkan tarif umum tersebut wajib dibayar
angsuran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25
Undang-Undang Pajak Penghasilan.

(
3
)

Besarnya angsuran pajak sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 25 Undang-Undang Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak
yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (2) pada Tahun Pajak pertama Wajib Pajak tidak
dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), diatur ketentuan sebagai
berikut:
1. bagi Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
25 ayat (7) huruf b dan huruf c Undang-Undang Pajak
Penghasilan, besaran angsuran pajak adalah sesuai
dengan besarnya angsuran pajak sebagaimana diatur
dalam Peraturan MenteriKEUANGAN
yang
mengatur mengenai besarnya angsuran pajak bagi
Wajib Pajak tersebut;
2. bagi Wajib Pajak selain Wajib Pajak sebagaimana
dimaksud pada huruf a, penghitungan besarnya
angsuran pajak diberlakukan seperti Wajib Pajak baru
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (7) huruf a
Undang-Undang Pajak Penghasilan.

(
4
)

Untuk Wajib Pajak orang pribadi, jumlah penghasilan neto


yang disetahunkan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
huruf b dikurangi terlebih dahulu dengan Penghasilan Tidak

Kena Pajak.
(
5
)

Angsuran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25


Undang-Undang Pajak Penghasilan dan pajak yang telah
dipotong dan/atau dipungut pihak lain boleh dikreditkan
terhadap Pajak Penghasilan yang terutang untuk Tahun Pajak
yang bersangkutan, kecuali untuk penghasilan yang
pengenaan pajaknya bersifat final.
Pasal 10

(
1
)

Wajib Pajak wajib menyetor Pajak Penghasilan terutang


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) ke kantor pos
atau bank yang ditunjuk oleh MenteriKEUANGAN
,
dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atau sarana
administrasi lain yang dipersamakan dengan Surat Setoran
Pajak, yang telah mendapat validasi dengan Nomor Transaksi
Penerimaan Negara, paling lama tanggal 15 (lima belas)
bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.

(
2
)

Wajib Pajak yang melakukan pembayaran Pajak Penghasilan


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan paling lama 20
(dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.

(
3
)

Wajib Pajak yang telah melakukan penyetoran Pajak


Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dianggap
telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sesuai
dengan tanggal validasi Nomor Transaksi Penerimaan Negara
yang tercantum pada Surat Setoran Pajak.
Pasal 11

Wajib Pajak yang atas seluruh atau sebagian penghasilannya telah


dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1), kewajiban penyampaian Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan adalah sesuai ketentuan sebagaimana
diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2009, dan peraturan pelaksanaannya beserta perubahannya.
Pasal 12
(
1

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)


tidak berlaku atas penghasilan dari usaha yang dikenai Pajak

Penghasilan yang bersifat final berdasarkan ketentuan


peraturan perundang-undangan perpajakan tersendiri.

(
2
)

Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak


Bentuk Usaha Tetap, Wajib Pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (4) dan ayat (5), serta penghasilan dari
jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) dan penghasilan yang
diterima atau diperoleh dari luar negeri, dikenai Pajak
Penghasilan berdasarkan tarif umum Undang-Undang Pajak
Penghasilan.
Pasal 13

Tata cara penghitungan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari usaha


yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran
bruto tertentu adalah sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam
Lampiran Peraturan Menteri ini, yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 14
Ketentuan lebih lanjut mengenai:
1. bentuk Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang
dipersamakan dengan Surat Setoran Pajak sebagaimana
dimaksud pada dalam Pasal 10 ayat (1);
2. bentuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11; dan
3. tata cara pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan
Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6,
diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 15
(
1
)

Kerugian pada bulan Januari 2013 sampai dengan Juni 2013


dapat dilakukan kompensasi dengan penghasilan yang tidak
dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final pada Tahun
Pajak berikutnya.

(
2
)

Wajib Pajak yang melakukan kompensasi kerugian


sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib melampirkan
laporan rugi laba bulan Januari 2013 sampai dengan Juni
2013 dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan

tahun 2013.
Pasal 16
(
1
)

Ketentuan mengenai pengenaan Pajak Penghasilan yang


bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1),
diberlakukan sama dengan mulai berlakunya Peraturan
Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013.

