You are on page 1of 37

MAKALAH PRAKTIKUM REKAYASA DAN PROSES PANGAN

Kelompok 3 :
Eka Nur Apriliani Safitri (2013349049)

JURUSAN TEKNOLOGI PANGAN


FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
UNIVERSITAS SAHID JAKARTA
1

2014
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala
rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas
Makalah Praktikum Rekayasa dan Proses Pangan yang membahas tentang
bab daging.

Sholawat dan salam senantiasa tercurah kepada Rasulullah

SAW beserta keluarga, sahabat dan umatnya yang senantiasa istiqomah


menegakkan risalahnya.
Makalah Praktikum Rekayasa dan Proses Pangan tentang bab daging
disusun untuk memenuhi tugas makalah praktikum ini disebabkan tidak
dapat mengikuti praktikum pada hari sabtu, 31 Mei 2014 karena sedang
tugas kantor, dan diharapkan kemakluman dari bapak/ibu dosen.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna dan
masih banyak kekurangan.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi

semua pihak yang membacanya.

Jakarta, Juni 2014

Penulis

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..1


KATA PENGANTAR.2
DAFTAR ISI .... 3
BAB I. PENDAHULUAN ....5
I.1 Latar Belakang ...
5
I.2 Tujuan .
......5
I.3 Manfaat
.5
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. 6
2.1 Daging dan Kualitasnya
6
2.2 Mikrobiologi Daging .
8
2.3 Proses Pengolahan Daging
9
2.3.1 Pemeriksaan Ante-Mortem
. 9
2.3.2 Penyembelihan
9
2.3.3 Penyiangan dan Pemeriksaan
.. 10

2.3.4 Pelayuan ..
10
2.3.5 Pemotongan Karkas
11
2.4 Perubahan-Perubahan Pasca Mortem
...12
2.4.1 Relaksasi dan Kontraksi
12
2.4.2 Fase Pre-Rigor
...12
2.4.3 Fase Rigor-Mortis
..13
2.4.4 Fase Pasca-Rigor
13
2.5 Beberapa Produk Olahan Daging
..14
2.5.1 Pembuatan Abon
14
2.5.2 Pembuatan Dendeng
..16
2.5.3 Pembuatan Bakso
..18
2.5.4 Pembuatan Sosis
....22
2.5.5 Curing Daging
26
BAB III. PENUTUP
...29
3.1 SIMPULAN
29

3.2 SARAN ...


29
DAFTAR PUSTAKA ..30

BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Masyarakat

belum

memahami

dan

memanfaatkan

semaksimal

mungkin dari hasil ternak yang dapat menhasilkan keuntungan besar demi
5

meningkatkan ekonomi masyarakat. Salah satu komoditi hasil ternak adalah


daging yang diharapkan untuk dapat memenuhi kebutuhan protein karena
kandungan proteinya yang tinggi yang mampu menyumbangkan asam
amino esensial yang lengkap. Namun untuk daging segar mudah busuk atau
mudah rusak karena adanya perubahan kimiawi dan kontaminasi mikroba.
Oleh karena itu usaha pengolahan penanganan merupakan cara untuk
mengurangi kerusakan daging pasca panen sekaligus memperoleh nilai
tambah dari produk yang dihasilkan.

Pengolahan daging seperti halnya

pengolahan bahan lainya bertujuan untuk memperpanjang umur simpan,


memperbaiki sifat organoleptik, menambah variasi bentuk hasil olahan
daging, memungkinkan tersedianya produk daging setiap saat serta
menghemat waktu dan energy untuk persiapan daging sebelum dimakan.
Teknologi pengolahan pangan setidaknya memiliki dua manfaat, yaitu :
menekan kehilangan (loss) bahan pangan sejak panen dan transformasi
bahan mentah menjadi produk pangan olahan yang dapat berssaing untuk
memenuhi kebutuhan pangan nasional.
Teknologi pangan harus mampu menghasilkan poduk yang kompetitif
untuk menjawab tantangan dalam memenuhi kebutuhan pangan nasional.
Komoditas daging dapat disiapkan sebagai daging segar potong (frsh cut
meat) dan daging giling (mince meat); diawetkan sebagai daging beku
(frozen meat);bdan diolah menjadi berbagai produk antara lain delikatesen,
sosis, korned, dendeng, abon, steak.
I.2 Tujuan
Tujian

dari

pengembangan

makalah
produk

ini

olahan

adalah
daging

untuk
sapi

mengetahui
yang

sudah

berbagai
beredar

dimasyarakat.
I.3 Manfaat

Makalah ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang berbagai


pengembangan produk olahan daging sapi yang sudah ada dan beredar
dimasyarakat.
BAB II
TINJUAN PUSTAKA

2.1 DAGING DAN KUALITASNYA


Menurut Soeparno (2005), daging adalah semua jaringan hewan dan
semua produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang dapat
dimakan

serta

tidak

menimbulkan

gangguan

kesehatan

bagi

yang

mengkonsumsinya. Organ-organ misalnya hati, paru-paru, limpa, pankreas,


otak, jantung, ginjal dan jaringan otot termasuk dalam definisi ini. Lawrie
(1998) mendefinisikan daging dalam arti khusus sebagai bagian dari hewan
yang digunakan sebagai makanan. Pada praktiknya, definisi ini terbatas
hanya pada beberapa lusin dari sekitar 3000 spesies mamalia. Pengertian
daging juga dapat diperluas mencakup organ-organ seperti hati, ginjal, otak
dan jaringan lain yang dapat dimakan. Definisi daging yang lebih sesuai
dengan kondisi di Indonesia adalah definisi menurut SNI 01-3947-1995, yaitu
urat daging (otot) yang melekat pada kerangka, kecuali urat daging bagian
bibir, hidung dan telinga (Dewan Standardisasi Nasional, 1995). Salah satu
daging ternak yang banyak dikonsumsi di Indonesia adalah daging sapi
(Soeparno, 2005).

Daging sapi memiliki ciriciri warna merah segar,

seratnya halus dan lemaknya berwarna kuning. Daging sapi memiliki


kandungan kalori 20,7%, protein 18,8% dan lemak 14%

(Buege, 2001).

Kandungan protein daging olahan lebih sedikit dibandingkan kandungan


protein daging segar (Soeparno, 2005).
Kontaminasi bakteri dapat menyebabkan perubahan warna dan bau.
Selama proses memasak, warna daging dapat mengalami perubahan dan
kurang menarik.

Warna daging segar adalah warna merah terang dari


7

oksimioglobin, warna daging yang dimasak adalah warna coklat dari globin,
hemikromogen, warna daging yang ditambahkan nitrit adalah warna merah
gelap dari nitrikoksidamioglobin dan bila dimasak (Soeparno, 1994).
Otot
terbentuk

merupakan
dari

otot

komponen

utama

yang telah berhenti

pemotongan (Soeparno,2005).

penyusun

daging.

fungsi fisiologisnya

Daging
setelah

Otot tersusun dari banyak ikatan serabut

yang disebut fasikuli yang terdiri atasserabut-serabut otot yang terdiri atas
myofibril (kumpulan fibril).

Miofibril tersusun dari banyak filament dan

disebut miofilamen. Berdasarkan ukuranya ( dari terbesar sampai dengan


ukuran terkecil), otot tersusun dari fasikuli, serabut otot, myofibril, dan
miofilamen (Lawrie, 1998). Sebagian besar serabut otot mengandung lebih
dari 50 % protein myofibril. Di dalam myofibril terdapat 55 % sampai 60 %
myosin dan kira-kira 20 % akttin (Abarle dkk, 2001).
Kualitas daging diartikan sebagai sejumlah sifat yang menenyukan
daging itu yang berpengaruh terhadap penerimaan konsumen. Warna, daya
mengikat air, dan beberapa aroma daging dapat dideteeksi baik sebelum
maupun sesudah pemasakan dan akan memberikan sensasi yang lebih lama
terhadap konsumen dibandingkan dengan juiciness, tekstur, keempukan,
rasa, dan kebanyakan aroma yang terdeteksi saat pengunyahan (Lawrie,
1998).
pH daging pada ternak hidup berkisar antara 7,2-7,4. Setelah ternak
disembelih terjadi penurunan pH karena adanya penimbunan asam laktat
dalam jaringan otot akibat proses glikolisis anaerob. Pada beberapa ternak,
penurunan pH terjadi satu jam pertama setelah ternak dipotong dan pada
saat

tercapainya

rigormortis.

pertumbuhan mikroorganisme.

Peningkatan

pH

dapat

terjadi

akibat

Nilai pH daging sapi setelah proses

perubahan glikolisis menjadi sam laktat berhenti berkisar antara 5,1-6,2.


Keempukan daging dipengaruhi oleh faktor

antemortem seperti

genetic termasuk bangsa, spesies dan fisiologis, faktor umur, manajemen,


jenis kelamin, stress, dan faktor postmortem yang meliputi pelayuan, dan
pembekuan

termasuk

faktor

lama

dan

suhu

penyimpanan,

metode
8

pengolahan, ermasuk pemasakan, dan penambahan bahan pengempuk.


Semakin halus teksturnya maka daging semakin empuk (Soeparno, 2005).
Penyimpanan daging pada suhu beku merupakan salah satu cara untuk
memperpanjang umur simpan daging. Penggunaan suhu yang rendah dalam
penyimpanan daging yang dikemas diketahui dapat mengurangi resiko
kontaminasi mikroba, namun tidak dapat menghilangkanya.

Keuntungan

disimpa dalam suhu beku adalah dalam memperpanjang waktu simpan dan
dalam menghambat perubahan-perubahan kimiawi daging.

Cenderung

diimbangi dengan eksudasi cairan atau drip dalam proses pencairan kembali
atau yang dikenal dengan thawing (Lawrie, 1998).

2.2 MIKROBIOLOGI DAGING


Daging

sangat

memenuhi

persyaratan

sebagai

media

untuk

perkembangan mikroorganisme, termasuk mikroorganisme perusak atau


pembusuk.

Hal

ini

disebabkan

daging

1). Mempunyai kadar air yang tinggi (kira-kira 68 %-75%).


2). Kaya akan zat yang mengandung nitrogen dengan kompleksitas yang
berbeda.
3). Mengandung sejumlah karbohidrat yang dapat difermentasikan.
4).

Kaya

akan

mineral

dan

kelengkapan

faktor

pertumbuhan

mikroorganisme.
5). Mempunyai pH yang menguntungkan bagi sejumlah mikroorganisme
yaitu dalam kisaran 5,3-6,5 (Soeparno, 2005).
Kebanyakan

daging

tumbuh

dipermukaan

daging,

namun

tertutup kemungkinan ditemukan bakteri di dalam jaringan otot.

tidak

Bakteri

dapat mencapai jaringan dalam karkas dengan berbagi cara, diantaranya


melalui mekanisme berikut :
a. Jaringan ternak sehat dapat mengandung populasi kecil bakteri namun
dinamis bila bakteri tersebut secara terus-menerusmemperoleh akses
ke dalam jaringan ternak hidup dengan penetrasi membran mukosa
saluran respirasi dan pencernaan untuk menggantikan yang telah
dibasmioleh mekanisme ketaahanan tubuh ternak.
b. Bakteri dari usus dapat menyerang jaringan karkas, baik selama
pemotongan yang dikenal dengan agonal invasionmaupun setelah
pemotongan yang disebut dengan pasmortem invasion.
c. Bakteri dapat terbawa ke dalam jaringan oleh luka

sebelum

pemotongan.
d. Bakteri yang mengkontaminasi permukaan karkas dapat melakukan
penetrasi ke lapisan jaringan otot yang lebih dalam (Gill, 1982).
Umumnya mikroorganisme tumbuh dengan baik pada pH sekitar 7,0
(6,6-7,0), beberapa mampu tumbuh dibawah 4,0.
alami

terkontaminasi

dengan

Lactobacillus,

Enterococcus,

Acinobacter,

Anthrobacter,

berbagai

Microoccus,

Daging mentah secara

mikroorganisme,
Staphyloccus,

Cyanobacterim,

diantaranya

Pseudomonas,

Brochotrix,

Listeria,

Enterobacteriaceae serta kapang dan khamir (Rose, 1982).


Kualitas daging ditentukan salah satunya oleh komposisi mikrobiologis
dari berbagai mikroorganisme dalam daging tersebut. SNI No. 01-6366-2000
memberikan standar batasan maksimum cemaran mikroba dalam daging
sebagaimana yang disajikan dalam tabel dibawah :
Tabel Batas Maksimum Cemaran Mikroba pada Daging

10

2.3 PROSES PENGOLAHAN DAGING


2.3.1. Pemeriksaan Ante-mortem
Hewan-hewan yang akan disembelih

untuk menghasilkan daging

harus terlebih dahulu diperiksa kesehatannya oleh doktor hewan atau mantri
hewan untuk mencegah kemungkinan terjadinya penularan penyakit dari
daging kepada konsumen. Hewan-hewan yang menderita penyakit menular
atau

penyakit

cacing

yang

dapat

menulari

manusia

dilarang

untuk

disembelih
.
2.3.2. Penyembelihan
Penyembelihan adalah usaha untuk

mengeluarkan darah hewan

dengan memotong pembuluh darah pada bagian

leher (vena jugularis).

Dalam beberapa hal dilakukan pemingsanan hewan terlebih dahulu sebelum


penyembelihan dengan cara memukul atau menembak daerah otak pada
bagian kepala atau dengan menggunakan aliran listrik dengan tujuan agar

11

hewan tidak meronta pada waktu penyembelihan. Untuk memperoleh daging


yang berkualitas baik, faktor-faktor yang harus diperhatikan pada waktu
penyembelihan hewan adalah sebagai berikut :
a. Permukaan kulit hewan harus dalam keadaan bersih.
b.

Hewan harus dalam kondisi prima, tidak lelah, tidak kelaparan dan

tenang.
c. Pengeluaran darah harus berlangsung dengan cepat dan sempurna.
d. Perlakuan-perlakuan yang menyebabkan terjadinya memar dan luka pada
jaringan otot harus dihindari.
e.

Kontaminasi

dengan

mikroorganisme

harus

dihindari

dengan

menggunakan
alat-alat yang bersih.
2.3.3. Penyiangan dan pemeriksaan Pasca-mortem.
Setelah penyembelihan, kepala dipisahkan pada batas tulang kepala
dengan tulang leher pertama, kaki pertama dipotong pada persendian
metetarsus, kaki belakang dipotong pada persendian metacarpus, jeroan
dikeluarkan dengan membuka bagian bawah perut secara membujur dan
keudian dikuliti. Daging yang masih menempel pada tulang kerangka hasil
dari penyiangan ini disebut karkas. Khusus pada babi dan unggas tidak
dilakukan pengulitan, akan tetapi dilakukan pencabutan bulu dengan cara
mencelupkan kedalam air mendidih selama beberapa menit sehingga
bulunya

mudah

dicabut

(scalding).