(
2
)

ketentuan mengenai pelaporan Surat Pemberitahuan Masa


Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
ayat (2) diberlakukan mulai masa pajak Januari 2014.
Pasal 17

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.


Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Juli 2013
MENTERIKEUANGAN

REPUBLIK INDONESIA,

ttd.
MUHAMAD CHATIB BASRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 6 Agustus 2013
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
AMIR SYAMSUDIN
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 984

LAMPIRAN
PERATURAN MENTERIKEUANGAN

REPUBLIK INDONESIA

NOMOR : 107/PMK.01/2013
TENTANG : TATA CARA PENGHITUNGAN, PENYETORAN,
DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN ATAS
PENGHASILAN DARI USAHA YANG DITERIMA
ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK YANG
MEMILIKI PEREDARAN BRUTO TERTENTU
CONTOH PENGHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN (PPh) ATAS
PENGHASILAN DARI USAHA YANG DITERIMA ATAU
DIPEROLEH WAJIB PAJAK YANG MEMILIKI PEREDARAN BRUTO TERTENTU:
1. Agus Hidayat menjalankan usaha bengkel reparasi motor sekaligus
menjual suku cadangnya. Agus Hidayat
yang telah terdaftar sebagai Wajib Pajak sejak tahun 2009 memiliki 2
(dua) buah bengkel yang berada di
wilayah yang berbeda, yakni bengkel A terdaftar di Kantor Pelayanan
Pajak (KPP) X dan bengkel B terdaftar
di KPP Y. Berdasarkan pencatatannya selama tahun 2013 masingmasing bengkel tersebut memiliki
peredaran bruto sebagai berikut:
Peredaran bruto bengkel A = Rp 100.000.000,00
Peredaran bruto bengkel B = Rp 150.000.000,00
Peredaran bruto yang dijadikan dasar penentuan tarif PPh yang bersifat
final adalah jumlah peredaran
bruto bengkel A dan bengkel B yakni sebesar Rp 250.000.000,00 (dua
ratus lima puluh juta rupiah).
Karena total peredaran bruto selama tahun 2013 kurang dari Rp
4.800.000.000,00 (empat miliar delapan
ratus juta rupiah) maka atas penghasilan dari usaha yang diterima oleh
Agus Hidayat pada tahun 2014
dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final sebesar 1% (satu persen)
dari peredaran bruto.
Misalkan pada bulan Januari 2014, Agus Hidayat memperoleh
peredaran bruto dari bengkel A sebesar Rp
10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan dari bengkel B sebesar Rp
15.000.000,00 (lima belas juta rupiah),
maka paling lambat pada tanggal 17 Februari 2014 (karena tanggal 15