Setelah

penyiangan

dilakukan

pemeriksaan pasca mortem terhadap karkas dan jeroan (hati, jantung, limpa,
ginjal

dan

usus)

untuk

meyakinkan

bahwa

karkas

tersebut

tidak

mengandung penyakit yang dapat ditularkan kepada konsumen melalui


daging.
2.3.4. Pelayuan
Pelayuan dari karkas yang dihasilkan setelah penyiangan bertujuan
untuk memberikan kesempatan agar proses-proses biokimia yang terjadi
12

pada daging setelah hewan mati dapat berlangsung secara sempurna


sebelum daging tersebut dikonsumsi.

Pelayuan ini harus dilakukan untuk

memperoleh daging dengan keempukan dan cita rasa yang baik sebagai
hasil dari proses-proses biokimia yang berlangsung selama pelayuan. Untuk
mencegah terjadinya pembusukan, pelayuan sebaiknya dilakukan untuk
mencegah terjadinya pembusukan, pelayuan sebaiknya dilakukan pada suhu
rendah (3,6C 4,4C) selama sekitar 12 24 jam untuk karkas hewan
kecil (babi, kambing dan domba) dan sekitar 24 48 jam untuk karkas
hewan besar (sapi dan kerbau). Untuk karkas unggas pelayuan tidak perlu
dilakukan oleh karena proses-proses biokimia pada daging unggas yang
telah mati berlangsung lebih singkat, yaitu selama penyiangan.

Apabila

pelayuan dilakukan pada suhu yang lebih tinggi, waktunya harus lebih
singkat agar tidak terjadi pembusukan daging.
2.3.5. Pemotongan Karkas
Kecuali karkas unggas, karkas hewan mamalia dibagi menjadi dua sisi
melaui tulang punggung. Kecuali karkas sapi dewasa, setiap sisi karkas
selanjutnya dipotong menjadi potongan-potongan eceran (retall cuts)
menurut cara yang bervariasi untuk setiap negara. Pada karkas sapi dewasa,
setiap sisi karkas dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian perempat daun
(fore qarter) dan bagian perempat belakang ( hind qarter). Cara pembagian
ini bervariasi, yang mana pada satu cara pembagian semua tulang rusuk
diikutkan kebagian perempat depan, sedangkan pada cara pembagian yang
lain satu atau dua tulang rusuk diikutkan kebagian perempat belakang.
Selanjutnya, bagian perempat depan dan bagian perempat belakang ini
dipotong menjadi potongan-potongan eceran (retail cuts) menurut cara yang
bervariasi untuk setiap negara. Cara pemotongan karkas yang dilakukan di
negara-negara maju atau menurut standar Internasional belum banyak
dilakukan di Indonesia, kecuali oleh perusahaan-perusahaan daging yang
menyuplai daging ke hotel-hotel atau supermarket.

13

2.4 PERUBAHAN-PERUBAHAN PASCA-MORTEM


Pada jaringan otot hewan hidup berlangsung proses kontraksi dan
relaksasi secara natural. Apabila rangsangan datang melalui susunan syaraf
pusat, jaringan otot akan berkontraksi dan apabla rangsangan tersebut
hilang maka jaringan otot akan kembali berrelaksasi. Proses ini berlangsung
melalui reaksi-reaksi biokimia pada kondisi aerobik yang mana oksigen
disuplai dari respirasi melalui sirkulasi darah.

Apabila hewan talah mati,

maka respirasi dan sirkulasi darah akan terhenti dan reaksi-reaksi biokimia
dalam jaringan otot berlangsung secara anaerobik yang menghasilkan
terjadinya perubahan-perubahan fisiko-kimia pada jaringan otot. Perubahanperubahan ini berlangsung dalam 3 fase setelah hewan mati, yaitu : (a) fase
pre-rigor, (b) fase rigor-mortis dan (c) fase pasca-rigor.
2.4.1. Relaksasi dan Kontraksi
Dalam jaringan otot terdapat suatu senyawa kimia yang disebut
Adenosinetriphosphate (ATP) yang dihasilkan dari oksidasi karbohidrat
jaringan otot (glikogen) melalui siklus KREB. Senyawa ATP ini akan
membentuk kompleks dengan magnesium menjadi kompleks ATP-Mg 2+.
Selain itu, dalam jaringan otot juga terdapat enzim Adenosinediphosphate
(ADP),
asam posfat (H3PO

) dan energi dan ion kalsium (Ca 2+) yang dapat

mencegah kompleks ATP- Mg2+. sehingga dihasilkan ATP yang bebas.


Dalam keadaan relaksasi, filamen-filamen aktin pada sarkomersarkomer serabut otot berasa dalam keadaan terpisah. Hal ini disebabkan
oleh karena ATP yang dihasilkan terikat sebagai kompleks ATP- Mg 2+. dan ion
Ca2+ disimpan dalam serabut retikular dari serabut otot. Apabila terjadi
rangsangan, susunan syaraf pusat akan merangsang serabut retikuler untuk
membebaskan ion Ca2+. Ion Ca2+ yang bebas ini akan memecah kompleks
ATP- Mg2+. sehingga dihasilkan ATP yang bebas dan mengaktifkan enzim ATPase untuk memecah ATP bebas sehingga dihasilkan energi. Energi

inilah

yang menyebabkan terjadinya persilangan filamen-filamen aktin pada


14

sarkomer-sarkomer serabut otot proses kontraksi. Sebaliknya, apabila


rangsangan hilang, serabut retikuler akan menghisap kembali ion Ca 2+
sehingga enzim ATP-ase diinaktifkan, ATP kembali membentuk kompleks ATPMg2+. dan filamen-filamen aktin pada sarkomer-sarkomer serabut otot
kembali terpisah pada proses relaksasi.
2.4.2. Fase Pre-rigor
Setelah hewan mati, maka pernafasan

dan sirkulasi darah akan

terhenti sehingga suplai oksigen ke jaringan otot juga terhenti. Akibatnya,


proses oksidasi glikogen melalui siklus KREB untuk menghasilkan ATP juga
terhenti.

Sisa glikogen yang terdapat dalam jaringan otot akan dipecah

menjadi asam laktat melalui proses glikosilisis anaerobik sehingga pH


jaringan otot akan
menurun secara perlahan-lahan. Segera setelah hewan mati (fase pre-rigor),
dalam jaringan otot masih terdapat kompleks ATP- Mg 2+yang cukup untuk
menjaga agar tidak terjadi persilangan filamen-filamen aktin pada sarkomersarkomer serabut otot sehingga jaringan otot tetap lunak, lemas dan halus.
Fase ini berlangsung sekitar 8 12 jam setelah hewan mati.

2.4.3. Fase Rigor-mortis


Setelah hewan mati, serabut retikuler tidak dapat berfungsi sehingga
ion-ion Ca2+ terlepas yang mengakibatkan kompleks ATP- Mg2+dipecah
menghasilkan ATP bebas dan enzim ATP-ase diaktifkan untuk memecah ATP
bebas menghasilkan energi yang diperlukan untuk terjadinya persilangan
filamen-filamen aktin pada sarkomer-sarkomer

serabut otot. Proses ini

berlangsung
secara perlahan-lahan dan pada fase rigor-mortis, persilangan filamenfilamen aktin pada sarkomer-sarkomer serabut otot terjadi secara sempurna

15

sehingga jaringan otot menjadi keras, kasar dan kaku. Fase ini berlangsung
sekitar 15 20 jam setelah fase pre-rigor.
2.4.4. Fase Pasca-rigor
Mulai dari sejak hewan mati proses pemecahan ATP dan glikogen
berlangsung terus selama masih ada yang tersisa dalam jaringan otot.
Produk akhir dari pemecahan ATP adalah senyawa-senyawa precusor citarasa daging yang menyebabkan cita-rasa spesifik pada daging dan produk
akhir

pemecahan

glikogen

adalah

asam

laktat

yang

menyebabkan

penurunan pH jaringan otot.


Pada fase pasca-rigor, pH jaringan otot yang normal sekitar 6,5 6,6
akan turun menjadi pH sekitar 5,3 5,5. Apabila pH jaringan otot mencapai
5,5 maka sel-sel otot akan melepaskan dan mengaktifkan suatu enzim
proteolitik cathepsin. Enzim cathepsin ini akan mengendorkan serabutserabut otot yang tegang, melonggarkan struktur molekul protein sehingga
daya ikatnya terhadap air meningkat dan menghancurkan ikatan-ikatan
diantara

serabut-serabut

menyebabkan

otot

yang

mana

kesemuanya

ini

akan

jaringan otot yang tegang dan kaku pada fase rigor-mortis

akan kembali menjadi empuk dan halus pada fase pascarigor. Kondisi hewan pada waktu penyembelihan (lelah, kelaparan, dsb.) akan
mempengaruhi sisa glikogen yang terdapat pada jaringan otot.

Apabila

hewan lelah atau kelaparan sebelum penyembelihan, maka sisa glikogen


dalam jaringan otot sedikit sehingga pH akhir yang dicapai pada fase pascarigor relatif tinggi.

Apabila pH akhir jaringan otot pada fase pasca-rigor

mencapai 5,8 atau lebih tinggi, maka daya ikat air dari molekul protein
sedemikian rupa tingginya sehingga daging akan kelihatan gelap, kasar dan
kering (GKK) atau dark, firm and dry (DFD). Sebaliknya, karena faktor
strees dan faktor-faktor lain yang belum diketahui, penurunan pH dapat
berlangsung sangat cepat dan sangat rendah. Hal ini akan menyebabkan
daya ikat air dari molekul protein juga sangat rendah sehingga daging
kelihatan pucat, lunak dan berair (PLB) atau pale, soft and exudative (PSE).
16

2.5 BEBERAPA PRODUK OLAHAN DAGING


2.5.1 Pembuatan Abon
Abon adalah makanan dibuat dari daging yang disuwir--suwir atau
dipisahkan seratnya, kemudian ditambah bumbu-bumbu dan digoreng.
Daging yang umum digunakan untuk pembuatan abon adalah daging sapi
atau kerbau.

Meskipun demikian, semua jenis daging termasuk daging ikan

dapat digunakan untuk pembuatan abon.

Abon tergolong produk olahan

daging yang awet. Untuk mempertahankan mutunya selama penyimpanan,


abon dikemas dalam kantong plastik dan ditutup dengan rapat. Dengan cara
demikian, abon dapat disimpan pada suhu
kamar selama beberapa bulan. Dari segi teknologi, pembuatan abon relatif
mudah, tidak memerlukan modal yang besar dan sudah lama dikenal dan
digemari oleh semua golongan masyarakat Indonesia. Sehingga, pembuatan
abon mempunyai prospek yang baik untuk dikembangkan sebagai industri
kecil atau industri rumah tangga.
Cara Pembuatan Abon
Daging sapi atau daging kerbau dipotong menjadi tetelan daging.
Lemak dan jaringan ikat dibuang dari seluruh permukaannya, lalu potongpotong dengan ukuran 4 x 4 x 4 cm. Selanjutnya dicuci dengan air bersih,
sehingga bebas dari kotoran dan sisa darah. Daging yang telah dipersiapkan
diatas

ditimbang

seberat

kg.

Rebus

potongan-potongan

daging

tersebutdalam air mendidih selama 30 - 60 menit.


1. Setelah didinginkan, tumbuk daging yang telah direbus dengan cobek
dan lalu pisahkan seratnya-seratnya dengan menggunakan garpu.
2.

Timbang bumbu-bumbu yang diperlukan sebagai berikut : 25 gr


ketumbar, 125 gr kemiri, 350 gr gula merah, 150 gr bawang merah, 50 gr
bawang putih dan 200 gr garam dapur.

17

3.

Tumbuk bumbu-bumbu yang telah ditimbang tersebut satu per satu


sampai halus, campur dan aduk sampai semuanya tercampur secara
homogen, lalu tumis dengan sedikit minyak goreng dalam wajan.

4.

Timbang daging kelapa seberat 3 kg, lalu parut dan peras santannya
dengan penambahan air panas secukupnya.

5.

Masukkan santan yang dihasilkan r

7 ke dalam wajan, tambahan ke

dalamnya daging yang telah disuwir-suwir (dipisahkan dalam bentuk


serat-serat daging) dan bumbu-bumbu yang

telah dipersiapkan, aduk

sampai merata, lalu panaskan di atas kompor sampai kering dan tiriskan
di atas.
6. Panaskan sebanyak 0.5 kg minyak goreng dalam wajan di atas kompor
dengan api yang sedang besarnya, masukkan ke dalamnya daging yang
telah dipersiapkan sedikit demi sedikit dan goreng sampai kering dan
berwarna coklat muda, lalu tiriskan dan dinginkan di atas.
7.

Kemas abon yang dihasilkan

dalam kantong plastik atau kemasan

lainnya.

Skema Pembuatan Abon


Daging
Pembuangan lemak, urat-urat yang keras
Pencucian
Perebusan 70-75C selama 15 menit
Pencabikan
Penumisan dengan bumbu halus dan pemasakan selama 10 menit
Penggorengan selama 5 menit 115-130 C
18

Pengepresan
Pengangin-anginan, pemisahan serat dan terbentuklah abon
2.5.2 Pembuatan Dendeng
Dendeng adalah makanan berbentuk lempengan yang terbuat dari
irisan atau gilingan daging segar yang diberi bumbu dan dikeringkan.
Dendeng termasuk makanan yang dibuat dengan cara pengeringan.
Kandungan air dendeng antara 15 sampai 50 persen, bersifat plastis dan
tidak terasa kering. Dendeng perlu direndam air, lalu dimasak terlebih dulu
sebelum dikonsumsi.

Bumbu yang digunakan dalam pembuatan dendeng

adalah garam dapur, gula merah, vetsin dan rempah-rempah. Garam dapur
merupakan bahan pemberi cita rasa dan pengawet pada makanan karena
dapat menghambat pertumbuhan jasad renik.
Gula berfungsi untuk melembutkan produk, menurunkan aktivitas air,
yaitu air yang dapat digunakan untuk tumbuhnya jasad renik, memberikan
rasa dan aroma, juga akan mengimbangi atau mengurangi rasa asin yang
berlebihan.
rasa.

Rempah-rempah digunakan untuk menambah aroma dan cita

Sebagian

dari

rempah-rempah

menghambat pertumbuhan jasad renik.

juga

proses pengolahan.

sifat

dapat

Vetsin dapat membuat seimbang

antara rasa manis dan asin dalam makanan.


dipergunakan untuk memperbaiki

mempunyai

Selain itu vetsin dapat

cita rasa yang hilang dan rusak akibat

Pembuatan dendeng yang biasa dilakukan terdiri dari

tahap-tahap berikut : persiapan bahan, pengirisan

atau penggilingan,

pemberian bumbu, pencetakan (untuk dendeng giling), dan pengeringan.


Persiapan meliputi pemilihan daging dan pembersihan dari kotoran dan
lapisan lemak maupun urat. Pengirisan dimaksudkan untuk memperluas
permukaan

daging

sehingga

pengeringan

akan

cepat.