Februari jatuh pada hari Sabtu),


Agus Hidayat wajib menyetorkan PPh yang bersifat final sebesar:
a. Bengkel A
PPh = 1% x Rp 10.000.000,00
= Rp 100.000,00 (dilaporkan ke KPP X)
b. Bengkel B
PPh = 1% x Rp 15.000.000,00
= Rp 150.000,00 (dilaporkan ke KPP Y)
Pada bulan Maret 2013 sebuah perusahaan swasta bernama PT Amira
Ekspedisi melakukan perawatan dan
raparasi 5 (lima) motor milik perusahaan tersebut di bengkel A milik
Agus Hidayat. Tagihan yang dibuat
kepada PT Amira Ekspedisi atas jasa perawatan dan reparasi tersebut
adalah sebesar Rp 1.500.000,00
(satu juta lima ratus ribu rupiah). Atas tagihan tersebut PT Amira
Ekspedisi melakukan pemotongan PPh
Pasal 23 sebesar 2% x Rp 1.500.000,00 = Rp 30.000,00.
Namun demikian, jika Agus Hidayat telah mendapatkan Surat
Keterangan Bebas dari Pemotongan dan/atau
Pemungutan PPh yang dikeluarkan oleh KPP X, atas pembayaran
tagihan tersebut tidak dilakukan
pemotongan PPh Pasal 23 oleh PT. Amira Ekspedisi.
2. Irine menjalankan usaha butik pakaian, memiliki butik pakaian di
kota Batam dan di Singapura. Irine telah
terdaftar sebagai Wajib Pajak sejak tahun 2009 di Kantor Pelayanan
Pajak (KPP) X. Berdasarkan
pencatatannya selama tahun 2013 masing-masing butik tersebut
memiliki peredaran bruto sebagai berikut:
Peredaran bruto butik di Batam = Rp 3.000.000.000,00
Peredaran bruto butik di Singapura = Rp 5.000.000.000,00
Dari peredaran bruto butik di Batam sebesar Rp 3.000.000.000,00
salah satunya merupakan hasil
penjualan sebesar Rp 50.000.000,00 kepada Mr. X seorang pengusaha
dari Singapura.
Selain dari penghasilan usaha butik, Irine juga memperoleh
penghasilan dari sewa apartemen di Singapura
sebesar Rp 100.000.000,00.
Peredaran bruto yang dijadikan dasar pengenaan PPh yang bersifat

final adalah jumlah peredaran bruto


butik di Batam saja, yakni sebesar Rp 3.000.000.000,00. Penghasilan
yang diterima Irine dari sewa
apartemen dan butik di Singapura, tidak diperhitungkan dalam
menghitung batasan peredaran bruto untuk
dapat dikenai PPh bersifat final.
3. Hari Nugroho yang berstatus kawin dengan 2 (dua) tanggungan
adalah orang pribadi pengusaha konstruksi
yang juga memiliki toko material Cakar Beton. Selain usaha tersebut,
Hari Nugroho juga aktif
memberikan jasa konsultansi kepada klien yang membutuhkan
sarannya. Jumlah seluruh penghasilan yang
diterima oleh Hari Nugroho pada tahun 2013 diketahui sebagai berikut:
a. Penjualan bruto dari toko material Cakra Beton Rp
3.500.000.000,00.
b. Nilai kontrak jasa pelaksanaan konstruksi (termasuk pemakaian
material dari toko Cakar Beton) Rp
900.000.000,00.
c. Jasa konsultansi sebesar Rp 500.000.000,00.
Total peredaran bruto Hari Nugroho pada tahun 2013 adalah sebesar
Rp 4.900.000.000,00 (Rp
3.500.000.000,00 + Rp 900.000.000,00 + Rp 500.000.000,00).
Untuk menentukan PPh dari usaha toko material Cakar Beton di
tahun 2014 dikenai tarif umum atau tarif
yang bersifat final, adalah berdasarkan peredaran bruto dari usaha
toko material Cakar Beton saja yakni
sebesar Rp 3.500.000.000,00. Sedangkan peredaran bruto dari jasa
pelaksanaan konstruksi dan jasa
konsultansi tidak diperhitungkan mengingat jasa pelaksanaan
konstruksi dikenai PPh yang bersifat final
dengan ketentuan Peraturan Pemerintah tersendiri dan jasa konsultansi
termasuk dalam lingkup jasa
sehubungan dengan pekerjaan bebas.
Kewajiban pembayaran PPh Hari Nugroho di tahun 2014 adalah sebagai
berikut:
a. PPh sebesar 1% bersifat final dari peredaran bruto usaha toko
material Cakar Beton, untuk setiap
bulannya;