Sedangkan

penggilingan akan memudahkan pencampuran bumbu hingga homogen dan


daging mudah dibentuk.

Pengeringan dendeng bisa dilakukan dengan


19

penjemuran maupun menggunakan oven hingga mencapai kadar air


tertentu.

Daging yang mempunyai kandungan lemak tinggi memerlukan

waktu Daging yang mempunyai kandungan lemak tinggi memerlukan waktu


pengeringan yang lebih lama. Oleh karena itu daging yang akan dikeringkan
sebaiknya mengadung lemak kurang dari 35 persen.

Pembuatan Dendeng Giling

1. Keringkan loyang dalam oven, 70 C.


2. Siapkan merang bersih, yaitu merang dicuci lalu dijemur sampai kering.
3. Daging sapi dibersihkan dipotong-potong kemudian digiling.
4. Timbang 400 gr daging giling letakkan dalam waskom plastik.
5. Timbang 20 gr garam, 100 gr gula merah, 12 gr bawang putih, gr
merica, gr jinten, 8 gr ketumbar, 4 gr vetsin dan 8 gr lengkuas,
kemudian dihaluskan.
6. Bumbu halus dicampur dengan daging giling sampai benar-benar merata.
7.

Daging ditekan (dipres dengan roller, baik roller kayu maupun besi)
hingga tebalnya 2 3 mm, lalu dipotong-potong dengan ukuran 4 x 6 cm.

8. Daging diletakkan di atas loyang yang telah dilapisi merang bersih dan
kering.
9.

Masukkan loyang berisi lempengan daging ke dalam oven yang


dipanaskan pada suhu 70 C. Setelah 7 jam pengeringan, kemudian
dikemas.

Pembuatan Dendeng Iris

1. Keringkan loyang dalam oven 70C.


2.

Siapkan merang bersih, yaitu merang dicuci lalu dijemurnya sampai

kering.
3. Siapkan air mendidih dalam panci.
4. Daging dibersihkan, lalu diiris setebal 5 cm.
5. Masak sebagian dalam air mendidih sampai warna mulai coklat sebagian
lagi langsung di iris dan dibumbui.
20

6. Daging diiris dengan tebal cm, lalu dibumbui dengan bumbu yang sama
seperti dendeng giling. Bumbu harus dicampur sampai benar-benar
merata.
7.

Daging diletakkan di atas loyang yang telah dilapisi merang bersih dan

kering.
8. Masukkan loyang berisi irisan daging ke dalam oven yang dipanaskan
pada suhu 70 C. Setelah 7 jam pengeringan, kemudian dikemas. Berikut
Skema Pembuatan Dendeng :
Daging Segar
Penghilangan Lemak
Pengirisan Daging
Kyuring (20 jam, 8C)
Pengeringan (Kadar Air 15-20 %)
(Dihasilkan Dendeng)
2.5.3 Pembuatan Bakso Giling
Bakso adalah produk pangan yang terbuat dari bahan utama daging
yang dilumatkan, dicampur dengan bahan-bahan lainnya, dibentuk bulatanbulatan, dan selanjutnya direbus. Berbeda dengan sosis, bakso dibuat tanpa
mengalami proses kiuring, pembungkusan maupun pengasapan. Biasanya
istilah bakso tersebut diikuti dengan nama jenis dagingnya, seperti bakso
ikan, bakso ayam, dan bakso sapi. Berdasarkan bahan bakunya, terutama
ditinjau dari jenis daging dan jumlah tepung yang digunakan, bakso
dibedakan menjadi 3 jenis yaitu bakso daging, bakso urat dan bakso aci.
Bakso daging dibuat dari daging yang sedikit mengandung urat, misalnya
daging penutup, penambahan tapung lebih

sedikit daripada berat daging

21

yang digunakan. Hal ini juga menjadi dasar dalam penentuan kualitas bakso
yang dihasilkan.
Bakso urat adalah bakso yang dibuat dari daging yang banyak
mengandung jaringan ikat atau urat, misalnya daging iga. Penambahan
tepung pada bakso urat lebih sedikit daripada jumlah daging yang
digunakan. Bakso aci adalah bakso yang jumlah penambahan tepungnya
lebih banyak dibanding dengan jumlah daging yang digunakan. Parameter
mutu bakso yang diperhatikan para pengolah maupun konsumen adalah
tekstur, warna dan rasa. Tekstur yang biasanya disukai adalah yang halus,
kompak, kenyal dan empuk. Halus dimana permukaan irisannya rata,
seragam dan serta dagingnya tidak tampak.

Kekenyalan bakso dapat

ditentukan
dengan melempar bakso ke permukaan meja dan lantai, dimana bakso yang
kenyal akan memantul, sedangkan keempukan diukur dengan cara digigit,
dimana bakso yang empuk akan mudah pecah.
Syarat Mutu Daging berdasarkan SNI 01-3818-1995 adalah sebagai berikut :

22

Bahan Bakso dan Peranannya


Bahan-bahan baku bakso terdiri dari bahan baku utama dan bahan

baku

tambahan.

Bahan

utamanya

adalah

daging,

sedangkan

bahan

tambahannya adalah bahan pengisi, garam, penyedap dan es atau air es.
23

Hampir semua bagian daging dapat digunakan untuk membuat bakso. Jenis
daging yang sering digunakan antara lain daging penutup, pendasar gandik,
lamusir, paha depan dan iga. Umumnya daging yang digunakan untuk
membuat bakso adalah daging yang sesegar mungkin, yaitu yang diperoleh
segera setelah pemotongan hewan tanpa mengalami proses penyimpanan
atau pelayuan. Komponen daging yang terpenting dalam pembuatan bakso
adalah protein.
Protein daging berperan dalam pengikatan hancuran daging selama
pemasakan dan pengmulsi lemak sehingga produk menjadi empuk, kompak
dan kenyal. Bahan pengisi yang biasa digunakan dalam pembuatan bakso
adalah tepung pati, misalnya tepung tapioka dan tepung pati aren. Bahan
pengisi

mempunyai

kandungan

karbohidrat

yang

tinggi,

sedangkan

kandungan proteinnya rendah. Bahan tersebut tidak dapat mengemulsikan


lemak tetapi memiliki kemampuan dalam mengikat air. Penggunaan tepung
pati dalam pembuatan bakso untuk konsumsi rumah tangga biasanya 4 5
persen dari berat daging. Sedangkan pada pembuatan
komersial, penambahan tepung berkisar antara 50 sampai 100 persen dari
berat daging. Hal ini dimaksudkan untuk menekan biaya produksi dan
mengurangi harga bakso. Penambahan tepung terlalu tinggi akan menutup
rasa daging sehingga rasa bakso kurang disukai konsumen.
Garam dapur dan MSG (monosodium glutamat) sama-sama memiliki
fungsi sebagai pemberi rasa pada produk bakso. Perbedaanya, garam dapur
selain memberi rasa juga berfungsi sebagai pelarut protein, pengawet dan
meningkatkan daya ikat air dari protein daging. Pemakaian garam dalam
pembuatan bakso berkisar antara 5 10

persen dari berat daging.

Sedangkan penambahan MSG umumnya berkisar antara 1 sampai 2.5 persen


dari berat daging.
Tekstur dan keempukan produk bakso dipengaruhi oleh kandungan
airnya. Penambahan air pada adonan bakso diberikan dalam bentuk es batu
atau air es, supaya suhu adonan selama penggilingan tetap rendah. Dalam
adonan, air berfungsi untuk melarutkan garam dan menyebarkannya secara
24

merata keseluruh bagian masa daging, memudahkan ekstraksi protein dari


daging dan membantu dalam pembentukan emulsi. Air ditambahkan sampai
adonan mencapai tekstur yang dikehendaki. Jumlah penambahan air
biasanya berkisar antara 20 50 persen dari berat daging yang digunakan.
Jumlah penambahan ini dipengaruhi oleh jumlah tepung yang ditambahkan.
Untuk

menghasilkan

tekstur

adonan

yang

sama,

semakin

banyak

penambahan tepung semakin banyak air yang harus ditambahkan.