b. PPh dari usaha jasa konstruksi, yang dikenai PPh bersifat final
berdasarkan Peraturan Pemerintah
tersendiri; dan
c. Angsuran PPh Pasal 25 (Januari s.d. Desember), atas penghasilan
dari jasa konsultasi. Misalkan
biaya dari jasa konsultasi di tahun 2013 sebesar Rp 169.625.000,00
dan PPh yang telah
dipotong/dipungut pihak lain di tahun 2013 sebesar Rp 14.750.000,00,
maka kewajiban angsuran
PPh Pasal 25 di tahun 2014 sebagai berikut:
Penghasilan bruto jasa konsultasi tahun 2013 Rp 500.000.000,00
Biaya kegiatan jasa konsultasi tahun 2013 Rp 169.625.000,00
PTKP (K/2) Rp 30.375.000,00
Penghasilan Kena Pajak jasa konsultasi Rp 300.000.000,00
PPh terutang jasa konsultasi Rp 38.750.000,00
Pajak yang dipotong/dipungut pihak lain Rp 14.750.000,00
PPh terutang Rp 24.000.000,00
Angsuran PPh Pasal 25 atas jasa konsultasi Rp 2.000.000,00
(1/12 x Rp 24.000.000,00)
4. CV Abadi Mebelindo bergerak di bidang usaha industri furnitur
terdaftar sebagai Wajib Pajak badan di KPP C
sejak tahun 2011. Berdasarkan pembukuannya pada tahun 2012
memiliki peredaran bruto sebesar Rp
390.000.000,00 (tiga ratus sembilan puluh juta rupiah).
Dengan demikian tarif PPh yang bersifat final yang dikenakan terhadap
penghasilan dari usaha yang
diterima oleh CV Abadi Mebelindo mulai bulan Juli 2013 adalah sebesar
1% (satu persen).
Pada bulan Juli 2013, CV Abadi Mebelindo memperoleh peredaran bruto
sebesar Rp 20.000.000,00 (dua
puluh juta rupiah) maka paling lambat pada tanggal 15 Agustus 2013
CV Abadi Mebelindo wajib
menyetorkan PPh yang bersifat final sebesar:
PPh = 1% x Rp 20.000.000,00
= Rp 200.000,00
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai
penentuan tanggal jatuh tempo
penyetoran, dan pelaporan pajak:

a. dalam hal CV Abadi Mebelindo menyetorkan PPh bersifat final


sebesar Rp 200.000,00 pada tanggal
15 Agustus 2013 dan Surat Setoran Pajaknya telah mendapat validasi
dengan Nomor Transaksi
Penerimaan Negara, maka CV Abadi Mebelindo menyetor sebelum
tanggal jatuh tempo pembayaran
dan telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan
tanggal 15 Agustus 2013.
b. dalam hal CV Abadi Mebelindo menyetorkan PPh bersifat final
sebesar Rp 200.000,00 pada tanggal
22 Agustus 2013 dan Surat Setoran Pajaknya telah mendapat validasi
dengan Nomor Transaksi
Penerimaan Negara, maka CV Abadi Mebelindo menyetor setelah
tanggal jatuh tempo penyetoran
(terlambat melakukan penyetoran) dan menyampaikan Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan
tanggal 22 Agustus 2013.
Penyetoran tanggal 22 Agustus yang dilakukan oleh CV Abadi
Mebelindo yang sekaligus merupakan
tanggal pelaporan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan tidak
termasuk sebagai Surat
Pemberitahuan Masa yang terlambat disampaikan karena kewajiban
pelaporan Surat Pemberitahuan
Masa Pajak Penghasilan diberlakukan mulai masa pajak Januari 2014
sebagaimana dimaksud dalam
pasal 16 ayat (2).
Pada bulan November 2013 SD Negeri 03 Jakarta membeli kursi dan
meja dari CV Abadi Mebelindo sebesar
Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Atas pembelian tersebut
Bendahara SD Negeri 03 Jakarta
melakukan pemungutan PPh Pasal 22 sebesar 1,5% (satu setengah
persen) x Rp 10.000.000,00 = Rp
150.000,00. Namun demikian, jika CV Abadi Mebelindo telah
mendapatkan Surat Keterangan Bebas dari
pemotongan dan/atau pemungutan PPh dari KPP C, atas pembelian
tersebut Bendahara SD Negeri 03
Jakarta tidak melakukan pemungutan PPh Pasal 22.
5. PT Andalan yang bergerak di bidang usaha industri pengolahan gula