Bahan-bahan lain yang sering digunakan dalam pembuatan bakso
adalah bahan pemutih, bahan pengawet, boraks dan tawas. Bahan pemutih
yang biasa digunakan adalah Titanium dioksida (Ti0 2). Penambahan Ti02 ke
dalam bakso diperkirakan antara 0.5 sampai 1 persen dari berat adonan.
Fungsi bahan ini adalah untuk menghindari warna bakso yang gelap. Bahan
pengawet yang biasa digunakan dalam bakso adalah benzoat. Pemakaian
benzoat dilakukan dengan cara mencampurkan nya ke dalam adonan bakso,
sebanyak 0.1 sampai 0.5 persen dari berat adonan.
Peraturan Menkes RI membatasi penggunaan benzoat dalam produk
pangan maksimum 0.1 persen dari berat produk.

Boraks (Na 2B407-1OH2O)

berupa serbuk putih sering digunakan oleh pengolah bakso dengan maksud
menghasilkan produk yang kering (kasat dan tidak lengket). Tetapi dalam
peraturan kesehatan, boraks termasuk salah satu bahan kimia yang dilarang
penggunaannya dalam produk pangan. Tawas (A1 2 (SO4)3) digunakan dalam
air yang digunakan untuk merebus bakso. Jumlah penambangannya sekitar 1
sampai 2 gram per liter air. Tujuan penggunaan tawas adalah untuk
mengeraskan permukaan bakso dan memberi
warna yang cerah.
Sodium tripolifosfat yang ditambahkan ke dalam adonan bakso dapat
mencegah terbentuknya permukaan kasar dan rekahan pada bakso.
Penggunaan polifosfat sebanyak 0.75 persen dari berat daging dan
penambahan

garam

dapur

sebanyak

2.0

persen

memberikan

nilai

penerimaan konsumen yang sangat baik. Penambahan polifosfat yang lebih


tinggi dapat menyebabkan rasa pahit.
25

Pembuatan Bakso
Pembuatan bakso terdiri dari persiapan bahan, penghancuran daging,

pencampuran bahan dan pembuatan adonan, pencetakan dan pemasakan.


Persiapan

bahan

meliputi

pemilihan

daging

dan

penyiangan

bahan

tambahan lainnya. Daging bisa dipilih yang segar, bersih atau dibersihkan
dari lemak permukaan dan jaringan ikat atau urat.

Penghancuran daging

bertujuan untuk memecah serabut daging, sehingga protein yang larut


dalam larutan garam akan mudah keluar. Penghancuran daging untuk bakso
dapat dilakukan dengan cara mencacah, menggiling atau
mencincang sampai lumat. Alat yang biasa digunakan antara lain pisau,
pencincangan (chopper), atau penggiling (grinder).
Pembentukan adonan dapat dilakukan dengan mencampur seluruh
bagian bahan kemudian menghancurkan-nya sehingga membentuk adonan.
Atau dengan meng-hancurkan daging bersama-sama garam dan es batu
terlebih dulu, baru kemudian dicampurkan bahan-bahan lain dengan alat
yang sama atau menggunakan mixer. Pemasakan bakso biasanya dilakukan
dalam dua tahap. Tahap pertama, bakso dipanaskan dalam panci berisi air
hangat

sekitar

60C

sampai

80C,

sampai

bakso

mengeras

dan

mengambang di permukaan air. Pada tahap selanjutnya, bakso dipindahkan


ke dalam panci lainnya yang berisi air mendidih, kemudian direbus sampai
matang, biasanya sekitar 10 menit.
Pemasakan bakso dalam dua tahap tersebut dimaksudkan agar
permukaan produk bakso yang dihasilkan tidak keripuk dan tidak pecah
akibat perubahan suhu yang terlalu cepat. Pembuatan bakso dapat diuraikan
sebagai berikut :
1. Bersihkan daging dari lemak pada permukaan dan urat.
2.

Timbang 1 kg daging bersama 200 gram es batu dan 50 gram garam


dapur digiling dalam gilingan daging.

3.

Daging giling kemudian dimasukkan ke dalam alat penghancur dan


ditambahkan 100 - 1000 gram tapioka (tergantung selera, atau mutu
26

bakso yang dihasilkan), 2.5 gram MSG, 2.5 gr Titanium dioksida dan 1.5 gr
sodium tripolifosfat. Campuran tersebut dihancurkan selama setengah
menit lalu dikeluarkan untuk dicetak.
4.

Adonan yang sudah jadi, dicetak dengan tangan dan dengan bantuan

sendok.
5. Bakso yang telah dicetak segera dimasukkan ke dalam air hangat dengan
suhu 60 sampai 80C dan dibiarkan sampai mengambang. Setelah
mengambang bakso dipindahkan ke dalam air mendidih dan dipanaskan
sampai bakso matang, yaitu sekitar 10 menit.
6. Bakso yang matang ditiriskan dan warna dan kehalusannya dilihat secara
visual, keempukan dengan cara digigit, kekenyalan dengan cara dipijat
atau digigit, dan rasa serta aroma dengan cara dicicip. Bakso siap
dikonsumsi.

2.5.4 Pembuatan Sosis


Sosis adalah daging lumat yang dicampur dengan bumbu atau
rempah-rempah kemudian dimasukkan dan dibentuk dalam pembungkus
atau casing.

Bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan sosis terdiri

dari : daging, lemak, bahan pengikat, bahan pengisi, air, garam dapur dan
bumbu.

27

Diagram Alir Proses Pembuatan Sosis

Bahan Sosis dan Peranannya


Semua jenis daging ternak termasuk

jeroan dan tetelan dapat

digunakan untuk pembuatan sosis. Pada prinsipnya semua jenis daging


dapat dibuat sosis bila dicampur dengan sejumlah lemak.

Daging

merupakan sumber protein yang bertindak sebagai pengemulsi dalam sosis.


Protein yang utama berperan sebagai pengemulsi adalah myosin yang larut
dalam larutan garam. Penambahan lemak dalam pembuatan sosis berguna
untuk membentuk sosis yang kompak dan empuk serta memperbaiki rasa
dan aroma sosis. Jumlah penambahan lemak tidak boleh lebih dari 30 persen

28

dari berat daging untuk mempertahankan tekstur selama pengolahan dan


penanganan. Penambahan lemak yang terlalu banyak akan mengakibatkan
hasil sosis yang keriput.

Sedangkan penambahan terlalu sedikit akan

menghasilkan sosis yang keras dan kering.


Penambahan bahan pengikat dan bahan pengisi berfungsi untuk
menarik air, memberi warna khas, membentuk tekstur yang padat,
memperbaiki stabilitas emulsi, menurunkan penyusutan waktu pemasakan,
memperbaiki cita rasa dan sifat irisan.

Bahan pengikat dan pengisi

dibedakan berdasarkan kadar proteinnya. Bahan pengikat mengandung


protein yang terlalu tinggi, sedangkan bahan pengisi pada umumnya
mengandung karbohidrat saja.

Bahan pengikat dan pengisi yang umum

digunakan adalah susu skim, tepung terigu, tepung beras, tepung tapioka,
tepung terigu, tepung kedelai, tepung ubi jalar, tepung roti dan tepung
kentang. Air yang ditambahkan ke dalam adonan sosis biasanya dalam
bentuk serpihan es, supaya suhu adonan selama penggilingan tetap rendah.
Selain sebagai fasa pendispersi dalam emulsi daging, air berfungsi juga
untuk melarutkan protein sarkoplasma (protein larut air) dan sebagai pelarut
garam yang akan melarutkan protein mifibril (protein larut garam). Jumlah
penambahan air akan mempengaruhi tekstur sosis.

Penambahan yang

terlalu banyak menyebabkan tekstur sosis yang lunak. Jumlah penambahan


ini tidak boleh melebihi 4 kali protein ditambah 10 persen.
Garam berfungsi untuk memberikan cita rasa, mengawetkan dan yang
paling penting adalah untuk melarutkan protein. Garam dapur dan garam
alkali fosfat secara bersama-sama berpengaruh terhadap pengembangan
volume dan daya ikat air dari daging. Garam alkali polifosfat bisa berfungsi
untuk mempertahankan warna, mengurangi penyusutan waktu pemasakan
dan menstabilkan emulsi.
Bahan tambahan lainnya yang sering digunakan dalam pembuatan
sosis adalah gula, nitrit atau sendawa dan

rempah-rempah. Gula dapat

membantu mempertahankan aroma dan mengurangi efek pengerasan dari


garam glukosa. Jumlah penambahannya sekitar 1 persen.
29

Nitrit ataupun sendawa ditambahkan pada daging terutama sebagai


pembangkit

warna

khas

kiuring,

yaitu

warna

merah

yang

stabil.

Penambahan nitrit ini dibatasi maksimum 200 ppm (200 mg per kg bahan)
karena pada konsentrasi tinggi dapat membahayakan kesehatan. Rempahrempah yang biasa digunakan antara lain lada, pala, jahe, dan cengkeh.
Ditambahkan dalam bentuk tepung minyak atsiri dan oleoresin.

Sebagai

wadah pembentuk sosis, biasa digunakan casing yang terbuat dari usus
binatang atau casing sintesis. Jenis casing (pembungkus) sintetis yang
banyak digunakan dibuat dari selulosa dan kolagen.

Pembuatan Sosis
Berdasarkan kehalusan emulsi daging, sosis dibedakan menjadi sosis

kasar dan sosis


emulsi.

Pada

sederhana,

pembuatan
yaitu

sosis

menggiling

kasar

tahapan

daging

pengolahannya

sampai

mencampurkannya dengan lemak sampai merata.


pembuatan

sosis

emulsi,

tahapan

halus

kemudian

Sedangkan pada

pencampurannya

pencampuran, pencacahan dan pengemulsian.

lebih

terdiri

dari

Secara lengkap tahapan

pengolahan kedua jenis sosis tersebut sebagai berikut : pemilihan bahanbahan yang akan digunakan, penggilingan, pencampuran (termasuk
tahapan pencacahan dan pengemulsian), pemasukkan ke dalam casing,
pengikatan, penggantungan, pemasakan (perebusan, pengukusan atau
pengasapan),

pendinginan

(penyemprotan

dengan

air

dingin

atau

penyimpanan dingin), pengupasan dan pengemasan.


Penggilingan bertujuan untuk menyebar ratakan lemak dalam daging.
Sebelum digiling daging biasanya dulu sampai suhu 20 C, sehingga suhu
penggilingan tetap di bawah 22C. Hal ini untuk mencegah terdenaturasinya
protein yang sangat penting sebagai emulsifier. Pada tahap pencampuran
diharapkan lemak yang ditambahkan akan menyebar secara merata.
30

Demikian juga bahan kuring (sendawa), serpihan es garam dapur, bahan


pengikat dan bahan tambahan lainnya. Suhu adonan

pada pencampuran

harus dipertahankan serendah mungkin yaitu sekitar 3 sampai 12C.


Pemasukkan adonan sosis ke dalam casing menggunakan alat khusus
(disebut stuffer) bertujuan membentuk

dan mempertahankan kestabilan

sosis. Memantapkan warna dan mematikan mikroba.

Pemasakan dapat

dilakukan dengan cara seperti perebusan, pengukusan, pengasapan dan


kombinasi cara-cara tersebut.

Pengasapan dapat memberikan cita rasa

khas, mengawetkan dan memberi warna khas.


Pendinginan sosis setelah pemasakan selain untuk menurunkan suhu
sosis secara cepat, juga untuk memudahkan pengupasan, pembungkus
(casing) jika menggunakan jenis yang tidak dapat dimakan. Secara lengkap
langkah-langkah kerja pada pembuatan sosis adalah sebagai berikut :
1. Daging didinginkan pada suhu 1 sampai 4C.
2. Daging dibersihkan dari tulang dan urat atau jaringan pengikat.
3.

Timbang 1 kg daging, lalu potong-potong menjadi bentuk balok kecil-

kecil.
4.

Potongan-potongan daging digiling

dalam penggilingan daging sambil

ditambah 100g es, 500 mg vitamin C dan 150 mg NaNO 2. Penggilingan


dilakukan 2 kali agar daging halus. Selama penggilingan temperatur
adonan diusahakan tidak melebihi 22 C.
5. Daging giling ditambah 10 g gula pasir, 7 g sodium tripolifosfat, 250 g
minyak jagung, 200 g es, lada, pala, telah dihaluskan secukupnya. Bahan
campuran diaduk dalam wadah dengan menggunakan mikser kira-kira 3
menit.
6. Adonan kemudian ditambah sekitar 100 g tepung tapioka sebagai bahan
pengikat.
7.

Pengadukan dilanjutkan selama 10 menit. Selama pengadukan suhu


adonan diusahakan tidak melebihi 22 C.

8.

Adonan sosis hasil pengadukan dimasukkan ke dalam alam pengisi

(stuffer).
31

9.

Dengan alat pengisi (stuffer) tersebut adonan dimasukkan ke dalam

pembungkus (casing).
10.

Setelah diisi pembungkus sosis diikat pada ujung-ujungnya dan pada

setiap 15 cm.
11. Sosis dikeringkan dalam oven selama 30 menit dengan suhu 60 C.
12. Sediakan air panas 70 sampai 80 C dalam panci.
13. Sosis dimasak dalam air panas tersebut kira-kira 40 menit.
14. Setelah pemasakan, sosis langsung didinginkan dengan air sampai suhu
25C lalu digantungkan untuk selanjutnya dapat dikonsumsi, dikemas
atau dipasarkan.

2.5.5 Curing Daging


Curing daging adalah cara mengolah daging dengan menambahkan
beberapa bahanseperti garam (NaCl, natrium nitrit, dan natrium nitrat), gula
(dekstrosa, sukrosa, atau patihidrolisis), serta bumbu.

Curing bertujuan

untuk mendapatkan warna daging yang stabil,aroma, tekstur, dan kelezatan


yang baik. Selain itu,curing juga untuk mengurangi pengerutandaging selama
diolah dan memperpanjang masa simpan produk daging. Garam nitrat dan nitrit pada
umumnya sering digunakan pada prosescuring daging guna mendapatkan
warna yang baik dan mencegah pertumbuhan mikrobia.
Raharjo

et al. (1993), curing adalah prosesing daging dengan

menambah sodium klorida (NaCl), sodium nitrat atau potasium nitrat (NaNO 3
atau KNO3), gula, bumbu-bumbu dan zat aditif lainnya.
Tujuan

curing

adalah

flavor,

aroma,

keempukan,

juiciness

dan

mereduksi kerutan daging. Curing bertujuan untuk memperpanjang masa


simpan daging, menghambat aktivitas mikroba

terutama

Clostridium

botulinum, memperbaiki flavor dan tujuan utamanya adalah memperbaiki


warna daging menjadi merah pink. Penyebab warna merah karena bakteri
mengubah nitrat menjadi nitrit, nitrit dipecah menjadi NO (nitroso) yang
32

kemudian

berekasi

dengan

nitrosochemochromagen

pigmen

daging

(mioglobin)

membentuk

sehingga terbentuk warna merah menarik dan

haemoglobin. Nitrit mampu memberikan flavor yang spesifik kemungkinan


dikarenakan adanya reaksi antara nitrit dengan komponen volatile daging
(Soeparno, 2005).