didirikan pada tahun 2012 dan pada


tahun yang sama mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak badan di KPP
Z. PT Andalan menggunakan tahun
buku Januari-Desember. Sampai dengan bulan Oktober 2013 PT
Andalan masih terus melakukan kegiatan
investasi dalam bentuk pembangunan pabrik dan instalasi mesin-mesin
industri dan belum melakukan
kegiatan operasi secara komersial.
Pada tanggal 1 November 2013 PT Andalan mulai melakukan kegiatan
operasi secara komersial berupa
produksi gula dalam kemasan.
Sesuai ketentuan Pasal 7 Peraturan Menteri ini, maka untuk Tahun
Pajak 2013, PT Andalan dikenai Pajak
Penghasilan berdasarkan tarif umum Undang-Undang Pajak
Penghasilan.
Mengingat bahwa 1 (satu) tahun sejak beroperasi secara komersial
melewati Tahun Pajak yang
bersangkutan maka sesuai ketentuan Pasal 7 ayat (2), sampai dengan
akhir Tahun Pajak 2014, Wajib Pajak
masih dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif umum UndangUndang Pajak Penghasilan.
Dalam hal peredaran bruto usaha PT Andalan sampai dengan tanggal
31 Oktober 2014 (satu tahun sejak
mulai beroperasi komersial) telah melebihi Rp 4.800.000.000,00
(empat miliar delapan ratus juta rupiah),
maka mulai Tahun Pajak 2015 PT Andalan dikenai Pajak Penghasilan
berdasarkan tarif umum
Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Dalam hal peredaran bruto usaha PT Andalan sampai dengan tanggal
31 Oktober 2014 tidak melebihi
Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) maka
pengenaan Pajak Penghasilan untuk
Tahun Pajak 2015 memperhatikan peredaran bruto Januari sampai
dengan Desember 2014.
6. Heri Kurnia merupakan Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan
usahaPERDAGANGAN
mobil bekas yang

memiliki 1 (satu) tempat kegiatan usaha sehingga Heri Kurnia


termasuk Wajib Pajak orang pribadi
pengusaha tertentu. Peredaran bruto usaha Tahun Pajak 2013 adalah
sebesar Rp 4.000.000.000,00 (empat
miliar rupiah) sehingga pada Tahun Pajak 2014 Heri Kurnia dikenai PPh
yang bersifat final.
Berdasarkan pembukuan yang dilakukan diketahui bahwa peredaran
bruto usaha sampai dengan akhir
Tahun Pajak 2014 berjumlah Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Dengan demikian pada Tahun Pajak 2015 Heri Kurnia dikenai PPh
berdasarkan tarif umum Undang-Undang
Pajak Penghasilan, dan Heri Kurnia wajib menyetorkan angsuran Pajak
Penghasilan Pasal 25, sesuai
ketentuan angsuran bagi orang pribadi pengusaha tertentu.
Pada bulan Januari 2015 peredaran bruto dari usaha Heri Kurnia adalah
sebesar Rp 400.000.000,00 (empat
ratus juta rupiah).
Dengan demikian, penghitungan angsuran PPh Pasal 25 untuk bulan
Januari 2015 adalah sebagai berikut:
PPh Pasal 25 = 0,75% x Rp 400.000.000,00
= Rp 3.000.000,00
Angsuran PPh Pasal 25 untuk bulan selanjutnya sampai dengan bulan
Desember 2015 adalah 0,75%
dikalikan peredaran bruto pada bulan yang bersangkutan.
7. Pada Tahun Pajak 2014 Wajib Pajak PT Pandiro Anugerah dikenai PPh
yang bersifat final berdasarkan
Peraturan Menteri ini. Berdasarkan pembukuan yang dilakukan
diketahui bahwa peredaran bruto usaha
sampai dengan akhir Tahun Pajak 2014 berjumlah Rp 5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah).
Dengan demikian pada Tahun Pajak 2015 PT Pandiro Anugerah dikenai
PPh berdasarkan tarif umum
Undang-Undang Pajak Penghasilan. Pada bulan Januari 2015 seluruh
peredaran bruto PT Pandiro Anugerah
adalah sebesar Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah), dan PPh
yang dipotong atau dipungut pihak lain
(bukan PPh final) adalah sebesar Rp 51.000.000,00 (lima puluh satu
juta rupiah).