Teknik Curing

Soeparno (2005), beberapa teknik

yang digunakan dalam metode curing

dengan menggunakan garam, yaitu :


1. Wet curing, lebih merata namun hasilnya basah
2.

Dry curing, metode ini merupakan cara tradisional,

daging diselimuti

garam dan disimpan pada suhu rendah. Garam akan memasuki jaringan
dan pada saat bersamaan,cairan akan keluar dari dalam daging.
Peresapan ke daging tidak optimal karena hanya ditaburkan.
3.

Wet and dry curing


mempermudah

proses

(kombinasi),
curing,

larutan

teknik ini digunakan untuk


diinjeksikan

langsung

pada

jaringan. Setelah disimpan beberapa hari, tumpukan daging ditutupi lagi


dengan garam.
4.

Injection

curing

cepat ke sasaran (mioglobin) namun tidak semua

mioglobin terjangkau oleh garam dan ada kemungkinan terbentuknya.

Mekanisme Curing
Winarno (2002) mekanisme

curing

adalah nitrit bereaksi dengan

gugus sulfhidril dan membentuk senyawa yang tidak dapat dimetabolisasi


oleh mikroba dalam kondisi anaerob. Pada daging, nitrit membentuk
nitroksida yang dengan pigmen daging akan membentuk nitrosomioglobin
yang berwarna merah cerah. Pembentukan nitrooksida dapat terlalu banyak
jika hanya menggunakan garam nitrit, oleh sebab itu biasanya digunakan
campuran garam nitrat dan garam nitrit. Garam nitrat akan tereduksi oleh
bakteri nitrat menghasilkan nitrit. Fungsi dari nitrit adalah menstabilkan
warna dari jaringan untuk mengkontribusi karakter dari daging

curing,
33

menghambat

pertumbuhan

dari

racun

makanan

dan

mikroorganisme

pembusuk serta menghambat ketengikan.


Penggunaan nitrit dan nitrat dalam makanan (terutama produk
daging) dibatasi karena ada efek meracuni dari zat tersebut. Akan tetapi,
dari kedua senyawa tersebut, nitrityang lebih beracun dibandingkan nitrat.
Nitrit akan bereaksi dengan amino sekunder / tersier membentuk senyawa Nnitrosamin yang bersifat mutagen dan karsinogen , selanjutnyanitrosamine
menunjukkan aktifitas karsinogenik. Residu nitrit yang tertinggal dalam
produk akhir akan menimbulkan kematian bila melebihi 15-20mg /kg bobot
badan yangmengkonsumsi. Nitrosamin adalah suatu kelompok senyawa
yang terbentuk dari interaksiantara nitrit dengan senyawa amin sekunder
atau tersier.
R2NH + N2O3

R2N2.NO + HNO2

(Amin sekunder missal : pirolidina)

(Nitrosoamina (karsinogenik)

Nitrosamin dibagi menjadi dua kelompok yaitu :


1. Nitrosamin volatil, yaitu kelompok nitrosamin yang relatif nonpolar dan
mempunyai

beratmolekul

rendah.

Misalnya:

N-nitrosa

dimetilamin

(NDMA), N-nitrosopirolidin (NPVR), dan N-nitrosotiazoldin (NTHZ).


2.

Nitrosamin non volatil, yaitu kelompok nitrosamin yang lebih polar dan mempunyai
beratmolekul yang lebih tinggi. Misalnya: N-nitrosoprolin (NPRO) dan Nnitrosodietanolamin(NDELA).

Manfaat Curing
Aseptabilitas konsumen terhadap produk daging sangat dipengaruhi

oleh palatabilitas

produk tersebut.

Makin tinggi mutu palatabilitas suatu

produk daging maka makin tinggi pula aseptabilitasnya. Produk akhir daging
sangat dipengaruhi oleh kualitas bahan utamanya yaitu daging itu sendiri.
Warna, flavor, aroma, dan juiciness daging bisa dimanipulasi secara artifisial.
Proses curing merupakan salah satu cara yang dapat memanipulasikan
komponen-komponen palatabilitas tersebut.
34

BAB III
PENUTUP

SIMPULAN

Produk produk olahan daging sapi begitu beraneka ragam diantaranya


yaitu dapat dibuat produk abon daging sapi, dendeng, bakso, sosis, curing
daging, dan berbagai macam produk lainya yang berbahan pokok daging.
Proses-proses pembuatan produknya dilakukan dengan baik, efisien, dengan
sanitasi terkontrol dan harus menggunakan bahan tambahan pangan yang
sesuai untuk produk pangan dan aman untuk dikonsumsi serta dapat
meminimalisir efek buruk pada kesehatan konsumennya.

SARAN

Pengembangan produk dan proses rekayasa produk pangan harus


terus dikembangkan dan diperbaiki untuk bisa menghasilkan produk baru
yang berbahan pokok daging yang memiliki kualitas yang lebih baik, yang
aman bagi konsumen, menyehatkan, tidak menggunakan bhan tambahan
yang tidak diperbolehkan untuk pangan agar produk-produk yang dihasilkan
dapat bersaing dipasaran baik nasional maupun global.
35

DAFTAR PUSTAKA

Aberle, E. D., J. C. Forrest, H. B. Hendrick, M. D. Judge and R. A. Merkel. 2001.


Principles of Meat Science. W.H. Freeman and Co., San Fransisco.
Buege, D. 2001. Information on sausage and sausages manufacture.
http://www.uwex.edu/ces/flp/meatscience/sausage.html.
[24Juni2006]
Dewan Standardisasi Nasional. 1995. Daging sapi/kerbau. SNI 01-3947-1995.
Dewan Standardisasi Nasional, Jakarta.
Dewan Standardisasi Nasional. 1995. Syarat Mutu Bakso Daging Sapi Daging.
SNI 01-3818-1995. Dewan Standardisasi Nasional, Jakarta.
Dewan Standardisasi Nasional. 1995. Batas maksimum Cemaran Mikroba
pada Daging. SNI 01-6366-2000. Dewan Standardisasi Nasional,
Jakarta.
Gill, C.O. 1982. Microbial interaction with meats. In: M.H. Brown (Ed). Meat
Microbiology. Applied Science Publisher, London and New York.
Koswara, S. 2009. Teknologi Praktis Pengolahan Daging. eBookPangan.com
Lawrie, R.A. 1998. Lawries Meat Science. 6 Edition. Woodhead Publishing
Ltd., Cambridge.
Raharjo, S., J.N. Sofos and G.R. Schmidt. 1993. Effect of Meat Curing Agents
and Phospates on Thiobarbituric Acid (TBA) Numbers of Ground
Beef Determined by the Aqueous Acid Extraction TBA-C18
Metyhod. Food Chem. 47:137-143.
36

Rose, A.H. 1982. Fermented Food. Academic Press, USA.


Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi daging. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Winarno, F.G. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : Gramedia.

37

You might also like