Penghitungan angsuran PPh Pasal 25 untuk Tahun Pajak 2015 adalah


sebagai berikut:
Penghasilan bruto sebulan Rp 200.000.000,00
Biaya-biaya Rp 150.000.000,00
Penghasilan neto sebulan Rp 50.000.000,00
Penghasilan neto sebulan disetahunkan Rp 600.000.000,00
PPh terutang (12,5% x Rp 600.000.000,00) Rp 75.000.000,00
Pajak yang dipotong/dipungut pihak lain Rp 51.000.000,00
PPh kurang bayar Rp 24.000.000,00
Angsuran PPh Pasal 25 Rp 2.000.000,00
1/12 x Rp 24.000.000,00)
Angsuran PPh Pasal 25 untuk bulan selanjutnya sampai dengan bulan
Desember 2015 adalah
Rp2.000.000,00.
8. CV Karya Serasi bergerak di bidang usaha penjualan alat tulis.
Berdasarkan pembukuan yang dilakukan
diketahui hal-hal sebagai berikut:
Tahun Peredaran Bruto Laba (Rugi) fiskal
2012 Rp 4.000.000.000,00 (Rp 300.000.000,00)
2013 Rp 5.000.000.000,00 (Rp 200.000.000,00)*)
2014 Rp 8.000.000.000,00 Rp 500.000.000,00
*) rugi Juli-Desember 2013
Berdasarkan data tersebut maka CV Karya Serasi dapat melakukan
kompensasi kerugian tahun 2012
sebesar Rp 300.000.000,00 mulai tahun 2013 sampai dengan tahun
2017.
Pada tahun 2013 CV Karya Serasi dikenai PPh yang bersifat final
sebesar 1%, sehingga kerugian pada
tahun tersebut yakni sebesar Rp 200.000.000,00 tidak dapat
dikompensasikan pada Tahun Pajak
berikutnya.
Pada tahun 2014, CV Karya Serasi tidak lagi dikenai PPh yang bersifat
final sebesar 1% tetapi dikenai PPh
sesuai tarif umum Undang-Undang Pajak Penghasilan. Penghasilan
Kena Pajak 2014 adalah sebesar
Rp200.000.000,00 yaitu laba fiskal tahun 2014 sebesar Rp
500.000.000,00 dikurangi kompensasi kerugian
tahun 2012 sebesar Rp 300.000.000,00.

Salinan sesuai dengan aslinya


KEPALA BIRO UMUM
u.b.
KEPALA BAGIAN T.U. KEMENTERIAN
ttd.
GIARTO
NIP 195904201984021001
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
ttd.
MUHAMAD CHATIB BASRI

1.

Salam Pak,

Mau tanya, kalo tahun 2012 omset saya kurang dari 4,8 M maka terhitung Juli
2013 kan saya harus mulai bayar PPh 1%, tapi di akhir tahun 2013 omset
saya setahun sudah lebih dari 4,8 M, bagaimana perlakuan pajaknya, apakah
bisa dijadikan kredit pajak?
Balas

Irfan HartonoJun 19, 2014 at 15:14


Pengenaan PPh didasarkan pada peredaran bruto dari usaha dalam 1
(satu) tahun dari Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak yang
bersangkutan yang tidak melebihi Rp4,8 Miliar. Misalkan, tahun 2012
Omzet Rp4 miliar, maka di tahun 2013 s.d sebelum berlaku PP 46,
akan dikenakan PPh Umum . Lalu mulai Juli s.d. Des 2013 akan
dikenakan PPh final 1% meskipun total omzet tahun berjalan misalnya
Rp5 miliar. Jika omzet 2013 Rp5 miliar maka tahun 2014 dikenai
dengan Tarif Umum Ketentuan UU PPh. Kwembali seperti peraturan
sebelum adanya PPh 1% ini.

You might also like